Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS


SKENARIO 1
DEMAM DI PULAU SERIBU

KELOMPOK 13
Akhlis Mufid Auliya G0014016
Amalina Yasserli Amraini G0014024
Banatidika Ikrarida Dzakiyyah G0014054
Dinnar Pridea Rizky G0014074
Firdaus Mauliaditya W. A G0014102
Gustafat Abdur Rahman G0014110
Lastry Wardani G0014136
Mochammad Rizal Hermawan P G0014158
Nadira Rachmianti Hartanto G0014174
Rindu Permata Putri G0014200
Sola Sacra Providentia G0014224
Tuti Ratnasari G0014232

TUTOR:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 1
Diriku yang Tidak Berdaya

Kakek Taruno, seorang pensiunan tentara, yang masih bugar di usianya


yang 65 tahun sering mengeluh di persendian lutut terutama saat beraktivitas.
Selain itu juga mengeluh sering keseutan dan rasa baal di kedua kakinya. Suatu
hari pergi ke kamar mandi tiba-tiba merasa leher cengeng, berkunang-kunang, dan
jatuh.
Esok harinya beliau kesakitan dan tidak dapat berjalan, lutut tampak
bengkak, kemerahan bahkan sulit digerakkan dan minta dibawa ke UGD. Kepada
dokter UGD beliau menceritakan dalam 3 bulan ini sudah jatuh 3 kali, sering
pusing berputar, mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.
Riwayat pengobatan sebelumnya beliau berobat di Puskesmas dan diberi
obat furosemid 1 tablet secara rutin, kadang-kadang mengonsumsi juga antalgin
dan meloxicam yang dibeli di toko obat untuk meredam nyeri sendi yang sering
kambuh.
Dari pemeriksaan dokter tekanan darah 180/110 mmHg. Hasil pemeriksaan
laboratorium UGD didapatkan GDS 250 mg/dl, Hb 10.5 gr%, tidak ditemukan
poteinuria. EKG dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi regio genu
didapatkan soft tissue swelling, celah artikulatio genu menyempit dengan
deformitas dan diskontinuitas tulang femur 1/3 distal dekstra.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.
Dalam skenario ketiga ini, penulis mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1. Soft tissue swelling : Pembengkakan jaringan lunak
2. Cengeng : Sulit menggerakkan leher
3. Diskontinuitas : Hilangnya kontinuitas tulang
4. Deformitas : Perubahan bentuk atau pergeseran fragmen tulang

B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario Diriku yang Tidak Berdaya antara lain:
1. Apakah yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan rasa baal pada
persendian lutut pasien?
2. Apakah hubungan antara usia pasien dengan keluhan sering nyeri?
3. Mengap pasien tiba-tiba merasa cengeng, berkunang-kunang, dan jatuh?
4. Apa yang menyebabkan pasien jatuh berulang?
5. Apa penyebab pusing berputar, mata kabur, pendengaran berkurang, dan
sering lupa pada pasien?
6. Apakah hubungan riwayat terapi sebelumnya dengan keluhan yang
dialami pasien saat ini?
7. Apa yang menyebabkan tekanan darah dan GDS pasien tinggi?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium dan radiologi pada
skenario?
9. Apa efek dari tekanan darah dan GDS tinggi yang tidak diobai?
10. Apa yang menyebabkan celah articulatio genu menyempit?
11. Apa diagnosis banding dan diagnosis kerja dari kasus pada skenario I?
12. Apa saja pemeriksaan lain yang perlu dilakukan?
13. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus di atas?
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)

1. Penyebab Nyeri, Kesemutan, dan Rasa Baal Pada Persendian Lutut


Lutut sakit merupakan salah satu ciri kelainan musculoskeletal.
Keluhan dan tanda utama adanya kelianan muskoloskeletal adalah adanya
nyeri, rasa kaku, kelemahan otot, pembengkakan sendi dan gangguan gerak.
Penyebab terjadinya kelainan musculoskeletal pada lansia antara lain
a. Kelainan metabolic seperti osteoarthritis
b. Kelainan metabolic seperti osteoporosis
c. Keganasan
d. Efek samping obat seperti penggunaan diuretic yang dapat menyebabkan
arthritis gout
e. Peradangan
Osteoporosis pada seorang lansia disebabkan karena produksi
osteoblast lebih sedikit daripada osteoclast. Penyebab lain yang
memungkinkan lutut pasien sakit adalah arthritis gout akibat penggunaan
obat diuresis furosemide.

2. Penyebab Pusing Berputar, Mata Kabur, Pendengaran Berkurang, dan


Sering Lupa
a. Penyebab pusing berputar
Sensasi berputar
Puing jenis ini dapat disebabkab karena adanya gangguan pada sistem
vestibuler. Contohnya pada penderita vertigo.
Diziness tipe-2
Disebabkan karena berkurangnya fungsi baroreseptor pada lansia sehingga
menyebabkan hipotensi postural.
Diziness tipe-3
Ditandai dengan hilangnya keseimbangan tanpa disertai dengan sensasi
berputar.
Diziness tipe-4
Merupakan gabungan dari ganguan vestibuler dan auditori. Kategori
ini juga termasuk semua keluhan yang tidak dapat diklasiikasikan
dalam kateori 1, 2, dan 3.

b. Penyebab mata kabur


Saat memasuki usia lanjut, tubuh kita akan mengalmi berbagai
perubahan dalam berbagai sistem organ, salah satunya pada sistem
penglihatan. Perubahan yang terjadi antara lain yaitu penurunan
kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, dan
perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak.
Selain akibat penuaan, mata kabur dalam skeanrio juga dapat
disebabkan oleh adanya komplikasi penyakit, seperti hipertensi dan
diabetes mellitus (menyebabkan retinopati diabetika).

c. Penyebab pendengaran berkurang


Penurunan fungsi pendengaran dapat disebakan oleh beberapa hal
seperti penurunan fungsi sensorineural, pengecilan daya tangkap
membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen
menjadi lemah dan kaku sehingga dapat mempengaruhi proses hantaran
suara.

d. Penyebab sering lupa


Pada lansia keadaan sering lupa dapat disebabkan karena demensia
maupun Alzheimer.

3. Penyebab Jatuh Berulang


a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari tubuh lansia itu
sendiri, seperti berbagai proses penuaan dan berbagai penyakit contohnya
stroke dan TIA yang menyebababkan kelamahan satu sisi tubuh,
kelemahan extremitas bawah tubuh, penurunan fungsi pancaindra seperti
penurunan penglihatan dan pendengaran, gangguan kardiovaskuler
seperti sinkop.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar tubuh lansia,
meliputi faktor lingkungan seperti kondisi penerangan, suhu, lantai, dan
lain-lain.
Jatuh adalah salah satu peristiwa yang sering dialami oleh serang
lansia. Jatuh pada lansia berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortilitas serta penurunan fungsi dan kemandirian. Menurunnya fungsi
organ tubuh pada lansia juga menyebabkan seorang lansia yang jatuh akan
sulit kembali pada keadaan normal. Oleh sebab itu, kejadian jatuh pada
lansia memerlukan penanganan dan perawatan intensif.

4. Hubungan Riwayat Terapi Sebelumnya dengan Keluhan yang Dialami


Pasien
Pada skenario pasien mengonsumi meloxicam dan antalgin untuk
mengurangi rasa nyeri. Meloxicam dan antalgin termasuk dalam golongan
obat anti inflamasi non steroid (AINS). AINS memiliki tiga efek yakni
sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Meloxicam sendiri biasa
digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik untuk penyakit
muskuloskeletal, sedang antalgin biasa digunakan sebagai analgetik.
Meloxicam cenderung menghambat COX 2 lebih dari COX 1, tetapi
penghambatan COX 1 pada dosis terapi tetap nyata.
Pasien juga diberikan terapi furosemid. Furosemid merupakan obat
golongan diuretik kuat. Diuretik kuat bekerja pada ansa henle tebal pada
ginjal. Cara kerjanya dengan penghambatan terhadap kotranspor Na+/K+/Cl-.
Furosemid merupakan obat standar gagal jantung yang disertai edema.
Diuretik kuat juga merupakan obat yang efektif untuk mengatasi edema
akibat gagal ginjal, selain itu diuretik kuat juga memiliki efek hipotensi.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario pertama adalah
1. Mengetahui teori-teori penuaan
2. Mengetahui perubahan fisiologis pada geriatri dan dihubungkan dengan
keluhan pasien
3. Mengetahui diagnosis banding serta faktor intrinsik dan ekstrinsiknya
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan edukasi dari
diagnosis kasus
5. Mengetahui penatalaksanaan polifarmasi

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru


Masing-masing anggota kelompok B-03 telah mencari sumber
sumber ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang
sesuai dengan topik diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan
dalam pertemuan berikutnya.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh

1. Teori-teori Penuaan
a. Teori Genetic Clock
Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya suatu jam
genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jma ini akan
menghitung mitosis dan mengehntikan replikasi sel bila tidak dipuat, jadi
bila jam itu menghentikan replikasi sel maka kita akan meninggal dunia,
meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang
katastrofal.

b. Mutasi somatik (teori error Catastrophe)


Faktor-faktor penyebab terjadinya menua adalah faktor lingkungan
yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan zat kimia
dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari terkenanya radiasi
atau tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksis, dapat
memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif
pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan
kemampuan fungsional sel tersebut.
Menurut hipotesis ini, menua disebabkan oleh kesalahan yang
beruntun. Setelah berlangsung dalam waktu lama, terjadi kesalahan
transkipsi DNA menjadi RNA, maupun dalam proses translasi RNA ->
protein/enzim. Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya
enzim yang salah sehingga akan terjadi proses metabolisme yang salah
dan kesalahan sintesis protein atau enzim.
c. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali
dirinya sendiri. Jika mutasi somatik, dapat menyebabkan kelaiann pada
antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem
imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan sebagai zat
asing dan menghancurkannya (autoimun).
Dipihak lain, sistem imun tubuh sendiri, daya pertahanannya
mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel
kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah.
d. Teori menua akibat metabolisme
Perpanjangan umur berasosiasi dengan tertundanya proses
degenerasi. Perpanjangan kalori akibat penurunan jumlah kalori
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses
metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang
proliferasi sel, misalnya insulin dan hormon pertumbuhan. Pentingnya
metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang. Beberapa
penelitian menunjukkan keterkaitan tersebut.
e. Kerusakan akibat radikal bebas
Untuk organisme aerobik, radikal bebas terutama terbentuk pada
waktu respirasi di dalam mitokondria karena 90% oksigen yang diambil
tubuh, masuk ke dalam mitokondria. Waktu terjadi proses respirasi
tersebut oksigen dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi ATP,
melalui enzim respirasi di dalam mitokondria, maka radikal bebas akan
dihasilkan sebagai zat antara radikal bebas yang terbentuk adalah :
superoksida, radikal bebas hidroksil , peroksida hidrogen. Radikal bebas
bersifat merusak karena sangat reaktif. Walaupun telah ada sistem
penangkal, radikal bebas tetap akan lolos bahakan semakin lanjut usia
semakin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses pengerusakan
tetap terjadi. Kerusakan organel sel makin lama makin banyak dan
akhirnya mati.

2. Perubahan Fisiologis pada Geriatri


a. Perubahan pada Sistem Sensoris
Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
saling berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau
membentuk hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan
menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan
terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-
fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan
integrasi dari persepsi sensori.
1) Perubahan pada Indera Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal
dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam
melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan
warna serta kekeruhan lensa mata, yaitu katarak. Semakin
bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan
membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris
dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada
lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan
akibat proses menua:
Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan
akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi
lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis,
dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan
penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam
membaca huruf huruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat
dengan jarak pandang dekat.
Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter
pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan
lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada
tingkat tertentu.
Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat enimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini
adalah penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran
dalam membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan
sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada
malam hari, gangguan dalam persepsi kedalaman atau stereopsis
(masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan dalam persepsi
warna.
Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata
berpotensi terjadi sindrom mata kering.

2) Perubahan pada Indera Pendengaran


Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara
dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan
pendengaran pada lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan
akibat proses menua:
Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural,
hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf
tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi.
Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara
bertahap. Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan
ketidakmampuan dalam mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi
seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap
membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan
ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah
gangguan konduksi suara.
Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit
menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi
dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga
berdampak pada gangguan konduksi suara.

3) Perubahan pada Indera Perabaan


Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi
fungisional apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan
pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil
karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia
tidak semenarik sewaktu muda dan tidak mengundang sentuhan dari
orang lain, dan sikap dari masyarakat umum terhadap lansia tidak
mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.

4) Perubahan pada Indera Pengecapan


Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada
saat seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan
salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada
pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan
kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal
ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit)
berkurang.

5) Perubahan pada Indera Penciuman


Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius
oleh zat kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada
penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau kehilangan
sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga
dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman
termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor
lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas
terhadap bau.

b. Perubahan pada Sistem Integumen


Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas
diatas tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan
permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan
venavena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya
sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang
terpajan sinar mata hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan
lengan bawah.Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan
terdapat penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang
lebih keriput.
Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit
dan penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea.
Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan
tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit.Massa lemak bebas
berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per
dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade.
c. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia,
perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa
hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga,
mikroarsitektur berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan
maupun spontan.

d. Perubahan pada Sistem Skeletal


Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh
mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi
pada sistem skeletal akibat proses menua :
1) Penurunan tinggi badan secara progresif
Hal ini disebabkan penyempitan diskus intervertebral dan
penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah
postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel chest.

2) Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular


Yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban
geralkan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan terjadinya risiko fraktur.

e. Perubahan pada Sistem Muskular


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
muskular akibat proses menua:
1) Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.
Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi,
pergerakan yang kurang aktif.
2) Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan
sendi, penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan
degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
fleksi.

f. Perubahan pada Sendi


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat
proses menua:
1) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal
ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas endi da
deformitas.
2) Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko cedera.

g. Perubahan pada Sistem Neurologis


Berat otak menurun 10 20 %. Berat otak 350 gram pada saat
kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20
tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini
kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang
rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million
sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat.Pada penuaan otak kehilangan 100.000
neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan
kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak
menurun 10%) antar usia 30-70 tahun.
Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit dineuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi
fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin
(pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan
berasal dari lisosom atau mitokondria.
h. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural
maupun fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering
terjadi ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan
penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi.Jumlah detak jantung saat
istirahat pada orang tua yang sehat tidakada perubahan, namun detak
jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada
dewasa muda, kecepatan jantung di bawah tekanan yaitu, 180-200
x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun menjadi 140-160
x/menit.

i. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara
signifikan terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh
lingkungan merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai
keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit-terkait. Secara singkat, beberapa perubahan dapat
diidentifikasi pada otot jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia
atau penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi basofilik,
akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan
peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran
jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.

j. Perubahan pada Sistem Pulmonal


Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding
dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20%
pada usia 60 tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2
liter/dekade.
k. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar
gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini
adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi
hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah
tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan apatheic
thyrotoxicosis.Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
sistem endokrin akibat proses menua:
1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
Glukosa darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.
2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal
ini adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap
normal.
3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal
ini adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit
menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal
ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

l. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal,
bladder, uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi
terlait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam
mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan
akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.

m. Perubahan pada Sistem Renal


Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1
juta nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron
terjadi sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan
kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring
darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan
akhirnya mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik
sistem renal.

n. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal


Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia
berkaitan dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi
perubahan morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada
rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.

o. Perubahan pada Sistem Reproduksi


1) Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
reproduksi pria akibat proses menua:
Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur.
Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia
noduler benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.
2) Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
reproduksi wanita akibat proses menua:
Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah
atrofi jaringan payudara dan genital.
Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini
adalah penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan
fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis

p. Perubahan pada Mental.


Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental : Perubahan
fisik, khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan ,
keturunan (Hereditas), lingkungan.
1) Kenangan (Memory).
Kenangan jangka panjang: Berjam-jam sampai berhari-hari yang
lalu mencakup beberapa perubahan.
Kenangan jangka pendek atau seketika: 0-10 menit, kenangan
buruk.
2) IQ (Inteligentia Quantion).
Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.
Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor, terjadi
perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor
waktu.

3. Diagnosis Banding
a. HIPERTENSI
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan
spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk
punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5 menit sampai
30 menit setelah merokok atau minum kopi (Kaplan, 2006). Kriteria
hipertensi menurut JNC VII (2007) :

KLASIFIKASI TEKANAN DARAH TEKANAN DARAH


TEKANAN DARAH SISTOL (mmHg) DIASTOL (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 160 atau >160 100 atau >100

Hipertensi didiagnosis berdasarkan peningkatan tekanan darah sistolik dan


diastolik. Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada pada
kategori yang berbeda, maka dipilih kategori yang lebih tinggi untuk
mengklasifikasikan tekanan darah individu. Menurut Kaplan (2006)
hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Hipertensi Primer (essensial)
Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55
tahun, sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan.
Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor
yang terlibat dalam patogenesis hipertensi essensial antara lain faktor
genetik, hipertaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,
defek natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi
alkohol secara berlebihan
b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi
sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa
disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan hipertensi
pertama kali pada usia di atas 50 tahun atau yang sebelumnya diterapi
tapi mengalami refrakter terhadap terapi yang diberikan mungkin
mengalami hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder antara
lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler ginjal,
hiperaldosteronisme primer dan sindroma chusing, feokromsitoma,
koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obat-obatan.

b. DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin.
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak
normal, suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan
ditandai dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan
makrovaskuler. Secara umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk
mencoba menemukan diagnosis atau penyembuhan.
Pada beberapa populasi tetapi bukan semuanya, defenisi diabetes oleh
distribusi glukosa adalah pendistribusian glukosa ke seluruh jaringan
dimana berbeda distribusi glukosa pada setiap individual dengan atau
tanpa diabetes. Selain itu distribusi glukosa juga dapat menjadi parameter
untuk penyakit diabetes atau dengan kata lain, nilai defenisi diagnosis
untuk diabetes didasarkan pada nilai distribusi glukosa pada tingkat
populasi bukan sering atau tidaknya berolahraga. Besarnya komplikasi
mikrovaskuler pada retina dan ginjal spesifik menuju ke diabetes. Selain
itu terjadinya komplikasi makrovaskuler dapat menyebabkan kematian
pada penderita diabetes. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai glukosa yang
tidak normal seharusnya ditemukan sebagai peningkatan cepat dari nilai
glukosa, yang mana diapresiasikan dengan peningkatan resiko penyakit
CVD (kardiovaskuler) (Mogensen, 2007).
Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering
kencing terutama malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di
samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari
tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks
menurun, dan luka sukar sembuh. Pasien dapat terkena komplikasi pada
mata (pandangan kabur) hingga buta atau komplikasi lain seperti kaki
busuk (gangren), komplikasi pada ginjal, jantung, dll (Waspadji, dkk,
2002). Beberapa faktor yang dapat menunjang timbulnya Diabetes mellitus
yaitu obesitas dan keturunan, sedangkan gejala yang dapat diamati adalah
polidipsia, poliuria, dan polipfagia. Gejala-gejala ini perlu mendapat
tanggapan di dalam penyusunan diet penderita Diabetes mellitus.
Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini
disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin berperan
sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui dua bentuk Diabetes
mellitus yaitu:
a) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-
pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak
maupun orang dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga
tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1.
Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu,
sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal
pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab
terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada
tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah.
b) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan
merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada
banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel , gangguan
sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada
hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta yang menekan
penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula
darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19
yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti
diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah
penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan
insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun
obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya
resistensi terhadap insulin. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari
pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.
Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang
terakhir telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja
dan anak-anak. Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum
hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara
perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan.

c. OSTEOARTHRITIS
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan
etiologi dan patogenesis yang belum jelas serta mengenai populasi luas.
Pada umumnya penderita OA berusia di atas 40 tahun dan populasi
bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik,
genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Poole, 2001). Osteoartritis
merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slo progressive, ditandai
adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta jaringan
sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi. Kelainan utama
pada OA adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan
penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen
dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan
membentuk efusi (Setiyohadi, 2003).
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu OA
primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut idiopatik,
disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga
mudah rusak. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma,
imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan
sebagainya (Altman, 2001).
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di
dalam tubuh manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang
yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari
gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai faktor
risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar
antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan
tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan
pemberi nutrisi. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat
kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara
keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler,
termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi
perubahan pada diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah
biomekanik dari tulang rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan
sifat kompresibilitasnya yang unik. Selain kondrosit, sinoviosit juga
berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi sinovitis, yang
menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang
mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases
(MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi
dan merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada
akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas
akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik. Agrekanase
merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam matriks
rawan sendi yang disebut agrekan (Price et al., 1995).
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama
bila sendi bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila
penderita beristirahat. Nyeri dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari
periostenum yang tidak terlindungi lagi, mikrofaktur subkondral, iritasi
ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit, spasme otot periartikular,
penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan intraoseus
dan sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai
sitokin. Selain nyeri dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak
digerakkan beberapa lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan
hilang setelah sendi digerakkan. Jika terjadi kekakuan pada pagi hari,
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit ( tidak lebih dari 30
menit) (Haq et al.,2003). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam
bergerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi
dan krepitasi. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan dengan
pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat kehilangan
rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri
pada pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan
spasme otot periartikular. Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada
udara dingin dan atau pada waktu hujan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan perubahan tekanan intra artikular sesuai dengan perubahan tekanan
atmosfir. Beberapa gejala spesifik yang dapat timbul antara lain adalah
keluhan instabilitas pada penderita OA lutut pada waktu naik turun tangga,
nyeri pada daerah lipat paha yang menjalar ke paha depan pada penderita
OA koksa atau gangguan menggunakan tangan pada penderita OA tangan
d. Demensia
Definisi menurut ICD-10, DSM IV, NINCDS-ARDA, demensia adalah suatu
sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan
deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Dalam pemahaman juga mundur seperti
hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan yang cepat, percakapan
yang kompleks atau abstrak, humor yang sarkastis atau sindiran. Dalam
kemampuan bahasa dan bicara terjadi kemunduran pula yaitu kehilangan ide apa
yang sedang dibicarakan, kehilangan kemampuan pemrosesan bahasa secara
cepat, kehilangan kemampuan penamaan (naming) dengan cepat. Dalam bidang
komunikasi sosial akan terjadi kehilangan kemampuan untuk tetap berbicara
dalam topik, mudah tersinggung, marah, pembicaraan bisa menjadi kasar dan
terkesan tidak sopan.
Demensia vaskuler adalah demensia yang disebabkan oleh infark pada pembuluh
darah kecil dan besar, misalnya multi-infarct dementia. Konsep terbaru
menyatakan bahwa demensia vaskuler juga sangat erat berhubungan dengan
berbagai mekanisme vaskuler dan perubahan-perubahan dalam otak, berbagai
faktor pada individu dan manifestasi klinis.
Berlainan dengan demensia Alzheimer, dimana setelah terdiagnosa penyakit akan
berjalan terus secara progresif sehingga dalam beberapa tahun (7-10 tahun) pasien
biasanya sudah mencapai taraf terminal dan meninggal, demensia vaskuler
mempunyai perjalanan yang fluktuatif, pasien bisa mengalami masa dimana gejala
relatif stabil, sampai terkena serangan perburukan vaskuler yang berikut. Karena
itu pada demensia vaskuler relatif masih ada kesempatan untuk mengadakan
intervensi yang bermakna, misalnya mengobati faktor risiko.
Kriteria untuk demensia adalah:
Kemunduran memori dengan ciri:
a) kehilangan orientasi waktu.
b) sekedar kehilangan memori jangka panjang dan pendek (tidak selalu tampak
jelas pada konversasi).
c) kehilangan informasi yang diperoleh.
d) tidak dapat mengingat daftar lima item atau nomor telpon.
Kemunduran pemahaman
Kemunduran kemampuan bicara dan bahasa
Kemunduran komunikasi social

4. Pemeriksaan Penunjang, Penatalaksanaan, dan Edukasi dari Diagnosis


Kasus
a. Osteoarthritis
1) Pemeriksaan Diagnostik Osteoarthritis
Pada pemeriksaan laboratorium darah tepi, imunologi dan cairan
sendi umumnya tidak ada kelainan, kecuali osteoarthritis yang disertai
peradangan.pada pemerikasaan radiologi didapatkan penyempitan
rongga sendi disertai sclerosis tepi persendian. Mungkin terjadi
deformitas, osteoarthritis atau pembentukan kista juksta artikular.
Kadang-kadang tampak gambaran taji(spur formation), liping pada
tepi-tepi tulang, dan adanya tulang-tulang yang lepas.
2) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan kronis ini dimulai dengan
menemukan aktifitas sehari-hari yang mungkin ikut berperan terhadap
tekanan pada sendi yang sakit, memberikan alat Bantu pada klien
untuk mengurangi beban berat sendi yang sakit, mengajarkan klien
untuk menggunakan alat Bantu ini, dan merencanakan
penatalaksanaan nyeri yang sesuai.
Obat obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas
untuk osteoartritis, oleh karena patogenesisnya yang belum jelas,
obat yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak mampuan. Obat-
obat anti inflamasinon steroid bekerja sebagai analgetik dan
sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki
atau menghentikan proses patologis osteoartritis.
Perlindungan sendi
Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena
mekanisme tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang
berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat
listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan.
Beban pada lutut berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang
gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis.
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya
keluhan dan peradangan.
Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh
karena sifatnya yang menahun dan ketidakmampuannya yang
ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin menyembunyikan
ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut
memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan
untuk memakai alat-alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.
Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan
osteoartritis, yang meliputi pemakaian panas dan dingin dan
program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang sedang
diberikan sebelum latihan untk mengurangi rasa nyeri dan
kekakuan. Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi dingin dan
obat-obat gosok jangan dipakai sebelum pamanasan. Berbagai
sumber panas dapat dipakai seperti Hidrokolator, bantalan elektrik,
ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran
panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi
dan memperkuat otot yang biasanya atropik pada sekitar sendi
osteoartritis. Latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena
mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang
yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena
berkurangnya beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh
karena otot-otot periartikular memegang peran penting terhadap
perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan otot-otot
tersebut adalah penting.
Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis
dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan
kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy
untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian,
debridement sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan
sendi, pebersihan osteofit.

b. Hipertensi
1) Tatalaksana Hipertensi Pada Lansia
Sasaran Tekanan Darah Pada Hipertensi Lanjut Usia
Penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah
ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI
dimana pengendalian tekanan darah (TDS< 160 mmHg sebagai
sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20
mmHg dari tekanan darah awal.
Modifikasi Pola Hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada
penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua
penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah.
Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :
o Menurunkan berat badan jika ada kegemukan
o Mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik
aerobic
o Mengurangi asupan garam
o Mempertahankan asupan kalium yang adekuat
o Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat
o Menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol.
Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi
nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.

Terapi Farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan
mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus
dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi.
Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan
kemudian ditingkatkan secara perlahan.
Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada
penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau beta-blocker.
Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis
kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama
dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya
penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit
jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun
demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti
penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan
gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin
convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan
terbaik.
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah
postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik
dosis tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi
kognitif (agonis 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.'
Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan
pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan
adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya.
Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi
misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol.
Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang
menyebabkan toksisitas adalah:
i. Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko
toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia
menurun
ii. Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole,
hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat bradikardia,
obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia,
menutupi tanda peringatan hipoglikemia.

c. Diabetes Melitus
Terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :
1) Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core
therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan
dan paling cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi
tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan
berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.
2) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies) Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena
masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini
adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-
1 agonis (exenatide).

Berikut adalah bentuk terapi baik nonfarmakologi dan farmakologi :


1) Non- Farmakologi: Modifikasi gaya hidup
Terapi diet
Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah
tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa
keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan
karena masalah transportasi/ mobilitas, tidak mampu menyiapkan
makanan (terutama pada lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam
mengikuti instruksi diet karena adanya gangguan fungsi kognitif,
berkurangnya pengecapan karena berkurangnya kepekaan dan
jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian konstipasi pada
lansia. Total kalori dan komposisi makanan juga harus
diperhitungkan.
Olahraga
Peran Olahraga pada Lansia:
i. Manfaat:
o Perbaikan toleransi glukosa
o Peningkatan kemampuan konsumsi oksigen maksimum
o Peningkatan kekuatan otot
o Penurunan tekanan darah
o Pengurangan lemak tubuh
o Perbaikan profil lipid
ii. Risiko:
o Hipoglikemia
o Cedera pada tulang-sendi pada kaki
o Sudden cardiac death
Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit
penyerta seperti osteoartritis, parkinson, gangguan penglihatan, dan
gangguan keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di
lingkungan yang memang dekat, dan jenis olah raga yang
dilakukan lebih bersifat isotonik daripada isometrik
Farmakologi:
Metformin
Metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini pertama untuk semua pasien
DM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kon-traindikasi terhadap
metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum
>133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124 mmol/L atau 1,4 mg/dL
pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal jantung kongestif, asidosis
metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna alkohol. Namun, karena
kreatinin serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang
sebenarnya pada usia sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak
dianjurkan pada lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem
kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian
hipoglikemia.
c. Sulfoniluerea
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang merupakan
kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan sebagai dalam kombinasi
dengan metformin jika gula darah target belum tercapai. Sulfonilurea jenis
apapun yang digunakan tunggal menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 1-
2%. Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi
insulin sel pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak ada perbedaan
dalam hal efektivitas dan keamanan penggunaan sulfonilurea
(klorpropramid, glibenklamid, dan glipizid), tetapi sulfoniliurea generasi
kedua dengan masa kerja singkat lebih dipilih untuk lansia dengan DM.
Sedangkan klorpropramid dipilih untuk tidak digunakan pada lansia karena
masa kerja yang panjang, efek antidiuretik, dan berhubungan dengan
hipoglikemia berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid
mempunyai risiko hipoglikemia yang paling rendah sehingga merupakan
obat terpilih untuk lansia.
Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia.
Oleh karena itu, pemberiannya harus dimulai dengan dosis yang rendah dan
ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai gula darah target, sembari
dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya efek samping.
d. Insulin
Insulin dapat diberikan bila target gula darah tidak tercapai dengan
modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin juga
diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan
hiperosmolar, ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai
pemberian insulin dibuat berdasarkan pertimbangan akan kemampuan
penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin, dan keutuhan fungsi kognitif.
Pada lansia yang bergantung pada orang lain untuk memberikan insulin,
maka gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis sekali
sehari, walaupun ini tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang
dicapai dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari.

5. Polifarmasi
Farmakologi obat yang diminum pasien
Pasien membeli meloxicam atau antalgin untuk mengurangi rasa nyeri.
Meloxicam dan antalgin termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non
steroid (AINS). AINS memiliki tiga efek yakni sebagai antiinflamasi,
analgetik, dan antipiretik. Meloxicam sendiri biasa digunakan sebagai
antiinflamasi dan analgetik untuk penyakit muskuloskeletal, sedang antalgin
biasa digunakan sebagai analgetik. Meloxicam cenderung menghambat
COX 2 lebih dari COX 1, tetapi penghambatan COX 1 pada dosis terapi
tetap nyata.

Pasien juga diberikan terapi furosemid. Furosemid merupakan obat


golongan diuretic kuat. Diuretik kuat bekerja pada ansa henle tebal pada
ginjal. Cara kerjanya dengan penghambatan terhadap kotranspor
Na+/K+/Cl-. Furosemid merupakan obat standar gagal jantung yang disertai
edema. Diuretik kuat juga merupakan obat yang efektif untuk mengatasi
edema akibat gagal ginjal, selain itu diuretik kuat juga memiliki efek
hipotensi
Mencegah polifarmasi:
1. Rejimen pengobatan: jangan terlalu lama, perhatikan efek jangka panjang
obat, jumlah/jenis obat dibuat seminimal mungkin (pengobatan jgn hanya
berdasar simptom, berikan atas dasar diagnosis pasti), frekuensi usahakan
sesedikit mungkin tp tercapai hasil yg diharapkan
2. Pengurangan dosis: dosis awal obat pada lansia 1/3-1/2 dosis dewasa
muda
3. Tinjau ulang pengobatan: kalo ketika datang sudah pernah/ sedang
minum obat, cek lagi apakah masih perlu diminum atau tdk
4. Kepatuhan penderita: beri penjelasan ke penderita kalo harus rutim sesuai
jadwal minum, pilih preparat yg lebih disukai (misal kalo captopril minum
3x sehari, beri lisinopril/amlodipin yg cukup minum 1x sehari, beri juga
obat yg ES nya tdk mengganggu kenyamanan pasien), kalo bisa pengawasan
minum obat
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Altman R.D (1991). Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology: 27 (suppl) : 10 12.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 5. 2009. InternaPublishing: Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993). Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, pp: 49-67.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp 9-43.
Haq I., Murphy E., Dacre J (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 :
377 383.
Hardywinoto (1999). Panduan gerontologi tinjauan dari berbagai aspek : menjaga
keseimbangan kualitas hidup para lansia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Kaplan N.M. (2006).Primary Hypertension: Pathogenesis,Mechanism.Of
Hypertension with Obesity in: Kaplans Clinical Hypertension edisi ke-9.
Philadelphia, USA: Lippincott W
Maramis WF (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya:
Airlangga University Press. p: 193
Martono H, Nasution I (2010). Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut.
Dalam: Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri
edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, pp: 779-789.
Mogensen, C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New
York: Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho,Wahjudi (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC, pp: 54-65.
Price Sylvia A., Wilson Lorraine M (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses
Penyakit. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 -
1222.
Poole A.R. Cartilage in Health and Disease. In : Arthritis and Allied Conditions.
Text Book of Rheumatology. Edisi ke 4. Editor : Koopman W.J. Lippincot
Williams & Wilkins (2001). Philadelphia, pp: 226 284.
Setiyohadi Bambang (2003). Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta.
Tjokroprawiro H.A, (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi.
Surabaya: Airlangga University Press. pp: 27, 51
Tombon DA (2003). Buku saku psikiatri (psychiatry). Alih Bahasa : Martina W.
Ed: Tiara M. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai