KELOMPOK 13
Akhlis Mufid Auliya G0014016
Amalina Yasserli Amraini G0014024
Banatidika Ikrarida Dzakiyyah G0014054
Dinnar Pridea Rizky G0014074
Firdaus Mauliaditya W. A G0014102
Gustafat Abdur Rahman G0014110
Lastry Wardani G0014136
Mochammad Rizal Hermawan P G0014158
Nadira Rachmianti Hartanto G0014174
Rindu Permata Putri G0014200
Sola Sacra Providentia G0014224
Tuti Ratnasari G0014232
TUTOR:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
Diriku yang Tidak Berdaya
1. Teori-teori Penuaan
a. Teori Genetic Clock
Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya suatu jam
genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jma ini akan
menghitung mitosis dan mengehntikan replikasi sel bila tidak dipuat, jadi
bila jam itu menghentikan replikasi sel maka kita akan meninggal dunia,
meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang
katastrofal.
i. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara
signifikan terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh
lingkungan merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai
keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit-terkait. Secara singkat, beberapa perubahan dapat
diidentifikasi pada otot jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia
atau penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi basofilik,
akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan
peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran
jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.
3. Diagnosis Banding
a. HIPERTENSI
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan
spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk
punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5 menit sampai
30 menit setelah merokok atau minum kopi (Kaplan, 2006). Kriteria
hipertensi menurut JNC VII (2007) :
b. DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin.
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak
normal, suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan
ditandai dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan
makrovaskuler. Secara umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk
mencoba menemukan diagnosis atau penyembuhan.
Pada beberapa populasi tetapi bukan semuanya, defenisi diabetes oleh
distribusi glukosa adalah pendistribusian glukosa ke seluruh jaringan
dimana berbeda distribusi glukosa pada setiap individual dengan atau
tanpa diabetes. Selain itu distribusi glukosa juga dapat menjadi parameter
untuk penyakit diabetes atau dengan kata lain, nilai defenisi diagnosis
untuk diabetes didasarkan pada nilai distribusi glukosa pada tingkat
populasi bukan sering atau tidaknya berolahraga. Besarnya komplikasi
mikrovaskuler pada retina dan ginjal spesifik menuju ke diabetes. Selain
itu terjadinya komplikasi makrovaskuler dapat menyebabkan kematian
pada penderita diabetes. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai glukosa yang
tidak normal seharusnya ditemukan sebagai peningkatan cepat dari nilai
glukosa, yang mana diapresiasikan dengan peningkatan resiko penyakit
CVD (kardiovaskuler) (Mogensen, 2007).
Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering
kencing terutama malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di
samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari
tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks
menurun, dan luka sukar sembuh. Pasien dapat terkena komplikasi pada
mata (pandangan kabur) hingga buta atau komplikasi lain seperti kaki
busuk (gangren), komplikasi pada ginjal, jantung, dll (Waspadji, dkk,
2002). Beberapa faktor yang dapat menunjang timbulnya Diabetes mellitus
yaitu obesitas dan keturunan, sedangkan gejala yang dapat diamati adalah
polidipsia, poliuria, dan polipfagia. Gejala-gejala ini perlu mendapat
tanggapan di dalam penyusunan diet penderita Diabetes mellitus.
Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini
disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin berperan
sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui dua bentuk Diabetes
mellitus yaitu:
a) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-
pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak
maupun orang dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga
tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1.
Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu,
sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal
pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab
terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada
tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah.
b) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan
merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada
banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel , gangguan
sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada
hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta yang menekan
penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula
darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19
yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti
diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah
penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan
insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun
obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya
resistensi terhadap insulin. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari
pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.
Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang
terakhir telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja
dan anak-anak. Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum
hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara
perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan.
c. OSTEOARTHRITIS
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan
etiologi dan patogenesis yang belum jelas serta mengenai populasi luas.
Pada umumnya penderita OA berusia di atas 40 tahun dan populasi
bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik,
genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Poole, 2001). Osteoartritis
merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slo progressive, ditandai
adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta jaringan
sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi. Kelainan utama
pada OA adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan
penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen
dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan
membentuk efusi (Setiyohadi, 2003).
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu OA
primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut idiopatik,
disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga
mudah rusak. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma,
imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan
sebagainya (Altman, 2001).
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di
dalam tubuh manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang
yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari
gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai faktor
risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar
antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan
tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan
pemberi nutrisi. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat
kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara
keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler,
termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi
perubahan pada diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah
biomekanik dari tulang rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan
sifat kompresibilitasnya yang unik. Selain kondrosit, sinoviosit juga
berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi sinovitis, yang
menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang
mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases
(MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi
dan merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada
akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas
akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik. Agrekanase
merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam matriks
rawan sendi yang disebut agrekan (Price et al., 1995).
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama
bila sendi bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila
penderita beristirahat. Nyeri dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari
periostenum yang tidak terlindungi lagi, mikrofaktur subkondral, iritasi
ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit, spasme otot periartikular,
penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan intraoseus
dan sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai
sitokin. Selain nyeri dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak
digerakkan beberapa lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan
hilang setelah sendi digerakkan. Jika terjadi kekakuan pada pagi hari,
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit ( tidak lebih dari 30
menit) (Haq et al.,2003). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam
bergerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi
dan krepitasi. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan dengan
pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat kehilangan
rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri
pada pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan
spasme otot periartikular. Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada
udara dingin dan atau pada waktu hujan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan perubahan tekanan intra artikular sesuai dengan perubahan tekanan
atmosfir. Beberapa gejala spesifik yang dapat timbul antara lain adalah
keluhan instabilitas pada penderita OA lutut pada waktu naik turun tangga,
nyeri pada daerah lipat paha yang menjalar ke paha depan pada penderita
OA koksa atau gangguan menggunakan tangan pada penderita OA tangan
d. Demensia
Definisi menurut ICD-10, DSM IV, NINCDS-ARDA, demensia adalah suatu
sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan
deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Dalam pemahaman juga mundur seperti
hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan yang cepat, percakapan
yang kompleks atau abstrak, humor yang sarkastis atau sindiran. Dalam
kemampuan bahasa dan bicara terjadi kemunduran pula yaitu kehilangan ide apa
yang sedang dibicarakan, kehilangan kemampuan pemrosesan bahasa secara
cepat, kehilangan kemampuan penamaan (naming) dengan cepat. Dalam bidang
komunikasi sosial akan terjadi kehilangan kemampuan untuk tetap berbicara
dalam topik, mudah tersinggung, marah, pembicaraan bisa menjadi kasar dan
terkesan tidak sopan.
Demensia vaskuler adalah demensia yang disebabkan oleh infark pada pembuluh
darah kecil dan besar, misalnya multi-infarct dementia. Konsep terbaru
menyatakan bahwa demensia vaskuler juga sangat erat berhubungan dengan
berbagai mekanisme vaskuler dan perubahan-perubahan dalam otak, berbagai
faktor pada individu dan manifestasi klinis.
Berlainan dengan demensia Alzheimer, dimana setelah terdiagnosa penyakit akan
berjalan terus secara progresif sehingga dalam beberapa tahun (7-10 tahun) pasien
biasanya sudah mencapai taraf terminal dan meninggal, demensia vaskuler
mempunyai perjalanan yang fluktuatif, pasien bisa mengalami masa dimana gejala
relatif stabil, sampai terkena serangan perburukan vaskuler yang berikut. Karena
itu pada demensia vaskuler relatif masih ada kesempatan untuk mengadakan
intervensi yang bermakna, misalnya mengobati faktor risiko.
Kriteria untuk demensia adalah:
Kemunduran memori dengan ciri:
a) kehilangan orientasi waktu.
b) sekedar kehilangan memori jangka panjang dan pendek (tidak selalu tampak
jelas pada konversasi).
c) kehilangan informasi yang diperoleh.
d) tidak dapat mengingat daftar lima item atau nomor telpon.
Kemunduran pemahaman
Kemunduran kemampuan bicara dan bahasa
Kemunduran komunikasi social
b. Hipertensi
1) Tatalaksana Hipertensi Pada Lansia
Sasaran Tekanan Darah Pada Hipertensi Lanjut Usia
Penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah
ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI
dimana pengendalian tekanan darah (TDS< 160 mmHg sebagai
sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20
mmHg dari tekanan darah awal.
Modifikasi Pola Hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada
penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua
penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah.
Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :
o Menurunkan berat badan jika ada kegemukan
o Mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik
aerobic
o Mengurangi asupan garam
o Mempertahankan asupan kalium yang adekuat
o Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat
o Menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol.
Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi
nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
Terapi Farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan
mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus
dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi.
Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan
kemudian ditingkatkan secara perlahan.
Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada
penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau beta-blocker.
Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis
kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama
dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya
penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit
jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun
demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti
penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan
gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin
convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan
terbaik.
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah
postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik
dosis tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi
kognitif (agonis 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.'
Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan
pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan
adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya.
Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi
misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol.
Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang
menyebabkan toksisitas adalah:
i. Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko
toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia
menurun
ii. Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole,
hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat bradikardia,
obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia,
menutupi tanda peringatan hipoglikemia.
c. Diabetes Melitus
Terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :
1) Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core
therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan
dan paling cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi
tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan
berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.
2) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies) Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena
masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini
adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-
1 agonis (exenatide).
5. Polifarmasi
Farmakologi obat yang diminum pasien
Pasien membeli meloxicam atau antalgin untuk mengurangi rasa nyeri.
Meloxicam dan antalgin termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non
steroid (AINS). AINS memiliki tiga efek yakni sebagai antiinflamasi,
analgetik, dan antipiretik. Meloxicam sendiri biasa digunakan sebagai
antiinflamasi dan analgetik untuk penyakit muskuloskeletal, sedang antalgin
biasa digunakan sebagai analgetik. Meloxicam cenderung menghambat
COX 2 lebih dari COX 1, tetapi penghambatan COX 1 pada dosis terapi
tetap nyata.
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Altman R.D (1991). Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology: 27 (suppl) : 10 12.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 5. 2009. InternaPublishing: Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993). Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, pp: 49-67.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp 9-43.
Haq I., Murphy E., Dacre J (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 :
377 383.
Hardywinoto (1999). Panduan gerontologi tinjauan dari berbagai aspek : menjaga
keseimbangan kualitas hidup para lansia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Kaplan N.M. (2006).Primary Hypertension: Pathogenesis,Mechanism.Of
Hypertension with Obesity in: Kaplans Clinical Hypertension edisi ke-9.
Philadelphia, USA: Lippincott W
Maramis WF (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya:
Airlangga University Press. p: 193
Martono H, Nasution I (2010). Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut.
Dalam: Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri
edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, pp: 779-789.
Mogensen, C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New
York: Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho,Wahjudi (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC, pp: 54-65.
Price Sylvia A., Wilson Lorraine M (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses
Penyakit. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 -
1222.
Poole A.R. Cartilage in Health and Disease. In : Arthritis and Allied Conditions.
Text Book of Rheumatology. Edisi ke 4. Editor : Koopman W.J. Lippincot
Williams & Wilkins (2001). Philadelphia, pp: 226 284.
Setiyohadi Bambang (2003). Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta.
Tjokroprawiro H.A, (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi.
Surabaya: Airlangga University Press. pp: 27, 51
Tombon DA (2003). Buku saku psikiatri (psychiatry). Alih Bahasa : Martina W.
Ed: Tiara M. Jakarta: EGC.