Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI

SKENARIO 1

KELOMPOK B6
ABDURRAHMAN AZZAM G0014002
DWICKY RIEZKHI P. G0014078
LINTANG DARU JATI G0014138
RAMDAN MUHAMAD G0014194
ANDINI HERVIASTUTI S. G0014030
CLARA ANGELICA ROTORO G0014060
ENDAH AUGINA BUDIARTI G0014084
HASTIKA DWI O G0014114
MAUDY PUTRI SARASWATI G0014152
OXDRI POESPITA NINGRUM G0014182
ROSIDA DIN ANJAINI A. G0014208
YOSEFINA SONIA C. K. G0014244
B BRYNT SIMAMORA G0013054
YUSUF RIYADI G0012

Tutor:
Dra. Suci Murti Kartini, M.Si

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jatuh adalah kejadian mendadak yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring atau terduduk di lantai/tanah atau tempat lebih rendah tanpa disadari.
Berdasarkan survei di masyarakat AS, sekitar 30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh
setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Kematian akibat
jatuh sangat sulit untuk diidentifikasi karena sering tidak disadari oleh keluarga.
Komplikasi yang sering dialami adalah 1% fraktur kolum femoris, 5% fraktur tulang iga,
perlukaan jaringan lunak, subdural hematom, hemarthroses, memar, dan keseleo otot.
Berikut skenarionya :
Diriku yang Tidak Berdaya
Kakek Taruno, seorang pensiunan tentara, yang masih bugar di usianya
yang 65 tahun sering mengeluh nyeri di persendian lutut terutama saat
beraktivitas. Selain itu juga mengeluh sering kesemutan dan rasa baal di kedua
kakinya. Suatu hari saat pergi ke kamar mandi tiba-tiba merasa leher cengeng,
berkunang-kunang, dan jatuh.
Esok harinya beliau kesakitan, dan tidak dapat berjalan, lutut tampak
bengkak, kemerahan, bahkan sulit untuk digerakkan dan minta dibawa ke UGD.
Kepada dokter UGD beliau menceritakan dalam 3 bulan ini, sudah jatuh 3 kali,
sering pusing berputar, mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.
Riwayat pengobatan sebelumnya beliau berobat di puskesmas dan diberi
obat furosemide 1 tablet secara rutin, kadang-kadang mengkonsumsi juga
antalgin atau meloxicam yang dibeli di toko obat untuk meredam nyeri sendi yang
sering kambuh.
Dari pemeriksaan dokter tekanan darah 180/100 mmHg. Hasil
pemeriksaan laboratorium UGD didapatkan GDS 250 mg/dl, Hb 10.5 gr %, tidak
ditemukan proteinuria. EKG dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi
region genu didapatkan soft tissue swelling, celah artikulatio genu menyempit
dengan deformitas dan diskontinuitas tulang femur 1/3 distal dekstra.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

A. Jump 1 : Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


skenario
1. Meloxicam adalah obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang bersifat analgesik,
antipiretik dan anti inflamasi yang bekerja dengan menghambat COX2. Tersedia
dalam sediaan 7,5 mg dan 15 mg.
2. Furosemid adalah obat anti hipertensi yang bersifat diuretik kuat, 1-0-0 berarti
diminum setiap pagi 1 tablet sekali sehari.
3. Antalgin adalah obat golangan metasulfat dan amidofirina yang bekerja mengurangi
rasa nyeri dan mempenruhi pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja di SSP serta
memiliki efek antipiretik, analgetik, dan AINS.
4. Cengeng bisa diartikan sebagai kaku pada leher.
5. Diskontinuitas tulang femur adalah fraktur tulang femur, dapat berupa retakan sampai
patahan komplit dan terjadi pergeseran tulang.
6. Proteinuria adalah terdapatnya kandungan protein dalam urin.
7. Soft tissue swelling adalah pembengkakan jaringan lunak.

B. Jump 2 : Menentukan/mendefinisikan permasalahan


1. Mengapa pasien mengalami di bawah ini?
a. Nyeri di persendian lutut f. Jatuh
b. Kesemutan g. Pusing berputar
c. Rasa baal h. Mata kabur
d. Mata berkunang-kunang i. Pendengaran berkurang
e. Leher kaku j. Sering lupa
2. Bagaimana interpretasi hasil vital sign, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan radiologi?
3. Mengapa pasien diberi furosemid?
4. Bagaimana karakteristik penyakit pada geriatri?
5. Bagaimana perubahan fisiologi yang terjadi pada geriatri?
6. Bagaimana hubungan riwayat pengobatan sebelumnya dan polifarmasi dengan
keluhan pasien?
7. Bagaimana indikasi, kontra indikasi, dan efek samping obat yang telah dikonsumsi
pasien?
8. Bagaimana hubungan hasil vital sign, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan radiologi dengan keluhan pasien?
9. Bagaimana pengertian lansia?
10. Apakah pengobatan yang sudah dijalani pasien sudah tepat?
11. Bagaimana DD, komplikasi, dan tata laksana kasus pasien?

C. Jump 3 : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara


mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
1. Mengapa pasien mengalami keluhan seperti di skenario?
Beberapa perubahan yang terjadi pada geriatric di semua system organ :
a. Hubungan antara pengobatan pasien dengan gejala yang dialami
Pada kasus disebutkan bahwa pasien dalam pengobatan furosemide, antalgin,
dan meloxicam. Salah satu obat yang dapat menyebabkan keluhan yang dialami
pasien adalah furosemide. Furosemide termasuk golongan diuretik kuat/loop
diuretic yang salah satu sifatnya adalah ototoksik/mengganggu fungsi
pendengaran. Efek samping furosemide pada telinga adalah mengubah konsentrasi
ion pada endolimfe dan paralimfe sehingga dapat menyebabkan vertigo/pusing
berputar. Selain itu juga dapat menyebabkan tuli sensorineural yang reversibel dan
dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia) sehingga dapat
menyebabkan gout yang menyebabkan nyeri pada persendian. (Katzung, Masters
dan Trevor, 2012)
b. Alasan pasien tiba-tiba merasa leher cengeng dan mata berkunang-kunang
Leher cengeng disebabkan karena adanya Atrofi serabut otot (otot-otot
serabut mengecil). Otot-otot serabut mengecil sehingga seseorang bergerak
menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi tremor.
Hipertensi menimbulkan gangguan fisik yang terlihat dari gejala fisik yang
sering ditemui, seperti sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa
berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer,
2000). Salah satu penyebab hipertensi adalah stres, yang dapat memicu kambuhnya
hipertensi. Stres menyebakan gangguan pada kesehatan mental lansia (Meiner,
2011).
Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi
perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan
pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai
umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh
darah besar dan mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas
pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer.
Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme
refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan
darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas
baroreseptor jugamenyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan
hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik yang menyebabkan
pandangan berkunang-kunang, kehilangan keseimbangan, dan jatuh.
c. Alasan pasien dalam 3 bulan sudah jatuh beberapa kali, merasa pusing
berputar, mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa
1) Sering jatuh
Untuk dapat memahami faktor resiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa
stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh :
a) Sistem sensorik
Yang berperan di dalamnya adalah : visus (penglihatan), pendengaran,
fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada
mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga
akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi
pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vertibuler akibat
proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degenaritf leher akan
mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut
menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik.
b) Sistem saraf pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan
normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan gungsi SSP
sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik.
c) Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan
meningkatnya resiko jatuh.
d) Musculoskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa oleh beberapa peneliti merupakan
faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap
terjadinya jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya
berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh :
i. Kekakuan jaringan penghubung Berkurangnya masa otot
ii. Perlambatan massa otot
iii. Perlambatan konduksi saraf
iv. Penurunan visus / lapangan pandang
v. Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan :
i. Penurunan range of motio (ROM) sendi
ii. Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremias
bawah
iii. Perpanjangan waktu reaksi
iv. Kerusakan persepsi dalam
v. Peningkatan postural sway (goyangan badan)
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah
pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang gouah. Perlambatan
reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga
memudahkan jatuh.
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua
golongan besar, yaitu :
i. Faktor-faktor intrinik (faktor dari dalam)
i) Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
ii) Penurunan visus dan pendengaran
iii) Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan refleks postural
karena proses menua
Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan
berbagai penyakit seperti Stroke dan TIA yang mengakibatkan
kelemahan tubuh sesisi , Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat
gerak, maupun Depresi yang menyebabkan lansia tidak terlalu perhatian
saat berjalan . Gangguan penglihatan pun seperti misalnya katarak
meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler
akan menyebabkan syncope, syncope lah yang sering menyebabkan
jatuh pada lansia.Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Dehidrasi
bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau
penggunaan diuretik yang berlebihan.
ii. Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar)
i) Obat – obatan yang diminum
ii) Alat – alat bantu berjalan
iii) Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)
Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau
tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang
rendah dan tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah
dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun, karpet yang tidak dilem
dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda
alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin atau basah,
penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu jalan
yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.
Faktor – faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan
kecelakaan pada lansia:
- Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah.
- Tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok.
- Tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang.
- Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun.
- Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah
tergeser.
- Lantai yang licin atau basah.
- Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan).
- Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara
penggunaannya.
Faktor – faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh antara
lain :
i. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya
sedikit sekali ( 5% ), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering
terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin
disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil ( jarang bergerak ) ketika tiba
– tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa
pertolongan.
ii. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di
tangga, dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding
saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda
perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tak rata, penerangan
ruang yang kurang
iii. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut
dari penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh,
misalnya sesak nafas akut pada penderita penyakit paru obstruktif
menahun, nyeri dada tiba – tiba pada penderita penyakit jantung
iskenmik, dan lain – lain.
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
faktor, antara lain:
i. Kecelakaan :
Merupakan penyebab jatuh yang utama (30 – 50% kasus jatuh
lansia).
i) Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung.
ii) Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan
akibat proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda-
benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh.
ii. Nyeri kepala dan atau vertigo
iii. Hipotensi orthostatic
i) hipovilemia / curah jantung rendah
ii) disfungsi otonom
iii) penurunan kembalinya darah vena ke jantung
iv) terlalu lama berbaring
v) pengaruh obat-obat hipotensi
vi) hipotensi sesudah makan.
iv. Obat-obatan
i) Diuretik / antihipertensi
ii) Antidepresen trisiklik
iii) Sedativa
iv) Antipsikotik
v) Obat-obat hipoglikemia
vi) Alkohol
v. Proses Penyakit Yang Spesifik
Penyakit – penyakit akut seperti :
i) Kardiovaskuler :
- aritmia
- Stenosis aorta
- Sinkope sinus carotis
ii) Neurologi :
- TIA
- Stroke
- Serangan kejang
- Parkinson
- Kompresi saraf spinal karena spondilosis
- Penyakit serebelum
vi. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
vii. Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba.
i) Drop attack (serangan roboh)
ii) Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba.
iii) Terbakar matahari.
2) Pusing berputar
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat
Seiring dengan bertambahnya usia, struktur di dalam telinga mulai
berubah dan terjadi penurunan fungsi. Kemampuan seseorang untuk mendengar
akan berkurang, selain itu juga terdapat gangguan dalam menjaga
keseimbangan baik ketika duduk, berdiri, dan berjalan. Gangguan pendengaran
yang terkait dengan umur yaitu presbikusis.
3) Mata kabur
Ada beberapa hal yang membuat mata kabur pada pasien geriatri, yaitu
penurunan akomodasi, penurunan konstriksi pupil, dan proses penuaan.
Pada proses penuaan, terjadi awitan presbiopi dengan kehilangan
kemampuan akomodasi karena mengendurnya dan melemahnya otot siliaris
pupil, lensa kristalin mengalami sclerosis sehingga kehilangan elastisitasnya.
Hal tersebut membuat mata tidak bisa memfokuskan penglihatan jarak dekat,
implikasinya sulit membacah uruf yang kecil dan membaca dengan jarak yang
dekat.
Selain itu, juga terjadi penurunan ukuran pupil atau pupil mengalami
miosis karena otot sfingter pupil mengalami sclerosis sehingga mengakkibatkan
kesempitan lapang pandang. Proses penuaan juga mnyebabkan lemak akan
berkamulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran putih kekuningan
antara iris dengan skelara, hal inilah yang membuat mata pada geriatric akan
kabur dan sukar fokus serta sensitifitas terhadap cahaya meningkat.
4) Pendengaran berkurang
Kemampuan mendengar telinga akan menurun, terutama pada frekuensi
tinggi. Salah satu faktor yang memengaruhi keadaan ini adalah hormon
aldosteron. Pada lansia penderita presbikusis didapatkan memiliki level
aldosteron yang rendah. Aldosteron memiliki efek untuk mengontrol transport
ion kalium(K+) dan klor(Cl-) di koklea melalui kanal ion Na+-K+-ATPase yang
berfungsi untuk menjaga fungsi pendengaran. Selain presbikusis gangguan
pendengaran yang sering muncul pada usia lansia yaitu tinnitus. Penumpukan
kotoran telinga yang terlalu lama juga dapat menimbulkan gangguan
pendengaran seiring dengan bertambahnya usia (Dugdale, 2012).
5) Sering lupa
Penelitian neuroanatomi otak klasik menunjukkan adanya atrofi dengan
pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran
mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah
plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada
korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf.
Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen
sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal
lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas
ditemukan pada penyakit Alzheimer.fenomena tersebut juga ditemukan pada
otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron
biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus
sereleus.
d. Alasan pasien mengalami lutut bengkak kemerahan, kesakitan, dan tidak bisa
berjalan
Munculnya gejala-gejala tersebut kemungkinan besar disebabkan karena
pasien terjatuh pada hari sebelumnya. Ketika jatuh dan lutut pasien terbentur dapat
terjadi inflamasi pada struktur-struktur pada lutut/patella; tulang, sendi, atau
jaringan lunak. Ketika terjadi trauma berupa benturan/tekanan yang terus menerus
pada struktur yang bersangkutan, reaksi inflamasi dapat terbentuk karena tubuh
merasakan adanya stressor yang memicu reaksi ini. Pada pasien dapat terjadi
inflamasi pada bantalan yang memikul persendian pada lutut yaitu bursae. Ketika
terjadi inflamasi (bursitis) akan didapatkan edema, kemerahan, namun jarang
disertai keterbatasan gerak. Selain itu dapat pula terjadi ruptur pada ligamen-
ligamen pada lutut. Inflamasi pada pasien juga dapat disebabkan karena benturan
pada persendian dan struktur tulang sehingga menyebabkan osteoartrhritis atau
memperberat keluhan pasien yang sejak dulu mengalami nyeri sendi. (Levy, 2016;
Lozada, 2015)

2. Bagaimana karakteristik penyakit pada geriatri?


Pasien geriatri adalah orang tua berusia 60 tahun ke atas yang memiliki
penyakit majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan
atau kondisi sosial yang bermasalah. Pasien geriatri memiliki karakteristik khusus,
yaitu umumnya telah terjadi berbagai penyakit kronis, fungsi organ yang menurun,
dan penurunan status fungsional (disabilities). Akibatnya, pasien geriatri sering
mendapatkan banyak obat dari banyak dokter. Hal ini justru membahayakan tubuh
mereka karena fungsi-fungsi organ yang sudah menurun. Berbeda dari pasien muda,
stres fisis atau psikososial yang relatif ringan dapat memicu timbulnya penyakit akut
pada pasien geriatri. Oleh karena itu, kualitas perawatan yang baik sangat diperlukan
dalam pengelolaan pasien.

3. Bagaimana pengertian lansia?


Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat
kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly)
ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old)
ialah di atas 90 tahun.
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum,
seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia
bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual. Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut
usia (lansia) dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan
batas minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih menganggap
dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak memiliki
banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua dengan
cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Setiap lansia
adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda
antara satu lansia dengan lansia lainnya
D. Jump 4 : Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan
pada langkah 3

LANSIA
Faktor ekstrinsik :
Faktor intrinsik : Perubahan anatomi, Lingkungan,
Genetik fisiologi, dan biologi tubuh pekerjaan, obat, sosial
ekonomi, dan lain-lain.

Pria Geriatri Keluhan Utama:


Usia 65 tahun Leher cengeng, berkunang-
kunang, dan jatuh

Keluhan Lain:
Nyeri di persendian lutut, kesemutan,
rasa baal, pusing berputar, mata kabur,
pendengaran berkurang, dan sering lupa.

Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 190/100 mmHg

Pemeriksaan penunjang:
a) Gula darah sewaktu = 200 mg/dL, b) Hb = 10,5 gr%, c) Pemeriksaan
urine = tidak proteinuria, d) EKG normal, dan e) Radiologi = region
genu di dapatkan soft tissue swelling, celah artikulatio genu menuempit
dengan deformitas dan diskontinuitas tulang femur 1/3 distal dekstra

Diagnosis Banding:
OA, DM, Hipertensi

Tatalaksana :
Farmakologi dan Non Farmakologi

Prognosis dan Komplikasi

E. Jump 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran


1. Mahasiswa mengetahui definisi geriatri.
2. Mahasiswa mengetahui karakteristik penyakit geriatri.
3. Mahasiswa mengetahui perubahan fisiologis yang terjadi pada geriatri.
4. Mahasiswa mengetahui penyakit-penyakit geriatri dan penatalaksanaannya.

F. Jump 6 : Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

G. Jump 7 : Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah
diperoleh
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik, vital sign, laboratorium, dan
radiologi pasien?
a. Tekanan Darah
Pada skenario tekanan darah pasien 180/100 mmHg, ini berarti pasien
mengalami hipertensi dimana rentang normalnya untuk pasien berusia lanjut adalah
130-150 untuk tekanan sistoliknya dan 80-90 untuk tekanan diastoliknya dan
hipertensi pasien telah masuk ke grade 2 karena tekanan darahnya telah berada di
atas 160/100 (Keperawatan Klinis, 2011).

Tabel 1. Kategori Hipertensi

Systole Diastole
Kategori Terapi
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80 -
Pre-Hipertensi 120-139 80-89 Modifikasi gaya hidup
Hipertensi I 140-159 90-99 Modifikasi gaya hidup dan
Obat Anti Hipertensi
tunggal/kombinasi
Hipertensi II ≥160 ≥100 Modifikasi gaya hidup dan
Obat Hipertensi kombinasi

b. Gula Darah Sewaktu (GDS)


Terdapat kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) 250 mg/dl hal ini
mengindikasikan terjadinya hiperglikemia pada pasien dimana rentang normalnya
untuk pasien berusia lanjut adalah<140 mg/dl.
c. Hemoglobin (Hb)
Hb 10.5 gr% juga mengalami penurunan kadar Hb dimana kadar normalnya
adalah 13-18 gr% (Keperawatan Klinis, 2011).
d. Pemeriksaan Radiologi
Soft tissue swelling pada regio genu pasien menandakan terjadi inflamasi pada
daerah tersebut mungkin akibat dari trauma saat pasien terjatuh dan dugaan ini
diperkuat dengan temuan lain berupa deformitas/perubahan struktur daripada
artikulatio genu serta menyempitnya celah artikulatio tersebut ditambah lagi adanya
temuan lain berupa diskontinuitas tulang femur di 1/3 distal dekstra yang
menandakan terjadinya fraktur pada tulang femur kanan pasien.

2. Mengapa pasien diberi obat furosemid?


Furosemid merupakan obat diuretic kuat (loop diuretic). Furosemid sendiri
digunakan untuk mengatasi hipertensi berat.

3. Bagaimana perubahan fisiologis pada geriatri?


Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seseorang yang ‘frail’ (lemah, rentan) dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit
dan kematian secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan seiring
waktu yang terjadi pada sebagian besar mahkluk hidup, yang berupa kelemahan,
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya
mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait usia.
Seiring bertambahnya usia, terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak
hanya berpengaruh pada penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan responnya
terhadap kehidupan sehari-hari. Setiap individu mengalami perubahan-perubahan
tersebut secara berbeda pada beberapa individu, laju penurunannya mungkin cepat dan
dramatis, sementara untuk lainnya, perubahannya lebih tidak bermakna.
Fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dengan pengenalan konsep
homeostenosis. Konsep ini diperkenalkan oleh Walter Cannon pada tahun 1940
dimana terjadi pada seluruh system organ pada individu yang menua. Pengenalan
terhadap konsep ini penting untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi pada
proses penuaan. Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologi penuaan adalah
keadaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seing
meningkatnya usia pada setiap system organ.
Gambar 1. Skema homeostenosis yang menunjukkan bahwa seiring dengan
meningkatnya usia maka cadangan fisiologis semakin berkurang (modifikasi dari
Tafflet GE, 2003)
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia jumlah
cadangan fisiologis untuk menghadapi berbagai perubahan yang mengganggu
homeostasis (challenge) berkurang. Setiap challenge terhadap homeostasis merupakan
pergerakan menjauhi keadaan dasar (baseline), dan semakin besar challenge yang
terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis yang diperlukan untuk kembali ke
homeostasis. Di sisi lain dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis, maka
seseorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu ambang (yang disebut sebagai
“precipe”), yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian akibat challenge tersebut.
Penerapan konsep homeostenosis ini tergambar pada system skoring APACHE
(Acute Physiology and Chronic Health Evaluation), suatu skala penilaian beratnya
penyakit, penilain perubahan fisiologis akut yang terjadi dinyatakan denagan semakin
besarnya deviasi dari nilai homeostasis pada 12 variabel, antara lain tanda vital,
oksigenasi, pH, elektrolit, hematokrit, dll. Seorang normal pada keadaan homeostasis
mempunyai nilai nol. Semakin besar penyimpangan dari homeostasis skornya semakin
besar. Pada awal penerapannya, skoring APACHE ini tidak memasukkan variabel usia
sebagai salah satu penilaian. Terlihat bahwa dengan penimpangan yang lebih kecil dari
keadaan homeostasis, seoranga usia tua lebih rantan untuk menjadi sakit atau
meninggal dibandingkan orang muda.
Dengan mengingat bahwa mempertahankan keadaan homeostasis merupakan
proses yang aktif dan dinamis. Seorang usia lanjut tidak hanya memiliki cadangan
fisiologis yang makin berkurang, namun mereka juga memakai atau menggunakan
cadangan fisiologis itu hanya untuk mempertahankan homeostasis. Akibatnya akan
semakin sedikit cadangan yang tersedia untuk menghadapi challenge.

Gambar 2. Cadangan fisiologis yang ada sudah terpakai hanya untuk mempertahankan
homeostasis (Tafflet GE, 2003).
Konsep homeostenosis inilah yang dapat menjelaskan berbagai perubahan
fisiologis yang terjadi selama proses menua dan efek yang ditimbulkannya.
a. Perubahan anatomis pada penuaan
Perubahan anatomis pada lansia ditinjau dari postur tubuh, yakni pada usia
lanjut terjadi perubahan mulai dari posisi berdiri dimana posisi berdiri pada lansia
adalah terdapat jarak yang lebar antar kedua kaki pada pijakan, lutut dan panggul
sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke arah depan terhadap bidang vertikal,
vertebra lumbal mendatar dan kifosis vertebra torakal meningkat serta kepala maju
ke arah depan. Hal tersebut berkaitan dengan proses penuaan pada sistem
muskuloskeletal yang ditandai dengan penurunan densitas massa tulang, degenerasi
diskus vertebrae, serta hilangnya kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh
menjadi pendek dan posisi kepala menjadi lebih maju ke depan. Selain postur yang
juga mengalami perubahan adalah cara atau gaya berjalan, hal inilah yang
berkontribusi meningkatkan kejadian jatuh karena pada umumnya orang lanjut usia
tidak mampu mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga mudah
terantuk atau tersandung.
b. Perubahan fisiologis pada geriatri
1) Sistem saraf pusat
a) Terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi
dendritik, reseptor glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya
autoregulasi perfusi. Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada
penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun.
b) Timbul proliferasi astrosit dan berubahnya neurotransmiter, termasuk
dopamin dan serotonin.
c) Terjadi peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses
sentral dan waktu reaksi.
d) Meningen menebal, giri, dan sulci otak berkurang kedalamannya. Akan
tetapi kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologik yang berarti.
Pada semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering disebut
sebagai pigmen “wear and tear”. Yang bersifat patologis adalah adanya
degenerasi pigmen substansia nigra, kekusutan neurofibriler, dan
pembentukan badan-badan Hirano. keadaan ini bersesuaian dengan
terjadinya patologi sindroma Parkinson dan dementia tipe Alzheimer. Pada
pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan
tunika media sebagai akibat proses menua. Akibatnya sering terjadi
gangguan vaskularisasi otak yang berakibat dengan terjadinya TIA, stroke
dan dementia vaskuler. Vaskularisasi yang menurun pada daerah
hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan syaraf otonom, di damping
mungkin sebagai akibat berkurangnya berbagai neurotransmitter. Perubahan
patologik pada jaringan syaraf sering menyertai berbagai penyakit
metabolik, antara lain diabetes, hipo/hipertiroid yang juga mmenyebabkan
gangguan pada susunan syaraf tepi baik yang bersifat otonom atau tidak.
2) Fungsi Kognitif
a) Terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi intelektual.
b) Berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses
informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi.
c) Berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil
informasi dari memori.
d) Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan
kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
3) Sistem saraf tepi
a) Berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki
b) Berkurangnya sensitivitas termal (hangat-dingin)
c) Berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi dan meningkatnya
heterogenitas selaput akson myelin
4) Fungsi penglihatan
a) Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses
penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi,
konstriksi pupil, akibat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa
mata, yaitu katarak. Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi
di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan
di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya
ditemukan pada lansia.
b) Terjadi gangguan adaptasi gelap.
c) Lensa menjadi keruh karena degradasi protein
d) Berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Implikasi dari hal
ini adalah mata berpotensi terjadi sindrom mata kering.
e) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi.
Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan
kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat.
Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf huruf yang kecil
dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
f) Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil
mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
g) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah
penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran dalam membaca
dan memfokuskan penglihatan, peningkatan sensitivitas terhadap cahaya,
berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi
kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan
dalam persepsi warna.
5) Fungsi pendengaran
a) Dapat terjadi kehilangan pendengaran pada lansia yang disebut presbikusis.
b) Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral.
c) Kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan terganggunya kemampuan
membedakan target dari noise.
d) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini
terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi
dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini
adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk
mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara
dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
e) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran
timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi
lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
f) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi
lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah
potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi
suara.
6) Indra pengecap dan penghidu
a) Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat
seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu
kenikmatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan
akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah (taste buds), khususnya setelah usia 80 tahun.
Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin,
dan pahit) berkurang.
b) Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat
kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat
proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena
sumbatan (obstruksi) atau kerusakan reseptor olfaktori. Penyebab lain yang
juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman
termasuk pilek, influenza, merokok, dan faktor lingkungan. Implikasi dari
hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau.
7) Sistem kardiovaskular
a) Pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA
berkurang.
b) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah
ketidakmampuan jantung untukdistensi dan penurunankekuatan kontraktil.
Kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama.
c) Respons inotropik, kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik
berkurang.
d) Menurunnya curah jantung maksimal.
e) Peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular
perifer.
f) Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena
menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna
sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan
penumpukan darah.
g) Berkurangnya cardiac output. Hal ini menyebabkan menurunnya pula aliran
darah ke hepar, di mana kebanyakan analgesik dimetabolisme di hepar,
sehingga metabolisme obat menurun dan ekskresi obat melambat.
h) Meningkatnya resistensi vaskuler
i) Jantung semakin tergantung pada volume darah preload
j) Penurunan responsivitas system saraf otonom yang meningkatkan risiko
hipotensi
8) Sistem respirasi
a) Pulmo menjadi lebih kaku dan tidak elastis karena serabut kolagen menjadi
lebih kaku
b) Penurunan forced expiration volume 1 second (FEVI) dan forced volume
capacity (FVC).
c) Berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia serta meningkatnya volume
residual.
d) ventilation-perfusion mismatching’ menyebabkan PaO2 menurun seiring
bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur)
e) Kelemahan otot-otot pernafasan dan diafragma
f) Nafas cepat dan dangkal
g) Jumlah O2 yang berdifusi ke pembuluh darah berkurang
h) Paling penting : jalan nafas mudah menutup karena kolaps terutama pada
tirah baring lama.
9) Sistem gastrointestinal
a) Penurunan ukuran dan aliran darah ke hati, terganggunya bersihan
(clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang
lebih ekstensif.
10) Metabolisme
a) Setelah usia 25, terjadi penurunan kecepatan metabolisme rata-rata
1%/tahun.
b) Mengakibatkan nutrisi lebih lama diabsorsi dan didistribusikan serta
digunakan dalam bentuk energi.
c) Terjadi penurunan metabolisme obat secara keseluruhan
11) Sistem urin
a) Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi
glomerulus (GFR) yang rata-rata menurun kurang dari 1 ml/menit/tahun.
Penurunan GFR ini sebenarnya dikompensasi dengan berkurangnya massa
otot seiring dengan usia, sehingga kadar kreatinin tidak bisa menjadi
indikator yang reliabel untuk mengukur GFR pada lansia.
b) Glomerulosklerosis
c) Atherosclerosis pada arteri renalis
d) Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan
peningkatan relatif perfusi nefron jukstamedular.
e) Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai respons terhadap
dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal
untuk mempertahankan perfusi.
12) Hormonal
a) Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade;
gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade).
b) Insulin serum meningkat, HbA1c meningkat, IGF-1 berkurang.
c) Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon
T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin D
oleh kulit
d) Peningkatan hormon paratiroid (PTH).
e) Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium
13) Muskuloskeletal
a) Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya
serat otot, aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf.
b) Tonus dan kekuatan otot berkurang.
c) Perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon
lain.
d) Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi,
penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan degeneratif
ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi
e) Mengakibatkan gangguan pernafasan, pencernaan dan perkemihan
(inkontinensia).
f) Kalsium tulang berkurang sehingga terjadi osteopenia.
g) Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikroarsitektur berubah
dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.
h) Penipisan vertebra sehingga menjadi lebih pendek, terjadi kalsifikasi
i) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah
nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas.
j) Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
risiko cedera.
k) Inflamasi sendi berhubungan dengan kerentanan terhadap artritis.
l) Penurunan tinggi badan secara progresif. Hal ini disebabkan penyempitan
diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari
hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan
barrel chest.
m) Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari
hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
n) Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari
hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang
aktif.
14) Perubahan serat elastin
a) Serat elastin menjadi kurang elastis dan lebih tebal.
b) Efeknya bisa terlihat pada pulmo yaitu berupa kehilangan kemampuannya
untuk kembali (recoil).
c) Elastisitas arteri berkurang sehingga menjadi lebih tebal dan terkalsifikasi.
15) Sistem kulit dan integumen
a) Terjadi atrofi dari epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut serta
berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil seperti selaput.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi
abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi
pada area tubuh yang terpajan sinar matahari, biasanya permukaan dorsal
dari tangan dan lengan bawah.
b) Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat
penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput.
c) Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan
penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan kelenjar sebasea.
d) Warna kulit berubah dengan disana-sini terjadi pigmentasi tak merata.
e) Kuku menipis, mudah patah, rambut rontok sampai terjadi kebotakan.
f) Lemak subkutan berkurang menyebabkan berkurangnya bantalan kulit,
sehingga daya tahan terhadap tekanan dan perubahan suhu menjadi
berkurang. Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambahan massa lemak 2% per dekade. Oleh karena itulah sangat mudah
terjadi hipotermia atau hipertermia, di samping mudah terjadi dekubitus.
Penipisan kulit tersebut menyebabkan kulit mudah terluka dan terjadi infeksi
kulit.
g) Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan
tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa air berkurang
sebesar 2,5% per dekade.
16) Indera perabaan
a) Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungsional
apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan
kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah kehilangan
orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda dan
tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat
umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik
dengan lansia.
17) Perubahan struktur
a) Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi
kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung,
yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan
amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan
pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi
perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.
18) Sistem endokrin
a) Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula
puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah
faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi hipertiroid
pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut
mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”.
b) Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah glukosa darah
puasa 140 mg/dL dianggap normal.
c) Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
d) Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
e) Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan
waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3
dan T4 tetap stabil.
19) Perubahan pada sistem reproduksi
Pria :
a) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur.
b) Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler
benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.
Wanita :
a) Penurunan estrogen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi
jaringan payudara dan genital.
b) Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan
kecepatan aterosklerosis.
20) Perubahan mental
Kenangan (Memory) :
a) Kenangan jangka panjang : Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu
mencakup beberapa perubahan.
b) Kenangan jangka pendek atau seketika : 0-10 menit, kenangan buruk.
IQ (Inteligentia Quantion) :
a) Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.
b) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor, terjadi
perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor
waktu.
21) Perubahan psikososial
a) Pensiun : nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan
identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun
(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
- Kehilangan finansial (income berkurang).
- Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya).
- Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
- Kehilangan pekerjaan/kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak
lebih sempit.
d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
e) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya
pengobatan.
f) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
g) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
h) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
i) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan family.
j) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri. (Graf, 2006).

4. Bagaimana hubungan riwayat pengobatan sebelumnya dan polifarmasi terhadap


keluhan pasien?
Pada kasus disebutkan bahwa pasien dalam pengobatan furosemide, antalgin,
dan meloxicam. Salah satu obat yang dapat menyebabkan keluhan yang dialami pasien
adalah furosemide. Furosemide termasuk golongan diuretik kuat/loop diuretic yang
salah satu sifatnya adalah ototoksik/mengganggu fungsi pendengaran. Efek samping
furosemide pada telinga adalah mengubah konsentrasi ion pada endolimfe dan
paralimfe sehingga dapat menyebabkan vertigo/pusing berputar. Selain itu juga dapat
menyebabkan tuli sensorineural yang reversibel dan dapat menyebabkan peningkatan
kadar asam urat (hiperurisemia) sehingga dapat menyebabkan gout yang menyebabkan
nyeri pada persendian. (Katzung, Masters dan Trevor, 2012).
a. Polifarmasi pada Lansia
Ada beberapa definisi untuk istilah ini : 1). Meresepken obat melebihi
(perlakuan obat pada badan) indikasi klinis; 2). Pengobatan yang mencakup paling
tidak satu obat yang tidak perlu; 3). Penggunaan empirik lima obat atau lebih.
Telah dibuktikan bahwa pada pasien usia lanjut sering terjadi interaksi
antara obat yang digunakan; makin banyak obat, makin sering interaksinya.
Beberapa jenis interaksi serta akibatnya perlu diketahui:
1) Obat-makanan
Bila absorpsi obat sangat dipengaruhi makanan, obat harus digunakan
sebelum atau sesudah makan, tergantung toleransi pasien merugikan terhadap
obat waktu puasa. Contoh : antikoagulasi warfarin berkurang pada suplemen
nutrisi berisi vitamin K.
2) Obat-penyakit
Penyakit yang mengenai hati dan ginjal atau yang menghambat sampainya
obat ke organ itu menyebabkan interaksi yang landasannya farmakokinesis dan
farmakodinamik.
Contoh : perubahan prednison menjadi bentuk aktif prednisolon terhambat,
obstipasi bertambah karena suplemen Ca dan opioid.
3) Obat-obat
Interaksi di sini juga berlandasan farmakokinesis dari tahap absorpsi
sampai ekskresi. Landasan farmakodinamik dapat terjadi bila NSAID diberikan
bersama antikoagulan oral, yang dapat menambah risiko perdarahan.

Leipzig mengusulkan pedoman prinsip pemberian obat yang benar untuk


pasien usia lanjut, yaitu :
1) Riwayat Pengobatan Lengkap
Pasien harus membawa semua obat, termasuk obat tanpa resep, vitamin
dan bahan dari toko bahan kesehatan. Tanya tentang alergi efek merugikan
(ADE), merokok, alkohol. Faktor lain yang berperan pada pemberian obat ialah
multipatologi kopi & waktu santai dan siapa pemberi obat.
2) Jangan memberikan obat sebelum waktunya
Hindari memberikan resep sebelum diagnosis ditegakkan, bila keluhan
ringan atau tidak khas, atau jika manfaat pengobatan meragukan.
3) Jangan menggunakan obat terlalu lama
Lihat kembali daftar obat setiap pemeriksaan dan sesuaikan obat dengan
kebutuhan. Hentikan obat yang tidak perlu lagi. Nilai penggunaan obat sesuai
kebutuhan, juga obat tanpa resep.
4) Kenali obat yang digunakan
Ketahui sifat farmakologi obat yang diberikan, efek merugikan dan
keracunan yang mungkin terjadi. Nilai dengan teliti tanda-tanda kemunduran
segi fungsi dan mental yang mungkin disebabkan obat.
5) Mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan
Pakai selaludosis terendah untuk mendapat hasil. Gunakan kadar obat
dalam darah bila ada dan tepat untuk masalah ini.
6) Obati sesuai patokan
Gunakan dosis cukup untuk mencapai tujuan terapi, yang sesuai toleransi.
Jangan mengurungkan terapi untuk penyakit yang dapat diobati.
7) Beri dorongan supaya patuh berobat
Jelaskan kepada pasien tujuan pengobatan dan cara mencapainya. Buat
instruksi tertulis.Pertimbangkan sulit tidaknya jadwal pengobatan, biaya dan
kemungkinan efek merugikan bila memilih obat.
8) Hati-hati menggunakan obat baru
Obat baru belum dinilai tuntas untuk kelompok usia lanjut, dan rasio
risiko/kegunaan sering tidak diketahui.

Tabel 1. Perubahan farmakokinetik obat akibat proses menua


Parameter Perubahan akibat proses menua
Absorbsi - Penurunan: permukaan absorbsi, sirkulasi darah
splanchnic, motilitas gastrointestinal.
- Peningkatan pH lambung.
Distribusi - Penurunan: curah jantung, cairan badan total, massa
otot badan, serum albumin.
- Peningkatan lemak badan.
- Peningkatan alfa-1 asam glikoprotein.
- Perubahan pengikatan terhadap protein.
Metabolisme Penurunan: aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas
enzim, penginduksian enzim.
Ekskresi Penurunan: aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, sekresi
tubuler.
Sensitifitas Perubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor, fungsi
jaringan pembawa kedua, respon seluler dan nuklear.

Poin-poin yang harus diingat:


1) Dengan pemberian dosis yang lazim Kadar Obat Plasma (KOP) akan lebih tinggi
karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal akan menurun.
2) Dengan KOP yang sama dapat terjadi Fraksi Obat Bebas (FOB) lebih tinggi dari
yang lazim karena kadar albumin pada lansia telah menurun terlebih-lebih waktu
sakit atau karena pengangsuran tempat (silent reseptor) dari ikatan albumin oleh
obat lain (polifarmasi).
Sementara untuk farmakodinamik juga mengalami penurunan pada lansia.
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan
reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam
sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon seluler. Respon seluler
pada lansia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis dan penurunan
tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti pada
farmakokinetik.
Selain farmakokinetik dan farmakodinamik yang berubah pada lansia, obat
juga mengalami peningkatan efek samping. Kejadian ESO pada lansia meningkat 2-
3 kali lipat. Problem ini paling banyak menimpa sistem gastrointestinal dan sistem
haemopoetik. Penelitian atau pengukuran fungsi hepar, ginjal, kadar obat dalam
plasma darah terlebih-lebih dalam terapi polifarmasi sangat membantu dalam
mengendalikan atau menurunkan angka kejadian ESO.
b. Perubahan fisiologik dalam komposisi tubuh dan kaitannya dengan polifarmaka
1) Berat badan total: akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan jumlah
cairan intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia. Keadaaan ini akan
berakibat menurunnya distribusi obat yang sebagian terikat air (misalnya
litium).
2) Penurunan massa otot: yang secara umum terdapat pada usia lanjut akan
menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan menurun,
misalnya digoksin (konsentrasi obat bebas meningkat).
3) Peningkatan kadar lemak tubuh: akan mengakibatkan peningkatan kadar obat
yang larut lemak (misalnya diazepam), terutama pada wanita lansia.
4) Penurunan kadar albumin: terutama pada penderita lansia yang sakit,
menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, dan meningkatnya proporsi
obat bebas di sirkulasi (antara lain salisilat, tiroksin, warfarin dan obat AINS).
5) Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten: beberapa obat dapat membuat
kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terlihat misalnya:
a) Menurunnya stabilitas postural yang meningkatkan kemungkinan jatuh,
antara lain akibat obat hipertensi, diuretika, hipnotika, sedativa dan
vasodilator.
b) Konstipasi: antidepresan, antikolinergik, garam besi.
c) Hipotermia: fenotiasin, hipnotika, sedativa, dan antidepresan.

5. Apa saja indikasi, kontraindikasi, dan efek samping obat yang diminum pasien?
a. Furosemid
1) Indikasi : sebagai obat lini pertama pada keadaan edema yang disebabkan oleh
penyakit gagal jantung kongestif, penyakit sirosis hati, dan penyakit ginjal serta
sindrom nefrotik. Sebagai terapi tambahan pada keadaan edema serebral atau
edema paru yang memerlukan diuresis cepat termasuk juga pengobatan
hiperkalsemia. Sebagai terapi hipertensi dapat digunakan secara tunggal maupun
kombinasi dengan diuretik lain seperti spironolakton.
2) Kontraindikasi : gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik,
defisiensi elektrolit, hipovolemia, hipersensitivitas, dan wanita yang sedang
hamil karena dapat memberikan efek buruk pada janin.
3) ESO :
a) Sangat umum : gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi,
peningkatan kreatinin darah.
b) Umum: hemokonsentrasi, hiponatremia, hipokloremia, hipokalemia,
peningkatan kolesterol darah, peningkatan asam urat darah, gout, enselopati
hepatik pada pasien dengan penurunan fungsi hati, peningkatan volume
urin.
c) Tidak umum: trombositopenia, reaksi alergi pada kulit dan membran mukus,
penurunan toleransi glukosa dan hiperglikemia, gangguan pendengaran,
mual, pruritus, urtikaria, ruam, dermatitis bulosa, eritema multiformis,
pemfigoid, dermatitis eksfoliatif, purpura, fotosensitivitas.
d) Jarang: eosinofilia, leukositopenia, anafilaksis berat dan reaksi anafilaktoid,
parestesia, vakulitis, muntah, diare, nefritis tubulointerstisial, demam.
e) Sangat jarang: anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis, tinnitus,
pankreatitis akut, kolestasis intrahepatik, peningkatan transaminase.
f) Tidak diketahui frekuensinya: hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis
metabolik, trombosis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal
toksik, pustulosis eksantema generalisata akut (Acute Generalized
Exanthematous Pustulosis/AGEP), reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala
sistemik (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom/DRESS),
peningkatan natrium urin, peningkatan klorida urin, peningkatan urea darah,
gejala gangguan fungsi mikturisi, nefrokalsinosis dan/atau nefrolitiasis pada
bayi prematur, gagal ginjal, peningkatan risiko persistent ductus
arteriosus pada bayi prematur usia seminggu, nyeri lokal pada area injeksi.
b. Antalgin (metampiron)
1) Indikasi : sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang ringan hingga
sedang, seperti misalnya sakit kolik abdomen, nyeri haid, sakit kepala, sakit
gigi, sakit akibat kecelakaan, peradangan atau inflamasi, hingga manajemen
nyeri setelah operasi.
2) Kontraindikasi :
a) Orang yang memiliki alergi terhadap derivat pirazolon.
b) Memiliki kelainan bawaan berupa defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-
dehidrogenase (G6PD) karena dapat menyebabkan eritrosit mudah
mengalami hemolisis.
c) Penderita yang hipersensitif atau yang juga memiliki riwayat alergi terhadap
obat-obat golongan NSAID lain seperti aspirin, parasetamol, dan
sebagainya.
d) Bayi yang berusia dibawah 4 bulan atau bayi yang memiliki berat badan di
bawah 5 kg.
e) Ibu hamil terutama 3 bulan pertama dan 6 minggu terakhir.
f) Bagi yang memiliki tekanan darah rendah di bawah 100 mmHg. Karena
metampiron memiliki efek menurunkan tekanan darah.
3) ESO :
a) Radang lambung rasa perih atau sakit pada uluhati (gastritis)
b) Hiperhidrosis keringat berlebih
c) Retensi cairan dan garam dalam tubuh
d) Reaksi alergi bagi mereka yang rentan atau sensitif, berupa gatal pada kulit,
kemerahan atau edema angioneurotik.
c. Meloxicam
1) Indikasi : nyeri dan radang pada penyakit reumatik; osteoartritis yang
memburuk (jangka pendek); ankilosing spondilitis.
2) Kontraindikasi :
a) Hipersensitif terhadap aspirin dan obat AINS lainnya
b) Penyakit ginjal berat
c) Wanita hamil, ibu menyusui, anak-anak
d) Ulserasi peptikum aktif atau berrulang
e) Insufisiensi ginjal berat non dialisa
f) Perdarahan saluran cerna, perdarahan pembuluh darah otak, atau gangguan
perdarahan lainnya.
3) ESO : gangguan saluran pencernaa, edema, nyeri, pusing, sakit kepala, anemia,
nyeri sendi, nyeri pada punggung dan pinggang, insomnia, infeksi saluran napas,
gatal-gatal, ruam, sering BAK, ISK.

6. Bagaimana hubungan hasil pemeriksaan dengan keluhan pasien?


Jelas terdapat hubungan dari hasil pemeriksaan baik dari pemeriksaan fisik, vital
sign, laboratorium, dan radiologi terhadap keluhan yang dialami pasien. Semuanya
telah dijelaskan pada no. 1 pada bagian interpretasi hasil pemeriksaan.

7. Apakah pengobatan yang dijalani pasien selama ini sudah tepat atau belum?
Belum, karena tidak sesuai dengan rasionalisasi obat pada lansia.
a. Rasionalisasi obat pada usia lanjut
1) Regimen pengobatan: a) periode pengobatan jangan dibuat terlalu lama; b)
jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; c) obat harus diberikan atas
diagnosis pasti; d) harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja,
dosis dan efek samping yang mungkin timbul; e) apabila diperlukan pemberian
polifarmasi, prioritaskan pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi
gangguan fungsional; f) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil,
kemudian dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis optimal;
g) frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin, kalau mungkin
sekali sehari.
2) Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari separuh
dosis yang diberikan pada usia muda.
3) Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang atau bila
terjadi episode penyakit akut.
4) Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita, pemilihan
preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan mengingat, dan
pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain. Setiap efek samping
hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.
b. Jika dilihat skenario, pengobatan yang dijalani pasien kurang tepat, yakni :
1) Pasien membeli obat sendiri padahal seharusnya dari resep dokter.
2) Obat hipertensi bagi lansia yang tepat adalah golongan tiazid, dan dapat
dikombinasi dengan obat anti-hipertensi lain yaitu CCB, S-blocker, dll.
3) Lini pertama obat nyeri pada geriatric adalah paracetamol.
4) Furosemide tidak tepat karena furosemide ditujukan bagi hipertensi yang tidak
terkontrol dan kerja obat furosemide cepat.

8. Bagaimana DD, komplikasi, dan tatalaksana kasus di skenario?


a. Osteoarthritis
1) Pengertian
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai
dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian
sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya
otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008).
2) Patogenesis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer
dan OA sekunder. OA primer atau OA idiopatik, tidak memiliki penyebab yang
pasti (tidak diketahui) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun
proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA sekunder merupakan OA
yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik,
pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang terlalu lama.
Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari dibandingkan
dengan OA sekunder (Soeroso et al, 2006).
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan
tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui (Soeroso et al, 2006). Kerusakan
tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh
beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson,
2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada
permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat
gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan
sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan
apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi (Felson, 2008).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik
yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan
tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak (Felson,
2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu kolagen tipe
dua dan aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul-
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan
pada kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha
elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, sitokin {Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)},
dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan
merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-
molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga
keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan
(Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah
kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang
dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari
MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago
(Felson, 2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin
(PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap
sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses
pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan
dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung
pada proses awal timbulnya OA (Felson, 2008).
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi.
Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan
mudah mengendur (Felson, 2008).Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh
komponen pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA
pada sendi (Felson, 2008).
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama
bila sendi bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila penderita
beristirahat. Nyeri dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari periostenum
yang tidak terlindungi lagi, mikrofaktur subkondral, iritasi ujung-ujung saraf di
dalam sinovium oleh osteofit, spasme otot periartikular, penurunan aliran darah
di dalam tulang dan peningkatan tekanan intraoseus dan sinovitis yang diikuti
pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai sitokin. Selain nyeri dapat pula
terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan beberapa lama (gel
phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan. Jika
terjadi kekakuan pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa
menit ( tidak lebih dari 30 menit) (Haq et al.,2003). Gambaran lainnya adalah
keterbatasan dalam bergerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar
sendi, efusi sendi dan krepitasi. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan
dengan pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat
kehilangan rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular.
Nyeri pada pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan
spasme otot periartikular. Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada
udara dingin dan atau pada waktu hujan. Hal ini mungkin berhubungan dengan
perubahan tekanan intra artikular sesuai dengan perubahan tekanan atmosfir.
Beberapa gejala spesifik yang dapat timbul antara lain adalah keluhan
instabilitas pada penderita OA lutut pada waktu naik turun tangga, nyeri pada
daerah lipat paha yang menjalar ke paha depan pada penderita OA koksa atau
gangguan menggunakan tangan pada penderita OA tangan (Setiyohadi, 2003).
3) Gejala
a) Nyeri dalam pada sendi yang muncul/eksaserbasi pada penggunaan
berlebihan yang merupakan gejala utama OA.
b) Penurunan range of motion (ROM) dan krepitus sehingga sulit bergerak.
c) Kaku setelah istirahat yang sering muncul sebagai kekakuan setelah bangun
tidur selama < 30 menit.
4) Pemeriksaan Radiologi
Pada daerah sendi yang mengalami abnormalitas atau yang memikul lebih
berat, dapat ditemukan hilangnya/menyempitnya ruang antar sendi, sklerosis
subchondral, dan terbentuknya kista.
5) Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri,
mengoreksi gangguan yang timbul, dan mengidentifikasi manifestasi-
manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi (Felson, 2006).
a) Obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-
2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan
obat AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi
daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama
dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak
toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara mengombinasikannnya dengan
menggunakan inhibitor COX-2 (Felson, 2006).
b) Chondroprotective Agent
Chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat-obatan yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah tetrasiklin, asam hialuronat,
kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dsb. (Felson, 2006).
6) Guideline Terapi
American College of Rheumatology (ACR) telah membuat guideline
pengobatan OA yang dibedakan berdasarkan lokasi OA. Untuk OA pada tangan
obat yang digunakan adalah satu/kombinasi dari :
a) Capsaicin topical
b) Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) topikal, termasuk trolamine
salisilat
c) NSAID oral
d) Tramadol
ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan obat-
obatan intra-artikuler atau golongan opioid untuk OA tangan. Pada orang tua
usia >75 tahun lebih baik memakai topical.
Untuk OA lutut, ACR merekomendasikan :
a) Asetaminofen
b) NSAID Oral
c) NSAID Topikal
d) Tramadol
e) Injeksi kortikosteroid Intra-artikuler
ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan
chondroitin sulfate, glucosamine, atau topical capsaicin untuk OA lutut. Dan
tidak ada rekomendasi penggunaan hyaluronat intra-artikuler, duloxetine, dan
opioid.
Untuk OA panggul ACR merekomendasikan penggunaan satu/lebih obat
dibawah untuk manajemen awal :
a) Asetaminofen
b) NSAID oral
c) Tramadol
d) Injeksi kortikosteroid Intra-artikuler
ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan
chondroitin sulfate, atau glucosamine. Dan tidak ada rekomendasi penggunaan
NSAID topikal, hyaluronat intra-artikuler, duloxetine, dan opioid (Hochberg et
al., 2012).
b. Hipertensi
Pada usia ≥ 60 tahun, tekanan darah ≥ 150/90 mmHg dapat dikategorikan ke
dalam hipertensi dan harus memulai farmakoterapi. Penatalaksanaan hipertensi
didasarkan pada guideline dari JNC 8 seperti pada bagan di bawah ini.
Dewasa dengan hipertensi dengan usia ≥ 18 tahun

Perubahan gaya hidup

Tetapkan target tekanan darah dan inisisasi penobatan untuk


menurunkannya berdasarkan usia, diabetes, dan CKD

Usia ≥60 Usia < 60 Semua usia, Semua usia


tahun tahun dengan diabetes dengan CKD,
tanpa CKD dengan atau tanpa
diabetes

Target : <150/90 Target : <140/90 Target : <140/90 Target : <140/90


mmHg mmHg mmHg mmHg

Thiazide- tipe diuretk, Thiazide- tipe diuretk, ACEI, atau ARB, atau
atau ACEI, atau ARB, atau CCB, bisa bisa tunggal atau
atau CCB, bisa tunggal atau kombinasi
tunggal atau kombinasi
kombinasi

Strategi :

A. Maksimalkan pengobatan pertama sebelum pengobatan kedua


B. Tambahkan pengobatan kedua sebelum mencapai dosis maksimum
pengobatan pertama
C. Fixed drug combination
Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Untuk strategi A dan B,tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau
ARB, atau CCB, (gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan
kombinasikan AREI dan CCB

Untuk strategi C, titrasi dosis dari dosis inisial ke maksimum.

Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau ARB, atau CCB,
(gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan kombinasikan AREI dan
CCB

Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Tambahkan obat dengan kelas berbeda (beta blocker, aldosterone antagonis,dll) atau
konsultasikan ke bagian spesialis hipertensi

Target tercapai? Lanjutkan pengobatan


dan monitoring

Gambar 1. Guideline Manajemen Hipertensi (James et. al., 2014)

Hipertensi didiagnosis berdasarkan peningkatan tekanan darah sistolik dan


diastolik. Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada pada kategori
yang berbeda, maka dipilih kategori yang lebih tinggi untuk mengklasifikasikan
tekanan darah individu. Menurut Kaplan (2006) hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Hipertensi Primer (essensial)
Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun,
sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan. Patogenesis hipertensi
essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis
hipertensi essensial antara lain faktor genetik, hipertaktivitas sistem saraf
simpatis, sistem renin angiotensin, defek natriuresis, natrium dan kalsium
intraseluler, serta konsumsi alkohol secara berlebihan
2) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi
sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa disertai
riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan hipertensi pertama kali pada
usia di atas 50 tahun atau yang sebelumnya diterapi tapi mengalami refrakter
terhadap terapi yang diberikan mungkin mengalami hipertensi sekunder.
Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindroma chusing,
feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obat-obatan.

c. Diabetes Mellitus
1) Pendahuluan
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu
resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan
awal insulin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan
kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara
ketiga gangguan tersebut, yang paling berperan adalah resistensi insulin. Hal ini
ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah
pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor
perubahan komposisi tubuh, antara lain massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola
makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi
sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1
(IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi
penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan
aksi insulin.
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat
badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan
meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga
glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi.
Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka
polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami
dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya
bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas
seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif
atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,
mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM
pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru
terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.
WHO mengakui dua bentuk Diabetes mellitus yaitu:
a) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang
dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga
tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat
penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama
pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes
tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi
pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah.
b) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan
oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan
metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang
mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik
namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut
sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang
ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes
yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi
produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin
pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada
beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya
resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi
terjadinya resistensi terhadap insulin. Obesitas ditemukan di kira-kira 90%
dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.
Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir
telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-
anak. Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas
fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat
pengurangan berat badan (Mogensen, 2007).
2) Terapi
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia
dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup
<5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif
risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan
secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan
kepatuhan pengobatan. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi
menjadi 2 tingkatan.
a) Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies)
Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling
cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri
dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah raga),
metformin, sulfonilurea, dan insulin.
b) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies)
Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian
orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya
pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion
(pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide)
(Kurniawan, 2010).
3) Prinsip Tatalaksana DM
a) Tujuan terapi gizi medis adalah untuk menururnkan atau mempertahankan :
i. Kadar glukosa darah mendekati normal,
i) Glukosa puasa sekitar 90-130 mg/dl
ii) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
iii) Kadar Aic <7 %
b) Tekanan darah <130/80 mmHg
c) Profil lipid :
i. LDL <100 mg/dl
ii. HDL >40 mg/dl
iii. Trigliserida <150 mg/dl
d) Berat badan senormal mungkin.
i. Prinsip latihan jasmani bagi diabetes memenuhi beberapa hal seperti
frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis,
ii. Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan
teratur 3-5 kali / minggu
iii. Intensitas : Ringan dan sedang
iv. Durasi : 30-60 menit
v. Jenis : Latihan jasmani endurans (aerobik) utk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda
4) Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Hipertensi
Etiologi Hipertensi pada lansia secara ringkas disebabkan oleh :
a) Meningkatnya usia akan menurunkan elastisitas dan meregangkan pada arteri
besar.
b) Perubahan aktivitas sistem saraf simpatis akan menambahkan jumlah
norephinephrin sehingga menurunkan tingkat kepekaan sistem reseptor beta
adrenergic, dan akan menurunkan fungsi relaksasi otot pembuluh darah.
Hipertensi pada penderita diabetes mellitus berhubungan dengan resistensi
insulin dan abnormalitas pada sistem rennin-angiotensin dan konsekuensi
metabolik.
Dikarenakan abnormalitas metaboliknya mengakibatkan disfungsi endotel.
Sel endotel sendiri mensinteis substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur
fungsi pembuluh darah seperti nitrid oksida yang akan menghambat
atherogenesis dan melindungi pembuluh darah, prostaglandin, endotelin, dan
angiotensin II.
Pada Diabetes Mellitus, hiperglikemi akan menghambat produksi
endothelium mengakibatkan sintesis superoksid anion yang akan merusak
formasi nitrid oksida.
Kondisi resistensi insulin juga akan menghambat produksi nitrid oksida
sehingga terjadi pelepasan asam lemak berlebihan. Bisa juga akibat adanya
hipertensi akan meningkatkan tekanan darah di pembuluh darah arteri sehingga
akan menghambat suplai oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh darah ke
jaringan tubuh. Manifestasinya antara lain nggliyeng serta mata berkunang-
kunang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Terjadinya berbagai proses patologi pada lansia memiliki banyak penyebab. Penyebab
yang multifaktorial seperti faktor fisik, sosial, psikologis, biologis, dapat
bermanifestasi menjadi berbagai gejala /sindrom geriatri.
2. Secara molekuler, proses penuaan terjadi akibat produksi hasil metabolisme sel
berupa ROS (Reactive Oxygen Species). ROS menyebabkan mutasi sel, translasi
protein non fungsional, metabolisme sel terganggu, sehingga menyebabkan penuaan
hingga kematian sel.
3. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit majemuk
(multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial yang
bermasalah, sehingga kejadian jatuh pada pasien geriatri merupakan
kegawatdaruratan yang perlu dievaluasi.
4. Pasien geriatri pada skenario diatas mengalami tekanan darah dan kadar gula darah
tinggi sehingga didiagnosis menderita hipertensi dan diabetes melitus serta perlu
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis diabetes melitus dan reumatik.

B. Saran
1. Pada pasien geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya diawasi
dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan
penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan
diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai
dengan aturan pemakaiannya.
2. Faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh pada pasien geriatri dalam skenario
sebaiknya diperhatikan dan diatasi agar tidak terjadi berulangnya peristiwa jatuh.
Sebaiknya pasien geriatri dirawat oleh keluarga dan tidak tinggal sendirian di rumah.
3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan penatalaksanaan yang
tepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Bengston et al. (2009). Handbook of Theories of Aging. Springer Publishing Company: New
York.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp: 9-43.
Edelberg JM dan Reed MJ. (2003). Aging and angiogenesis. Frontiers Bioscience; 8: 1199-
209
Felson DT. (2008). Osteoarthritis. Dalam: Fauci AS, et al., editors. HARRISON's Principles
of Internal Medicine. 17th ed. New York:Mc Graw-Hill Companies Inc. pp:2158-2165.
Hallingbye, T., Martin, J., & Viscomi, C. (2011). Acute postoperative pain management in
the older patient. Aging Health, 7(6), 813-828. doi:10.2217/ahe.11.73
Haq I, Murphy E, Dacre J. (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 : 377 – 383.
Helmi, ZN. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Hochberg M, et al. (2012). American College of Rheumatology recommendations for the use
of nonpharmacologic and pharmacologic therapies in osteoarthritis of the hand, hip, and
knee. Arthritis Care Res, 64(4), pp:465-474.
James PA, et al. (2014). Evidence-based guideline for the management of high blood pressure
in adults: (JNC 8). JAMA;311(5):507-20
Kaplan N.M. (2006). Primary Hypertension: Pathogenesis,Mechanism.Of Hypertension
with Obesity in: Kaplan’s Clinical Hypertension edisi ke-9. Philadelphia, USA:
Lippincott W
Katzung B, Masters S, Trevor A. (2012). Basic & clinical pharmacology. New York:
McGraw-Hill Medical.
Khanna D, et al. (2012). 2012 American College of Rheumatology guidelines for
management of gout. Part 1: Systematic nonpharmacologic and pharmacologic
therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis Care Res, 64(10), pp.1431-1446.
Kurniawan I. (2010). Diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia.
Vol.60(12): 576-584.
Kozier B. (2003). Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & ERb, Ed 5. Jakarta: EGC.
Levy DB. (2016). Soft Tissue Knee Injury. [online] Emedicine.medscape.com. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/826792-overview[Diakses 6 Mar. 2016].
Lozada CJ. (2015). Osteoarthritis. [online] Emedicine.medscape.com. Tersedia
di:http://emedicine.medscape.com/article/330487-overview[Diakses 6 Mar. 2016].
Mansjoer A et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.
Meiner SE. (2011). Gerontologic Nursing Fourth Edition. USA : Elsevier Mosby.
Maramis WF. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. pp: 193
Martono H, Nasution I (2010). Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut. Dalam:
Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri edisi ke-4. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 779-789
Mogensen C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New York:
Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho W. (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Price SA. (2002). Pathophysiology: clinical concepts of diseases processes. 6th ed. Elsevier
Science: Mosby.
Price SA dan Wilson LM. (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses Penyakit. Edisi ke-4.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 - 1222.
Setiati S, et al. (2009). Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B,et al., editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 757-761.
Soeroso S, et al. (2006). Osteoartritis. In: Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi IV. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 1195-1201.
Swagerty JR, dan Deborah DLH. (2001). Radiographic assessment of osteoartritis. American
family physician [serial on the Internet]. Available from: www.aafp.org/afp.
Taliaferro PM dan Price CA. (2001). Aging increases risk for medication problems. Senior
Series; 127: 1-3.
Tinetti M. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. N Engl Journal Medicine. (348), 42 -
49
Tjokroprawiro HA. (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi. Surabaya:
Airlangga University Press. pp: 27, 51.

Anda mungkin juga menyukai