SKENARIO 1
KELOMPOK B6
ABDURRAHMAN AZZAM G0014002
DWICKY RIEZKHI P. G0014078
LINTANG DARU JATI G0014138
RAMDAN MUHAMAD G0014194
ANDINI HERVIASTUTI S. G0014030
CLARA ANGELICA ROTORO G0014060
ENDAH AUGINA BUDIARTI G0014084
HASTIKA DWI O G0014114
MAUDY PUTRI SARASWATI G0014152
OXDRI POESPITA NINGRUM G0014182
ROSIDA DIN ANJAINI A. G0014208
YOSEFINA SONIA C. K. G0014244
B BRYNT SIMAMORA G0013054
YUSUF RIYADI G0012
Tutor:
Dra. Suci Murti Kartini, M.Si
A. Latar Belakang
Jatuh adalah kejadian mendadak yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring atau terduduk di lantai/tanah atau tempat lebih rendah tanpa disadari.
Berdasarkan survei di masyarakat AS, sekitar 30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh
setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Kematian akibat
jatuh sangat sulit untuk diidentifikasi karena sering tidak disadari oleh keluarga.
Komplikasi yang sering dialami adalah 1% fraktur kolum femoris, 5% fraktur tulang iga,
perlukaan jaringan lunak, subdural hematom, hemarthroses, memar, dan keseleo otot.
Berikut skenarionya :
Diriku yang Tidak Berdaya
Kakek Taruno, seorang pensiunan tentara, yang masih bugar di usianya
yang 65 tahun sering mengeluh nyeri di persendian lutut terutama saat
beraktivitas. Selain itu juga mengeluh sering kesemutan dan rasa baal di kedua
kakinya. Suatu hari saat pergi ke kamar mandi tiba-tiba merasa leher cengeng,
berkunang-kunang, dan jatuh.
Esok harinya beliau kesakitan, dan tidak dapat berjalan, lutut tampak
bengkak, kemerahan, bahkan sulit untuk digerakkan dan minta dibawa ke UGD.
Kepada dokter UGD beliau menceritakan dalam 3 bulan ini, sudah jatuh 3 kali,
sering pusing berputar, mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.
Riwayat pengobatan sebelumnya beliau berobat di puskesmas dan diberi
obat furosemide 1 tablet secara rutin, kadang-kadang mengkonsumsi juga
antalgin atau meloxicam yang dibeli di toko obat untuk meredam nyeri sendi yang
sering kambuh.
Dari pemeriksaan dokter tekanan darah 180/100 mmHg. Hasil
pemeriksaan laboratorium UGD didapatkan GDS 250 mg/dl, Hb 10.5 gr %, tidak
ditemukan proteinuria. EKG dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi
region genu didapatkan soft tissue swelling, celah artikulatio genu menyempit
dengan deformitas dan diskontinuitas tulang femur 1/3 distal dekstra.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
LANSIA
Faktor ekstrinsik :
Faktor intrinsik : Perubahan anatomi, Lingkungan,
Genetik fisiologi, dan biologi tubuh pekerjaan, obat, sosial
ekonomi, dan lain-lain.
Keluhan Lain:
Nyeri di persendian lutut, kesemutan,
rasa baal, pusing berputar, mata kabur,
pendengaran berkurang, dan sering lupa.
Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 190/100 mmHg
Pemeriksaan penunjang:
a) Gula darah sewaktu = 200 mg/dL, b) Hb = 10,5 gr%, c) Pemeriksaan
urine = tidak proteinuria, d) EKG normal, dan e) Radiologi = region
genu di dapatkan soft tissue swelling, celah artikulatio genu menuempit
dengan deformitas dan diskontinuitas tulang femur 1/3 distal dekstra
Diagnosis Banding:
OA, DM, Hipertensi
Tatalaksana :
Farmakologi dan Non Farmakologi
G. Jump 7 : Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah
diperoleh
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik, vital sign, laboratorium, dan
radiologi pasien?
a. Tekanan Darah
Pada skenario tekanan darah pasien 180/100 mmHg, ini berarti pasien
mengalami hipertensi dimana rentang normalnya untuk pasien berusia lanjut adalah
130-150 untuk tekanan sistoliknya dan 80-90 untuk tekanan diastoliknya dan
hipertensi pasien telah masuk ke grade 2 karena tekanan darahnya telah berada di
atas 160/100 (Keperawatan Klinis, 2011).
Systole Diastole
Kategori Terapi
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80 -
Pre-Hipertensi 120-139 80-89 Modifikasi gaya hidup
Hipertensi I 140-159 90-99 Modifikasi gaya hidup dan
Obat Anti Hipertensi
tunggal/kombinasi
Hipertensi II ≥160 ≥100 Modifikasi gaya hidup dan
Obat Hipertensi kombinasi
Gambar 2. Cadangan fisiologis yang ada sudah terpakai hanya untuk mempertahankan
homeostasis (Tafflet GE, 2003).
Konsep homeostenosis inilah yang dapat menjelaskan berbagai perubahan
fisiologis yang terjadi selama proses menua dan efek yang ditimbulkannya.
a. Perubahan anatomis pada penuaan
Perubahan anatomis pada lansia ditinjau dari postur tubuh, yakni pada usia
lanjut terjadi perubahan mulai dari posisi berdiri dimana posisi berdiri pada lansia
adalah terdapat jarak yang lebar antar kedua kaki pada pijakan, lutut dan panggul
sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke arah depan terhadap bidang vertikal,
vertebra lumbal mendatar dan kifosis vertebra torakal meningkat serta kepala maju
ke arah depan. Hal tersebut berkaitan dengan proses penuaan pada sistem
muskuloskeletal yang ditandai dengan penurunan densitas massa tulang, degenerasi
diskus vertebrae, serta hilangnya kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh
menjadi pendek dan posisi kepala menjadi lebih maju ke depan. Selain postur yang
juga mengalami perubahan adalah cara atau gaya berjalan, hal inilah yang
berkontribusi meningkatkan kejadian jatuh karena pada umumnya orang lanjut usia
tidak mampu mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga mudah
terantuk atau tersandung.
b. Perubahan fisiologis pada geriatri
1) Sistem saraf pusat
a) Terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi
dendritik, reseptor glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya
autoregulasi perfusi. Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada
penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun.
b) Timbul proliferasi astrosit dan berubahnya neurotransmiter, termasuk
dopamin dan serotonin.
c) Terjadi peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses
sentral dan waktu reaksi.
d) Meningen menebal, giri, dan sulci otak berkurang kedalamannya. Akan
tetapi kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologik yang berarti.
Pada semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering disebut
sebagai pigmen “wear and tear”. Yang bersifat patologis adalah adanya
degenerasi pigmen substansia nigra, kekusutan neurofibriler, dan
pembentukan badan-badan Hirano. keadaan ini bersesuaian dengan
terjadinya patologi sindroma Parkinson dan dementia tipe Alzheimer. Pada
pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan
tunika media sebagai akibat proses menua. Akibatnya sering terjadi
gangguan vaskularisasi otak yang berakibat dengan terjadinya TIA, stroke
dan dementia vaskuler. Vaskularisasi yang menurun pada daerah
hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan syaraf otonom, di damping
mungkin sebagai akibat berkurangnya berbagai neurotransmitter. Perubahan
patologik pada jaringan syaraf sering menyertai berbagai penyakit
metabolik, antara lain diabetes, hipo/hipertiroid yang juga mmenyebabkan
gangguan pada susunan syaraf tepi baik yang bersifat otonom atau tidak.
2) Fungsi Kognitif
a) Terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi intelektual.
b) Berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses
informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi.
c) Berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil
informasi dari memori.
d) Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan
kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
3) Sistem saraf tepi
a) Berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki
b) Berkurangnya sensitivitas termal (hangat-dingin)
c) Berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi dan meningkatnya
heterogenitas selaput akson myelin
4) Fungsi penglihatan
a) Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses
penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi,
konstriksi pupil, akibat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa
mata, yaitu katarak. Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi
di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan
di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya
ditemukan pada lansia.
b) Terjadi gangguan adaptasi gelap.
c) Lensa menjadi keruh karena degradasi protein
d) Berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Implikasi dari hal
ini adalah mata berpotensi terjadi sindrom mata kering.
e) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi.
Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan
kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat.
Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf huruf yang kecil
dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
f) Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil
mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
g) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah
penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran dalam membaca
dan memfokuskan penglihatan, peningkatan sensitivitas terhadap cahaya,
berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi
kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan
dalam persepsi warna.
5) Fungsi pendengaran
a) Dapat terjadi kehilangan pendengaran pada lansia yang disebut presbikusis.
b) Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral.
c) Kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan terganggunya kemampuan
membedakan target dari noise.
d) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini
terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi
dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini
adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk
mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara
dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
e) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran
timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi
lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
f) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi
lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah
potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi
suara.
6) Indra pengecap dan penghidu
a) Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat
seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu
kenikmatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan
akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah (taste buds), khususnya setelah usia 80 tahun.
Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin,
dan pahit) berkurang.
b) Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat
kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat
proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena
sumbatan (obstruksi) atau kerusakan reseptor olfaktori. Penyebab lain yang
juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman
termasuk pilek, influenza, merokok, dan faktor lingkungan. Implikasi dari
hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau.
7) Sistem kardiovaskular
a) Pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA
berkurang.
b) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah
ketidakmampuan jantung untukdistensi dan penurunankekuatan kontraktil.
Kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama.
c) Respons inotropik, kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik
berkurang.
d) Menurunnya curah jantung maksimal.
e) Peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular
perifer.
f) Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena
menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna
sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan
penumpukan darah.
g) Berkurangnya cardiac output. Hal ini menyebabkan menurunnya pula aliran
darah ke hepar, di mana kebanyakan analgesik dimetabolisme di hepar,
sehingga metabolisme obat menurun dan ekskresi obat melambat.
h) Meningkatnya resistensi vaskuler
i) Jantung semakin tergantung pada volume darah preload
j) Penurunan responsivitas system saraf otonom yang meningkatkan risiko
hipotensi
8) Sistem respirasi
a) Pulmo menjadi lebih kaku dan tidak elastis karena serabut kolagen menjadi
lebih kaku
b) Penurunan forced expiration volume 1 second (FEVI) dan forced volume
capacity (FVC).
c) Berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia serta meningkatnya volume
residual.
d) ventilation-perfusion mismatching’ menyebabkan PaO2 menurun seiring
bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur)
e) Kelemahan otot-otot pernafasan dan diafragma
f) Nafas cepat dan dangkal
g) Jumlah O2 yang berdifusi ke pembuluh darah berkurang
h) Paling penting : jalan nafas mudah menutup karena kolaps terutama pada
tirah baring lama.
9) Sistem gastrointestinal
a) Penurunan ukuran dan aliran darah ke hati, terganggunya bersihan
(clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang
lebih ekstensif.
10) Metabolisme
a) Setelah usia 25, terjadi penurunan kecepatan metabolisme rata-rata
1%/tahun.
b) Mengakibatkan nutrisi lebih lama diabsorsi dan didistribusikan serta
digunakan dalam bentuk energi.
c) Terjadi penurunan metabolisme obat secara keseluruhan
11) Sistem urin
a) Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi
glomerulus (GFR) yang rata-rata menurun kurang dari 1 ml/menit/tahun.
Penurunan GFR ini sebenarnya dikompensasi dengan berkurangnya massa
otot seiring dengan usia, sehingga kadar kreatinin tidak bisa menjadi
indikator yang reliabel untuk mengukur GFR pada lansia.
b) Glomerulosklerosis
c) Atherosclerosis pada arteri renalis
d) Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan
peningkatan relatif perfusi nefron jukstamedular.
e) Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai respons terhadap
dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal
untuk mempertahankan perfusi.
12) Hormonal
a) Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade;
gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade).
b) Insulin serum meningkat, HbA1c meningkat, IGF-1 berkurang.
c) Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon
T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin D
oleh kulit
d) Peningkatan hormon paratiroid (PTH).
e) Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium
13) Muskuloskeletal
a) Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya
serat otot, aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf.
b) Tonus dan kekuatan otot berkurang.
c) Perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon
lain.
d) Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi,
penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan degeneratif
ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi
e) Mengakibatkan gangguan pernafasan, pencernaan dan perkemihan
(inkontinensia).
f) Kalsium tulang berkurang sehingga terjadi osteopenia.
g) Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikroarsitektur berubah
dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.
h) Penipisan vertebra sehingga menjadi lebih pendek, terjadi kalsifikasi
i) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah
nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas.
j) Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
risiko cedera.
k) Inflamasi sendi berhubungan dengan kerentanan terhadap artritis.
l) Penurunan tinggi badan secara progresif. Hal ini disebabkan penyempitan
diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari
hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan
barrel chest.
m) Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari
hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
n) Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari
hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang
aktif.
14) Perubahan serat elastin
a) Serat elastin menjadi kurang elastis dan lebih tebal.
b) Efeknya bisa terlihat pada pulmo yaitu berupa kehilangan kemampuannya
untuk kembali (recoil).
c) Elastisitas arteri berkurang sehingga menjadi lebih tebal dan terkalsifikasi.
15) Sistem kulit dan integumen
a) Terjadi atrofi dari epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut serta
berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil seperti selaput.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi
abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi
pada area tubuh yang terpajan sinar matahari, biasanya permukaan dorsal
dari tangan dan lengan bawah.
b) Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat
penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput.
c) Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan
penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan kelenjar sebasea.
d) Warna kulit berubah dengan disana-sini terjadi pigmentasi tak merata.
e) Kuku menipis, mudah patah, rambut rontok sampai terjadi kebotakan.
f) Lemak subkutan berkurang menyebabkan berkurangnya bantalan kulit,
sehingga daya tahan terhadap tekanan dan perubahan suhu menjadi
berkurang. Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambahan massa lemak 2% per dekade. Oleh karena itulah sangat mudah
terjadi hipotermia atau hipertermia, di samping mudah terjadi dekubitus.
Penipisan kulit tersebut menyebabkan kulit mudah terluka dan terjadi infeksi
kulit.
g) Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan
tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa air berkurang
sebesar 2,5% per dekade.
16) Indera perabaan
a) Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungsional
apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan
kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah kehilangan
orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda dan
tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat
umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik
dengan lansia.
17) Perubahan struktur
a) Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi
kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung,
yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan
amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan
pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi
perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.
18) Sistem endokrin
a) Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula
puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah
faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi hipertiroid
pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut
mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”.
b) Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah glukosa darah
puasa 140 mg/dL dianggap normal.
c) Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
d) Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
e) Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan
waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3
dan T4 tetap stabil.
19) Perubahan pada sistem reproduksi
Pria :
a) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur.
b) Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler
benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.
Wanita :
a) Penurunan estrogen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi
jaringan payudara dan genital.
b) Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan
kecepatan aterosklerosis.
20) Perubahan mental
Kenangan (Memory) :
a) Kenangan jangka panjang : Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu
mencakup beberapa perubahan.
b) Kenangan jangka pendek atau seketika : 0-10 menit, kenangan buruk.
IQ (Inteligentia Quantion) :
a) Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.
b) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor, terjadi
perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor
waktu.
21) Perubahan psikososial
a) Pensiun : nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan
identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun
(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
- Kehilangan finansial (income berkurang).
- Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya).
- Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
- Kehilangan pekerjaan/kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak
lebih sempit.
d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
e) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya
pengobatan.
f) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
g) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
h) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
i) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan family.
j) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri. (Graf, 2006).
5. Apa saja indikasi, kontraindikasi, dan efek samping obat yang diminum pasien?
a. Furosemid
1) Indikasi : sebagai obat lini pertama pada keadaan edema yang disebabkan oleh
penyakit gagal jantung kongestif, penyakit sirosis hati, dan penyakit ginjal serta
sindrom nefrotik. Sebagai terapi tambahan pada keadaan edema serebral atau
edema paru yang memerlukan diuresis cepat termasuk juga pengobatan
hiperkalsemia. Sebagai terapi hipertensi dapat digunakan secara tunggal maupun
kombinasi dengan diuretik lain seperti spironolakton.
2) Kontraindikasi : gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik,
defisiensi elektrolit, hipovolemia, hipersensitivitas, dan wanita yang sedang
hamil karena dapat memberikan efek buruk pada janin.
3) ESO :
a) Sangat umum : gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi,
peningkatan kreatinin darah.
b) Umum: hemokonsentrasi, hiponatremia, hipokloremia, hipokalemia,
peningkatan kolesterol darah, peningkatan asam urat darah, gout, enselopati
hepatik pada pasien dengan penurunan fungsi hati, peningkatan volume
urin.
c) Tidak umum: trombositopenia, reaksi alergi pada kulit dan membran mukus,
penurunan toleransi glukosa dan hiperglikemia, gangguan pendengaran,
mual, pruritus, urtikaria, ruam, dermatitis bulosa, eritema multiformis,
pemfigoid, dermatitis eksfoliatif, purpura, fotosensitivitas.
d) Jarang: eosinofilia, leukositopenia, anafilaksis berat dan reaksi anafilaktoid,
parestesia, vakulitis, muntah, diare, nefritis tubulointerstisial, demam.
e) Sangat jarang: anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis, tinnitus,
pankreatitis akut, kolestasis intrahepatik, peningkatan transaminase.
f) Tidak diketahui frekuensinya: hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis
metabolik, trombosis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal
toksik, pustulosis eksantema generalisata akut (Acute Generalized
Exanthematous Pustulosis/AGEP), reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala
sistemik (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom/DRESS),
peningkatan natrium urin, peningkatan klorida urin, peningkatan urea darah,
gejala gangguan fungsi mikturisi, nefrokalsinosis dan/atau nefrolitiasis pada
bayi prematur, gagal ginjal, peningkatan risiko persistent ductus
arteriosus pada bayi prematur usia seminggu, nyeri lokal pada area injeksi.
b. Antalgin (metampiron)
1) Indikasi : sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang ringan hingga
sedang, seperti misalnya sakit kolik abdomen, nyeri haid, sakit kepala, sakit
gigi, sakit akibat kecelakaan, peradangan atau inflamasi, hingga manajemen
nyeri setelah operasi.
2) Kontraindikasi :
a) Orang yang memiliki alergi terhadap derivat pirazolon.
b) Memiliki kelainan bawaan berupa defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-
dehidrogenase (G6PD) karena dapat menyebabkan eritrosit mudah
mengalami hemolisis.
c) Penderita yang hipersensitif atau yang juga memiliki riwayat alergi terhadap
obat-obat golongan NSAID lain seperti aspirin, parasetamol, dan
sebagainya.
d) Bayi yang berusia dibawah 4 bulan atau bayi yang memiliki berat badan di
bawah 5 kg.
e) Ibu hamil terutama 3 bulan pertama dan 6 minggu terakhir.
f) Bagi yang memiliki tekanan darah rendah di bawah 100 mmHg. Karena
metampiron memiliki efek menurunkan tekanan darah.
3) ESO :
a) Radang lambung rasa perih atau sakit pada uluhati (gastritis)
b) Hiperhidrosis keringat berlebih
c) Retensi cairan dan garam dalam tubuh
d) Reaksi alergi bagi mereka yang rentan atau sensitif, berupa gatal pada kulit,
kemerahan atau edema angioneurotik.
c. Meloxicam
1) Indikasi : nyeri dan radang pada penyakit reumatik; osteoartritis yang
memburuk (jangka pendek); ankilosing spondilitis.
2) Kontraindikasi :
a) Hipersensitif terhadap aspirin dan obat AINS lainnya
b) Penyakit ginjal berat
c) Wanita hamil, ibu menyusui, anak-anak
d) Ulserasi peptikum aktif atau berrulang
e) Insufisiensi ginjal berat non dialisa
f) Perdarahan saluran cerna, perdarahan pembuluh darah otak, atau gangguan
perdarahan lainnya.
3) ESO : gangguan saluran pencernaa, edema, nyeri, pusing, sakit kepala, anemia,
nyeri sendi, nyeri pada punggung dan pinggang, insomnia, infeksi saluran napas,
gatal-gatal, ruam, sering BAK, ISK.
7. Apakah pengobatan yang dijalani pasien selama ini sudah tepat atau belum?
Belum, karena tidak sesuai dengan rasionalisasi obat pada lansia.
a. Rasionalisasi obat pada usia lanjut
1) Regimen pengobatan: a) periode pengobatan jangan dibuat terlalu lama; b)
jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; c) obat harus diberikan atas
diagnosis pasti; d) harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja,
dosis dan efek samping yang mungkin timbul; e) apabila diperlukan pemberian
polifarmasi, prioritaskan pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi
gangguan fungsional; f) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil,
kemudian dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis optimal;
g) frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin, kalau mungkin
sekali sehari.
2) Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari separuh
dosis yang diberikan pada usia muda.
3) Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang atau bila
terjadi episode penyakit akut.
4) Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita, pemilihan
preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan mengingat, dan
pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain. Setiap efek samping
hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.
b. Jika dilihat skenario, pengobatan yang dijalani pasien kurang tepat, yakni :
1) Pasien membeli obat sendiri padahal seharusnya dari resep dokter.
2) Obat hipertensi bagi lansia yang tepat adalah golongan tiazid, dan dapat
dikombinasi dengan obat anti-hipertensi lain yaitu CCB, S-blocker, dll.
3) Lini pertama obat nyeri pada geriatric adalah paracetamol.
4) Furosemide tidak tepat karena furosemide ditujukan bagi hipertensi yang tidak
terkontrol dan kerja obat furosemide cepat.
Thiazide- tipe diuretk, Thiazide- tipe diuretk, ACEI, atau ARB, atau
atau ACEI, atau ARB, atau CCB, bisa bisa tunggal atau
atau CCB, bisa tunggal atau kombinasi
tunggal atau kombinasi
kombinasi
Strategi :
Untuk strategi A dan B,tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau
ARB, atau CCB, (gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan
kombinasikan AREI dan CCB
Target tercapai?
Tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau ARB, atau CCB,
(gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan kombinasikan AREI dan
CCB
Target tercapai?
Tambahkan obat dengan kelas berbeda (beta blocker, aldosterone antagonis,dll) atau
konsultasikan ke bagian spesialis hipertensi
c. Diabetes Mellitus
1) Pendahuluan
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu
resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan
awal insulin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan
kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara
ketiga gangguan tersebut, yang paling berperan adalah resistensi insulin. Hal ini
ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah
pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor
perubahan komposisi tubuh, antara lain massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola
makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi
sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1
(IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi
penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan
aksi insulin.
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat
badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan
meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga
glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi.
Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka
polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami
dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya
bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas
seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif
atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,
mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM
pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru
terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.
WHO mengakui dua bentuk Diabetes mellitus yaitu:
a) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang
dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga
tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat
penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama
pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes
tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi
pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah.
b) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan
oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan
metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang
mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik
namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut
sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang
ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes
yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi
produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin
pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada
beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya
resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi
terjadinya resistensi terhadap insulin. Obesitas ditemukan di kira-kira 90%
dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.
Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir
telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-
anak. Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas
fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat
pengurangan berat badan (Mogensen, 2007).
2) Terapi
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia
dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup
<5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif
risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan
secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan
kepatuhan pengobatan. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi
menjadi 2 tingkatan.
a) Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies)
Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling
cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri
dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah raga),
metformin, sulfonilurea, dan insulin.
b) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies)
Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian
orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya
pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion
(pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide)
(Kurniawan, 2010).
3) Prinsip Tatalaksana DM
a) Tujuan terapi gizi medis adalah untuk menururnkan atau mempertahankan :
i. Kadar glukosa darah mendekati normal,
i) Glukosa puasa sekitar 90-130 mg/dl
ii) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
iii) Kadar Aic <7 %
b) Tekanan darah <130/80 mmHg
c) Profil lipid :
i. LDL <100 mg/dl
ii. HDL >40 mg/dl
iii. Trigliserida <150 mg/dl
d) Berat badan senormal mungkin.
i. Prinsip latihan jasmani bagi diabetes memenuhi beberapa hal seperti
frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis,
ii. Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan
teratur 3-5 kali / minggu
iii. Intensitas : Ringan dan sedang
iv. Durasi : 30-60 menit
v. Jenis : Latihan jasmani endurans (aerobik) utk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda
4) Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Hipertensi
Etiologi Hipertensi pada lansia secara ringkas disebabkan oleh :
a) Meningkatnya usia akan menurunkan elastisitas dan meregangkan pada arteri
besar.
b) Perubahan aktivitas sistem saraf simpatis akan menambahkan jumlah
norephinephrin sehingga menurunkan tingkat kepekaan sistem reseptor beta
adrenergic, dan akan menurunkan fungsi relaksasi otot pembuluh darah.
Hipertensi pada penderita diabetes mellitus berhubungan dengan resistensi
insulin dan abnormalitas pada sistem rennin-angiotensin dan konsekuensi
metabolik.
Dikarenakan abnormalitas metaboliknya mengakibatkan disfungsi endotel.
Sel endotel sendiri mensinteis substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur
fungsi pembuluh darah seperti nitrid oksida yang akan menghambat
atherogenesis dan melindungi pembuluh darah, prostaglandin, endotelin, dan
angiotensin II.
Pada Diabetes Mellitus, hiperglikemi akan menghambat produksi
endothelium mengakibatkan sintesis superoksid anion yang akan merusak
formasi nitrid oksida.
Kondisi resistensi insulin juga akan menghambat produksi nitrid oksida
sehingga terjadi pelepasan asam lemak berlebihan. Bisa juga akibat adanya
hipertensi akan meningkatkan tekanan darah di pembuluh darah arteri sehingga
akan menghambat suplai oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh darah ke
jaringan tubuh. Manifestasinya antara lain nggliyeng serta mata berkunang-
kunang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya berbagai proses patologi pada lansia memiliki banyak penyebab. Penyebab
yang multifaktorial seperti faktor fisik, sosial, psikologis, biologis, dapat
bermanifestasi menjadi berbagai gejala /sindrom geriatri.
2. Secara molekuler, proses penuaan terjadi akibat produksi hasil metabolisme sel
berupa ROS (Reactive Oxygen Species). ROS menyebabkan mutasi sel, translasi
protein non fungsional, metabolisme sel terganggu, sehingga menyebabkan penuaan
hingga kematian sel.
3. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit majemuk
(multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial yang
bermasalah, sehingga kejadian jatuh pada pasien geriatri merupakan
kegawatdaruratan yang perlu dievaluasi.
4. Pasien geriatri pada skenario diatas mengalami tekanan darah dan kadar gula darah
tinggi sehingga didiagnosis menderita hipertensi dan diabetes melitus serta perlu
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis diabetes melitus dan reumatik.
B. Saran
1. Pada pasien geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya diawasi
dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan
penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan
diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai
dengan aturan pemakaiannya.
2. Faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh pada pasien geriatri dalam skenario
sebaiknya diperhatikan dan diatasi agar tidak terjadi berulangnya peristiwa jatuh.
Sebaiknya pasien geriatri dirawat oleh keluarga dan tidak tinggal sendirian di rumah.
3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan penatalaksanaan yang
tepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Bengston et al. (2009). Handbook of Theories of Aging. Springer Publishing Company: New
York.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp: 9-43.
Edelberg JM dan Reed MJ. (2003). Aging and angiogenesis. Frontiers Bioscience; 8: 1199-
209
Felson DT. (2008). Osteoarthritis. Dalam: Fauci AS, et al., editors. HARRISON's Principles
of Internal Medicine. 17th ed. New York:Mc Graw-Hill Companies Inc. pp:2158-2165.
Hallingbye, T., Martin, J., & Viscomi, C. (2011). Acute postoperative pain management in
the older patient. Aging Health, 7(6), 813-828. doi:10.2217/ahe.11.73
Haq I, Murphy E, Dacre J. (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 : 377 – 383.
Helmi, ZN. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Hochberg M, et al. (2012). American College of Rheumatology recommendations for the use
of nonpharmacologic and pharmacologic therapies in osteoarthritis of the hand, hip, and
knee. Arthritis Care Res, 64(4), pp:465-474.
James PA, et al. (2014). Evidence-based guideline for the management of high blood pressure
in adults: (JNC 8). JAMA;311(5):507-20
Kaplan N.M. (2006). Primary Hypertension: Pathogenesis,Mechanism.Of Hypertension
with Obesity in: Kaplan’s Clinical Hypertension edisi ke-9. Philadelphia, USA:
Lippincott W
Katzung B, Masters S, Trevor A. (2012). Basic & clinical pharmacology. New York:
McGraw-Hill Medical.
Khanna D, et al. (2012). 2012 American College of Rheumatology guidelines for
management of gout. Part 1: Systematic nonpharmacologic and pharmacologic
therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis Care Res, 64(10), pp.1431-1446.
Kurniawan I. (2010). Diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia.
Vol.60(12): 576-584.
Kozier B. (2003). Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & ERb, Ed 5. Jakarta: EGC.
Levy DB. (2016). Soft Tissue Knee Injury. [online] Emedicine.medscape.com. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/826792-overview[Diakses 6 Mar. 2016].
Lozada CJ. (2015). Osteoarthritis. [online] Emedicine.medscape.com. Tersedia
di:http://emedicine.medscape.com/article/330487-overview[Diakses 6 Mar. 2016].
Mansjoer A et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.
Meiner SE. (2011). Gerontologic Nursing Fourth Edition. USA : Elsevier Mosby.
Maramis WF. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. pp: 193
Martono H, Nasution I (2010). Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut. Dalam:
Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri edisi ke-4. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 779-789
Mogensen C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New York:
Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho W. (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Price SA. (2002). Pathophysiology: clinical concepts of diseases processes. 6th ed. Elsevier
Science: Mosby.
Price SA dan Wilson LM. (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses Penyakit. Edisi ke-4.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 - 1222.
Setiati S, et al. (2009). Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B,et al., editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 757-761.
Soeroso S, et al. (2006). Osteoartritis. In: Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi IV. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 1195-1201.
Swagerty JR, dan Deborah DLH. (2001). Radiographic assessment of osteoartritis. American
family physician [serial on the Internet]. Available from: www.aafp.org/afp.
Taliaferro PM dan Price CA. (2001). Aging increases risk for medication problems. Senior
Series; 127: 1-3.
Tinetti M. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. N Engl Journal Medicine. (348), 42 -
49
Tjokroprawiro HA. (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi. Surabaya:
Airlangga University Press. pp: 27, 51.