Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GERIATRI SKENARIO I


DIRIKU YANG TIDAK BERDAYA

KELOMPOK VI

ADE CAHYANA PUTRA G0013003


ANISA KUSUMA ASTUTI G0013033
APRILYA RESTU SURYA WIRANANDA G0013035
AUDHY KHANIGARA S G0013047
BENING DEWI RUSLINA G0013057
DINA LUTHFIYAH G0013075
IMASARI ARYANI G0013117
INDRA HAKIM FADIL G0013119
KHARIZ FAHRURROZI G0013131
LAURITA LARAS PRATIWI G0013133
RAYNALDA CHRIESMART DEZMONDA G0013195
TITA NUR ALFINDA G0013225

TUTOR :
KHOTIJAH, S.KM, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015/2016

BAB I

PENDAHULUAN
DIRIKU YANG TIDAK BERDAYA

Kakek Taruno, seorang pensiunan tentara, yang mashi bugar di usianya yang 65
tahun, tiba-tiba merasa leher cengeng, berkunang-kunang dan jatuh pada saat berjalan-jalan.
Esok harinya beliau kesakitan, dan tidak dapat berjalan, lutut tampak bengkak, kemerahan,
bahkan sulit digerakkan dan minta dibawa ke UGD. Kepada dokter UGD beliau
menceritakan dalam 3 bulan ini sudah jatuh beberapa kali, sering pusing berputar, mata
kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.

Riwayat pengobatan sebelumnya beliau berobat di puskesmas diberi obat furosemid


½ tablet secara rutin, kadang-kadang mengonsumsi juga antalgin atau meloxicam yang dibeli
di toko obat untuk meredam nyeri sendi yang sering kambuh.

Dari pemeriksaan dokter tekanan darah 180/100 mmHg. Hasil pemeriksaan


laboratorium UGD didapatkan GDS 250mg/dl, Hb 10.5 gr %, tidak ditemukan proteinuria,
EKG dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi regio genu didapatkan soft tissue
swelling, celah artikulasio genu menyempit dengan deformitas tulang dan diskontinuitas
tulang femur 1/3 distal dekstra.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

SEVEN JUMPS

A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


skenario
1. Meloxicam : adalah obat anti-inflamasi (OAINS). Ia bekerja dengan mengurangi
hormon yang menyebabkan peradangan dan rasa sakit di tubuh. Meloxicam
digunakan untuk mengobati rasa sakit atau peradangan yang disebabkan oleh
rheumatoid arthritis dan osteoarthritis pada orang dewasa.
2. Antalgin : adalah derivat metansulfonat dari Amidopirina yang bekerja terhadap
susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan
mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh. Tiga efek utama adalah sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi.
3. Furosemid : digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Menurunkan tekanan
darah tinggi membantu mencegah stroke, serangan jantung, dan masalah ginjal.
Furosemide digunakan untuk mengurangi cairan ekstra dalam tubuh (edema) yang
disebabkan oleh kondisi seperti gagal jantung, penyakit hati, dan penyakit ginjal.
Yang dapat mengurangi gejala-gejala seperti sesak napas dan pembengkakan di
lengan, kaki, dan perut. Furosemide adalah diuretik kuat yang menyebabkan produksi
urin meningkat.
4. Cengeng : merupakan istilah dalam bahasa jawa untuk kaku leher.
5. Diskontinuitas tulang femur : fraktur tulang femur, dapat erupa suatu retakan bahkan
sampai suatu patahan yang komplit dan terjadi pergeseran tulang.
B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario kedua antara lain:
1. Bagaimana karakteristik penyakit pada geriatri?
2. Bagaimana perubahan fisiologis, anatomis, dan biologis pada geriatri?
3. Mengapa pada kasus pasien tiba-tiba merasa leher cengeng, mata berkunang-kunang,
dan jatuh?
4. Mengapa pasien dalam 3 bulan sudah jatuh beberapa kali, merasa pusing berputar,
mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa?
5. Mengapa pasien mengalami lutut bengkak kemerahan, kesakitan, dan tidak bisa
berjalan?
6. Bagaimana hubungan antara pengobatan pasien dengan gejala yang dialami?
7. Bagaimana interpretasi vital sign?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium dan radiologi?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai


permasalahan (tersebut dalam langkah II)

1. Karakteristik penyakit pada geriatri


Pasien geriatri adalah orang tua berusia 60 tahun ke atas yang memiliki penyakit
majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan atau kondisi
sosial yang bermasalah. Pasien geriatri memiliki karakteristik khusus, yaitu umumnya
telah terjadi berbagai penyakit kronis, fungsi organ yang menurun, dan penurunan
status fungsional (disabilities). Akibatnya, pasien geriatri sering mendapatkan banyak
obat dari banyak dokter. Hal ini justru membahayakan tubuh mereka karena fungsi-
fungsi organ yang sudah menurun. Berbeda dari pasien muda, stres fisis atau
psikososial yang relatif ringan dapat memicu timbulnya penyakit akut pada pasien
geriatri. Oleh karena itu, kualitas perawatan yang baik sangat diperlukan dalam
pengelolaan pasien.

2. Perubahan fisiologis, biologis, dan anatomis pada geriatri


A. Perubahan fisiologis

Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat


menjadi seseorang yang ‘frail’ (lemah, rentan) dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan system fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit
dan kematian secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan
seiring – waktu yang terjadi pada sebagian besar mahkluk hidup, yang berupa
kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan,
hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait – usia.

Seiring bertambahnya usia, terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak


hanya berpengaruh pada penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan responnya
terhadap kehidupan sehari – hari. Namun harus dicermati, bahwa setiap individu
mengalami perubahan – perubahan tersebut secara berbeda pada beberapa individu,
laju penurunannya mungkin cepat dan dramatis, sementara untuk lainnya,
perubahannya lebih tidak bermakna.

Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dengan


pengenalan konsep homeostenosis. Konsep ini diperkenalkan oleh Walter Cannon
pada tahun 1940 dimana terjadi pada seluruh system organ pada individu yang menua.
Pengenalan terhadap konsep ini penting untuk memahami berbagai perubahan yang
terjadi pada proses penuaan. Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologi
penuaan adalah keadaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang
terjadi seing meningkatnya usia pada setiap system organ.

Gambar 1. Skema homeostenosis yang menunjukkan bahwa seiring dengan


meningkatnya usia maka cadangan fisiologis semakin berkurang (modifikasi dari
Tafflet GE,2003 available at www.ouahsc.edu)
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia jumlah
cadangan fisiologis untuk menghadapi berbagai perubahan yang mengganggu
homeostasis ( challenge ) berkurang. Setiap challenge terhadap homeostasis
merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar (baseline), dan semakin besar
challenge yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis yang diperlukan untuk
kembali ke homeostasis. Di sisi lain dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis,
maka seseorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu ambang ( yang disebut
sebagai “precipe”), yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian akibat challenge
tersebut.

Penerapan konsep homeostenosis ini tergambar pada system skoring


APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation), suatu skala penilaian
beratnya penyakit, penilain perubahan fisiologis akut yang terjadi dinyatakan denagan
semakin besarnya deviasi dari nilai homeostasis pada 12 variabel, antara lain tanda
vital, oksigenasi, pH, elektrolit, hematocrit, dll. Seorang normal pada keadaan
homeostasis mempunyai nilai nol. Semakin besar penyimpangan dari homeostasis
skornya semakin besar. Pada awal penerapannya, skoring APACHE ini tidak
memasukkan variable usia sebagai salah satu penilaian. Terlihat bahwa dengan
penimpangan yang lebih kecil dari keadaan homeostasis, seoranga usia tua lebih
rantan untuk menjadi sakit atau meninggal dibandingkan orang muda.

Dengan mengingat bahwa mempertahankan keadaan homeostasis merupakan


proses yang aktif dan dinamis. Seorang usia lanjut tidak hanya memiliki cadangan
fisiologis yang makin berkurang, namun mereka juga memakai atau menggunakan
cadangan fisiologis itu hanya untuk mempertahankan homeostasis. Akibatnya akan
semakin sedikit cadangan yang tersedia untuk menghadapi challenge.
Gambar 2. Cadangan fisiologis yang ada sudah terpakai hanya untuk
mempertahankan homeostasis (Tafflet GE, 2003)

Konsep homeostenosis inilah yang dapat menjelaskan berbagai perubahan


fisiologis yang terjadi selama proses menua dan efek yang ditimbulkannya.

B. Perubahan anatomis

1. Sel.
o Lebih sedikit jumlahnya.
o Lebih besar ukurannya.
o Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler.
o Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati.
o Jumlah sel otak menurun
o Terganggunya mekanisme perbaikan sel
o Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.
2. Sistem Persarafan.
o Berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam
setiap harinya).
o Cepatnya menurun hubungan persarafan.
o Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres.
o Mengecilnya saraf panca indra.Berkurangnya penglihatan, hilangnya
pendengaran, mengecilnya saraf penciumdan perasa, lebih sensitif terhadap
perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
o Kurang sensitif terhadap sentuhan.
3. Sistem Pendengaran.
o Presbiakusis ( gangguan dalam pendengaran ). Hilangnya kemampuan
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada
yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada
usia diatas umur 65 tahun.
o Otosklerosis akibat atrofi membran tympani .
o Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin.
o Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan
jiwa/stres.
4. Sistem Penglihatan.
o Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
o Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
o Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak.
o Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan
lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.
o Hilangnya daya akomodasi.
o Menurunnya lapangan pandang, berkurang luas pandangannya.
o Menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.
5. Sistem Kardiovaskuler.
o Elastisitas dinding aorta menurun.
o Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
o Kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini menyebabakan
menurunnya kontraksi dan volumenya.
o Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah
perifer untuk oksigenisasi,. Perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk
ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing
mendadak.
o Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer.
6. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh.
o Temperatur tubuh menurun ( hipotermia ) secara fisiologis akibat metabolisme
yang menurun.
o Keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya
aktivitas otot menurun.
7. Sistem Respirasi
o Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
o Menurunnya aktivitas dari silia.
o Paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan
maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun.
o Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.
o Kemampuan untuk batuk berkurang.
o Kemampuan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan
pertambahan usia.
8. Sistem Gastrointestinal.
o Kehilangan gigi akibat Periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi
yang buruk.
o Indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecapm di lidah
terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.
o Eosephagus melebar.
o Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
o Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
o Daya absorbsi melemah.
9. Sistem Reproduksi.
o Menciutnya ovari dan uterus.
o Atrofi payudara.
o Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur.
o Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi
kesehatan baik.
o Selaput lendir vagina menurun.
10. Sistem Perkemihan
o Ginjal
o Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urin, darah
yang masuk ke ginjal disaring di glomerulus (nefron). Nefron menjadi atrofi dan
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%.
o Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat
dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.
11. Sistem Endokrin.
o Produksi semua hormon menurun.
o Menurunnya aktivitas tyroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate), dan
menurunnya daya pertukaran zat.
o Menurunnya produksi aldosteron.
o Menurunya sekresi hormon kelamin misalnya, progesteron, estrogen, dan
testosteron.
12. Sistem Kulit ( Sistem Integumen )
o Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
o Permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinisasi, serta
perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis.
o Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.
o Rambut dalam hidung dan telinga menebal.
o Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi.
o Pertumbuhan kuku lebih lambat.
o Kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya.
o Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
13. Sistem Muskuloskletal
o Tulang kehilangan density ( cairan ) dan makin rapuh.
o Kifosis
o Pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas.
o Persendiaan membesar dan menjadi kaku.
o Tendon mengerut dan mengalami skelerosis.
o Atrofi serabut otot ( otot-otot serabut mengecil ).Otot-otot serabut mengecil
sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi
tremor.
o Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.
C. Perubahan Biologis
o Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu adanya perubahan
genetika yang mengakibatkan terganggunya metabolisme protein, gangguan
metabolisme Nucleic Acid dan deoxyribonucleic (DNA), terjadinya ikatan DNA
dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetika, gangguan kegiatan
enzim dan sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal
darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim serta adanya penambahan
lipofuscin.
Perubahan yang terjadi di sel otak dan syaraf berupa jumlah sel menurun dan fungsi
digantikan sel yang tersisa, terganggunya makanisme perbaikan sel, kontrol inti sel
terhadap sitoplasma menurun, terjadinya perubahan jumlah dan struktur mitokondria,
degenerasi lisosom yang mengakibatkan hoidrolisa sel, berkuarngnya butir Nissil,
penggumpalkan kromatin, dan penambahan lipofiscin, terjadi vakuolisasi protoplasma
o Perubahan yang terjadi di otak lansia adalah otak menjadi trofi yang beratnya
berkurang 5 sampai 10% yang ukurannya kecil terutama di bagian prasagital, frontal
dan parietal, jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti dengan yang baru,
terjadi pengurangan neurotransmiter, terbentuknya struktur abnormal di otak dan
akumulasi pigmen organik mineral (lipofuscin, amyloid, plaque, neurofibrillary
tangle), adanya perubaan biologis lainnya yang mempengaruhi otak seperti gangguan
indera telinga, mata, gangguan kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid, dan
kartikosteroid.
o Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein, peningkatan
metaplastic protein seperti kolagen dan elastin.
3. Alasan pasien tiba-tiba merasa leher cengeng dan mata berkunang-kunang

Leher cengeng disebabkan karena adanya Atrofi serabut otot (otot-otot serabut
mengecil). Otot-otot serabut mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban,
otot-otot kram dan menjadi tremor.
Hipertensi menimbulkan gangguan fisik yang terlihat dari gejala fisik yang sering
ditemui, seperti sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer, 2000). Salah
satu penyebab hipertensi adalah stres, yang dapat memicu kambuhnya hipertensi.
Stres menyebakan gangguan pada kesehatan mental lansia (Meiner, 2011).

Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi


perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh
darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur.
Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar
dan mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor
juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin
dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada
pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas baroreseptor jugamenyebabkan
kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia
sering terjadi hipotensi ortostatik yang menyebabkan pandangan berkunang-kunang,
kehilangan keseimbangan, dan jatuh.
4. Alasan pasien dalam 3 bulan sudah jatuh beberapa kali, merasa pusing berputar,
mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa
A. Sering jatuh

Untuk dapat memahami faktor resiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas
badan ditentukan atau dibentuk oleh :

a. Sistem sensorik
Yang berperan di dalamnya adalah : visus (penglihatan), pendengaran,
fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata
akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada
lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vertibuler akibat proses
menua. Neuropati perifer dan penyakit degenaritf leher akan mengganggu fungsi
proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga
penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
b. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal
sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan gungsi SSP sehingga
berespon tidak baik terhadap input sensorik.
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya
resiko jatuh.
d. Musculoskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa oleh beberapa peneliti merupakan
faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap
terjadinya jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya
berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan
oleh :
1) Kekakuan jaringan penghubung Berkurangnya masa otot
2) Perlambatan massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus / lapangan pandang
5) Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan :

1) Penurunan range of motio (ROM) sendi


2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremias
bawah
3) Perpanjangan waktu reaksi
4) Kerusakan persepsi dalam
5) Peningkatan postural sway (goyangan badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek,


penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat
dan lebih cenderung gampang gouah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia
susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung,
kejadian tiba – tiba, sehingga memudahkan jatuh.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :

a. Faktor-faktor intrinik (faktor dari dalam)


1) Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
2) Penurunan visus dan pendengaran
3) Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan refleks postural karena proses
menua

Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai


penyakit seperti Stroke dan TIA yang mengakibatkan kelemahan tubuh sesisi ,
Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun Depresi yang
menyebabkan lansia tidak terlalu perhatian saat berjalan . Gangguan penglihatan
pun seperti misalnya katarak meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan
sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope, syncope lah yang sering
menyebabkan jatuh pada lansia.Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi.
Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau
penggunaan diuretik yang berlebihan.

b. Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar)


1) Obat – obatan yang diminum
2) Alat – alat bantu berjalan
3) Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)

Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak
di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan tempat
berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin
atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin
atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu
jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

Faktor – faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kecelakaan pada lansia:

a. Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di bawah.
b. Tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok.
c. Tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang.
d. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun.
e. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk pinggirnya, dan
benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser.
f. Lantai yang licin atau basah.
g. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan).
h. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

Faktor – faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh antara lain :

a. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali (
5% ), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki
gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak
kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya
yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang imobil ( jarang
bergerak ) ketika tiba – tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa
pertolongan.
b. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga,
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang
lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda perlengkapan rumah tangga,
lantai yang licin atau tak rata, penerangan ruang yang kurang
c. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari
penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya
sesak nafas akut pada penderita penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada tiba
– tiba pada penderita penyakit jantung iskenmik, dan lain – lain.

Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor, antara lain:

a. Kecelakaan :
Merupakan penyebab jatuh yang utama (30 – 50% kasus jatuh lansia).
1) Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung.
2) Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat
proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda-benda yang ada di
rumah tertabrak, lalu jatuh.
b. Nyeri kepala dan atau vertigo
c. Hipotensi orthostatic
1) hipovilemia / curah jantung rendah
2) disfungsi otonom
3) penurunan kembalinya darah vena ke jantung
4) terlalu lama berbaring
5) pengaruh obat-obat hipotensi
6) hipotensi sesudah makan.
d. Obat-obatan
1) Diuretik / antihipertensi
2) Antidepresen trisiklik
3) Sedativa
4) Antipsikotik
5) Obat-obat hipoglikemia
6) Alkohol
e. Proses Penyakit Yang Spesifik
Penyakit – penyakit akut seperti :
1) Kardiovaskuler :
a) aritmia
b) Stenosis aorta
c) Sinkope sinus carotis
2) Neurologi :
a) TIA
b) Stroke
c) Serangan kejang
d) Parkinson
e) Kompresi saraf spinal karena spondilosis
f) Penyakit serebelum
f. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
g. Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba.
1) Drop attack (serangan roboh)
2) Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba.
3) Terbakar matahari.
B. Pusing berputar
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat
Seiring dengan bertambahnya usia, struktur di dalam telinga mulai berubah dan
terjadi penurunan fungsi. Kemampuan seseorang untuk mendengar akan berkurang,
selain itu juga terdapat gangguan dalam menjaga keseimbangan baik ketika duduk,
berdiri, dan berjalan. Gangguan pendengaran yang terkait dengan umur yaitu
presbikusis.
C. Mata kabur

Ada beberapa hal yang membuat mata kabur pada pasien geriatri, yaitu
penurunan akomodasi, penurunan konstriksi pupil, dan proses penuaan.

Pada proses penuaan, terjadi awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan


akomodasi karena mengendurnya dan melemahnya otot siliaris pupil, lensa kristalin
mengalami sclerosis sehingga kehilangan elastisitasnya. Hal tersebut membuat mata
tidak bisa memfokuskan penglihatan jarak dekat, implikasinya sulit membacah uruf
yang kecil dan membaca dengan jarak yang dekat.

Selain itu, juga terjadi penurunan ukuran pupil atau pupil mengalami miosis
karena otot sfingter pupil mengalami sclerosis sehingga mengakkibatkan kesempitan
lapang pandang. Proses penuaan juga mnyebabkan lemak akan berkamulasi di sekitar
kornea dan membentuk lingkaran putih kekuningan antara iris dengan skelara, hal
inilah yang membuat mata pada geriatric akan kabur dan sukar fokus serta sensitifitas
terhadap cahaya meningkat.

D. Pendengaran berkurang
. Kemampuan mendengar telinga akan menurun, terutama pada frekuensi tinggi.
Salah satu faktor yang memengaruhi keadaan ini adalah hormon aldosteron. Pada
lansia penderita presbikusis didapatkan memiliki level aldosteron yang rendah.
Aldosteron memiliki efek untuk mengontrol transport ion kalium(K+) dan klor(Cl-) di
koklea melalui kanal ion Na+-K+-ATPase yang berfungsi untuk menjaga fungsi
pendengaran. Selain presbikusis gangguan pendengaran yang sering muncul pada usia
lansia yaitu tinnitus. Penumpukan kotoran telinga yang terlalu lama juga dapat
menimbulkan gangguan pendengaran seiring dengan bertambahnya usia (Dugdale,
2012).
E. Sering lupa
Penelitian neuroanatomi otak klasik menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran
sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan
patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut
neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan
degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary
tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun
jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut
tidak khas ditemukan pada penyakit Alzheimer.fenomena tersebut juga ditemukan
pada otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron
biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus
sereleus.

5. Alasan pasien mengalami lutut bengkak kemerahan, kesakitan, dan tidak bisa
berjalan
Munculnya gejala-gejala tersebut kemungkinan besar disebabkan karena
pasien terjatuh pada hari sebelumnya. Ketika jatuh dan lutut pasien terbentur dapat
terjadi inflamasi pada struktur-struktur pada lutut/patella; tulang, sendi, atau jaringan
lunak. Ketika terjadi trauma berupa benturan/tekanan yang terus menerus pada
struktur yang bersangkutan, reaksi inflamasi dapat terbentuk karena tubuh merasakan
adanya stressor yang memicu reaksi ini. Pada pasien dapat terjadi inflamasi pada
bantalan yang memikul persendian pada lutut yaitu bursae. Ketika terjadi inflamasi
(bursitis) akan didapatkan edema, kemerahan, namun jarang disertai keterbatasan
gerak. Selain itu dapat pula terjadi ruptur pada ligamen-ligamen pada lutut. Inflamasi
pada pasien juga dapat disebabkan karena benturan pada persendian dan struktur
tulang sehingga menyebabkan osteoartrhritis atau memperberat keluhan pasien yang
sejak dulu mengalami nyeri sendi. (Levy, 2016; Lozada, 2015)

6. Hubungan antara pengobatan pasien dengan gejala yang dialami

Pada kasus disebutkan bahwa pasien dalam pengobatan furosemide, antalgin, dan
meloxicam. Salah satu obat yang dapat menyebabkan keluhan yang dialami pasien
adalah furosemide. Furosemide termasuk golongan diuretik kuat/loop diuretic yang
salah satu sifatnya adalah ototoksik/mengganggu fungsi pendengaran. Efek samping
furosemide pada telinga adalah mengubah konsentrasi ion pada endolimfe dan
paralimfe sehingga dapat menyebabkan vertigo/pusing berputar. Selain itu juga dapat
menyebabkan tuli sensorineural yang reversibel dan dapat menyebabkan peningkatan
kadar asam urat (hiperurisemia) sehingga dapat menyebabkan gout yang
menyebabkan nyeri pada persendian. (Katzung, Masters dan Trevor, 2012)

7. Interpretasi vital sign


Terdapat tekanan darah pasien 180/100 mmHg , ini berarti pasien mengalami
hipertensi dimana rentang normalnya untuk pasien berusia lanjut adalah 130-150
untuk tekanan sistoliknya dan 80-90 untuk tekanan diastoliknya dan hipertensi pasien
telah masuk ke grade 2 karena tekanan darahnya telah berada di atas 160/100
(Keperawatan Klinis, 2011).

Tabel 1.Kategori Hipertensi


Kategori Systole (mmHg) Diastole Terapi
Normal <120 <80 -
Pre Hipertensi 120-139 80-89 Modifikasi gaya hidup
Hipertensi I 140-159 90-99 Modifikasi gaya hidup dan Obat
Anti Hipertensi tunggal/kombinasi
Hipertensi II ≥160 ≥100 Modifikasi gaya hidup dan Obat
Hipertensi kombinasi

8. Interpretasi pemeriksaan laboratorium dan radiologi


A. Pemeriksaan Laboraturium
Terdapat kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) 250 mg/dl hal ini
mengindikasikan terjadinya hiperglikemia pada pasien dimana rentang normalnya
untuk pasien berusia lanjut adalah<140 mg/dl , serta Hb 10.5 gr% juga mengalami
penurunan kadar Hb dimana kadar normalnya adalah 13-18 gr% (Keperawatan
Klinis, 2011).
B. Pemeriksaan radiologis
Terdapat soft tissue swelling pada regio genu pasien, ini berarti terjadi
inflamasi pada regiogenu pasien mungkin akibat dari trauma saat pasien terjatuh
dan dugaan ini diperkuat dengan temuan lain berupa deformitas/perubahan
struktur daripada artikulatio genu serta menyempitnya celah artikulatio tersebut
ditambah lagi adanya temuan lain berupa diskontinuitas tulang femur di 1/3 distal
dekstra yang menandakan terjadinya fraktur pada tulang femur kanan pasien.
D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III.

- Perubahan Fisiologi
Pasien Geriatri - Perubahan anatomi
- Perubahan biologi

Karakteristik

Penyakit Faktor Instrinsik


Geriatri

Faktor Instrinsik
Mudah Jatuh
& Ekstrinsik

Fraktur

Instrinsik: Ekstrinsik:
Hipertensi, Lingkungan,
DM, dst obat, dll
Mobilisasi
E. Langkah V: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Mengetahui diagnosis banding dan terapi pada kasus :
a. Hipertensi pada lansia
b. Diabetes mellitus pada lansia
c. Osteoarthritis pada lansia
d. Jatuh dan fraktur pada lansia
e. Demensia

F. Langkah VI: Mengumpulkan Informasi Baru


Masing – masing anggota tutorial mencari referensi mengenai learning
objective pada langkah V.
G. Langkah VII : Mengemukakan informasi yang didapat dari langkah VI

1. OSTEOARTHRITIS

A. Pengertian

Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi
mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi,
meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian
sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang
menghubungkan sendi. (Felson, 2008).

B. Patogenesis

Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA


primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab yang pasti ( tidak diketahui )
dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder, berbeda dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan
sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang
terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari dibandingkan dengan
OA sekunder (Soeroso et al, 2006).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat dihindari.
Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago
dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui (Soeroso et al, 2006).
Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh
beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson, 2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi sehingga
mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin
merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti
disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi (Felson, 2008).

Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang tersebar
di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan otot dan
tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi
bergerak (Felson, 2008).

Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan Aggrekan.
Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul – molekul aggrekan di antara jalinan-
jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat
dan memberikan kepadatan pada kartilago (Felson, 2008).

Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha elemen yang terdapat
pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1
(IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan
enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-
molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin
faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).

Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen tipe dua dan
aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada
fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial)
dari kartilago (Felson, 2008).

Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks, namun
stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF menginduksi
kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang
memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses
pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan
proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA
(Felson, 2008).

Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan kolagen
tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering
habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur (Felson, 2008).Kegagalan dari
mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan
timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008).

C. Gejala

1)Nyeri dalam pada sendi yang muncul/eksaserbasi pada penggunaan berlebihan yang merupakan
gejala utama OA

2)Penurunan range of motion (ROM) dan krepitus sheingga sulit bergerak

3)Kaku setelah istirahat (gelling) yang sering muncul sebagai kekakuan setelah bangun tidur
selama kurang dari 30 menit

D. Pemeriksaan Radiologi

Salah satu tanda pentung pada OA primer adalah abnormalitas pada sendi pemikul berat dapat
dilihat jelas dibanding sendi yang tidak memikul berat. Pada daerah ini dapat ditemukan
hilangnya/menyempitnya ruang antar sendi, sklerosis subchondral, dan terbentuknya kista.

E. Terapi farmakologis

Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul, mengoreksi
gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan
sendi ( Felson, 2006 ).

1) Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2), dan


Asetaminofen

Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan Inhibitor
COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas
obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama
dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat
AINS adalah dengan cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson,
2006 ).

2) Chondroprotective Agent

Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan
dari kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah :
tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya (
Felson, 2006 ).

GUIDELINE TERAPI

American College of Rheumatology (ACR) telah membuat guideline pengobatan OA yang


dibedakan berdasarkan lokasi OA. Untuk OA pada tangan obat yang digunakan adalah
satu/kombinasi dari:

- Capsaicin topical
- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) topikal, termasuk trolamine salisilat
- NSAID oral
- Tramadol

ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan obat-obatan intra-artikuler


atau golongan opioid untuk OA tangan. Pada orang tua usia >75 tahun lebih baik memakai topikal

Untuk OA lutut, ACR merekomendasikan :

- Asetaminofen
- NSAID Oral
- NSAID Topikal
- Tramadol
- Injeksi kortikosteroid Intra-artikuler

ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan chondroitin sulfate,


glucosamine, atau topical capsaicin untuk OA lutut. Dan tidak ada rekomendasi penggunaan
hyaluronat intra-artikuler, duloxetine, dan opioid.

Untuk OA panggul ACR merekomendasikan penggunaan satu/lebih obat dibawah untuk


manajemen awal :

- Asetaminofen
- NSAID oral
- Tramadol
- Injeksi kortikosteroid Intra-artikuler

ACR merekomendasikan (dengan syarat) untuk tidak menggunakan chondroitin sulfate, atau
glucosamine. Dan tidak ada rekomendasi penggunaan NSAID topikal, hyaluronat intra-artikuler,
duloxetine, dan opioid. (Hochberg et al., 2012)

2. GOUT ARTHRITIS

A. Pengertian

Asam urat merupakan sebutan orang awan untuk rematik pirai (gout artritis). Selain
osteoartritis, asam urat merupakan jenis rematik artikuler terbanyak yang menyerang
penduduk indonesia. Penyakit ini merupakan gangguan metabolik karena asam urat (uric
acid) menumpuk dalam jaringan tubuh, yang kemudian dibuang melalui urin. Pada kondisi
gout, terdapat timbunan atau defosit kristal asam urat didalam persendian. Selain itu asam
urat merupakan hasil metabolisme normal dari pencernaan protein (terutama dari daging,
hati, ginjal, dan beberapa jenis sayuran seperti kacang dan buncis) atau dari penguraian
senyawa purin yang seharusnya akan dibuang melalui ginjal, feses, atau keringan.
Gout adalah penyakit yang didominasi oleh laki-laki, rasio menjadi 20:1. Ini mungkin ada
selama masa muda, namun kejadian puncaknya setelah usia 40 tahun, dan perempuan
jarang menderita penyakit ini sebelum menopause. Gouty arthritis terutama melibatkan
sendi peripheral dari kaki dan tangan, sejauh ini keadaan yang paling umum adalah sendi
metatarsophalangeal dari kaki.
Berdasar penyebabnya dapat dibagi menjadi gout dan pseudogout. Gout disebabkan oleh kristal
monosodium urat monohidrat sedangkan pseudogout disebabkan oleh kristal kalsium
pyrophosphate dan penyakitnya disebut calcium pyrophosphate disease.

B. Gejala
Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada penyakit asam urat antara lain adalah sebagai
berikut :
1) Nyeri hebat pada malam hari, sehingga penderita sering terbangun saat tidur.
2) Saat dalam kondisi akut, sendi tampak terlihat bengkak, merah dan teraba panas.
Keadaan akut biasanya berlangsung 3 hingga 10 hari, dilanjutkan dengan periode tenang.
Keadaan akut dan masa tenang dapat terjadi berulang kali dan makin lama makin berat.
Dan bila berlanjut akan mengenai beberapa sendi dan jaringan bukan sendi.
3) Disertai pembentukan kristal natrium urat yang dinamakan thopi.
4) Terjadi deformitas (kerusakan) sendi secara kronis.

C. Terapi
Menurut guideline American College of Rheumatology (ACR) tahun 2012, Manajemen gout
dibagi menjadi 3 tahap yaitu:

1) Mengatasi serangan akut

2) Memberikan profilaksis serangan akut

3) Menurunkan kadar urat untuk mencegah deposit kristal urat

Penatalaksanaan serangan akut bertujuan menurunkan rasa nyeri dan inflamasi menggunakan obat
sebagai berikut :

- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), seperti indomethacin


- Kortikosteroid
- Kolkisin (sudah jarang dipakai untuk akut)
- Adrenocorticotropic hormone (ACTH)
- Kombinasi obat (kolkisin ditambah NSAID, kortikosteroid oral ditambah kolkisin,
steroid intra-articular tambah kolkisin atau NSAID)
- Terapi menurunkan kadar urat merupakan kontraindikasi penatalaksanaan akut
sehingga tidak boleh diberikan pada serangan akut.
Manajemen jangka panjang untuk menurunkan asam urat dengan :
- Allopurinol
- Febuxostat
- Probenecid

Karena obat diatas dapat mengubah kadar asam urat serum dan jaringan maka dapat menyebabkan
serangan akut. Untuk mengatasi gejala ini dapat digunakan profilaksis :

- Colchicine or low-dose NSAIDs


- Low-dose prednisone (if patients cannot take colchicine or NSAIDs)

Medikasi lain yang dapat digunakan adalah :

- Uricase dan pegloticase


- Vitamin C
- Anakinra
- Fenofibrate

Manajemen Nonfarmakologis :

- Menghindari konsumsi tinggi purin


- Menghindari konsumsi alkohol terutama bir
- Menghindari konsumsi soda atau makanan dengan pemanis sirup jagung dengan
fruktosa tinggi
- Mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis dan garam dapur
- Minum banyak air
- Menurunkan konsumsi kolestrol

(Khanna et al., 2012)

3. DEMENSIA

A. Pengertian

Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta terdapat
gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi ,
daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan menilai.

Jenis – Jenis Demensia :

1) Dementia degenerative Primer

Dikenal dengan tipe Alzheimer, keadaan yang meliputi perubahan jumlah, struktur, dan fungsi
neuron tertentu di korteks otak. Terjadi kekusutan dan fungsi neurofibriler dan plak-plak neuritdan
perubahan aktivitas kholinergik di daerah-daerah tertentu di otak. Terdapat factor genetic atau
kromosom, usia, riwayat keluarga, radikal bebas, toksin amiloid, pengaruh logam alumunium,
akibat virus, atau pengaruh lingkungan.

Terdapat 3 Fase:

a) Fase I ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk, dan gangguan visuo-
spatial

b) Fase II. Tanda yang mengarah ke kerusakan fokal-kortikal, tidak terlihat pola deficit yang
khas
c) Fase III. Pembicaraan terganggu berat, sama sekali hilang. Pemderita tidak mengenali diri
sendiri atau orang yang dikenalnya.

2) Dementia multi-infark

Didapatkan sebagai akibat/gejala sisa dari stroke kortikal atau subkortikal yang berulang.

3) Dementia Fronto-Temporal

Diakibatkan proses degenerative korteks anterior otak. Terdapat pencitraan neurologic fungsional
yang menunjukkan penurunan metabolism otak di daerah lobus temporal anterior dan frontal.
Gambaran klinis menggambarkan distribusi topografik dengan korteks temporal yang terkena, bisa
uni maupun bilateral.

4) Dementia pada penyakit neurologic

Penyakir neurologic yang sering disertai gejala dementia adalah:

a) Sindrom Parkinson

b) Khorea Huntington

c) Hidrosefalus bertekanan normal

B. Penyebab

D – drugs (obat-obatan)

E – emotional (gangguan emosi, missal depresi, dan lain lain)

M – metabolic atau endokrin

E – eye and ear (disfungsi mata dan telinga)

N – Nutritional

T – tumor dan trauma

I – infeksi

A – arteriosklerosis (komplikasi penyakit aterosklerosis, missal infark miokard, gagal


jantung,dan lain-lain) dan alcohol)
C. Terapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk
depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus
mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya
kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan
dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin,
galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati
gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.

Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga


meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan
memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori
ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan
neurotransmisi kolinergik (Maramis, 2003).

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena
potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin
dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal

(GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari
obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif (Nugroho, 2003).

Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk pada demensia biasanya tidak mungkin,
dengan penatalaksanaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita
(dan juga dari keluarga yang merawatnya). Prinsip utama penatalaksanaan penderita adalah
sebagai berikut :

1) Optimalkan fungsi dari penderita, dengan :

- Obati penyakit yang mendasarinya

- Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP

- Upayakan aktifitas mental dan fisik

- Hindari situasi yang menekan kemampuan mental

- Persiapkan penderita bial akan berpindah tempat

- Perbaikan gizi

2) Kenali dan obati komplikasi


- perilaku merusak

- Depresi

- Agresivitas

- inkontinensia

3) Upayakan pengobatan berkesinambungan

- Reakses keadaan kognitif dan fisik

- Pengobatan gangguan medik

4) Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarga

- Berbagai hal tentang penyakitnya

- Kemungkinan gangguan / kelainan yang bisa terjadi

- prognosis

5) Upayakan informasi pelayanan social yang ada pada penderita dan keluarganya

- Berbagaai pelayanan kesehatan masyarakat

- Nasehat hukum dan atau keuangan

6) Upayakan nasehat keluarga untuk

- Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga

- penanganan rasa marah atau rasa bersalah

- pengambilan keputusan untuk perumahan respite atau di institusi

- Kepentingan-kepentingan hukum/masalah etik

Derajat Gambaran klinik Kemungkinan pemecahan


sakit sosial
Ringan Alpa dan pelupa. Cenderung untuk Dapat dipertahankan hidup
melalaikan pekerjaan dirumah, tapi dirumah sendiri, bila
sering masih bisa mengerjakan kompetensi masih ada dan
pekerjaan yang mudah dengan suami/istri/ keluarga yang setia.
aman (masak sederhana). Bila janda/duda atau hidup
Tak mengompol, kebersihan sendiri biasanya memerlukan
pribadi masih baik. Masih bisa bantuan tetangga.
mengenali orang/alamat sendiri, Pengiriman makanan atau
mengetahui jalan sekitar rumah. membantu pekerjaan rumah.
Pembicaraan terbatas tapi masih Perlu dukungan di Klinik
bisa dimengerti. Mampu Lansia Siang (geriatric day
mengerjakan tugas khusus tertentu hospital), pusat lansia atau
rawatan respite.
Sedang “Pengembara yang gembira”, Bila janda/duda atau hidup
(tanpa seringkali tersesat diluar rumah, tak sendiri, tak aman hidup
disabilitas tahu alamat sendiri. dirumah sendiri, tapi mungkin
medis) Cenderung kecelakaan: biarkan gas bisa bertahan dengan
terbuka, masak sampai hangus, tak suami/istri/keluarga yang
hati-hati dengan api. Dapur sangat berbakti. Mereka yang
terbengkalai. Tak hiraukan untuk tak mempunyai keluarga
beli makanan. Tidur seenaknya dan memerlukan tempat di panti
mengompol. wredha, panti rawatan mental
untuk lansia.
Sedang Seperti diatas, akan tetapi mobilitas Tak tepat untuk hidup sendiri.
(dengan terbatas. Mungkin terpancang di Bila dengan keluarga
disabilitas tempat tidur atau di kursi. diperlukan dukungan yang
medis, sangat besar, sering
misal memerlukan rawatan rumah
stroke, sakit. Tak cocok untuk di panti
jatuh, hunian. Seringkali memerlukan
artritis tempat di institusi rawat jangka
berat) panjang.
Berat Gangguan memori berat, tak hirau Jarang sekali keluarga yang
(tanpa sama sekali pada higiene pribadi. mampu menangani sendiri
disabilitas Sering mengompol/ngobrok. Tak keadaan ini. Penderita
medis) berusaha untuk masak atau memerlukan rawatan institusi
memelihara diri, pembicaraan jangka panjang, seringkali di
kacau, inkoheren. unit psiko-geriatri.
Berat Seperti diatas, tapi terpancang Memerlukan rawatan jangka
(dengan ditempat tidur atau dikursi. panjang di bawah pengawasan
disabilitas geriatris.
medis)
Beberapa jenis obat yang berdasar pada patogenesis berkurangnya asetilkolin, yaitu dengan obat
golongan penghambat asetilkolin-esterase, antara lain Takrin dan Ekselon.

4. JATUH DAN FRAKTUR TULANG

A. Pengertian

Fraktur tulang adalah patahnya tulang seluruhnya maupun retaknya dari tulang dengan retaknya
memenuhi kriteria keretakan tertentu. Hal ini terjadi jika tulang menerima beban tekanan yang
melebihi kapasitasnya maka dari itu pada lansia lebih sering terjadi akibat dari pengeroposan
tulang atau yang sering kita sebut osteoporosis.

Defisiensi vitamin D berperan penting untuk terjadinya jatuh, diduga karena perannya pada
massa dan kekuatan otot. Metabolit vitamin D dapat mempengaruhi metabolism sel otot melalui
mediasi transkripsi gen, melalui jalur cepat yang tidak melibatkan sintesis DNA, dan melaui varian
alel reseptor vitamin D.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan
oleh densitas massa tulang, melainkan juga oleh faktor – faktor lain yang berkaitan dengan
kerapuhan fisik dan meningkatnya risiko untuk jatuh. Didapatkan data bahwa ada hubungan yang
kuat antara frekuensi kejadian jatuh dengan risiko terjadinya patah tulang. Didapatkan pula data
tipe jatuh yang meningkatkan risiko patah tulang panggul, yakni jatuh ketika posisi sedang
berputar.

Pada lansia fraktur yang terjadi dapat berakibat seperti ini :

1) Berkurangnya mobilitas.

2) Diperlukannya perawatan jangka panjang.

3) Rasa sakit kronis.

4) Buruknya kualitas hidup.


5) Meningkatnya resiko kematian.

Pada hakekatnya patah tulang diklasifikasikan menjadi seperti ini :

1) Simple (tertutup) : Tulang yang patah tetap berada di dalam kulit.

2) Compound (terbuka) : Tulang yang patah merobek jaringan kulit di atasnya.

3) Incomplete : Tulang yang patah cuma berupa retakan saja.

4) Complete : Tulang yang patah sampai benar-benar patah sampai terlepas.

Dari klasifikasi tersebut maka berbeda juga penanganan awalnya. Jika patah tulang yang terjadi
seperti incomplete dan simple dengan syarat kondisi fisik stabil maka dapat langsung diberi
tindakan operatif sebagai tatalaksananya. Jika patah tulang yang terjadi adalah complete maupun
compound maka kita harus mengontrol perdarahan yang mungkin terjadi serta mengembalikan
kondisi stabilnya.

Ada beberapa bagian yang paling sering saat fraktur terjadi , yaitu :

1) Pinggul.

2) Pergelangan tangan dan lengan.

3) Ruas-ruas tulang belakang (vertebrae).

4) Engkel dan tungkai bawah.

5) Tangan

6) Tulang-tulang rusuk.

B. Tatalaksana

Tujuan utama tatalaksana adalah mengembalikan pasien pada keadaan dan fungsi sebelum menjadi
fraktur. Hal ini dicapai dengan operasi diikuti mobilisasi dini. Aspek penting pasca operasi adalah
mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi akibat imobilisasi. Rehabilitasi harus dimulai satu hari
setelah operasi dengan mobilisasi bertahap dari tempat tidur ke kursi dan selanjutnya berdiri dan
berjalan. Pada hari pertama dapat dimulai dengan latihan kekuatan isometrikdan latihan mobilisasi.
Pada hari keempat latihan berdiri dan latihan berjalan dengan pegangan.

Pada pemeriksaan fisik dievaluasi adanya komplikasi akibat fraktur, faktor penyebab fraktur, dan
penyakit penyerta. Pemeriksaan fisik awal sangat pentung untuk mengevaluasi komplikasi yang
mungkin terjadi kemudian. Penilaian status nutrisi pasien dapat dinilai melalui berat badan, dan
tinggi badan, konsentrasi albumin, dan jumlah total limfosit. Penilain kulit dilakukan terhadap
adanya decubitus.

Perlu dilakukan tatalaksana terhadap nyeri yang seringkali timbul akibat fraktur. Pada keadaan
tersebut pasien dapat diberikan parasetamol 500mg hingga dosis maksimal 3000mg per hari. Bila
respon tidak adekuat dapat ditambahkan dengan kodein 10 mg. langkah selanjutnya adalah dengan
menggunakan obat antiiflamasi nonsteroid seperti ibuprofen 400 mg, 3 kali sehari. Pada keadaan
sangat nyeri (terutama bila terdapat osteoporosis), kalsitonin 50-100 IU dapat diberikan subkutan
malam hari. Golongan narkotik hendaknya dihindari karena dapat menyebabkan deliriu,

Pada perencanaan pulang ke rumah juga perlu dievaluasi faktor risiko seperti lingkungan saat jatuh
sebelumnya dengan tatalaksana perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi
kemungkinan jatuh berulang. Review dan kurangi konsumsi obat – obatan.

PENCEGAHAN JATUH PADA LANSIA

Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh pasti
terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.

Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : (Tinetti, 2003)

1. Identifikasi faktor resiko

Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor intrinsik risiko jatuh,
perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik
yang sering mendasari / menyebabkan jatuh.

Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.
Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih
dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk,
dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian
rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin,
sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan
kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.

Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan


harus diberikan sangat selektif dan dengan penjelasan yang komprehensif pada lansia dan
keluargannya tentang risiko terjadinya jatuh akibat minum obat tertentu.

Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk atau walker harus dibuat
dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi
badan lansia.

2. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan
pindah tempat, pindah posisi. Penilaian postural sway sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka
diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan (gait) juga harus
dilakukan dengan cermat apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan,
apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan.
Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.

3. Mengatur / mengatasi fraktur situasional

Faktor situasional yang bersifat serangan akut / eksaserbasi akut, penyakit yang dideriata lansia
dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional
bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut
diatas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan
penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi
penderita, aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai
hasil pemeriksaan kondisi fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka
dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik sangat melelahkan atau beresiko tinggi untuk
terjadinya jatuh.

5. HIPERTENSI

Pada usia ≥ 60 tahun, tekanan darah ≥ 150/90 mmHg dapat dikategorikan ke dalam hipertensi dan
harus memulai farmako terapi. Penatalaksanaan hipertensi ddidasarkan pada guideline dari JNC 8
seperti pada bagan di bawah.
Dewasa dengan hipertensi dengan usia ≥ 18 tahun

Perubahan gaya hidup

Tetapkan target tekanan darah dan inisisasi penobatan untuk


menurunkannya berdasarkan usia, diabetes, dan CKD

Usia ≥60 Usia < 60 Semua usia, Semua usia


tahun tahun dengan diabetes dengan CKD,
tanpa CKD dengan atau tanpa
diabetes

Target : <150/90 Target : <140/90 Target : <140/90 Target : <140/90


mmHg mmHg mmHg mmHg

Thiazide- tipe diuretk, Thiazide- tipe diuretk, ACEI, atau ARB, atau
atau ACEI, atau ARB, atau CCB, bisa bisa tunggal atau
atau CCB, bisa tunggal atau kombinasi
tunggal atau kombinasi
kombinasi

Strategi

A. Maksimalkan pengobatan pertama sebelum pengobatan kedua


B. Tambahkan penobatan kedua sebelum mencapai dosis
maksimum pengobatan pertama
C. Fixed drug combination
Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Untuk strategi A dan B,tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau
ARB, atau CCB, (gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan
kombinasikan AREI dan CCB

Untuk strategi C, titrasi dosis dari dosis inisial ke maksimum.

Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Tambahkan dan titrasi thiazide-tipe diuretic, atau ACEI, atau ARB, atau CCB,
(gunakan kelas obat yang berbedda dari sebelumnya, jangan kombinasikan AREI dan
CCB

Target tercapai?

Teruskan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

Tambahkan obat dengan kelas berbeda ( Beta blocker, aldosterone antagonis,dll) atau
konsultasikan ke bagian spesialis hipertensi

Target tercapai? Lanjutkan pengobatan


dan monitoring

Gambar 1. Guideline Manajemen Hipertensi (James et. al., 2014)


6. DIABETES MELLITUS PADA GERIATRI

Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin,
hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada
lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal.
Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Hal ini
ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa
75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula. Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat
disebabkan oleh 4 faktor perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih
banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap
berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya
jumlah gigi sehingga, perubahan neurohor- monal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat
menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.

Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu
tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang
batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah
cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi
pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat
hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali
berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status
kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan
inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat.
Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.

TERAPI

Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan komorbiditas
minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila
dilakukan kontrol gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan
perlu disesuaikan secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan
pengobatan. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan.

a. Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies)

Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost-effective untuk
mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk
menurunkan berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.

b. Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated therapies)

Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian orang, tetapi
dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke
dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1
agonis (exenatide). (Kurniawan, 2010)

40
BAB III
SIMPULAN

1. Terjadinya berbagai proses patologi pada lansia memiliki banyak penyebab.


Penyebab yang multifaktorial seperti faktor fisik, sosial, psikologis, biologis, dapat
bermanifestasi menjadi berbagai gejala /sindrom geriatri.

2. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit
majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial
yang bermasalah, sehingga kejadian jatuh pada pasien geriatri merupakan kejadian
yang perlu dievaluasi untuk menentukan langkah preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

3. Pasien geriatri pada skenario diatas mengalami tekanan darah dan kadar gula
darah tinggi sehingga didiagnosis menderita hipertensi dan Diabetes Melitus serta
perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis osteoarthritis dan
demensia.
BAB IV
SARAN

A. Saran untuk kelompok A6


1. Diharapkan masing-masing mahasiswa dapat lebih aktif dalam diskusi, dan
dapat saling berbagi ilmu antara satu dengan yang lain.
2. Diharapkan semua anggota dapat lebih menghargai pendapat antara satu
dengan yang lainnya agar diskusi berjalan dengan lebih kondusif dan
mendahulukan anggota yang belum memberikan pendapat.
3. Diharapkan semua anggota kelompok mampu memahami learning objectives
yang harus dicapai, sehingga tujuan pembelajaran pada skenario dapat
tercapai.
B. Saran untuk tutor
Tutor sudah mengarahkan hal – hal penting yang perlu didiskusikan oleh
mahasiswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Diharapkan tutor juga bisa
mendorong partisipasi mahasiswa agar lebih aktif dalam menyampaikan
pendapatnya.
C. Saran dari skenario
1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya
diawasi dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi,
toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat
yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta
ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya.
2. Faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh pada pasien geriatri dalam
skenario sebaiknya diperhatikan dan diatasi agar tidak terjadi berulangnya
peristiwa jatuh. Sebaiknya pasien geriatri dirawat oleh keluarga dan tidak
tinggal sendirian di rumah.
3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan penatalaksanaan
yang tepat bagi pasien.

42
DAFTAR PUSTAKA

Bengston et al. (2009). Handbook of Theories of Aging. Springer Publishing


Company : New York.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp: 9-43.
Edelberg JM dan Reed MJ. (2003). Aging and angiogenesis. Frontiers Bioscience; 8:
1199-209

Felson DT. (2008). Osteoarthritis. Dalam: Fauci AS, et al., editors. HARRISON's
Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York:Mc Graw-Hill Companies Inc.
pp:2158-2165.

Haq I, Murphy E, Dacre J. (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 : 377 –


383.
Helmi, ZN. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Hochberg M, et al. (2012). American College of Rheumatology recommendations for


the use of nonpharmacologic and pharmacologic therapies in osteoarthritis of the
hand, hip, and knee. Arthritis Care Res, 64(4), pp:465-474.

James PA, et al. (2014). Evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: (JNC8). JAMA;311(5):507-20

Swagerty JR, dan Deborah DLH. (2001). Radiographic assessment of osteoartritis.


American family physician [serial on the Internet]. Available from:
www.aafp.org/afp.

Khanna D, et al (2012). 2012 American College of Rheumatology guidelines for


management of gout. Part 1: Systematic nonpharmacologic and pharmacologic

43
therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis Care Res, 64(10), pp.1431-
1446.

Katzung B, Masters S, Trevor A. (2012). Basic & clinical pharmacology. New York:
McGraw-Hill Medical.

Kurniawan I. (2010). Diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol.60(12): 576-584.

Kozier B. (2003). Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & ERb, Ed 5. Jakarta: EGC.
Levy DB. (2016). Soft Tissue Knee Injury. [online] Emedicine.medscape.com.
Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/826792-overview[Diakses 6
Mar. 2016].

Lozada CJ. (2015). Osteoarthritis. [online] Emedicine.medscape.com. Tersedia


di:http://emedicine.medscape.com/article/330487-overview[Diakses 6 Mar.
2016].

Mansjoer A et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media


Aesculapius.

Meiner SE. (2011). Gerontologic Nursing Fourth Edition. USA : Elsevier Mosby.

Maramis WF. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya:
Airlangga University Press. pp: 193
Mogensen C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New York:
Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho W. (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC, pp: 54-65.
Price SA. (2002). Pathophysiology: clinical concepts of diseases processes. 6th ed.
Elsevier Science: Mosby.

44
Price SA dan Wilson LM. (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses Penyakit. Edisi
ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 - 1222.
Setiati S, et al. (2009). Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B,et al., editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 757-761.
Soeroso S, et al. (2006). Osteoartritis. In: Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp:
1195-1201.
Taliaferro PM dan Price CA. (2001). Aging increases risk for medication problems.
Senior Series; 127: 1-3.

Tinetti M. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. N Engl Journal Medicine.


(348), 42 - 49

Tjokroprawiro HA. (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi.


Surabaya: Airlangga University Press. pp: 27, 51

45

Anda mungkin juga menyukai