Anda di halaman 1dari 52

Asuhan Keperawatan Masalah Kesehatan Pada Lansia Yaitu Kemunduran dan

Kelemahan Lansia (14 impairment)

Diajukan sebagai tugas di mata kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen pembimbing :
Fatimah, S.Kp., M.Kep.,Sp. Kep. Kom

Disusun oleh :
Alan Anggara (1032191002)
Irene Dianita Pakpahan (1032191023)
Lailatul Mufidah (1032191025)
Nada Putri Irfianti (1032191045)
Ummu Atiyyah (1032191047)

Prodi S1 Keperawatan 2021


Universitas Mohammad Husni Thamrin
Jl. Raya Pondok Gede No.23-25 Jakarta Timur 13550
No.telpon 021-8096411 WA 08111735558
Fax : 021-8092235 Email : info@thamrin.ac.i
A. Masalah Kesehatan Pada Lansia
Sindrom gariatri adalah kumpulan gejala atau masalah Kesehatan yang
sering dialami oleh seorang pasien geriatric. Sindrom geriatric ini dikenal juga
dengan istilah 14 i yaitu (1) immobilisasi, (2) instabilitas postural, (3) inkotinensia
urin, (4) infection, (5) impairment of hearing and vision, (6) inanition, (7)
iatrogenic, (8) insomania, (9) intectual imparment, (10) Isolation (11) impectunity,
(12) irritable colon, (13) immune deficiency, (14) impotence. Sindrom geriatric ini
sangat penting untuk diketahui oleh petugas Kesehatan di puskesmas karena
sering merupakan gejala atau tanda awal dari penyakit yang mendasarinya
terjadinya sindrom ini. Petugas Kesehatan dipuskesmas seyogyanya dapat
mengenali sindrom geriatri ini, menelusuri penyebabnya, mencari ketertarikan
antar sindrom dan penyakit yang mendasarinya serta melakukan penatalaksaan
awal sindrom geriatri ini termasuk pencegahan dari dampak atau komplikasi yang
mungkin terjadi.

B. Masalah kesehatan pada lansia yaitu kemunduran dan kelemahan lansia (14
impairment)

1) Immobility (kurang bergerak)


Berkurangnya kemampuan gerak yang dikenal dengan istilah imobilisasi
digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom penurunan fungsi fisik
sebagai akibat dari penurunan aktivitas dan adanya penyakit penyerta. Tidak
mampu bergerak selama minimal 3 kali 24 jam sesuai defenisi imobilisasi.
Imobilisasi seringkali diabaikan dan tidak ditatalaksana dengan baik sejak
awal perawatan, baik di rumah maupun di rumah sakit. Penyebab harus dicari
karena imobilitas sering menjadi gejala pertama yang dikeluhkan oleh pasien
atau keluarga. Misalnya : stroke / CVD, pneumonia, Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), gagal jantung, osteoartritis, osteoporosis, depresi, malnutrisi,
Peripheral Arterial Disease/ PAD, keganasan/ kanker, anemia, efek obat, dan
lain lain. Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan
baik pada penyakit penyebab imobilisasi maupun masalah imobilisasi itu
sendiri, sehingga terjadinya komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah.
Penatalaksanaan adalah dengan mengobati penyakit atau masalah yang
menjadi penyebab, rehabilitasi dengan fisioterapi dan pencegahan terjadinya
komplikasi atau dampak, misalnya:
a. Kelemahan dan kontraktur otot sendi
 Mobilisasi dini & perubahan posisi scr
 teratur
 Latihan isometris teratur 10-20% tekanan max
 Latihan gerakan pasif 1-2x/hr 20 menit
b. Ulkus dekubitus
 Perubahan posisi lateral 30o
 Penggunaan kasur anti dekubitus & mika-miki
 Pasien kursi roda  reposisi tiap jam
c. Trombosis
 Mobilisasi dini
 Kompresi intermitten
 Pumping mechanism exercise
 Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur
 Latihan isometric
d. Konstipasi dan skibala
 Evaluasi kebiasaan BAB
 Asupan cairan (1500-2000 ml/hari)
 Asupan serat 30 gr/hari (sayur dan buah)
e. Status gizi
 Kalori & protein adekuat (25-30 kkal/kg bb & 0,8-1 gr/kg bb)
 Bila menjalani perawatan : 1,5 gr/kg bb
 Bila ada infeksi berat : > 1,5 gr/kg bb
 Suplementasi vitamin & mineral (Mg, Zn)

2) Instabilitas postural (jatuh dan patah tulang)


Perubahan cara jalan (gait) dan keseimbangan seringkali menyertai proses
menua. Instabilitas postural dapat meningkatkan risiko jatuh, yang selanjutnya
mengakibatkan trauma fisik maupun psikososial. Hilangnya rasa percaya diri,
cemas, depresi, rasa takut jatuh sehingga pasien terpaksa mengisolasi diri dan
mengurangi aktivitas fisik sampai imobilisasi. Gangguan keseimbangan
merupakan masalah kesehatan yang dapat disebabkan oleh salah satu atau
lebih dari gangguan visual, gangguan organ keseimbangan (vestibuler) dan
atau gangguan sensori motor.
Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset, sinkop/kehilangan
kesadaran mendadak, dizzines/vertigo, hipotensi orthostatik, proses penyakit
dan lain-lain. Dipengaruhi oleh faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada
pasien misalnya kekakuan sendi, kelemahan otot, gangguan 4 pendengaran,
penglihatan, gangguan keseimbangan, penyakit misalnya hipertensi, DM,
jantung, dll) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan
misalnya alas kaki tidak sesuai, lantai licin, jalan tidak rata, penerangan
kurang, benda-benda dilantai yang membuat terpeleset dll).

3) Incontinence Urin dan Alvi (Beser BAB dan BAK)


Secara umum inkontinensia urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan
menahan keluarnya urin atau keluarnya urin secara tak terkendali pada saat
yang tidak tepat dan tidak diinginkan. Beberapa penyebab timbulnya
inkontinensia urin antara lain adalah sindrom delirium, immobilisasi, poliuria,
infeksi, inflamasi, impaksi feses, serta beberapa obat-obatan. Inkontinensia
urin dapat menimbulkan masalah kesehatan lain seperti dehidrasi karena
pasien mengurangi minumnya akibat takut mengompol, jatuh dan fraktur
karena terpeleset oleh urin yang berceceran, luka lecet sampai ulkus dekubitus
akibat pemasangan pembalut, lembab dan basah pada punggung bawah dan
bokong. Selain itu, rasa malu dan depresi juga dapat timbul akibat
inkontinensia urin tersebut.

Penatalaksanaan :
 Latihan otot dasar panggul rutin dan teratur setiap hari
 Mengatur jadwal berkemih
 Jangan berkemih hanya karena ingin berkemih
 Cukup minum (1,5-2 liter/hari)
 Hindari minuman yang merangsang berkemih (kopi, air gula)
 Hindari sembelit (makanan tinggi serat)
 Konsultasi dengan dokter tentang obat-obatan yang dikonsumsi

4) Infection (infeksi)
Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada
Lanjut Usia. Pasien Lanjut Usia yang dirawat inap biasanya disebabkan karena
infeksi. Beberapa faktor penyebab terjadinya infeksi pada Lanjut Usia adalah
adanya perubahan sistem imun, perubahan fisik (penurunan refleks batuk,
sirkulasi yang terganggu dan perbaikan luka yang lama) dan beberapa penyakit
kronik lain. Infeksi yang paling sering terjadi pada Lanjut Usia adalah infeksi
paru, saluran kemih dan kulit. Gejala dan tanda infeksi pada Lanjut Usia
biasanya tidak jelas. Diantara penyakit-penyakit infeksi, pneumonia
merupakan yang paling sering menyebabkan kematian. Prevalensi pneumonia
cukup tinggi pada Lanjut Usia. Infeksi saluran kemih merupakan tipe infeksi
kedua yang paling sering ditemui pada Lanjut Usia.

5) Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,


penglihatandan penciuman) Gangguan pendengaran sangat umum ditemui
pada lanjut usia dan menyebabkan pasien sulit untuk diajak komunikasi.
Gangguan penglihatan bisa disebabkan gangguan refraksi, katarak atau
komplikasi dari penyakit lain misalnya hipertensi, DM, gangguan jantung,
PPOK dan obesitas. Sindroma derilium akut adalah sindroma mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif
atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi.
Gejalanya: gangguan kognitif global berupa gangguan memori jangka pendek,
gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), gangguan proses pikir (diorientasi waktu,
tempat, orang), komunikasi tidak relevan, pasien mengomel, ide pembicaraan
melompat-lompat, gangguan siklus tidur.

6) Inanition (malnutrisi) Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-
70 tahun. Anoreksia dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa kecap,
pembauan, sulit mengunyah, gangguan usus dll), psikologis (depresi dan
demensia) dan sosial (hidup dan makan sendiri) yang berpengaruh pada nafsu
makan dan asupan makanan.

7) Iatrogenic (penyakit karena tindakan medis) Lansia sering menderita penyakit


lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi
sebagian lansia sering menggunakan obat dalam jangka waktu 8 yang lama
tanpa pengawasan dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit. Akibat yang
ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut
yang dapat mengancam jiwa.

8) Insomnia (Sulit tidur) Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang
menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit
juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan gangguan
kelenjar thyroid, gangguan di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam
tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya. Berbagai keluhan
gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh lansia yaitu sulit untuk masuk
kedalam proses tidur, tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, jika
terbangun sulit untuk tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di
pagi hari. Agar bisa tidur : hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur, santai
mendekati waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari minum minuman
berkafein saat sore hari, batasi asupan cairan setelah jam makan malam ada
nokturia, batasi tidur siang 30 menit atau kurang, hindari menggunakan tempat
tidur untuk menonton tv, menulis tagihan dan membaca.
9) Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia dan
Delirium) Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori yang
disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan
tingkat kesadaran sehingga 5 mempengaruhi aktifitas kerja dan sosial secara
bermakna. Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup
berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau
mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien
menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas

10) Isolasi (Depression) Isolation (terisolasi) / depresi, penyebab utama depresi


pada lanjut usia adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup,
anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik
diri dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi.
Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan
pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi 7 depresi. Beberapa orang dapat
melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan. Impecunity
(Tidak punya penghasilan) Dengan semakin bertambahnya usia maka
kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara berlahan-lahan, yang
menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan
pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan penghasilan. Usia pensiun dimana
sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya.
Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat,
berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan seorang lansia mengalami
depresi.

11) Impecunity (Tidak punya penghasilan) Dengan semakin bertambahnya usia


maka kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara berlahan-lahan,
yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau
menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan penghasilan. Usia
pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari
tunjangan hari tuanya. Selain masalah finansial, pensiun juga berarti
kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan
seorang lansia mengalami depresi.

12) Insomnia (Sulit tidur) Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang
menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit
juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan gangguan
kelenjar thyroid, gangguan di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam
tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya. Berbagai keluhan
gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh lansia yaitu sulit untuk masuk
kedalam proses tidur, tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, jika
terbangun sulit untuk tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di
pagi hari. Agar bisa tidur : hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur, santai
mendekati waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari minum minuman
berkafein saat sore hari, batasi asupan cairan setelah jam makan malam ada
nokturia, batasi tidur siang 30 menit atau kurang, hindari menggunakan tempat
tidur untuk menonton tv, menulis tagihan dan membaca.

13) Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) Daya tahan tubuh


menurun bisa disebabkan oleh proses menua disertai penurunan fungsi organ
tubuh, juga disebabkan penyakit yang diderita, penggunaan obat-obatan,
keadaan gizi yang menurun. Impotence (Gangguan seksual), Impotensi/
ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia lanjut terutama
disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, syaraf, dan
pembuluh darah dan juga depresi.

14) impotence(gangguan fungsi seksual )

C. Asuhan Keperawatan Masalah Pada Lansia

1. Imobilisasi (Berkurangnya kemampuan gerak)


1. Pengkajian

Pengkajian muskuloskeletal dapat bersifat umum atau sudah

terfokus untuk masalah yang lebih spesifik. Pengkajian dapat meliputi

evaluasi status fungsional klien, kemampuan melakukan aktivitas sehari-

hari dan kemampuan memenuhi kebutuhan diri secara mandiri.

Pengkajian ini mengevaluasi kegiatan olahraga klien dan aktivitas

rekereasi klien yang dapat mempromosikan kesehatan muskuloskeletal

klien (Black & Hawks, 2014).

Menurut Mutaqqin A. (2012) pengumpulan data meliputi :

a. Anamnesis

1) Informasi biografi

Usia di atas 50 tahun memiliki risiko stroke berlipat ganda

pada setiap pertambahan usia, kemudian tempat tinggal yang

dimana masyarakat yang tinggal di perkotaan memiliki angka

kejadian tertinggi, serta tingkat pendidikan yang rendah, yaitu

tidak sekolah atau hanya tamat sekolah dasar memiliki risiko

yang demikian pula (Riskesdas, 2018). Jenis kelamin laki-laki

memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan


perempuan terkait kebiasaan merokok, risiko terhadap

hipertensi, hiperurisemia, dan hipertrigliserida lebih tinggi pada

laki-laki (Wardhana, 2011). Ras kulit hitam lebih sering

mengalami hipertensi dari pada ras kulit putih sehingga ras

kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke (AHA,

2015).

2) Keluhan utama

Pasien mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, nyeri saat

bergerak, enggan melakukan pergerakan, serta merasa cemas

saat bergerak (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

3) Riwayat kesehatan sekarang

Obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, kebiasaan merokok,

penyalahgunaan alkohol dan obat, serta pola hidup tidak sehat

(AHA, 2015). Diabetes mellitus, apnea tidur, fibrilasi atrium,

dislipidemia dengan penyakit jantung koroner (PJK) (Price S.

A & Wilson L. M. A, 2012).

4) Riwayat kesehatan dahulu

Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang

dikenal dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga berisiko

tinggi mengalami stroke (AHA, 2015). Gangguan jantung,

penyakit ginjal, serta penyakit vaskuler periver perlu dikaji

juga karena termasuk faktor yang menyebabkan stroke

(Pudiastuti, 2011).
5) Riwayat kesehatan keluarga

Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang

memiliki riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki risiko

tinggi mengalami stroke (AHA, 2015).

6) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menurut Harsono (2011) sebaiknya

dilakukan secara persistem dan dihubungkan dengan keluhan-

keluhan dari klien.

a) B1 (Breathing)

Pada klien dengan kesadaran komposmentis tidak

didapatkan kelainan. Jika klien dengan batuk didapatkan

peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan

otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Untuk auskultasinya didapatkan bunyi napas tambahan

seperti ronkhi. Pada tahap palpasi dadi didapatkan taktil

fremitus seimbang kanan dan kiri.

b) B2 (Blood)

Pada sistem kardiovaskuler biasanya didapatkan syok

hipovolemik, tekanan darah tinggi, yaitu lebih dari 200

mmHg.
c) B3 (Brain)

(1) Pengkajian tingkat kesadaran.

Keasadaran komposmentis dengan nilai

Glasgow Coma Scale (GCS) 15-14, kesadaran apatis

dengan nilai GCS 13-12, kesadaran delirium dengan

nilai GCS 11-10, kesadaran somnolen dengan nilai

GCS 9-7, kesadaran sopor dengan nilai GCS 6-5,

kesadaran semi koma atau koma ringan dengan nilai

GCS 4, dan yang terakhir kesadaran koma dengan

nilai GCS 3.

(2) Pengkajian fungsi serebral.

Pada pengkajian hemires, pasien dengan stroke

hemisfer kanan akan didapatkan hemiparese pada

sebelah kiri tubuh sedangkan pada pasien dengan

stroke hemifer kiri akan mengalami hemiparese

kanan.

(3) Pengkajian saraf kranial.

Pada pengkajian saraf kranial nervus olfaktori (nervus

I) akan didapatkan gangguan hubungan visual-spasial

pada pasien dengan hemiplegia kiri. Kemudian, pada

nervus asesoris (nervus XI) tidak didapatkan atrofi

otot sternokleidomartoideus dan trapezius.


(4) Pengkajian sistem motorik.

Pada pengkajian inspeksi umum akan didapatkan

hemiplegia yang dikarenakan lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Tanda yang lain adalah hemiparesis.

Kemudian, fasikulasi akan didapatkan pada otot-otot

ekstremitas, tonus otot mengalami peningkatan.

Kekuatan otot sendiri pada penilaian menggunakan

tingkat kekuatan otot pada sisi sakit akan didapatkan

tingkat nol. Koordinasi dan keseimbangan mengalami

gangguan akibat hemiparese dan hemiplegia.

Penilaian rentang gerak sendi tertentu dilakukan

setelah pemeriksaan di atas. Perawat harus menyadari

sendi yang meradang atau arthritis mungkin nyeri.

Gerakkan sendi dengan perlahan-lahan. Pada kondisi

normal sendi harus bebas dari kekakuan,

ketidakstabilan, pembengkakan, atau inflamasi.

(5) Pengkajian reflek.

Menurut Wilkinson, Nancy, Ehern (2011),

pemeriksaan reflek terdiri atas dua, yaitu pemeriksaan

refleks profunda dimana pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periusteum derajat reflek didapatkan

respon normal. Kemudian, pemeriksaan reflek


patologis pada fase akut reflek fisiologis sisi yang

lumpuh akan menghilang.

(6) Pengkajian sistem sensorik.

Pasien dapat mengalami hemihipestasi, yaitu

ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.

Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa

kerusakan sentuhan ringan atau berat berupa

kehilangan propriosepsi serta kesulitan dalam

menginterprestasikan stimuli visual, taktil, dan

auditorius (Wilkinson, Nancy, Ehern, 2011).

d) B4 (Bladder)

Pasien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara

yang dikarenakan konfusi, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan serta ketidakmampuan

mengendalikan kandung kemih dikarenakan kontrol

motorik dan postural. Inkontinesia urine yang

berkelanjutan menunjukkan kerusakan neurologis yang

luas.

e) B5 (Bowel)

Pada pasien akan didapatkan keluhan kesulitas menelan,

nafsu makan menurun, mual, dan muntah pada fase akut.

Terjadi konstipasi pada pola defeksasi akibat penurunan


peristaltik usus. Inkontinesia alvi yang berkelanjutan

menunjukkan kerusakan neurologis yang luas.

f) B6 (Bone)

Disfungsi motorik yang umum terjadi adalah hemiplegia

dikarenakan lesi pada sisi otak yang berlawanan dan

hemiparesis.

7) Ketergantungan aktivitas

Pengkajian activity of dailiy living (ADL) penting untuk

mengetahui tingkat ketergantungan, yaitu seberapa bantuan itu

diperlukan dalam aktivitas sehari-hari.

8) Risiko jatuh

Pasien dengan gangguan neurologi seperti pingsan dan

penurunan kesadaran dapat menyebabkan pasien mendadak

jatuh sehingga pasien perlu dibutuhkan pengawasan dan

observasi khusus secara terus-menerus. Golongan umur

responden lebih dari 55 tahun didapatkan hasil insiden jatuh

yang tinggi (Person, K.B. & Amdrew, F.C. 2011). Pengkajian

pasien dengan risiko jatuh dapat dilakukan dengan

multifactorial assessment dalam jangka waktu pasien dirawat.

b. Pemeriksaan penunjang

1) CT scan kepala

Pemeriksaan ini untuk mengetahui area infark, edema,

hematoma, struktur, dan sistem ventrikel otak (Anania, Pamela


C et.al, 2011). Terjadinya gangguan dari pembuluh darah otak

yang memberikan pasokan darah pada lobus tertentu akan

menyebabkan kelainan sesuai fungsi lobus, seperti gangguan

pada peredaran darah di lobus frontalis dan parietal yang akan

menyebabkan gangguan gerak atau kelemahan otot dan rasa

kebas pada kulit. Kemudian, bila gangguan terjadi di serebelum

akan mengakibatkan gangguan gerak dan koordinasi serta

keseimbangan (Elim, Tubagus, Ali, 2016).

2) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan daerah mana yang

mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena

(Anania, Pamela C et.al, 2011).

3) Pemeriksaan laboratorium

Pasien stroke yang melakukan pemeriksaan laboratorium yang

akan diperiksa, meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa

gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim

jantung, prothrombin time (PT) dan activated partial

thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan gula darah yang

bertujuan mendeteksi hipoglikemia atau hiperglikemia yang

dimana pada kedua keadaan tersebut dapat dijumpai gejala

neurologis. Pemeriksaan elektrolit bertujuan untuk mendeteksi

gangguan elektrolit. Kemudian, pemeriksaan analisa gas darah

diperlukan untuk mendeteksi asidosis metabolik. Hipoksia dan


hiperkapnia juga dapat menyebabkan gangguan neurologis.

Pemeriksaan prothrombin time (PT) dan activated partial

thromboplastin time (aPTT) sendiri digunakan untuk menilai

aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Selanjutnya, pada

pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data

mengenai kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit,

lekosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia

vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah

kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke

(Rahajuningsih, 2009).

2. Diagnosa keperawatan

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) gangguan mobilitas

fisik masuk dalam kategori fisiologis. Kategori fisiologis sendiri terdiri

dari beberapa subkatergori, antara lain respirasi, sirkulasi, nutrisi dan

cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat, neurosensori, serta reproduksi

dan seksualitas. Gangguan mobilitas fisik masuk dalam subkategori

aktivitas dan istirahat bersama dengan masalah keperawatan

disorganisasi perilaku bayi, gangguan pola tidur, intoleransi aktivitas,

keletihan, kesiapan peningkatan tidur, risiko disorganisasi perilaku bayi,

dan risiko intoleransi aktivitas. Kemudian, gangguan mobilitas fisik

memiliki 21 etiologi, antara lain gangguan mobilitas fisik berhubungan

dengan kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme,

ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan massa otot,


penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekauan sendi,

kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan

neuromuskular, indeks massa tubuh di atas presentil ke-75 sesuai usia,

efek agen farmakologis, program pembatasan gerak, nyeri, kurang

terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,

keengganan melakukan pergerakan, gangguan sensoripersepsi.

Kemudian, terdapat diagnosa yang mungkin muncul pada pasien

dengan stroke, yaitu :

a. Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) diagnosa yang mungkin

muncul pada pasien dengan masalah keperawatan gangguan

mobilitas fisik yaitu :

1) Risiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun (Tim

Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

2) Risiko gangguan integritas kulit atau jaringan berhubungan

dengan penurunan mobilitas (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

3) Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan

hipertensi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).


3. Rencana keperawatan

Tabel 1. Rencana keperawatan gangguan mobilitas fisik SLKI dan SIKI.


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
Gangguan Setelah dilakukan a. Identifikasi adanya
mobilitas fisik tindakan keperawatan nyeri atau keluhan
berhubungan dukungan mobilisasi fisik lainnya.
dengan selama … kali b. Identifikasi toleransi
neuromuskular. pertemuan, diharapkan fisik melakukan
(SDKI D.0054, mobilitas fisik pasien pergerakan.
2017) meningkat dengan c. Monitor frekuensi
kriteria hasil : jantung dan tekanan
a. Pergerakan darah sebelum
ekstremitas memulai mobilisasi
meningkat. d. Fasilitasi melakukan
b. Kekuatan otot pergerakan.
cukup meningkat. e. Jelaskan tujuan dan
c. Rentang gerak prosedur mobilisasi.
(ROM) f. (SIKI I.05173, 2018)
meningkat.
d. Nyeri menurun .
e. Kekakuan sendi
cukup menurun.
f. Kelemahan fisik
cukup menurun.
g. Kecemasan
menurun.
h. Gerakan terbatas
cukup menurun.
i. Gerakan tidak
terkoordinasi
cukup menurun.
(SLKI I.05042, 2019)
Tabel 2. Rencana keperawatan risiko jatuh SLKI dan SIKI.
Diagnosa Tujuan dan Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
Risiko jatuh Setelah dilakukan a. Identifikasi faktor risiko
berhubungan tindakan jatuh.
dengan keperawatan b. Identifikasi faktor
kekuatan otot pencegahan jatuh lingkungan yang
menurun. selama … kali 24 meningkatkan risiko jatuh.
(SDKI jam, diharapkan c. Hitung risiko jatuh
D.0143, 2017) tingkat jatuh pasien menggunakan skala.
menurun dengan d. Pastikan roda tempat tidur
kriteria hasil : selalu dalam keadaan
a. Jatuh dari terkunci.
tempat tidur e. Pasang handrail tempat
menurun. tidur.
b. Jatuh saat f. Atur tempat tidur mekanis
dipindahkan pada posisi rendah.
menurun. g. Anjurkan memanggil
(SLKI L.14138, perawat jika membutuhkan
2019) bantuan untuk berpindah.
(SIKI I.14540, 2018)
h.
Tabel 3. Rencana keperawatan risiko gangguan integritas kulit SLKI dan
SIKI.
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Risiko Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi
gangguan keperawatan … kali 24 jam, penyebab
integritas kulit diharapkan integritas kulit gangguan
atau jaringan dan jaringan meningkat integritas kulit
berhubungan dengan kriteria hasil : b. Lakukan masase
dengan a. Sensasi kulit membaik. punggung setiap
penurunan b. Kemerahan menurun. setelah mandi
mobilitas. c. Nyeri menurun. c. Gunakan produk
(SDKI (SLKI L.14125, 2019) minyak pada kulit
D.0139, 2017) kering
d. Anjurkan
menggunakan
pelembab
e. Anjurkan minum
air yang cukup
f. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi.
(SIKI I.11353, 2018)
Tabel 4. Rencana keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif SLKI
dan SIKI.
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
Risiko perfusi Setelah dilakukan a. Identifikasi penyebab
serebral tidak tindakan peningkatan tekanan
efektif keperawatan selama intrakranial.
berhubungan pasien dirawat, b. Monitor tekanan darah.
dengan diharapkan perfusi c. Monitor penurunan
hipertensi. serebral meningkat tingkat kesadaran.
(SDKI D.0017, dengan kriteria hasil d. Pertahankan posisi
2017) : kepala dan leher netral.
a. Kesadaran e. Atur interval
membaik. pemantauan sesuai
b. Tekanan darah kondisi pasien.
membaik. f. Dokumentasikan hasil
c. Refleks saraf pemantauan.
membaik. g. Jelaskan prosedur dan
(SLKI L.02014, tujuan pemantauan.
2019) h. Informasikan hasil
pemantauan.
(SIKI I.06198, 2018)
4. Implementasi

Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk mencapai tujuan.

Kegiatan dalam implementasi meliputi pengumpulan data berkelanjutan,

observasi respon pasien, serta menilai data baru. Selain itu, perawat harus

mendokumentasikan setiap tindakan yang telah diberikan kepada pasien (Kozier

B, 2010).

5. Evaluasi keperawatan

Pada proses ini, intervensi keperawatan harus ditentukan apakah

intervensi tersebut harus diakhiri, dilanjutkan, dimodifikasi, ataupun dirubah.

Evaluasi dilakukan secara continue dimana evaluasi dilakukan segera setelah

implementasi dilaksanakan sehingga memungkinkan perawat untuk segera

merubah atau memodifikasi intervensi keperawatannya. Evaluasi tidak hanya

dilaksanakan segera setelah implementasi dilakukan, namun juga dilaksanakan

pada interval tertentu untuk melihat perkembangan untuk mencapai tujuan yang

telah ditentukan (Kozier B, 2010). Setelah dilakukan tindakan keperawatan

dengan program yang sudah ditentukan pada setiap masalah keperawatan yang

terdapat pada pasien, maka dilakukan evaluasi pada setiap tindakan keperawatan

mengacu pada tujuan yang sudah ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan pada

masalah keperawatan gangguan mobilitas fiisk mengacu pada tujuan, yaitu

mobilitas fisik meningkat dengan kriteria pergerakan ekstremitas meningkat,

kekuatan otot cukup meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri

menurun, kekakuan sendi cukup menurun, kelemahan fisik cukup menurun,

kecemasan menurun gerakan terbatas cukup menurun, serta gerakan tidak

terkoordinasi cukup menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan pasien dapat

meningkat (NOC, 2016) dengan kriteria gerakan sendi sedikit tergang,

gugerakan otot sedikit terganggu, koordinasi sedikit terganggu, serta


keseimbangan sedikit terganggu. Kemudian, evaluasi pada masalah

keperawatan risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu tingkat jatuh pasien

menurun (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Selanjutnya, pada masalah keperawatan

gangguan integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan

jaringan meningkat (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang terakhir yaitu

pada masalah keperawatan kesiapan peningkatan pengetahuan dengan

tujuannya, yaitu tingkat pengetahuan membaik (SLKI, 2019) dan pengetahuan

perilaku kesehatan meningkat (NOC, 2016).

2. Instabilitas Postural (Jatuh dan Patah Tulang)


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses yang sistematis dalam pengumpulan
dari berbagai sumber, untuk mengevaluasi dan mengitifikasi stres kesehatan klien.
Pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Identitas klien teridiri dari nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian dan identitas penanggung jawab
b. Alasan masuk Biasanya alasan masuk klien dibawah kerumah sakit dengan
alsan klien sakit perut karena tidak ada makan,berat badan menurun dan badan
terasa lemah
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekranag Biasanya klien mengeluh sakit perut karna tidak
makanmakan, sulit untuk bicara dan badan terasa lemah
2) Riwayat kesehatan terdahulu Apakah klien pernah mengalami penyakit yang
sama dengan sebelumnya dan ada juga ditemukan dalam kematian dalam
keluarga , lingkungan keluarga dan konflik
3) Riwayat kesehatan keluarga
Ada kemungkinan ditemukan genetik dalam keluarga apakah ada anggota keluarga
yanng mengalami penyakit infeksi, keturunan atau penyakit yang sama diderita
klien saat ini
B. Pemeriksaan Fisik
1) Sirkulasi Tanda : hipertensi, kelemahan/nadi perifer melemah, pengisian kapiler
lembut/sianosis 2) Aktivitas dan istirahat Adanya gangguan pola tidur 3) Eliminasi : BAB
dan BAK kurang lancar 4) Makanan /cairan Tanda : anemia, mual/muntah,nyeri ulu hati,
sendawa asam, tidak toleran terhadap makanan 5) Keamanan Tanda: peningkatan suhu
tubuh Gejalah : alergi terhadap obat 6) Penyuluhan /pembelajaran Tanda : ada
penguatan obat resep atau di jual bebas yang mengandung steroid 7) Pemeriksaan
penunjang Adanya gangguan elektrolit yang diakibatkan oleh suhu tubuh

3. Inkotinensia Urin
A. Pengakajian
- Karakteristik Demografi
 Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan

hobi.

 Riwayat keluarga, keluarga yang bisa dihubungi, jumlah saudara

kandung, jumlah anak, riwayat kematian keluarga dalam satu

tahun, dan riwayat kunjungan keluarga.

 Riwayat pekerjaan dan status ekonomi, pekerjaan sebelumnya

dan sumber pendapatan saat ini


Aktivitas dan rekreasi, meliputi jadwal aktivitas, hobi, wisata, dan keanggotaan

organisasi.

- Pola kebiasaan sehari-hari

 Pola nutrisi

Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis

makanan yang dimakan, kebiasaan sebelum makan, makanan

yang disukai dan tidak disukai, alergi dengan makanan, dan

keluhan yang berhubungan dengan makan. Selain makan juga

perlu dikaji asupan cairannya, meliputi jumlah air yang

diminum dalam sehari, jenis minuman (air putih, teh, cokelat,

minuman berkafein, bersoda, dan beralkohol), dan minuman

kesukaan.

 Pola eliminasi

Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk

lansia dengan inkontinensia urin yaitu :

Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari,

frekuensi berkemih di malam hari, kesulitan dalam berkemih

(perlu mengejan atau tidak), aliran urin, nyeri saat berkemih,

adanya campuran darah saat berkemih, dan warna urin.

Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi,

warna feses, keluhan saat buang air besar, dan penggunaan

obat pencahar.
 Pola personal hygiene

Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut,

penggunaan alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan

kebersihan tangan serta kuku.

 Pola istirahat dan tidur

Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari,

lama tidur saat tidur siang, dan keluhan saat tidur.

 Pola hubungan dan peran

Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga,

masyarakat, dan tempat tinggal.

 Pola sensori dan kognitif

Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi

sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,

perasaan, dan pembau.

 Pola persepsi dan konsep diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi

terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan

gambaran diri, harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji

tingkat depresi responden menggunakan format pengkajian

status psikologis.

 Pola seksual dan reproduksi

Menggambarkan masalah terhadap seksualitas.


 Pola mekanisme stress dan kopping

Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.

 Pola tata nilai dan kepercayaan

Menggambarkan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual.

 Kebiasaan mengisi waktu luang

Menggambarkan kegiatan responden dalam mengisi waktu

luang seperti mencuci baju, merajut, membaca majalah atau

koran, mendengarkan radio, dan beribadah.

 Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan

Menggambarkan kebiasaan responden yang berdampak pada

kesehatan meliputi merokok, minum minuman beralkohol, dan

ketergantungan terhadap obat.

- Status kesehatan

1) Status kesehatan saat ini

Biasanya adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin keluar

dengan tiba-tiba, dan tingginya frekuensi berkemih.

2) Riwayat kesehatan masa lalu

a) Penyakit yang pernah diderita, meliputi diabetes,

hipertensi, kolesterol, dan asam urat.

b) Riwayat alergi (obat, makanan, minuman, binatang, debu,

dan lain-lain).

c) Riwayat kecelakaan, lansia sering mengalami jatuh dan

terpeleset saat berjalan.


d) Riwayat dirawat di rumah sakit.

e) Riwayat pemakaian obat, biasanya pemakaian obat diuretik

yang cukup lama dapat menyebabkan inkontinensia urin.

3) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan meliputi keadaan umum, berat badan, kepala,

dada, abdomen, kulit, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.

4) Lingkungan dan tempat tinggal

Pengkajian terhadap kebersihan dan kerapian ruangan,

penerangan, sirkulasi udara, dan kebersihan toilet.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian di atas, dapat disimpulkan diagnosa yang

muncul pada pasien inkontinensia urine menurut SDKI (2017) :

a. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan neuropati arkus

refleks, disfungsi neurologis, kerusakan refleks kontraksi detrusor,

trauma, kerusakan medula spinalis, dan kelainan anatomis.

b. Inkontinensia berlebih berhubungan dengan blok sfingter,

kerusakan atau ketidakadekuatan jalur aferen, obstruksi jalan

keluar urin, dan ketidakadekuatan detrusor.

c. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan

ketidakmampuan atau penurunan mengenali tanda-tanda berkemih,

penurunan tonus kandung kemih, hambatan mobilisasi, faktor

psikologis; penurunan perhatian pada tanda-tanda keinginan


berkemih, hambatan lingkungan, kehilangan sensorik dan

motorik, gangguan penglihatan.

d. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan

konduksi impuls di atas arkus refleks, dan kerusakan jaringan.

e. Inkontinensia urin stres berhubungan dengan kelemahan intrinsik

sfingter uretra, perubahan degenerasi/non degenerasi otot pelvis,

kekurangan estrogen, peningkatan tekanan intraabdomen, dan

kelemahan otot pelvis.

f. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan iritasi reseptor

kontraksi kandung kemih, penurunan kapasitas kandung kemih,

hiperaktivitas detrusor dengan kerusakan kontraktilitas kandung

kemih, dan efek agen farmakologis.

g. Kesiapan peningkatan eliminasi urin

h. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan menjalin

hubungan yang memuaskan, perubahan penampilan fisik, dan

perubahan status mental.

i. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan

organisme patogen lingkungan.


C. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Inkontinensia Setelah dilakukan 1. Kaji pola 1. Memberikan
urin tindakan berkemih dan informasi mengenai
keperawatan bandingkan perubahan yang
kegel exercise 4 dengan sekarang. mungkin terjadi
kali 10 siklus selanjutnya.
sehari dalam 4 2. Dukung 2. Memotivasi
minggu, perawatan diri responden untuk
diharapkan menjaga kebersihan
kontinensia urin diri dan
pasien meningkat menghindarkan
dengan kriteria responden dari
hasil : resiko infeksi.
1. Kemampuan 3. Buat jadwal 3. Kegel exercise
berkemih latihan otot dasar berfungsi untuk
meningkat. panggul atau menguatkan otot-otot
2. Nokturia kegel elevator ani dan
menurun. urogenital yang
3. Residu volume dapat menurunkan
urin setelah inkontinensia urin.
berkemih 4. Minum yang
4. Anjurkan
menurun. adekuat akan
minum adekuat
4. Distensi menurunkan risiko
selama siang hari,
kandung kemih dehidrasi, infeksi
minimal 2 liter
menurun. saluran kemih,
(sesuai toleransi),
5. Dribbling dan konstipasi.
dan diet tinggi
menurun.
serat.
6. Frekuensi 5.Pembatasan minum
5. Batasi minum
berkemih di malam hari dapat
saat menjelang
membaik. menghindarkan
tidur.
7. Sensasi responden dari
berkemih enuresis dan
membaik nokturia.
6. Kolaborasi
(SLKI , 6. Menurunkan derajat
dengan dokter
L.04036, 2018) inkontinensia.
dalam mengkaji
efek pemberian
obat.
(SIKI, 2018)
D. Implementasi
Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari keperawatan,

selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk membantu pasien

mencapai hasil dan tujuan yang diinginkan. Tindakan mandiri adalah

aktivitas dimana perawat menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter &

Perry, 2010).

E. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan klien yang dilakukan

terapi kegel exercise. Klien merupakan sumber evaluasi hasil dari respons

terbaik bagi asuhan keperawatan. Perawat harus mengevaluasi efektivitas

intervensi keperawatan dengan membandingkan tujuan. Bandingkan hasil

aktual dengan hasil yang diharapkan untuk menentukan keberhasilan

sebagian atau penuh (Potter & Perry, 2010

4. Infection (infeksi)

A. Pengkajian

a) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,


agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan
hobi.
b) Aktivitas/istirahat

c) Kelemahan, kelelahan, insomnia, letargi, penurunan

toleransi terhadap aktivitas

d) Sirkulasi
e) Riwayat gagal jantung kronis, takikardia, penampilan

terlihat pucat

f)  Integritas ego : Banyak stressor, masalah finansial

g) Makanan/cairan : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah,

riwayat DM

h) Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering

dengan turgor buruk, penampilanmalnutrisi

i) Nyeri/kenyamanan : Sakit kepala , nyeri dada meningkat

dan batuk myalgia.

j) Pernafasan

k) Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea,

pernafasan dangkal, penggunaan ototaksesori, pelebaran

nasal. Sputum berwana merah muda, berkarat atau

purulen.Perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi,

gesekan friksi pleural.

Bunyi nafas : menurun atau tidak ada di atas area yang

terlibat atau nafas bronchial.Fremitus : taktil dan vocal

meningkat dengan konsolidasi

remitus : taktil dan vocal meningkat dengan

konsolidasi.Pucat atau sianosis pada bibir/kuku

l) Riwayat gangguan sistem imun, demam.

Berkeringat, menggigil berulang, gemetar,

kemerahan mungkin pada kasus rubella/varisela.Riwayat


mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis.

B. Diagnosa keperawatan

Berdasarkan pengkajian di atas, dapat disimpulkan diagnosa yang

muncul pada pasien inkontinensia urine menurut SDKI (2017) :

1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya

proses infeksi.

2) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan

ketidak adekuatan pertahanan utama dan tidak adekuat

pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun).

C. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional

Keperawatan Kreteria

hasil

1.Peningkatan Setelah 1. Memberikan


1. Obersavi
suhu tubuh dilakukan informasi
suhu tubuh
berhubungan tindakan mengenai
tiap (4 jam)
dengan adanya keperawata peningkatan atau

proses infeksi n 3x24 jam 2. Observasi penurunan suhu

diharapkan turgor kulit tubuh

klien 2. Untuk
3. lakukan
dapat : memantau
kompres
1. Tidak perubahan pada
hangat
memperliha suhu kulit

tkan tanda 3. Untuk

peningkata membantu klien

n suhu menurunkan suhu

tubuh tubuh

2. Tidak

mengalami

mengigil

3. Nadi

normal

2. Resiko tinggi Setelah 1. Untuk


1. Pantau
penyebaran dilakukan mengobservasi
TTV.
infeksi tindakan TTV klien

berhubungan 3x24 jam 2. Anjurkan 2. Untuk

dengan ketidak diharapkan klien mengkaji warna,

adekuatan klien memperhatik jumlah, serta bau

pertahanan utama dapat : an sekret yang

dan tidak adekuat 1. pengeluaran dikeluarkan oleh

pertahanan Mencapai sekret dan klien agar

sekunder (adanya waktu melaporkan mempermudah

infeksi, perbaikan perubahan pemeriksaan

penekanan imun). infeksi warna jumla 3. Menganjarkan

berulang h dan bau klien teknik cuci


sekret.
tanpa tangan agar
3. Dorong
komplikasi. mencegah infeksi
teknik
2. nosokomial
mencuci
Mengidenti 4. mengobservasi
tangan
fikasi posisi klien agar
dengan baik.
intervensi terhindar dari

untuk 4. Ubah luka tekan yang

mencegah/ posisi menyebabkan

menurunka dengan infeksi

n resiko sering. 5. Mengobservasi

infeksi. klien agar


5. Lakukan
mencegah infeksi
isolasi
menyebar
pencegahan

sesuai

indikasi.

D. Implemtasi

Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk mencapai tujuan.

Kegiatan dalam implementasi meliputi pengumpulan data berkelanjutan,

observasi respon pasien, serta menilai data baru. Selain itu, perawat harus

mendokumentasikan setiap tindakan yang telah diberikan kepada pasien

(Kozier B, 2010).
E. Evaluasi

Penyakit infeksi mempunyai kontribusi cukup besar terhadap

angkakematian penderita sampai akhir abad 20 pada populai umum,

kemudian menurun setelahditemukan antibiotika dan teknik pencegahan

penyakit. Walaupun demikian revalensi infeksisebagai penyebab

morbiditas dan motalitas tetap tinggi pada populasi lanjut usia. Informasi

ini dapat memberikan pengetahuan kepada lanjut usia tentang infeksi dan

memberikan solusi pada lanjut usia mengatasi masalah infeksi dengan

tepat.

5. Impairment of hearing and vision (gangguan pendengaran,

penglihatandan penciuman)

6. Inanition (malnutrisi)

7. Iatrogenic (penyakit karena tindakan medis)

8. Insomnia (Sulit tidur)

A. Pengkajian

a) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin,

pendidikan, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat

b) Keluhan utama : tanyakan keluhan utama pada pasien

c) Riwayat kesehatan:

1. Riwayat penyakit sekarang: riwayat penyakit

keluhan saat ini bagaimana uraian yang telah pasien


deritadari mulai timbulnyarasa dan keluhan yang

pasien rasakan

2. Riwayat penyakit dahulu :riwayat kesehatan masa

lalu sepertiapakah dan apakah ada riwayat penyakit

keturunan atauugenetic dari keluarga

3. Pola kebiasaan sehari-hari : pengkajian pada klien

adalahaktivitas apa saja yng dilakukan oleh pasien

sehubungandengan adanya gangguan tidur

4. Pemeriksaan fisik meliputi TTV

5. Pola persepsi kesehatan : pola persepsi dan tata

laksana hidupsehat pola tidur, pola kesehatan dan

konsep diri, polamekanisme penggulagan stress dan

koping pola tata nilai

6. Pengkajian kebutuhan pada klien

7. Aktivitas dan latihan

8. Tidur dan istirahat

9. Kenyamanan dan nyeri

B. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan pola tidur b.d kurang control tidur


2. Keletihan b.d gangguan tidur

3. Ansietas b.d tingkat kecemasan

C. Rencana keperawatan

Diagnosa Tujuan dan kreteria hasil Intervensi

keperawatan
SLKI SIKI

1.Gangguan pola ti Setelah dilakukanintervensi 1.

dur b.d kurang  pola tidurmenurun dengan Identifikasi po

Control tidur indikatorsebagai berikut: la aktivitasdan

1. Keluhan sulit tidur1-5 tidur

2. Keluhan sulit tidur1-5 2. Identifikasi

3. Keluhan tidak puastidur factor

1-5  Pengganggu

4. Keluhan pola Tidur

tidur berubah 1-5 3.

5. Keluhan istirahat 1-5 Tetapkan jadw

al rutintidur

4.Anjur kan

menepati

kebiasaan

tidur

5.Anjurkan

menghindarim

akanan/minum

an yang

mengganggu

tidur
2.Keletihan b.dgan Setelah dilakukan Edukasi

gguan tidur intervensi tingkat keletihan aktivitas/istira

menurun dengan indikator hat

sebagai berikut: 1.Identifikasi

1.Lesu 1-5 kesiapan dan

2.Sakit kepala 1-5 kemampuan

3.Gelisah 1-5 menerima

informasi

2.Jelaskan pen

tingnya

aktivitas atau

olahraga

secara rutin

3.Anjurkan

menyusun

jadwal danakti

vitas/istirahat

3.Ansietas b.dkebu Setelah dilakukan Terapi

tuhan intervensi tingkat ansietas relaksasi

tidakterpenuhi menurun dengan indikator 1.Identifikasi

sebagai berikut: tehnik

1.Perilaku gelisah 1-5 relaksasi yang


2.Konsentrasi 1-5 pernah

3.Pola tidur 1-5 dilakukan

4. Perasaankeberdayaan 1-5 2.Gunakan

pakaian yang

longgar

3.Jelaskan,

tujuan manfaat

dan batasan

dan jenis

relaksasi yang

tersedia

4.Anjurkan

untuk

mengulangi

tehnik

relaksasi yang

telah dipilih

D. Implemtasi

Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari

keperawatan, selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif

untuk membantu pasien mencapai hasil dan tujuan yang

diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat

menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).


E. Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan pada asuhan keperawatan lanjut usia

dengan gangguan tidur INSOMNIA dengan intervensi

keperawatan untuk relaksasi otot seperti diagnosa yang sudah

disebutkan diatas.

9. Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia

dan Delirium)

10. Isolasi (Depression)

A. Pengkajian

1. Identitas klien : Nama, umur, infromasi, Tanggal

pengkajian

2. Alasan masuk : Alasan menarik diri/isolasi

3. Faktor predisposisi

1) Faktor predi Pernah mengisolasi diri sebelumnya :

2) Pernah mengalami ganguan jiwa :

3) Pengobatan sebelumnya :

4) Trauma pelakuan, Aniaya fisik, Aniaya seksual,

Penolakan, Kekerasan dalam keluarga:

5) Pengalaman masalalu tidak menyenangkan :

6) TTV

7) Keluhan fisik :

8) Status mental
a) Penampilan

b) Pembicaraan

c) Aktivitas motorik

d) Alam perasaan, sedih, ketakutan, putus asa :

e) Efek, datar, tumpul, labil

f) Intraksi selama wawancara, bermusuhan,

tidak koperatif, mudah tersingung, kontak

mata (-), curiga

B. Diangnosa keperawatan

1. Isolasi sosial

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional

Keperawat kreteria hasil

an

1, Isolasi Tujuan klien SP 1 P : 1. Hubungan

sosial mampu : 1. 1.Mengidentifik saling

Membina trust asi penyebab percaya

2. mengenali isolasi sosial merupakan

Penyebab dari pasien langkah awal

isolasi Sosial 3. 2. Berdiskusi untuk

berinteraksi dengan pasien melakukan

dengan tentang kerugian interaksi

individu lain tidak 2. Dengan

dengan berinteraksi mengetahui


bertahap dengan orang tanda-tanda

Dengan lain 3. dan gejala,

Kriteria hasil : Berdiskusi kita dapat

1. Setelah 2x dengan pasien menentukan

interaksi klien tentang langkah

menunjukkan keuntungan intervensi

tanda-tanda berinteraksi selanjutnya

percaya dengan orang 3.

kepaada lain 4. Reinforceme

perawat ( wajah Mengajarkan nt dapat

cerah, pasien cara meningkatka

tersenyum, mau berkenalan n harga diri

berkenalan, ada dengan satu klien

kontak mata, orang 4.

bersedia 5. Menganjurkan Mengetahui

menceritakan pasien sejauh mana

perasaannya, memasukkan pengetahuan

bersedia kegiatan latihan klien tentang

menggungkapk berbincang- berhubungan

an bincang dengan dengan

masalahnya ) orang lain orang lain

2. Setelah 2x SP II 5. Agar klien

kali interaksi 1. Mengevaluasi lebih


klien dapat jadwal kegiatan percaya diri

menyebutkan harian pasien untuk

minimal satu memberikan berhubungan

penyebab kesempatan dengan

menarik diri kepada paien orang lain

( Diri sendiri, mempraktekkan

orang lain, cara berkenalan

lingkungan ) dengan satu

4. Setelah 2x orang

interaksi 2. Membantu

dengan klien pasien

dapat memasukkan

menyebutkan kegiatan

keuntungan berbincang-

berhubungan bincang dengan

sosial ( banyak orang lain

teman, tidak sebagai salah

kesepian, saling satu kegiatan

menolong) dan harian

kerugian SP III

menarik diri 1. Mengevaluasi

( sendiri, jadwal kegiatan

kesepian, tidak harian pasien


bisa diskusi) 2. Memberikan

4. Setelah 2x kesempatan

interaksi klien kepada

dapat berkenalan

melaksanakan dengan dua

hubungan orang atau lebih

sosial secara 3. Menganjurkan

bertahap pasien

dengan memasukkan

( perawat, dalam jadwal

perawat lain kegiatan harian

dan kelompok )

5. Setelah 2x

interaksi klien

dapat

menyebutkan

perasaannya

setelah

berhubungan

sosial dengan

(orang lain,

kelompok)

C. Rencana keperawatan
D. Implemtasi

Menurut SDKI DPP 2017 implementasi adalah suatu sktivitas

yang dilakukan oleh perawat untuk mengimplementasikan suatu

rencana keperawatan. Tindakan keperawatan yang di lakukan pada

pasien adalah SP 1 Membina hubungan saling percaya dengan

menyapa pasien dengan sopan. memperkenalkan dirii dengan

sopan, menanyakan nama lengkap dan menanyakan nama

panggilan yang sering di gunakan atau yang pasien suka Menurut

Dermawan & Rusdi, (2013) melakukan SP 2 yaitu pasien dapat

menyebutkan penyebab menarik diri. melakukan SP 3 yaitu pasien

dapat menyebutkanmkeuntungan berkomunikasi sosial dan

kerugian menarik diri dengan mengajak berdiskusi pasien tentang

keuntungan jika melakukan komunikasi dan kerugian jika

mengurung diri, pasien dapat menunjukan respon yang baik

setelah di ajak berdiskusi. (Hariyati, 2017)

E. Evaluasi

Evaluasi keperawatan ialah proses akhir dari asuhan keperawatan

untuk menilai hasil dari tindakan keperawatan terhadap klien.

Evaluasi ada dua jenis, yakni (1) evaluasi proses atau evaluasi

formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan,

dan (2) evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan

membandingkan respons klien pada tujuan khusus dan umum yang


telah ditetapkan. (Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2015)

11. Impecunity (Tidak punya penghasilan)

A. Pengkajian

a. Jenis Kelamin : Laki-laki yang mengalami penurunan pendapatan


cenderung berisiko depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan
karena laki-laki merupakan kepala keluarga yang mempunyai peran
besar dalam keluarga (Lee dan Smith, 2009).
b. Tingkat Pendidikan : Tingkat pendidikan lansia dapat
mempengaruhi pendapatan uang pensiunan dan mekanisme koping
yang dilakukan (Hayati, 2014).
c. Anggota Keluarga : Kaji berapa jumlah anggota keluarga inti dan
berapa orang yang sekiranya masih dalam masa pembiayaan klien.
d. Pekerjaan Terdahulu dan Penghasilan Pekerjaan: lansia sebelum
pensiun/berhenti bekerja perlu dikaji. Tidak semua pekerjaan
apalahi yang bukan pegawai akan dapat uang pensiun. Selain itu
jumlah uang pensiunan juga dapat memengaruhi tingkat stress dan
depresi lansia (semakin rendah jumlah uang pensiun yang diterima
maka semakin tinggi tingkat stress dan depresi) (Kurniasih, 2013).
e. Riwayat Kesehatan Dahulu dan Sekarang : Perlu dikaji terkait
penyakit yang pernah diderita untuk memprediksi apakah lansia
tersebut dapat terserang penyakit yang sama lagi dikemudian hari
atau justru menderita komplikasi akibat penyakit primernya
terdahulu. Hal tersebut berkaitan dengan pembiayaan yang mungkin
akan dibebankan pada lansia apalagi jika lansia tersebut tidak
memiliki keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to
toe/per sistem) wajib dilakukan meski tidak ada keluhan berarti
yang dirasakan lansia guna mengantisipasi penyakit degeneratif.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Koping Tidak Efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem
pendukung/strategi koping Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia, D.0096.
2. Penampilan Peran Tidak Efektif berhubungan dengan faktor
ekonomi Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0125.
3. Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif berhubungan dengan
kesulitan ekonomi Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
D.0115
C. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
Manajemen Tujuan Setelah Intervensi
kesehatan keluarga dilakukan tindakan Dukungan keluarga
tidak efektif b.d keperawatan 3 x 24 merencanakan
kompleksitas program jam diharapkan perawatan (SIKI,
perawatan/pengobatan manajemen kesehatan 2018, I.13477, hal.
(D.0115, hal. 254) keluarga meningkat 26)
(SLKI, 2019, (a) Identifikasi
L.012105, hal. 62) kebutuhan dan
(a) Kemampuan harapan keluarga
menjelaskan masalah tentang kesehatan
kesehatan yang Rasional:
dialami meningkat. Mengidentifikasi
(b) Aktivitas keluarga kebutuhan tentang
mengatasi masalah kesehatan dapat
kesehatan tepat mengetahui
meningkat. intervensi yang
(c) Verbalisasi tepat bagi keluarga
kesulitan menjalankan (b) Identifiasi
perawatan yang konsekuensi tidak
ditetapkan menurun melakukan tindakan
bersama keluarga
Rasional: Pelibatan
keluarga sangat
penting dalam
merawat anggota
keluarga yang sakit
(c) Identifikasi
tindakan yang dapat
dilakukan keluarga
Rasional:
Mengidentifikasi
tindakan dapat
mengetahui
intervensi yang
tepat bagi keluarga.
(d) Gunakan sarana
dan fasilitas yang
ada dalam keluarga
Rasional:
Menggunakan
sarana dan fasilitas
yang ada dapat
memaksimalkan
kekuatan yang
dimiliki oleh
keluarga (e)
Informasikan
fasilitas kesehatan
yang ada di
lingkungan
keluarga Rasional:
Menginformasikan
pelayanan
D. Implementasi
Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk mencapai

tujuan. Kegiatan dalam implementasi meliputi pengumpulan data

berkelanjutan, observasi respon pasien, serta menilai data baru. Selain

itu, perawat harus mendokumentasikan setiap tindakan yang telah

diberikan kepada pasien (Kozier B, 2010).

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai. Evaluasi yang digunakan mencakup 2 bagian
yaitu evaluasi formatif yang disebut juga evaluasi proses dan evaluasi
jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus
terhadap tindakan yang telah dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif
yang disebut juga evaluasi akhir adalah evaluasi tindakan secara
keseluruhan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan dan
menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format
“SOAP”. Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan kembali umpan
balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan
keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang telah ditentukan
sebelumnya (Nursalam 2008).

4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal seperti bahaya fisik dan perlindungan pada klien,
tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosesdur tindakan, pemahaman tentang
hak-hak pasien serta memahami tingkat perkembangan pasien. Pelaksanaan
mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari.
Setelah dilakukan, validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual
dan tehnik intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang
tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan
berupa pencatatan dan pelaporan
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai.
Evaluasi yang digunakan mencakup 2 bagian yaitu evaluasi formatif yang disebut
juga evaluasi proses dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang
dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Sedangkan evaluasi sumatif yang disebut juga evaluasi akhir adalah evaluasi
tindakan secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan
dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format “SOAP”. Tujuan
evaluasi adalah untuk mendapatkan kembali umpan balik rencana keperawatan,
nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan
standar yang telah ditentukan sebelumnya (Nursalam 2008).

12. Irritable Colon

13. Immune Deficiency

14. Impotensi
F. Pengkajian
1) Identitas Klien
 Nama Klien
 Umur
 Agama
 Suku
 Pendidikan
 Alamat
 Pekerjaan
 Agama dan kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan
 Status social ekonomi keluarga
2) Dapatkan riwayat seksual :
 Pola seksual biasanya
 Kepuasan (individu, pasangan)
 Pengetahuan seksual
 Masalah (seksual, kesehatan)
 Harapan
 Suasana hati, tingkat energy
G. Diagnosa Keperawatan
1. Disfungsi seksual b/d perubahan tubuh atau fungsi yang ditandai
dengan perubahan dalam mencapai kepuasa seksual (D.0069)
2. Harga diri rendah b/d gangguan fungsional ditandai dengan
perubahan bentuk salah satu anggota tubuh (D.0087)
3. Pola seksual tidak efektif b/d penyakit atau terapi medis
(D.0071)

H. Renacan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Disfungsi seksual b/d Pasien dapat menerima  Bantu pasien untuk
perubahan tubuh atau perubahan struktur tubuh mengekspresikan
fungsi yang ditandai terutama pasa fungsi seksual perubahan fungsi tubuh
dengan perubahan yang kriteria hasil : termasuk organ seksual
dalam mencapai  Mengekspresikan seiring dengan
kepuasa seksual kenyamanan bertambahnya usia.
(D.0069)  Mengekspresikan  Berikan pendidikan
kepercayaan diri kesehatan tentang
penurunan fungsi seksual.
 Motivasi klien untuk
mengkonsumsi makanan
yang rendah lemak,
rendah kolestrol, dan
berupa diet vegetarian.
 Anjurkan klien untuk
menggunakan krim vagina
dan gel.
2. Harga diri rendah b/d Pasien dapat menerima  Kaji perasaan atau
gangguan fungsional perubahan bentuk salah satu persepsi pasien tentang
ditandai dengan anggota tubuhnya secara perubahan dengan
perubahan bentuk salah positif, kriteria hasil : keadaan anggota tubuhnya
satu anggota tubuh  Pasien mau berinteraksi yang kurang berfungsi
(D.0087) dan beradaptasi dengan secara normal.
lingkungan tanpa rasa  Lakukan pendekatan dan
malu dan rendah diri bina hubungan saling
 Pasien yakin akan percaya dengan pasien.
kemampuan yang dimiliki  Tunjukkan rasa empati,
perhatian dan penerimaan
pada pasien.
 Bantu pasien untuk
mengadakan hubungan
dengan orang lain.
 Beri kesempatan pada
pasien untuk
mengekspresikan perasaan
kehilangan.
3. Pola seksual tidak Pasien dapat menerima 1. Kaji factor-faktor
efektif b/d penyakit perubahan pola seksualitas penyebab dan penunjang,
atau terapi medis yang disebabkan masalah yang meliputi
(D.0071) kesehatan. Kriteria hasil :  Kelelahan
 Mengidentifikasi  Nyeri
keterbatasannya pada  Nafas pendek
aktivitas seksual yang  Keterbatasan suplai
disebabkan masalah oksigen
kesehatan  Imobilisasi
 Mengidentifikasi  Kerusakan inervasi
modikasi yang pantas saraf
dalam respon terhadapan  Perubahan hormone
keterbatsannya  Depresi
 Kurangnya informasi
tepat
2. Ajarkan pentingnya
menaati aturan medis
yang dibuat untuk
mengontrol gejala
penyakit
3. Berikan informasi yang
tepat pada pasien dan
pasangannya tentang
keterbatasan fungsi
seksual yang disebabkan
oleh keadaan sakit
4. Ajarkan modifikasi yang
mungkin dalam kegiatan
seksual dapat membantu
penyesuaian dengan
keterbatasan akibat sakit

I. Implementasi
Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk mencapai

tujuan. Kegiatan dalam implementasi meliputi pengumpulan data

berkelanjutan, observasi respon pasien, serta menilai data baru. Selain

itu, perawat harus mendokumentasikan setiap tindakan yang telah


diberikan kepada pasien (Kozier B, 2010).

J. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai. Evaluasi yang digunakan mencakup 2 bagian
yaitu evaluasi formatif yang disebut juga evaluasi proses dan evaluasi
jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus
terhadap tindakan yang telah dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif
yang disebut juga evaluasi akhir adalah evaluasi tindakan secara
keseluruhan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan dan
menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format
“SOAP”. Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan kembali umpan
balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan
keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang telah ditentukan
sebelumnya (Nursalam 2008).

Anda mungkin juga menyukai