Anda di halaman 1dari 33

SAMPUL

REFERAT

TRABEKULEKTOMI

Oleh:

Ulya Auniyah Sucinda Ismaya 16710282

Imama Rasyada 132011101001

Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M

LAB/ KSM ILMU KESEHATAN MATA RSD dr. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2017
ii

AN

SAMPUL

REFERAT

TRABEKULEKTOMI

Oleh:

Ulya Auniyah Sucinda Ismaya 16710282

Imama Rasyada 132011101001

Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M

Disusun untuk Melaksanakan TugasKepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Kesehatan Mata
RSD dr. Soebandi Jember

LAB/ KSM ILMU KESEHATAN MATA RSD dr. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2017

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
2.1 Glaucoma .....................................................................................2
2.1.1 Anatomi ..............................................................................2
2.1.2 Definisi ...............................................................................5
2.1.3 Patofisiologi ........................................................................5
2.1.4 Klasifikasi ...........................................................................6
2.2 Trabekulektomi ..........................................................................11
2.2.1 Definisi .............................................................................11
2.2.2 Indikasi .............................................................................11
2.2.3 Kontraindikasi...................................................................12
2.2.4 Faktor ................................................................................13
2.2.5 Evaluasi preoperatif ..........................................................14
2.2.6 Teknik trabekulektomi ......................................................15
BAB 3. PENUTUP ..............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................28

iii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan penyebab kedua gangguan penglihatan


setelah katarak. Data RAAB (Rapid Assessment for Avoidable Blindness) yang
dilakukan di Jawa Barat tahun 2014 menunjukkan bahwa 2,2% kebutaan yang
dialami pada masyarakat berusia di atas 50 tahun diakibatkan oleh glaukoma.
Glaukoma merupakan salah satu penyakit penyebab utama kebutaan yang dapat
dicegah. Di amerika, hampir 80.000 penduduknya buta akibat glaucoma.
Kebutaan sering dapat dicegah bila glaucoma dapat terdeteksi dan mendapatkan
pengobatan dini.1
Glaukoma merupakan kumpulan gejala yang meliputi neuropati optik yang
konsisten dengan perubahan komponen jaringan ikat dari diskus optikus dan
hilangnya jaringan neuron yang berhubungan dengan perkembangan disfungsi
visual. Tekanan intra okuler adalah faktor risiko primer berkembangnya
glaukoma.2
Trabekulektomi adalah tindakan operasi filtrasi untuk glaukoma yang
dilakukan apabila terapi medikamentosa tidak dapat mempertahankan tekanan
intra okuler (TIO) sehingga terjadi kerusakan saraf optik atau lapang pandang
yang lebih lanjut. Tujuan operasi filtrasi adalah untuk membentuk jalur baru
(fistula) yang membuka jalan bagi cairan akuous untuk keluar dari bilik mata
depan melalui jalur baru di sklera menuju daerah subkonjungtiva dan subtenon.
Tindakan pembedahan merupakan tindakan untuk membuat filtrasi cairan mata
(akuos humor) keluar bilik mata dengan operasi Scheie, trabekulektomi,
iridenkleisis. Pembedahan dilakukan bila pengobatan maksimal tidak berhasil. 3
Penurunan TIO merupakan tujuan utama pengobatan glaukoma.
Trabekulektomi masih dianggap sebagai golden standard untuk prosedur bedah
glaukoma. Trabekulektomi adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk
memintas saluran-saluran drainase normal sehingga terbentuk akses langsung
aqueous humor dari bilik mata depan ke jaringan subkonjungtiva dan orbita. 3
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glaukoma
2.1.1 Anatomi
A. Anatomi Korpus Siliaris
Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, menjembatani segmen anterior dan posterior. Membentang ke depan
dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri
dari suatu zona anterior yang berombak-ombak (pars plikata) dan zona posterior
yang datar (pars plana). Korpus siliaris memiliki dua fungsi penting membentuk
humor akuos dan akomodasi lensa. Processus siliaris berasal dari pars plikata.
Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorteks. Ada dua lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan
epitel tanpa pigmen disebelah dalam, yang merupakan perluasan dari neuroretina
ke anterior dan lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan perluasan dari
lapisan epitel pigmen retina. Muskulus siliaris memiliki tiga lapisan fiber;
longitudinal, radial, sirkular.4

2.1. Gambar Korpus Siliaris 4


B. Akueus Humor
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor
akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor akuos adalah
suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior mata.
a. Komposisi humor akueus6,8
3

Humor akueus adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera okuli
anterior dan posterior mata, yang berfungsi memberikan nutrisi dan oksigen pada
kornea dan lensa. Volumenya adalah sekitar 250 µL, dan kecepatan
pembentukannya yang bervariasi adalah 1,5 – 2 µL/menit. Tekanan osmotik
sedikit lebih tinggi daripada plasma. Komposisi humor akueus serupa dengan
plasma kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan
laktatyang lebih tinggi dan protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah. Tekanan
intraokular normal rata-rata yakni 15 mmHg pada dewasa, dimana lebih tinggi
daripada rata-rata tekanan jaringan pada organ lain di dalam tubuh. Tekanan yang
tinggi ini penting dalam proses penglihatan dan membantu untuk memastikan :
- Kurvatura dari permukaan kornea tetap halus dan seragam
- Jarak konstan antara kornea, lensa dan retina
- Keseragaman barisan fotoreseptor di retina dan epitel berpigmen di memran
Bruch’s dimana normalnya rapi dan halus
b. Pembentukan dan Aliran Humor Akueus4,5
Humor akueus diproduksi oleh badan siliar. Ultrafiltrat plasma yang
dihasilkan di stroma prosesus siliaris dimodifikasi oleh fungsi sawar dan prosesus
sekretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke kamera okuli posterior, humor akueus
mengalir melalui pupil ke kamera okuli anterior lalu ke jalinan trabekular di sudut
kamera anterior (sekaligus, terjadi pertukaran diferensial komponen – komponen
dengan darah di iris), melalui jalinan trabekular ke kanal schlemn menuju saluran
kolektor, kemudian masuk kedalam pleksus vena, ke jaringan sklera dan episklera
juga ke dalam v.siliaris anterior di badan siliar. Saluran yang mengandung cairan
camera oculi anterior dapat dilihat di daerah limbus dan subkonjungtiva, yang
dinamakan aqueus veins.

Gambar 2.2 Fisiologi Sirkulasi Humor Akueus4


4

Humor akueus akan mengalir keluar dari sudut COA melalui dua jalur, yakni: 6
- Outflow melalui jalur trabekular yang menerima sekitar 85% outflow
kemudian akan mengalir kedalam canalis Schlemm. Dari sini akan
dikumpulkan melalui 20-30 saluran radial ke plexus vena episcleral
(sistem konvensional)
- Outflow melalui sistem vaskular uveoscleral yang menerima sekitar
15% outflow, dimana akan bergabung dengan pembuluh darah vena

Gambar 2.3 Jalur Aliran Humor Akueus4

2.1.2 Definisi
Glaukoma mencangkup beberapa penyakit dengan etiologi yang berbeda
dengan tanda umum adanya neuropati optik yang memiliki karakteristik
adanya kelainan pada nervus optikus dan gambaran gangguan lapang
pandang yang spesifik. Penyakit ini sering tapi tidak selalu berhubungan
dengan peningkatan tekanan intraokular. Stadium akhir dari glaukoma
4
adalah kebutaan.

2.1.3 Patofisiologi
Glaukoma terjadi karena peningkatan tekanan intraokuler yang dapat
disebabkan oleh bertambahnya produksi humor akueus oleh badan siliar
5

ataupun berkurangnya pengeluaran humor akueus di daerah sudut bilik


mata atau di celah pupil.9
Tekanan intraokuler adalah keseimbangan antara produksi humor akueus,
hambatan terhadap aliran akueous dan tekanan vena episklera.
Ketidakseimbangan antara ketiga hal tersebut dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuler, akan tetapi hal ini lebih sering
disebabkan oleh hambatan terhadap aliran humor akueus.4
Mekanisme utama dari kehilangan penglihatan pada glaukoma yaitu atrofi
sel ganglion retinal, penipisan lapisan nuklear bagian dalam dan fiber saraf
dari retina dan aksonal pada optik nervus. Diskus optik menjadi atrofi
disertai pembesaran cupping optik, diduga disebabkan oleh gangguan
perdarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf
pada papil saraf optik. 6
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf
optikus dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke
saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf
optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada
lapang pandang mata. Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi,
lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada
akhirnya bisa menyebabkan kebutaan.6,9

2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi Vaughen untuk glaukoma adalah sebagai berikut :6
Tabel 2.1 Klasifikasi Glaukoma6

Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Etiologi


1. Glaukoma Primer
a. Glaukoma Sudut Terbuka : Glaukoma sudut terbuka kronik,
glaukoma simpleks kronik
b. Normal - tension Glaucoma ( Low-Tension Glaucoma )
c. Glaukoma Sudut Tertutup : Akut, subakut, kronik, plateau iris
2. Glaukoma Kongenital
a. Glaukoma kongenital primer
b. Glaukoma yang berhubungan dengan abnormalitas perkembangan
okuli yang lain
6

c. Glaukoma yang berhubungan dengan abnormalitas perkembangan


ekstraokuli
3. Glaukoma Sekunder
a. Pigmentary glaucoma
b. Exfoliation syndrome
c. Perubahan pada lensa ( phicogenic )
 Dislokasi
 Intumescence
d. Perubahan pada traktus uveal
 Uveitis
 Sinekia posterior ( seclusio pupilae )
 Tumor
 Pengbengkakan pada badan siliar
e. Raised episcleral venous pressure
 Carotid-cavernous fistula
 Sturge-Weber syndrome
f. Steroid-induced
g. Glaukoma neurovaskular
 Diabetes Mellitus
 Oklusi vena sentral retina
 Tumor intraokular
h. Postoperatif
i. Trauma
 Hipema
 Kontusio sudut
 Sinekia anterior perifer
4. Glaukoma Absolut

1. Glaukoma primer
a. Sudut terbuka ( glaukoma simpleks )
Glaukoma primer sudut terbuka adalah glaukoma yang penyebabnya tidak
ditemukan dan ditandai dengan sudut bilik mata depan yang terbuka.. Lesi primer
terjadi di jaringan neuroretinal pada nervus optikus sebagai kompresi neuropati
dari nervus optik. 8
Penyakit ini bersifat multifaktorial dan masih kurang dipahami
mekanismenya. Ketidakseimbangan antara tekanan intraokular dan perfusi
pembuluh darah dari saraf optik akan menyebabkan atrofi. Demikian juga tekanan
7

mekanis pada akson di tepi neuro retinal dapat mengganggu aliran axoplasmik
dan mengakibatkan degenerasi neuron retrograde. 6
Riwayat keluarga menjadi salah satu faktor risiko, meskipun kelainan
genetik tertentu belum diidentifikasi pada kasus yang menyerang orang dewasa.
Diduga glaukoma simpleks diturunkan secara dominan atau resesif pada kira-kira
50% penderita, secara genetik penderitanya adalah homozigot. Terdapat pada 99%
penderita glaukoma primer dengan hambatan pengeluaran cairan air mata (akuos
humor) pada saluran trabekulum dan kanal Schelmm. Faktor resiko pada
seseorang untuk mengalami glaukoma apabila menderita diabetes mellitus dan
hipertensi serta miopia. Pengobatan steroidtopikal, pada beberapa individu, akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular (responden steroid). 4,9
Gambaran klinis dari glaukoma primer sudut terbuka yaitu progresifitas
gejalanya berjalan perlahan dan lambat sehingga sering tidak disadari oleh
penderitanya, yang dikenal sebagai pencuri penglihatan, serta gejalanya samar
seperti: sakit kepala ringan tajam penglihatan tetap normal, hanya perasaan pedas
atau kelilipan saja, tekanan intra okuler terus -menerus meningkat hingga merusak
saraf penglihatan.6
Pada glaukoma simpleks tekanan bola mata sehari-hari tinggi atau lebih
dari 20 mmHg. Mata tidak merah atau tidak terdapat keluhan yang mengakibatkan
terdapat gangguan sususnan anatomis dan fungsi tanpa disadari oleh penderita.
Akibat tekanan tinggi terjadi atrofi papil disertai dengan ekskavasio
glaukomatosa. Gangguan saraf optik akan terlihat sebagai gangguan fungsinya
berupa penciutan lapang pandang. 5,6
Tujuan pengobatan pada glaukoma simpleks adalah untuk memperlancar
pengeluaran akuos humor atau mengurangi produksi cairan mata dan
menurunkan tekanan intraokular 4
Prinsi dasar pengobatan meliputi :
- Medikamentosa : pemberian obat topikal yang mengurangi
produksi cairan mata dan meningkatkan outflow aquoeus.Generasi
terbaru (prostaglandin analog) meningkatkan aliran uveoscleral.
- Pembedahan : Dapat dilakukan trabekulektomi
8

- Metode laser : meliputi laser trabeculoplasty atau


cyclophotocoagulation untuk kasus-kasus stadium akhir.

Gambar 2.4 Glaukoma Primer Sudut Terbuka4

b. Sudut tertutup
Glaukoma primer sudut tertutup ditandai dengan sudut bilik mata depan
yang tertutup.Gejala yang dirasakan oleh pasien, seperti : tajam penglihatan
kurang (kabur mendadak), mata merah, bengkak, mata berair, kornea suram
karena edema, bilik mata depan dangkal dan pupil lebar dan tidak bereaksi
terhadap sinar, diskus optikus terlihat merah dan bengkak, tekanan intra okuler
meningkat hingga terjadi kerusakan iskemik pada iris yang disertai edema kornea,
melihat halo (pelangi di sekitar objek), nyeri hebat periorbita, pusing, bahkan
mual-muntah.Jika tidak membaik, peningkatan tekanan akan menyebabkan
kerusakan permanen pada mata yang mengakibatkan hilangnya penglihatan yang
parah dan menjadi kebutaan. 4,10
Faktor-faktor resikoyang diduga terlibat dalamkondisiini antara lain:9
1. Ras : terutamaEskimodanAsia Timur.
2. Jenis kelamin : lebih sering terjadi padawanita.
3. Umur : usia pertengahan.
4. Kelainan refraksi :hipermetropimemilikibola mata yang lebihkecil.
5. Riwayat keluarga : positif.
6. Predisposisianatomi: matadengansudutsempit
Glaukoma sudut tertutup akut merupakan keadaan emergensi dalam
bidang ophthalmic. Penatalaksanaan langsung ditujukan untuk menurunkan
tekanan intraokular. Acetazolamide intravena dan oral dengan agen topikal
seperti beta-bloker dan apraclonidine. Setengah jam setelah treatment, biasanya
terjadi reduksi dari iskemia iris dan penurunan tekanan intraokular diikuti spingter
pupil yang memberi respon terhadap pengobatan. Saat tekanan intraokular
9

terkontrol, laser pheriperal iridotomy dapat dilakukan untuk menghubungkan


antara kamera okuli anterior dan posterior, dengan demikian mencegah
kekambuhan. 6

Gambar 2.5 Glaukoma Primer Sudut Tertutup4


1. Glaukoma kongenital
Glaukoma kongenital timbul saat lahir atau dalam tahun pertama dengan
gejala klinis adanya mata berair berlebihan, peningkatan diameter kornea
(buftalmos), kornea berawan karena edema epitel, terpisah atau robeknya
membran descemet, fotofobia, peningkatan tekanan intraokular, peningkatan
kedalaman kamera anterior, pencekungan diskus optikus.
Glaukoma kongenital terbagi menjadi : 4,6
- Glaukoma kongenital primer, dimana terjadi perkembangan yang
abnormal, terbatas pada sudut kamera okuli anterior
- Glaukoma yang berhubungan dengan abnormalitas perkembangan
segmen anterior, seperti pada sindrom Axenfald-Rieger, anomali
peters, dimana iris dan korneal juga mengalami keabnormalan
perkembangan.
- Kondisi lain seperti sindrom Sturge-Weber, neurofibromatosa-1,
sindrom Lowe, rubella kongenital yang berhubungan dengan
perkembangan anomali sudut bilik mata.
Glaukoma kongenital ditemukan sekitar 50% bermanifestasi pada saat
lahir, di diagnosa saat usia 6 bulan pertama sebesar 70% dan di diagnosa pada
akhir usia 1 tahun sebesar 80%. Gejala paling awal dan paling sering ditemukan
yaitu epiphora.6
10

Glaukoma kongenital primer merupakan kelainan autosomal resesif pada


anak-anak yang diakibatkan perkembangan abnormal dari meshwork dan sudut
kamera okuli anterior. Dengan onset pada saat lahir hingga infant, prevalensi
glaukoma kongenital primer sangat tinggi dalam populasi yang memiliki bakat
dan genetik. Kelainan gen pada glaukoma kongenital primer di identifikasi pada 3
kromosomal loci, GLC3A, GLC3B, GLC3C dimana CYP1B1 yang terdapat pada
GLC3A mengalami mutasi 4,5
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder dapat terjadi akibat adanya gangguan sebagai berikut :
Perubahan lensa, Kelainan uvea, trauma, bedah, Rubeosis serta penggunaan
steroid dan lainnya.6
a. Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Glaukoma sudut terbuka sekunder merupakan hubungan anatomi
antara iris dan kelopak, trabekula dan kornea perifer terbatas, dan
kornea peripheral dan kongesti kornea yang terganggu . Bentuk-
bentuk Glaukoma sekunder sudut terbuka : 8
- Glaukoma Pigmentary: Berpengaruh pada seseorang dengan
miopia. Kelainan memiliki karakteristik oleh pelepasan granula
pigmen dari epitelium pigmentary dari iris yang kongesti pada
trabekula.
- Pseudoexfoliative Glaucoma
- Glaukoma akibat kortisone
- Glaukoma inflamasi
- Glaukoma Phacolitic
b. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup
Glaukoma tipe ini lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan
patomekanismenya. Blok pupil menandakan adanya obstruksi
trabekular pada iris perifer akibat perpindahan dari aqueous humor
keluar dengan konsekuensi kenaikan yang tekanan di ruang posterior
mata. Glaukoma sekunder sudut tertutup dengan konstriksi pupil
terjadi pembengkakan lensa, dislokasi lensa anterior, posterior sinekia,
tonjolan vitreous di aphakia (Aa), microspherophakia, dan lensa
11

intraokular (Ab). Glaukoma tipe ini sering ditemukan setelah trauma,


prosedur bedah, dan peradangan, serta neovaskularisasi glaukoma dan
sindrom ICE (iridokornea endotel). Trabecular meshwork berpindah
oleh jaringan iris atau membran, yang secara bertahap mempersempit
sudut ruang dengan kontraksi dan akhirnya menutup itu. 12
3. Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma
(sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola
mata, memberikan gangguan lanjut. Pada glaukoma absolut kornea
terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi
glaukomatosa. 6

2.2 Trabekulektomi
2.2.1 Definisi
Trabekulektomi adalah prosedur pembuatan fistula. Prosedur ini membuat
fistula atau jalur baru yang mengalirkan akuos humor dari bilik mata depan
melalui sayatan korneosklera ke dalam lapisan subkonjungtiva dan ruang sub-
tenon. Pada trabekulektomi kontemporer fistula dibuat dibawah flap separuh
ketebalan. Prosedur ini secara tradisional disebut dengan operasi filtrasi meskipun
tidak ada prosedur filtrasi. 2
Penurunan tekanan intra okuler merupakan tujuan terapi glaukoma.
Trabekulektomi saat ini dianggap sebagai baku emas untuk tindakan bedah
glaukoma. Trabekulektomi adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk
memintas saluran-saluran drainase normal sehingga terbentuk akses langsung
aqueous humor dari bilik mata depan ke jaringan subkonjungtiva dan orbita.3

2.2.2 Indikasi
Operasi insisi diindikasikan ketika terapi medis yang paling maksimal
untuk ditoleransi dan terasi laser mengalami kegagalan atau tidak cukup untuk
mencegah kerusakan progresif. Meskipun komplikasi potensial adalah terjadinya
glaukoma insisional, prosedur trabekulektomi ini masih boleh dilakukan pada
mata yang mengalami hipertensi okular. Pada situasi yang lebih sedikit pengirisan
12

contohnya pada satu mata yang mengalami glaukoma dan memiliki TIO tinggi
meskipun sudah diterapi dengan medikamentosa, beberapa ahli menyarankan
tindakan bedah sebelum terjadi kerusakan.2
Kegagalan terapi mungkin disebebkan oleh ketidaktaatan pasien yang bisa
merupakan sebuah indikasi operasi. Beberapa pasien mungkin akan menggunakan
obatnya dengan benar sesat sebelum pemeriksaan dokter. Sehingga seringkali
muncul progresi kerusakan meskipun TIO nya masih dalam batas normal. 2
Indikasi utama untuk operasi adalah progresi kerusakan lapang pandang
dan TIO yang tidak terkontrol. Pemeriksaan lapang pandang berbagai cara
mungkin dibutuhkan untuk mengkonfirmasi progresi. Pada beberapa kasus
keputusan untuk operasi dibuat meskipun tidak tercatat adanya progresi penyakit
dan dibuat berdasarkan klinis bahwa TIO terlalu tinggi pada tahap ini. TIO 25
mmHg bukanlah indikasi untuk operasi pada mata dengan hipertensi okuler
namun TIO bisa menjadi indikasi untuk operasi pada kasus glaukoma optik
neuropati awitan dini. LTP (Laser Trabeculoplasty) tidak selalu diperlukan
sebelum prosedur trabekulektomi. 2
Pada glaukoma sudut terbuka primer yang sudah stadium lanjut
membutuhkan target TIO yang sangat rendah maka dilakukan trabekulektomi.
Trabekulektomi akan dilakukan jika laser tidak dapat dikerjakan seperti pada
pasien yang tidak kooperatif atau trabekulum tidak dapat dilihat dengan jelas
misalnya pada sudut sempit atau kekeruhan kornea. 14
Pada glaukoma sudut tertutup primer akut trabekulektomi diindikasikan
bila sudah terdapat PAS (Peripheral anterior synechia) lebih dari 70%, sedangkan
apabila PAS yang terjadi masih 50% iridektomi masih mungkin dilakukan dan
bila pascaepisode akut dengan medikamentosa maksimal sudut mata masih
tertutup lebih dari 75% dengan gonioskopi indentasi dan atau TIO masih lebih
dari 45 mmHg. Pada keadaan ini keberhasilkan iridektomi hanya 43%. Karena
komplikasi durante dan pascatrabekulektomi maka biasanya trabekulektomi tidak
dilakukan pada keadaan akut, akan tetapi trabekulektomi dapat disarankan ila
serangan terjadi lebih dari 36-72 jam. 14
13

2.2.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif untuk trabekulektomi bisa kontraindikasi okuler dan
sistemik. Mata yang buta tidak dipertimbangkan untuk operasi insisional.
Cyclodestruction adalah alternatif yang lebih baik untuk menurunkan TIO pada
mata tersebut. Risiko oftalmia simpatif harus selalu diwaspadai ketika melakukan
prosedur pada mata yang buta atau mata yang mengalami gangguan visus berat.
Kondisi yang menjadi predisposisi kegagalan trabekulektomi adalah
neovakularisasi aktif segmen anterior (rubeosis iridis) atau uveitis anterior aktif
adalah kontraindikasi relatif. Kondisi tadi harus ditangani lebih dahulu jika perlu
implantasi selang pintas harus dipertimbangkan. Keberhasilan trabekulektomi
sangat sulit dicapai apabila terjadi trauma konjungtiva ekstensif (contoh: pasca
operasi retinal detachment atau trauma kimia). Pada beberapa kasus angka
keberhasilan operasi diturunkan oleh peningakatan risiko pementukan jaringan
ikat (scarring). 2
Angka keberhasilan trabekulektomi lebih rendah pada pasien muda,
afakia, atau pasien pseudoafakia yang telah melakukan ekstraksi katarak melakui
insisi saluran sklera. Tingkat keberhasilan yang rendah juga ditemukan pada
pasien dengan glaukoma sekunder tipe tertentu dan pasien yang terlah menjalani
prosedur operasi filtrasi yang tidak sukses. 2

2.2.4 Faktor Risiko


Umur menjadi faktor risiko kegagalan trabekulektomi. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena kemampuan perbaikan jaringan dan kapsul tenon
yang lebih tebal. Pasien dengan uveitis juga lebih berisiko mengalami kegagalan
yang kemungkinan dikarenakan tingginya jumlah fibroblas konjungiva, makrofag,
dan limfosit sehingga respon penyembuhan menjadi berlebihan. Selain itu bisa
juga disebabkan karena barier darah-akuos humor yang sudah tidak intak sehingga
mediator proinflamasi bisa masuk ke akuos humor dan berakibat pada inflamasi
konjungtiva yang berat.15
Faktor risiko yang lain adalah afakia. Namun tidak ada bukti bahwa risiko
kebutaan karena glaukoma pada pasien afakia lebih tinggi. Fibrosis
subkonjungtiva post operasi setelah prosedur intracapsular cataract extraction
14

mungkin menyebabkan banyaknya fibroblas dan mediator inflamasi. Pendapat


lain menyebutkan cairan vitrous di dalam bilik mata depan dapat menyumbat
sklerotomi.15
Glaukoma pseudoeksfoliatif telah diasosiasikan dengan risiko kegagalan
trabekulektomi, renjatan TIO, dan progresi penyakit yang semakin cepat.
Glaukoma jenis ini lebih sering mengalami kegagalan operasi daripada yang lain.
Faktor risiko lain adalah penggunaan obat topikal seerti zalkonium chloride
meningkatkan jumbalh fibroblas konjungtiva, makrofag, dan limfosit serta
menurunkan jumlah sel goblet.15
Faktor risiko lain yang paling penting adalah derajat keparahan glaukoma
yang ditentukan dari gejala hilangnya lapang pandang. Semakin parah derajat
glaukoma maka risiko kegagalan semakin tinggi. Pasien dengan glaukoma derajat
lanjut memiliki risiko kegagalan tertinggi dibanding faktor risiko lain seperti usia
muda, penggunaan obat topikal, TIO tinggi, dan operasi sebelumnya.15

2.2.5 Evaluasi Preoperatif


Pertimbangan yang harus dipikirkan saat memutuskan tindakan ini adalah
kesehatan pasien secara umum, usia harapan hidup, dan status mata yang tidak
dioperasi. Pasien harus stabil dan kooperatif ketika menjalani tindakan invasif
dengan anestesi lokal. 2
Kontrol inflamasi dilakukan dengan pemberian kortikosterod untuk
menurunkan kejadian uveitis anterior pos operasi dan pembetukan jaringan parut
pada bleb filterasi. Penghentian sementara agen antikolonesterase 3-6 minggu
sebelum operasi dapat menurunkan perdarahan dan iridosiklitis. Apabila terdapat
dermatokonjungtivitis dengan inlamasi yang berat, penghentian obat tetes yang
diduga sebagai penyebab dan mengontrol TIO dengan CAI oral sementara waktu
dapat memperbaiki keadaan. Blefaritis juga harus dikontrol sebelum melakukan
operasi.2
Sebelum operasi, TIO harus diturunkan senormal mungkin untuk
menurunkan risiko perdarahan koroid eksplusif. Jika mungkin hentikan
pengobatan antiplatelet dan antikoagulasi dengan konsultasi kepada dokter yang
merawat pasien tersebut. Hipertensi sistemik juga harus dikontrol.2
15

Pasien harus diberi informasi mengenai tujuan dan hasil yang diharapkan
dari operasi ini yaitu untuk memperlambat progresivitas hilangnya penglihatan
karena penyakit glaukoma. Pasien harus memahami bahwa operasi ini jarang
dapat memperbaiki tajam penglihatan dan pasien masih harus mengonsumsi obat
setelah prosedur operasi. Pasien harus mengetahui bahwa operasi dapat
sepenuhnya gagal dan bahwa mereka bisa kehilangan kemampuan melihat sebagai
hasil dari operasi serta glaukoma mungkin masih bisa bertambah parah meskipun
operasi yang dilakukan berhasil.2
Penyebab hilangnya penglihatan setelah trabekulektomi adalah
berkembangnya katarak. Makulopati hipotoni dan edema makular kistoid
mungkin juga menyebabkan hilangnya penglihatan. Hilangnya penglihatan sentral
tanpa sebab (wipeout) mungkin dapat terjadi namun jarang. 2

2.2.6 Teknik Trabekulektomi


Sejak penemuan trabekulektomi pada tahun 1968 oleh Cairn dan Watson
dari Rumah Sakit Cambridge, UK trabekulektomi menjadi prosedur yang paling
sering digunakan untuk manajemen glaukoma. Prosedur ini dibedakan dengan
prosedur sebelumnya karena merupakan operasi filterasi yang dilakukan dibawah
flap sklera dengan ketebalan parsial. Flap yang digunakan adalah flap konjungtiva
saja dan cenderung terjadi filterasi berlebihan yang berakibat bilik mata menjadi
dangkal serta hipotoni. Dengan melakukan sklerotomi dibawah flap sklera tekan
akuos humor dapat dilemahkan dan komplikasi secara signifikan menurun.17
Trabekulektomi adalah prosedur filtrasi ketebalan pasial dimana sumbatan
jaringan korneosklera dihilangkan dibawah flap sklera. Flap sklera ini
memberikan resistensi dan membatasi aliran akuos sehinga menurunkan
komplikasi yang berhubungan dengan hipotoni seperti bilik mata depa datar,
katarak, efusi cairan koroid serous, lepasnya koroid, makulopati hipotoni, dan
edema nervus optikus. Penggunaan agen antifibrotik seperti mitomicyn C (MMC)
dan 5-fluorouracil (5-FU) bersamaan dengan jahitan yang bisa dilepas atau laser
suture lysis dapat memperpanjang durasi pengontrolan TIO.22
Berbeda dengan operasi katarak, keberhasilan trabekulektomi sangat
bergantung pada waktu intervensi post operasi yang mengatur penyembuhan luka
16

dan tempat filterasi sehingga terbentuk jalur aliran cairan akuos yang baik. Tujuan
dari prosedur ini adalah penyembuhan sempurna insisi konjungtiva tanpa adanya
jaringan parut pada flap sklera sampai ke dasar sklera tanpa adanya parut
subkonjungtiva yang berlebihan. 2
Prosedur trabekulektomi akan menghasilkan segmen terelevasi pada
konjungtiva tempat operasi yang biasanya disebut dengan bleb. Bleb filterasi ini
memerankan fungsi penting dalam mengontrol keberhasilan trabekulektomi. Bleb
mendrainase akuos humor dari bilik depan mata. Morfologi bleb memiliki
berperan penting dalam keberhasilan trabekulektomi.18
Prosedur trabekulektomi akan merubah ketebalan koroid dan panjang axis
yang berefek pada tekanan intraokuler. Dari penelitian dengan 58 sampel, 17
memiliki panjang aksis bola mata yang dapat diterima. Pada setiap pasien
ketebalan koroid meningkat sehubungan dengan penurunan TIO. 19
Prosedur trabekulektomi dapat dibagi menjadi beberapa langkah dasar
a. Eksposur

Jahitan traksi kornea atau limbus dapat merotasi bola mata ke arah
bawah dan memberkan eksposur sulkus superior dan limbus yang cukup
sehingga memudahkan proses flap konjungtiva dengan dasar limbus. Teknik
lain yang bisa dilakukan adalah jahitan kekang rektus superior namun teknik
ini lebih sering menimbulkan ptosis setelah operasi dan perdarahan
subkonjungtiva. 2

Gambar 1. Eksposur untuk trabekulektomi (A) jahitan traksi kornea (B)


jahit kekang rektus superior. 2
b. Insisi konjungtiva
17

Secara tradisional trabekulektomi diposisikan pada jam 12 atau


dimana pun pada kuadran superior tergantung pada preferensi dokter bedah.
Terdapat bukti bahwa dengan penggunaan agen antifibrotik, bleb
trabekulektomi sebaiknya diposisikan pada jam 12 untuk mengurangi risiko
ekposur bleb dan disestesia. Flap konjungtiva dengan dasar forniks maupun
limbus dapat dilakukan. Setiap teknik memiliki keuntungan dan kerugian. 2
Teknik dengan fornix lebih mudah dilakukan namum membutuhkan
proses penjahitan di akhir prosedur yang sangat hati-hati untuk mencegah
kebocoran akuos humor. Keuntungan teknik dasar forniks adalah
pembentukan parut subkonjungtiva di atas flap sklera sehingga mendorong
aliran akuos ke arah posterior. 2

Gambar 2. Konjungtiva flap dasar forniks. A. Gambar menunjukkan insisi


inisisal melalui konjungtiva pada limbus dan insersi kapsul tenon. Panjang
insisi inisial sekitar 6-7 mm. Jaringan di sekitar insisi dirusak dengan
gunting tumpul sebelum flap sklera disiapkan. B. Insisi ditutup dengan
jahitan terputus, jahitan purse-string atau dengan jahit jelujur.2
Teknik dasar limbus secara teknik lebih menantang namun akan
mengamankan penutupan karena jauh dari limbus. Insisi harus dilokasikan
8-10 mm posterior limbus dan perlu perawatan untuk menghindari tendon
otot rektus superior. Keuntungan dari teknik limbus adalah berkurangnya
risiko kebocoran akuos post operasi. Kerugian yang mungkin muncul
adalah timbulnya parut subkonjungtiva posterior dari flap sklera sehingga
18

aliran akuos posterior terhenti dan menyebabkan pembentukan bleb lokal


dekat dengan limbus.2

Gambar. Flap konjungtiva dengan dasar limbus. A. Gambar menunjukkan


insisi inisial melalui konjungtiva dan kapsul tenon. B. Foto klinis yang
menunjukkan bagian A, insisi inisial untuk membuat flap konjungtiva
dengan dasar limbus. C. Insisi tenon 8-10 mm posterior dari limbus. D.
Diseksi interior konjungtiva-flap tenon dengan eksisi adhesi episkleral
tenon. 2
c. Flap sklera

Teknik yang sering digunakan adalah membuat flap triangular,


trapezoidal, atau rektangular sepanjang 3-4 mm. Apabila flap konjungtiva
dengan dasar forniks digunakan, sebaiknya menghindari diseksi flap sisi
anterior dari kornea. Hal itu karena diseksi anterior dapat memicu kebocoran
luka lebih dini.2
19

Gambar. Foto klinis meninjukkan proses pembuatan flap sklera.


Persiapan flap sklera selebar 4 mm dan 2-2,5 mm depan ke belakang
dengan kedalaman 50-75%. A. Margin posterior diiris dengan pisau kecil
B. Pisau sabit digunakan untuk membuat terowongan sklera dengan
ketebalan parsial C. Sisi terowongan dibiarkan terbuka untuk mebuat flap
D. Hasil akhir prosedur.2
Terdapat beberapa macam bentuk flap sklera yang bisa dibuat yaitu
segitiga, persegi panjang, persegi, dan busur. Variasi bentuk ini
mengakibatkan variasi hasil operasi. Menurut penelitian flap bentuk
persegi panjang dan persegi dapai mencapai penurunan TIO yang lebih
besar dibandingkan flab segitiga. Hal ini dipengaruhi oleh luas permukaan
flap. Ditemukan pula bahwa semakin tebal flap maka aliran akuos humor
akan menurun sedangkan semakin besar ukuran flap menyebabkan aliran
akuos yang lebih kencang.16
20

Gambar. Ilustrasi bentuk flap sklera A. Bentuk busur B. Segitiga C.


Persegi panjang D. Trapezoid. 16
d. Parasintesis
Agar dokter bedah dapat mengotrol bilik mata depan, parasintesis
harus dilakukan setelahnya. Dengan dilakukannya prosedur ini salt ophtalmic
solution atau viscoelastic dapat dimasukkan. BSS (Balanced Salt ophthalmic
Solution) dimasukkan melalui insisi parasintesis dan tekanan jahitan dapat
ditirunkan sampai aliran minimal. Apabila setelah operasi bilik mata menjadi
datar maka dapat dilakukan pembentukan bilik mata ulang melalui
parasintesis yang sudah ada.2

Gambar 1. Parasentesis dibuat melalui kornea jernih, radial terhadap limbus.2


21

e. Keratektomi
Keratektomi biasa dilakukan dengan sebuah alat pembuat lubang
(punch), meskipun sumbatan juga bisa dipotong dengan pisau. Drainase
cairan akuos secara umum tidak dipengaruhi dengan ukuran lubang. Lubang
yang kecil bisa mendrainase akuos melebihi yang diinginka untuk
menurunkan TIO. Meskipun begitu keratektomi harus cukup besar untuk
mencegah oklusi oleh iris, namun cukup kecil sehingga dapat tertutup oleh
flap sklera.2

Gambar. Ahli bedah dapat melakukan keratektomi dengan cara A)


Memasukkan alat pembuat lubang (punch) di bawah flap sklera; (B)
memrangkap bibir posterior dari jalan masuk bilik mata depan; dan (C)
memindah punch (0,75-1 mm) kornea perifer posterior. Iridektomi perifer
dilakukan dengan menggunakan gunting iridektomi (D). 2

f. Iridektomi
Iridektomi dilakukan untuk menurunkan risiko iris menutup sklerotomi,
khususnya pada mata dengan bilik mata dangkal dan untuk mencegah blok
pupil. Iridektomi tidak selalu diperlukan pada mata pseudofakia dengan bilik
mata dalam. Apabila titanium shunt sudah dipasang maka iridektomi tidak
perlu dilakukan. 2
22

g. Penutupan flap sklera


Flap didekatkan dengan alasnya menggunakan nilon 10-0 atau 9-0.
Banyak ahli bedah menutup flab dengan kencang untuk meminimalisasi
pendangkalan bilik mata depan pos operasi. Sangat penting untuk mengecek
integritas flap sklera sebelum menutup konjungtiva. Ketika MMC digunakan,
tekanan dan jumlah jahitan harus disesuaikan ampai aliran spontan yang
optimal dapat dilihat. 2

Gambar. Pada trabekulektomi dengan MMC, flap sklera ditutub


dengan erat agar aliran spontan berlangsung minimal. Penutupan bisa
dilakukan dengan benang yang jahitan releasable suture yang bisa dilepas
nanti dengan slit lamp untuk meningkatkan aliran atau dengan jahitan
terputus yang bisa dilepas dengan laser setelah operasi.2
h. Penutupan konjungtiva
Banyak teknik yang telah dikembangkan untuk menutup konjungtiva.
Untuk flap dengan dasar forniksn konjungtiva ditutup pada limbus. Banyak
teknik yang bisa dilakukan termasuk jahitan episklera terputus pada tiap
ujung insisi dengan atau tanpa jahitan matras diantaranya. Untuk flap dengan
dasar limbus, konjungtiva dan kapsul tenon ditutup secara terpisah atau
bersamaan pada satu lapis dengan jahitan jelujur menggunakan nilon 9-0 atau
poliglaktin 910 pada jarum vaskular. Teknik ini meminimalisasi kebocoran
luka pada prosedur dimana MMC dipergunakan.2
23

2.2.6 Penanganan Pasca Operasi Trabekulektomi


Kesuksesan operasi glaukoma tergantung pada kehati-hatian saat
manajemen pasca operasi. Secara umum terapi medikamentosa dihentikan pada
mata yang dioperasi. Steroid topikal diberikan secara intensif minimal selama
empat hari dan di tappering off setelahnya. Kortikosteroid topikal diturunkan
dosisnya sesuai dengan derajat hiperemia konjungtiva yang kadang bisa berlanjut
sampai 2 bulan atau lebih. Antibiotik topikal atau skliplegik bisa juga digunakan,
namun penggunaan antibiotik jangka panjang tidak disarankan.2
kontrol pada bulan pertama pasca operasi harus dilakukan sesering
mungkin. Apabila ditemukan TIO diatas target bisa dilakukan peresepan digital
ocular pressure, injeksi 5-FU dan atau melepas jahitan permanen ataupun jahitan
releasable. 2

2.2.7 Komplikasi Trabekulektomi


Komplikasi dini yang bisa terjadi adalah terbunya luka pada tempat insisi,
bilik mata depan dangkal atau datar, efusi serous koroid atau efusi hemoragik.
Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah blebitis, bleb related endoftalmitis,
kebocoran bleb, hipotoni dan makulopati atau perdarahan koroid, kegagalan bleb,
bleb yang terlalu menggantung, nyeri pada bleb, ptosis, dan retraksi kelopak mata.
Bleb filterasi bisa bocor, memproduksi dellen atau menggembung sehingga
mengganggu fungsi kelopak mata atau menutupi kornea dan mengganggu
penglihatan atau menyebabkan iritasi. Bleb juga bisa membentuk suatu kapsul
atau parut yang menyebabkan peningkatan TIO. Bleb filterasi bersifat dinamis
dan harus dimonitor. Pasien harus dijelaskan tanda-tanda infeksi bleb dan
disarankan untuk segera menemui oftalmologis bila tanda-tanda tersebut muncul.2

Gambar. Komplikasi trabekulektomi onset cepat dan onset lambat.


24

Bleb related endoftalmitis onset lambat adalah komplikasi yang berbahaya


dari prosedur ini. Pada orang dewasa endoftalmitis post operasi berkisar antara
1,3% pasien pertahun untuk bleb superior dan 7,8% per pasien pertahun untuk
bleb inferior. Faktor risiko bleb related endoftalmitis adalah blefaritis atau
konjungtivitis, trauma okuler, obstruksi duktus nasolakrimalis, penggunaan
kontak lens, kebocoran bleb kronis, jenis kelamin laki-laki, dan usia muda.
Penggunaan obat antifibrosis telah dihubungkan dengan peningkatan risiko bleb
related endoftalmitis.23

Gambar. Bleb related endotalmitis yang memiliki ciri-ciri hiperemi konjungtiva


bulbi yang difus, dengan material purulen di dalam bleb, reaksi seluler bilik mata
depan juga mungkin terjadi.2
Hipotoni setelah operasi filterasi biasanya terjadi karena filterasi yang
terlalu tinggi melalui flap sklera dan bisa berhubungan dengan kebocoran bleb.
Kebocoran bleb onset ceapat biasanya terjadi karena penutupan luka yang
inefektif. Sedngakan yang onset lambat memang sering terjadi pada prosedur full
tickness seperti posterior sklerotomi atau karena penggunaan obat antifibrotik.
Kebocoran bleb yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang
membahayakan visus, termasuk pendangkalan BMD, katarak, dekompensasi
kornea, efusi koroid, perdarahan suprakoroid, endoftalmitis, dan hipotoni
makulopati. 24
Katarak seringkali dialami oleh pasien glaukoma atau sebaliknya. Menurut
Shileton et al. pasien pseudoafakia yang menjalani trabekulektomi memiliki hasil
25

TIO yang memuaskan yaitu sekitar 13,6 mmHg. Tidak ada perbedaan TIO yang
signifikan antara pasien yang menjalani limbus based maupun fornix based.
Komplikasi yang muncul adalah hifema transien dan hipotoni transien. Kegagalan
operasi terjadi sebanyak 16,6% pada konjungtiva yang masih utuh dan 14,3 pada
konjungtiva yang pernah dimanipulasi sebelumnya. 17
Perkembangan tindakan operasi elah menurunkan angka kejadian
komplikasi, namun kejadian komplikasi masih dapat muncul diantaranya
kehilangan kehilangan endotel dan bilik mata depan yang dangkal. Kejadian bilik
mata yang dangkal dilaporkan sebesar 13-24% pada operasi trabekulektomi
dengan penambahan mitomicin-C. Pendangkalan bilik mata yang menetap akan
menyebabkan dekompensasi kornea, progresifitas katarak, pembentukan sinekia
perifer anterior dan kegagalan bleb.19

2.2.8 Fakoemulsifikasi dan Trabekulektomi


Ekstraksi katarak memiliki efek dalam menurunkan tekanan intra okular.
Hal ini sama dengan hasil akhir dari prosedur trabekulektomi. Prosedur ekstraksi
katarak pada glaukoma sudut tertutup kronis sering kali lebih diminati. Menurut
penelitian terbaru ekstraksi katarak dengan fakoemulsifikasi memberika efek yang
signifikan terhadap penurunan tekanan intra okular. 20
Menurut penelitian yang membandingkan antara fakoemulsifikasi dengan
trabekulektomi pada pasien glaukoma sudut tertutup kronis tanpa katarak, pada
pasien yang dilakukan fakoemulsifikasi mereka masih membutuhkan obat
penurun TIO setelah 24 jam pasca operasi. Sedangkan trabekulektomi juga
memiliki kelemahan yaitu lebih banyak menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan fakoemulsifikasi.20

2.2.9 Ab Interno Trabekulektomi


Ab interno trabekulektomi (AIT) dengan trabektome adalah prosedur
bedah yang diterima oleh FDA pada tahun 2004. Ini adalah metode operasi
plasma dengan elektoda pengablasi 550 kHz yang mengablasi 30-180 derajat dari
trabekular meshwork. Menurut penelitian terbaru angka keberhasila AIT adalah
61% setelah satu tahun dan 46% setelah dua tahun. 25
26

Pada AIT kombinasi dengan fakoemulsifikasi angka keberhasilannya


adalah 85% setelah satu tahun, 85% setelah lima tahun, 56% setelah 7,5 tahun dan
angka keberhasilan keseluruhan adalah 66%. Hanya 7% dari seluruh kasus yang
membutuhkan operasi ulang. 25
27

BAB 3. PENUTUP

Trabekulektomi adalah prosedur filtrasi ketebalan pasial dimana sumbatan


jaringan korneosklera dihilangkan dibawah flap sklera. Flap sklera ini
memberikan resistensi dan membatasi aliran akuos sehinga menurunkan
komplikasi yang berhubungan dengan hipotoni seperti bilik mata depa datar,
katarak, efusi cairan koroid serous, lepasnya koroid, makulopati hipotoni, dan
edema nervus optikus. Penggunaan agen antifibrotik seperti mitomicyn C (MMC)
dan 5-fluorouracil (5-FU) bersamaan dengan jahitan yang bisa dilepas atau laser
suture lysis dapat memperpanjang durasi pengontrolan TIO. 2
Prosedur trabekulektomi dapat dibagi menjadi beberapa langkah dasar
seperti eksposur, insisi konjungtiva, flap sclera, parasintesis,keratektomi. Operasi
insisi diindikasikan ketika terapi medis yang paling maksimal untuk ditoleransi
dan terasi laser mengalami kegagalan atau tidak cukup untuk mencegah kerusakan
progresif. Meskipun komplikasi potensial adalah terjadinya glaukoma insisional,
prosedur trabekulektomi ini masih boleh dilakukan pada mata yang mengalami
hipertensi ocular. Indikasi utama untuk operasi adalah progresi kerusakan lapang
pandang dan TIO yang tidak terkontrol. 2
28

Daftar Pustaka

1. Quigley HA, Broman AT. 2011. The number of people with glaucoma world
wide in 2010 and 2020. Br j ophthalmol.;90:262–7
2. American Academy of Ophthalmology. 2016. Section 10 Glaucoma. USA:
AAO, 8. 254-274.
3. Fontana, Hector, Nouri-Mahdavi, Kouros, Caprioli, Joseph. 2006.
Trabeculectomy with Mitomycin C in Pseudophakic Patints with Open-anle
Glaucoma: Outcomes and Risk Factor for Failure
4. Ilyas S. Glaukoma. Dalam : Ilyas S, Editor. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4.
Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2010. Page: 216-221.
5. Khaw, PT. P, Shah. AR, Elkington. Glaucoma in : ABC of Eyes. Fourth
Edition. London. BMJ Punlishing Group; 2004.Page: 52-59.
6. Vaughan D, Eva PR. Glaukoma. In : GeneralOftalmologi. Edisi 14. London:
Mc Graw Hill Lange ; 2007. Page: 212-224; 225.
7. Blanco A, Costa P, Wilson P. Glaukoma. In: Handbook of Glaucoma.
Philadelpia: Taylor & Francis Group; 2002. Page: 4-5.
8. Lang GK. Glaukoma. In : Ophtalmology : A Pocket Textbook Atlasy.
Germany : Georg Thieme Verlag; 2007. Page: 255-278.
9. Sehu KW, willian RL. Glaucoma. In : Opthalmic Pathology : An Ilustraed
Guide For Clinicans. New York. BMJ; 2000. Page: 136-140.
10. Ming, ALS. Constable Ian. Glaucoma. In: Color Atlas Ophtamology. Third
Edition. USA. Wold Sience; 2005. Page: 56.
11. Gessesse, Girum W. Karim F.D, Advanced Glaucoma. In : Management
Pearls. Middle E2ast African Journal of Opthalmology; 2013. Page: 131-139.
12. Scholote T. Et.al, Glaucoma. In: Pocket Atlas Ophthalmology. Clinical
Sciences. NewYork.Thieme; 2000. Page: 164.
13. Morrison C, Pollack P. Surgycal Therapy of Glaucoma. In: Glaucoma Scient
and Practice. NewYork. Thieme; 2003. Page: 461-462.
14. Budiono, Syamsu ed. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya:
Airlangga University Press.

28
29

15. Lander, John, Martin K, Sarkies, Bourne, Watson. 2012. A Twenty-Year


Follow-up Study of Trabeculectomy: Risk Factor and Outcomes. American
Academy of Ophthlamoloy 119: 694-702.
16. Rowlands, Megan A., Maharaj, Arindel S.R., 2016. A Review of Scleral
Flap Shape on Trabeculectomy Outcomes.
17. Shingleton, Bradford J., Alfano, O’Donoghue, Rivera. 2004. Efficacy of
Glaucoma Filtration Surgery in Pseudophakic Parients with or without
Conjungtival Scarring. J Catharact Refract Surg Vol 30: 2504-2510
18. Oh, L. J., Wong, E., Lam, J., and Clement, C. I. 2017. Comparison of bleb
morphology between trabeculectomy and deep sclerectomy using a clinical
grading scale and anterior segment optical coherence tomography. Clinical
& Experimental Ophthalmology
19. Saeedi, Osamah, Pillar, Angelique, Arora, Karun. 2014. Change in
choroidal thickness and axial length with change in intraocular pressure
after trabeculectomy. Br J Ophthalmol
20. Gustianty, Elsa, Prahasta, Andika, Rifadan R. Maula. 2015. Keberhasilan
Operasi pada Trabekulektomi dengan dan tanpa Hidroksipropil
Metilselulosa 2%. Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
Bandung.
21. Kaplowits, Kevin, Bussel, Igor, Schuman, Joel S. 2015. Review and meta-
analysis of ab-interno trabeculectomy outcomes. Br J Ophthamol 0:1-7
22. Kirwan, James F, Lockwood, Alstair, Shah, Peter. Trabeculectomy in 21st
Century. Ophtalmology 2013:1-8
23. DeBry P W, Perkins TW, Kaufman P, Bruckman LC. 2002 Incidence of
Late Onset bleb related Complications following Trabeculectomy with
Mitomicyn. 120 (3):297-300
24. Tnnenbaum DP, Hoffman D, Greaney MJ. Outcomes of Bleb Excision and
Conjungtival Advancement for Leaking or Hypotonous Eyes after
Glaucoma Filtering Surgery. Br J Ophthamol. 2004:88:99-103
25. Tham, Clement C.Y., Kwong, Yolanda Y.Y., Baig, Nafees. 2013.
Phacoemulsification versus Trabeculectomy in Medically Uncontrolled

29
30

Chronic AngleClosure Glaucoma without Cataract. Ophthalmology 120:62-


67

30

Anda mungkin juga menyukai