PENDAHULUAN
1
membagi amplitudo gelombang cahaya menjadi dua bagian yang berintensitas sama.
Pembelahan amplitudo gelombang menjadi dua bagian dilakukan dengan
menggunakan pemecah sinar (beam splitter)dan selanjutnya direkombinasikan untuk
membentuk pola interferensi. Untuk dapat mengetahui cara mengukur panjang
gelombang cahaya dengan menggunakan interferometer Michelson sekaligus dapat
memahami pola interferensi yang terbentuk, maka dilakukanlah percobaan ini.
1.2. TUJUAN
1. Memahami prinsip kerja interferometer
2. Menentukan panjang gelombang cahaya
3. Membandingkan panjang gelombang yang diperoleh dengan menggunakan
Michelson mode dan Fabry-perot mode.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
kecepatan konstan dalam semua sistem inersia acuan. Instrumen juga memungkinkan
jarak yang akan diukur dengan akurasi yang lebih besar dengan menggunakan
panjang gelombang cahaya. Michelson menjadi lebih tertarik pada astronomi dan
pada tahun 1920, dengan menggunakan interferensi cahaya dan versi yang sangat
berkembang dari alat sebelumnya, ia mengukur diameter bintang Betelgeuse: ini
adalah pertama penentuan ukuran bintang yang dapat dianggap sebagai akurat. Dari
tahun 1920 dan ke 1921 Michelson dan Francis G. Pease menjadi orang pertama
untuk mengukur diameter bintang selain Matahari. Mereka menggunakan
interferometer astronomi di Observatorium GunungWilson untuk mengukur diameter
bintang super-raksasa Betelgeuse. Sebuah pengaturan periskop digunakan untuk
mendapatkan murid didensified interferometer, sebuah metode kemudian diselidiki
secara rinci oleh Antoine Emile Henry Labeyrie untuk digunakan dalam
"Hypertelescopes" untuk pengukuran diameter bintang dan pemisahan bintang-
bintang biner (Anonim A, 2012).
Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih
yang bertemu pada satu titik di ruang. Hasil interferensi yang berupa pola-pola frinji
dapat digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan dengan
interferensi, misalnya panjang gelombang suatu sumber cahaya, indeks bias dan
ketebalan bahan. Untuk memahami fenomena interferensi harus berdasar pada prinsip
optika fisis, yaitu cahaya dipandang sebagai perambatan gelombang yang tiba pada
suatu titik yang bergantung pada fase dan amplitudo gelombang tersebut. Untuk
memperoleh pola-pola interferensi cahaya haruslah bersifat koheren, yaitu
gelombang-gelombang harus berasal dari satu sumber cahaya yang sama. Koherensi
dalam optika sering dicapai dengan membagi cahaya dari sumber tunggal menjadi
dua berkas atau lebih, yang kemudian dapat digabungkan untuk menghasilkan pola
interferensi (Tipler, 1991). Secara prinsip, interferensi merupakan proses superposisi
gelombang/cahaya. Interferensi terjadi apabila dua atau lebih gelombang bertemu
dalam ruang dan waktu. Satu tempat terjadinya interferensi adalah pada satu daerah
4
ruang dimana gelombang pantul dan gelombang datang bertemu. Ada syarat yang
harus dipenuhi agar terjadi interferensi, yaitu :
a. Kedua sumber cahaya harus koheren. Yaitu kedua sumber cahaya memiliki
beda fase yang selalu tetap. Sehingga kedua sumber cahaya harus memiliki frekuensi
yang sama. Beda fase dari kedua sumber cahaya ini bisa nol ,tetapi tidak harus nol.
b. Kedua sumber cahaya harus memiliki amplitudo yang hampir sama, jika
tidak interferensi yang dihasilkan kurang mencolok (Anonim B, 2012).
Suatu alat yang dirancang untuk menghasilkan interferensi dan pola-polanya
yang dihasilkan dari perbedaan panjang lintasan disebut interferometer optik.
Interferometer dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu interferometer pembagi muka
gelombang dan interferometer pembagi amplitudo. Pada pembagi muka gelombang,
muka gelombang pada berkas cahaya pertama di bagi menjadi dua, sehingga
menghasilkan dua buah berkas sinar baru yang koheren, dan ketika jatuh di layar
akan membentuk pola interferensi yang berwujud frinji gelap terang berselang-seling.
Pola terang terjadi apabila gelombang-gelombang dari kedua berkas sinar sefase
sewaktu tiba di layar (interferensi konstruktif). Sebaliknya pola gelap terjadi apabila
gelombang-gelombang dari kedua berkas sinar berlawanan fase sewaktu tiba di layar
(interferensi destruktif). Agar pola interferensi nyata, tempat garis-garis gelap terang
itu harus tetap sepanjang waktu yang berarti beda fase antara gelombang-gelombang
dari kedua celah harus tidak berubah-ubah dan hal ini hanya mungkin apabila kedua
gelombang tersebut koheren, yaitu identik bentuknya (Soedojo, 2001). Namun ada
juga yang menyatakan pembagian interferensi menjadi lebih sederhana yang
menyatakan bahwa Interferensi destruktif adalah pelemahan maksimum dua
gelombang cahaya yang mengalami interferensi sehingga menghasilkan garis gelap.
Dua gelombang ini mengalami interferensi destruktif jika beda fasenya Δφ = π, 3 π, 5
π rad atau kelipatan ganjil dari π. Beda fase ini dinyatakan dengan persamaan
Δφ = (2n-1) π, n = 1,2,3,................................................................................1
beda fase ini menunjukkan beda lintasan panjang setengah gelombang (0,5 λ)
dengan demikian interferensi konstruktif terjadi jika beda lintasannya adalah
5
kelipatan genap dari setengah panjang gelombang. Dan Interferensi konstruktif
adalah penguatan maksimum dua gelombang cahaya yang mengalami interferensi
sehingga menghasilkan garis terang. Dua gelombang ini mengalami interferensi
konstruktif jika beda fasenya Δφ = 0, 2π, 4 π, 6 π rad atau kelipatan genap dari π.
Beda fase ini dinyatakan dengan persamaan
Δφ = (2n) π, n = 0,1,2,...................................................................................2
beda fase ini menunjukkan beda lintasan panjang setengah gelombang (0,5 λ)
dengan demikian interferensi konstruktif terjadi jika beda lintasannya adalah
kelipatan genap dari setengah panjang gelombang (Anonim C, 2012).
6
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.JenisPenelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian murni. penelitian murni
diarahkan pada pengujian teori dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa
menghubungkan hasilnya dengan kepentingan praktikum.
3.2.WaktudanTempat
Tempat : Lab. Fisika Modern Fisika FKIP UNTAD
Waktu : Senin, 30 Oktober 2017
3.3.ProsedurKerja
A. Penyelarasan Laser
1. Meletakkan basic interferometer di atas meja laboratorium dengan tombol
micrometer menunjuk kearah yang dapat memudahkan penglihatan .
2. Mengatur alat seperti pada gambar di bawah ini
7
5. Mengatur posisi movable mirror agar cahaya laser tepat menembak
ketengah layar
6. Mengatur xy agar gambar yang terbentuk pada layar seperti yang
ditunjukkan pada gambar
B. Michelson Mode
1. Memasang alat seperti yang di tunjukkan pada gambar
8
C. Fabry-Perot Mode
1. Memasang alat seperti yang di tunjukkan pada gambar
9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
4.2 Analisa Data
A. Michelson-mode
2𝐷𝒎
𝜆𝑛 =
𝑁
2×6,00.10−6
1. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×4,00.10−6
2. 𝜆1 = = 4. 00 × 10−7 m
20
2×2,00.10−6
3. 𝜆1 = = 2.00 × 10−7 m
20
2×2,00.10−6
4. 𝜆1 = = 2.00 × 10−7 m
20
2×5,00.10−6
5. 𝜆1 = = 5.00 × 10−7 m
20
2×5,00.10−6
6. 𝜆1 = = 5.00 × 10−7 m
20
2×7,00.10−6
7. 𝜆1 = = 7.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
8. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
9. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×7,00.10−6
10. 𝜆1 = = 7.00 × 10−7 m
20
𝛴𝜆𝑛 𝜆1 + 𝜆2 + 𝜆3 + 𝜆4 + 𝜆5 + ⋯ … … . +𝜆10
𝜆̅ = =
𝑛 10
(6,00 + 4,00 + 2,00 + 2,00 + 5,00 + 5,00 + 7,00 + 6,00 + 6,00 + 7,00)10−7
=
10
= 5,00 × 10−7 m
Presentase kesalahan:
11
B. Fabry-Perot mode
2𝐷𝒎
𝜆𝑛 =
𝑁
2×2,00.10−6
1. 𝜆1 = = 2,00 × 10−7 m
20
2×7,00.10−6
2. 𝜆1 = = 7.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
3. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×7,00.10−6
4. 𝜆1 = = 7.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
5. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
6. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
7. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×8,00.10−6
8. 𝜆1 = = 8.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
9. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
2×6,00.10−6
10. 𝜆1 = = 6.00 × 10−7 m
20
𝛴𝜆𝑛 𝜆1 + 𝜆2 + 𝜆3 + 𝜆4 + 𝜆5 + ⋯ … … . +𝜆10
𝜆̅ = =
𝑛 10
(2,00 + 7,00 + 6,00 + 7,00 + 6,00 + 6,00 + 6,00 + 8,00 + 6,00 + 6,00)10−7
=
10
= 6,00 × 10−7 m
Presentase kesalahan:
12
4.3 Pembahasan
Interferometer adalah teknik superimposisi (menempatkan satu citra di atas citra
lain) gelombang (biasanya elektromagnetik) untuk mendapatkan informasi mengenai
gelombang tersebut. Interferometer dapat digunakan untuk mengamati gejala
interferensi.
Alatinidapatdigunakanuntukmengukurpanjanggelombangsebuahgelombang.
interferometermengalamiperkembanganpesatsepertipercobaan yang dilakukanoleh
Marie Paul Auguste Charles Fabrydan Jean Baptiste Gaspard Gustave Alfred Perot.
Dimanakedutokohtersebutmelakukanpenelitianmengenai interferometer
denganmendesainulangdari interferometer Michelson secarasignifikanberupa
interferometer Fabry-Perot. Rancangandasardaridesaininiadalahterdapatdua plat
denganpermukannsejajardanjarakkedua plat dapatdiubahsertamemilikipermukaan
yang memantulkansebagiansinar. Padapercobaan kali ini interferometer yang kami
gunakanyaitu interferometer Michelson dan Fabry-Perot.
13
yang telah terpantul deteruskan melewati beam splitter sehingga akan tampak pada
layar pinggiran lingkaran gelap terang, sama halnya pada cahaya yang telah
terpantulkan dari adjustable mirror setengah cahaya tersebut melewati beam spiller
dan ditampakkan pada layar (viewing screen).
14
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
2𝐷𝑚
𝜆𝑛 =
𝑁
5.1.Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16