Anda di halaman 1dari 19

I.

Pendahuluan

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik akut
maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis
kronis.1

Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis
tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam
jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. 1

Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan yang hampir selalu diakibatkan


tuberculosis paru aktif. Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberculosis parunya sembuh
tetapi laryngitis tuberkulosisinya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang
sangat lekat pada katilagi serta vaskularisasinya yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi
sudah mengenai katilago, pengobatan lebih lama. 1,2

Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis yang


mencakup skala nasional. Penelitian oleh Purnanta (2005) di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000 - Desember 2004) didapatkan
15 pasien dengan diagnosis laringitis tuberkulosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok
umur 60-69 tahun (30%). Sedangkan perbandingan pasien menurut jenis kelamin lebih
banyak diderita pasien laki laki yaitu 55% dibandingkan pasien perempuan sebesar 45%.3

II. Anatomi Laring


Laring merupakan bagian terbawah saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai
limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar dari pada bagian bawah. Batas atas
laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. 4

1
Gambar 1. Potongan Sagital Kepala dan Leher

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid berbentuk
seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan
tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, otot-otot ini akan menyebabkan laring
tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka
mulut dan membantu menggerakkan lidah. 4

2
Gambar 2. Tulang dan Tulang Rawan Penyusun Laring

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan
kartilago tritisea.Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum
krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran. 4

Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan


belakang laring, membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi
krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago

3
aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam
lipatan ariepiglotik, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. 4

Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid


(anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid
posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum
hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang berhubungan dengan
kartilago aritenoid dengan katilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika. 4

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot
intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan dengan
gerakan pita suara. 4

Gambar 3. Otot – otot Laring

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid), dan ada
yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah

4
m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot infrahioid ialah
m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohioid. 4

Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah,


sedangkang yang infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring ialah
m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan
m.krikotiroid. otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. 4

Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid


transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot
intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah)
kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakam otot abduktor (kontraksinya akan
menjauhkan kedua pita suara ke lateral). 4

A. Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus laringis superior dan
nervus laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. 4

Gambar 4. Persarafan Laring

5
B. Vaskularisasi Laring
Vaskularisasi laringterdiri dari 2 cabang, yaitu a.laringis superior dan a.laringis
inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior yang
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. 4
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari arteri tidoid inferior. Di dalam laring
arteri itu bercabang-cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan
a.laringis superior. 4
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior. 4

Gambar 5. Vaskularisasi Laring

C. Pembuluh limfa
Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Di sini mukosa
nya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh
limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. 4
Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringis superior, kemudian ke atasm dan bergabung dengan kelenjar dari bagian
superior rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah
dengan a.laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa
diantaranya menjalas sampai sejauh kelenjar subklavikular. 4

6
III. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan,
kejadian laringitis tuberculosis juga mengalami penurunan, meskipun terdapat
kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir. 7
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok umur usia muda,
yaitu 20-40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan ini, insidens penyakit ini pada penduduk
yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini, tuberkulosis dalam semua
bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Untuk pasien
berumur di atas 50 tahun, perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 4:1. Gambaran
ini juga terlihat pada insidens kelainan laring. Tuberkulosis laring lebih sering terjadi pada
laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk,
banyak di antaranya adalah peminum alkohol. 7

IV. Etiologi
Laringitis tuberkulosis disebabkan infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa yang hampir
selalu akibat tuberkulosis paru aktif. Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberculosis parunya
sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga
bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.5

V. Fisiologi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi.
Fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke
dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan.
Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi
otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat
kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai
sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri
dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu, dengan refleks batuk,

7
benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga
dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. 5
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi). Terjadinya perubahan
tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah
dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring
berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah. 5,6
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti berteriak,
mengeluh, menangis, dan lain-lain. Fungsi laring yang lain ialah untuk fonsi, dengan
membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. 5,6

Gambar 3. Plika vocalis

Jika plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago
tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atauu menarik kartilago aritenoid ke belakang.
Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi
m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga terjadi relaksasi
plika vokalis. Kontraksi serta relaksasi plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya
nada. 5
Fungsi laring lainnya adalah dalam membantu proses menelan dengan
mekanisme gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong
bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak masuk ke dalam laring. 5

8
VI. Patogenesis
Patogenesis TB dapat menular melalui inhalasi droplet yang dihirup seseorang dan
dapat menembus sistem mukosiliar saluran pernafasan atas dan diteruskan ke organ paru.
Bakteri Mikobakterium Tuberkulosis dapat menimbulkan gejala pada seseorang
berdasarkan beberapa faktor, diantaranya virulensi dan jumlah kuman dalam tubuh serta
daya tahan tubuh manusia itu sendiri. Terdapat beberapa teori yang menyebabkan
terjadinya infeksi laring oleh kuman Mikobakterium Tuberkulosis, yaitu :

1. Teori bronkogenik
Pada teori ini terjadi infeksi Laring melalui kontak langsung dari sekret
atau sputum yang kaya bakteri Mikobakterium Tuberkulosis pada cabang
bronkus atau mukosa laring. Pada teori ini kelainan terjadi pada laring dan
terdapat kelainan pada paru. Suatu penelitian melaporkan lokasi lesi pada
laring paling sering terjadi pada bagian posterior laring berupa edema,
granuloma, hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel epiteloid. 7

2. Teori hematogenik
Pada teori ini kelainan hanya terjadi di laring dan tidak memperlihatkan
kelainan pada paru. Bakteri Mikobakterium Tuberkulosis menyebar melalui
darah dan sistem limfatik, dan beberapa penelitian membuktikan lesi pada
laring paling sering ditemukan pada epiglotis dan bagian anterior laring
berupa edema polipoid, hiperplasia, dan ulserasi minimal. 7

Infeksi pada laring awalnya pada subepitelial berupa gambaran fase inflamasi
akut difus seperti hiperemis, edema, dan infiltrasi sel-sel eksudat. Kemudian
terbentuknya granuloma tuberkel yang avaskuler pada jaringan submukosa dengan
daerah perkijuan yang dikelilingi sel epiteloid pada bagian tengah dan sel
mononukleus pada bagian perifer. Tuberkel yang berdekatan bersatu hingga mukosa
di atasnya meregang atau pecah dan terjadi ulserasi. Ulkus yang timbul membesar,
biasanya dangkal dan ditutupi oleh perkijuan dan dirasakan nyeri oleh penderita, dan

9
bila ulkus semakin dalam akan mengenai kartilago laring sehingga terjadi
perikondritis atau kondritis terutama kartilago aritenoid dan epiglotis. Kerusakan
tulang rawan yang terjadi mengakibatkan terbentuknya nanah yang berbau dan
selanjutnya akan terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan penderita sangat
buruk dan dapat berakibat fatal. 5
Penelitian lain menunjukkan bahwa infeksi laring terjadi akibat kontak dengan
sputum yang mengandung bakteri yang berdiam untuk waktu yang lama di laring.
Basil tuberkel bisa berpenetrasi ke dalam membran mukosa normal tanpa
menimbulkan lesi di permukaan. Lesi tuberkulosis sering terbentuk di daerah
posterior laring, struktur supraglotik seperti plika aryepiglotika dan epiglotis. Lesinya
dapat berupa inflamasi nonspesifik hingga lesi nodular, lesi eksopitik, dan ulserasi
mukosa. Edema dapat timbul di fosa intraaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika
vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, dan subglotik. 5

VIII. Gejala Klinis


Gejala awal yang paling umum adalah suara serak yang dapat berlangsung
berminggu – minggu , sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul afonia. Gejala
sistemik seperti, penurunan berat badan, demam, keringat malam, dan kelelahan juga
dapat ditemukan. Gejala seperti, batuk, mengi, hemoptisis, disfagia yang lebih hebat
jika dibandingkan dengan nyeri karena radang lainnya merupakan tanda yang khas,
odynophagia, dan otalgia adalah gejala lokal yang dominan. Stridor didapatkan
sebagai gejala sekunder akibat terjadinya fibrosis subglottik dan penyempitan, massa
tumor lokal, atau kelumpuhan pita suara. Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri
dari 4 stadium, yaitu. 9 :
1. Stadium Infiltrasi
Pada stadium ini terjadi hiperemis dan udem mukosa laring bagian
posterior. Kadang pita suara juga terjadi hiperemis dan udem. Mukosa laring
juga terlihat berwarna pucat. Serta pada daerah submukosa terbentuk tuberkel,
sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik – bintik yang berwarna kebiruan.
Tuberkel itu makin membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan

10
bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang. Akitbat mukosa yang sangat
meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.
2. Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh jaringan perkejuan, serta dirasakan sangat
nyeri oleh pasien.
3. Stadium Perikondritis
Ulkus masih dalam sehingga mengenai kartilago laring dan yang paling
sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi
kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini
akan berlanjut, dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini, keadaan umum
pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan
maka proses penyakit ini berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir yaitu,
stadium fibrotuberkulosis.
4. Stadium Pembentukan Tumor / Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara, dan subglotik.

IX. Diagnosis
Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan temuan yang
berbeda- beda dalam perjalanan menegakkan diagnosis laringitis tuberkulosis. Gejala
maupun temuan yang sama namun juga dapat ditemukan. Tabel 3.1 menunjukkan gejala-
gejala yang ditemukan pada pasien yang ditemukan dalam beberapa studi.
Tabel 9.1 Perbandingan Gejala Pasien
Gejala Benwill dan Bhuyan dan El Beltagi, et Mahfoudi, Rout dan
Sarria (2014) Das (2014) al (2011) et al. (2015) Moharana
(2012)
Nyeri
Ada - Ada - Ada
tenggorokkan
Disfonia Ada - - Ada -
Hoarseness - Ada - - Ada

11
Odinofagi Ada - - - Ada
Demam - - Ada Ada Ada (rendah)
Batuk Ada (setelah
produktif - - diagnosis - Ada
epiglottitis)
Batuk non
Ada Ada Ada - -
produktif
Penurunan
berat badan Ada (5kg
Ada (akibat Ada (dalam
dalam 1 - dalam 2 -
anoreksia) 1 bulan)
bulan atau bulan)
lebih
Riwayat
kontak
- - - - -
dengan
penderita TB
Riwayat
- - Ada - -
terinfeksi TB
Riwayat Antibiotik, Ada BCG dan
konsumsi dekongestan, (antibiotik tidak ada
Antibiotik dan
obat/ Omeprazole obat batuk, setelah pengobatan
analgesik
vaksinasi obat kumur diagnosis imunosupre
antiseptik epiglotitis) sif
Riwayat Ada (10 rokok
- - - -
merokok per hari)
Riwayat
Ada (1 gelas
konsumsi - - - -
wine/ hari)
alkohol
Anoreksia - Ada - - -

12
Melalui tabel 3.1 dapat diperhatikan bahwa anamnesis saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis laringitis tuberkulosis. Gejala- gejala yang timbul pada laringitis
tuberkulosis tidaklah spesifik atau bahkan sama dengan gejala umum infeksi
tuberkulosis, bahkan riwayat terkena tuberkulosis maupun kontak dengan penderita
tuberkulosis tidak menjamin seseorang tidak memiliki laringitis tuberkulosis. Keluhan
yang paling umum disampaikan pasien saat datang ke dokter adalah nyeri tenggorokkan,
demam, batuk, dan penurunan berat badan. Keluhan seperti disfonia, suara serak/
hoarseness, dan odinofagia dapat dijumpai. Riwayat merokok maupun konsumsi alkohol
juga tidak menentukan seseorang memiliki laringitis tuberkulosis atau tidak. Konsumsi
obat pada lima case report di atas terjadi setelah sebelumnya penderita konsultasi namun
didiagnosis penyakit lainnya. Hemoptisis juga merupakan gejala lainnya yang dapat
ditemukan. 10
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan pada kelima studi kasus
menunjukkan hal yang berbeda- beda pula. Pada pemeriksaan fisik yang normal, namun
hasil pemeriksaan laringoskopi fiberoptik menunjukkan adanya massa eksofitik dengan
ulkus pada plica aryepiglottica sinistra. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) menunjukkan
adanya inflamasi perkejuan dengan granulasi serta ulseratif. Pemeriksaan bakteri tahan
asam (BTA) menunjukkan hasil negatif, namun kultur menunjukkan hasil positif
Mycobacterium tuberculosis. Penderita menunjukkan hasil negatif pada tes tuberkulin
dan serologi HIV. Pemeriksaan radiologi thorax menunjukkan hasil tanda- tanda
granulasi pada lobus atas kedua paru- paru. 11
Pada biopsi plica aryepiglottica menunjukkan tanda-tanda inflamasi dengan
granulasi serta infiltrasi sel- sel Langerhan namun tidak terjadi ulkus namun inflamasi
perkejuan yang merupakan tanda khas infeksi tuberkulosis. Hasil serologi HIV
menunjukkan hasil negatif namun hasil rontgen thorax menunjukkan hasil yang tidak
menunjukkan adanya tanda- tanda infeksi tuberkulosis. 12
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek ditemukan edema dan pembengkakkan
difus pada laring supraglotis dan epiglotis yang kemudian mengarah pada diagnosis awal
yakni laringitis supraglotis dan epiglottitis yang ditambah dengan hiperemis dan lesi
berbentuk nodul pada plica vocalis. Pada saat tersebut, pemeriksaan radiologi
menunjukkan penebalan pada epiglotis dan plica aryepiglotika dan hasil LDR meningkat

13
menjadi 80mm ditambah hasil pengecatan BTA negatif. Setelah pemberian antibiotik
non-OAT, gejala tidak membaik. Seminggu lebih kemudian, pasien kembali dan
dilakukan pemeriksaan CT Scan leher yang menunjukkan penebalan pada beberapa
daerah laring dan pembesaran limfonodi servikal. Pengecatan BTA kembali diulang dan
memberikan hasil positif. 13
Terdapat penebalan plica vocalis dextra dengan eritem serta ulkus sedalam 15mm
pada hemilarynx dextra. Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya nekrosis perkejuan
sedangkan pemeriksaan BTA menunjukkan hasil positif yang didiukung dengan hasil
positif dari kultur Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan radiologi pada thorax
menunjukkan hasil yang negatif terhadap adanya tanda- tanda infeksi tuberkulosis. 14
Pada laringoskopi indirek menunjukkan epiglotis yang mengalami penyumbatan
dan mengalami pembengkakkan. Melalui laringoskopi video, ditemukan lebih jelas
adanya ulkus dan eksudat purulent pada beberapa bagian dari laring. Pengecatan BTA
pada sputum memberikan hasil positif dengan tes tuberkulin memberikan hasil positif
setelah 72 jam. Pengujian serologi HIV menunjukkan hasil negatif, pemeriksaan
histologis menunjukkan adanya infilitrasi sel- sel Langerhan dengan nekrosis perkejuan
serta sel- sel granuloma. Diagnosis laringitis tuberkulosis pada pasien ini ditegakkan
dengan hasil radiologi thorax yang menunjukkan bercak- bercak radiopaque pada apex
kedua lobus pulmo. 15
Melalui hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dari kelima case
report di atas, dapat disimpulkan bahwa laringitis tuberkulosis ditegakkan melalui hasil
pemeriksaan histologis dan pengecatan BTA atau kultur dari bakteri. Pemeriksaan
radiologi tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laringoskopi baik
langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk menentukan pemeriksaan
penunjang yang perlu dilakukan berikutnya. Uji serologi HIV tetap dilakukan sesuai
dengan panduan diagnosis tuberkulosis yang ada karena pengobatan yang diberikan akan
berbeda apabila pasien ternyata memiliki HIV/AIDS.16

14
X. Tatalaksana
Semua hasil case report menunjukkan bahwa pasien mengalami perbaikan setelah
pengobatan dengan OAT sama seperti pengobatan tuberkulosis paru. Adapun pengobatan
pada tuberkulosis paru terbagi dalam dua tahap16 :
1. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Tahap ini dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin resisten sebelum pengobatan.
Tahap ini berlangsung selama 2 bulan dan umumnya apabila pengobatan
dilakukan dengan teratur selama 2 minggu pertama, daya penularan kuman sudah
menurun.
2. Tahap lanjutan
Berguna untuk membunuh sisa kuman yang masih ada khususnya kuman yang
masih persisten sehingga mencegah kekambuhan dan memastikan kesembuhan
pasien.
Tabel 10.1 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 (Kemenkes, 2014)

Tabel 10.2 Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1 (Kemenkes, 2014)

Obat- obatan anti tuberkulosis yang termasuk dalam lini pertama adalah Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Obat- obatan
ini dibagi dalam dua kategori, kategori 1 dan kategori 2. Pengobatan dengan kategori 1

15
diperuntukkan pada pasien TB paru yang dikonfirmasi secara bakteriologis, pasien TB
paru yang dikonfirmasi secara klinis, dan pasien TB ekstra paru termasuk laringitis
tuberkulosis. Pengobatan kategori satu terdiri atas 2(HRZE)/4(HR)3 yang berarti 2 bulan
pengobatan tahap awal dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol serta 4
bulan tahap lanjutan dengan isoniazid dan rifampisin selama 3 minggu.

Tabel 10.3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 10.4 Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2

Pengobatan kategori 2 terdiri atas 2(HRZES)/HRZE/5(HR)3(E)3 yang berarti 2


bulan pengobatan tahap awal dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin yang dilanjutkan dengan 1 bulan pengobatan tahap awal juga dengan
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Tahap lanjutan pengobatan ini terdiri
atas 5 bulan pengobatan dengan isoniazid, rifampisin, dan etambutol yang diberikan 3
kali seminggu selama 20 minggu. Terapi lainnya yang dapat dilakukan pada pasien
adalah istirahat suara untuk mencegah perburukan keadaan laring.16

16
XI. Prognosis
Prognosis pada pasien umumnya sanam hingga bonam/ baik apabila pasien patuh
dalam pengobatan dan apabila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini.10 Studi case
report menunjukkan perbaikan kondisi laring pada pasien mulai dari paling cepat 2 minggu
hingga paling lama 10 bulan setelah pengobatan dengan kategori 1.11,14 menyebutkan
bahwa setelah pengobatan, pasien dinyatakan sembuh yang ditandai dengan hasil
pengecatan BTA negatif.14 Case report yang lain menyatakan adanya perbaikan gejala
namun pasien masih melanjutkan pengobatan. pada pasien yang sudah sembuh atau
pengobatan lengkap, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik, sputum, biakan, dan
rontgen thorax setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.16

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Purnanta M. Arief. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr. Sujito Hospital
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen ENT-Head and Neck. Medical Faculty of GMU-Dr.
Sarjito Hospital.
4. Paulsen F, & J. Waschke.2013. Sobotta Altas Anatomi Manusia : Anatomi umum dan
musculoskeletal. Jakarta :EGC
5. Edisi 6. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2002.p.369-77
6. Kasper DL, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies; 2005.p.192
7. Lauralee, Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:2001.p.413-549
8. Colman BH. Disease of the Nose Throat Ear Head and Neck, tuberculosis of the larynx.
2007
9. Purnanta M. Arief. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr. Sujito Hospital
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen ENT-Head and Neck. Medical Faculty of GMU-Dr.
Sarjito Hospital.
10. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi ke- 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Benwill, J. dan Sarria, J. 2014. Laryngeal tuberculosis in the United States of America: A
forgotten disease. Scand J Infect Dis, 46, 241-249.
12. Bhuyan, N. dan Das, A. 2014. Primary laryngeal tuberculosis: a rare cause of chronic
laryngitis. Int J Adv Med, 1, 279-281.
13. El Beltagi, A., Khera, P., Alrabiah, L., dan Shammari, N. 2011. Case report: acute
tuberculosis laryngitis presenting as acute epiglottitis. Indian J Radiol Imaging, 21, 284-286.

18
14. Mahfoudi, M., Khammassi, K., Battikh, A., Salah, M., dan Turki, S. 2015. Primary laryngeal
tuberculosis. Int J Clin Med, 6, 249-251
15. Rout, M., dan Moharana, P. 2012. Tuberculosis of larynx: a case report. Indian J Tuberc, 59,
231-234.
16. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai