Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah dan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
”Hubungan Internasional Dalam Pandangan Hukum Islam” dengan baik. Tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Garut, Maret 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................2
2.1 Pengertian Hubungan Internasional Dalam Islam .............................2
2.2 Perspektif Islam Terhadap Konflik dan Diplomasi Dalam Hubungan
Internasional ......................................................................................3
2.3 Perspektif Islam Dalam Politik Luar Negeri .....................................5
BAB III PENUTUP ................................................................................................7
3.1 Kesimpulan .........................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hubungan Internasional adalah suatu proses interaksi yang terjadi antara
dua negara atau lebih untuk menjalin sebuah hubungan kerja sama yang bersifat
saling menguntungkan antara belah pihak untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan tiap negara yang bersangkutan.
Di dunia barat seperti Eropa, para pemikir orientalis barat di Eropa
menafsirkan agama Islam sebagai merupakan agama yang penuh dengan
kekerasan dan penghalang perdamaian karena Islam merupakan agama yang
mengancam keamanan internasional. Namun hal itu dibantah oleh sebagian para
sarjana Islam di barat, mereka berpendapat bahwa terdapat kesalahpahaman dalam
menafsirkan Islam tersebut yang di tafsirkan oleh para orientasi barat. Oleh karena
itu, mereka mengadakan suatu penelitian bandingan untuk membantah atas apa
yang di ungkapkan oleh para orientalis barat tersebut.
Dalam Islam, hubungan antar negara merupakan suatu kebutuhan yang
harus di jalankan untuk menyebarkan agama Islam. Pada zaman Rosulullah,
hubungan diplomasi sudah banyak dilakukan. Beberapa utusan dari tiap kaum,
pergi untuk menyampaikan pesan dari kaumnya ke kaum lain. seperti antara umat
muslim dan quraisy hingga umat nasrani dan kekaisaran romawi. Interaksi-
interaksi ini terjadi salah satunya adalah untuk melakukan perjanjian perdamaian
dimana ketika zaman kenabian Rasulullah juga terjadi beberapa peperangan antara
umat islam dan bangsa quraisy.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka pada tulisan ini
hendak mencari jawaban terhadap pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud Hubungan Internasional Dalam Perspektif Islam?
2. Bagaimana perang dan Diplomasi dalam Perspektif Islam?
3. Bagaimana Politik luar negeri dalam Perspektif Islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hubungan Internasional Dalam Islam


Hubungan Internasional adalah suatu proses hubungan antar negara yang
dilakukan yang masing-masing negara memiliki kepentingan-kepentingan sendiri,
yang mana hubungan ini dilakukan melalui kesepakatan atau perjanjian antara
keduanya. Dalam menjalin kesepakatan atau perjanjian, masing-masing pihak
memiliki utusan, dalam Islam utusan itu disebut Safir atau Rosul.
Dalam al-qur’an terdapat beberapa ayat yang sangat relevan tentang dasar
hukum hubungan internasional, yaitu sebagai berikut:

‫ارفُوا ِإن‬ ُ ‫اس ِإنا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َكر َوأ ُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَ َبا ِئ َل ِلتَ َع‬ ُ ‫َيا أَيُّ َها الن‬
َ َ‫أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْندَ َللاِ أَتْقَا ُك ْم ِإن َللا‬
)13 : ‫ع ِليم َخ ِبير (الحجرات‬
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menurut ayat tersebut, ada tiga hal mendasar yang perlu dipegang,
bahwasanya ummat manusia itu diciptakan berbangsa bangsa dan dengan
demikian berbeda-beda baik bahasa maupun kulitnya yang kemudian bangsa-
bangsa ini wajib saling kenal mengenal dan moral, bukan wujud fisik atau
kekayaan materi, harus dijadikan sebagai standar kehidupan.
Selanjutnya ayat diatas telah menegaskan bahwa pertama, manusia dan
negara seharusnya menganut prinsip universal rahmatan lil alamin, bukan
nasionalisme sempit dengan kepentingan nasional negara yang sering menyeret
negara kepada hubungan internasional yang paling keji yaitu peperangan yang
tidak boleh digunakan sebagai tujuan akhir dalam hubungan internasional. Terlalu
mengangung-agungkan nasionalisme akan membawa suatu bangsa ke sikap
etnosentris yaitu sikap yang menganggap cara hidup bangsanya merupakan cara

2
hidup yang paling baik dan melupakan kemaslahatan umat dalam skala yang lebih
besar.

2.2 Perspektif Islam Terhadap Konflik dan Diplomasi Dalam Hubungan


Internasional
Sejarah peperangan juga mewarnai sejarah islam, karena sejak awal
kelahiran agama Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw, Islam sudah
ditentang oleh orang Quraisy yang menyangga ajaran itu tidak benar dan sangat
bertolak belakang dengan kebiasaan nenek moyang mereka. Jadi wajar saja ketika
perkembangan islam semakin pesat, apalagi setelah hijrah Rasulullah ke Madinah
dimana kaum Muhajirin dan Anshar bersatu menjadikan perlawanan terhadap
islam yang dilakukan oleh kaum Quraisy juga semakin kuat, sehingga terjadi
peperangan yang mewarnai sejarah islam hingga sampai akhirnya islam berjaya
dan kemudian menguasai 1/3 dunia. Perspektif islam terhadap perang tentu sangat
berbeda dengan pandangan kaum realis, karena sebagaimana sebelumnya
dikatakan bahwa islam dilandaskan Al-Quran dan hadis jadi dalam melihat perang
pun sebagai suatu interaksi ekstrim, Islam memiliki aturannya sendiri. Dalam
Islam perang hanya boleh dilakukan jika dalam situasi sangat terpaksa (QS. Al-
Baqarah, 2:216), atau adanya penolakan terhadap Islam yang diiringi dengan
sikap benci, permusuhan dan ancaman, atau adanya segala bentuk kegiatan yang
menghambat perkembangan islam, baik itu menjurus pada bentuk teror, intimidasi
dan sebagainya, maka disitulah Allah memerintahkan umat Islam harus berperang
dan membela diri1.
Mengenai pihak-pihak yang diperangi, Ali Wahbah berpendapat ada tiga
kelompok manusia yang boleh diperangi oleh islam, yaitu orang-orang musyrik
yang memulai perang terhadap umat islam, pihak yang membatalkan perjanjian
dengan cara sepihak, dan musuh-musuh yang mengadakan persekutuan untuk
menghancurkan islam dan umatnya. Sedangkan dalam aturan peperangan dapat
dirumuskan dari sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh muslim. Dimana

1 Muhammad Iqbal , Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001)

3
dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan etika perang dalam Islam yaitu :
perang dilandasi takwa kepada Allah, yang diperangi adalah orang kafir dan
musuh islam, tidak menggelapkan rampasan perang, tidak berkhianat, termasuk
lari dalam perang, tidak membunuh secara kejam, tidak membunuh anak-anak,
wanita, dan orang tua, terhadap non-islam dan tidak memusuhi islam diberi
pilihan masuk islam atau membayar jizyah, atau diperangi.
Mengenai hubungan diplomatik dalam ajaran islam sendiri hal ini sangat
diutamakan karena cara-cara ini merupakan cara damai, dan seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa tujuan dari islam itu mengutamakan perdamaian. Meskipun
terjadi peperangan, namun hal itu adalah bentuk tindakan defensif dari umat islam
dan dalam kondisi yang terdesak. Diplomasi ini salah satu bentuknya adalah
pembuatan perjanjian antar bangsa, salah satunya yang terkenal adalah perjanjian
Hudaibiyah semasa Rasulullah, dimana islam sendiri sangat menghormati
perjanjian dan memerangi pihak yang memutuskan perjanjian secara sepihak
seperti dijelaskan sebelumnya. Namun islam tetap mengutamakan perdamaian
dari pada perang hubungan diplomasi islam merupakan kerjasama secara damai
dan secara inplisit mengandung unsur dakwah dalam pelaksanaannya. Dengan
menjalin kerjasama dengan berbagai negara, umat islam atau dar al- Islam
diharapkan dapat menampilkan sosok islam yang simpatik dan sejuk.
Dalam menyambut dan melaksanakan diplomasi pada saat zaman
kenabian sering diutus diplomat atau korps diplomatik sebagai perwakilan dari
suatu bangsa. Baik itu islam maupun bangsa lainnya menggunakan jasa para
diplomat dalam melakukan interaksi dan diplomasi. Dalam istilah politik Islam,
duta disebut safir atau rasul. Ia menjalankan sejumlah fungsi, antara lain
merundingkan Perjanjian, menghadiri acara penobatan, merujukan perselisihan,
atau menebus tawanan. Menurut kajian siyasah Islam, duta yang diutus ke wilayah
Islam berhak mendapat surat jalan ( sekarang Passpor) tanpa pemberian khusus
status aman pada presentasi surat tugasnya. Dan dalam Islam sendiri diplomat
sangat dihargai dan diberi kekebalan pribadi yang sempurna, meskipun itu non-
muslim atau bahkan musuh Islam sendiri, asalkan kedatangannya sebagai seorang
diplomat maka dia akan dilindungi. Nabi Muhammad mencontohkan ini ketika

4
Musailamah al Kadzdzab nabi palsu yang datang sebagai diplomat, walaupun
Nabi sedikit jengkel tapi tetap melindunginya, beliau berkata “Kalaulah kamu
bukan seorang duta, tentu sudah kuperintahkan kepalamu dipancung”.
Dalam sejarahnya, peran terpenting misi diplomatik Islam adalah arbitrasi
yang dalam bahasa arabnyasifarah yang populer disebutkan oleh bangsa Arab
sebagai institusi misi diplomatik2. Menurut Nasikun3 dalam bukunya arbitrasi
adalah salah satu bentuk pengendalian konflik-konlik yang mana dilakukan
dengan cara mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga sebagai
wasit yang keputusannya bersifat muthlak harus dipatuhi. Arbitrasi ini sudah lama
dilakukan oleh agama Islam dalam pengendalian konflik, yang mana Nabi
Muhammad SAW mempunyai fungsi sebagai penengah (arbitrator), seperti yang
diisyaratkan oleh Allah dalam Al-qur’an, sebagai berikut:

‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن‬ ُ ‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا َللاَ َوأ َ ِطيعُوا الر‬
‫سو ِل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِباّللِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َٰذَ ِل َك‬
ُ ‫ش ْيء فَ ُردُّوهُ ِإلَى َللاِ َوالر‬ َ ‫تَنَازَ ْعت ُ ْم ِفي‬
)59:‫(النساء‬.ً‫س ُن تَأ ْ ِويال‬ َ ‫َخيْر َوأَ ْح‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasul memiliki fungsi penengah (arbitrator) kedua setelah Allah SWT (Al-
Qur’an).

2.3 Perspektif Islam Dalam Politik Luar Negeri


Dalam tradisi pemikiran Islam klasik dan pertengahan, hubungan agama
dan negara merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak
bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Para
teoritis politik Islam mengaitkan kepentingan terhadap negara kenyataan manusia

2 Dr. Ija Suntana, Kapita Selekta Politik Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), 165
3 Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, ( Jakarta : Rajawali Perss, 2012)

5
sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Karena itu berdiplomasi atau menjalin hubungan antar negara adalah sebagai
bentuk kerjasama sosial, dengan menjadikan wahyu (agama) sebagai pedoman
atau rujukan. Tujuannya agar manusia mencapai kebahagiaanya yaiut, material
dan spiritual atau dunia dan akhirat4.
Pada masa kenabian politik luar negeri atau strategi politik terhadap
bangsa atau negara lain adalah berorientasi pada penjagaan perdamaian dan
keamanan internal umat islam. Politik luar negeri ditujukan untuk menjaga
daerah-daerah umat muslim agar tetap aman. Oleh karena itu ketika itu politik luar
negeri islam terdiri atas dasar dan tujuan yang kuat untuk mengamankan batas-
batas teritorial negara islam selain itu juga sebagai aplikasi sistem jihad fi
sabilillah , termasuk perang dan pertempuran secara islami dan tunduk dalam
tujuan islam yakni menegakkan kalimat Allah SWT.
Politik luar negeri islam juga memiliki beberapa prinsip dasar, selain tidak
bertentangan degan Al-Quran dan Hadis. Adapun prinsip-prinsip terpenting dalam
politik luar negeri islam adalah perdamaian menjadi pokok utama hubungan antar
negara, tidak memutuskan hubungan damai tersebut, membuat kaidah-kaidah
yang menjamin perdamaian, membuat suatu syarat pengakuan kenegaraan dan
ketika mengumumkan perang terhadap negara lain tidak khianat.

BAB III

4 Prof.Dr.Sukron Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta : Penerbit KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, 2013) 3

6
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan Internasional adalah sebuah proses interaksi dua negara atau
lebih dengan melakukan sebuah perjanjian atau kesepakatan yang saling
menguntungkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan negara yang
bersangkutan. dalam islam telah disebutkan bahwa manusia di dunia ini manusia
dilahirkan dengan berbangsa-bangsa dengan bahasa yang berbeda, kulit yang
berbeda, ras yang berbeda, dan lain sebagainya. Dan antara bangsa satu dan yang
lainnya diwajibkan untuk saling mengenal.
Dan setiap bangsa atau negara harus memiliki prinsip untuk selalu
menjalin hubungan dengan bangsa atau negara lain serta menjunjung kepentingan
antar negara tanpa melupakan kepentingan nasional. Bukan negara atau bangsa
yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, sehingga apabila
kepentingannya tidak terlaksanakan sehingga timbullah konflik atau peperangan.
Dalam Islam peperangan atau konflik dibolehkan hanya ketika keadaan
terpaksa yaitu ketika ada penolakan terhadap agama Islam dengan sifat benci,
marah, perlawanan serta memberi sebuah ancaman, dan lain sebagainya maka
disitulah Allah SWT memerintahkan untuk berperang.
Selain itu untuk dalam berdiplomasi Islam menggunakan proses arbitrasi
dalam pengendalian peperangan atau konflik, Rasulullah SWA sebagai penengah
(arbitrator) kedua setelah Allah SWT.
Dan untuk politik dalam negeri Islam memiliki prinsip yaitu tidak
melenceng atau menyimpang dari hukum Al-qur’an dan Sunnah. Islam
menjunjung tinggi perdamaian, dan dalam suatu perjanjian Islam sangat
menentang dengan yang namanya khianat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, M. (2010). Islami City. Diakses mei 23, 2015, dari www.islamicity.com:
http://www.islamicity.com/mosque/arabicscript/Ayat/49/49_13.html

Iqbal, M. (2001). Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:


Gaya Media Pratama.

Kamil, S. (2013). Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Penerbit KENCANA


PRENADA MEDIA GROUP.

Nasikun. (2012). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Suntana, I. (2010). Kapita Selekta Politik Islam. Bandung: Penerbit CV Pustaka


Setia.

Anda mungkin juga menyukai