Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH FITOKIMIA

IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID

DISUSUN OLEH :
SITI RAHMAWATI

STIKES MUHAMMDIYAH LAMONGAN


2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA

sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga

mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah

berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan

dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki

bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, Penulis yakin masih

banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan makalah ini.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki kekayaan hayati yang beraneka ragam dan memiliki
manfaat bagi kehidupan. Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia
memungkinkan dapat ditemukannya berbagai jenis senyawa kimia. Beberapa
diantara senyawa kimia telah banyak ditemukan dapat membantu perkembangan
kimia organik bahan alam (Supratman, 2008). Keanekaragaman hayati Indonesia
yang menjadikannya sebagai lahan utama bagi mereka yang mengembangkan
penemuan berbagai senyawa kimia yang ditemukan di alam. Hal ini memerlukan
penelitian khusus untuk melakukan isolasi senyawa kimia yang terkandung pada
bahan alam tertentu, guna untuk menambah pengetahuan tentang proses isolasi
dan senyawa kimia. Kandungan senyawa kimia dalam bahan alam tertentu dapat
digunakan dalam bidang kesehatan. Berbagai tumbuhan dapat dijadikan sebagai
sumber obat seperti kelompok sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu dapur dan
bunga-bungaan serta tumbuhan liar (Zacky dalam Isa 2008).
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar
alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil
dan pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit.
Selanjutnya dalam Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan
bahwa alkaloid terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh-tumbuhan, dan sering
dibedakan berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas
karbon, hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen.
Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan
adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat
mendonorkan sepasang elektronnya.
Sejarah alkaloid hampir setua peradaban manusia. Manusia telah
menggunakan obat-obatan yang mengandung alkaloid dalam minuman,
kedokteran, teh, tuan atau tapal, dan racun selama 4000 tahun. Tidak ada usaha
untuk mengisolasi komponen aktif dari ramuan obat-obatan hingga permulaan
abad ke sembilan belas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan alkaloid?
2. Bagaimana cara ekstraksi alkaloid?
3. Bagaimana cara pemisahan alkaloid?
4. Bagaimana cara karakterisasi alkaloid?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu alkaloid.
2. Mengetahui cara ekstraksi alkaloid
3. Mengetahui cara pemisahan alkaloid
4. Mengetahui cara karakterisasi alkaloid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Alkaloid


Senyawa kimia terutama senyawa organik hasil metabolisme dapat dibagi
dua yaitu yang pertama senyawa hasil metabolisme primer, contohnya
karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan enzim. Senyawa kedua adalah
senyawa hasil metabolisme sekunder, contohnya terpenoid, steroid, alkaloid dan
flavonoid.
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar
alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil
dan pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Selanjutnya
dalam Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid
terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh-tumbuhan, dan sering dibedakan
berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon,
hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai
dengan namanya yang mirip denganalkali (bersifat basa) dikarenakan adanya
sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan
sepasang elektronnya. Kesulitan mendefinisikan alkaloid sudah berjalan bertahun-
tahun. Definisi tunggal untuk alkaloid belum juga ditentukan. Trier menyatakan
bahwa sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan, istilah yang beragam senyawa
alkaloid akhirnya harus ditinggalkan (Hesse, 1981).
Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat,
berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning).
Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang
dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan
pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain
mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995). Ada juga alkaloid yang
berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan higrina. Sebagian besar alkaloid
mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat farmakologi. Sebagai
contoh, morfina sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang,
atrofina berfungsi sebagai
antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal, dan strisina sebagai stimulan syaraf
(Ikan, 1969). Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik
perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan
pemakaiannya di bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama
sekali kabur. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam
tumbuhan sebagai berikut (Padmawinata,1995):

1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam
urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali,
sekarang tidak dianut lagi).
2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan
nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami
metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan
parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa
bukti
yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan
konsep yang direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’.
4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi
struktur,
beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid
merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat.
5. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar
bersifat basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan
kesetimbangan ion dalam tumbuhan. Sejalan dengan saran ini,
pengamatan menunjukkan bahwa pemberian nikotina ke biakan akar
tembakau meningkatkan pengambilan nitrat. Alkaloid dapat pula
berfungsi dengan cara pertukaran dengan kation tanah.
Sampai saat ini sangat sedikit sekali alkaloid yang ditemukan pada
tumbuhan tingkat rendah. Kemungkinan hanya satu atau dua famili dari jamur
saja yang mengandung alkaloid, seperti ergot. Pada golongan alkaloid indol,
bufotenin, juga ditemukan dalam jamur yaitu spesies Amanita mappa, selain yang
ditemukan pada tumbuhan (Piptadenia pergrina) dan katak (Bufovulgaris). Pada
garis besarnya, campuran senyawa nitrogen yang ditemukan
pada jamur dan mikroorganisme dapat dianggap sebagai alkaloid, tetapi hal ini
tidaklah biasa. Contoh lain senyawanya adalah: gliotoksin
(jamur Trichodermaviride), pyosianin (bakteri Pseudomonas aeruginosa) dan
erythromisin hasil dari Streptomyces (Ikan, 1969). Semua alkaloid mengandung
paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian
besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan
mengenai alkaloid seperti dinyatakan di atas perlu dikaji dengan hati-hati. Karena
banyak senyawa heterosiklik nitrogen lain yang ditemukan di alam bukan
termasuk alkaloid. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu
tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloid (Achmad, 1986).

Sampai saat ini sangat sedikit sekali alkaloid yang ditemukan pada
tumbuhan tingkat rendah. Kemungkinan hanya satu atau dua famili dari jamur
saja yang mengandung alkaloid, seperti ergot. Pada golongan alkaloid indol,
bufotenin, juga ditemukan dalam jamur yaitu spesies Amanita mappa, selain yang
ditemukan pada tumbuhan (Piptadenia pergrina) dan katak (Bufovulgaris). Pada
garis besarnya, campuran senyawa nitrogen yang ditemukan
pada jamur dan mikroorganisme dapat dianggap sebagai alkaloid, tetapi hal ini
tidaklah biasa. Contoh lain senyawanya adalah: gliotoksin
(jamur Trichodermaviride), pyosianin (bakteri Pseudomonas aeruginosa) dan
erythromisin hasil dari Streptomyces (Ikan, 1969). Semua alkaloid mengandung
paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian
besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan
mengenai alkaloid seperti dinyatakan di atas perlu dikaji dengan hati-hati. Karena
banyak senyawa heterosiklik nitrogen lain yang ditemukan di alam bukan
termasuk alkaloid. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu
tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloid (Achmad, 1986).

Sampai saat ini sangat sedikit sekali alkaloid yang ditemukan pada
tumbuhan tingkat rendah. Kemungkinan hanya satu atau dua famili dari jamur
saja yang mengandung alkaloid, seperti ergot. Pada golongan alkaloid indol,
bufotenin, juga ditemukan dalam jamur yaitu spesies Amanita mappa, selain yang
ditemukan pada tumbuhan (Piptadenia pergrina) dan katak (Bufovulgaris). Pada
garis besarnya, campuran senyawa nitrogen yang ditemukan
pada jamur dan mikroorganisme dapat dianggap sebagai alkaloid, tetapi hal ini
tidaklah biasa. Contoh lain senyawanya adalah: gliotoksin
(jamur Trichodermaviride), pyosianin (bakteri Pseudomonas aeruginosa) dan
erythromisin hasil dari Streptomyces (Ikan, 1969). Semua alkaloid mengandung
paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian
besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan
mengenai alkaloid seperti dinyatakan di atas perlu dikaji dengan hati-hati. Karena
banyak senyawa heterosiklik nitrogen lain yang ditemukan di alam bukan
termasuk alkaloid. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu
tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloid (Achmad, 1986).

2.2 Pemurnian Alkaloida


Metode pemurnian dan karakterisasi alkaloid umumnya mengandalkan
sifat kimia alkaloid yang paling penting yaitu kebasaannya, dan pendekatan
khusus harus dikembangkan untuk beberapa alkaloid (misalnya rutaekarpina,
kolkisina, risinina) yang tidak bersifat basa. Alkaloid biasanya diperoleh dengan
cara mengekstrasi bahan tumbuhan memakai asam yang
melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan
natrium karbonat dan sebagainya lalu basa bebas diekstraksi dengan pelarut
organik seperti kloroform, eter, dan sebagainya. Beberapa alkaloid jadian/sintesis
dapat terbentuk jika kita menggunakan pelarut reaktif. Untuk alkaloid yang dapat
menguap seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari
larutan yang dibasakan. Larutan dalam air yang bersifat asam dan mengandung
alkaloid dapat dibasakan kemudian alkaloid diekstraksi
dengan pelarut organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut
dalam air tertinggal dalam air (Padmawinata, 1995). Garam alkaloid berbeda
sifatnya dengan alkaloid bebas. Alkaloid bebas biasanya tidak larut dalam air
(beberapa dari golongan pseudo dan protoalkaloid larut), tetapi mudah larut dalam
pelarut organik agak polar (seperti benzena, eter, kloroform). Dalam bentuk
garamnya, alkaloid mudah larut dalam pelarut organik polar (Cordell, 1981).
Hingga kini belum ada pendefinisian tunggal dan penggolongan yang jelas
dari alkaloid. Dalam bukunya, Matsjeh (2002) menerangkan beberapa klasifikasi
alkaloid, diantaranya yaitu berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur
alkaloid dan berdasarkan asal mula kejadiannya (biosintesis) dan hubungannya
dengan asam amino. Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur alkaloid,
alkaloid dapat dibagi atas 5 golongan:

1. Alkaloid heterosiklis
2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis
3. Alkaloid putressina, spermidina, dan spermina
4. Alkaloid peptida
5. Alkaloid terpena

Dari lima golongan di atas, alkaloid heterosiklis adalah yang terbesar dan
yang terkecil adalah alkaloid putressina, spermidina, dan spermina. Ini dapat
dilihat dari jumlah anggota dari masing-masing golongan seperti diterangkan di
bawah ini:

1. Alkaloid heterosiklis

Alkaloid heterosiklis merupakan alkaloid dengan atom nitrogennya terdapatdalam


cincin heterosiklis. Alkaloid hetrosiklis dibagi menjadi:
a. Alkaloid pirolidin
b. Alkaloid indol
c. Alkaloid piperidin
d. Alkaloid piridin
e. Alkaloid tropan dan basa yang berhubungan
f. Alkaloid histamin, imidazol dan guanidin
g. Alkaloid isokuinolin
h. Alkaloid kuinolin
i. Alkaloid akridin
j. Alkaloid kuinazolin
k. Alkaloid izidin

2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis


a) Eritrofleum
b) Fenilalkilamina
c) Kapsaisin
d) Alkaloid dari jenis kolkina

3. Alkaloid putressina, spermidina, dan spermina


4. Alkaloid peptida
5. Alkaloid terpena dan steroid

Sedangkan berdasarkan asal mulanya (biogenesis) dan hubungannya dengan


asam amino, alkaloid dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: (1) Truealkaloid, (2) Proto
alkaloid, dan (3) Pseudo alkaloid. Ciri-ciri dari ketiga kelas alkaloid adalah
sebagai berikut:

1) True alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; toksik, perbedaan keaktifan
fisiologis yang besar, basa, biasanya mengandung atom nitrogen di
dalam cincin heterosiklis, turunan asam amino, distribusinya terbatas
dan biasanya terbentuk di dalam tumbuhan sebagai garam dari asam
organik. Tetapi ada beberapa alkaloid ini yang tidak bersifat basa,
tidak mempunyai cincin heterosiklis dan termasuk alkaloid kuartener
yang lebih condong bersifat asam. Contoh dari alkaloid ini adalah
koridin dan serotonin.
2) Proto alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri mempunyai struktur amina yang
sederhana, di mana atom nitrogen dari asam aminonya tidak berada di
dalam cincin heterosiklis, biosintesis berasal dari asam amino dan
basa, istilah biologycal amine sering digunakan untuk alkaloid ini.
Contoh dari alkaloid ini adalah meskalina dan efedrina.
3) Pseudo alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; tidak diturunkan dari asam amino
dan umumnya bersifat basa. Contohnya adalah kafeina.
BAB III
ISI

Pada tahap ekstraksi sampel berupa serbuk halus daun alpukat diekstraksi
dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol. Tahap Maserasi dilakukan
selama 4 x 24 jam, setiap 24 jam dilakukan penyaringan dan dimaserasi kembali
dengan memakai metanol yang baru. Maserat yang diperoleh disatukan dan
dievaporasi pada suhu 30-400C dengan menggunakan alat penguap vakum dan
diperoleh ekstrak kental metanol.
Tahap selanjutnya, ekstrak kental metanol disuspensi dengan metanol-air
dan dipartisi dengan pelarut n-heksan, diperoleh fraksi n-heksan dan fraksi air.
Fraksi n-heksan dievaporasi menghasilkan ekstrak n-heksan. Fraksi air dipartisi
dengan pelarut etil asetat diperoleh fraksi air dan fraksi etil asetat. Hasil Partisi
dari fraksi-fraksi dievaporasi pada suhu 30-40°C sampai diperoleh ekstrak air dan
ekstrak etil asetat. Masing-masing ekstrak diuji fitokimia.

Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang
terdapat didalam sampel tumbuhan tersebut dengan menggunakan modifikasi
metode Farnsworth (Sermakkani dan V. Thangapandian 2010). Daun alpukat diuji
fitokimia untuk melihat kandungan metabolit sekunder. Uji Fitokimia meliputi uji
flavonoid, uji alkaloid, uji steroid, terpenoid dan saponin.
a. Uji Flavonoid
Ekstrak kental metanol 0,1 gr diencerkan dengan menggunakan metanol 10 mL
dan dibagi menjadi 4 tabung reaksi yang berbeda. Tabung pertama sebagai
kontrol, tabung kedua ditambahkan lempengan Mg dan larutan HCl pekat, tabung
ketiga ditambahkan H2SO4 pekat, tabung keempat ditambahkan NaOH pekat.
Hasil uji positif flavonoid jika terjadi perubahan warna larutan (Harbone, 1987).
Pada jurnal didapatkan hasil positif dari ekstrak etil asetat dan n-heksan hasil dari
fraksinasi menunjukkan positif Flavonoida.
b. Uji Alkaloid
Ekstrak kental metanol sebanyak 0,1 gr dilarutkan dengan 10 mL kloroform
amoniak lalu hasilnya dibagi menjadi dua bagian yang sama. Untuk bagian
pertama ditambahkan asam sulfat (H2SO4) 2 N perbandingan volumenya sama.
Lapisan asam diambil dan dibagi menjadi tiga bagian dan dilakukan pengujian
menggunakan pereaksi fitokimia yaitu pereaksi Mayer, pereaksi Dragendroff, dan
pereaksi Wagner. Untuk bagian kedua diuji menggunakan pereaksi Hager. Hasil
uji positif mangandung alkaloid jika terbentuk endapan. Ekstrak etil-asetat dan
ekstrak n-hexan menunjukkan hasil positif karena ada endapan hijau diperkirakan
ini ialah kompleks kalium-alkaloid.
c. Uji Steroid, terpenoid, Saponin
Ekstrak kental metanol 0,1 g, dilarutkan dalam 10 mL dietil eter. Bagian ekstrak
yang larut dalam dietil eter diberi perlakuan uji dengan menggunakan pereaksi
Lieberman Bauchard (asam asetat anhidrida : asam sulfat pekat). Terbentuknya
warna hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah
kecoklatan menunjukan uji ini positif mengandung terpenoid. Bagian yang tidak
larut dalam dietil eter, diuji dengan cara menambahkan aquadest panas sebanyak 2
mL. Hasil menunjukkan adanya saponin, jika setelah penambahan aquadest panas
terbentuk buih/busa yang stabil (15 menit setelah penambahan aquadest panas).
Filtrat yang berada dibagian bawah buih/busa di ambil lalu ditambahkan HCl
pekat, dilakukan proses penguapan hingga kering dan terbentuk kerak.
Dilanjutkan dengan uji menggunakan pereaksi Liebarman Bauchard. Jika terdapat
warna hijau kebiruan menunjukkan adanya kandungan senyawa steroid. Untuk
pembentukan warna merah kecoklatan menunjukan adanya senyawa terpenoid.
Dalam jurnal tidak mendapatkan hasil positif pada uji ini.
Sebelum diekstraksi dilakukan destruksi terlebih dahulu, destruksi sendiri
adalah perlakuan untuk melarutkan atau mengubah sampel menjadi bentuk
marteri yang dapat diukur sehingga kandungan berupa unsur-unsur di dalamnya
dapat dianalisis.
Dekstruksi: Daun Jambu keeling didestruksi basah dengan HCL dalam methanol
lalu kemudian dinetralisasi dengan penambahan basa NH4OH dan terjadi padatan
berupa endapan
Ekstraksi: Endapan dikeringkan dan diektraksi dan direndam dalam khloroform
dan dipekatkan dengan alat rota-evaporator.
Ekstraksi dilakukan secara sinambung menggunakan alat soxlet dengan
kepolaran pelarut bertingkat yaitu dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan metanol
sehingga diperoleh ekstrak cair dari ketiga pelarut. Berdasarkan hasil ekstraksi
secara sinambung dengan menggunakan alat soxhlet menggunakan pelarut n-
heksan, etil asetat dan metanol terhadap daun senggugu (Clerodendron seratum),
didapatkan berat masing-masing ekstrak pada tabel:
Dari hasil penelitian didapatkan hasil ekstraksi daun senggugu sebanyak
120 gr diperoleh ekstrak nheksan sebanyak 16 gr (13.3%), ekstrak etil asetat 16 gr
(13.3%), dan Ekstrak metanol 62 gr (51.6%), pelarut-pelarut yang digunakan
mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang terdapat dalam simplisia
secara berbeda-berbeda.
Pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar, pelarut semi polar
akan melarutkan senyawa semi polar dan pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar. Dari hasil ekstraksi, terdapat perbedaan berat yang dihasilkan dari masing-
masing ekstrak. Di dalam ekstrak kemungkinan terdapat senyawa dari golongan
senyawa kimia yang berbeda-beda sesuai kepolaranya.

1. ISOLASI, IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID TOTAL DAUN


TEMPUYUNG (Sonchus arvensis Linn) DAN UJI SITOTOKSIK
DENGAN METODE BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Yazid Murtadlo, Dra. Dewi Kusrini, M.Si, Dra. Enny Fachriyah, M.Si
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro
Jalan Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang 50275, Telepon (024) 7474754

Ekstraksi: Ekstrak etanol daun tempuyung mengandung alkaloid dan flavonoid


(Wadekar, J., Sawant, R., dkk.,2012). Akar tempuyung mengandung senyawa
alkaloid total sebanyak 0,5 % (Anonim, 2011)

Isolasi Alkaloid Total: Serbuk daun tempuyung kering 650 g dimaserasi dengan
pelarut etanol 96% selama 24 jam. Kemudian dipekatkan dengan rotary
evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental dan ditambahkan asam asetat 10%
hingga suasana menjadi asam. Ekstrak larutan asam ini selanjutnya diekstraksi
dengan etil asetat sehingga diperoleh dua lapisan, lapisan etil asetat dan lapisan
asam. Ke dalam lapisan asam kemudian ditambahkan ammonium hidroksida
pekat sampai suasana basa, dilanjutkan ekstraksi dengan etil asetat kembali. Dari
perlakuan ini diperoleh lapisan basa dan lapisan etil asetat. Lapisan etil asetat
inilah yang mengandung senyawa alkaloid total. Daun tempuyung yang sudah
kering di potong dan dihaluskan menggunakan blender untuk memperluas
permukaan pada saat maserasi. Sehingga senyawa metabolit sekunder yang
terkandung pada daun dapat teisolasi dengan baik. Sebanyak 650 gram daun
tempuyung yang sudah halus di maserasi menggunakan pelarut etanol. Isolat yang
didapatkan kemudian diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator
sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang diperoleh sebanyak 8 garam.
Kemudian dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui senyawa yang terkandung
pada ekstrak daun tempuyung. Hasil uji fitokimia memberikan uji positif terhadap
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan negatif terhadap senyawa saponin,
fenolik, terpenoid dan steroid.

Fraksinasi Alkaloid

1. ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ALKALOID DARI


DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL)

Pemisahan Uji Alkaloid, Steroid, Saponin,Terpenoid:


Ekstrak metanol yang akan dipisahkan, terlebih dahulu dianalisis
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mencari eluen yang sesuai,
sebagai fasa gerak pada pemisahan kromatografi kolom. Selanjutnya ekstrak
metanol sebanyak 4 gr dipisahkan dengan kromatografi kolom dengan fase diam
silika gel GF60 dan dieluasi berturut-turut menggunakan pelarut organik seperti n-
heksan, methanol, etil asetat dengan perbandingan tertentu. Fraksi-fraksi yang
diperoleh dari tahapan kromatografi kolom dilakukan proses kromatografi lapis
tipis kembali untuk mengabungkan fraksi-fraksi yang sama harga Rf-nya. Pola
noda akan terbentuk pada setiap fraksi. Jika isolat tetap menunjukan pola noda
tunggal, maka isolat telah murni.
Anilisis dengan KLT ini, fasa diam yang digunakan berupa silika gel (70-
220 Mesh) dan fasa gerak n-heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol secara
bergradien. Tahap kromatografi kolom menghasilkan 220 fraksi dan dilakukan
KLT. Didapatkan hasil penggabungan yang memiliki harga Rf-nya yang terdiri
dari N1 – N17 mendapatkan isolat murni. Pemilihan fraksi N12 untuk di pisahkan
mempertimbangkan beberapa hal yaitu berat fraksi, pola noda hasil KLT dan
fraksi ini menghasilkan kristal jarum berwarna hijau. Tahap pemisahan
kromatografi kolom fraksi N12 dengan berat 0,07 gr didapatkan 83 fraksi. Proses
Kromatografi kolom kedua ini dielusi secara bergradien 10 % dengan eluen n-
heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol. Dari 83 fraksi ini di KLT dan dihitung
nilai Rf dari setiap fraksi. Berdasarkan hasil kromatografi kolom kedua ini, fraksi
7 menghasilkan kristal jarum. Hasil Kromatografi lapis tipis terhadap fraksi ini
menunjukkan pola noda tunggal pada eluen n-heksan : etil asetat. Fraksi 7 yang
berbentuk kristal jarum berwarna hijau dipisahkan kembali untuk memperoleh
isolat murni dengan manggunakan kromatografi lapis tipis berbagai eluen.

Pemisahan Uji Fitokimia:


Ekstrak kental metanol dikromatografi lapis tipis dengan menggunakan
perbandingan eluen tertentu. Tahapan Kromatografi lapis tipis merupakan langkah
awal mencari eluen yang cocok untuk digunakan pada pemisahan kromatografi
kolom. Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan yang fasa diamnya
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak berupa zat cair
(Gritter, 1991). Setelah diperoleh eluen yang cocok, ekstrak kental metanol
dipisahkan dengan kromatografi kolom.
Ekstrak Kental metanol dilakukan pemisahan dengan cara kromatografi
kolom gravitasi dengan menggunakan fasa diam berupa silika gel (70-220 Mesh)
dan fasa gerak n-heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol secara bergradien.
Tahap kromatografi kolom menghasilkan 220 fraksi dan fraksi yang diperoleh
dari kolom ini dilakukan kromatografi lapis tipis. KLT ini dilakukan untuk
menggabungkan fraksi-fraksi yang mempunyai nilai Rf yang sama. Hasil
Penggabungan fraksi terdiri dari N1 – N17. Dari hasil penggabungan fraksi, fraksi
N12 dipilih untuk dipisahkan lagi menggunakan kromatografi kolom gravitasi.
Tujuan dilakukan pemisahan kromatografi kolom kedua ini untuk mendapatkan
isolat murni. Pemilihan fraksi N12 untuk di pisahkan mempertimbangkan
beberapa hal yaitu berat fraksi, pola noda hasil kromatografi lapis tipis dan fraksi
ini menghasilkan kristal jarum berwarna hijau
Tahap pemisahan kromatografi kolom fraksi N12 dengan berat 0,07 gr
menghasilkan 83 fraksi. Proses Kromatografi kolom kedua ini dielusi secara
bergradien 10 % dengan eluen n-heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol. Dari
83 fraksi ini di KLT dan dihitung nilai Rf dari setiap fraksi. Berdasarkan hasil
kromatografi kolom kedua ini, fraksi 7 menghasilkan kristal jarum. Hasil
Kromatografi lapis tipis terhadap fraksi ini menunjukkan pola noda tunggal pada
eluen n-heksan : etil asetat. Fraksi 7 yang berbentuk kristal jarum berwarna hijau
dipisahkan kembali untuk memperoleh isolat murni dengan manggunakan
kromatografi lapis tipis berbagai eluen.
Ekstrak kental metanol dikromatografi lapis tipis dengan menggunakan
perbandingan eluen tertentu. Tahapan Kromatografi lapis tipis merupakan langkah
awal mencari eluen yang cocok untuk digunakan pada pemisahan kromatografi
kolom. Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan yang fasa diamnya
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak berupa zat cair
(Gritter, 1991). Setelah diperoleh eluen yang cocok, ekstrak kental metanol
dipisahkan dengan kromatografi kolom.

2. ISOLASI SENYAWA ALKALOID DARI EKSTRAK METANOL


DAUN TUMBUHAN JAMBU KELING

Pemisahan Alkaloid: Daun jambu Keling (Eugenia cumini (L.) Druce)


Ekstrak pekat khloroform sebanyak 2g di lakukan pemisahan dengan cara
khromatografi kolom. Menggunakan fasa diam silika gel 60 sebanyak 60 gram.
Fasa gerak khloroform : metanol dengan menaikkan kepolaran bertingkat. Fraksi
yang keluar kolom khromatografi ditampung menggunakan vial serta dimonitor
dengan khromatografi lapis tipis. Fraksi dengan Rf yang sama dan positip dengan
pereaksi Mayer yang ditandai dengan munculnya warna putih, digabung.
Selanjutnya, diuapkan pelarutnya. Kemudian fraksi ini direkristalisasi untuk
memperoleh kristal murni. Dari hasil destruksi dan netralisasi didapat padatan lalu
pemisahan dengam pemurnian serbuk Daun jambu Keling (Eugenia cumini (L.)
Druce) diperoleh kristal berwarna kuning dengan titik leleh 293⁰C-295⁰C.
3. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID DARI DAUN
TUMBUHAN SENGUGU (Clerodendron serratum Spreng)

Fraksinasi (pemisahan) Metanol dari Senyawa Alkaloida


Ekstrak aktif difraksinasi (dilakukan pemisahan) dengan metode
kromatografi cair vakum (KCV) dengan penyerapan silika gel. Fase gerak
menggunakan larutan n-heksana 100%, n-heksana 80%, n-heksana 60%, n-
heksana 40%, n-heksana 20%, etil asetat 100%, etil asetat 80%, etil asetat 60%,
etil asetat 40%, etil asetat 20%, dan methanol 100%. Masing-masing persentase
diberikan volume larutan sebanyak 100 ml. Fraksi yang aktif diuji secara
bioautografi dan diisolasi senyawa aktifnya (Picman et al. 1998 dalam Salni
2003).

4. ISOLASI, IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID TOTAL DAUN


TEMPUYUNG (Sonchus arvensis Linn) DAN UJI SITOTOKSIK
DENGAN METODE BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Isolasi Alkaloid Total :


Serbuk daun tempuyung kering 650 g dimaserasi dengan pelarut etanol
96% selama 24 jam. Kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga
diperoleh ekstrak kental dan ditambahkan asam asetat 10% hingga suasana
menjadi asam. Ekstrak larutan asam ini selanjutnya diekstraksi dengan etil asetat
sehingga diperoleh dua lapisan, lapisan etil asetat dan lapisan asam. Ke dalam
lapisan asam kemudian ditambahkan ammonium hidroksida pekat sampai suasana
basa, dilanjutkan ekstraksi dengan etil asetat kembali. Dari perlakuan ini diperoleh
lapisan basa dan lapisan etil asetat. Lapisan etil asetat inilah yang mengandung
senyawa alkaloid total.
Pemisahan Alkaloid Total :
Isolat alkaloid diidentifikasi dengan pereaksi Dragendorrf. Setelah itu
dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mencari eluen yang cocok
untuk mengisolasi alkaloid murni dengan KLT preparatif dan untuk mengetahui
jumlah komponen yang ada pada isolate alkaloid total. Fase gerak KLT
menggunakan eluen etil asetat : etanol : n-heksan (2:1:30), sedangkan fase
diamnya menggunakan silica gel 60GF254.

3.3 Karakterisasi Alkaloid


1. ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ALKALOID DARI
DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL)

Karakterisasi Senyawa Isolasi: Karakterisasi dari senyawa hasil isolasi dapat


dilakukan dengan menggunakan analisis spektrofotometer Infra Red (IR) dan
spektrofotometer UV-Vis.

Spektrofotometer Infra Red (IR):


Berdasarkan analisis spektrum infra red (IR) dari isolat fraksi 7,
kemungkinan terdapat beberapa gugus fungsi seperti gugus fungsi N-H pada
daerah serapan bilangan gelombang 3311,55 cm-1emiliki intensitas kuat. Adanya
pita tajam dengan intensitas kuat mengindikasikan keberadaan uluran gugus C-H
pada serapan bilangan gelombang 2921,96 cm-1 dan 2850,59 cm-1 dan dapat
didukung oleh adanya C-H alifatik (tekuk) dengan bilangan gelombang 1467,73
cm-1 dan 1433,01 cm-1. Berikut ini spektrum Infrared dari fraksi 7 yang disajikan
dalam gambar 1.
Regangan C=C muncul didaerah bilangan gelombang 1506,30 cm-1.
Regang Gugus C=O (keton) intensitas kuat muncul pada daerah serapan bilangan
gelombang 1641,31 cm-1 dan diperkuat oleh gugus C=O lainnya yang ditemukan
di daerah serapan bilangan gelombang 1735,81 cm-1. Gugus C-N regang
ditemukan pada daerah serapan 1130,21 cm-1; 1068,49 cm-1; 1012,56 cm-1. Gugus
ini memiliki intensitas kuat dan pita tajam. Gugus C-N lainnnya dengan intensitas
lemah berada didaerah serapan bilangan gelombang 1240,14 cm-1 dan 1176,50
cm-1. Hal ini diperkuat dengan adanya gugus N-C=O pada serapan 580,53 cm-1.
Gugus C-H aromatik berada di serapan gelombang 910,34 cm-1, 846,69 cm-1 dan

719,40 cm-1.
Gambar 1: Spektrum Infra Red dari Isolat
Interpretasi data spektrum infra red (IR) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Interpretasi data Infra Red (IR) isolat Fraksi 7

Bilangan Gelombang (cm-1)

No Alkaloid Pustaka Bentuk Intensitas Kemungkinan


Isolat ** „ * dan “ Pita Gugus
Fungsi

1. 3311,55 3425,3 3300-3500” Tajam Kuat Regang -N-H

2. 2921,96 2927,7 2700-3000” Tajam Kuat Regan


2850,59 C-H
Alifatik
3. 1735,81 1658,7 1650-1900” Lebar Lemah Regang C=O

4. 1641,31 1562,2 1540-1870* Tajam Kuat Tekuk C=O

5. 1506,30 1500-1675” Lebar Lemah Regang C=C

6. 1467,73 1423,4 1300-1475” Tajam Kuat Tekuk


1433,01 C-H Alifatik

7. 1369,37 Tajam Kuat Tekuk C-H


1309,6 # 1300-1475”
1336,58

8. 1240,14 Lebar Lemah Regang C-N


1112,9# 1020-1250*
1176,50

9. 1130,21 1110,9 Tajam Kuat Regang C-N


1068,49 1020-1250*
1012,56

10. 910,34 Tajam Kuat Tekuk C-H


846,69 Aromatik
719,40

- 650-1000”

1 580,53 621,9 570-630* Tajam lemah -N-C=O


1.

Ket : ** Jurnal Santi (2010), * Silverstein, dkk (1984) dan “ Creswell, dkk
(2005)
# Skripsi Yusuf (2011)
Spektrofotometer UV-Vis: Hasil spektrum spektrofotometer UV-Vis isolat
fraksi 7 memberikan serapan pada panjang gelombang 238,5 nm dengan
absorbansi 0,405. Serapan panjang gelombang 238,5 nm diakibatkan oleh
adanya transisi elektron n π* dan nσ*. Dugaan ini diperkuat oleh
interpretasi data IR yang menghasilkan gugus C=O dan N-H yang memiliki
elektron sunyi. Senyawa yang mengalami transisi elektron nσ* disebabkan

oleh adanya kromofor yang tidak terkonjugasi yang dapat mengabsorbsi cahaya
pada panjang gelombang sekitar 200 nm. Sedangkan untuk senyawa yang
memiliki transisi nπ* dapat menunjukkan adanya gugus N-H dan
mengabsorbsi didaerah ultraviolet kuarsa (200-400 nm) Penyebab terjadinya
transisi elektron nσ* dan nπ* adalah kromofor. Kromofor adalah suatu
gugus atom yang menyebabkan terjadinya absorbsi cahaya. Transisi nσ*
memerlukan energi terbesar dan memiliki panjang gelombang berbanding
terbalik dengan energy (Creswell dkk,2005). Sedangkan untuk transisi nπ*
meliputi transisi elektron-elektron tak berikatan ke orbital anti ikatan
(π*).Serapan ini terjadi pada panjang gelombang cahaya yang besar dan
intensitasnya rendah (Sastroamidjojo,2001). Berikut ini spektrum UV-Vis dari
isolate Fraksi 7:
Gambar 2. Spektrum UV-Vis dari Isolat Fraksi 7

SIMPULAN: Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh


kesimpulan bahwa isolat fraksi 7 dari daun alpukat (Persea Americana Mill) yang
ada dalam ekstrak kental metanol diduga merupakan senyawa alkaloid aromatik.
Senyawa alkaloid aromatik memiliki karakteristik: N-H (3311,55 cm-1), C-H
alifatik (2921,96 cm-1), C-N (1130,21 cm-1), C=O (1735,81 cm-1), C-H aromatik,
gugus N-C=O (580,53 cm-1), dan didukung oleh data spektrofotometer UV-Vis
dengan serapan panjang gelombang 238,5 nm serta hasil dari transisi elektron
nπ* dan nσ* yang mengindikasikan adanya gugus C=O dan gugus N-H.

2. ISOLASI SENYAWA ALKALOID DARI EKSTRAK METANOL DAUN


TUMBUHAN JAMBU KELING

Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi: Terhadap kristal hasil isolasi dilakukan


analisis Spektroskopi IR, 1H- NMR dan 13C-NMR dan penentuan titik leleh untuk
menentukan senyawa hasil isolasi.
Hasil Dan Pembahasan:

Gambar 1. FTIR Isolasi Daun Jambu

Dari hasil destruksi dan netralisasi dan didapat padatan lalu pemisahan dan
pemurnian serbuk daun jambu Keling (Eugenia cumini (L.) Druce) diperoleh
kristal berwarna kuning dengan titik leleh 293°C – 295°C. Analisa Spektrum IR
(Gambar 1). Pada daerah paling utama dari senyawa alkaloid munculnya bilangan
gelombang 1635,78 cm-1 dengan puncak tajam menunjukkan serapan
kharakteristik N-C=C dari rentangan -C=C atau vinil serta bilangan 1541,26 –
1508,47 cm-1 dengan puncak lemah menunjukkan serapan kharakteristik –NH3,
NH2 dari – NH+ sedangkan pada bilangan gelombang 3443,25 cm-1 dengan
puncak melebar menunjukkan adanya vibrasi O-H dengan puncak tajam
menunjukkan vibrasi C=O pada bilangan gelombang 2959,07 cm-1.

Analisa spektrum 1H-NMR (Gambar 2) terlihat adanya pergeseran kimia 1,18 –


1,28 ppm multiplet –CH3, pergeseran kimia pada daerah 1,97 –2,07 ppm terdapat
puncak kuartet ini menunjukkan adanya proton dari karbon CH3 –(C=C)
pergeseran kimia 3,29 –5,41 ppm merupakan puncak multiplet ini menunjukkan
proton yang terikat pada atom N, H(N)-aromatis dan juga pada 6,14 ppm adanya
atom N yang terjadi pada senyawa alkaloid.

KESIMPULAN: Isolasi daun tumbuhan jambu keling (Eugenia Cumini (L.)


Druce). Mengandung senyawa alkaloida dan diperoleh kristal berwarna kuning
berbentuk jarum dan mempunyai titik Lebur 293°C– 295°C. yang diduga
strukturnya mirip golongan indolalkaloid.
3. ISOLASI, IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID TOTAL DAUN
TEMPUYUNG (Sonchus arvensis Linn) DAN UJI SITOTOKSIK DENGAN
METODE BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Gambar II. (A), (B) Hasil KLT dengan berbagai campuran eluen (C) KLT
dua dimensi pada lampu UV λ365 nm

Pada gambar II menunjukan isolat yang dihasilkan sudah murni. Hal ini
dapat dilihat dari hasil KLT dengan berbagai campuran eluen (A) n-heksan : etil
asetat : etanol (30:2:1), (B) kloroform : aseton : methanol (20:3:2), dan KLT dua
dimensi dengan eluen (1) n-heksan : etil asetat : etanol (30:2:1), (2) kloroform :
aseton : methanol (20:3:2) pada lampu UV λ365 nm menghasilkan noda tunggal
yang berwarna biru.
Isolat alkaloid murni kemudian dianalisis menggunakn spektrofotometer
UV-Vis, FTIR, dan LC-MS. Hasil analisis menggunakan spektrofotometer UV-
Vis didapatkan serapan pada panjang gelombang 225 nm, 253 nm, 352 nm
merupakan serapan dari ikatan terkonjugasi dan merupakan serapan alkaloid yang
mempunyai kerangka dasar isokuinolin, menurut cordrell (1981) alkaloid yang
mengandung kerangka dasar isokuinolin mempunyai panjang gelombang pada
daerah 230 nm, 266 nm, 351 nm. Hasil spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat
pada gambar III sebagai berikut:

Gambar III Spektra UV-Vis isolat alkaloid daun tempuyung

Hasil analisis menggunakan spektrofotometer FTIR memberikan bilangan


gelombang sebesar 3448,72 cm-1 (vibrasi ulur OH), 1627,92 cm-1 (vibrasi ulur
C=N) yang diperkuat dengan serapan 1103,28 cm-1 (vibrasi tekuk C-N yang
simetri dengan vibrasi ulur C-O), 2924,09 cm-1 dan 2854,65 cm-1 (vibrasi ulur C-
H alifatik), 1472,67 cm-1 dan 1347,4 cm-1 (gugus C-H), 1720,50 cm-1 (vibrasi ulur
C=O), 1650,92 cm-1 (vibrasi ulur C=C terkonjugasi), 794,67 cm-1 (C-H alifatik
keluar bidang). Hasil spektrofotometer FTIR dapat dilihat pada gambar IV.
Gambar IV. Spektogram FTIR isolatalkaloid daun tempuyung

Hasil analisis menggunakan LC-MS menunjukan adanya tiga puncak, ini


berarti isolat belum murni. Pada T 2,6 menghasilkan spektogram MS alkaloid
daun tempuyung dengan berat molekul sebesar 444 g/mol. Hasil spektrofotometer
LC-MS dapat dilihat pada gambar V sebagai berikut:
Gambar V. Spektrogram LC-MS isolatalkaloid daun tempuyung
Berdasarkan hasil analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FTIR
dan LC-MS dapat diketahui suatu senyawa alkaloid yang terkandung dalam daun
tempuyung termasuk alkaloid dengan keranangka dasar isokuinolin yang
mempunyai panjang gelombang 225nm, 253 nm, 352 nm, memiliki gugus fungsi
C=N, O-H, C-O, C=C terkonjugasi, C=O, CH2, CH3 dan berat molekul senyawa
sebesar 444,84 g/mol. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui
bentuk struktur dari senyawa alkaloid ini.
Hasil uji aktifitas sitotoksik daun tempuyung menggunakan metode BSLT
diperoleh harga LC50 dari ekstrak etanol dan isolat alkaloid total masing-masing
sebesar 61,410 ppm dan 523,634 ppm. Ini berarti bahwa ekstrak etanol bersifat
sedikit toksik dan isolat alkaloid total bersifat tidak toksik.
Tabel 1. Hasil Uji Sitotoksik

KESIMPULAN: Alkaloid yang terkandung dalam daun tempuyung mempunyai


kerangka dasar isokuinolin dengan panjang gelombang 225 nm, 253 nm dan 352
nm yang mempunyai gugus fungsi C=N, O-H, C-O, C=C, C=O, CH2, CH3 dan
mempunyai berat molekul sebesar 444,84 g/mol. Uji aktifitas sitotoksik
menggunakan metode BSLT diketahui bahwa ekstrak etanol bersifat sedikit toksik
dan isolat alkaloid total bersifat tidak toksik.
BAB IV
PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ALKALOIDA

(Ekstrak Piper nigrum L.)

1) Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan alkaloida
dalam tanaman.

2) Tinjauan
a) Tanaman
i) Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus : Piper
Spesies : Piper nigrum L.

ii) Kerabat Dekat


Kiseureuh, Sirih, Sirih Hutan, Kemekes, Kemukus, Mrico Lolot,
Cabe Jawa, Cabean, Daun Wati, Sirih Merah
iii) Kandungan tumbuhan
isi simplisia menngandung felandren, dipenten, kariopilen,
enthoksilin, limonene, alkaloida piperina dan kavisina.
iv) Penggunaan simplisia: karminatif dan iritasi local.

b) Golongan alkaloida
Pada waktu yang lampau sebagian besar sumber alkaloid adalah
pada tanaman berbunga, angiosperma. Pada tahun-tahun berikutnya
penemuan sejumlah besar alkaloid terdapat pada hewan, serangga
organisme laut, mikroorganisme dan tanaman rendah. Karena alkaloid
sebagai suatu kelompok senyawa yang terdapat sebagian besar pada
tanaman berbunga,maka para ilmuwan sangat tertarik pada sistematika
aturan tanaman. Kelompok teretentu alkaloid dihubungkan dengan
family atau genera tanaman tertentu. Kebanyakan family tanaman yang
mengandung alkaloid yang penting adalah Liliaxea, Solanaceae, dan
Rubiaceae. Family tanaman yang tidak lazim yang mengandung
alkaloid adalah Papaverceae.
Di dalam tanaman yang mengandung alkaloid, alkaloid
mungkin terlokasi (terkonsentrasi) pada jumlah yang tinggi pada
bagian tanaman tertentu. Pada bagian tertentu tanaman tidak
mengandung alkaloid tetapi bagian yang lain sangat kaya alkaloid.
Namun ini tidak berarti bahwa alkaloid yang terbentuk, dibentuk di
bagian tanaman tersebut.

i) klasifikasi
Alkaloid merupakan sekelompok senyawa, tidak diperoleh
definisi tunggal tentang alkaloid. Banyak usaha untuk
mengklasifikasikan alkaloid. System klasifikasi yang paling
banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokan
sebagai:
(1) Alkaloid sesungguhnya
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut
menunjukan aktifitas phisiologi yang luas, hampir tanpa
terkecuali bersifat basa; lazim mengandung nitrogen dalam
cincin heterisiklis; diturunkan dari asam amino; biasanya
terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organic.
Beberapa perkecualian terhadap “aturan” tersebut adalah
kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan
tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid quartener, yang
bersifat agak asam daripada bersifat basa.
(2) Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relative sederhana,
dimana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin
heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh berdasarkan biosintesis
dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis
sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah
mesakalin, ephedin, dan N,N-dimetiltriptamin.
(3) Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari precursor asam amino.
Senyawa biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang
penting dalam kelas ini, yaitu alkaloid stereoidal dan purin.
Meskipun demikian terdapat beberapa perkecualian dari ketiga
klasifikasi tersebut
ii) Penamaan
Karena begitu banyak tipe alkaloid maka tidak mungkin
diadakan penyatuan penamaan. Bahkan dalam satu kelompok
alkaloid, sering terjadi tidak adanya system penamaan dan
penomeran yang konsisten. Suatu contoh, adalah dalam alakaloid
indol, dimana banyak terdapat kerangka yang berbeda.
Kebanyakan dalam bidang ini system penomeran yang digunakan
didasarkan pada biogenesis, namun saying Chemical Abstrak
mempunyai system penomeran yang sangat membingungkan untuk
setiap kerangka individu.

iii) Sifat-sifat fisika


Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan
Kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran
dekomposisi. Sedikit alkaloid berbentuk amorf, dan beberapa
seperti nikotin dan konini berupa cairan.
Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi beberapa
senyawa yang kompleks, spesies aromatic berwarna. Pada
umumnya basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organic,
meskipun beberapa pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam
air. Garam alkaloid dan alkaloid quartener sangat larut dalam air.

iv) Sifat-sifat kimia


Kebanyakan alakaloid bersifat basa. Sifat tersebut
tergantung pada adanya pasangan electron pada nitrogen. Jika
gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat
melepaskan electron, sebagai contoh gugus alkil maka ketersediaan
electron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa.
Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat
mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar
dengan adanya oksigen. Dalam Hasil dari reaksi ini sering berupa
N-oksida. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat
menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung
dalam waktu yang lama. Pembentukan garam dengan senyawa
organic atau anorganik sering mencegah dekomposisi. Itulah
sebabnya dalam perdagangan alkaloid lazim berada dalam bentuk
garamnya.

c) Cara identifikasi alkaloida


i) Reaksi pengendapan
Larutan percobaan untuk pengendapan alkaloida dibagi dalam 4
golongan sebagai berikut:
(1) Golongan I : larutan percobaan dengan alkaloida
membentuk garam
yang tidak larut: asam silikowolframat LP,
asam fosfomolibdat LP dan asam
fosfowolframat LP.
(2) Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloida
membentuk
senyawa kompleks bebas, kemudian
membentuk endapan: Bouchardat LP dan
wagner LP
(3) Golongan III : larutan percobaan yang dengan alkaloida
membentuk
senyawa adisi yang tidak larut: Mayer LP,
Dragendorff LP, dan Marme LP.
(4) Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alakaloida
membentuk
ikatan asam organic dengan alkaloida:
Hager LP.
Cara percobaan
Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air, panaskan di atas tangas air selama 2
menit, dinginkan dan saring. Pindahkan masing-masing 2 tetes
filtrate pada dua kaca arloji. Tambahkan 2 tetes Mayer LP pada
kaca arloji pertama dan 2 tetes Bouchardat LP pada kaca arloji
kedua. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka
serbuk tidak mengandung alkaloida.
Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal
berwarna putih atau kuning yang larut dalam methanol P dan
dengan Bouchardat LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai
hitam, maka ada kemungkinan terdapat alkaloida.
Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrate dengan
3 ml ammonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter
P dan 1 bagian volume kloroform P. ambil fase organic, tambahkan
natrium sulfat anhidrat P, saring. Uapkan filtrate di atas tangas air.
Larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N. lakukan percobaan
dengan keempat golongan larutan percobaan. Serbuk mengandung
alkaloida jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan
menggunakan 2 golongan larutan percobaan yang digunakan.

ii) Reaksi warna


Cara percobaan
Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada
cara Reaksi pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrate pada
cawan porselin, uapkan. Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes
larutan percobaan seperti yang tertera pada masing-masing
monografi.
Identifikasi
(1) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam sulfat P;
terjadi warna coklat tua .
(2) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam sulfat 10
N; terjadi warna kuning.
(3) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam klorida
pekat P; terjadi warna coklat tua.
(4) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetesasam klorida
encer P; terjadi warna kuning.
(5) Mikrodestilasikan 20 mg serbuk buah pada suhu 240˚
selama 90 detik menggunakan tanur TAS, tempatkan hasil
mikrodestilasi pada titik pertama dari lempeng KLT silica
gel GF2 5 4P. Timbang 500 mg serbuk buah, campur dengan
5 ml methanol P dan panaskan di atas tangas air selama 2
menit, dinginkan. Saring, cuci endapan dengan methanol P
secukupnya sehingga diperoleh 5 ml filtrate. Pada titik
kedua dari lempeng KLT tutulkan 15 μl filtrate dan pada
titik ketiga tutulkan 2 μl larutan piperina P 0.1% b/v dalam
etanol P. eluasi dengan campuran etil asetat P-benzen P (30
+ 70) dengan. Jarak rambat 15 cm, keringkan lempeng di
udara selama 10 menit. Amati dengan sinar biasa dan
dengan sinar ultraviolet 366 nm. Semprot lempeng dengan
anisaldehid-asam sulfat LP, panaskan pada suhu 110˚
selama 10 menit. Amati dengan sinar biasa dan dengan
sinar ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak
bercak-bercak dengan warna dan hRf sebagai berikut:
Dengan sinar biasa Dengan sinar UV 366 nm

N
hRf Tanpa
o
pereaks Dengan pereaksi Tanpa pereaksi Dengan pereaksi
i

1 4–6 - Merah muda Ungu Biru


2 9 – 13 - Biru hijau - Biru muda
3 24 – 30 - Kuning hijau Kuning hijau Kuning hijau terang
4 30 – 33 - Kuning hijau Biru Kuning hijau terang
5 35 – 38 - Biru Biru Ungu muda
6 40 – 44 - Ungu - Ungu kelabu
7 47 – 51 - Biru ungu - Ungu kecoklatan
8 55 – 59 - Merah lembayung - Merah lembayung
9 62 – 66 - Ungu Ungu Ungu terang
10 68 – 70 - Biru ungu - kelabu

Catatan : piperina sebagai pembanding tampak sebagai


bercak berwarna kuning hijau dengan harga hRf 27.
3) Prosedur kerja
a) Preparasi sample
1. Ekstrak sebanyak 0.9 gramditambah etanol ad larut, ditambah 5 ml
HCL 2N, dipanaskan di atas penangas air selama 2-3 menit, sambal
diaduk.
2. Setelah dinginditambah 0.3 gram NaCl, diaduk rata kemudian
disaring.
3. Filtrate ditambah 5 ml HCL 2N, filtrate dibagi tiga bagian dan
disebut sebagai larutan IA, IB, IC.
b) Reaksi pengendapan
1. Larutan IA ditambah pereaksi Mayer, larutan IB ditambah dengan
pereaksi Wagner dan larutan IC dipakai sebagai blanko.
2. Adanya kekeruhan atau endapan menunjukan adanya alkaloid.
c) Kromatografi lapis tipis (KLT)
1. Larutan IC ditambahkan NH4OH pekat 28% sampai larutan
menjadi basa, kemudian diekstrasi dengan 5 ml kloroform (dalam
tabung reaksi).
2. Filtrate (fase CHCL3) diuapkan sampai kering, kemudian
dilarutkan dalam methanol (1 ml) dan siap untuk pemeriksaan
KLT.
Fase diam : Kiesel gel GF 254
Fase gerak : CHCL3 – Etil asetat (1:1)
Penampak noda : Pereaksi Dragendorff
3. Jika timbul warna Jingga menunjukkan adanya alkaloid dalam
ekstrak.
4) Hasil
a) Reaksi Pengendapan

Hasil reaksi pengendapan

Perbandingan larutan IA, yang diberi pereaksi meyer, larutan IB yang


diberi pereaksi wagner dan larutan IC sebagai blanko.
Pada larutan IA dan IB setelah ditambah dengan pereaksinya masing-
masing, pada kedua larutan tersebut mengalami kekeruhan jika
dibandingkan dengan larutan blanko, adanya kekeruhan yang terjadi
pada kedua larutan tersebut menunjukkan adanya alkaloid pada kedua
larutan dengan ekstrak Piper nigrum L.
b) Kromatografi lapis tipis

KLT larutan IC pada sinar UV 254 nm KLT larutan IC pada sinar


UV 365nm
(warna kuning) (warna
ungu)
Noda yang berwarna jingga

Setelah dilakukan identifikasi dengan KLT (fase diam kiesel Gel GG 254 & fase
gerak CHCl3 – etil asetat; 1:1), dan setelah disemprot pereaksi dragendorf maka
muncullah noda berwarna jingga, dimana adanya noda dengan warna jingga pada
hasil indentifikasi KLT ini menunjukkan adanya alkaloid dalam Ekstrak Piper
nigrum L yang kami uji.
Harga Rf:
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑡𝑎𝑛𝑠𝑖
𝑅𝑓 =
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 (𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛)

4.5 𝑐𝑚
1. 𝑅𝑓 = = 0.56
8 𝑐𝑚
𝑐𝑚
2. 𝑅𝑓 = =
𝑐𝑚

5) Pembahasan
Pada hasil identifikasi senyawa alkaloid pada Ekstrak Piper nigrum
L. dengan menggunakan reaksi pengendapan dengan pereaksi meyer dan
pereaksi wagner kami mendapati adanya kekeruhan pada kedua larutan
yang diberi pereaksi tersebut, sehingga hasil yang dihasilkan adalah
ekstrak Piper nigrum L positif mengandung alkaloid. Pada identifikasi
dengan reaksi pengenndapan ini kami tidak mendapati kesulitan. Pada saat
melakukan proses pendinginan larutan ekstrak kami diamkan di suhu
ruangan pada saat larutan ekstrak tersebut sudah hangat kami dinginkan
dengan mengaliri air pada dinding tabung luar, setelah itu baru
ditambahkan NaCl dan disaring.

Pada hasil identifikasi senyawa alkaloid pada Ekstrak Piper nigrum


L. dengan menggunakan KLT kami mendapati adanya 2 noda, namun
salah satu nodanya tidak nampak jelas,namun kedua noda tersebut
berwarna jingga. Pada saat mengambil filtrate CHCl3 kami tidak
mengambilnya sampai habis karena kami khawatir filtrate selanjutnya
yang akan terambil tercampur dengan fase yang lain, setelah pengambilan
filtrate CHCl3, filtrate kami uapkan di lemari asam hingga tersisa 1-2 ml,
kemudian kami melakukan 3 kali penotolan pada plat KLT yang telah
diberi batas atas: 0.5 cm, dan batas bawah: 1.5 cm, setelah sample dieluasi
kami amati plat pada sinar UV 254 & 365 nm maka nampak 2 noda
dengan salah satunya noda tidak nampak dengan jelas, warna noda yang
timbul pada sinar UV 254nm adalah kuning, sedangkan pada sinar UV
365nm adalah ungu. Setelah pengamatan pada sinar UV kami menyemprot
plat dengan penampak noda yaitu Pereaksi Dragendorf, maka nampak
noda 2 berwarna jingga.

Dari kedua hasil identifikasi senyawa alkaloid pada Ekstrak Piper


nigrum L. dengan menggunakan reaksi warna maupun KLT menunjukkan
bahwa Ekstrak Piper nigrum L yang kami amati mengandung/terdapat
senyawa alkaloida.
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstrasi bahan
tumbuhan memakai asam yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan
tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya lalu basa
bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter, dan sebagainya.
Alkaloid dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dan fraksinasi. Karaketerisasi dari
alkaloid juga dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer Infra Red
dan Spektrofotometer Uv-Vis.

4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung
jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Cordell, A. (1981). Introduction to Alkaloid, A Biogenetic Approach, A Wiley


Interscience
Publication. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Hesse, M. (1981). Alkaloid Chemistry. Toronto: John Wiley and Sons, Inc.
Ikan, R. (1969). Natural Product A Laboratory Guide. Jerussalem: Israel:
Universities Press.
Matsjeh, S. (2002). Kimia Hasil Alam Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan
Flavonoid,
Terpenoid dan Alkaloid. Jogjakarta: Jurusan Kimia FMIPA UGM.
Padmawinata, K. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung:
Penerbit ITB
(Terjemahan dari Robinson, T. 1991. The organic Constituens of Higher
Plant, 6 th
edition).

Anda mungkin juga menyukai