Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

BAB KEPAILITAN
MATA KULIAH HUKUM BISNIS

Disusun Oleh :
1. Alycia Firalina (170810201012)
2. Farhana Zia (170810201029)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kepailitan adalah sita
umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Dalam hal ini,
debitur dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan apabila ia memiliki dua atau
lebih kreditur dimana debitur tersebut tidak bisa membayar lunas utangnya
setidaknya salah satu dari kreditur tersebut hingga utang-utangnya jatuh tempo.
Kepailitan bisa diajukan oleh debitur itu sendiri atau oleh salah satu dari
krediturnya. Debitur yang telah dinyatakan pailit sudah tidak memiliki hak lagi
atas segala kekayaannya, dan hak atas kekayaannya tersebut berpindah ke tangan
sang kreditur. Pengurusan atau pemberesan harta yang telah pailit tersebut
dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas.

Hal ini adalah yang wajar apabila suatu perusahaan melaksanakan


perjanjian utang piutang untuk memenuhhi biaya operasional perusahaan. Apabila
kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan
perjanjian tersebut tentu tidak masalah. Permasalahan akan timbul apabila
perusahaan yang menjadi debitur mengalami kesulitan untuk mengambalikan
utangnya tersebut, yang mana ini akan berujung pada kepailitan. Kepailitan adalah
suatu kasus yang menandakan bahwa suatu debitur telah gagal melaksanakan
operasinya. Hal ini karena kewajiban debitur, yaitu pembayaran utang ke pihak
ketiga, yang merupakan prioritas pertama dalam struktur keuangan debitur tidak
terlaksana dengan baik. Seiring dengan berjalannya dinamika perekonomian
Indonesia yang fluktuatif, semua pihak yang menjalankan suatu usaha dihadapkan
pada suatu tantangan baru, yaitu bagaimana menangani utang dan juga bagaimana
menghadapi piutang dari pihak lain. Dalam menghadapi hal ini, pemerintah telah
membuat suatu aturan yang memberikan pedoman mengenai bagaimana
penyelesaian kasus utang piutang yang berujung pada kepailitan, yang dituangkan
dalam UU No. 37 tahun 2004.

Kasus kepailitan telah menimpa banyak perusahaan-perusahaan di


Indonesia, diantaranya Eastman Kadak Co. (Kodak), PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia (Asuransi Manulife), PT. Adam SkyConnection Airline (Adam Air),
hingga PT. Metro Batavia, yang merupakan perusahaan penerbangan maskapai
udara Batavia Air. Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai kasus
kepailitan Batavia Air sebagai model kasus kepailitan di Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa definisi dari kepailitan?


2. Siapa saja pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit?
3. Bagaimana proses kepailitan suatu debitur?
4. Bagaimana kronologi kepailitan Batavia Air?
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kepailitan

Berdasarkan Undang-undang nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan.


Kepailitan adalah sesuatu yang berhubungan dengan pailit. Pailit adalah dimana
orang atau badan hukum berhenti membayar (tidak mampu atau tidak mau
membayar utangnya). Dengan demikian jika ada penagihan pembayaran utang
dan telah jatuh tempo maka dapat disebut pailit. Bukan hanya tidak mampu untuk
membayar utang, tapi tidak mau membayar utang juga dapat dimintakan pailit.
Pernyataan pailit bukan hanya keluar dari para kreditur semata, akan tetapi harus
ada putusan pengadilan. Dan pengadilan akan menunjuk seorang kurator untuk
mengelola harta pailit.
Undang-undang tersebut merupakan tindak lanjut dari pasal-pasal jaminan
dalam pasal 1311 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang
sudah ada dan maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan”.

2.2 Landasan Teori

Kepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah
sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Pengadilan yang berwenang dalam proses kepailitan suatu perusahaan adalah
Pengadilan Niaga.
Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 2, pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit yaitu

a) Debitur atau kreditur

b) Kejaksaan

c) Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank

d) Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah


perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian

e) Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi,


perusahaan reasuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik.

Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus


memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang
jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur.

Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:

a) Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang


dapat bertindak sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan
pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti
tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan
karakteristik kreditur separatis,

b) Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak
prioritas. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada
orang berpiutang lainnya.
c) Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur
lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya
masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak
dibebani dengan hak jaminan.

Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang


kepada kreditur separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan,
dan yang terakhir adalah kepada kreditur konkruen.

Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat,
tetapi melalui beberapa proses yang cukup panjang.

Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:

a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui


panitera pengadilan oleh penasehat hukum terdaftar,

b) Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk


menjamin piutang kreditur,

c) Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator


(pengurus dan pelaksana kepailitan),

d) Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang)


yang melibatkan hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,

e) Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan


sisa tagihan yang belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,

f) Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan


putusan pailit debitur dan kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi
(debitur tidak mampu membayar utangnya dan kekayaannya menjadi harta pailit),

g) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan,
kurator harus mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar
yang ditetapkan oleh hakim pengawas,
h) Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta
Peninggalan (BHP) bertindak sebagai kurator dalm proses kepailitan

i) Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan


debitur sebelum putusan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,

j) Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur
separatis berubah menjadi kreditur konkruen,

k) Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah


Agung dan permohonan peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.

2.2 Kronologi Kepailitan Batavia Air

a) Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air

Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender
pelayanan haji dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC.
Namun, dari total kontrak leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut
Batavia Air kalah tender di Kementerian Agama untuk mengangkut jemaah haji.
Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun
pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat,
dan USD 520rb di tahun kelima dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC
sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13 Desember 2012. .
Karena itulah, permohonan ini ditindak lanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Lalu, proses pembuktian juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu
sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti tersebut yaitu berupa pengakuan yang
dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang dimilikinya. Batavia Air juga
memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada Sierra Leasing Limited yang jatuh
tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research Sdn Bhd di bulan
Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta.
Sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki
kewajiban untuk memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga
dalam hal ini juga sulit untuk memberikan menyimpulkan kondisi keuangan
Batavia Air.

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak


pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk
melayani rute-rute lain selama menganggur. Barangkali yang juga kurang
dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan persyaratan deposit Travel
Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum deposit yang
sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah.
Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi “ribet” nya
administrasi penambahan deposit.

Pada Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk


mengakuisisi Batavia Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi
polemik yang cukup populer di Indonesia karena kekuatiran akan masuk nya
pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun tidak lama berselang,
rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan transaksi
tersebut dikarenakan “risiko bisnis dan penurunan pendapatan”.

Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya


akuisisi Batavia Air oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis,
yang awal nya 64 rute, menjadi 44 rute saja. Namun di tengah pengurangan rute
ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan penambahan rute yang cukup
signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute strategis Batavia
Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia
Air.

Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami


penurunan secara drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC.
Kepercayaan calon penumpang pun mulai berkurang, banyak penumpang kuatir
akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan Mandala Air. Dalam
penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang banyak
yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak
beredar di BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air
oleh Dirjen Perhubungan.

Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri


Jakarta Selatan (30 Januari 2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan
pailit oleh ILFC. Namun pengajuan pembatalan ini telah ditolak langsung oleh
Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan dampak penurunan
kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui semua utang-
utangnya tersebut. Dengan penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel
berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air. Kepailitan Batavia Air juga memiliki
dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013.

Pertanyaan Studi Kasus

1. Apa Penyebab Batavia Air mengalami kepailitan?


2. Bagaimana nasib calon penumpang yang telah membeli tiket pesawat
Batavia Air?
3. Bagaimana solusi anda agar kasus kepailitan ini tidak terjadi lagi?

Jawaban

1. Penyebab kepailitan yang terjadi pada Batavia Air adalah adanya gugatan
dari ILFC yang telah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8
ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan
dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Pihak Batavia Air memiliki utang
kepada ILFC dan ketika jatuh tempo pihak Batavia Air tidak dapat
melunasi utang-utangnya. Sehingga, ILFC menuntut ke Pengadilan Negeri
Niaga terkait hal ini. Setelah gugatan dari pihak ILFC, permasalahan ini
diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan
kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur.
Pada tahun 2013, Batavia Air mengalami penurunan secara drastis.
Sehingga, ketika pihak ILFC mencabut gugatan kepailitan terhadap
Batavia Air, secara langsung Batavia Air menolak pencabutan gugatan
tersebut karena Batavia Air telah merasakan dampak penurunan
kepercayaan para pelanggannya. Selain itu, Batavia Air telah mengakui
segala utang-utangnya. Sehingga, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
memutuskan Batavia Air untuk pailit.

2. Menurut UU Kepailitan pasal 26 ayat (1), Pengurusan harta kekayaan


debitur pailit dan pemberesan segala utangnya akan dilakukan oleh kurator
yang ditunjuk oleh pengadilan. Penyelesaian pailit Batavia Air telah
diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M
Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba
Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl.
Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.

Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator
Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian
tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada investor baru.
Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk bisa
mendapatkan uang refund atau pengembalian.

Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota sekitar


1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar
rupiah. Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang
deposit mencapai 500 juta rupiah. Pasca penutupan Batavia Air, beberapa
airlines telah menawarkan bantuan bagi penumpang Batavia Air dengan
booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala Airlines)
telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG,
CGK-PKB, CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga
mengakomodir penumpang Batavia Air untuk rute Yogyakarta –
Pontianak secara gratis.

3. Menurut UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setiap


perusahaan penerbangan diwajibkan memiliki dana cadangan yang
memadai. Sehingga, jika perusahaan memiliki hutang yang sudah jatuh
tempo dan perusahaan tidak dapat membayar, maka perusahaan tersebut
dapat menggunakan dana cadangan yang berada di bank. Selain itu,
perusahaan dapat menanam saham atau berinvestasi lebih banyak lagi
sehingga kasus kepailitan dapat dihindari dikemudian hari.
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kepailitan bisa saja menimpa setiap pihak atas kelalaiannya dalam


mengoperasikan dana pinjaman dari krediturnya. Proses menuju kepailitan
tersebut dimulai dari permohonan yang diajukan kepada Pengadilan Niaga, hingga
hakim memutuskan yang menandakan bahwa suatu debitur dinyatakan pailit.
Kepailitan menyebabkan berbagai masalah dan kerugian. Kerugian utama
dirasakan oleh debitur karena aset-aset yang dimilikinya akan dinyatakan
insolvensi dan pada akhirnya akan dieksekusi oleh bank. Kerugian juga dialami
oleh kreditur dimana bisa saja piutang-piutangnya tidak tertagih secara penuh.
Lalu, kepailitan terkadang juga merugikan pihak konsemen dari debitur, seperti
yang dialami oleh calon penumpang Batavia Air.
DAFTAR PUSTAKA

http://arsyadshawir.blogspot.co.id/2011/11/jenis-jenis-kreditor-dalam-
kepailitan.html
https://bisnis.tempo.co/read/458040/ini-penyebab-batavia-air-dinyatakan-pailit

https://bisnis.tempo.co/read/463437/kepailitan-batavia-air-dinilai-mencurigakan

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5109da6249361/batavia-air-pailit

https://id.wikipedia.org/wiki/Batavia_Air

http://www.minghadi.com/batavia-air-pailit/

Saliman,R.A. 2017. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai