LP Sle
LP Sle
3. Etiologi
Penyebab SLE tidak diketahui walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan
kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Kecenderungan terjadinya SLE dapat berhubungan
dengan perubahan gen MCH spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Resiko
meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Wanita lebih cenderung mengalami SLE dibandingkan dengan pria, karena
peran hormon seks. SLE dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau
menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan
penyakit. Penyakit ini dapat bersifat ringan hingga menyebabkan kematian.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010):
a. Faktor Genetik
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu:
1) Antigen
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
3) Kelainan antiodi
c. Faktor Hormonal .
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid. (Musai, 2010)
4. Manifestasi Klinis
a. Polialtralgia ( nyeri sendi) dan arthitis (peradangan sendi)
b. Demam akibat peradangna kronik
c. Ruam wajah dalam polamalar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung.
d. Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
e. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g. Lesi berskuama di kepala , leher dan punggung
h. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
i. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulangm dan perdarahan sering terjadi karen aserangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Diagnosis
SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear positif Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
(ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
5. Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang
akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa
sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang
terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi
DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein danatau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri
khasautoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integralsemua
jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Denganantigennya yang
spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupagangguan klirens kompleks imun besar yang
larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat
terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan
timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepertiginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya..
PREDISPOSISI GENETIK Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T
fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Risiko
Plak eritematosa
Infeksi
Timbul berbagai Hipertermi
manisfestasi Kerusakan Integritas Kulit
klinis
Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel
menurun
Nyeri sendi berkepanjangan
Nyeri Akut
Penurunan berat
badan Ketidakseimbangn
Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita
SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Menurut ARA (1992), pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar
hemoglobin, trombosit, serta leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE
kemungkinan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Menurut ARA (1992), pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL
menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria
7. Penatalaksanaan Medis
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau
penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click (
ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif
dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi
depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
2. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
5. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.
INTERVENSI
DO:
- Gangguan pada bagian tubuh
- Kerusakan lapisa kulit (dermis)
- Gangguan permukaan kulit
(epidermis)
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004.“LupusEritematosus” Hal 246 - 249 Edisi
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit
FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC
Oehadian, Amaylia. 2008. Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik. Fakultas