Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik yang
terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik merupakan
penyakit radang multisystem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yangmungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya
berbagai macam antibody dalam tubuh (Tjokronegoro & Utama, 1996)
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.(Lamont, David E, DO ;2006 )
Semula Lupus digambarkan sebagi suatu gangguan kulit pada sekitar tahun 1800-an , dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala. Lupus adalah kata lain
dalam Bahasa latin yang berarti serigala. Lupus discoid adalah nama sekarang yang diberikan
pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit ((Price & Wilson,
2005)
2. Klasifikasi

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,


systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya
serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktifan
komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

3. Etiologi
Penyebab SLE tidak diketahui walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan
kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Kecenderungan terjadinya SLE dapat berhubungan
dengan perubahan gen MCH spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Resiko
meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Wanita lebih cenderung mengalami SLE dibandingkan dengan pria, karena
peran hormon seks. SLE dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau
menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan
penyakit. Penyakit ini dapat bersifat ringan hingga menyebabkan kematian.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010):
a. Faktor Genetik
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu:
1) Antigen
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
3) Kelainan antiodi
c. Faktor Hormonal .
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid. (Musai, 2010)

4. Manifestasi Klinis
a. Polialtralgia ( nyeri sendi) dan arthitis (peradangan sendi)
b. Demam akibat peradangna kronik
c. Ruam wajah dalam polamalar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung.
d. Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
e. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g. Lesi berskuama di kepala , leher dan punggung
h. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
i. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulangm dan perdarahan sering terjadi karen aserangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit

Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Diagnosis
SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear positif Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
(ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

5. Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang
akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa
sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang
terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi
DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein danatau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri
khasautoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integralsemua
jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Denganantigennya yang
spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupagangguan klirens kompleks imun besar yang
larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat
terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan
timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepertiginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya..
PREDISPOSISI GENETIK  Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T

Sel T mengalami Sel T autoreaktif


perubahan struktur
dan fungsi
Induksi dan ekspansi sel B

Pengalihan informasi tak terkendali Induksi dan ekspansi sel B

Reseptor salah menerim permintaan sel T


Induksi dan ekspansi sel B

Induksi dan ekspansi sel B

ANA Beredar dalam sirkulasi

Beredar dalam sirkulasi

Menyerang nucleus (DNA & RNA)

fiksasi komplemen pada organ Komplek imun mengendap

fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen  substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Risiko
Plak eritematosa
Infeksi
Timbul berbagai Hipertermi
manisfestasi Kerusakan Integritas Kulit
klinis
Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel
menurun
Nyeri sendi berkepanjangan
Nyeri Akut
Penurunan berat
badan Ketidakseimbangn
Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita
SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Menurut ARA (1992), pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar
hemoglobin, trombosit, serta leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE
kemungkinan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Menurut ARA (1992), pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL
menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria
7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan SLE adalah sebagai berikut :


a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan
sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dan
gangguan pada SSP.(Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau
penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click (
ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif
dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi
depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
2. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
5. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.
INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kerusakan integritas kulitberhubungan NOC : NIC : Pressure Management


dengan : Tissue Integrity : Skin and Mucous  Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
Eksternal : Membranes longgar
- Hipertermia atau hipotermia Wound Healing : primer dan sekunder  Hindari kerutan pada tempat tidur
- Substansi kimia Setelah dilakukan tindakan  Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
- Kelembaban keperawatan selama….. kerusakan  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
- Faktor mekanik (misalnya : alat yang integritas kulit pasien teratasi dengan sekali
dapat menimbulkan luka, tekanan, kriteria hasil:  Monitor kulit akan adanya kemerahan
restraint)  Integritas kulit yang baik bisa  Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang
- Immobilitas fisik dipertahankan (sensasi, tertekan
- Radiasi elastisitas, temperatur, hidrasi,  Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Usia yang ekstrim pigmentasi)  Monitor status nutrisi pasien
- Kelembaban kulit  Tidak ada luka/lesi pada kulit  Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
- Obat-obatan  Perfusi jaringan baik  Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
Internal :  Menunjukkan pemahaman  Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
- Perubahan status metabolik dalam proses perbaikan kulit karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
- Tonjolan tulang dan mencegah terjadinya tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus
- Defisit imunologi sedera berulang  Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
- Berhubungan dengan dengan  Mampu melindungi kulit dan  Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
perkembangan mempertahankan kelembaban  Cegah kontaminasi feses dan urin
- Perubahan sensasi kulit dan perawatan alami  Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
- Perubahan status nutrisi (obesitas,  Menunjukkan terjadinya proses  Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
kekurusan) penyembuhan luka
- Perubahan status cairan
- Perubahan pigmentasi
- Perubahan sirkulasi
- Perubahan turgor (elastisitas kulit)

DO:
- Gangguan pada bagian tubuh
- Kerusakan lapisa kulit (dermis)
- Gangguan permukaan kulit
(epidermis)
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :


Agen injuri (biologi, kimia, fisik,  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
psikologis), kerusakan jaringan  pain control, lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
 comfort level presipitasi
DS: Setelah dilakukan tinfakan  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Laporan secara verbal keperawatan selama …. Pasien tidak  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
DO: mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: dukungan
- Posisi untuk menahan nyeri  Mampu mengontrol nyeri (tahu  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
- Tingkah laku berhati-hati penyebab nyeri, mampu suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak menggunakan tehnik  Kurangi faktor presipitasi nyeri
capek, sulit atau gerakan kacau, nonfarmakologi untuk mengurangi  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
menyeringai) nyeri, mencari bantuan)  Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
- Terfokus pada diri sendiri  Melaporkan bahwa nyeri berkurang relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
- Fokus menyempit (penurunan dengan menggunakan manajemen  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
persepsi waktu, kerusakan proses nyeri  Tingkatkan istirahat
berpikir, penurunan interaksi dengan  Mampu mengenali nyeri (skala,  Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
orang dan lingkungan) intensitas, frekuensi dan tanda berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan- nyeri) ketidaknyamanan dari prosedur
jalan, menemui orang lain dan/atau  Menyatakan rasa nyaman setelah  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
aktivitas, aktivitas berulang-ulang) nyeri berkurang analgesik pertama kali
- Respon autonom (seperti diaphoresis,  Tanda vital dalam rentang normal
perubahan tekanan darah, perubahan  Tidak mengalami gangguan tidur
nafas, nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam rentang dari
lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan
minum

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan body image berhubungan NOC: NIC :


dengan:  Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi  Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
(nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis Setelah dilakukan tindakan terhadap tubuhnya
situasional, trauma/injury, pengobatan keperawatan selama …. gangguan - Monitor frekuensi mengkritik dirinya
(pembedahan, kemoterapi, radiasi) body image - Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan
DS: pasien teratasi dengan kriteria dan prognosis penyakit
- Depersonalisasi bagian tubuh hasil: - Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Perasaan negatif tentang tubuh  Body image positif - Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat
- Secara verbal menyatakan perubahan  Mampu mengidentifikasi bantu
gaya hidup kekuatan personal - Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok
DO :  Mendiskripsikan secara kecil
- Perubahan aktual struktur dan fungsi faktual perubahan fungsi
tubuh tubuh
- Kehilangan bagian tubuh  Mempertahankan interaksi
- Bagian tubuh tidak berfungsi sosial
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Risiko infeksi NOC : NIC :


 Immune Status  Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko :  Knowledge : Infection control
- Prosedur Infasif  Risk control
 Batasi pengunjung bila perlu
- Kerusakan jaringan dan peningkatan Setelah dilakukan tindakan  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
paparan lingkungan keperawatan selama…… pasien tidak keperawatan
- Malnutrisi mengalami infeksi dengan kriteria  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
- Peningkatan paparan lingkungan hasil:  Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
patogen  Klien bebas dari tanda dan gejala petunjuk umum
- Imonusupresi infeksi
- Tidak adekuat pertahanan sekunder  Menunjukkan kemampuan untuk
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
(penurunan Hb, Leukopenia, mencegah timbulnya infeksi
penekanan respon inflamasi)  Jumlah leukosit dalam batas  Tingkatkan intake nutrisi
- Penyakit kronik normal  Berikan terapi antibiotik:.................................
- Imunosupresi  Menunjukkan perilaku hidup  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
- Malnutrisi sehat  Pertahankan teknik isolasi k/p
- Pertahan primer tidak adekuat  Status imun, gastrointestinal,  Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
(kerusakan kulit, trauma jaringan, genitourinaria dalam batas kemerahan, panas, drainase
gangguan peristaltik) normal  Monitor adanya luka
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


Berhubungan dengan :  Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
 Tirah Baring atau imobilisasi  Toleransi aktivitas aktivitas
 Kelemahan menyeluruh  Konservasi eneergi  Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
 Ketidakseimbangan antara suplei Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
oksigen dengan kebutuhan selama …. Pasien bertoleransi terhadap  Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
Gaya hidup yang dipertahankan. aktivitas dengan Kriteria Hasil : secara berlebihan
 Berpartisipasi dalam aktivitas fisik  Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
DS: tanpa disertai peningkatan tekanan (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat,
 Melaporkan secara verbal adanya darah, nadi dan RR perubahan hemodinamik)
kelelahan atau kelemahan.  Mampu melakukan aktivitas sehari  Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
 Adanya dyspneu atau hari (ADLs) secara mandiri  Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
ketidaknyamanan saat beraktivitas.  Keseimbangan aktivitas dan dalam merencanakan progran terapi yang tepat.
DO : istirahat  Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
 Respon abnormal dari tekanan  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
darah atau nadi terhadap aktifitas dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
 Perubahan ECG : aritmia, iskemia  Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
luang
 Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
DAFTAR PUSTAKA

Corwin,Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC


Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing. Jakarta

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004.“LupusEritematosus” Hal 246 - 249 Edisi

ketiga,Cetakan Kelima, FK UI, Jakarta,

Sukmana, Nanang. 2011. Systemic Lupus Erytemathossus : Pathogenesis. Upload : www.New

England Of Medicine Journals (diakses 30 April 2013)

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit

FKUI

Mansjoer, Arif. 1999. kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC

Gleadle, Jonathan. 2007. Anamnesis dan pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga

Oehadian, Amaylia. 2008. Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik. Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC


Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnoses Definition and Classification 2012-2014. Oxford:
Wiley-Blackwell
Moorhead, Sue.et al. (2004). Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. Missouri : Mosby.
Elsevier
Dochterman, Joanne McCloskey.et al. (2008). Nursing Intervention Classification Fifth Edition. Missouri
: Mosby. Elsevier

Anda mungkin juga menyukai