Anda di halaman 1dari 9

Diagnosis dan Terapi Hipertensi: Guideline

AHA 2017
Hipertensi esensial merupakan penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah di Indonesia.
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, sebanyak 25,8 % penduduk Indonesia menderita
hipertensi dan sebagian besar (63,2 %) masih belum terdiagnosis oleh petugas kesehatan.

Jika tidak diterapi dengan baik, penderita hipertensi akan berisiko terkena berbagai macam
komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal. Puskesmas sebagai layanan
kesehatan primer memiliki peran penting dalam mendeteksi, mendiagnosis, serta melakukan
tatalaksana pada pasien dengan hipertensi.

Pemahaman mengenai diagnosis dan terapi hipertensi esensial sesuai dengan guideline terbaru
diperlukan oleh petugas kesehatan, terutama pada layanan kesehatan primer.
American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA) bekerjasama
dengan beberapa perhimpunan kardiologi telah merilis panduan terbaru hipertensi pada tahun
2017.

Berdasarkan panduan tersebut, tekanan darah pada dewasa diklasifikasikan sebagai berikut:
Tekanan darah didapatkan dari rata-rata ≥ 2 kali pengukuran pada ≥ 2 kesempatan yang berbeda.
Kesalahan yang sering terjadi pada praktiknya seperti posisi cuff yang tidak sejajar dengan
jantung, penurunan dari cuff yang terlalu cepat pada pengukuran dengan auskultasi, dan
mengandalkan hasil dari satu kali pengukuran saja dapat menimbulkan ketidak akuratan dalam
penentuan tekanan darah. Selain itu tensimeter yang digunakan harus dikalibrasi secara berkala.
Apabila pengukuran sistolik dan diastolik termasuk pada dua kategori, maka kategori yang lebih
tinggi yang digunakan.
Pencegahan hipertensi merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan intervensi non
farmakologis yaitu perubahan gaya hidup, seperti:

1. Menurunkan berat badan dengan mengurangi asupan kalori dan meningkatkan aktivitas
fisik. Penurunan 1 kg berat badan dapat menurunkan 1 mmHg tekanan darah pada pasien
dengan tekanan darah yang meningkat atau dengan hipertensi. Apabila terjadi obesitas
yang berat dan menimbulkan banyak komplikasi, pembedahan dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan.
2. Perencanaan makanan dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang
direkomendasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute. Diet ini tinggi akan
buah-buahan, sayuran, gandum utuh, dan produk olahan sapi yang rendah lemak sehingga
meningkatkan asupan potasium, magnesium, dan serat serta menurunkan kandungan
lemak jenuh dan lemak total. Diet ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebanyak
11 mmHg pada orang dengan hipertensi dan 3 mmHg pada normotensi. Diet lain seperti
diet rendah kalori dari karbohidrat, diet tinggi protein, diet vegetarian, dan pola diet
Mediterania juga menunjukkan efek penurunan pada tekanan darah.
3. Mengurangi konsumsi sodium sebanyak 25 % (kurang lebih 1000 mg per hari). Sodium
terbanyak digunakan sebagai bumbu masakan, dan pada makanan di restoran cepat saji.
Cara untuk mengurangi asupan sodium adalah dengan memilih makanan segar,
mencermati label kandungan sodium pada produk makanan, menggunakan bumbu
lainnya yang rendah sodium, berhati-hati dalam pemesanan makanan di restoran,
mengontrol jumlah dan porsi makanan, dan menghindari atau mengurangi penggunaan
garam meja.
4. Memperbanyak konsumsi potassium seperti yang terkandung dalam buah-buahan dan
sayuran, produk olahan sapi rendah lemak, beberapa jenis ikan, daging, kacang, dan
produk kacang kedelai. Target optimal konsumsi makanan tinggi potassium adalah 3500-
5000 mg per hari.
5. Meningkatkan aktivitas fisik dengan latihan aerobik, resistensi dinamis maupun latihan
statis isometrik. Latihan dapat dilakukan 90-150 menit dalam seminggu.
6. Mengurangi konsumsi alkohol.

Intervensi non farmakologis di atas dapat mencegah hipertensi dan juga dapat memenuhi target
tekanan darah pada hipertensi stage 1. Perubahan gaya hidup ini juga merupakan bagian penting
dari penatalaksanaan hipertensi stage 2.

Diagnosis dan Terapi Hipertensi Essensial


Dalam menangani hipertensi pada dewasa, seorang dokter harus fokus pada kesehatan pasien
secara menyeluruh, sehingga seluruh faktor risiko penyakit kardiovaskular harus diterapi secara
terintegrasi baik dengan modifikasi gaya hidup seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan
pengobatan farmakologis. Penyakit kardiovaskular yang dimaksud adalah penyakit jantung
koroner, gagal jantung kongestif, dan stroke.
Pada tekanan darah normal (<120/80 mmHg) promosi gaya hidup sehat perlu dioptimalkan.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kembali setelah satu tahun. Pada tekanan darah
meningkat (120-129/<80 mmHg) terapi nonfarmakologis diberikan terlebih dulu dan evaluasi
setelah 3-6 bulan. Pasien dengan hipertensi stage 1 (130-139/80-89 mmHg) dibedakan dengan
risiko penyakit kardiovaskularnya, termasuk pasien dengan diabetes mellitus dan gagal ginjal
kronis.

Apabila terdapat penyakit aterosklerosis atau estimasi risiko kardiovaskular 10 tahun ≥ 10%
maka diberikan terapi non-farmakologis dan obat-obatan untuk mengurangi tekanan darah.
Selanjutnya dilakukan evaluasi pada tekanan darah setelah 1 bulan, apabila telah mencapai target
(<130/80 mmHg) maka evaluasi dilakukan setelah 3-6 bulan.

Namun apabila target belum tercapai, lakukan optimalisasi dan intensifikasi pada terapi yang
dievaluasi 1 bulan setelahnya. Jika tidak terdapat penyakit aterosklerosis dan estimasi risiko
kardiovaskular 10 tahun < 10% maka terapi non-farmakologis diberikan dan di evaluasi 3-6
bulan.

Pada pasien hipertensi stage 2 (≥140/90 mmHg) diberikan terapi nonfarmakologis dan obat-
obatan, pertimbangkan penggunaan dua obat antihipertensi dengan kelas yang berbeda. Pasien
dengan hipertensi stage 2 dengan tekanan darah ≥160/100 mmHg harus di terapi dengan benar
dan dimonitor dengan hati-hati.
Pengobatan farmakologis inisial dapat menggunakan terapi lini pertama yaitu diuretik tiazid,
calcium channel blocker (CCB), penghambat ACE, atau angiotensin receptor blocker (ARB).
Kombinasi obat dengan mekanisme yang serupa harus dihindari misalnya dua jenis penyekat
beta yang berbeda, penghambat ACE, atau nondihydropyridine CCB.
Begitu juga dengan dua obat dengan target kerja yang sama seperti penghambat ACE dan ARB.
Pengecualian pada penggunaan diuretik thiazide, diuretik hemat kalium dan diuretik loop secara
konkomitan. CCB jenis dihydropiridine dan nondihydropiridine dapat dikombinasikan. Rujuk
pasien ke layanan kesehatan yang lebih tinggi apabila tekanan darah tetap tidak terkontrol setelah
evaluasi 6 bulan, dan dicurigai terdapat penyebab sekunder dari hipertensi. (alv)

Semoga Bermanfaat^^

Sponsored Content

Panduan American Heart Association (AHA) 2017 untuk hipertensi sudah keluar. Tebal banget
283 halaman. Kamu bisa download naskah aslinya disini

Buat kamu yang pengen tahu penjelasannya secara gampang dan mudah dimengerti, aku sudah
minta tolong dr Ragil. SpJP untuk bikinin video penjelasan (DVD) Guideline AHA 2017
(Hipertensi)

Panjang penjelasannya hampir 1 jam (57 menit)

isi videonya ya persis kayak algoritma dan diagram yang ada di teks aslinya, meliputi

1. Klasifikasi Hipertensi
2. Diagnosis dan Tatalaksana White Coat Hypertension
3. Skrining Hipertensi Sekunder
4. Terapi Non Farmakologis Hipertensi
5. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
6. Algoritma Tatalaksana Hipertensi
7. Terapi Farmakologi Hipertensi
8. Terapi Stable Ischemic Heart Disease
9. Terapi Hipertensi pada pasien CKD
10. Terapi Hipertensi ICH
11. Terapi Hipertensi Stroke Iskemik
12. Terapi Hipertensi Mencegah Serangan Stroke Berulang
13. Terapi Krisis Hipertensi

Anda mungkin juga menyukai