Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks atau organ
intra thoraks, baik karena trauma tumpul (blunt trauma) maupun oleh karena trauma
tajam (penetrating trauma).1 Trauma thoraks berada diurutan ketiga untuk trauma yang
paling sering terjadi dan dari keseluruhan angka kejadian trauma thoraks sekitar 90%
diantaranya merupakan trauma tumpul thoraks.2 Di Amerika Serikat dan Eropa Barat,
trauma thoraks merupakan penyebab kematian terbanyak keempat pada populasi berusia
kurang dari 45 tahun.3 Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering terjadinya
trauma thoraks terutama trauma tumpul thoraks.1 Trauma tumpul pada thoraks dapat
menyebabkan kontusio dan hematoma dinding thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest,
fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus
mayor, pneumothoraks dan hemothoraks.4
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kasabe dkk. di Department of General
Surgery, Dr V. M. Govt. Medical College and General Hospital, Solapur, Maharashtra,
India pada periode Mei 2013 – Juni 2015 didapati dari total 150 kasus trauma thoraks
sebanyak 142 (94,6%) kasus merupakan trauma tumpul thoraks dengan ratio
perbandingan laki-laki dan perempuan sebanyak 5:1 serta lebih sering terjadi pada
rentang usia 30-40 tahun yaitu sebanyak 42 (28%) kasus. Fraktur kosta merupakan
merupakan cedera yang paling sering terjadi sebagai akibat trauma tumpul pada thoraks
yaitu sebanyak 132 (88%) kasus dari total 150 kasus kemudian diikuti oleh
pneumothoraks sebanyak 93 (62%) kasus, hemothoraks dan hemopneumothoraks
masing-masing sebanyak 86 (57.33%) dan 70 (46.67%) kasus. Mekanisme trauma
tumpul thoraks paling banyak disebakan oleh kecelakaan lalu-lintas sebanyak 85
(59.86%) kasus.5 Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Liwe di Instalasi
rawat darurat bedah (IRDB) RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2011 –
Juni 2012 dimana kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbanyak terjadinya
trauma tumpul thoraks (85,33%).6
Dinding thoraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya dengan
tulang padat seperti tulang kosta, klavikula, sternum dan skapula. Fraktur kosta
mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Fraktur kosta yang
berdekatan seperti flail chest mengganggu sudut costovertebra normal dan otot
diafragma, menyebabkan gangguan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta yang

1
patah dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan hemothoraks atau pneumothoraks
dan kontusio paru.4
Penanganan untuk trauma tumpul thoraks meliputi pemberian oksigen yang
adekuat, manajemen dan penanganan nyeri, serta penanganan untuk pasien dengan
pneumothoraks dan hemothoraks adalah dengan pemasangan WSD (water sail
drainage).1 WSD dapat dipergunakan untuk keperluan diagnostik, terapeutik, dan
preventif. Fungsi diagnostik WSD adalah untuk menilai cairan yang terdapat di rongga
pleura secara kualitatif dan kuantitatif.Fungsi terapeutik WSD didapatkan melalui
evakuasi cairan dan udara dari rongga pleura yang menyebabkan tekanan intrapleura
yang tadinya positif (bersifat patologis) menjadi negatif kembali (bersifat mendekati
fisiologis). Sementara itu fungsi preventif dari WSD didapatkan setelah WSD
terpasang. Terpasangnya WSD dapat mencegah terjadinya pengumpulan udara atau
cairan yang berulang sehingga proses bernapas pasien tetap baik.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Torax
Thoraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah lebih
besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian
depan. Pada rongga thoraks terdapat paru-paru dan medisatinum. Mediastinum
adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di dalam rongga thoraks
terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah.
Secara anatomis rongga thoraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen
yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan leher dapat diraba insisura
jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus dorsi,
muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus seratus
anterior, dan muskulus interkostalis. Kerangka thoraks meruncing pada bagian atas
dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang
kosta yang berakhir dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta
yang melayang8
Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung,
pembuluh darah dan saluran limfe. Tulang kosta berfungsi melindungi organ vital
rongga thoraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien.8

3.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI RONGGA PLEURA

Pleura terdiri dari dua lapis jaringan tipis yaitu pleura viseral sebelah dalam,
dan pleura parietal sebelah luar. Rongga pleura adalah ruangan potensial berisi
sedikit cairan yang memfasilitasi pergerakan dari pleura viseral dan parietal. Cairan
pleura merupakan cairan yang terletak di rongga pleura yang di antara pleura pars
parietalis dan pleura pars viseralis. Cairan pleura berfungsi sebagai:

1. Sebagai pelumas yang memungkinkan pleura pars parietalis dan pleura pars
viseralis bergerak bergesekan ketika paru dan dada berubah bentuk saat
seseorang bernapas

2. Menjaga agar pleura pars parietalis dan pleura pars viseralis tetap berada dalam
jarak tertentu.9-10

3
Jumlah rata-rata cairan pleura manusia sehat adalah sekitar 0,26 ml/kgBB.
Dalam keadaan normal, cairan pleura mengandung 1000-2500 leukosit per µl yang
didominasi oleh makrofag/monosit dan limfosit dan 1-2 g/dl protein.11

A. B.

Gambar 1. A. Rongga pleura (antara pleura pars parietalis dan pleura pars viseralis) berisi
cairan pleura yang secara aktif diproduksi dan diabsorpsi oleh membran pleura. 10 B. Sel-sel
yang dapat ditemukan di dalam cairan pleura yang normal, seperti: makrofag dan limfosit.11

Secara fisiologis, cairan pleura mengalami proses produksi dan absorpsi.


Cairan pleura diproduksi oleh kedua membran pleura, pleura pars parietalis dan
pleura pars viseralis, dan kemudian diabsorpsi melalui pembuluh limfe di pleura pars
parietalis. Agar jumlah cairan pleura tetap dalam jumlah yang normal, diperlukan
adanya keseimbangan antara proses produksi dan absorpsi cairan pleura. Proses
absorpsi cairan pleura merupakan hal yang sangat penting karena akan
mempengaruhi tekanan intrapleura. Dalam keadaan normal, dengan adanya proses
absopsi tersebut akan dihasilkan tekanan intrapleura yang lebih rendah daripada
tekanan atmosfer. Tekanan negatif ini membantu dalam proses recoil paru.10

Cairan pleura berasal dari hasil filtrasi dan sirkulasi darah sistemik, yaitu
sirkulasi arteri interkostal di pleura pars parietalis dan sirkulasi arteri bronkialis di
pleura pars viseralis.11

4
A. B.

Gambar 2. A. Pleura pars parietalis. Pleura pars parietal dilapisi oleh sel mesotelial (M)
yang terletak berdekatan dengan rongga pleura (PS). Suplai darah melalui arteri
interkostal. Pleura pars parietalis memiliki pembuluh limfe (L) yang merupakan saluran
keluar cairan pleura dari rongga pleura. B. Pleura pars viseralis. Pluera pars viseralis
terletak antara rongga pleura (PS) dengan alveoli pada parenkim paru. Pluera pars
viseralis juga dilapisi oleh sel mesotelial (M). Suplai darah berasal dari arteri
bronkialis.11

Secara pasif, cairan yang berasal dari sirkulasi darah sistemik (sirkulasi arteri
interkostal dan sirkulasi arteri bronkialis) akan bergerak menuju ke rongga pleura
karena adanya perbedaan gradien tekanan. Tekanan sirkulasi darah sistemik
(sirkulasi arteri interkostal dan sirkulasi arteri bronkialis) lebih besar daripada rongga
pleura. Secara mekanis, jumlah cairan dari sirkulasi sistemik yang difiltrasi dari
sirkulasi arteri interkostal lebih banyak daripada sirkulasi arteri bronkialis. Hal ini
dijelaskan karena jarak sirkulasi arteri interkostal dengan rongga pleura lebih kecil
daripada jarak sirkulasi arteri bronkial dengan rongga pleura, selain itu tekanan
mikrovaskuler sirkulasi arteri interkostal lebih besar karena akan mengalirkan darah
kembali ke vena sistemik.11

5
Gambar 3. Skema proses masuk dan keluarnya cairan pleura dalam keadaan normal.11

Lapisan mesotelium yang terletak di kedua membran pleura merupakan


membran yang paling mudah dialui oleh cairan atau protein sehingga cairan dan
protein dari filtrasi sirkulasi darah sistemik dapat menembus mesotelium dengan
mudah ke dalam rongga pleura. Kedua hal tersebut, tekanan yang rendah dan
mudahnya mesotelium dilalui oleh protein dan cairan, menyebabkan rongga pleura
sangat rentan terhadap akumulasi cairan. Proses absorpsi cairan pleura berlangsung
melalui pembuluh limfa dan stomata (berdiameter 2-6 µm) yang terletak di pleura
pars parietalis. Proses keluarnya cairan pleura ini terjadi melalui mekanisme aliran
biasa bukan melalui proses difusi.11

Pada respirasi normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif. Ketika dinding
dada mengembang ke luar, tegangan permukaan antara pleura parietal dan visceral
mengembangkan paru. Jaringan paru bersifat elastis, sehingga cenderung kembali
mengecil. Jika ruang pleura dimasuki oleh gas, paru-paru kolaps sampai
kesetimbangan tekanan tercapai atau jalan masuk udara ditutup. Seiring

6
membesarnya pneumothoraks, paru menjadi lebih kecil. Konsekuensi fisiologis
utama dari proses ini adalah penurunan kapasitas vital dan tekanan parsial oksigen.

Pada thoraks normal, gaya berlawanan dari dinding dada dan recoil paru
menghasilkan tekanan negatif di dada, menahan alveoli sedikit terbuka. Mekanisme
pernapasan mengharuskan pleura tetap terisolasi dari lingkungan eksternal sehingga
tekanan negatif dapat dipertahankan. Jika dinding dada tertusuk atau permukaan
paru-paru robek, pneumothoraks terjadi dan pernapasan menjadi sulit.12

B. Trauma Tumpul Thoraks


1. Definisi
Trauma tumpul thoraks adalah trauma yang mengenai dinding thoraks
atau organ intra thoraks yang paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian dan tertimpa beban berat.1,13 Trauma tumpul pada
thoraks dapat menyebabkan kontusio dan hematoma dinding thoraks, fraktur
tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru,
trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks dan hematothoraks.4

2. Epidemiologi
Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.14 Trauma thoraks berada diurutan

7
ketiga untuk trauma yang paling sering terjadi dan dari keseluruhan angka
kejadian trauma thoraks sekitar 90% diantaranya merupakan trauma tumpul
thoraks.2 Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, trauma thoraks merupakan
penyebab kematian terbanyak keempat pada populasi berusia kurang dari 45
tahun.14 Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering terjadinya trauma
thoraks terutama trauma tumpul thoraks.1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kasabe dkk. di Department of
General Surgery, Dr V. M. Govt. Medical College and General Hospital,
Solapur, Maharashtra, India pada periode mei 2013 – Juni 2015 didapati dari
total 150 kasus trauma thoraks sebanyak 142 (94,6%) kasus merupakan trauma
tumpul thoraks dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan rasio perbandingan 5:1 serta lebih sering terjadi pada rentang usia 30-40
tahun yaitu sebanyak 42 (28%) kasus. Fraktur kosta merupakan merupakan
cedera yang paling sering terjadi sebagai akibat trauma tumpul pada thoraks
yaitu sebanyak 132 (88%) kasus dari total 150 kasus kemudian diikuti oleh
pneumothoraks sebanyak 93 (62%) kasus, hemothoraks dan
hemopneumothoraks masing sebanyak 86 (57.33%) dan 70 (46.67%) kasus.5

3. Etiologi
Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (59%), jatuh dari ketinggian (12%), tertimpah benda berat (21,83%).5
Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda,
yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang
memiliki pola trauma yang berbeda.1

4. Patofisiologi
Akibat kerusakan anatomi dinding thoraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma thoraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah.

8
a. Fraktur kosta
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 88% pada trauma tumpul thoraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding
dada.4 Dinding thoraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya
dengan tulang padat seperti tulang kosta, klavikula, sternum dan skapula. Pada
pernafasan normal dibutuhkan sebuah dinding thoraks yang normal. Fraktur
tulang kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Nyeri
dari patah tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang
menghasilkan atelectasis dan pneumonia. Patah tulang kosta yang berdekatan
seperti flail chest mengganggu sudut costovertebral normal dan otot diaphragma,
menyebabkan penurunan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta yang patah
dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan hemothoraks atau
pneumothoraks.15 Posisi dari patahan fraktur kosta membantu untuk
mengidentifikasi kemungkinan cedera pada organ dibawahnya. Fraktur pada
kosta pertama menggambarkan trauma serius pada spinal atau pembuluh
darah.Fraktur pada kosta pertama dapat menjadi prediksi terjadinya cedera
serius. Tulang kosta pertama dilindungi dengan baik oleh bahu, otot leher bagian
belakang dan clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang ini, memerlukan
energi lebih dibandingkan dengan patah pada tulang kosta lainnya. Angka
kematian sekitar 36% sudah dilaporkan pada fraktur tulang kosta pertama
berhubungan dengan cedera pada paru, aorta asenden, arteri subklavia dan
plexus brachialis. Tulang kosta biasanya mengalami patah pada bagian posterior
karena secara struktural bagian ini merupakan yang paling lemah. Tulang kosta
ke 4 sampai 9 lebih sering terjadi cedera. Mekanisme terjadinya cedera tulang
kosta pertama pada kecelakaan lalulintas terjadikarena kontraksi otot akibat
gerakan tiba-tiba dari kepala dan leher.15

9
Gambar 4. Fraktur Costae & Flail chest1

b. Fraktur sternum
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus
dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium
(dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan
dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal. 4

c. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumothoraks
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan
visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan
pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan
terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada trauma tumpul thoraks
terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba-tiba menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur
alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke
mediastinum menyebabkan pneumothoraks atau emfisema mediastinum. Selain
itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan
tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan
peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree
tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau
bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada pneumothoraks adalah
nyeri yang diikuti oleh dispneu.4 Pada trauma tumpul thoraks bisa terjadi tension
pneumothoraks dengan gejala klinis nyeri dada, respiratory distress, takikardi,
hipotensi, deviasi trakea ke sisi yang sehat, suara napas menghilang pada sisi

10
yang sakit, ada pengembangan hemithoraks tanpa ada gerakan pernapasan,
distensi vena di leher dan sianosis. Penanganan harus segera dilakukan yaitu
dengan prosedur Needle thoracosintesis.1

Gambar 5. Tension pneumothoraks1

d. Hemothoraks
Hemothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk
ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau
mediastinum akibat dari trauma baik trauma tumpul atau trauma thoraks, 37%
kasus berhubungan dengan pneumothoraks (hemopneumothoraks).4 Sumber
perdarahan umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri mamaria interna.
Perlu diingat bahwa rongga hemithoraks dapat menampung 3 liter cairan,
sehingga pasien hematothoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang
mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan
yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam
rongga thoraks.15

Gambar 6. Hemothoraks1

11
5. Diagnosis
Diagnosis untuk trauma tumpul thoraks bisa didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi.

a. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala dan keluhan yang sering muncul adalah1,4:
1) Sesak napas. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin
berat , penderita bernapas tersengal , pendek-pendek dengan mulut
terbuka. Biasanya sesak dirasakan setelah terjadinya trauma pada thoraks
baik trauma tumpul (blunt trauma) ataupun trauma tajam (penetrating
trauma).
2) Nyeri dada. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat,
tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3) Batuk-batuk.
4) Denyut jantung meningkat.
5) Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

b. Pemeriksaan Fisik1,4
Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan:
1) Inspeksi :
a) Terdapat retraksi interkosta pada pasien dengan flail chest.
b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal pada
pneumothoraks dan hemothoraks.
c) Trakea dan jantung terdorong ke arah yang sehat.
2) Palpasi
a) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit pada
pneumothoraks dan hemathoraks.
b) Iktus jantung terdorong ke sisi thoraks yang sehat.
c) Terdapat nyeri tekan.
d) Adanya krepitasi pada emfisema subkutis.
3) Perkusi1,4
a) Hipersonor pada pneumothoraks, redup pada hemothoraks
b) Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi.

12
4) Auskultasi 1,4
a) Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang.

c. Pemeriksaan Radiologi
1) Fraktur kosta dan Flail Chest16
- Fraktur pada 3 atau lebih kosta (fraktur lebih dari 2 pada kosta yang sama).
- Kemungkinan disertai trauma pada struktur di bawahnya seperti kontutio
paru.

Gambar 7. Fraktur kosta & Flail chest 17

2) Fraktur Sternum16
- Pada foto thoraks PA seringkali tidak dapat diidentifikasi .
- Lebih mungkin terlihat pada foto thoraks lateral atau bila perlu dilakukan
ct-scan.

3) Pneumothoraks16
- Tampak gambaran hiperlusen avaskuler berbatasan dengan jaringan paru
yang masih ada, vaskuler dipisahkan oleh pleura visceralis yang tampak
sebagai garis putih tipis paralel dengan dinding dada.
- Pnemothoraks sedikit bila jarak paru dan dinding dada < 2 cm dan
disebut luas bila > 2 cm.
- Bila pneumothoraks cukup luas atau telah terjadi tension pneumothoraks,
maka akan ditemukan gambaran berupa pendesakan mediastinum ke arah
kontralateral, pelebaran intercostal space, diafragma rendah dan
mendatar, kompresi dan konsolidasi paru ipsilateral.

13
- Pada posisi supine mungkin pneumothoraks bisa tidak terdeteksi.
- Pada pneumothoraks yang minimal gambaran udara bebas akan lebih
nyata bila dibuat foto dengan ekspirasi penuh sehingga volume paru
menjadi lebih kecil.

Gambar 8. Pneumothoraks dextra18

4) Hemothoraks16
- Pada foto thoraks tegak tampak sinus tumpul sesuai jumlah darah. Pada
posisi supine akan tampak peningkatam opasitas atau ground- glas
apperance pada hemithoraks yang terkena.

Gambar 9. Hemothoraks sinistra18

14
6. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen yang adekuat untuk mencegah hipoksia.1
b. Maanjemen nyeri dengan pemberian analgetik seperti NSAID.1
c. Pemasangan WSD (water seal drainage). Pada hemothoraks
penatalaksannaan tidak diperlukan jika perdarahan pada cavum pleura
diperkirakan < 300 ml tidak diperlukan karena biasanya darah akan
diserap kembali dalam beberapa minggu, jika pasien dalam keadaan
stabil dan tanpa distres pernapasan. Jika segera setelah pemasangan
WSD produksi darah >1500 mL atau >200 mL/jam selama 2 sampai 4
jam maka tindakan operasi eksplorasi harus segera dilakukan.1
1) Water Sail Drainage (WSD)
Water sealed drainage atau WSD adalah suatu sistem drainase yang
bersifat kedap air dan digunakan untuk mengalirkan cairan dan/atau udara dari
rongga pleura.19 Tujuan pemasangan WSD adalah untuk mengembalikan
tekanan intrapleura menjadi negatif.

WSD dapat dipergunakan untuk keperluan diagnostik, terapeutik, dan


preventif. Fungsi diagnostik WSD adalah untuk menilai cairan yang terdapat di
rongga pleura secara kualitatif dan kuantitatif.19 Pemasangan WSD dapat pula
digunakan untuk menilai keadaan fistula bronkopleura serta perdarahan pada
rongga dada. Fungsi terapeutik WSD didapatkan melalui evakuasi cairan dan
udara dari rongga pleura yang menyebabkan tekanan intrapleura yang tadinya
positif (bersifat patologis) menjadi negatif kembali (bersifat mendekati
fisiologis).19 Sementara itu fungsi preventif dari WSD didapatkan setelah WSD
terpasang. Terpasangnya WSD dapat mencegah terjadinya pengumpulan udara
atau cairan yang berulang sehingga proses bernapas pasien tetap baik. Apabila
dari pemasangan WSD didapatkan:19

1. Perdarahan lebih dari 500 cc dalam rentang waktu satu jam setelah
trauma

2. Perdarahan 3 – 5 cc/kgBB/jam dalam tiga jam berturut-turut atau lebih


dari 5 cc/kgBB/jam

3. Kebocoran udara pada fistula bronkopleura:

15
a. Besar (terdapat continuous bubble): pasien langsung menjalani
operasi

b. Sedang (terdapat bubble saat ekspirasi): pasien dioperasi apabila


dalam dua hari masih terdapat bubble

c. Kecil (terdapat bubble pada ekspirasi paksa atau batuk):


pertahankan WSD

4. Pus dengan konsistensi kental dalam jumlah banyak

5. Efusi pleura yang berlangsung lama

pasien harus mendapatkan tindakan lebih lanjut seperti pembedahan untuk


mencegah syok, menghentikan perdarahan, dan mencegah komplikasi seperti
empiema dan fibrosis pleura.19

Prinsip dari WSD adalah gravitasi, tekanan negatif, suction, dan water
sealed. Udara dan cairan bebas yang terdapat di rongga pleura akan mengalir
mengikuti arah gravitasi dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah. Pada WSD dapat pula digunakan suction yang akan membuat tekanan
di rongga pleura menjadi semakin negatif.19 Udara can cairan akan keluar
melalui selang dada yang tersambung dengan botol berisi air. Hal tersebutlah
yang mendasari prinsip water sealed pada WSD. Penggunaan air mencegah
masuknya udara dari lingkungan luar ke dalam rongga pleura.19

Terdapat beberapa tipe WSD yang dapat digunakan untuk mengatasi


efusi pleura yaitu WSD satu botol, dua botol, dan tiga botol.19 Pada WSD satu
botol hanya digunakan satu buah botol berisi cairan steril. Selang dada akan
dihubungkan ke dalam botol dan dibiarkan terendam bagian ujungnya sejauh
kurang lebih 2 cm. Akan tetapi kekurangan WSD satu botol adalah apabila
jumlah cairan di dalam botol tersebut bertambah maka tekanan yang diperlukan
untuk mengeluarkan cairan atau udara dari dalam rongga pleura juga harus
ditambah sehingga WSD satu botol dianggap kurang efisien.19 Pada WSD dua
botol digunakan dua buah botol; botol pertama berfungsi untuk menampung
cairan atau sebagai wadah drainase sementara botol kedua berfungsi sebagai
water sealed. Selain dua jenis tersebut dapat pula digunakan WSD tiga botol.
Pada WSD tiga botol, botol ketiga berfungsi sebagai pengatur tekanan negatif
yang dihubungkan dengan mesin penghisap.19
16
Indikasi dari pemasangan WSD adalah seluruh keadaan yang
menyebabkan tekanan intrapleura menjadi positif atau meningkat seperti
pneumothoraks, hematothoraks, efusi pleura, chylothorax, dan empiema
thoraks. Tidak terdapat kontraindikasi absolut terhadap pemasangan WSD.
Akan tetapi WSD tidak dianjurkan pada pasien dengan perlekatan seluruh
hemithoraks paru pada dinding dada dan pasien dengan giant bullae.
Kontraindikasi relatif pemasangan WSD adalah keadaan dengan risiko
perdarahan yang tinggi, misalnya pada pasien dengan kelainan pembekuan
darah dan pasien-pasien yang menjalani pengobatan dengan antikoagulan.

WSD dipasang di sela iga VII – VIII lateral dekstra di antara linea
aksilaris anterior dan linea aksilaris posterior atau sela iga VII – IX lateral
sinistra di antara linea aksilaris anterior dan linea aksilaris posterior.19 Setelah
dilakukan pemasangan WSD pada pasien harus dilakukan foto polos thoraks
untuk menilai kondisi paru dan organ intrathoraks lainnya setelah pemasangan
WSD serta menilai posisi selang dada.

Setelah WSD terpasang, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain
adalah:

1. Penilaian fungsi WSD; dilakukan dengan cara mengobservasi undulasi.

2. Penilaian fistula bronkopleura; dilakukan dengan cara mengobservasi


bubble.

3. Penilaian produksi WSD; dilakukan dengan cara menilai jumlah dan sifat
cairan yang keluar dari WSD serta melakukan pemeriksaan kultur,
resistensi, atau sitologi terhadap cairan pleura yang didapatkan.

WSD harus dicabut secepatnya dan biasanya dilakukan dalam 24 – 72


jam kecuali produksi cairan masih banyak dan fistula bronkopleura belum
menutup. WSD dicabut apabila keadaan intrapleura sudah mendekati kondisi
fisiologis, yaitu:

1. Paru sudah mengembang, dikonfirmasi melalui pemeriksaan klinis dan


radiologis.

17
2. Produksi cairan serosa (kualitatif) dengan jumlah maksimal kurang dari
100 cc/24 jam pada dewasa atau 25 – 50 cc/24 jam pada anak
(kuantitatif).

3. Tidak terdapat bubble.

4. Chest tube tidak tersumbat atau kinking (masih ada undulasi).

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan WSD antara lain adalah
infeksi, laserasi jaringan paru, laserasi organ intrathoraks lainnya atau organ
intraabdomen, perdarahan, reexpansion pulmonary edema, emfisema subkutis,
dan malposisi selang dada.

Teknik pemasangan1 :

a) Bila mungkin penderita dalam posisi duduk. Bila tidak mungkin


setengah duduk, bila tidak mungkin dapat juga penderita tiduran
dengan sedikit miring ke sisi yang sehat.
b) Ditentukan tempat untuk pemasangan WSD, biasanya pada
daerah daerah intercostal 5 garis midaxilaris anterior pada bagian
dada yang sakit
c) Ditentukan kira-kira tebal dinding thoraks.
d) Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir
slang WSD tebal dinding thoraks (misalnya dengan ikatan
benang).
e) Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan
cairan antiseptik.
f) Tutup dengan duk steril
g) Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dianestesi
setempat secara infiltrate dan "block".
h) Insisi kulit subkutis dan otot dada.
i) Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura.
j) Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul
k) Slang WSD diklem dengan arteri klem dan didorong masuk ke
rongga pleura (sedikit dengan tekanan).
l) Fiksasi slang WSD sesuai dengan tanda pada slang WSD

18
m) Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara.
n) Slang WSD disambung dengan botol SD steril.
o) Bila mungkin dengan continous suction dengan tekanan -24
sampai -32 cmH20.

7. Komplikasi
a. Kegagalan fungsi respirasi
Nyeri pada dinding thoraks karena patah tulang kosta meningkatkan
kerja dari pernafasan dan resiko terjadi kelemahan pada paru-paru.
Kegagalan respirasi dapat terjadi karena trauma pada dinding thoraks dan
lebih sering terjadi kontusio paru atau terjadinya pneumonia
nosokomial.15
b. Hipoksia
Terganggunya proses ventilasi dengan berbagai mekanisme.
Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan
penurunan compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti
hipoksi. Kegagalan pernafasan terjadi ketika pertukaran O2 dengan CO2
tidak adekuat sesuai kebutuhan metabolisme sehingga menyebabkan
hipoksemia15.
c. Pneumonia
Pada pasien dengan fraktur kosta menyebabkan terjadinya gangguan
ventilasi dan oksigenasi sehingga resiko untuk terjadinya pneumonia
semakin meningkat.1

8. Prognosis
Prognosis baik jika penanganan dilakukan secara cepat dan tepat setelah
timbulnya gejala. Jika penaganan terlambat sehingga sudah terjadi komplikasi
yang serius maka prognosis menjadi buruk. Untuk itu penganan yang capat dan
tepat sangat diperlukan pada kasus trauma tumpul thoraks.

19
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama : JS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68tahun
Tempat dan tanggal lahir : Lalow, 19 Juni 1949
Alamat : Dusun Lalow Kec. Lolak Bolaang Mongondow
Pekerjaan : Tukang
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
Pendidikan : Tamat SLTP
MRS : 05 Januari 2018

2. Keluhan Utama : Sesak napas


3. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Primary survey
Airway : Clear
Breathing : 24 kali/menit, simetris
Circulation : 104 kali/menit, reguler, isi cukup, akral hangat
Disability : Alert
Exposure :-
b. Secondary survey
Sesak napas dialami penderita sejak ± 3 minggu SMRS. Berlangsung terus
menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang hari ,
baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak tidak disertai bunyi mengi. Sesak
tidak berkurang dengan penggunaan 3 bantal saat tidur.
Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk sejak ± 1 bulan yang lalu. Batuk tidak dis

Awalnya penderita sedang mengganti ban mobil dipinggir jalan, tiba-tiba datang
sebuah mobil dengan kecepatan rata-rata kendaraan di jalan raya menabrak penderita
sehingga penderita terlempar dan dada kanan penderita terbentur aspal. Pasien

20
kemudian dibawa ke RSUD Dr. M. M Dunda Limboto dan dirujuk ke RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado. Riwayat pingsan (-), muntah (-), alkohol (-)

Allergy :-
Medication : tramadol, meropenem, omeprazole
Past illness : -
Last meal : ± 8 jam SMRS
Enviroment : di pinggir jalan
4. Riwayat Penyakit Dahulu : -
5. Riwayat penyakit Keluarga : -

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : GCS E4V5M6
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 110 kali/menit
Respirasi : 30 kali/menit
Suhu : 37,1o C
4. Kepala :
Conjungtiva : anemis (-)/(-)
Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kiri = kanan, RC +/+
5. Leher : dalam batas normal
6. Thoraks
Inspeksi : Gerakan pernapasan kanan < kiri
Palpasi : stem Fremitus kanan < kiri, krepitasi (-)
Perkusi : kanan: hipersonor, kiri : sonor
Auskultasi : suara pernapasan kanan menurun, kiri vesikular
suara napas tambahan: ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan di ICS IV linea parasternalis
Dekstra

21
batas jantung kiri di ICS V linea mid clavikula sinistra
Auskultasi : S1 S2 regular (-)

7. Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, hepar/lien tidak teraba
Perkusi : timpani

8. Ekstremitas superior et inferior : dalam batas normal

C. Diagnosis Kerja:
- Trauma tumpul thoraks
- Susp. simple pneumothoraks dextra

D. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hematologi

Hasil
Pemeriksaan Nilai normal
13/8/17 15/8/17 22/8/17 27/8/17
Leukosit 4000-10000/Ul 15.100/uL 17.200/uL 4500/uL 7200/uL
(4,00-6,00)x106/
Eritrosit 3,79x106/uL 4,34x106/uL 4,12x106/uL 4,16x106/uL
uL
Hemoglobin 12,0-16,0 g/dL 11,8 g/dL 13,6 g/dL 12,9 g/dL 12,9 g/dL
Hematokrit 37,0-48,0% 34,5% 38,7% 36,7% 36,6%
150000-
Trombosit 379.000/uL 417.000/uL 547.000/uL 341.000/uL
450000/uL
MCH 27-35 pg 31,1 pg 31,3 pg 31,3 pg 31,0 pg
MCHC 30-40 g/dL 34,2 g/dL 35,1 g/dL 35,1 g/dL 35,2 g/dL
MCV 80-100 Fl 91,0 fL 89,2 fL 89,1 fL 88,0 fL

2. Kimia Klinik

Hasil
Pemeriksaan Nilai normal
13/8/17 22/8/17 27/8/2017
Ureum Darah 10-40 mg/dL 41 mg/dL 21 mg/dL 20 mg/dL

22
Creatinin Darah 0,5-1,5 mg/dL 0,7 mg/dL 0,7 mg/dL 0,6 mg/dL
SGOT <33U/L 30 16 23
SGPT <43 U/L 52 30 37
Albumin 3,50-5,70 2,46 2,50
Gula Darah Sewaktu 70-125 mg/dL 161 mg/dL 106 mg/dL 71 mg/dL
Chlorida Darah 98,0-109,0 mEq/L 103,3 mEq/L 94,1 mEq/L 99,0 mEq/L
Kalium Darah 3,50-5,30 mEq/L 3,90 mEq/L 4,61 mEq/L 5,00 mEq/L
Natrium Darah 135-153 mEq/L 134 mEq/L 132 mEq/L 124 mEq/L

D. Pemeriksaan Radiologis
X-Foto thoraks AP tegak (11-08-2017)

E. Pemeriksaan EKG : kesan EKG dalam batas normal


F. Diagnosis
- Pneumothoraks dextra

G. Penanganan
- IVFD NaCl 0,9%
- O2 10L/m NRM
- Ceftriaxone 2x1 gr iv
- Rantidine 2x1 gr iv

23
- Ketorolac 2x1 gr iv
- Pasang WSD (water seal drainage)

H. Laporan Pembedahan
1. Pemasangan WSD (11-8-2017)
- Pasien tidur setengah duduk di meja operasi.
- A dan antisepsis lapangan operasi.
- Lapangan operasi diperkecil dengan duk sterile.
- Dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan lidocaine 2% secara
subkutis.
- Dilakukan insisi di atas costae VI pada anterior dari linea midaxillaris
dextra
- Rongga pleura dibuka dengan menggunakan klem bengkok.
- Dimasukkan slang WSD dengan botol WSD keluar bubble (+), undulasi
(+), darah (-).
- Difiksasi dengan ikat air tube
- Operasi selesai

I. Follow Up
12 Agustus 2017
S : sesak menurun, nyeri (-)
O : Inspeksi : GN kiri > kanan
Palpasi : SF kiri > kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : hipersonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-)
A : pneumothoraks dextra

P :
- IVFD NaCl 0,9% 18 gtt/menit
- O2 10L/m sungkup
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv

24
- Ranitidin inj 2x1 gr iv

13 Agustus 2017
S : sesak menurun, nyeri (-)
O : Inspeksi : GN kiri > kanan
Palpasi : SF kiri > kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : hipersonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-),
A : pneumothoraks dextra

P :
- IVFD NaCl 0,9% 18 gtt/menit
- O2 10L/m sungkup
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv
- Nebulizer : ventolin 1 amp, pulmicort 1cc, NaCl 1% 1 cc
- As. Tranexamat inj 3x1 iv
- Vit k 3x1 iv
- Vit C 3x1 iv

14 Agustus 2017
S : sesak menurun
O : Inspeksi : Hemithoraks dextra terpasang WSD
Palpasi : SF kiri > kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : hipersonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-)
A : pneumothoraks dextra

P :
- IVFD NaCl 0,9% 18 gtt/menit

25
- O2 10L/m sungkup
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv
- Nebulizer : ventolin 1 amp, pulmicort 1cc, NaCl 1% 1 cc

15 Agustus 2017
S : sesak menurun, nyeri (-)
O : Inspeksi : GN kiri > kanan
Palpasi : SF kiri > kanan, krepitasi (+)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : hipersonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-)
A : pneumothoraks dextra

P :
- IVFD NaCl 0,9% 18 gtt/menit
- O2 10L/m sungkup
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv
- Nebulizer : ventolin 1 amp, pulmicort 1cc, NaCl 1% 1 cc
- As. Tranexamat inj 3x1 iv
- Vit k 3x1 iv
- Vit C 3x1 iv
Pemeriksaan Radiologis : X-Foto Thoraks AP Tegak

26
16 Agustus 2017
S : sesak (-), nyeri (-)
O : Inspeksi : GN kiri > kanan
Palpasi : SF kiri > kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : hipersonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-)
A : Pneumothoraks dextra on wsd
Trauma tumpul thoraks
Fraktur costae 2,3,4,7 lateral sternum

P :
- IVFD NaCl 0,9% 18 gtt/menit
- O2 10L/m sungkup
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv
- Nebulizer : ventolin 1 amp, pulmicort 1cc, NaCl 1 cc

17 Agustus 2017
S : sesak (-)
O : Inspeksi : GN kiri = kanan
Palpasi : SF kiri=kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : sonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-)
A : Pneumothoraks dextra on wsd
Trauma tumpul thoraks

P :
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
27
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv

18 Agustus 2017
S : sesak (-)
O : Inspeksi : GN kiri =kanan
Palpasi : SF kiri=kanan, krepitasi (-)
Perkusi : kiri : sonor, kanan : sonor
Auskultasi : SN vesikuler kiri,kanan
WSD : undulasi (+), bubble (-), produksi (-)
A : pneumothoraks dextra
Trauma tumpul thoraks

P :
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
- Ceftriaxon inj 2x1 gr iv
- Ketorolac inj 3x1 gr iv
- Ranitidin inj 2x1 gr iv

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi. Pada anamnesis pasien datang
dengan keluhan sesak napas disertai nyeri dada akibat kecelakaan lalu-lintas. Nyeri dada
merupakan gejala klinis yang paling umum pada trauma thoraks. Penelitian yang
dilakukan oleh Mansella dkk. di University Hospital Basel, Petersgraben2, 4031 Basel,
Switzerland menyebutkan sebanyak 75% pasien dengan trauma thoraks datang dengan
keluhan nyeri dada diikuti dengan sesak napas pada 50% pasien.20 Beberapa
kepustakaan menyebutkan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama terjadinya
trauma tumpul thoraks.1,2,4 Hubungan terjadinya trauma tumpul thoraks dengan usia
mungkin berhubungan dengan penggunaan kendaraan bermotor yang lebih cenderung
pada usia muda sehingga resiko terjadinya kecelakaan lalu-lintas lebih tinggi pada usia
yang lebih muda. Pada kasus pasien berusia 48 tahun dimana hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh oleh Kasabe dkk. di Dr V. M. Govt. Medical College and
General Hospital, Solapur, Maharashtra, India pada periode Mei 2013 – Juni 2015
menunjukkan insidens trauma tumpul thoraks lebih sering pada rentang usia 30-40
tahun sebanyak 28% .5
Pada pemeriksaan fisik didapati kesadaran compos mentis, pemeriksaan thoraks
pada inspeksi didapatkan gerakan pernapasan kanan < kiri. Pada palpasi didapatkan
stem fremitus kanan < kiri, krepitasi (-). Perkusi didapatkan pada hemithoraks dextra
hipersonor dan pada hemithoraks sinistra sonor. Pada auskultasi didapatkan suara
pernapasan vesikuler kiri kanan < kiri. Pada inspeksi gerakan pernapasan kanan < kiri
yang mengindikasikan adanya masalah pada hemithoraks dextra yang bisa
mengindikasikan adanya multipel fraktur kosta, pneumothoraks dan hemothoraks.1 Pada
palpasi didapatkan stem fremitus menurun pada hemithoraks dextra yang dapat
mengindikasikan adanya pneumothoraks dan hemothoraks, pada palpasi tidak didapati
adanya krepitasi yang dapat mengindikasikan adanya emfisema subkutis.1 Pada perkusi
didapati hipersonor pada hemithoraks dextra yang dapat mengindiksikan adanya
pneumothoraks.1 Pada auskultasi didapati suara pernapasan kanan<kiri yang dapat
mengindikasikan adanya pneumothoraks dan hemothoraks.1
Penatalaksanaan pada trauma tumpul thoraks pada kasus meliputi pemberian
oksigen 10L/m nrm, pemberian IVFD NaCl 0,9%, untuk penanganan nyeri diberikan

29
ketorolac, dan diberikan antibiotik ceftriaxon serta dilakukan pemasangan WSD. Hal ini
sesuai dengan guideline dari ATLS (Advanced trauma life support) penanganan untuk
trauma tumpul thoraks yaitu pemberian O2 yang adekuat, manajemen dan penganan
nyeri serta pemasangan WSD (Water sail drainage).1 Pemberian O2 yang adekuat
untuk mencegah hipoksia sedangkan pemasangan WSD bertujuan untuk untuk
keperluan diagnostik, terapeutik, dan preventif. Fungsi diagnostik WSD adalah untuk
menilai cairan yang terdapat di rongga pleura secara kualitatif dan kuantitatif. Fungsi
terapeutik WSD didapatkan melalui evakuasi cairan dan udara dari rongga pleura yang
menyebabkan tekanan intrapleura yang tadinya positif (bersifat patologis) menjadi
negatif kembali (bersifat mendekati fisiologis).19 Sementara itu fungsi preventif dari
WSD didapatkan setelah WSD terpasang. Terpasangnya WSD dapat mencegah
terjadinya pengumpulan udara atau cairan yang berulang sehingga proses bernapas
pasien tetap baik.19

30
BAB IV
PENUTUP

Pada kasus diatas diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi. Pada anamnesis pasien
datang dengan keluhan sesak napas disertai nyeri dada akibat kecelakaan lalu lintas ± 6
jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapati kesadaran compos mentis, pemeriksaan
thoraks pada inspeksi didapatkan gerakan pernapasan kanan < kiri. Pada palpasi
didapatkan stem Fremitus kanan < kiri, krepitasi (-). Perkusi didapatkan pada
hemithoraks dextra hipersonor dan pada hemithoraks sinistra sonor. Pada auskultasi
didapatkan suara pernapasan vesikuler kiri kanan < kiri. Pasien didiagnosis dengan
trauma tumpul thoraks, pneumothoraks dextra. Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu
pemberian IVFD NaCl 0,9%, O2 10L/m nrm, ceftriaxone iv, rantidine iv, ketorolac iv
dan dilakukan pemasangan chest tube pada hemithoraks kanan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Advanced trauma life support support student course manual ninth edition.
American college of surgeons 2012 :95-105.

2. Elbaih A, Elshaboury I, Kalil N, El-Aouty H. Evaluation of thoracic trauma


severity score in predicting the outcome of isolated blunt chest trauma patients.
International Journal of Surgery and Medicine 2016;2(3): 100-106.

3. Emergency radiology of the chest and cardiovascular system 1st ed. European
society of emergency radiology 2017:26.

4. Milisavljevic S. Spasic M. Arsenijevic M. Thoracic trauma. intech open science


2012:

5. Kasabe PS, Jaykar R, Patil PL. Clinical profile of chest injury a prospective
observational study. International Surgery Journal 2016;3(3):1372-1378.

6. Liwe, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola Trauma Tumpul Thoraks di Instalasi


Rawat Darurat Bedah RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2011 –
Juni 2012. Jurnal e-CliniC (eCl)2, Nomor 2, Juli 2014.

7. Wuryantoro, Nugroho A, Saunar R. Manual pemasangan wsd. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2011.

8. Assi AN. Rib fracture different radiographic projections. Police journal of


radiology 2012.

9. Seeley R. Respiratory system. in: Seeley R, Stephens T, Tate P, ed. Anatomy


and physiology. 6th ed. Philadelphia: McGrawHill; 2003.p.826.

10. Marieb EN. The Respiratory system. in: Marieb EN, Hoehn K, ed. Human
anatomy & physiology. 7th ed. Philadelphia:Benjamin Cummings; 2005.p.1252.

11. Broaddus VC. Physiology: fluid and solute exchange in normal physiological
states. in:Light RW, Lee GYC, ed. 2nd ed. London: Hodder Arnold; 2008.p.43-
6.

12. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and nadel’s textbook of
respiratory medicine, 4th ed. Elsevier; 2005.

32
13. Gilbert S, Singh D, Satheesan R, Venkatesan GS, SinghM. Blunt thoracic
trauma treatment outcomes- A small center experience. Indian Journal of
Immunology and Respiratory Medicine 2016;1(3):67-69.

14. Veysi VT, Nikolaou VS, Paliobeis C, Estathopoulus N, Giannoudis PV.


Prevalence of chest trauma, associated injuries and mortality: a level I trauma
centre experience. Int Orthop 2009;33(5):1425-1433.

15. Melendez SL. Rib fracture 2017. Available from


www.emedicine.medscape.com/article/825981-overview#a1.com (diakses tgl
:26 september 2017).

16. Bactiar Murtala. Radiologi trauma & emergensi. IPB Press 2013: 20-25.

17. Lugo VW, Gastelum AS, Armas AH, Garnica FG, Gómez MG. Chest Trauma:
An Overview. Journal of Anesthesia & Critical Care: Open Access 2015;3(1):1-
11.

18. Pradip R. Patel. Lecture notes: Radiology Second edition. Eirlangga 2017.

19. Wuryantoro, Nugroho A, Saunar R. Manual pemasangan wsd. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2011.

20. Mansella G, Bingisser R, Nickel C. Pneumomediastinum in Blunt Chest


Trauma: A Case Report and Review of the Literature. Hindawi Publishing
Corporation 2014:1-6.

33

Anda mungkin juga menyukai