Kumpulan Materi Referensi Keperawatan Anak, Jiwa, Medikal Bedah, Maternitas, Komuniitas
A. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi
visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau
kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular,
dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit
ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan
proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah
terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi
(umum) dan abses abdomen (local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung
dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis,
perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker,
dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna
bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma
endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya
peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder
(akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya minus dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi
(misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko minus dari 10% terjadinya
peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin
tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok
perioperatif, dan transfuse yang pasif.
B. Etiologi
Peritonitis dapat dikarenakan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya
misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif
dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
Tukak thypoid
Salpingitis
Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus
aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang
asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju
dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites,
semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang
rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah
bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan
gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis
Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan
infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi dikarenakan oleh perforasi
atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal
terutama dikarenakan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis
tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis
sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya
timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB,
peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu,
barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya
penyakit Crohn).
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-
kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika
defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
dikarenakan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,
dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi
disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis
atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga
abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
D. Manifestasi klinik
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa
menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap
gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri
waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan
nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin
jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat
yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena
iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri
akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia
dan penderita geriatric.
E. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat
dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
Syok hipovolemik.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem.
2. Komplikasi lanjut.
Adhesi.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Test laboratorium
a. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100
ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau
secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
c. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH
=7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
d. X. Ray
3. Gambaran Radiologis
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah
horizontal proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi
anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen
beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35×43 cm. Sebelum terjadi
peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos
abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran
yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus,
gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat
diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika
panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara
bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step
ladder appearance.
G. Penatalaksanaan
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika
meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis
(panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan
kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang
tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita wajib mempersiapkan pasien untuk
tindakan bedah a.l :
5. Pemberian antibiotic.
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak
ada distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya,
bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.
Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah wajib dipantau untuk menilai keadekuatan
resusitasi.
a. Terapi antibiotika wajib diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Wajib tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi
yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen
dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi. Tehnik operasi yang diberdayakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada
lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang
terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan memanfaatkan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka
dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan
irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan
ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan
bersamaan.
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas
keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan
kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang
diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga
melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah
kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi:
memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa
contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi
anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam
mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan memanfaatkan prinsip-prinsip dasar kesejajaran
tubuh.
c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan
evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang
aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji
efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti
dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan
memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi
diuraikan.
H. pathway
3. Perubahan nutrisi minus dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen
dan menghindari nyeri.
J. Intervensi keperawatan
Kriteria hasil :
Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi
Rasional
Mandiri:
Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan karakteristiknya (dangkal,
tajam, konstan)
2. Pertahankan posisi semi Fowler sesuai indikasi
3. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, napas dalam, latihan relaksasi atau
visualisasi.
4. Berikan perawatan mulut dengan sering. Hilangkan rangsangan lingkunagan yang tidak
menyenangkan
Perubahan pada lokasi/intensitas tidak umum tetapi dapat menunjukkan terjadinya komplikasi.
Nyeri cenderung menjadi konstan, lebih hebat, dan menyebar ke atas, nyeri dapat lokal bila terjadi
abses.
Memudahkan drainase cairan/luka karena gravutasi dan membantu meminimalkan nyeri karena
gerakan.
Kolaborasi:
Analgesik, narkotik
Menurunkan laju metabolik dan iritasi usus karena toksin sirkulasi/lokal, yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
Catatan: Nyeri biasanya berat dan memerlukan pengontrol nyeri narkotik, analgesik dihindari dari
proses diagnosis karena dapat menutupi gejala.
Kriteria hasil:
a. Meningkatnya penyembuhan pada waktunya, bebas drainase purulen atau eritema, tidak
demam.
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Catat faktor risiko individu contoh trauma abdomen, apendisitis akut, dialisa peritoneal.
Kaji tanda vital dengan sering, catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi, penurunan
tekanan nadi, takikardia, demam, takipnea.
6. Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan drein abdomen, luka insisi/terbuka, dan sisi
invasif. Bersihkan dengan Betadine atau larutan lain yang tepat kemudia bilas dengan PZ.
8. Pertahankan teknik steril bila pasien dipasang kateter, dan berikan perawatan kateter/ atau
kebersihan perineal rutin.
Awasi/batasi pengunjung dan staf sesuai kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi bila
diindikasikan.
Mempengaruhi pilihan intervensi
2. Tanda adanya syok septik, endotoksin sirkulasi menyebabkan vasodilatasi, kehilangan cairan
dari sirkulasi, dan rendahnya status curah jantung.
Hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septikemia. Selanjutnya manifestasi termasuk
dingin, kulit pucat lembab dan sianosis sebagai tanda syok.
Oliguria terjadi sebagai akibat penurunan perfusi ginjal, toksin dalam sirkulasi mempengaruhi
antibiotik.
9. Menurunkan resiko terpajan pada/menambah infeksi sekunder pada pasien yang mengalami
tekanan imun.
Kolaborasi:
Dilakukan untuk membuang cairan dan untuk mengidentifikasi organisme infeksi sehingga tetapi
antibiotik yang tepat dapat diberikan.
Terapi ditujukan pada bakteri anaerob dan basil aerob gram negatif.Lavase dapat diberdayakan
untuk membuang jaringan nekrotik dan mengobati inflamasi yang terlokalisasi/menyebar dengan
buruk.
Pengobatan pilihan (kuratif) pada peritonitis akut atau lokal, contoh untuk drainase abses lokal,
membuang eksudat peritoneal, membuang rupturapendiks/kandung empedu, mengatasi perforasi
ulkus, atau reseksi usus.
3. Perubahan nutrisi minus dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status
nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Awasi haluan selang NG, dan catat adanya muntah atau diare.
6. Kaji abdomen dengan sering untuk kembali ke bunyi yang lembut, penampilan bising usus
normal, dam kelancaran flatus.
Jumlah besar dari aspirasi gaster dan muntah atau diare diduga terjadi obstruksi usus,
memerlukan evaluasi lanjut.
Kehilangan atau peningkatan dini menunjukkan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga
ada defisit nutrisi.
Meskipun bising usus sering tak ada, inflamasi atau iritasi usus dapat menyertai
hiperaktivitas usus, penurunan absorpsi air dan diare.
Kolaborasi:
Kolaborasi pemasangan NGT jika klien tidak dapat makan dan minum peroral.
Berikan informasi tentang zat-zat makanan yang sangat penting bagi keseimbangan metabolisme
tubuh
Kriteria hasil:
Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi (termasuk perubahan postural), takikardia, takipnea,
demam. Ukur CVP bila ada.
Pertahankan intake dan output yang adekuat lalu hubungkan dengan berat badan harian.
Ubah posisi dengan sering berikan perawatan kulit dengan sering, dan pertahankan tempat tidur
kering dan bebas lipatan.
Membantu dalam evaluasi derajat defisit cairan/keefektifan penggantian terapi cairan dan
respons terhadap pengobatan.
Hipovolemia, perpindahan cairan, dan kekurangan nutrisi mempeburuk turgor kulit, menambah
edema jarinagan.
Kolaborasi:
Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
4. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen
dan menghindari nyeri.
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2normal.
Kriteria Hasil:
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi
Rasional
Mandiri:
Pantau hasil analisa gas darah dan indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi, hiperventilasi,
gelisah, depresi SSP, dan sianosis.
Gangguan pada paru (suara nafas tambahan) lebih mudah dideteksi dengan auskultasi.
Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan, ventilasi
maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
Kriteria hasil:
Intervensi:
Tindakan/Intervensi
Rasional
3. Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan bahwa klien dan
perawat mempunyai pemahaman yang sama.
5. Catat komentar perilaku yang menunjukkan menerima dan/atau mengurangi strategi efektif
menerima situasi
Libatkan klien/orang terdekat dalam perencanaan perawatan. Berikan waktu untuk menyiapkan
pengobatan.
Pasien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi baru yang meliputi perubahan
ada gambaran diri dan pola hidup.
Bila penyangkalan ekstem atau ansietas mempengaruhi kemajuan penyembuhan, menghadapi itu
klien perlu dijelaskan dan membuka cara penyelesaiannya.
Takut/ansietas menurun klien mulai menerima secara positif kenyataan dan memiliki kemauan
untuk ‘hidup lagi’.
Dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol/kemandirian pada klien yang merasa
tak berdaya dalam menerima diagnosa dan pengobatan
Klien sulit berfikir dengan baik bila berada dalam kondisi yang
K. Daftar pustaka
1. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35844-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Peritonitis.html diakses pada tanggal 27 Desember 2013
3. Wim de.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. Revisi.EGC.Jakarta Price, Anderson Sylvia. (1997)
Patofisiologi. Ed. I. Jakarta : EGC.
4. Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta
Daftar pencarian:
Tagged Anderson Sylvia, BUN, Catatan Nyeri, EGC, Gambaran Radiologis, Hb Ht, Jakarta Price, Jakarta
Sjamsuhidajat, Jumlah Hb, Monitor Hb, NGT, PH, Portal Pyemia, PZ, SBP, SSP, Tindakan Intervensi,
Tujuan Mengurangi, Tujuan Nyeri, Vistaril Antipiretik
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
fourteen + 11 =
Artikel Terakhir:
Laporan Pendahuluan Tentang Penyakit Dispepsia
Kumpulan Lp Dispepsia
Makalah Lp Dispepsia
photo banner300x250-biru.gif
Archives
Archives
Kunjungan:
Pencarian Terakhir:
askep harga diri rendah pdf 2016, contoh manajemen askep pada ronde keperawatan, contoh soal
dan jawaban ukom diare pada anak, patway dan patofiaiologi anemia, kesimpulan perawat
menolong pasien dipidana, sap diare pdf, kunci jawaban ujian ukon 2016, laporan pendahuluan mual
muntah, askep ttg parkinson, makalah sectio caesarea, laporan pendahuluan sectio caesarea pdf,
contoh soal ukom dhf, lp tb pdf, laporan pendahuluan anc pdf, kelainan dan penyakit pada sistem
pernasan yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan upaya mengatasinya, askep hhs, lp
hydrocele, laporan pendahuluan antenatal care, makalah suppositoria pdf, contoh laporan MMD,
kasus salah diagnosa keperawatan melanggar hukum, askep diare kronik, asuhan keperawatan
kanker ovarium menurut ahli 10 tahun kebelakang dari tahun 2016, lp dyspnea lengkap, LP batu
uretra, contoh gambar stroke hemoragik dan nonhemoragik pdf, Makala Kelalaian permasalahan
atau solusi dari permasalahan (etika keperawatan), pigmen endogen, 3 manfaat memandikan pasien
di atas tempat tidur, makanan yg cocok untuk orng batuk dan tengorokan gatal2, lp intervensi nic
noc ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan anggota gerak kaku, lp intervensi
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan anggota gerak kaku, asuhan
keperawatan tentang kehilangan dan berduka, laporan pendahuluan askep hospitalisasi pada anak
pdf, LP vertigo, lp hydrocel, contoh soal kasus keperawatan maternitas, pathway campak, discard
planning pasien gangguan menstruasi, patofisiologi gangguan aktivitas pada post operasi kanker
payudara, askep teoritis ANC, laporan pendahuluan tetraplegia, askep untuk pilek dan amandel, lp
kistektomi, contoh kasus syok kardiogenik, asuhan keperawatan kehilangan dan berduka singkat,
Patofisiologi dan pathway kolelitiasis, proposal managemen ronde com, woc limfodenopati, laporan
pendahuluan hydrocel