Di susun oleh:
Fifi Nur Febriyanti
11.321.012
M. Firdaus Y
11.321.023
Rizky N.F.I
11.321.031
Samsuri
11.321.033
Sigit Rio Virnando
11.321.036
Yulita L.
11.321.041
Kelompok 2
Kelas VI-A
S1 Keperawatan
SEKOLAH TINNGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tanpa adanya rintangan yang berarti.
Makalah ini disusun dengan tujuan:
1. untuk melengkapi tugas mata kuliah S. Reprooduksi II;
2. agar para pembaca pada umunya dapat mengetahui lebih lanjut tentang Respiratory
Distress Syndrome
Sesuai dengan tujuan tersebut maka penulis akan menyusun dengan sebaik-baiknya
meskipun masih banyak kekurangannya. Dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih
yang sebanyak-banyak kepada:
1. Dosen pembimbing akademik STIKES ICME JOMBANG;
2. Dosen penanggungjawab mata kuliah S. Reprodusi II, Muarrofah, S. Kep., Ns. M. Kes.;
3. Dosen pengarjar mata kuliah S. Reproduksi II, Anita Rahmawati, S. Kep., Ns
4. Semua pihak yang ikut serta berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Atas rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, penulis berharap Semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca. Serta saran dan kritik penulis harapkan, karena penulis menyadari bahwa
makalah ini banyak kekurangannya dan masih belum sempurna.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
2.2. Definisi
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-
tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau
memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik
sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah
melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas
berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi
oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata
pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya
hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress
syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama
akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD)
sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan
dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
(Dot Stables, 2005).
RDS adalah sindrom pada bayi prematur yang disebabkan oleh insufisiensi
perkembangan produksi surfaktan dan ketidak matangan struktural dalam paru-paru. Sindrom
ini lebih sering pada bayi dari ibu diabetes dan kedua lahir kembar prematur.
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview#showall
2.3. Stadium
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih
opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.
0 1 2
Frekuensi nafas < 60x/menit 60-80 x/menit 80 x/menit
Retraksi Tidak ditemukan Ringan Berat
Sianosis Tidak ditemukan Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 meski dg O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Penurunan berat
Merintih Tidak ditemukan Terdengar dengan Terdengar tanpa alat
stetoskop bantu
Kriteria:
Skor < 4 Gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 5 gangguan pernafasan sedang
Skor > 6 gangguan pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
2.4. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Berikut adalah faktor penyebab RDS yaitu:
Prematur
Asfiksia perinatal
Penyebab defisiensi surfaktan
Maternal diabetes
Seksual sesaria
Gangguan traktus respiratorius :
Transient tachypnoe of the newborn (TTN). Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada
bayi Caesar karena dadanya tidak mengalami kompresi oleh jalan lahir sehingga
menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.
Infeksi (pneumonia)
Sindroma aspirasi (tersedak air ketuban)
Pembesaran kelenjar thymus saat bayi telah lahir
Hipoplasia paru
Hipertensi pulmonal
Kelainan paru congenital (choanal atresia, hernia diagfragma)
Pleural effusion
Kelumpuhan saraf frenikus
Luar traktus respiratoris:
Kelainan jantung congenital, kelainan metabolic, darah dan SSP.
Kelaianan pembuluh darah
2.6. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi
untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian
distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan
pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses
penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat
dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).
WOC
2.7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto rontgen
Menunjukan adanya atelektasis
b. Analisa gas darah
analisis gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg
c. Imatur lecithin/ sphingomyelin (L/S)
lesitin/spingomielin rasio 2:1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur
d. pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah (untuk mengetahui hipoglikemia).
e. Kalsium serum (untuk mementukan hipokalsemia)
f. Tes Kematangan Paru
Tes yang saat ini dipercaya untuk menilai kematangan paru janin yang biasanya dilakukan pada
bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress
Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai:
Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru,
dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini
pertama kali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang
sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio
Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC).
Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan bpelarut organik, ditentukan dengan
chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau
kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin
dengan menentukan fosfor organic dari lesithin dan sfingomyelin. Sfingomyelin merupakan
suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan
amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat
gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu.
Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa
Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa penulis telah
melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan
untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan
klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan
lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik
yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya
mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini.
Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin
atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya
mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu
Tes Biofisika:
1) Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972.
Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga
agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol
akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1
ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion :
ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai
nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal
RDS.
2) TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip teknologi
polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur
mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio
surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan
surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring
polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah.
Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis
rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan maturasi
paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital,
dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl; dan matur bila lebih
atau sama dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat
menggangu interpretasi hasil test.
2.10. Koplikasi
Pneumothorax
Pneumodiastinum Akhibat Ruptur Alveoli
Pulmonary intertistitial dysplasia
Broncho pulmonary dysplasia (BPD)
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan
masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi
Patent ductus arterious (PDA)
PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan
RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya
Hipotensi
Asidosis
Menurunnya pengeluaran urine
Hiponatremi
Hipernatremi
Hipokalemi
Hiperkalemi
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Kejang
Intraventricular hemorraghe
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik
Retinopathy pada premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi
Infeksi sekunder
Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan
jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti
pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
2.11. Konsep Askep
A. Pengkajian
a. Biodata Klien
Berisi identitas, nama, alamat, nama ibu, tanggal MRS dan nomor registrtasi
b. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama
Berupa keluhan klien ( dari penuturan ibu) saat klien dibawa kw rumah sakit
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian terhadap status kesehatan ibu yang behubungan dengan faktor pencetus
terjadinya RDS pada bayi
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian terhadap riwayat kesehatan dan kehamilan ibu yang dirasa mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin, seperti konsumsi obat, suplemen lain dan
alkoholisme
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian status kesehatan pada silsilah anggota keluarga yang memiliki riwayat sama
dengan klien
e) Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
Personal sosial (kepribadian / tingkah laku sosial) : berhubungan dengan reflek
menangis, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan
dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi cepat, misalnya memegang
jari ibu, memegang suatu benda, dan merentangkan tangan.
Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh
Kognitif dan Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
x x
x x
Dengan ketentuan nilai pada x:
5 = normal/kekuatan penuh
4 =mampu mengangkat benda namun tidak mampu melawan tahan yang
diberikan pemeriksa
3 = mampu mengangkat berlawanan gaya gravitasi
2 = hanya mampu bergerak
1 = hanya telihat kedutan- kedutan otot
0 = paralisis
e. Dampak Hospitalisasi
Karena berada dalam perawatan di rumah sakit, maka akan timbul efek hospitalisasi
pada klient antara lain:
Perubahan peran keluarga b.d terganngunya fungsi anggota keluarga lain seperti ayah
dan ibu klien sebagai tulang belakang dan IRT.
Ansietas (orang tua) berhubungan dengan perubahan status kesehatan bayi
B. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sindrome hipoventilasi
3) Resiko injuri berhubungan dengan hipoksia jaringan.
4) Ketidakefektifan performa peran berhubungan dengan kurang model peran (hospitalisasi)
5) Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss).
C. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
http://adoen-berbagiilme.blogspot.com/2012/04/rds-respiratiry-distress-
syndrome.html?m=1
http://urangcijati.blogspot.com/2009/06/respirasi-distress-syndrome.html?m=1
http://bernarsimatipang.wordpress.com/2012/27/askep-respiratori-distress-sindrom/
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview#showall