Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap pembuatan undang- undang didapatkan ciri-ciri kekuasaan hukum dalam masyarakat kapitalis, yaitu wataknya yang palsu, dimana keinginan atau kenyataan yang ada dalam masyarakat dirumuskan berdasarkan keinginan-keinginan pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas hukum formal dan dengan cara seperti itu kekuasaan hukum dinyatakan berlaku. Tetapi apabila kepentingan-kepentingan kelas terbentur asas-asas hukum yang telah ditegakkan, maka dibuatlah pengecualian-pengecualian dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum tersebut yang dibuat dalam bentuk yang (seolah-olah) formal juga, yang menurut Marx disebut sebagai ketidakjujuran kelas yang berkuasa terhadap hukum. Gambaran Marx seperti itu ternyata terjadi pula di Indonesia terutama di masa Orde Baru, hukum yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan sangat mudah diputarbalikkan oleh penguasa (pemerintah) demi mengamankan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka yang membuat peraturan, mereka pula yang paling pertama melakukan pelanggaran atau membuat pengecualian-pengecualian. Secara teknis legal formal, pengaturan-pengaturan yang dibuat oleh penguasa kadang-kadang terlihat sangat valid dalam materinya, namun acapkali substansi materi peraturan tersebut ternyata hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan penguasa atau pihak yang berada dibelakangnya.
2. Emile Durkeim (Solidaritas dan Tipe Hukum)
Emile Durkeim dari PErancis adalah salah seorang tokoh penting yang mengembangakan sosiologi dengan ajaran-ajaranyang klasik. Dalam teorinya tentang masyarakat, Duekeim menaruh perhatian besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan segaa jenis-jenis solidaritas yang dijumpai dalam masyarakat (E. Durkeim 1964:68 dan seterusnya). Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan- anggap serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, maka kaidah-kaidah hukum dapat diklasifikasikan menurut jenis-jenis sanksi yang menjadi bagian utama dari kaidah hukum tersebut. Di dalam masyarakat dapat ditemukan 2 macam kaidah hukum, yaitu represif dan restitutif. Didalam masyarakat dapat dijumpai kaidah-kaidah dapat dijumpai kaidah-kaidah hukum yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggar kaidah-kaidah hukum yang bersangkutan. Sanksi-sanksi kaidah hukum tersebut menyangkutnhari depan dan kehormatan seorang warga masyarakat atau bahkan merampas kemerdekaan atau kenikmatan hidupnya. Kaidah-kaidah hukum tersebut merupakan kaidah-kaidah hukum yang represif yang merupakan hukum pidana. Selain kaidah-kaidah hukum dengan sanksi-sanksi yang mendatangkan penderitaan, akan dijumpai pula kaidahkaidah hukum yang sifat sanksi-sanksi hukumnya berbedah dengan kaidah-kaidah hukum yang represif. Tujuan utama dari sanksi-sanksi kaidah hukum yang kedua ini tidak perlu mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya. Tujuan utama kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula (pemulihan keadaan), sebelum terjadi goncangan akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum. Kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum yang restitutif. Kaidah-kaidah hukum itu antara lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum administrasi dan hukum tata negara setelasi dan hukum tata negara setelasi dan hukum tata negara setelah dikurangi dengan unsure-undur pidananya. Hubungan antara solidaritas dengan hukum yang bersifat represif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Yang dimaksud dengan kejahatan disini adalah tindakan yang secara umum tidak disukai atau ditentang oleh warga masyarakat. Untuk menjelaskan hal ini Durkeim menerangkan bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan bergandayaitu untuk menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dan untuk merumuskan sanksi-sanksinya. Dalam hukum perdata dan jenis hukum yang bersifat restitutif, pembentukan Undang-Undang merumuskan kedua tujuan tadi secara terpisah. Pertama-tama dirumuskan kewajiban-kewajiban, kemudian baru ditentukan bagaimana bentuk sanksinya. Disebut sebagai contoh Kitab Undang-Undang HUkum Perdata Perancis yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri, tetapi tidak dirumuskan sanksi-sanksinya apabila terjadi sesuatu pelanggaran. Sanksinya harus dicari ditempat lain, bahkan mungkin sama sekali sanksinya tidak ada. Sebaliknya Hukum Pidana hanya tercantum sanksi-sanksinya, tanpa ada perumusan mengenai kewajiban-kewajibannya. Didalam Hukum Pidana ditentukan secara tegas, inilah hukumannya sedangkan dalam Hukum Perdata diperhatikan itulah kewajiban- kewajibanmu. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sepanjang perihal hukum pidana kewajiban-kewajiban yang tidak dirumuskan telah diketahui oleh warga masyarakat dan diterima serta ditaati. Apabila suatu hukum kebiasaan berubah menjadi hukum tertulis yang dikodifikasikan, maka hal itu disebabkan karenakebutuhan-kebutan proses peradilan menghendaki ketentuan-ketentuan yang lebih tegas. Apabila hukum kebiasaan tadi berfungsi terus secara diam-diam maka tidak ada alasan untuk mengubahnya. Oleh karena itu hukum pidana dikodifikasikan henya untuk menentukan suatu skala hukuman, maka sanksinya hanya dapat diambil dari skala tersebut. Sebaliknya apabila hukum tidah memerlukan keputusan pengadilan, maka hal itu disebabkan karena peraturan tersebut diakui kekuatan dan kewenangannya. Menurut Durkeim dapat dibedakan dua macam solidaritas positif yang dapat ditandai oleh cirri-ciri sebagai berikut: a. Pada solidaritas pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. Didalah hal solidaritas yang keduaseorang warga masyarakat tergantung dari masyarakat, karena dia bergantung pada bagian- bagian masyarakat yang bersangkutan. b. Dalam hal solidaritas kedua tersebut, masyarakat tidah dilihat dari aspek yang sama. Dalam hal yang pertama, masyarakat merupakan kesatuan kolektif dimana trdapat kepercayaan dan perasaan yang sama. Sebaliknya dalam hal yang kedua masyarakat merupan suatu sistm yang terditi dari bermacm- macam fungsi yang merupakan hubungan-hubungan tetap, sebetulnya kedia merupakan suatu gabungan akan tetapi dilihat dari sudut-sudut yang berbeda. c. Dari kedua perbedaan tersebut timbullah perbedaan lain yang dapat dipakai untuk menentukan karakteristik dan nama dari dua macam solidaritas diatas. Solidaritas yang pertama dapat terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama dan masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat dan lebih intensif daripad cita-cita masing-masing warganya secara individu. Solodaritas ini oleh Durkeim dinamakan mechanical solidarity (solidaritas mekanis) yang dapat dijumpai dalam masyarakat-masyarakat secara relative, sedehana dan homogeny. Hal ini disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh hubungan antarmanusia yang erat, serta adanya tujuan bersama. Solidaritas yang kedua dinemakan oleh Durkeim sebagai organic solidarity (solidaritas organis) yang terdapan pada masyarakat yang lebih modern dan lebih kompleks yaitu masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks. Pada masyarakat dimana mechanical solidarity berkembang, hukumnya bersifat pidana dan represif. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagain tindakan yang mencemari keyakinan bersama. Dalam hal ini maka seluruh masyarakat akanbertindak bersama-sama, karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok dari masyarakat. Reaksi dari penympanga tersebut memperkuat rasa solidaritas dan sangat menutnjang ikatan kelompok. Dengan demikian maka penyimpanan terhadap kaidah- kaidah yang berlaku. Disatu pihak mengancam ketenangan masyarakat, tetapi dilain pihak juga secara tidak langsung memperkuat ikatan kelompok tadi. Dengan meningkatnya diferensi dalam masyarakat, reaksi kolektiva yang utuh dan kuat terhadap penyelewengan-penyelewengan menjadi berkurang didalam sistem yang bersangkutan, karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecendrungan untuk berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Artinya, yang terpokok adalah mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semula, hal mana merupakan hal yang pokok didalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan (pemulihan keadaan). Teori Durkeim sebagaimana dijelaskan secara singkat berusaha untuk menghubungkkan hukum dengan strukrus social. Hukum digunakan sebagai satu ala diagnose untuk menemukan syarat-syarat structural bagi perkembangan solodaritas perkembangan masyarakat. Hukum dilihatnya sebagai dependent variable, yaitu suatu unsure yang tergantung pada stuktur social masyarkat, akan tetaoi hukum juga dilihat sebagai suatu alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (V. Auben 1969:11). 3. Max Weber (Rasionalisasi hukum) Ajaran Max Weber tentang Sosiologi hukum sangat luas, secara menyeluruh telah ditelaah hukum-hukum Romawi, Jerman, perancis, Anglo Saxon, Yahudi, Islam, Hindu, dan bahkan hukum adat Polinesia. Akan tetapi, sebagaimana dengan sorotannya terhadap bidang kemasyarakatan lain. Weber mempunyai tujuan mengemukakan tahapan-tahapan rasionalisasi peradapan barat beserta factor-faktor yang mempengaruhinya. Sejalan dengan tujuan tersebut Weber mempelajari pengaruh politik, agama dan ekonomi terhadap perkembangan hukum serta pengaruh dari para teoretikus hukum, praktikus hukum maupun apa yang dinamakannya para honoratioren. Para honoratioren adalah orang mempunya cirri-ciri sebagai berikut: a. Oleh karena kedudukan ekonominya, orang-orang yang bersangkutan secara langsung berhasil menduduki posisi-posisi kepemimpinan tanpa ganti rugi atau hanya dengan ganti rugi secara nominal. b. Mereka yang menempati kedudukan social terpandang yang sedemikian rupa sehingga hal tersebut akhirnya menjadi suatu tradisi (M. Rheinstein 1967:52). Didalam menelaah objeknya, Max Weber menggunakan metode logical formalism (formalisme logis) yang katanya, metode yang dikembangkan oleh peradaban Barat dan tidak dapat dikemukakan dalam peradapan-peradapan lain (M. Rheinstein 1967:XI). Suatu alat periksa menentukan adanya hukum. Alat pemeriksa tersebut tidak perlu berbentuk badan peradilan sebagaimana dikenal didalam masyarakat yang modern dan kompleks. Alat tersebut dapat berwujud suatu keluarga atau mungkin suatu clan. Konvensi, sebagaimana dijelaskan juga meliputi kewajiban-kewajiban tanpa suatu alat pemaksa. Konvensi-konvensi tersebut hatus dibedakan dari kebiasaan (usage) dan adat istiadat (custom). Suatu kebiasaan merupakan kemungkunan-kemungkinan adanya unifomitas didalam orientasi suatu aksi social, sedangkan adat istiadat, terjadi apabila suatu perbuatan telah menjadi kebiasaan. Dengan kata lain, kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan, sedangkan adat istiadat adalah perbuatan yang diulang-ulang didalam bentuk yang sama. Baik kebiasaan maupun adat istiadat tidak bersifat memaksa dan orang tidak wajib untuk mengikutinya. Selanjutnya Max Weber berusaha mengemukakan beberapa perbedaan dalam hukum yang msing-masing mempunyai kelemahan. Pertama-tama disebutkan perbedaan hukum public dan hukum perdata. Perbedaan ini kurang bermanfaat karenadapat mencakup beberapa kemungkinan. Suatu perbedaan lainnya adalah antara hukum positif dengan hukum alam. Apabila seseorang berpegang pada defenisi sosiologi sebagai suatu ilmu yang menelaah fakta social, maka perhatiannya hanya terpusat pada hukum positif. Namun demikian seseorang sosilog tidak mungkin melepaskan diri dari kenyataan bahwa hukum alam dapat memberikan petunjuk pada latar belakang tingkah laku manusia. Dua perbedaan lain lebih menarik karena berhubungan erat dengan dasar structural sosilogi hukum Max Weber. Pertama-tama adalah perbedaan antara hukum objektif dan hukum subjektif. Dengan hukum objektif sebagai keseluruhan kaidah-kaidah yang dapat ditetapkan secara umum terhadap semua warga masyarakat, sepanjang mereka tunduk pada suatu sistem hukum umum. Hukum subjektif mencakup kemungkinan-kemungkinan bagi seorang warga masyarakat untuk meminta bantuan kepada alat-alat pemaksa agar kepentingan-kepentingan material dan spiritualnya dapat dilindungi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut berwujud hak-hak dan Max Weber sangat tertarik oleh hak-hak perseorangan tersebut karena pertama-tama, dia berusaha untuk menggambarkan terjadi proses rasionalisasi hukum modern dan kedua untuk membuktikan kekhususan dan peradapan Barat. Hak-hak subjektif tersebut merupakan aspek yang fundamental dari peradapan barat karena penyanya yang menentukan dalam transaksi-transaksi perseorangan yang memegang saham dalam perkembangan kapitalisme modern. Hal-hak tersebut disatu pihak mencakup hak-hak atas kebebasan dalam arti aturan-aturan yang menjadi keamanan individu terhadap intervensi pihak lain termasuk negara. Dilain pihak, hak tadi juga mencakup aturan-aturan yang mengatur kebebasan berhubungan dengan pihak lain dengan membuat kontrak-kontrak hukum. Perbedaan antara hukum formal dan hukum material kelihatannya lebih penting, karena secara langsung merupakan syarat-syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Dengan hukum formal sebagai keseluruhan sistem teori hukum yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika hukum, tanpa mempertimbangkan lain-lain unsure diluar hukum. Sebaliknya hukum material memperhatikan unsur-unsur nonyuridis seperti nilai-nilai politis, etis, ekonomis atau agama. Dengan demikian, maka ada dua cara untuk mendapatkan keadilan; pertama, dengan berpegang teguh pada peraturan hukum dengan dasar yang benar adalah menyesuaikan diri dengan logika sistem hukum yang bersangkutan. Kedua, dengan cara memperhatikan keadaan, maksud para pihak dan syarat umum lainnya. Maka, seorang hakim dapat mengambil keputusan atas dasar aturan-aturan hukum belaka atau setelah dia mendapat keyakinan dalam dirinya tentang apa yang sebaiknya diputuskan. Atas dasar penjelasan diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa rasionalnya hukum dapat bersifat formal dan material yang berarti hukum tidak mungkin sempurna karena suatu pertentangan hukum bersumber dari pertentangan kedua jenis hukum yang tidak terpecahkan. Kepastian dan keadilan dapat berfungsi sebagai kriteria tindakan hukum dan keduanya dapat besifat sewenang-wenang, irasional maupun rasional. hukum. Sebaliknya, suatu keadilan formal yang murni sama sekali tidak memakai pertimbangan diluar hukum. Selanjutnya didalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yang masing-masing sebagai berikut: a. Hukum irasional dan material, yaitu dimana pembentuk Undang-Undang dan hakim mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah. b. Hukum irasional dan formal, yaitu dimana penbentuk Undang-Undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akal oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan. c. Hukum rasional dan material, dimana keputusan-keputusan para pembentuk Undang-Undang dan hakim merujuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan- kebijaksanaan penguasa atau ideology d. Hukum irasionl dan formal, yaitu dimana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep dasar dari ilmu hukum. Intinya bagi Max Weber, hukum rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern. Kondisi-kondisi social yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut adalah sistem kapitalisme dan profesi hukum. Sebaliknya, intoduksi unsure-unsur yang rasional dalam hukum juga membantu sistem kapitalisme. Proses tersebut tidak mungkin terjadi dalam masyarakat yang didasaran pada kepemimpina kharmatik atau dasar ikatan darah karena proses pengambilan keputusan dalam masyarakat tadi mudahdipengaruhi unsure-unsur irasional. 4. Roscoe Pound (Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Sosial, dll) Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat dipandang sebagai suatu lembaga masyarkat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan social dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan- kebutuhan social dapat terpenuhi secara maksimal. Selanjutnya, Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in the book). Dia juga mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian social (social control), bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia berusaha untuk menyusus suatu kerangkadari nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum didalam menghadapi pertentangan kepentingan- kepentingan. 5. Hans Kelsen Kelsen yang dikenal dengan teoti murni tentang hukum menganggap bahwa sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan tadi dinamakan sebagai kaidah dasar atau Grundnorm. Jadi, menurut kelsen setiap sistem hukum merupakan Stufenbau daripada kaidah-kaidah. Dipuncak Stufenbau tersebut terdapat Grundnorm yang merupakan kaidah dasar daripada ketertiban tata hukum nasional. Kaidah dasar trsebut tidak dapat merupakan suatu kaidah hukum positif sebagai hasil keputusan legislatif, oleh karena itu hanya merupakan hasil analisis cara berpikir yuridis. Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen merupakan dasar dari segenap penilainya yang bersifat yuridis yang dimungkinkan dalam suatu tertib hukum dari negara-negara tertentu. Jadi, perumusan kaidah dasar dari suatu negara dapat berbeda dari negara lain karena itutergantung dari sikap negara masing-masing. Sahnya suatu kaidah hukum dapat dikembalikan pada kaidah-kaidah hukum yang lebih tinggi dan akhirnya pada kaidah dasar. Penamaan teori murni tentang hukum murni mempunyai makna tersendiri karena penamaan tersebut menunjukan maksud utama dari Kelsen untuk menyatakan bahwa hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Kelsen bermaksud untuk menunjukan bahaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah hukum tadi cukup adil atau kurang adil. Teorinya bertujuan untuk menunjukan hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar. 6. Thomas Aquinas Dalam pandangan Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan hukum yang lahir dari kegiatan akal-budi manusia sendiri yang dituntun oleh Tuhan. Ide mengenai hukum kodrat tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles bahwa alam semesta pada hakekatnya terdiri dari substansi-substansi yang merupakan kesatuan materi dan bentuk dimana masing-masing substansi itu memiliki tujuan sendiri-sendiri dan tujuan di luar dirinya yakni tujuan yang lebih tinggi menuju kepada yang sempurna budi-Illahi. Hal tersebut oleh Thomas Aquinas dipandang sebagai aturan alam yang bersumber pada Tuhan dan mewujudkan diri dalam substansi yang disebut manusia. Segala kejadian alam dunia diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan bagi semua peraturan-peraturan lainnya. Lex eterna adalah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia. Manusia diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk serta mengenal berbagai bentuk perundang-undangan termasuk lex eterna yang memuat asas- asas seperti berbuat baik dan jauhilah kejahatan, bertindaklah menurut pikiran yang sehat, cintailah sesamamu seperti engkau mencintai diri sendiri, dll. Asas-asas tersebut mempunyai kekuatan mutlak, tidak mengenal pengecualian, berlaku dimana-mana dan tidak berubah sepanjang zaman. Thomas Aquinas menyadari bahwa pemahaman mengenai konsepsi hukum kodrat bisa diinterpretasikan berbeda-beda oleh setiap manusia. Oleh karena itu diperlukan susunan peraturan yang lebih konkret untuk menjabarkan norma-norma dalam hukum kodrat yakni norma-norma hukum positif. Namun hukum positif disini bukan hukum positif seperti yang dipahami oleh aliran positivistik dimana ada pemisahan tegas antara moral dan norma positif. Hukum positif dalam konteks hukum kodrat hanya berlaku apabila hukum positif bersumber dari dan tidak bertentangan hukum kodrat. Hukum positif dalam pandangan Thomas Aquinas tetap tidak memisahkan antara tuntunan moral dengan norma positif karena hukum positif hanya berfungsi sebagai penengah untuk menjaga agar tidak terjadi pemisahan antara apa yang seharusnya menurut ajaran Ketuhanan dengan apa yang senyatanya. 7. Aristoteles Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang pertama-tama membedakan antara hukum kodrat dengan hukum positif. Hukum kodrat adalah suatu hukum yang terus menerus berlaku karena hubungannya dengan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum kodrat dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia. Hukum harus ditaati demi keadilan, baik keadilan sebagai keutamaan umum maupun keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum privat.