Anda di halaman 1dari 10

1.

Karl Max (Hukum dan Kapital)


Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap pembuatan undang-
undang didapatkan ciri-ciri kekuasaan hukum dalam masyarakat kapitalis, yaitu wataknya
yang palsu, dimana keinginan atau kenyataan yang ada dalam masyarakat dirumuskan
berdasarkan keinginan-keinginan pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas
hukum formal dan dengan cara seperti itu kekuasaan hukum dinyatakan berlaku. Tetapi
apabila kepentingan-kepentingan kelas terbentur asas-asas hukum yang telah ditegakkan,
maka dibuatlah pengecualian-pengecualian dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas
hukum tersebut yang dibuat dalam bentuk yang (seolah-olah) formal juga, yang menurut
Marx disebut sebagai ketidakjujuran kelas yang berkuasa terhadap hukum.
Gambaran Marx seperti itu ternyata terjadi pula di Indonesia terutama di masa
Orde Baru, hukum yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dengan sangat mudah diputarbalikkan oleh penguasa (pemerintah) demi mengamankan
kepentingan-kepentingan mereka. Mereka yang membuat peraturan, mereka pula yang
paling pertama melakukan pelanggaran atau membuat pengecualian-pengecualian. Secara
teknis legal formal, pengaturan-pengaturan yang dibuat oleh penguasa kadang-kadang
terlihat sangat valid dalam materinya, namun acapkali substansi materi peraturan tersebut
ternyata hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan penguasa atau pihak yang
berada dibelakangnya.

2. Emile Durkeim (Solidaritas dan Tipe Hukum)


Emile Durkeim dari PErancis adalah salah seorang tokoh penting yang
mengembangakan sosiologi dengan ajaran-ajaranyang klasik. Dalam teorinya tentang
masyarakat, Duekeim menaruh perhatian besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang
dihubungkan dengan segaa jenis-jenis solidaritas yang dijumpai dalam masyarakat (E.
Durkeim 1964:68 dan seterusnya). Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang
bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-
anggap serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan
sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, maka kaidah-kaidah hukum
dapat diklasifikasikan menurut jenis-jenis sanksi yang menjadi bagian utama dari kaidah
hukum tersebut. Di dalam masyarakat dapat ditemukan 2 macam kaidah hukum, yaitu
represif dan restitutif.
Didalam masyarakat dapat dijumpai kaidah-kaidah dapat dijumpai kaidah-kaidah
hukum yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggar
kaidah-kaidah hukum yang bersangkutan. Sanksi-sanksi kaidah hukum tersebut
menyangkutnhari depan dan kehormatan seorang warga masyarakat atau bahkan
merampas kemerdekaan atau kenikmatan hidupnya. Kaidah-kaidah hukum tersebut
merupakan kaidah-kaidah hukum yang represif yang merupakan hukum pidana. Selain
kaidah-kaidah hukum dengan sanksi-sanksi yang mendatangkan penderitaan, akan
dijumpai pula kaidahkaidah hukum yang sifat sanksi-sanksi hukumnya berbedah dengan
kaidah-kaidah hukum yang represif. Tujuan utama dari sanksi-sanksi kaidah hukum yang
kedua ini tidak perlu mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya. Tujuan
utama kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula
(pemulihan keadaan), sebelum terjadi goncangan akibat dilanggarnya suatu kaidah
hukum. Kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum yang restitutif. Kaidah-kaidah
hukum itu antara lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum
administrasi dan hukum tata negara setelasi dan hukum tata negara setelasi dan hukum
tata negara setelah dikurangi dengan unsure-undur pidananya.
Hubungan antara solidaritas dengan hukum yang bersifat represif terletak pada
tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Yang dimaksud dengan kejahatan disini
adalah tindakan yang secara umum tidak disukai atau ditentang oleh warga masyarakat.
Untuk menjelaskan hal ini Durkeim menerangkan bahwa setiap hukum tertulis
mempunyai tujuan bergandayaitu untuk menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dan
untuk merumuskan sanksi-sanksinya. Dalam hukum perdata dan jenis hukum yang
bersifat restitutif, pembentukan Undang-Undang merumuskan kedua tujuan tadi secara
terpisah. Pertama-tama dirumuskan kewajiban-kewajiban, kemudian baru ditentukan
bagaimana bentuk sanksinya. Disebut sebagai contoh Kitab Undang-Undang HUkum
Perdata Perancis yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri, tetapi
tidak dirumuskan sanksi-sanksinya apabila terjadi sesuatu pelanggaran. Sanksinya harus
dicari ditempat lain, bahkan mungkin sama sekali sanksinya tidak ada. Sebaliknya
Hukum Pidana hanya tercantum sanksi-sanksinya, tanpa ada perumusan mengenai
kewajiban-kewajibannya. Didalam Hukum Pidana ditentukan secara tegas, inilah
hukumannya sedangkan dalam Hukum Perdata diperhatikan itulah kewajiban-
kewajibanmu. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sepanjang perihal
hukum pidana kewajiban-kewajiban yang tidak dirumuskan telah diketahui oleh warga
masyarakat dan diterima serta ditaati. Apabila suatu hukum kebiasaan berubah menjadi
hukum tertulis yang dikodifikasikan, maka hal itu disebabkan karenakebutuhan-kebutan
proses peradilan menghendaki ketentuan-ketentuan yang lebih tegas. Apabila hukum
kebiasaan tadi berfungsi terus secara diam-diam maka tidak ada alasan untuk
mengubahnya. Oleh karena itu hukum pidana dikodifikasikan henya untuk menentukan
suatu skala hukuman, maka sanksinya hanya dapat diambil dari skala tersebut.
Sebaliknya apabila hukum tidah memerlukan keputusan pengadilan, maka hal itu
disebabkan karena peraturan tersebut diakui kekuatan dan kewenangannya.
Menurut Durkeim dapat dibedakan dua macam solidaritas positif yang dapat
ditandai oleh cirri-ciri sebagai berikut:
a. Pada solidaritas pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat
kepada masyarakat. Didalah hal solidaritas yang keduaseorang warga
masyarakat tergantung dari masyarakat, karena dia bergantung pada bagian-
bagian masyarakat yang bersangkutan.
b. Dalam hal solidaritas kedua tersebut, masyarakat tidah dilihat dari aspek yang
sama. Dalam hal yang pertama, masyarakat merupakan kesatuan kolektif
dimana trdapat kepercayaan dan perasaan yang sama. Sebaliknya dalam hal
yang kedua masyarakat merupan suatu sistm yang terditi dari bermacm-
macam fungsi yang merupakan hubungan-hubungan tetap, sebetulnya kedia
merupakan suatu gabungan akan tetapi dilihat dari sudut-sudut yang berbeda.
c. Dari kedua perbedaan tersebut timbullah perbedaan lain yang dapat dipakai
untuk menentukan karakteristik dan nama dari dua macam solidaritas diatas.
Solidaritas yang pertama dapat terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama
dan masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat dan lebih intensif daripad
cita-cita masing-masing warganya secara individu. Solodaritas ini oleh Durkeim
dinamakan mechanical solidarity (solidaritas mekanis) yang dapat dijumpai dalam
masyarakat-masyarakat secara relative, sedehana dan homogeny. Hal ini disebabkan
karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh hubungan antarmanusia yang erat,
serta adanya tujuan bersama. Solidaritas yang kedua dinemakan oleh Durkeim sebagai
organic solidarity (solidaritas organis) yang terdapan pada masyarakat yang lebih modern
dan lebih kompleks yaitu masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks.
Pada masyarakat dimana mechanical solidarity berkembang, hukumnya bersifat pidana
dan represif. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagain
tindakan yang mencemari keyakinan bersama. Dalam hal ini maka seluruh masyarakat
akanbertindak bersama-sama, karena masing-masing merasa terancam oleh
penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok dari
masyarakat. Reaksi dari penympanga tersebut memperkuat rasa solidaritas dan sangat
menutnjang ikatan kelompok. Dengan demikian maka penyimpanan terhadap kaidah-
kaidah yang berlaku. Disatu pihak mengancam ketenangan masyarakat, tetapi dilain
pihak juga secara tidak langsung memperkuat ikatan kelompok tadi.
Dengan meningkatnya diferensi dalam masyarakat, reaksi kolektiva yang utuh
dan kuat terhadap penyelewengan-penyelewengan menjadi berkurang didalam sistem
yang bersangkutan, karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecendrungan untuk
berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Artinya, yang terpokok adalah
mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semula, hal mana
merupakan hal yang pokok didalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan (pemulihan
keadaan).
Teori Durkeim sebagaimana dijelaskan secara singkat berusaha untuk
menghubungkkan hukum dengan strukrus social. Hukum digunakan sebagai satu ala
diagnose untuk menemukan syarat-syarat structural bagi perkembangan solodaritas
perkembangan masyarakat. Hukum dilihatnya sebagai dependent variable, yaitu suatu
unsure yang tergantung pada stuktur social masyarkat, akan tetaoi hukum juga dilihat
sebagai suatu alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun untuk
menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (V. Auben 1969:11).
3. Max Weber (Rasionalisasi hukum)
Ajaran Max Weber tentang Sosiologi hukum sangat luas, secara menyeluruh telah
ditelaah hukum-hukum Romawi, Jerman, perancis, Anglo Saxon, Yahudi, Islam, Hindu,
dan bahkan hukum adat Polinesia. Akan tetapi, sebagaimana dengan sorotannya terhadap
bidang kemasyarakatan lain. Weber mempunyai tujuan mengemukakan tahapan-tahapan
rasionalisasi peradapan barat beserta factor-faktor yang mempengaruhinya.
Sejalan dengan tujuan tersebut Weber mempelajari pengaruh politik, agama dan
ekonomi terhadap perkembangan hukum serta pengaruh dari para teoretikus hukum,
praktikus hukum maupun apa yang dinamakannya para honoratioren. Para honoratioren
adalah orang mempunya cirri-ciri sebagai berikut:
a. Oleh karena kedudukan ekonominya, orang-orang yang bersangkutan secara
langsung berhasil menduduki posisi-posisi kepemimpinan tanpa ganti rugi
atau hanya dengan ganti rugi secara nominal.
b. Mereka yang menempati kedudukan social terpandang yang sedemikian rupa
sehingga hal tersebut akhirnya menjadi suatu tradisi (M. Rheinstein 1967:52).
Didalam menelaah objeknya, Max Weber menggunakan metode logical
formalism (formalisme logis) yang katanya, metode yang dikembangkan oleh peradaban
Barat dan tidak dapat dikemukakan dalam peradapan-peradapan lain (M. Rheinstein
1967:XI).
Suatu alat periksa menentukan adanya hukum. Alat pemeriksa tersebut tidak perlu
berbentuk badan peradilan sebagaimana dikenal didalam masyarakat yang modern dan
kompleks. Alat tersebut dapat berwujud suatu keluarga atau mungkin suatu clan.
Konvensi, sebagaimana dijelaskan juga meliputi kewajiban-kewajiban tanpa suatu alat
pemaksa. Konvensi-konvensi tersebut hatus dibedakan dari kebiasaan (usage) dan adat
istiadat (custom). Suatu kebiasaan merupakan kemungkunan-kemungkinan adanya
unifomitas didalam orientasi suatu aksi social, sedangkan adat istiadat, terjadi apabila
suatu perbuatan telah menjadi kebiasaan. Dengan kata lain, kebiasaan merupakan suatu
bentuk perbuatan, sedangkan adat istiadat adalah perbuatan yang diulang-ulang didalam
bentuk yang sama. Baik kebiasaan maupun adat istiadat tidak bersifat memaksa dan
orang tidak wajib untuk mengikutinya.
Selanjutnya Max Weber berusaha mengemukakan beberapa perbedaan dalam
hukum yang msing-masing mempunyai kelemahan. Pertama-tama disebutkan perbedaan
hukum public dan hukum perdata. Perbedaan ini kurang bermanfaat karenadapat
mencakup beberapa kemungkinan. Suatu perbedaan lainnya adalah antara hukum positif
dengan hukum alam. Apabila seseorang berpegang pada defenisi sosiologi sebagai suatu
ilmu yang menelaah fakta social, maka perhatiannya hanya terpusat pada hukum positif.
Namun demikian seseorang sosilog tidak mungkin melepaskan diri dari kenyataan bahwa
hukum alam dapat memberikan petunjuk pada latar belakang tingkah laku manusia.
Dua perbedaan lain lebih menarik karena berhubungan erat dengan dasar
structural sosilogi hukum Max Weber. Pertama-tama adalah perbedaan antara hukum
objektif dan hukum subjektif. Dengan hukum objektif sebagai keseluruhan kaidah-kaidah
yang dapat ditetapkan secara umum terhadap semua warga masyarakat, sepanjang
mereka tunduk pada suatu sistem hukum umum. Hukum subjektif mencakup
kemungkinan-kemungkinan bagi seorang warga masyarakat untuk meminta bantuan
kepada alat-alat pemaksa agar kepentingan-kepentingan material dan spiritualnya dapat
dilindungi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut berwujud hak-hak dan Max Weber
sangat tertarik oleh hak-hak perseorangan tersebut karena pertama-tama, dia berusaha
untuk menggambarkan terjadi proses rasionalisasi hukum modern dan kedua untuk
membuktikan kekhususan dan peradapan Barat. Hak-hak subjektif tersebut merupakan
aspek yang fundamental dari peradapan barat karena penyanya yang menentukan dalam
transaksi-transaksi perseorangan yang memegang saham dalam perkembangan
kapitalisme modern. Hal-hak tersebut disatu pihak mencakup hak-hak atas kebebasan
dalam arti aturan-aturan yang menjadi keamanan individu terhadap intervensi pihak lain
termasuk negara. Dilain pihak, hak tadi juga mencakup aturan-aturan yang mengatur
kebebasan berhubungan dengan pihak lain dengan membuat kontrak-kontrak hukum.
Perbedaan antara hukum formal dan hukum material kelihatannya lebih penting,
karena secara langsung merupakan syarat-syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Dengan
hukum formal sebagai keseluruhan sistem teori hukum yang aturan-aturannya didasarkan
hanya pada logika hukum, tanpa mempertimbangkan lain-lain unsure diluar hukum.
Sebaliknya hukum material memperhatikan unsur-unsur nonyuridis seperti nilai-nilai
politis, etis, ekonomis atau agama. Dengan demikian, maka ada dua cara untuk
mendapatkan keadilan; pertama, dengan berpegang teguh pada peraturan hukum dengan
dasar yang benar adalah menyesuaikan diri dengan logika sistem hukum yang
bersangkutan. Kedua, dengan cara memperhatikan keadaan, maksud para pihak dan
syarat umum lainnya. Maka, seorang hakim dapat mengambil keputusan atas dasar
aturan-aturan hukum belaka atau setelah dia mendapat keyakinan dalam dirinya tentang
apa yang sebaiknya diputuskan.
Atas dasar penjelasan diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa rasionalnya
hukum dapat bersifat formal dan material yang berarti hukum tidak mungkin sempurna
karena suatu pertentangan hukum bersumber dari pertentangan kedua jenis hukum yang
tidak terpecahkan. Kepastian dan keadilan dapat berfungsi sebagai kriteria tindakan
hukum dan keduanya dapat besifat sewenang-wenang, irasional maupun rasional. hukum.
Sebaliknya, suatu keadilan formal yang murni sama sekali tidak memakai pertimbangan
diluar hukum.
Selanjutnya didalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe
ideal dari hukum, yang masing-masing sebagai berikut:
a. Hukum irasional dan material, yaitu dimana pembentuk Undang-Undang dan
hakim mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa
menunjuk pada suatu kaidah.
b. Hukum irasional dan formal, yaitu dimana penbentuk Undang-Undang dan
hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akal oleh karena didasarkan
pada wahyu atau ramalan.
c. Hukum rasional dan material, dimana keputusan-keputusan para pembentuk
Undang-Undang dan hakim merujuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-
kebijaksanaan penguasa atau ideology
d. Hukum irasionl dan formal, yaitu dimana hukum dibentuk semata-mata atas
dasar konsep-konsep dasar dari ilmu hukum.
Intinya bagi Max Weber, hukum rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu
negara modern. Kondisi-kondisi social yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut
adalah sistem kapitalisme dan profesi hukum. Sebaliknya, intoduksi unsure-unsur yang
rasional dalam hukum juga membantu sistem kapitalisme. Proses tersebut tidak mungkin
terjadi dalam masyarakat yang didasaran pada kepemimpina kharmatik atau dasar ikatan
darah karena proses pengambilan keputusan dalam masyarakat tadi mudahdipengaruhi
unsure-unsur irasional.
4. Roscoe Pound (Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Sosial, dll)
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat dipandang sebagai suatu
lembaga masyarkat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan social dan
tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-
kebutuhan social dapat terpenuhi secara maksimal. Selanjutnya, Pound menganjurkan
untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in the book). Dia juga mengakui
bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian social (social control),
bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan.
Kecuali, dia berusaha untuk menyusus suatu kerangkadari nilai-nilai dalam masyarakat
yang harus dipertahankan oleh hukum didalam menghadapi pertentangan kepentingan-
kepentingan.
5. Hans Kelsen
Kelsen yang dikenal dengan teoti murni tentang hukum menganggap bahwa
sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah dimana suatu kaidah
hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi
derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan tadi dinamakan
sebagai kaidah dasar atau Grundnorm. Jadi, menurut kelsen setiap sistem hukum
merupakan Stufenbau daripada kaidah-kaidah. Dipuncak Stufenbau tersebut terdapat
Grundnorm yang merupakan kaidah dasar daripada ketertiban tata hukum nasional.
Kaidah dasar trsebut tidak dapat merupakan suatu kaidah hukum positif sebagai hasil
keputusan legislatif, oleh karena itu hanya merupakan hasil analisis cara berpikir yuridis.
Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen merupakan dasar dari segenap penilainya yang
bersifat yuridis yang dimungkinkan dalam suatu tertib hukum dari negara-negara tertentu.
Jadi, perumusan kaidah dasar dari suatu negara dapat berbeda dari negara lain karena
itutergantung dari sikap negara masing-masing. Sahnya suatu kaidah hukum dapat
dikembalikan pada kaidah-kaidah hukum yang lebih tinggi dan akhirnya pada kaidah
dasar. Penamaan teori murni tentang hukum murni mempunyai makna tersendiri karena
penamaan tersebut menunjukan maksud utama dari Kelsen untuk menyatakan bahwa
hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Kelsen
bermaksud untuk menunjukan bahaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan
penilaian apakah hukum tadi cukup adil atau kurang adil. Teorinya bertujuan untuk
menunjukan hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar.
6. Thomas Aquinas
Dalam pandangan Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan hukum yang lahir dari
kegiatan akal-budi manusia sendiri yang dituntun oleh Tuhan. Ide mengenai hukum
kodrat tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles bahwa alam semesta pada
hakekatnya terdiri dari substansi-substansi yang merupakan kesatuan materi dan bentuk
dimana masing-masing substansi itu memiliki tujuan sendiri-sendiri dan tujuan di luar
dirinya yakni tujuan yang lebih tinggi menuju kepada yang sempurna budi-Illahi. Hal
tersebut oleh Thomas Aquinas dipandang sebagai aturan alam yang bersumber pada
Tuhan dan mewujudkan diri dalam substansi yang disebut manusia.
Segala kejadian alam dunia diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi
(lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan bagi semua peraturan-peraturan lainnya. Lex
eterna adalah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia. Manusia diberikan
kemampuan oleh Tuhan untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk serta
mengenal berbagai bentuk perundang-undangan termasuk lex eterna yang memuat asas-
asas seperti berbuat baik dan jauhilah kejahatan, bertindaklah menurut pikiran yang sehat,
cintailah sesamamu seperti engkau mencintai diri sendiri, dll. Asas-asas tersebut
mempunyai kekuatan mutlak, tidak mengenal pengecualian, berlaku dimana-mana dan
tidak berubah sepanjang zaman.
Thomas Aquinas menyadari bahwa pemahaman mengenai konsepsi hukum kodrat bisa
diinterpretasikan berbeda-beda oleh setiap manusia. Oleh karena itu diperlukan susunan
peraturan yang lebih konkret untuk menjabarkan norma-norma dalam hukum kodrat
yakni norma-norma hukum positif. Namun hukum positif disini bukan hukum positif
seperti yang dipahami oleh aliran positivistik dimana ada pemisahan tegas antara moral
dan norma positif. Hukum positif dalam konteks hukum kodrat hanya berlaku apabila
hukum positif bersumber dari dan tidak bertentangan hukum kodrat. Hukum positif
dalam pandangan Thomas Aquinas tetap tidak memisahkan antara tuntunan moral dengan
norma positif karena hukum positif hanya berfungsi sebagai penengah untuk menjaga
agar tidak terjadi pemisahan antara apa yang seharusnya menurut ajaran Ketuhanan
dengan apa yang senyatanya.
7. Aristoteles
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang pertama-tama membedakan
antara hukum kodrat dengan hukum positif. Hukum kodrat adalah suatu hukum yang
terus menerus berlaku karena hubungannya dengan alam. Hukum itu tidak pernah
berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum kodrat dibedakan
dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia. Hukum harus
ditaati demi keadilan, baik keadilan sebagai keutamaan umum maupun keadilan sebagai
keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara
sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda
publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam
hukum privat.

Anda mungkin juga menyukai