Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut adalah keadaan gangguan aliran darah koroner parsial
hingga total ke miokard secara akut yang merupakan suatu masalah kardiovaskular
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang
tinggi. Berdasarkan gambaran EKG, sindrom koroner akut terdiri atas infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil (Rilantono, 2016).
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30%
dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum mencapai rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1
di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun
pertama setelah IMA (Sudoyo, 2009).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan bagian dari
spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang menggambarkan cedera miokard
transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus. Patogenesis yang
mendasari hampir semua kasus adalah penyempitan progresif arteri koroner oleh
proses aterosklerosis. Penyumbatan total dan mendadak yang mempercepat infark
ini biasanya disebabkan oleh penempelan trombus yang dipicu oleh pecahnya, erosi
atau robekan dari plak aterosklerotik. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard
secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Bila tidak dilakukan revaskularisasi
segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang berhubungan linear dengan waktu.
Disebut dengan paradigma “time is muscle”, yang berarti bila tidak dilakukan
reperfusi segera, maka otot jantung tidak akan bisa diselamatkan. Paradigma ini
menekankan perlunya reperfusi sedini mungkin (Thaler, 2009).
Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah
angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk
STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka
jantung. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan marka jantung (PERKI, 2015a).
Revaskularisasi terbukti dapat memulihkan perfusi miokard dan membatasi
perluasan infark, sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan dan mortalitas
berkurang. Upaya revaskularisai dengan terapi fibrinolitik diberikan berdasarkan
patogenesis terjadinya trombus yang menyumbat arteri koroner dan menyebabkan
infark miokard (Rilantono, 2016).
Tujuan utama tatalaksana infark miokard akut adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian
obat penunjang, dan tatalaksana komplikasi infark miokard akut (Sudoyo, 2009).
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan bagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang menggambarkan cedera
miokard transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh thrombus
(Rilantono, 2016).
B. Etiopatogenesis
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid
(Sudoyo, 2009).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak,
berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan
A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami
konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam
amino pada protein adhesi yang larut (intergrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi (Sudoyo, 2009).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat kemudin akan mengalami oklusi oleh trombus
yang terdiri agregat trombosit dan fibrin (Sudoyo, 2009).
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.3Pada kasus
penyempitan pembuluh darah arteri jantung yang sering terjadi, suplai darah
yang membawa oksigen untuk otot-otot jantung berkurang sehingga otot
jantung mengalami cidera, atau disebut dengan miokard iskemia. Hal ini
berakibat pada keterlambatan atau kelistrikan abnormal selama fase
repolarisasi sel-sel jantung dan ditunjukkan dengan perubahan level segmen
ST pada rekaman EKG. Bila kondisi ini tidak mengalami perbaikan, sementara
aktivitas fisik atau stress penderita meningkat, maka kebutuhan oksigen
jaringan tidak dapat dipenuhi sehingga sel-sel otot jantung akan mati dan
mengakibatkan serangan jantung yang disebut miokard infark (Surtono et al,
2016).
C. Epidemiologi
Menurut WHO, hasil revisi laporan 2008-2010 estimasi penyebab
kematian penduduk dunia menyebutkan bahwa distribusi penyebab kematian
untuk masing-masing wilayah di dunia meliputi Oceania, Asia, Eropa dan
Amerika penyumbang kematian terbesar adalah penyakit jantung. Setiap tahun
sekitar 50% penduduk dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh
darah yang diperkirakan angka ini akan meningkat terus hingga 2030 menjadi
23,4 juta kematian di dunia. Di negara berkembang dari tahun 1990-2020,
angka kematian akibat penyakit jantung koroner akan meningkat 137% pada
laki-laki dan 120% pada perempuan, sedangkan di negara maju
peningkatannya lebih rendah yaitu 48% pada laki-laki dan 29% pada
perempuan. Oleh karena itu, sindrom koroner akut menjadi penyebab kematian
dan kecacatan nomor satu di dunia (Smith et al., 2006).
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30%
dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum mencapai rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir,
sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2009).
D. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis
nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥ 2mm, minimal
pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau ≥ 1 mm pada 2 sadapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi
tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim (Sudoyo, 2009).
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari
luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis
pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko
antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Sudoyo, 2009).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau
bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi
sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.3
Presentasi klinis STEMI beragam, namun biasanya timbul tiba-tiba
nyeri dada prekordial atau sesak napas. Pasien biasanya menggambarkan
sebagai sensasi dihimpit, diremas, atau ditekan, di retrosternal, dengan atau
tanpa penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri dada
umumnya cukup hebat sehingga terjadi aktivasi simpatis berupa mual, muntah
dan keringat dingin hingga membasahi pakaiannya (Rilantono, 2016).
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina sebagai berikut : (Sudoyo, 2009).
 Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
 Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
 Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
Terdapat banyak pasien, terutama pasien diabetes mellitus dan usia
lanjut, bias saja tidak menunjukkan semua gejala inii sama sekali. Diperkirakan
bahwa sepertiga kejadian infark miokardium bersifat “tenang”, artinya, sama
sekali tidak diserti manifestasi klinis yang jelas (Thaler, 2009).
Pemeriksaan Fisik (Rilantono, 2016).
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
 Umum: kecemasan, sesak, keringat dingin, tanda Levine (tangan mengepal
di dada), kadang normotensif atau hipertensif.
 Leher: normal atau sedikit peningkatan tekanan vena jugularis (JVP).
 Jantung: takikardia, S1 lemah, timbulnya S4, mungkin terdapat S3, murmur
sistolik.
 Paru: rales atau mengi bila terdapat gagal jantung.
 Ekstremitas: normal atau terdapat tanda penyakit vaskular perifer
Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi status
hemodinamik akibat cedera miokard dan memberikan informasi penting
tentang prognosis (Rilantono, 2016).
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada GUSTO 1 Trial
Kelas Killip Karakteristik Klinis Mortalitas 30 hari (%)
I Tidak ada tanda CHF 5,1
II Rales, distensi vena jugularis atau S3 13,6
III Edema paru 32,2
IV Syok kardiogenik 57,8

Trombolis pada infark miokard (TIMI) skor resiko pada STEMI


Variabel Poin
Usia ≥ 75 3
Usia 65-74 2
Diabetes, hipertensi, angina 1
Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3
Laju nadi >100 kali per menit 2
Kelas Killip II-IV 2
STEMI anterior atau LBBB komplit 1
Waktu ke tindakan >4 jam 1

Skor Risiko Mortalitas 30 hari


0 0,8
1 1,6
2 2,2
3 4,4
5 12
6 16
7 23
8 27

Elektrokardiogram
Elektrokardiografi adalah instrument medis yang digunakan untuk
memonitor kondisi jantung pasien. Rekaman EKG merupakan sinyal biolistrik
yang terdiri atas gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T. Rekaman
EKG dari penderita penyakit jantung akan menampilkan gangguan-gangguan
gelombang yang ada pada EKG. Pada sebagian besar infark, EKG akan
menyingkap diagnosis dengan tepat. Perubahan EKG yang khas terjadi pada
infark miokardium, dan perubahan yang paling awal terjadi hampir bersamaan
dengan awal keruskan miokardium (Thaler, 2009).
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Jika pemeriksaan EKG
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan (Sudoyo, 2009).
EKG yang diagnostik dipertimbangkan pada elevasi segmen ST ≥ 1 mm
pada dua atau lebih sadapan ekstremitas dan prekordial bersebelahan sesuai
dengan region dinding ventrikelnya. Regio anterior dinding ventrikel akan
ditemukan elevasi segmen ST di sadapan V1-V6. Regio inferior akan
ditemukan elevasi segmen ST di sadapan II, III, dan aVF. Regio lateral
ditemukan elevasi segmen ST di sadapan I, aVL, dan V6 (Rilantono, 2016).
EKG pada pasien dengan STEMI merupakan EKG yang berevolusi
berawal dari suatu cidera dengan gambaran EKG pada jam pertama hiperakut
T diikuti dengan elevasi segmen ST. Kemudian dalam 2-8 jam ST elevasi akan
semakin tinggi disertai inversi gelombang T dan terbentuknya gelombang Q
bersamaan dengan penurunan ampituda QRS (Rilantono, 2016).
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan fungsi ventrikel kiri,
yang mempengaruhi prognosis dan pilihan terapi berikutnya. Transtorakal
Ekokardiografi juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran infark atau
mendeteksi komplikasi infark miokard, seperti ruptur dinding ventrikel atau
defek septum ventrikel (Rilantono, 2016).
Biomarka Kardiak
Biomarka kardiak bermanfaat untuk membantu diagnosis, melihat luas
infark, dan menentukan prognosis. Pemeriksaan9 yang dianjurkan adalah
troponin dan creatine kinase myocardial band (CK-MB). Troponin I atau T
meningkat pada awal infark miokard dan lebih berguna untuk diagnosis. CK-
MB bermanfaat untuk diagnosis dan melihat luas infark (Rilantono, 2016).
Troponin juga dapat meningkat pada kondisi-kondisi selain infark,
misalnya emboli paru, sepsis, gagal pernapasan, dan gangguan ginjal. Dapat
meningkat pula pada kondisi yang berhubungan dengan kerusakan
miokardium, seperti gagal jantung kongestif, miokarditis, atau pericarditis
(Thaler, 2009).
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukaan terjadinya infark miokard (Sudoyo, 2009).
 CK-MB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CK-MB.
 Troponin: Ada 2 jenis, yaitu Troponin T dan Troponin I. Enzi mini
meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan troponin T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan troponin I setelh 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu : (Sudoyo, 2009).
 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
 Creatinin kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
 Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
E. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana Infark Miokard Akut adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang, dan tatalaksana komplikasi Infark Miokard Akut
(Sudoyo, 2009).
Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard.
Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka
reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah melampaui 12
jam dari awitan simptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan.
Terapi reperfusi hanya diberikan kalau ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri
dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru (Rilantono,
2016).
Ada dua jenis strategi reperfusi, pertama dengan intervensi koroner
perkutan primer (primary PCI) dan kedua secara medikamentosa dengan obat
fibrinolitik (Rilantono, 2016).
Gambar 1. Langkah-langkah reperfusi (Steg et al., 2006)

Intervensi Koroner Perkutan Primer (primary PCI)


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting
tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan pada beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik (Sudoyo, 2009).
Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan pada lesi
culprit, yaitu lesi di arteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada syok
kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk diintervensi.
Kelebihan PCI primer, dapat mengidentifikasi lesi culprit terkait infark dan
anatomi koroner lainnya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan
stent, guna menurunkan kejadian thrombosiss (Rilantono, 2016).
Rescue PCI, angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi
dilakukan segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil. Rescue PCI
dilakukan bila terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis (nyeri dada berulang
dan perubahan segmen ST) atau kapasitas latihan rendah atau stress test
farmakologik memperlihatkan tanda-tanda iskemia (Rilantono, 2016).
Terapi Reperfusi Medikamentosa / Fibrinolitik
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama
fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri coroner (Sudoyo, 2009).
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang sangat penting, terutama
bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumber daya
dan demografi. Keuntungan terbesar bila dilakukan dalam 6 jam pertama.
Terapi fibrinolitik dinyatakan berhasil bila angina berkurang, resolusi
amplitude segmen ST >50% dan dijumpai aritmia reperfusi. Semua pasien post
fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan PCI.1
Ada dua jenis fibrinolitik, yaitu: (Rilantono, 2016).
1. Fibrin non spesifik: Streptokinase (SK). Enzim ini diproduksi oleh beberapa
strain Streptokokus Hemolitikus dan mengandung asam amino. Cara
pemberian dan dosis yaitu 1,5 juta unit dilarutkan dalam 100 ml D5% atau
NaCl 0,9% diberikan selama 30-60 menit, tanpa heparin atau dengan
heparin i.v selama 24-48 jam.
2. Fibrin spesifik: Alteplase (t PA). Merupakan produk sintetis.
Cara pemberian dan dosis yaitu 15 mg i.v bolus dilanjutkan 0,75 mg/kgBB
selama 30 menit, kemudian 0,5 mg/kgBB selama 60 menit. Dosis total tidak
boleh melebihi 100 mg. Diberikan dengan heparin 24-48 jam i.v.
Terapi Medikal Postreperfusi , (Sudoyo, 2009).
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Aspirin diberikan 81
mg/hari harus dimakan seumur hidup.
 Clopidogrel
Clopidogrel 600 mg dosis loading diikuti 75 mg/hari. Semua pasien yang
mendapatkan drug-eluting stents melanjutkan clopidogrel selama minimal
1 tahun. Pada yang mendapatkan bare-metal stents clopidogrel dilanjutkan
sampai minimal 1 bulan, idealnya 1 tahun.
 Penyekat Beta
Penyekat beta harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang
datang dengan STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus
dilanjutkan seumur hidup. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat
untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor
ACE. Beta bloker harus dihindari pada pasien dengan STEMI Killip II, III,
atau IV atau dengan hipotensi, bradikardia, atau syok.
Tabel Jenis dan dosis beta blocker untuk IMA (PERKI, 2015b)

 Ace inhibitors
Ace inhibitors menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Ace
inhibitors harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai
dengaan obat kerja pendek (captopril) pada 24 jam pertama sampai dosis
maksimum tercapai. Setelah pasien dapat mentoleransi dosis ini, obat kerja
panjang sekali sehari dapat diberikan misalnya lisinopril.
Tabel. Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk IMA (PERKI, 2015b)

 Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis.
Tabel . Jenis dan dosis nitrat untuk IMA (PERKI, 2015b)

 Terapi Insulin
Terapi insulin direkomendasikan untuk control gula darah pada semua
pasien yang dirawat di CVCU, berikan insulin-drip bila kadar gula darah
>200 mg/dL.
 Statin
Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasien stabil.
Dapat diberikan atorvastatin 80 mg/hari.
 Amiodarone
Amiodarone dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disritmia,
sebaiknya dihindari pada pasien muda.
Terapi Bedah
Tindakan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi
awal dan segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun, setelah upaya awal
dengan PCI atau reperfusi fibrinolitik telah dilakukan, nyeri dada
menetap/berulang, atau anatomi koroner risiko tinggi (stenosis left-main atau
triple-vessel disease pada diabetes) atau terjadi komplikasi mekanis (ruptur
septum ventrikel, ruptur muskulus papilaris) intervensi bedah patut
dipertimbangkan. Pada kondisi seperti ini, sebaiknya menunggu paling sedikit
24 jam setelah STEMI dan setelah hemodinamik stabil. Topangan mekanik
dengan intra-aortic ballon pump (IABP) dibutuhkan sebagai jembatan untuk
pembedahan pada kasus nyeri dada menetap, aritmia, dan hemodinamik tidak
stabil (Rilantono, 2016).
Terapi Fase Akut di IGD (PERKI, 2015b)
a. Bed Rest Total
b. Oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan IVFD
d. Obat-obatan
 Aspilet 160 mg kunyah
 Clopidogrel (untuk usia <75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi fibrinolitik
atau
 Clopidogrel 600 mg atau Ticagrelor 180 mg jika pasien mendapatkan
primary PCI
 Atorvastatin 40 mg
 Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang sampai 3 kali jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat iv bila keluhan persisten.
 Morfin 2-4 mg iv jika masih nyeri dada
e. Monitoring jantung
f. Jika onset <12 jam:
 Fibrinolitik (di IGD) atau
 Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap melakukan
dalam 2 jam
Terapi Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam) (PERKI, 2015b)
a. Obat-obatan
 Simvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika kadar LDL
di atas target
 Aspilet 1x80 mg
 Clopidogrel 1x75 mg atau Ticagrelor 2x90 mg
 Bisoprolol 1x1,25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol 2x3,125 mg jika
fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika tidak ada
kontraindikasi
 Ramipril 1x2,5 mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi menurun
EF<50%; diberikan jika tidak ada kontra indikasi
 Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan
ARB: Candesartan 1x16 mg, valsartan 2x80 mg
 Obat pencahar 2x1 sendok makan
 Diazepam 2x5 mg
 Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:
o UF heparin bolus 60 unit/kgBB, maksimal 4000 unit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 12 unit/kgBB maksimal 1000 unit/jam atau
o Enoxaparin 2x60 mg (sebelumnya dibolus 30 mg iv) atau
o Fondaparinux 1x2,5 mg
b. Monitoring kardiak
c. Puasa 6 jam
d. Diet Jantung 11800 kkal/24 jam
e. Total cairan 1800 cc/24 jam
f. Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan asam
urat
F. Komplikasi (PERKI, 2015b)
1. Gangguan hemodinamik
a. Gagal jantung
b. Hipotensi
c. Kongesti paru
d. Keadaan output rendah
e. Syok kardiogenik
f. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
g. Aritmia supraventrikular
h. Aritmia ventrikular
i. Sinur bradikardi dan blok jantung
2. Komplikasi kardiak
a. Regurgitas katup mitral
b. Ruptur jantung
c. Ruptur septum ventrikel
d. Infark ventrikel kanan
e. Perikarditis
f. Aneurisma ventrikel kiri
g. Trombus ventrikel kiri
G. Prognosis
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard
akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari
(PERKI, 2015b).
IV. KESIMPULAN

Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan bagian dari


spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang menggambarkan cedera miokard
transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada dua atau lebih sadapan
ekstremitas dan prekordial bersebelahan sesuai dengan region dinding ventrikelnya.
DAFTAR PUSTAKA

Rilantono, Lily. 2016. Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: FKUI. p.138-165.


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015(a). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications. p.
1-43.
Sudoyo, dkk. 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST: dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam: Edisi V. Jakarta Pusat: Internapublishing;p. 1741-1754.
Thaler, Malcolm. 2006. Satu-satunya buku EKG yang Anda perlukan. Jakarta:
EGC. p. 234.
Surtono, Arif, et al. 2016. Deteksi Miokard Infark Jantung pada Rekaman
Elektrikardiogram menggunakan Elevasi Segmen ST. Jurnal Teori dan
Aplikasi Fisika.p. 120.
Smith SC, Allen J, Blair SN, Bonow RO, Brass LM, Fonarow GC, et al. 2006.
AHA/ACC Guidelines for Secondary Prevention for Patients with
Coronary and other Atherosclerotic Vascular Disease: 2006 Update:
Endorse by the National Heart, Lung, and Blood Institute. Circulation
113;2363-2372.
Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Carina BL, Borger MA, et al. 2012. ESC
Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients
presenting with ST-segment Elevation: p. 2569-2619.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.2015(b).Panduan Praktik
Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Jakarta: Centra Communications.

Anda mungkin juga menyukai