Anda di halaman 1dari 18

PENATALAKSANAAAN REAKSI KUSTA

Oleh:

Ayu Laisitawati, S.Ked

04054821719014

Pembimbing:

Dr. dr. Fitriani, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018

1
PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA
Ayu laisitawati, S.Ked
Pembimbing Dr. dr. Fitriani, Sp.KK, FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK Unsri/RSUP Moh. Hoesin Palembang
2018

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan


Mycobacterium leprae, bersifat intraselular obligat. Penyakit kusta mengenai saraf perifer
sebagai afinitas pertama. Selain saraf perifer, penyakit kusta juga menyerang kulit, mukosa
mulut, mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang, sendi, testis, dan organ lain selain
susunan saraf pusat.1,2,3
Klasifikasi kusta berdasarkan WHO dibagi menjadi pausibasilar (PB) dan multibasilar
(MB).4 Penyakit kusta ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit penderita kusta tipe
multibasilar (MB) kepada orang lain.3 M. leprae dapat hidup hingga beberapa hari dalam
droplet. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI. Manusia
merupakan salah satu sumber penularan kusta selain armadillo, kera Mangabey, kera
Cinomolgus, dan simpanse.5
Berdasarkan Weekly Epidemiological Report WHO, prevalensi kusta secara global
menurun dari >5 juta kasus pada pertengahan tahun 1980 hingga <200.000 kasus pada tahun
2005 sejalan dengan penggunaan multidrug therapy (MDT). Penderita kusta di dunia tahun
2014 berjumlah 213.899 kasus. Kasus kusta di Indonesia tahun 2014 sebanyak 17.025 kasus
dan menempati urutan ketiga setelah India dan Brazil.6
Reaksi kusta merupakan komplikasi penyakit kusta akibat reaksi hipersensitivitas
berulang dan merupakan penyebab utama kerusakan saraf. Reaksi kusta ditandai dengan
peradangan akut pada lesi penderita kusta akibat sistem imun tubuh menyerang basil kusta.1
Berdasarkan data kunjungan pasien ke Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Divisi
Dermatologi Infeksi Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang (RSMH), pasien
reaksi kusta sejak Agustus 2011 hingga Agustus 2016 sebanyak 708 orang.7
Jumlah penderita kusta di Indonesia yang tinggi dan pentingnya penatalaksanaan
reaksi kusta menjadi landasan penyusunan referat ini. Referat ini membahas klasifikasi,
patogenesis, dan manifestasi klinis reaksi kusta yang bertujuan untuk mendiagnosis dan
memberikan tatalaksana yang adekuat agar dapat menurunkan angka morbiditas dan
kecacatan akibat reaksi kusta.

2
KLASIFIKASI REAKSI KUSTA

Menurut tipe hipersensitivitas yang mendasari, reaksi kusta diklasifikasikan menjadi


reaksi kusta tipe 1, reaksi kusta tipe 2, dan reaksi kusta tipe 3 (Lucio’s phenomenon).1 Berikut
akan dijelaskan masing-masing reaksi kusta tersebut:

1. Reaksi Kusta Tipe 1 (Reaksi Reversal dan Downgrading)

Reaksi kusta tipe 1 merupakan reaksi hipersensitivitas seluler diperantai cell mediated
immunity (CMI) dalam melawan basil kusta, termasuk basil yang mati.1,5,8 Menurut Jopling,
reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction atau reaksi hipersensitivitas
tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen dari basil yang mati (breaking down leprosy
bacilli) bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler (SIS) yang cepat.3,9
Pada reaksi ini dapat terjadi pergeseran tipe kusta, terutama tipe BT, BB, dan BL.1,8 Arah
pergeseran spektrum dapat ke kedua arah, yaitu:

A. Pergeseran ke arah tuberkuloid, terjadi peningkatan imunitas seluler disebut reaksi


reversal. Tipe ini sering terjadi setelah penderita diobati.

B. Pergeseran ke arah lepromatosa, terjadi penurunan imunitas seluler disebut reaksi


downgrading. Tipe ini terjadi pada penderita yang tidak mendapat pengobatan adekuat.1

2. Reaksi Kusta Tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum/ENL)

Reaksi kusta tipe 2 merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb dan
Gell.3 Reaksi ini merupakan imunitas humoral dan tidak terjadi pergeseran tipe kusta. Pada
reaksi kusta tipe 2 terjadi reaksi antigen-antibodi disertai pembentukan kompleks imun di
berbagai jaringan yang menyebabkan peradangan akut dimana ada basil kusta. Reaksi ENL
terjadi pada penderita kusta tipe LL, dan kadang pada kusta tipe BL.1,3,5,10 Pfaltgraff dan
kawan-kawan melaporkan bahwa lebih dari 50% penderita kusta tipe LL dan 25 % penderita
tipe BL mengalami episode ENL.11

3
ENL

Reversal

TT BT BB BL LL

Gambar 1. Hubungan antara reaksi reversal dan ENL pada berbagai tipe kusta.2

3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Lucio Phenomenon)

Fenomena Lucio termasuk dalam reaksi kusta tipe 2 dengan gejala lebih berat. Sebutan
lain Fenomena Lucio adalah Latapi’s lepromatosis atau Lepra Bonita. Reaksi ini hanya terjadi
pada Lucio Leprosy, yaitu bentuk murni dari kusta tipe LL, merupakan reaksi kusta paling
berat. Reaksi ini terutama mengenai orang Meksiko dan campuran Spanyol-Mediterinian.1,9

ETIOPATOGENESIS REAKSI KUSTA

Faktor yang sering mendahului timbulnya reaksi kusta, antara lain setelah pengobatan
kusta, infeksi fokal, anemia, infeksi rekuren, pembedahan, stress fisik atau mental, imunisasi,
kehamilan, dan saat setelah persalinan.3,12 Setiap reaksi kusta memiliki patogenesis masing-
masing. Adapun patogenesis reaksi kusta setiap tipenya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Patogenesis Reaksi Kusta Tipe 1

Reaksi kusta tipe 1 merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III. Antigen M. leprae
ditemukan pada sel saraf dan kulit yang terlokalisasi dalam sel Schwann dan makrofag.
Antigen M. leprae pada sel terinfeksi menyebabkan terjadinya ekspresi major
histocompatibility complex II (MHC II) pada permukaan sel yang kemudian dipresentasikan
antigen presenting cell (APC) ke sel limfosit T helper 1 (Th1) sehingga mencetuskan
produksi CD4+ untuk menghancurkan sel yang terinfeksi dimediasi sitokin seperti tumor
nerosis faktor (TNF). Toll-like receptor 2 (TLR2) berperan penting dalam mediasi ekspresi
sitokin proinflamasi dimana sel Swhann merupakan sel yang mengekspresikan reseptor TLR-
2. Penghancuran sel terinfeksi juga dicetuskan mediator sitokin proinflamasi interferon gama
(IFN-), interleukin 12 (IL-12), dan radikal bebas oksigen yang menginduksi sintesis nitric
oxide.10,13

4
2. Patogenesis Reaksi Kusta Tipe 2

Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG), dan komplemen membentuk
kompleks imun.8,11 Komplemen akan bergabung dengan kompleks imun membentuk endapan
kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik faktor. Konsep tersebut
dikenal dengan fenomena Arthus. Kadar TNF-α dan IL-6 serum yang meningkat menandakan
bahwa respon imun seluler sangat berperan terhadap mekanisme terjadinya ENL. TNF-α
berasal dari beragam sel terutama fagosit mononuklear dan sel T yang diaktifkan antigen,
natural killer cell (sel NK) dan sel mast. Efek biologinya dapat berpengaruh baik secara lokal
maupun sistemik, serta dapat bersifat protektif maupun patologis tergantung pada konsentrasi,
lama pajanan, dan adanya mediator lain pada lingkungan seluler. Produksi lokal
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen dengan memberikan respon inflamasi, yaitu
menyebabkan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi serta mengaktifkan sel tersebut untuk
membunuh mikroba, memacu ekspresi vascular cell adhesion molecule (VCAM),
merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis, merangsang fagosit
mononuklear untuk mengsekresi IL-1 dengan efek yang sama dengan TNF-α. Neutrofil
berguna untuk pergerakan sel, meliputi E-selectin yang diregulasi oleh IL-1β. Aktivasi Toll-
Like Receptor 2 (TLR2) secara in-vitro menginduksi IL-1β dan Interferon gamma (IFN-γ)
merangsang ekspresi E-selectin dan perlekatan neutrofil pada sel endotel. Sedangkan bila
dihasilkan secara luas, kadar TNF-α dapat membahayakan pejamu karena dapat menimbulkan
trombus sel endotel hingga syok septik. Sekresi berlebih TNF-α pada ENL diduga berasal dari
dinding dalam Mycobacterium leprae yang dapat merangsang kekebalan alamiah pada tubuh
manusia, yaitu Triacetylated Lipoprotein (TLP) dan merupakan Pathogen Associated
Molecular Pattern (PAMPs). TLP merupakan komponen membran lipoprotein pada semua
genus mikobakteria dan diduga merupakan indikator utama sekresi TNF-α dari makrofag.
IFN-γ yang diproduksi sel T dan sel NK merangsang makrofag meningkatkan sintesis TNF-α.
Sitokin pro inflamasi, antara lain TNF-α, IFN-γ, dan IL-1β dilaporkan berperan dalam
mekanisme reaksi kusta baik reaksi kusta tipe I (reaksi reversal) maupun reaksi kusta tipe 2
(termasuk ENL). Pada ENL, kadar TNF-α yang dilepaskan sel mononuklear darah tepi lebih
banyak dibandingkan penyakit lain. Di salah satu pihak TNF-α bekerja sinergis dengan IFN-γ
sebagai protektif imunitas dengan memperantarai terbentuknya granuloma dan menghambat
pertumbuhan M.leprae secara in-vitro. Dilain pihak, TNF-α menimbulkan kerusakan saraf
dan nekrosis jaringan. Pada percobaan klinis, injeksi intralesi IFN-γ untuk terapi penderita

5
kusta, didapatkan bahwa injeksi IFN γ 6–12 bulan dapat menimbulkan terjadinya ENL pada 6
dari 10 penderita kusta. Ternyata diketahui 6 dari penderita tersebut adalah penderita kusta
tipe LL, sedangkan sisanya adalah tipe BL atau LL subpolar. Hal ini menunjukkan bahwa
penderita kusta tipe BL atauLL subpolar tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan
sistem imunitas seluler, sehingga yang berperan adalah sistem imunitas humoral. Selain itu,
injeksi IFN-γ dapat menginduksi makrofag memproduksi TNF-α sehingga makrofag menjadi
lebih aktif. Hal ini dapat menjadi penjelasan mengenai terjadinya ENL setelah injeksi
menggunakan IFN-γ.11
ENL banyak terjadi saat pengobatan, dikarenakan banyak kuman kusta yang mati dan
hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah dan dapat melibatkan berbagai organ.2,14

3. Patogenesis Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)

Patogenesis fenomena Lucio belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan


terjadinya perubahan sel endotel pembuluh darah karena TNF-α menyebabkan pembentukan
trombus dan koagulopati, meningkatkan agregasi, dan perlekatan leukosit PMN sehingga
menyebabkan respon inflamasi langsung maupun melalui stimulasi endotel oleh IL-1.
Mekanisme ini berperan pada patogenesis vaskulitis sistemik disertai nekrosis pada ENL.
Perbaikan klinis ENL ditandai dengan penurunan suhu yang signifikan, hal ini dihubungkan
dengan penurunan kadar IL-1, IL-6, dan TNF-α. Sehingga disimpulkan bahwa IL-1, TNF-α,
dan IL-6 berperan pada imunopatogenesis demam.11

GAMBARAN KLINIS REAKSI KUSTA

Gambaran klinis tiap tipe reaksi kusta berbeda-beda. Gambaran klinis reaksi kusta
dilihat dari lesi kulit, saraf, dan organ lain, serta gejala sistemik. Berikut dijelaskan masing-
masing gambaran klinis reaksi kusta :

1. Gambaran Klinis Reaksi Kusta Tipe 1


a. Dekat kutub tuberkuloid: lesi kulit membengkak, edema, eritem, diikuti deskuamasi,
kadang ulserasi, diskret dengan tepi tebal infiltratif. Tidak semua lesi terlibat. Jika
penderita mengalami reaksi reversal, jarang ditemukan lesi baru. Jika mengalami reaksi
downgrading, timbul banyak lesi baru. Beberapa saraf yang terlibat membengkak, sangat

6
nyeri, dan sering terjadi parestesi. Hilangnya fungsi motoris terjadi cepat dan dapat
permanen. Gejala sistemik minimal, sering hanya edema pada tungkai atau wajah.1
b. Reaksi kusta di tengah-tengah spektrum: reaksi kusta pada tipe BB dapat sangat berat
karena berhubungan dengan pergeseran tipe kusta. Lesi kulit membengkak, eritema, saraf
bengkak, dan nyeri, diikuti penyebaran kerusakan saraf dengan parese yang ekstensif.
Gejala sistemik sering terjadi, seperti kelemahan, malaise, dan edem generalisata terutama
tangan, kaki, dan wajah.1
c. Dekat kutub lepromatosa : reaksi kusta tipe 1 yang timbul pertama kali pada kusta tipe BL
biasanya menunjukkan downgrading, paling sering pada penderita yang menunjukkan
gejala downgrading sebelumnya dan sekarang mulai mendapat terapi.1

Secara umum, pada reaksi kusta tipe 1 lesi kulit meningkat cepat, baik jumlah maupun
sifat, lesi menjadi merah, mengkilat, dan tegang. Timbul lesi baru dan seluruh tubuh dapat
terinfiltrasi.1 Morfologi lesi meliputi anular atau konsentris hingga perubahan ekzematosa.
Neuritis ringan hingga berat dapat membahayakan terutama lesi multipel. Contohnya pada LL
dan sebagian BL kerusakan serabut saraf nyeri tipe C akan mengurangi persepsi nyeri dan
pada kasus berat dapat kehilangan sensasi nyeri sama sekali yang disebut “stocking glove
pattern of sensory impairment”. Keterlibatan saraf motorik dapat terjadi pada lengan bawah
dan tungkai.10

Gambar 2. Reaksi kusta tipe 1 : A. Lesi pada penderita dengan reaksi delayed-type hypersensitivity (DTH), B.
Drop foot ireversibel pada kaki kiri. Kulit kemerahan pada kaki kiri berhubungan dengan hilangnya fungsi saraf
simpatik.9

Tabel 1. Manifestasi reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 1.3
No. Organ yang Terkena Reaksi Ringan Reaksi Berat
1 Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi Lesi yang ada menjadi eritematosa.
lebih eritematosa Timbul lesi baru yang kadang-
kadang disertai demam dan
malaise.
2 Saraf Membesar, tidak nyeri, fungsi Membesar, nyeri, fungsi terganggu.
tidak terganggu. Berlangsung >6 minggu
Berlangsung <6 minggu

7
2. Gambaran Klinis Reaksi Kusta Tipe 2

Reaksi kusta tipe 2 (ENL) dapat timbul spontan, tetapi paling sering pada penderita
yang mendapat pengobatan cukup untuk mengurangi indeks morfologi dibawah 5 %. Lebih
dari separuh penderita kusta tipe LL dan seperempat penderita kusta tipe BL dalam terapi
menderita reaksi kusta tipe 2.1

Reaksi ENL berupa nodul eritem, nyeri, superfisial hingga dermis, dapat mengalami
ulserasi mengeluarkan duh tubuh kuning kental mengandung basil tahan asam polimorfik,
tetapi steril pada biakan.1,9 ENL kronik ditemukan indurasi terutama di paha bagian ekstensor
dan lengan.1,5 Gejala sistemik ENL antara lain demam, penurunan berat badan, peningkatan
laju endap darah (LED), nekrosis serta lesi yang nyeri berhubungan dengan kadar sitokin pro-
inflamasi (TNF-α dan IL-1) serum yang tinggi.11

Gambar 3. Lesi ENL papular pada wajah penderita LL. Beberapa papul akan menyatu membentuk plak.9

Tabel 2. Manifestasi reaksi ringan dan berat reaksi kusta tipe 2.3

No. Organ yang Terkena Reaksi Ringan Reaksi Berat


1 Kulit Nodus sedikit, dapat berulserasi Nodus banyak, nyeri,
Demam ringan, malaise berulserasi
Demam tinggi, malaise
2 Saraf Saraf membesar Saraf membesar, nyeri
Tidak nyeri Fungsinya terganggu
Fungsi tidak terganggu
3 Mata Lunak, tidak nyeri Nyeri, penurunan visus dan
merah sekitar limbus
4 Testis Lunak, nyeri, dan membesar

Beberapa manifestasi berikut dapat terjadi yaitu iridosiklik, orkitis, daktilitis,


pembesaran saraf, dan limfadenopati yang nyeri.1,5,9 Kadang dapat terjadi nyeri hingga

8
bengkak pada otot dan sendi, epistaksis, dan nefritis akut dengan proteinuria.1,5 Demam, sakit
kepala, insomnia akibat nyeri dan depresi dapat mengganggu. Reaksi kusta tipe 2 tidak
seberat reaksi kusta tipe 1, karena sering hanya terbatas pada kulit. Neuritis dan iridosiklitis
memerlukan terapi antiinflamasi yang sebaik-baiknya.1 Neuritis saraf perifer dan uveitis
dengan komplikasi sinekia, katarak, dan glaukoma adalah komplikasi ENL paling serius.9

3. Gambaran Klinis Reaksi Kusta Tipe 3 (Lucio Phenomenon)

Lesi kulit reaksi kusta tipe 3 berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak
teratur, nyeri, terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematosa, disertai purpura dan bula, kemudian terjadi nekrosis serta ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut.2,9 Ketika berkembang penuh,
manifestasi Lucio’s leprosy meliputi infiltrasi difus pada kulit, berwarna keunguan menutupi
tangan dan kaki, telangiektasis, perforasi septum nasal, alopesia total alis dan bulu mata, dan
sering berupa stocking glove pattern pada kelainan sensoris.9

Gambar 4. Lucio’s phenomenon, lesi bulosa.4

TATALAKSANA REAKSI KUSTA

Penderita kusta yang mengalami reaksi perlu penanganan segera karena jika terlambat
dapat menyebabkan kecacatan, misalnya kebutaan. Prinsip pengobatan reaksi kusta antara lain
pemberian obat antireaksi, istirahat atau immobilisasi, pemberian analgetik dan sedatif untuk
mengatasi nyeri, serta obat antikusta diteruskan.3 Prinsip pengobatan reaksi kusta bertujuan
untuk mengatasi neuritis akut, mencegah anestesi, paralisis, kontraktur, mencegah kebutaan
(jika mengenai mata), mengontrol nyeri, membunuh basil, dan mencegah perluasan
penyakit.1,3,9 Jika tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta dosis penuh tetap diberikan

9
bertujuan untuk membunuh kuman agar tidak meluas, mencegah resistensi, dan menghindari
timbulnya reaksi kusta pada waktu obat antikusta diberikan kembali.3

Terapi anti-inflamasi :

Terapi reaksi kusta dibagi berdasarkan derajat keparahan penyakit, yaitu :

1. Reaksi ringan
Obat anti-inflamasi yang diberikan pada reaksi ringan antara lain aspirin, klorokuin,
antimonial, talidomid, dan pentoxyfilin. Penjelasan mengenai indikasi, dosis, dan efek
samping tiap obat anti-inlamasi tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
A. Aspirin

Aspirin merupakan obat terbaik dan murah untuk mengontrol nyeri sedang dan
peradangan, dosis 600-1200 mg diberikan 4-6 kali sehari. Efek samping berupa gangguan
gastrointestinal.1,3

B. Klorokuin

Klorokuin mempunyai sifat anti-inflmamasi, paling baik, dan mudah didapat,


dosis 150 mg diberikan sampai 3 kali sehari. Efek toksik klorokuin adalah rash terutama
fotosensitisasi, gatal, gangguan gastrointestinal, gangguan visus, dan tinnitus. Kombinasi
aspirin dan klorokuin lebih baik dibanding diberikan tunggal.1,3

C. Antimonial

Antimonial adalah anti-inflamasi untuk reaksi ringan. Efek toksik berupa rash,
nyeri sendi, bradikardi, hipotensi, dan perubahan elektrokardiografi. Antimoni trivalent
organik kurang toksik dibanding senyawa inorganik dan lebih dipilih. Contohnya
Stibofen (mengandung 8,5 mg/ml), diberikan 2-3 ml secara intramuskular, selang sehari.
Dosis total tidak boleh lebih dari 30 ml.1,3

D. Talidomid
Talidomid adalah obat anti-inflamasi, digunakan untuk reaksi kusta tipe 2,
termasuk iridosiklitis dan neuritis. Diberikan 400 mg/hari sebelum tidur atau 4 x 100 mg,
sampai reaksi terkontrol, kemudian diturunkan bertahap sampai 50 mg/hari.1,3 Sumber
lain mengatakan jika ENL mengalami perbaikan dosis diturunkan sampai 100 mg/hari
setiap bulan.11,13 Dosis ini bersifat sedatif pada beberapa penderita, dan beberapa

10
penderita mengeluh efek samping sistem saraf pusat. Oleh karena itu penggunaan dosis
tinggi hanya untuk jangka pendek atau pada kasus ringan penatalaksaan dimulai dari
dosis rendah, seperti 100-200 mg/hari. Pada kasus episode akut ENL, obat dihentikan
setelah beberapa minggu sampai bulan. Pada reaksi kusta tipe 2 kronik, pengobatan
dihentikan setiap 6 bulan.4 Talidomid mempunyai efek teratogenik (pokomelia pada
bayi), sehingga tidak diberikan pada wanita premenopause, namun jarang ditemukan di
Indonesia.1,3,4,5 Untuk itu sebaiknya dipastikan dengan tes kehamilan terlebih dahulu,
diulang tiap 1 minggu dengan diresepkan talidomid selama 1 bulan.11 Talidomid
diberikan malam hari karena mempunyai efek samping mengantuk. Selain itu, talidomid
juga dapat menyebabkan sakit kepala dan neuritis perifer.1,3,11,13
Talidomid adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan ENL. Talidomid bekerja
sebagai anti inflamasi kuat. Talidomid merupakan analog racemic glutamic acid terdiri
dari enantiomer R dan S-talidomid. Dua enantiomer ini memiliki efek berbeda, salah
satunya memiliki efek supresi yang lebih poten terhadap pelepasan TNF-α dari sel darah
tepi, sementara yang lain memiliki efek sedatif. Mekanisme talidomid ini masih belum
jelas, tetapi TNF-α, IFN-γ, IL-10, IL-12, siklooksigenase-2 dan mungkin pro-inflamasi
faktor trankripsi (NF-γB) menjadi target kerja talidomid. Salah satu dugaan mekanisme
kerja talidomid adalah efek penekanan TNF-α yang poten. Pada studi in-vitro
menunjukkan bahwa M. leprae dapat menginduksi aktivasi NF-γB pada sel Schwann,
sehingga menekan faktor transkripsi oleh TNF-α. Kondisi inilah yang dapat dihambat
oleh talidomid. Studi terbaru mengatakan bahwa talidomid menghambat respon
Immunoglobulin G (IgG) dan menyebabkan apoptosis neutrofil yang terlibat pada
patofisiologi ENL.11

E. Pentoxifyllin (PTX)
PTX adalah derivat methylxanthine yang memiliki aktivitas hemoragik dan
digunakan pada kondisi adanya defek mikrosirkulasi serta di mana TNF-α berperan.
Pemberian PTX oral pada penderita ENL dapat menghambat produksi TNF-α secara in-
vivo dan in-vitro. Hambatan pada TNF-α terjadi melalui stimulasi produksi IL-10, di
mana IL-10 dapat menghambat sitokin yang disintesis di monosit, antara lain TNF-α, IL-
1, IL-6, IL-8, dan IL-12. PTX diberikan 400 mg tiap 8 jam. PTX memberikan perbaikan
klinis signifikan bila digunakan lebih dari dua minggu. Studi double-blind di Brazil
menunjukkan bahwa dosis PTX 1200 mg/hari untuk pengobatan ENL tidak se-efektif
dibandingkan dengan dosis talidomid 300 mg/hari. Walaupun pengobatan dengan PTX
11
lebih inferior dibandingkan talidomid, namun PTX dapat digunakan pada wanita usia
reproduktif karena tidak ada efek teratogenik serta dapat diberikan pada penderita yang
tidak dapat mentoleransi kortikosteroid. Kekambuhan dapat terjadi dalam satu bulan
setelah PTX dihentikan.11

2. Reaksi berat
Reaksi berat adalah reaksi kusta disertai dengan paralisis atau anestesi, ulserasi
kulit, iridosiklitis atau orkitis.1 Reaksi berat merupakan kedaruratan medis, maka anti-
inflamasi harus segera diberikan. Obat yang diberikan antara lain kortikosteroid,
klofazimin, analgetik, antipiretik, pembedahan, pembebatan dan latihan, serta antibakterial.
Berikut dijelaskan tatalaksana reaksi kusta berat :
A. Kortikosteroid

Kortikosteroid menekan fungsi monosit/makrofag dan menurunkan sirkulasi


thymus-derived lymphocytes (T-cells), terutama limfosit Th, dan menghambat pelepasan IL-
1 dan IL-2 yang berguna untuk aktivasi dan stimulasi proliferasi limfosit. Selain itu,
kortikosteroid juga menghambat transport limfosit ke tempat stimulasi antigen dan
menghambat produksi antibodi.14 Pada reaksi kusta tipe 1 diberikan prednison atau
prednisolon dosis tunggal 40-80 mg/hari tergantung berat penyakit. Dosis yang tinggi
setelah beberapa hari diturunkan menjadi 40 mg/hari, setelah itu dosis secara bertahap
diturunkan 5-10 mg setiap 2-4 pekan tergantung respon, diakhiri menjadi 10 mg/hari yang
diberikan selang sehari (alternate dose) paling sedikit selama 2 pekan.1,4 Kortikosteroid
oral rekomendasi WHO adalah prednisolon, dimulai dengan dosis 0,5–1 mg/kg/hari (40–60
mg/hari) sampai terjadi perbaikan klinis, kemudian diturunkan 5–10 mg/hari setiap minggu
selama 6–8 minggu. Dosis perawatan 5–10 mg/hari dapat diberikan beberapa minggu
untuk mencegah kekambuhan ENL. Depkes RI menyarankan penggunaan prednison
dengan dosis 0,5 mg/kg/hari (dapat diberikan sebagai kombinasi dengan PTX), bila telah
terjadi perbaikan klinis, dosis prednison diturunkan perlahan dan PTX dilanjutkan hingga
2–3 bulan.11 Prednison merupakan kortikosteroid potensi sedang dengan waktu paruh 12-
36 jam. Pemakaian kortikosteroid harus memperhatikan kontraindikasi, seperti TB, tukak
lambung berat, dan infeksi berat pada ekstremitas yang memburuk.5 Neuritis dan lesi pada
mata adalah indikasi segera terapi steroid sistemik. Abses saraf membutuhkan drainase
segera untuk mengembalikan fungsi saraf.4 WHO dan Depkes RI menyatakan bahwa
reaksi kusta tipe 2 berat diterapi dengan dosis standar kortikosteroid prednisolon/prednison

12
dengan dosis maksimal 1 mg/KgBB/hari selama 12 minggu dan dosisnya diturunkan
secara bertahap.15 Keadaan lain yang mempengaruhi dosis awal pemberian kortikosteroid
adalah kehamilan dan anak-anak, keduanya mendapat dosis lebih rendah daripada dosis
kortikosteroid untuk dewasa sehat tanpa komplikasi (40 mg/hari). Neuritis yang tidak
berespon baik terhadap kortikosteroid dosis tertentu maka Depkes RI menyarankan untuk
memberikan dosis awal kortikosteroid ekuivalen dengan 50-60 mg prednison.15
Penderita kusta BT dengan reaksi umumnya memerlukan steroid selama 2-6 bulan,
sedang tipe BL dengan reaksi perlu waktu sampai 9 bulan. Penggunaan di lapangan dengan
dosis 40 mg/hari, diturunkan 5 mg setiap 3 pekan terbukti aman dan menolong.1

Pada reaksi kusta tipe 1, jika diberikan DDS dan kortikosteroid, dan setelah
beberapa pekan dosis steroid tetap tinggi, DDS diganti dengan klofazimin.1 Pada reaksi
kusta tipe 2, kerusakan saraf tidak secepat reaksi kusta tipe 1, dan talidomid merupakan
drug of choice. Jika terdapat kontraindikasi terhadap talidomid, digunakan prednison
dengan dosis awal 20-40 mg/hari, tergantung respon penyakit. Peningkatan dosis
klofazimin dapat membantu untuk menurunkan dosis steroid. Efek samping steroid adalah
retensi air dan garam, hipertensi, sindroma Cushing, osteoporosis, diabetes, kelemahan
otot, dan ulkus peptikum serta flare up infeksi tuberkulosis.1

Tabel 3 . Panduan pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta.1,2


Pausibasiler (PB) Multibasiler
Pekan Dosis Prednisolon Pekan Dosis Prednisolon
1-2 40 mg/hari 1-4 40 mg/hari
3-4 30 mg/hari 5-8 30 mg/hari
5-6 20 mg/hari 9-12 20 mg/hari
7-8 15 mg/hari 13-16 15 mg/hari
9-10 10 mg/hari 17-20 10 mg/hari
11-12 5 mg/hari 21-24 5 mg/hari
Total : 12 pekan 24 pekan

B. Klofazimin

Klofazimin merupakan turunan fenazin iminoquinon yang memiliki efek bakterisidal


setelah 50 hari terapi pada penderita kusta.5 Selain itu, klofazimin memiliki efek anti-radang
ringan untuk mengobati ENL.5,13 Klofazimin bekerja dengan berikatan pada GC-rich
mycobacterial DNA, meningkatkan aktivitas A2 phospolipase, dan menghambat transport
K+.15 Awitan kerjanya lambat, yaitu 2-3 minggu. Absorbsi klofazimin dari usus bervariasi dan
dieksresikan paling banyak melalui feses. Klofazimin disimpan di jaringan retikuloendotelial
dan kulit.16 Klofazimin merupakan pilihan terapi untuk ENL berat dengan episode berulang

13
(≥2 kali) yang dapat menyebabkan ketergantungan kortikosteroid.5 Klofazimin pada reaksi
reversal kurang efektif, sehingga jarang atau tidak pernah digunakan. Klofazimin tersedia
dalam kapsul 100 mg.5 Penggunaan klofazimin diindikasikan untuk reaksi kusta dimana dosis
steroid tidak dapat diturunkan, atau ENL yang berlanjut dan tidak dapat dipakai talidomid.
Dosis klofazimin mula-mula 300 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 2 pekan, diturunkan
menjadi 200 mg/hari selama 1-2 bulan, lalu 100 mg/hari tergantung respon, dan kembali ke
dosis klofazimin semula, 50 mg/hari.1,2 Pemakaian dosis tinggi tidak lebih dari 12 bulan. Efek
samping klofazimin antara lain diskolorisasi kulit, dari merah sampai ungu kehitaman,
infiltrasi kusta, urin, sputum, dan keringat menjadi merah muda, dan gangguan
gastrointestinal dari kram ringan sampai diare akibat deposisi kristal klofazimin pada dinding
usus halus, serta iktiosis pada lengan dan tungkai bawah.5,10,13 Perubahan warna kulit akan
menghilang 3 bulan setelah obat dihentikan.5 Kombinasi pentoxifyllin 400-800 mg 2 kali
sehari dan klofazimin 300 mg/hari digunakan pada kasus ENL yang tidak dapat diberikan
talidomid atau untuk mencegah penggunaan steroid sistemik dalam mengatasi ENL berat.4

C. Terapi Analgetik dan Antipiretik

Analgetik dan antipiretik per oral seperti parasetamol dan metampiron diberikan untuk
mengurangi gejala demam atau nyeri sendi pada penderita reaksi reversal dan ENL.5 Pada
reaksi berat, aspirin diberikan bersama steroid jika nyeri tidak terkontrol, terutama dipakai
pada ENL kronik. Jika terdapat cemas, diberikan klorpromazin 25-50 mg sehari sampai 3 kali.
Opiat jarang dipakai karena takut terjadi adiksi. Nyeri menetap merupakan indikasi pemberian
steroid, klofazimin dosis tinggi atau pembedahan. Suntikan lignokain dan prednison dapat
mengurangi nyeri pada neuritis akut, namun dapat menyebabkan kerusakan saraf dan jaringan
parut, maka hendaknya dihindari.1

D. Pembedahan

Jika terjadi abses saraf, dapat diaspirasi atau diinsisi sepanjang aksis saraf. Pada
episode neuritis, terjadi peningkatan volume cairan di saraf, epineurium menjadi menebal dan
jaringan sekitarnya membengkak. Jika terapi steroid tidak menghilangkan nyeri, maka
dipertimbangkan tindakan pembedahan.1

14
E. Pembebatan dan latihan

Pada reaksi berat, imobilisasi tungkai dan lengan dapat mengurangi nyeri. Pembebatan
yang baik membantu tungkai dan lengan tetap berfungsi. Bila tidak dibebat dapat terjadi
kontraktur. Bebat dapat dibuka saat latihan.1

F. Terapi antibakterial
Terapi antibakterial harus dilanjutkan selama infeksi masih ada. Pada reaksi kusta tipe
2, jika terjadi ulserasi mukosa traktus respiratorius atas, dapat diberi streptomisin.1

Lucio’s phenomenon

Kemoterapi yang mengandung rifampisin sangat penting, dapat mengontrol dengan


cepat pada penderita yang belum pernah mendapat pengobatan antikustsa. Talidomid dan
klofazimin tidak efektif.1,3,4 Steroid diberikan seperti pada reaksi kusta tipe 2.1,3,4,8

Tabel 4. Perbedaan reaksi kusta tipe 1, 2, dan 3.

No Indikator Reaksi Kusta


Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3
1 Gambaran lesi Lesi kulit meningkat cepat, Nodul eritem, nyeri, Plak/infiltrat difus,
baik jumlah maupun sifat, lesi superfisial hingga dermis, merah muda, bentuk
menjadi merah, mengkilat, dapat mengalami ulserasi tidak teratur, nyeri,
dan tegang. mengeluarkan duh tubuh terutama di ekstremitas,
kuning kental mengandung kemudian ke seluruh
Timbul lesi baru dan seluruh basil tahan asam tubuh.
tubuh dapat terinfiltrasi.1 polimorfik, tetapi steril Lesi yang berat tampak
lesi anular/konsentris hingga pada biakan lebih eritematosa,
perubahan ekzematosa. disertai purpura dan bula,
kemudian terjadi
Neuritis ringan hingga berat nekrosis serta ulserasi
yang nyeri.
Lesi lambat sembuh dan
terbentuk jaringan
parut.2,10
2 Gejala sistemik Tidak ada atau minimal Ada, berupa demam, BB↓,
(edem tungkai atau wajah) LED↑, nekrosis serta lesi
yang nyeri.
3 Pergeseran tipe Ada Tidak ada Tidak ada
kusta
4 Tipe kusta Paling banyak pada tipe BB, Terjadi pada tipe LL, dan Hanya terjadi pada LL
BT, dan BL sebagian BL
5 Tipe Reaksi hipersensitivitas tipe 4 Reaksi hipersensitivitas
hipersensitivitas tipe 3
6 Tatalaksana Ringan : Kemoterapi yang
Antiinflamasi (aspirin, klorokuin, talidomid, antimonial, mengandung rifampisin
pentoxyfilin) pada penderita yang
Berat : belum pernah mendapat
- Kortikosteroid Pembedahan pengobatan antikustsa.
- Klofamizin Pembebatan dan latihan Steroid diberikan seperti
- Analgetik antipiretik Antibakterial pada reaksi kusta tipe 2

15
RINGKASAN

Reaksi kusta adalah peradangan episode akut dalam perjalanan klinis penyakit kusta
ditandai dengan reaksi radang akut yang kadang disertai gejala sistemik. Secara umum
dikenal tiga macam reaksi kusta, yaitu reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal), disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, dan reaksi kusta tipe II (reaksi ENL),
merupakan reaksi hormonal, serta reaksi kusta tipe III (Lucio’s phenomenon) yang hanya
ditemukan di Amerika Latin. Faktor utama patogenesis reaksi adalah kuman M. leprae yang
mati, misalnya karena pengobatan akan bersifat sebagai antigen baru yang memicu respon
imun sehingga terjadi reaksi kusta.

Terapi medikamentosa yang utama dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah dengan
pemberian kortikosteroid sebagai antireaksi. Prinsip penatalaksanaan reaksi kusta adalah
mengontrol neuritis akut untuk mencegah anestesi, paralisis, dan kontraktur, serta
menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kecacatan. Penderita disarankan untuk
istirahat dan imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat dapat
mengurangi kecacatan permanen pada pendertita kusta.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kertowigno S. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Palembang: Unsri Press FK Unsri.


2012. Hal. 181-205.

2. Kosasih A, Wisnu IM, Daili E, Menaldi S. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p.73-88

3. Daili E, Menaldi S, Ismiarto, Nilasari H. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
Hal.75-82.

4. James WD, Berger TG, Elston DM. Editors. Andrews’ Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. Edisi ke-11. Newyork: Saunders Elseiver. Sauders Elsivier, 2011.
p.334-43.

5. Ramaswari N. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum pada


Penyakit Kusta. J Cont Professional Dev 2015;42[9]: 654-57.

6. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record: Global Leprosy Update


2014. Geneva 2015; 90[36]: 461-76.

7. Laporan dan kunjungan pasien Poliklinik Dermatologi Infeksi Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin periode Agustus 2011 - Agustus 2016. Palembang: RS Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.

8. Silva MR, Castro MCR. Sec 12 Infection, Infestations, and Bites: Mycobacterial
Infections. Dalam : Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology Second Edition.
Spain: Elsevier. 2008 p.1107-14.

9. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In : Wolff K, Goldsmith LA, Stephen I, Kat SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Vol 2. 8th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2012 p.2253-62

17
10. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology, Eight
Edition, Volume 2. Singapura: Blackwell Publishing 2010 p. 29.1-32.19

11. Prameswari R, Listiawan MY, Prakoeswa CRS. Peran TNF-α pada Imunopatogenesis
ENL dan Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL. BIKKK. 2012; 24[1]: 43-8.

12. Pratamasari MA, Listiawan MY. Studi Retrospektif: Reaksi Kusta Tipe 1. BIKKK. J
Period of Dermatol Venereol 2015; 27[2]: 137-43.

13. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy Type 1 Reaction and Erythema
Nodosum Leprosum. J AN Bras Dermatol 2008; 83(1): 75-82.

14. Neal MJ. Medical Pharmacology at a Glance. Fourth Edition. Great Britain: Blackwell
Science. 2002 p.73.

15. Listiyawati IT, Sawitri, Agusni I, Prakoeswa CRS. Terapi Kortikosteroid Oral pada
Penderita Baru Kusta dengan Reaksi Tipe 2. BIKKK. J Dermatol and Venereol. 2015
27[1]: 48-54.

16. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. 11th Edition.
Cina : McGraw-Hill. 2009 Chapter 47 Antimycrobial Drugs.

18

Anda mungkin juga menyukai