Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Demam Tifoid

II.1.1 DEFINISI

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem

retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan terutama

oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.5

Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang

disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. 6

Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa

keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke

dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.7

II.1.2 EPIDEMIOLOGI

Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat

terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalensi penyakit yang sesungguhnya

sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000,

estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus

tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa

penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis

yang tidak akurat.8 Hampir 80% kasus dan kematian terjadi di Asia. Tingkat serangan

setinggi 1.100 kasus per 100.000 penduduk telah didokumentasikan di negara berkembang.1

3
Center for Disease Control and Prevention Indonesia melaporkan prevalensi demam

tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan

pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitasnya bervariasi antara 3,1-10,4% pada pasien rawat

inap.2 Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun,

yaitu 180,3 per 100,000 penduduk. Berdasarkan data surveilens, di Sulawesi Tengah terdapat

5091 kasus demam tifoid diantara 2.729.227 penduduk dan menempati urutan ke tujuh dalam

sepuluh besar penyakit pada tahun 2012. Kasus demam tifoid paling banyak ditemukan pada

kelompok usia 5-9 tahun, yaitu 1066 kasus.1

Demam tifoid juga mempunyai angka kejadian yang tinggi, di Kalimantan Selatan

pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Tingkat I terdapat 1936 kasus/1000

penduduk,1 sedangkan di Indonesia berdasarkan data dari rumah sakit angka kejadiannya

sebesar 500/100 000 populasi, 78% di antaranya merupakan kasus anak.3

Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai

penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan dan prevalensi

penyakit ini di Kalimantan Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar 1,95% RSUD dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2013 angka kejadian demam typhoid yaitu 193

kasus yang terjadi pada anak umur <1 tahun-14 tahun. Data di ruangan anak Alexandri

RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2014 angka kejadian demam

tyhpoid mengalami peningkatan yaitu 273 kasus.9

Dilaporkan jumlah penderita demam tifoid di rumah sakit–rumah sakit Kalimantan

Selatan tahun 2010, khususnya pasien anak yang dirawat ada sekitar 521 kasus, yaitu 26%

dari total semua pasien anak yang dirawat di RSUD Ratu Zaleha, Martapura. Penderita

demam tifoid di ruang anak (Sedap Malam) RSUD Ulin, Banjarmasin pada tahun 2011

4
berjumlah 136 pasien. Jumlah ini menduduki peringkat ke-2 dari 10 penyakit terbanyak

instalasi rawat inap non bedah.2

Penderita demam tifoid anak yang paling banyak adalah laki-laki. Hal ini sesuai

dengan penelitian sebelumnya bahwa laki-laki lebih rentan terkena demam tifoid dikaitkan

dengan aktivitas laki-laki yang lebih sering di luar rumah yang memungkinkan laki-laki

beresiko lebih besar terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan dengan perempuan.1

II. 1. 3 ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,

Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika

penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan

pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.10

Bakteri Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :


5
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup

2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella, bersifat

spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida, berada di kapsul. Berhubungan dengan daya

invasif bakteri dan efektifitas vaksin.

Endotoksin merupakan bagian terluar dinding sel terdiri dari:

a. antigen O yang sudah dilepaskan

b. lipopolisakarida

c. lipid A.11

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga

macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

Ada 3 spesies utama yaitu :

- Salmonella typhosa (satu serotype)

- Salmonella choleraesius (satu serotype)

- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)

II.1.4 PATOGENESIS

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa

tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap

asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di

usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan

mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola

intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk

ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini

6
dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang

negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan

menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial,

yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam

makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem

peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya

periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit

kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak

diobati dengan antibiotik.6

Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung

empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat

terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi

perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila

kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk

berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai

pembawa kuman atau carrier.6

Patofisiologi demam typhoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti

organisme yaitu:12

(1) Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’spatch,

(2) Mikroorganisme bertahan hidup dan bermultiplikasi dimakrofag Peyer’s patch,

nodus limfatikus mesenterikus dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial,

(3) Mikroorganisme bertahanm hidup di dalam aliran darah,

7
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar CAMP di dalam/kripta usus dan

menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka mikroorganisme

akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Propia

mikroorganisme berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Mikroorganisme dapat hidup

dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke Plak Peyeri ileum Distal

kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.12

II.1.5 MANIFESTASI KLINIS 8

Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada

populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit dengan demam

tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa

demam tifoid dapat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang

secara klinis tidak tampak seperti tifoid.

Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis infeksi,

yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan antimikroba,

umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang

tertelan, dan beberapa faktor dari status imun pejamu.

Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14

(kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada

umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam,

gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia.

Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.

Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan gejala
8
yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Demam akan meningkat

secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap (39-40

derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm,

dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada.

Gambar 2. Manifestasi klinis demam tifoid dengan biakan darah positif di RSCM
tahun 2008-2011.

II.1.6 DIAGNOSIS

1) Anamnesis 13

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu)

atau Remiten pada minggu kedua.Demam terutama sore / malam hari,sakit kepala,nyeri otot,

anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-

2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus

atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat

menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak

dan menyebabkan meningitis.Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran

9
klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan

dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi

usus.

Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri

perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai

penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.7,14

2) Pemeriksaan Fisik7,14

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan rata-rata antara

10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi

disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama

sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus

yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian

naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.

Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara

lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.

Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif

(peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah

yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa

somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.

3) Laboratorium

10
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan biakan

empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal perjalanan

penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama

infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah.8 Kultur darah (biakan empedu) positif. Dalam

keadaan normal darah bersifat steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah.

Ditemukannya bakteri dalam darah disebut bakteremia. Pasien dengan gejala klinis demam

tiga hari atau lebih dan konfirmasi hasil biakan darah positif S. typhi paratyphi dapat

dijadikan sebagai diagnosa pasti demam tifoid.13

Di negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas,

menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,

namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan

masyarakat.8

a. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang rendah

sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit

bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3.

Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi

intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang

bermakna jarang ditemukan.8

b. Pemeriksaan widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi dan

sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satu satunya pemeriksaan penunjang di

11
daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi

antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat

dalam serum demam tifoid, juga pada orang yang pemah ketularan Salmonella dan pada

orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Pada umumnya antibodi O meningkat

di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 8,13

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa

faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik

laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan

riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas

antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan

positif demam tifoid.8

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, da nilai prediksi

positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang

dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah

endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial

yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya

dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki

nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat

berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid

di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru

sembuh dari demam tifoid.8

c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah 8

12
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang

mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade ini,

pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang.

Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain:

liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence

[Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki

sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah

positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi

(Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar

70% dan 80%.

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit

dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap

sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara

hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan

sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.

13
d. Pemeriksaan PCR 8

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan waktu

kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding

pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap

S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested polymerase

chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen

spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang

menjanjikan. 1 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat

dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan

tinja 15/22 (68.1%).

e. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin 8

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D

Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun

pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA


14
menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H),

dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada

akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9

pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90%

sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid,

terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam.

f.Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S. typhi

dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid.

Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada

minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid.8

4) Radiologi 15

a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia

b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau

perdarahan saluran cerna.

c. Pada perforasi usus tampak:

- Distribusi udara tak merata

- Airfluid level

- Bayangan radiolusen didaerah hepar.

Secara umum, menurut pedoman pengendalian demam tifoid tahun 2006 diagnosis dibagi

menjadi 3 yakni:16

A. Diagnosis klinis (Yang didapatkan dari anamnesis maupun pemeriksaan fisik)

Diagnosis klinis diklasifikasikan menjadi :

15
-suspek demam tifoid ( jika belum ada hasil laboratorium tetapi anamnesis dan gejala

menunjang)

-demam tifoid klinis (sudah ada hasil lab disertai anamnesis dan pemeriksaan fisik

menunjang.

B. Diagnosis Etiologi

yakni kegiatan untuk mendeteksi basil Salmonella dalam darah atau sumsum tulang,

jika hasil positif ditemukan basil Salmonella maka diagnosis dapat ditegakkan pasti.

C. Diagnosis Komplikasi

Diagnosis tifoid dengan komplikasi yang didapatkan secara klinis dan dibantu dengan

laboratorium maupun radiologi.

II.1.7.TATALAKSANA

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana

umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai

pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan

kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella

typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller

dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.17

A. Tatalaksana umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid

selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun

parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila

ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak

penderita demam tifoid.17

16
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 %

pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan

pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi

anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.

B. Tatalaksana antibiotik

Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara

berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga

faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid

pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat

antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin,

levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah

timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam

pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi

yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini

berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-

sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah

memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas

pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun

alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang

membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.17

17
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam

tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau

obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya

untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa

kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari

ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan

dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila

digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam

oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak. Namun

Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia

aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya

leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya

18
angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk

mengobati karier S. Typhi.17

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia masih sangat

endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok Indonesia dengan

higienitas masyarakatnya yang masih sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya

jangkauan pelayanan kesehatan yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam

tifoid ini, khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya

pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.17

Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat demam tifoid,

walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah kloramfenikol. Umumnya

digunakan pada penderita demam tifoid dengan leukopenia yang tidak mungkin diberikan

kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada

amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan dengan

pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin- Asam klavulanat tidak

diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral selama 14 hari sama

efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang resisten

terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.

19
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol

dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan

pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak

digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat

ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat

antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi

ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk

kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat

ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi

yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1. Azitromisin dengan dosis 10

mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik

pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip

dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam

tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat

ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.17

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim

diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik

untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin

generasi ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat

seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai

terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim. Pemberian seftriakson

sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan

relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.17

20
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk

siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang

optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa

negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini

banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah

banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon. Penggunaannya pada

anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang

rawan pada anak, sehingga disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai

obat demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau

kasus yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya

menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan

resikonya.17

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan

dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari

dalam 3 dosis peroral atau trimetropimsulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan

angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam

tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid, beberapa obat

dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua

obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.17

21
Dari 37 sampel darah penderita demam tifoid di Bagian Anak RSUD Ulin

Banjarmasin didapatkan 20 isolat positif Salmonella typhi dan telah dilakukan uji sensitivitas

terhadap 3 jenis antibiotik yaitu kloramfenikol, amoksisilin, dan kotrimoksazol. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Salmonella typhi sensitif terhadap kloramfenikol, (65%);

amoksisilin, (15%); dan kotrimoksazol, (80%); resisten terhadap kloramfenikol, (10%);

amoksisilin, (85%); dan kotrimoksazol, (20%); dan intermediat terhadap kloramfenikol,

(25%). Hasil penelitian ini menunjukkan antibiotik kloramfenikol dan kotrimoksazol masih

sensitif terhadap kuman Salmonella typhi, sedangkan amoksisilin sudah resisten.2

22
Perbedaan hasil persentase sensitivitas dan resistensi dengan penelitian-penelitian

sebelumnya terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi munculnya bakteri yang resisten

terhadap antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diakibatkan dari pemakaian

antibiotik dalam jangka waktu yang relatif lama dan terus-menerus, sehingga memungkinkan

bakteri tersebut hapal dengan cara kerja antibiotik tersebut dan dapat membentuk mekanisme

pertahanan diri apabila nantinya diserang oleh antibiotik yang sama. Berbeda halnya dengan

penggunaan antibiotik yang baru atau yang jarang digunakan dalam pengobatan, maka bakteri

memerlukan waktu yang lama untuk membuat mekanisme pertahanan terhadap antibiotik yang

baru, sehingga antibiotik itu masih tergolong sensitif. Faktor kepatuhan dari diri pasien dapat

mempengaruhi terjadinya resistensi antibiotik jika pasien tidak memiliki kepatuhan dalam

mengkonsumsi antibiotik dengan benar, oleh karena itu diharapkan para dokter/klinisi lebih

mempertimbangan dalam memberikan antibiotik serta memberikan penyuluhan secara singkat

kepada keluarga pasien.2

II.1.8. KOMPLIKASI

Komplikasi Intestinal:

a. Perdarahan intestinal

Pada plak peyeri, usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk

tukak atau luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka

menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya

bila tukak menembus dinding usus maka dapat terjadi perforasi. Selain karena faktor luka,

perdarahan dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.

Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak

membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami

syok. Secara klinis, perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan

23
sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan

terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32 %, bahkan ada yang melaporkan sampai

80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka

tindakan bedah perlu dipertimbangkan.18

a. Perforasi Usus

Biasanya timbul pada minggu ketiga, terjadi pada 3% pasien yang dirawat. Penderita

demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat. terutama di daerah kuadran

kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda

ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan

karena adanya udara bebas di abdomen. 12

Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan

dapat terjadi syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya

perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada

rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup

menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat

meningkatkan frekuensi terjadinya perforasi adalah umur (20-30 tahun), lama demam,

modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.12

2. Komplikasi Ekstra-intestinal

a. Komplikasi Hepatobilier

- Hepatitis Tifosai.

- Ikterus pernah dilaporkan pada penderita demam tifoid, karena adanya hepatitis,

cholangitis, cholecystitis dan hemolisis.

- Pankreatitis Tifosa.12

24
b. Komplikasi pada jantung

- Miokarditis

- Perikarditis.19

c. Komplikasi Hematologi

- Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibriogenemia, peningkatan waktu

prothrombin, peningkatan waktu thromboplastin parsial, peningkatan produk degradasi fibrin

sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien

demam tifoid.12

Anemia dapat terjadi pada penderita demam tifoid dan disebabkan antara lain karena

pengaruh berbagai sitokon dan mediator sehingga terjadinya depresi sumsum tulang dan

penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan langsung pada eritrosit yang

tampak sebagai hemolisis ringan. Selain itu anemia bisa disebabkan karena perdarahan pada

usus halus. Pengaruh depresi sumsum tulang yang lain adalah leukopeni dan trombositopeni.

Trombositopeni juga bisa terjadi karena meningkatnya destruksi trombosit di sistem

retikuloendotelial.12

d. Komplikasi Neuropsikiatrik / Tifoid Toksik

- Rigidity/ Transient Parkinsonism, sindrom otak akut delirium dengan atau tanpa kejang,

semi-koma atau koma, Parkinson, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia

sitotoksik, ensefalomielitis, meningitis.20

e. Komplikasi pada Paru

- Pneumonia, empiema, pleuritis.12

f. Komplikasi ginjal

- Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.21

g. Komplikasi Muskuloskeletal
25
- Pada otot biasanya terlihat degenerasi Zenker, terutama pada dinding abdomen.

- Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis, polimiositis

Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit lebih dari 2

minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi saluran cerna (10%) dan

ensefalopati tifoid (10-40%).8

II.1.9. PENCEGAHAN 6

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan

minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan

tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi

pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di

atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke

daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:

• Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara

subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk

revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.

• Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak

usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik

dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan

memberikan efikasi perlindungan 67-82%.

• Vaksin Vi-conjugate

26
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi

perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetap selama 46

bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

II.2. Gizi buruk marasmus

Gizi buruk berat dapat dibedakan tipe marasmus, tipe kwashiorkor, dan tipe maramus-

kwashiokor. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema

pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status mental, rambut tipis

kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah

membulat dan sembab, pandangan mata sayu, pembesaran hati, kelainan kulit berupa bercak

merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas,

cengeng, dan rewel. Tipe marasmus ditandai degan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti

orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang

iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput. Tipe marasmus-kwashiokor adalah gabungan

beberapa gejala klinik kwashiorkor – marasmus.22

Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan dan

sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak

(berat, tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka standar (anak

normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan

dengan umur anak, tinggi dibandingkan dengan umur anak dan berat dibandingkan dengan

tinggi/panjang anak.22

Pada gizi buruk terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti jumlah dan

distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih

banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Nutrisi
27
berperan penting dalam penyembuhan penyakit. Kesalahan pengaturan diet dapat

memperlambat penyembuhan penyakit. Dengan nutrisi akan memberikan makanan-makanan

tinggi kalori, protein dan cukup vitamin-mineral untuk mencapai status gizi optimal. Nutrisi

gizi buruk diawali dengan pemberian makanan secara teratur, bertahap, porsi kecil, sering

dan mudah diserap. Frekuensi pemberian dapat dimulai setiap 2 jam kemudian ditingkatkan 3

jam atau 4 jam.23

Hubungan demam tifoid dengan gizi buruk

Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 5 -9 tahun karena pada usia tersebut

orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk

dengan pekerjaan dan kemudian kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka

cenderung lebih memilih makan di luar rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada

anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri

Salmonella thypii banyak berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka

tertular demam tifoid. Pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang memperhatikan

kebersihan atau hygiene perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena

ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular

penyakit demam tifoid.24

Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang di hasilkan dari asupan,

penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik

yang mungkin terjadi karena adanya patologi. Selama ini status gizi menjadi masalah besar di

negara berkembang, termasuk Indonesia. Status gizi anak dapat dinilai dari antopometri yaitu

BB/U, TB/U, dan BB/TB. Status gizi yang kurang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak,

sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status gizi buruk menyebabkan angka

mortalitas demam tifoid semakin tinggi.24


28
Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit

didalam kandung empedu dan ginjalnya. Menurut teori, riwayat demam tifoid terjadi karena

terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun

oleh zat anti.24

29

Anda mungkin juga menyukai