Bab 2
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan terutama
oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.5
Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang
disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. 6
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.7
II.1.2 EPIDEMIOLOGI
Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat
sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000,
estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus
tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa
penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis
yang tidak akurat.8 Hampir 80% kasus dan kematian terjadi di Asia. Tingkat serangan
setinggi 1.100 kasus per 100.000 penduduk telah didokumentasikan di negara berkembang.1
3
Center for Disease Control and Prevention Indonesia melaporkan prevalensi demam
tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan
pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitasnya bervariasi antara 3,1-10,4% pada pasien rawat
inap.2 Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun,
yaitu 180,3 per 100,000 penduduk. Berdasarkan data surveilens, di Sulawesi Tengah terdapat
5091 kasus demam tifoid diantara 2.729.227 penduduk dan menempati urutan ke tujuh dalam
sepuluh besar penyakit pada tahun 2012. Kasus demam tifoid paling banyak ditemukan pada
Demam tifoid juga mempunyai angka kejadian yang tinggi, di Kalimantan Selatan
pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Tingkat I terdapat 1936 kasus/1000
penduduk,1 sedangkan di Indonesia berdasarkan data dari rumah sakit angka kejadiannya
penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan dan prevalensi
penyakit ini di Kalimantan Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar 1,95% RSUD dr. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2013 angka kejadian demam typhoid yaitu 193
kasus yang terjadi pada anak umur <1 tahun-14 tahun. Data di ruangan anak Alexandri
RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2014 angka kejadian demam
Selatan tahun 2010, khususnya pasien anak yang dirawat ada sekitar 521 kasus, yaitu 26%
dari total semua pasien anak yang dirawat di RSUD Ratu Zaleha, Martapura. Penderita
demam tifoid di ruang anak (Sedap Malam) RSUD Ulin, Banjarmasin pada tahun 2011
4
berjumlah 136 pasien. Jumlah ini menduduki peringkat ke-2 dari 10 penyakit terbanyak
Penderita demam tifoid anak yang paling banyak adalah laki-laki. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa laki-laki lebih rentan terkena demam tifoid dikaitkan
dengan aktivitas laki-laki yang lebih sering di luar rumah yang memungkinkan laki-laki
II. 1. 3 ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella, bersifat
spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida, berada di kapsul. Berhubungan dengan daya
b. lipopolisakarida
c. lipid A.11
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga
II.1.4 PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di
usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan
intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk
ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini
6
dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit
kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi
perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila
kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk
organisme yaitu:12
7
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar CAMP di dalam/kripta usus dan
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka mikroorganisme
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Propia
mikroorganisme berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Mikroorganisme dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke Plak Peyeri ileum Distal
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada
populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit dengan demam
tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa
demam tifoid dapat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang
Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis infeksi,
yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan antimikroba,
umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang
(kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada
umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam,
gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia.
Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan gejala
8
yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Demam akan meningkat
secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap (39-40
derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm,
dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada.
Gambar 2. Manifestasi klinis demam tifoid dengan biakan darah positif di RSCM
tahun 2008-2011.
II.1.6 DIAGNOSIS
1) Anamnesis 13
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu)
atau Remiten pada minggu kedua.Demam terutama sore / malam hari,sakit kepala,nyeri otot,
anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-
2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat
menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak
9
klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan
dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi
usus.
Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
2) Pemeriksaan Fisik7,14
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan rata-rata antara
10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi
disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama
sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus
yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.
Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara
lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah
3) Laboratorium
10
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan biakan
empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal perjalanan
penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama
infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah.8 Kultur darah (biakan empedu) positif. Dalam
keadaan normal darah bersifat steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah.
Ditemukannya bakteri dalam darah disebut bakteremia. Pasien dengan gejala klinis demam
tiga hari atau lebih dan konfirmasi hasil biakan darah positif S. typhi paratyphi dapat
menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,
namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan
masyarakat.8
a. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang rendah
sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit
bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3.
Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi
intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang
b. Pemeriksaan widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi dan
sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satu satunya pemeriksaan penunjang di
11
daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi
antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat
dalam serum demam tifoid, juga pada orang yang pemah ketularan Salmonella dan pada
orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Pada umumnya antibodi O meningkat
di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 8,13
faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas
antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan
positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial
yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya
dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat
berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid
di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru
12
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang
mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade ini,
pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-
liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence
[Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah
(Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap
sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara
hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan
13
d. Pemeriksaan PCR 8
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan waktu
kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding
pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap
S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested polymerase
chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen
spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan. 1 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat
dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan
Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun
dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada
akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9
pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90%
sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid,
dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid.
Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada
minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid.8
4) Radiologi 15
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau
- Airfluid level
Secara umum, menurut pedoman pengendalian demam tifoid tahun 2006 diagnosis dibagi
menjadi 3 yakni:16
15
-suspek demam tifoid ( jika belum ada hasil laboratorium tetapi anamnesis dan gejala
menunjang)
-demam tifoid klinis (sudah ada hasil lab disertai anamnesis dan pemeriksaan fisik
menunjang.
B. Diagnosis Etiologi
yakni kegiatan untuk mendeteksi basil Salmonella dalam darah atau sumsum tulang,
jika hasil positif ditemukan basil Salmonella maka diagnosis dapat ditegakkan pasti.
C. Diagnosis Komplikasi
Diagnosis tifoid dengan komplikasi yang didapatkan secara klinis dan dibantu dengan
II.1.7.TATALAKSANA
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan
kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella
typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller
A. Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid
selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun
parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila
ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak
16
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 %
pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan
pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi
B. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga
faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid
pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat
levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah
timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam
pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi
yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang
17
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam
tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau
obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya
untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari
ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan
dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila
digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam
oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak. Namun
leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya
18
angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk
endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok Indonesia dengan
higienitas masyarakatnya yang masih sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya
jangkauan pelayanan kesehatan yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam
tifoid ini, khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya
digunakan pada penderita demam tifoid dengan leukopenia yang tidak mungkin diberikan
kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada
amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan dengan
diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral selama 14 hari sama
efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang resisten
19
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol
pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak
digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat
ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat
antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi
ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk
kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat
ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi
yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1. Azitromisin dengan dosis 10
mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik
pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip
dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam
tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat
ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.17
diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik
untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin
generasi ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat
seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai
sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan
20
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk
optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa
negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini
banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah
banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon. Penggunaannya pada
anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang
rawan pada anak, sehingga disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai
obat demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau
kasus yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya
menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan
resikonya.17
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan
dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari
angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam
tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid, beberapa obat
obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.17
21
Dari 37 sampel darah penderita demam tifoid di Bagian Anak RSUD Ulin
Banjarmasin didapatkan 20 isolat positif Salmonella typhi dan telah dilakukan uji sensitivitas
(25%). Hasil penelitian ini menunjukkan antibiotik kloramfenikol dan kotrimoksazol masih
22
Perbedaan hasil persentase sensitivitas dan resistensi dengan penelitian-penelitian
sebelumnya terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi munculnya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diakibatkan dari pemakaian
antibiotik dalam jangka waktu yang relatif lama dan terus-menerus, sehingga memungkinkan
bakteri tersebut hapal dengan cara kerja antibiotik tersebut dan dapat membentuk mekanisme
pertahanan diri apabila nantinya diserang oleh antibiotik yang sama. Berbeda halnya dengan
penggunaan antibiotik yang baru atau yang jarang digunakan dalam pengobatan, maka bakteri
memerlukan waktu yang lama untuk membuat mekanisme pertahanan terhadap antibiotik yang
baru, sehingga antibiotik itu masih tergolong sensitif. Faktor kepatuhan dari diri pasien dapat
mempengaruhi terjadinya resistensi antibiotik jika pasien tidak memiliki kepatuhan dalam
mengkonsumsi antibiotik dengan benar, oleh karena itu diharapkan para dokter/klinisi lebih
II.1.8. KOMPLIKASI
Komplikasi Intestinal:
a. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri, usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak atau luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya
bila tukak menembus dinding usus maka dapat terjadi perforasi. Selain karena faktor luka,
perdarahan dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.
Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis, perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
23
sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32 %, bahkan ada yang melaporkan sampai
80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka
a. Perforasi Usus
Biasanya timbul pada minggu ketiga, terjadi pada 3% pasien yang dirawat. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat. terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
dapat terjadi syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan frekuensi terjadinya perforasi adalah umur (20-30 tahun), lama demam,
2. Komplikasi Ekstra-intestinal
a. Komplikasi Hepatobilier
- Hepatitis Tifosai.
- Ikterus pernah dilaporkan pada penderita demam tifoid, karena adanya hepatitis,
- Pankreatitis Tifosa.12
24
b. Komplikasi pada jantung
- Miokarditis
- Perikarditis.19
c. Komplikasi Hematologi
sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien
demam tifoid.12
Anemia dapat terjadi pada penderita demam tifoid dan disebabkan antara lain karena
pengaruh berbagai sitokon dan mediator sehingga terjadinya depresi sumsum tulang dan
penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan langsung pada eritrosit yang
tampak sebagai hemolisis ringan. Selain itu anemia bisa disebabkan karena perdarahan pada
usus halus. Pengaruh depresi sumsum tulang yang lain adalah leukopeni dan trombositopeni.
retikuloendotelial.12
- Rigidity/ Transient Parkinsonism, sindrom otak akut delirium dengan atau tanpa kejang,
f. Komplikasi ginjal
g. Komplikasi Muskuloskeletal
25
- Pada otot biasanya terlihat degenerasi Zenker, terutama pada dinding abdomen.
Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit lebih dari 2
minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi saluran cerna (10%) dan
II.1.9. PENCEGAHAN 6
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi
pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di
atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke
daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
• Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara
subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk
revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.
• Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak
usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik
dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
• Vaksin Vi-conjugate
26
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetap selama 46
Gizi buruk berat dapat dibedakan tipe marasmus, tipe kwashiorkor, dan tipe maramus-
kwashiokor. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema
pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status mental, rambut tipis
kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah
membulat dan sembab, pandangan mata sayu, pembesaran hati, kelainan kulit berupa bercak
merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas,
cengeng, dan rewel. Tipe marasmus ditandai degan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti
orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang
iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput. Tipe marasmus-kwashiokor adalah gabungan
Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan dan
(berat, tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka standar (anak
normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan
dengan umur anak, tinggi dibandingkan dengan umur anak dan berat dibandingkan dengan
tinggi/panjang anak.22
Pada gizi buruk terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti jumlah dan
distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih
banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Nutrisi
27
berperan penting dalam penyembuhan penyakit. Kesalahan pengaturan diet dapat
tinggi kalori, protein dan cukup vitamin-mineral untuk mencapai status gizi optimal. Nutrisi
gizi buruk diawali dengan pemberian makanan secara teratur, bertahap, porsi kecil, sering
dan mudah diserap. Frekuensi pemberian dapat dimulai setiap 2 jam kemudian ditingkatkan 3
Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 5 -9 tahun karena pada usia tersebut
orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk
dengan pekerjaan dan kemudian kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka
cenderung lebih memilih makan di luar rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada
anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri
Salmonella thypii banyak berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka
tertular demam tifoid. Pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang memperhatikan
Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang di hasilkan dari asupan,
penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik
yang mungkin terjadi karena adanya patologi. Selama ini status gizi menjadi masalah besar di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Status gizi anak dapat dinilai dari antopometri yaitu
BB/U, TB/U, dan BB/TB. Status gizi yang kurang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak,
sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status gizi buruk menyebabkan angka
didalam kandung empedu dan ginjalnya. Menurut teori, riwayat demam tifoid terjadi karena
terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun
29