Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.PERDARAHAN SALURAN GASTROINTESTINAL

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM GASTROINTESTINAL

Gambar 1. Sistem Pencernaan 5

Sistem gastroinstestinal adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk

menerima makanan dan mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi

ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses pencernaan tersebut dari tubuh. Sistem gastrointestinal merupakan

saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh

dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim

dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. Saluran pencernaan terdiri

dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan (esofagus), lambung (gaster), usus halus,

usus besar (kolon), rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang

terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.5

2. DEFINISI

Perdarahan saluran cerna adalah hilangnya darah dalam jumlah tidak normal pada

saluran cerna mulai dari rongga mulut hingga ke anus. Normalnya, volume darah yang hilang

dari saluran cerna sekitar 0,5 – 1,5 mL per hari.2

Perdarahan saluran cerna dibagi menjadi perdarahan saluran cerna atas dan

perdarahan saluran cerna bawah. Perdarahan saluran cerna atas adalah perdarahan yang

berasal dari saluran cerna bagian atas (esofagus) di bagian proksimal dari ligamentum Teritz.

Perdarahan saluran cerna bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari usus

bagian distal di bawah dari ligamentum Treitz dimana berlokasi pada duodenojojunal juction.

Hematemesis (coffeeground vomitus) adalah muntah darah dari saluran gastrointestinal atas

atau, kadang-kadang, setelah menelan darah dari bagian nasofaring. Hematemesis merah

terang biasanya menunjukkan perdarahan aktif dari esofagus, lambung atau duodenum.

Muntah hitam seperti kopi termasuk ada darah didalamnya. Melena adalah tinja berwarna

hitam, biasanya karena perdarahan saluran cerna atas akut tetapi kadang-kadang pendarahan

dari usus kecil atau sisi kanan usus besar.6


3. EPIDEMIOLOGI

Perdarahan saluran cerna pada anak walaupun jarang terjadi tetapi berpotensi serius.

Prevalensi perdarahan saluran cerna atas berkisar antara 10% dari keseluruhan penyebab

perdarahan pada anak, sedangkan prevalensi perdarahan saluran cerna bawah lima kali lebih

rendah. Etiologi keduanya tergantung pada usia. Bila prevalensi perdarahan saluran cerna

pada Pediatric Intensive Care Unit (PICU) berkisar antara 10%, maka risiko tersebut lebih

tinggi di Neonatal Intevsive Care (NICU) yaitu sekitar 55%.7

Perdarahan saluran cerna atas dan bawah didominasi oleh anak perempuan daripada

anak laki-laki ( 52% dan 54%). Kelompok anak usia 1-6 tahun paling banyak mengalami

perdarahan saluran cerna atas (48%) dan bawah (57%).1

Angka rawat inap karena perdarahan saluran cerna bagian atas diperkirakan sebesar

36-102 pasien per 100.000 populasi per tahun. Perdarahan saluran cerna bawah lebih jarang

terjadi, yaitu sekitar 20 per 100.000 pada pasien semua umur. Perdarahan saluran cerna

bagian bawah merupakan keluhan utama pada 0,3% pasien anak yang datang ke ruang rawat

darurat.8

Angka kematian di seluruh dunia untuk perdarahan saluran cerna bagian atas pada

anak-anak dapat berkisar dari 5% hingga 15%, hal ini tergantung dari kondisi yang terkait

dengan perdarahan saluran cerna bagian atas seperti perdarahan varises akut. Kasus di Asia

dan negara berkembang lainnya menunjukkan insidensi perdarahan varises yang lebih

tinggi.6

Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Berbeda dengan

di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak maka di
Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan penyebab tersering

yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-

15% dan karena sebab lainnya < 5%.9

4. ETIOLOGI

Berdasarkan hasil endoskopi dan kolonoskopi, etiologi terbanyak perdarahan saluran

cerna atas adalah varises esofagus (37%). Hasil tersebut serupa dengan penelitian di negara

timur tengah dan India yang melaporkan bahwa 35%-40% etiologi perdarahan saluran cerna

atas adalah varises esophagus. Secara global, etiologi perdarahan saluran cerna atas pada

anak bervariasi tergantung populasi, letak geografis, dan komorbid dari pasien. Varises

esofagus banyak terjadi di negara Timur Tengah dan Asia, sedangkan di Amerika Utara

ulkus peptikum menjadi etiologi terbanyak. Penyebab varises esofagus di negara berkembang

kemungkinan berhubungan dengan tingginya penyakit hati, hepatitis B, dan riwayat sepsis

pada masa neonatus. Di negara maju, penyebab terbanyak ulkus peptikum adalah infeksi
Helicobacter pylori. Kolitis (60%) merupakan etiologi terbanyak dari perdarahan saluran

cerna bawah. Systematic review oleh Bai dkk menyimpulkan 3 penyebab terbanyak

perdarahan saluran cerna bawah pada anak di negara Cina adalah polip kolorektal (49%),

kolitis (11%), dan intususepsi (9%). Pada populasi negara barat dilaporkan 17%-40% pasien

anak mengalami perdarahan saluran cerna bawah, penyebabnya adalah divertikulitis.

Perdarahan masif pada saluran cerna bagian atas dapat menyebabkan hemodinamik

terganggu hingga pasien jatuh dalam keadaan syok. Ruptur varises esofagus merupakan

penyebab tersering perdarahan masif yang dapat menyebabkan anemia berat. 1

Gambar 3. Penyebab pendarahan saluran cerna bagian atas 6

Gambar 4. Penyebab pendarahan saluran cerna bagian bawah 6


Penyebab Jumlah kasus Persentase

Pecahnya varises esofagus 280 kasus 33.4 %

Perdarahan ulkus peptikum 225 kasus 26.9 %

Gastritis erosiva 219 kasus 26.2 %

Tidak ditemukan 38 kasus 4.5 %

Lain – lain 45 kasus 9%

Total 807 kasus 100 %

Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani endoskopi di

RSCM selama tahun 2001 – 2005

5. PATOGENESIS

Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas

disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif

meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain

asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid

(OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas. Yang

dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan

mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat,

motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.10

Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh

penyakit sirosis hati.Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus

hepatitis B dan hepatitis C. Varises esofagus adalah vena collateral yang berkembang sebagai
hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Saat ini, faktor-faktor

terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan varises adalah: tekanan portal,

ukuran varises, dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.10

Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan

peningkatan tekanan vena porta.Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam

submukosa esophagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan

darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini,

maka vena tersebut menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul

varises.Varises bisa pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya

dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan

penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan

penurunan perfusi jaringan. 10

Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme

kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-

tanda dan gejala utama yang terlihat. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi

jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme

anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan mengakibatkan/ memberi

efek pada seluruh sistem tubuh dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut

akan mengalami kegagalan.10


Gambar 5. Skema terjadinya hematemesis dan melena

Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosive dan

tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti

inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres. Penggunaan NSAIDs

merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu

proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera.

Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang

baik.11

Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs

adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs,

penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan

severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak

diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis

kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan
terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk

menimbulkan tukak gaster.11

Gambar 6. Mekanisme terjadinya pendarahan pada mukosa Gastrointestinal

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan mukosa di bagian distal

esophagus pada gastroesophageal junction mengalami laserasi yang dapat menyebabkan

hematemesis. Laserasi seringkali juga menyebabkan perdarahan arteri submukosa.

Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial

plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan

dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya

sekunder terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus meliputi

muntah, mengedan saat buang air besar, batuk, kejang epilepsi dan trauma abdomen 12
Gambar 7. Gambaran sistem gastrointestinal saat terjadinya robekan Mallory Weiss

6.MANIFESTASI KLINIK

Gambar 8. Keluhan utama dan penyerta pada perdarahan saluran cerna 1

Nyeri perut sebagai gejala penyerta perdarahan saluran cerna atas ditemukan 48%,

sedangkan diare tercatat 29%. Penelitian Javid di India melaporkan 36% pasien perdarahan

saluran cerna atas mengeluhkan nyeri perut. Ojuawo dkk melaporkan diare dan nyeri perut

sebagai gejala penyerta terbanyak perdarahan saluran cerna bawah. Gejala nyeri perut yang
dirasakan pasien dapat disebabkan adanya lesi di mukosa saluran cerna sehingga terjadi

perdarahan lokal. Lesi yang semakin meluas menyebabkan nyeri perut semakin memberat.

Adanya diare dan perdarahan melalui dubur kemungkinan terjadi karena kolitis yang

disebabkan infeksi. Infeksi pada saluran cerna dianggap sebagai penyebab terbanyak

perdarahan saluran cerna bawah dan disentri.1

Manifestasi klinis pasien dapat berupa : 9,13

 Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna

atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.

 Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur

asam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bagian atas, atau

perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber

lainnya.

 Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas

hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit

hati kronis,penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.

7. DIAGNOSIS

Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalam

melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat

cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan

adalahpenanganan A - B – C ( Airway – Breathing – Circulation ) terlebih dahulu. Bila

pasien dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan
pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih

seksama.9

a. Anamnesis 2

1. Tentukan apakah anak betul-betul mengalami perdarahan saluran cerna. Beberapa

kasus yang sering dikelirukan dengan perdarahan saluran cerna antara lain:

 Hematemesis dan melena:

-Tertelan darah ibu saat persalinan atau saat menyusu akibat puting yang lecet

-Tertelan darah epistaksis

-Mengonsumsi makanan dan obat-obatan tertentu (Gambar 9)

2. Tentukan volume darah yang hilang untuk menentukan berat ringannya perdarahan

saluran cerna dan tanyakan tanda-tanda gangguan hemodinamik

3. Tanyakan warna darah dan jenis perdarahannya untuk menentukan lokasi perdarahan,

serta frekuensi dan durasi perdarahan untuk menentukan kronisitas perdarahan

4. Tanyakan gejala-gejala penyerta lain seperti nyeri perut dan demam

5. Riwayat konsumsi obat jangka panjang seperti anti-inflamasi non-steroid (AINS),

steroid, aspirin, tablet besi, alkohol, dan obat-obatan sitostatika tertentu.

6. Riwayat menelan benda asing, bepergian keluar daerah, dan perubahan pola makan

7. Riwayat trauma abdomen terutama epigastrium atau kuadran kanan atas, serta luka

bakar dengan jumlah luas

8. Riwayat penyakit sebelumnya: persalinan prematur, pemasangan kateter arteri

umbilical atau sepsis, riwayat operasi, penyakit hati, penyakit saluran cerna

sebelumnya (enterokolitis, intususepsi, anomali kongenital), anemia sel sabit, atau

Hemofilia.
9. Riwayat penyakit keluarga: penyakit perdarahan, penyakit hati kronik, penyakit

saluran cerna (polip, ulkus, colitis), pemakaian obat-obat tertentu.

Gambar 9. Makanan dan obat-obatan penyebab warna muntahan dan tinja menyerupai

darah.2

b. Pemeriksaan Fisik 2

1. Pemeriksaan tanda-tanda vital dan saturasi oksigen.

2. Tentukan derajat perdarahan melalui keadaan umum pasien, status hemodinamik,

perkiraan volume darah yang hilang, dan warna perdarahan:

 Perdarahan berat ditandai dengan keadaan umum pucat, gelisah, letargis, dan nyeri

perut.

 Anemis (pucat) penting untuk memperkirakan banyaknya kehilangan darah. Indikator

terbaik perdarahan berat dan tanda awal gagal jantung adalah takikardi saat istirahat

dan perubahan ortostatik tekanan darah, yaitu peningkatan denyut nadi 20 kali/ menit

atau penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg atau lebih pada perubahan

posisi supine ke posisi duduk. Perdarahan kronis atau akut dapat menimbulkan

dekompensasi jantung
3. Tanda-tanda fisik yang sering dijumpai pada anak dengan perdarahan saluran cerna

terdapat pada gambar dibawah ini.

Gambar 10. Pemeriksaan fisik pada anak dengan perdarahan saluran cerna 2

Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini

mempunyai nilai dalam prognosis penyakit. Dalam prosedur diagnosis ini penting

melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT) jika ada.Aspirat berwarna putih keruh

menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan

perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri.9


Skema 1. Penentuan letak perdarahan saluran cerna 2

c. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium:2

 Uji Guaiac dengan sampel tinja digunakan untuk mengetahui perdarahan samar.

Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik. Hasil positif palsu dijumpai apabila

sampel mengandung hemoglobin (Hb) atau mioglobin dari daging, lobak, ferrous

sulfate (pH tinja < 6), tomat, ceri merah segar. Hasil negatif palsu dijumpai apabila

sampel mengandung vitamin C atau penyimpanan feses >4 hari.

 Pemeriksaan Hb, hematokrit (Ht), dan eritrosit (RBC), di mana pada perdarahan

kronis ditandai dengan penurunan Hb, Ht, dan RBC. Anemia dengan RBC normal

menunjukkan perdarahan akut, sedangkan anemia dengan RBC rendah menunjukkan

perdarahan kronis.
 Apabila tidak ada tanda-tanda syok, penyakit sistemik, ataupun penyakit hati dapat

dilakukan pemeriksaan berikut: darah rutin lengkap, laju endap darah (LED), blood

urea nitrogen (BUN), prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (APTT), uji

Guaiac dari sampel tinja dan muntahan.

 Apabila ada tanda-tanda syok, penyakit sistemik, ataupun penyakit hati dilakukan

pemeriksaan berikut: darah rutin lengkap, LED, BUN, PT, APTT, uji Guaiac dari

sampel tinja dan muntahan, golongan darah dan cross match, aspartate

aminotranferase (AST), alanine transaminase (ALT), gamma-glutamyl transferase

(GGT), kreatinin, albumin, dan protein total.

 Uji Apt-Downey untuk konfirmasi apakah hematemesis bayi berasal dari saluran

cerna bayi atau darah ibu yang tertelan. Tertelan darah ibu adalah penyebab tersering

hematemesis pada neonatus. Darah mungkin tertelan saat lahir atau selama bayi

menyusu dari puting ibu yang lecet. Prinsip tes ini adalah hemoglobin fetus tidak

mengalami denaturasi alkali; hasil tes positif menunjukkan bayi menelan darah ibu

sehingga tidak perlu evaluasi lebih lanjut.

2. Endoskopi

Indikasi gastroskopi dan kolonoskopi, yaitu untuk mengetahui lokasi perdarahan,

mencari penyebab spesifik perdarahan saluran cerna, biopsi jaringan, dan bila mungkin

sekaligus terapi intervensi.2

3. Pemeriksaan radiologis. 2

 Foto polos abdomen


Untuk melihat tanda-tanda enterokolitis nekrotikans seperti dilatasi usus, penebalan dinding

usus, dan pneumonia intestinal

 Barium enema

Untuk melihat adanya polip, malrotasi, atau intususepsi

 Foto kontras saluran cerna bagian atas

Pada kasus perdarahan saluran cerna atas disertai disfagia, odinofagia, atau drooling

 Ultrasonografi abdomen

Untuk melihat adanya hipertensi portal dan penyakit hati kronis

 CT scan dan MRI

Untuk melihat kondisi vaskularisasi abdomen

 Technetium99m-pertechnetate scan (Meckel’s scan)

Untuk mendeteksi adanya divertikulum Meckel. Technetium99m-labelled red cells Untuk

melokalisir perdarahan kecil dan intermiten dengan kecepatan perdarahan 0,1–0,3 mL/menit

(500 mL/hari)

 Angiografi

Untuk lesi perdarahan aktif atau perdarahan kronik rekuren yang tidak tampak dengan

pemeriksaan lain. Sumber perdarahan dapat diketahui jika kecepatan perdarahan >0,5

mL/menit. Spesifisitas mencapai 100% tetapi sensitivitas tergantung kecepatan perdarahan.


Skema 2. Alur diagnosis pada pendarahan saluran cerna atas pada bayi dan anak. 6

Skema 3. Alur diagnosis perdarahan saluran cerna bawah pada anak dan bayi 6
8. TATALAKSANA

Prinsip penanganan mencakup tindakan suportif dan terapi untuk mengontrol

perdarahan aktif.2

1. Suportif.

 Stabilisasi hemodinamik dengan resusitasi cairan intravena kristaloid. Pada

perdarahan karena varises pemberian cairan harus hati-hati untuk menghindari

pengisian intravaskular terlalu cepat yang meningkatkan tekanan porta dan memicu

perdarahan berulang.

 Oksigenasi pada perdarahan aktif masif dengan syok

 Pada perdarahan masif diberi transfusi darah untuk memperbaiki kapasitas

pengangkutan oksigen. Transfusi darah sebaiknya diberikan hingga target hematokrit

kurang dari 30% untuk menghindari kondisi overtransfused yang dapat meningkatkan

tekanan porta dan memicu perdarahan berulang. Pemantauan hematokrit diperlukan

pada kasus perdarahan aktif.

 Koreksi koagulasi atau trombositopenia (fresh frozen plasma, trombosit)

 Koreksi gangguan elektrolit bila ada.

 Mencegah ensefalopati hepatikum pada penderita penyakit hati kronis yang

mengalami perdarahan saluran cerna dengan laktulosa dan nonabsorbable antibiotic.

Laktulosa berfungsi membersihkan saluran cerna dari sisa-sisa darah. Nonabsorbable

antibiotik (Neomisin, Colistin) bertujuan untuk mensterilkan usus dari bakteri usus

yang akan mencerna bekuan darah menjadi amonia (neurotoksik). Dosis laktulosa

0,5–1 mL/kgBB diberikan 2–4 kali sehari.


2. Pengobatan spesifik untuk mengontrol perdarahan:

 Perdarahan aktif:

-Gastric acid secretion inhibitor IV:

 Ranitidin (antagonis histamin-2) infus kontinu 1 mg/kgBB dilanjutkan 2–4

mg/kgBB/hari atau bolus 3–5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis

 Pantoprazol (proton pump inhibitor/PPI): anak-anak <40 kg: 0,5–1 mg/kgBB/hari IV

sekali sehari; anak-anak >40 kg: 20–40 mg sekali sehari (maksimal 40 mg/ hari)

 Esomeprazol: bayi: 0,5 mg/kgBB/ hari; anak 1–17 tahun <55 kg: 10 mg, >55 kg: 20

mg.

Agen vasoaktif IV: mempunyai efek menurunkan tekanan vena porta dengan menurunkan

aliran darah splanik.

 Oktreotid (analog somatostatin): 1 mcg/kgBB IV bolus (maksimal 50 mcg)

dilanjutkan 1–4 mcg/ kgBB/jam. Bila perdarahan sudah terkontrol, dosis diturunkan

50% perlahan-lahan tiap 12 jam hingga mencapai 25% dosis pertama baru dihentikan.

Oktreotid lebih disukai karena lebih sedikit menimbulkan efek samping sistemik

dibanding vasopresin dan mempunyai efek mengurangi sekresi asam lambung. Efek

samping yang sering dijumpai adalah hiperglikemia.

 Vasopresin (hormon antidiuretik) 0,002–0,005 unit/kgBB/menit tiap 12 jam

kemudian diturunkan dalam 24–48 jam (maksimum 0,2 unit/menit). Vasopresin

mempunyai efek samping vasokonstriksi perifer dan memicu gagal ginjal.

Mencegah perdarahan berulang:


 Gastric acid secretion inhibitor (oral)

- Ranitidin 2–3 mg/kgBB/kali, 2–3 kali per hari (maksimum 300 mg/hari)

- Famotidin 0,5 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari (maksimum 40 mg/ hari)

- Lansoprazol 1–1,5 mg/kgBB/ hari, 1–2 kali sehari (maksimal 30 mg 2 kali sehari

- Omeprazol 1–1,5 mg/kgBB/ hari, 1–2 kali sehari (maksimal 20 mg 2 kali sehari)

- Esomeprazol: bayi: 3,5–5 kg: 2,5 mg/hari; 5–7,5 kg: 5 mg/ hari; anak 1–11 tahun:

<20 kg: 10 mg/hari; >20 kg: 20 mg/ hari

Adhesive protection of ulcerated mucosa (oral)

 Sukralfat (local adhesive paste) 40–80 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis (maksimum

1000 mg/dosis terbagi dalam 4 dosis)

Mencegah perdarahan varises

 Propranolol (beta adrenergic blocker) 0,6–0,8 mg/kgBB/ hari terbagi dalam 2–4

dosis, dapat dinaikkan tiap 3–7 hari (maksimal 8 mg/kgBB/hari) hingga mendapatkan

penurunan sedikitnya 25% dari denyut nadi awal. Propranolol mempunyai efek

menurunkan tekanan vena porta dengan menurunkan aliran darah mesenterik.

Terapi lain

 Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami

perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut tidak

merugikan dan relatif murah.


3. Pemasangan pipa nasogastrik

Bertujuan untuk mengeluarkan sisa bekuan darah, melihat apakah perdarahan masih

berlangsung dan untuk persiapan endoskopi emergensi. Sisa bekuan darah yang tidak segera

dikeluarkan akan menjadi sumber protein yang dapat memicu ensefalopati dan dapat pula

meningkatkan aliran darah limpa sehingga memperberat perdarahan.

4. Endoskopi

 Gastroskopi:

Terapi ligasi dan skleroterapi untuk perdarahan karena varises esofagus. Efek tidak

diinginkan skleroterapi adalah striktur yang terjadi pada sekitar 15% anak pasca-terapi

sklerosing. Rebleeding dapat terjadi pasca-terapi dan lebih sering pada skleroterapi dibanding

ligasi.

 Kolonoskopi: Terapi polipektomi

5. Antibiotik: sesuai indikasi.

6. Angiografi

Menggunakan teknik embolisasi atau vasopresin. Vasopresin lebih bermanfaat untuk

perdarahan difus atau perdarahan dari pembuluh darah kecil.2 Bila dinilai tidak ada kontra

indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS

(Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic Shunt).14


Skema 4. Penanganan Perdarahan Saluran Cerna
II. GASTRITIS EROSIF

1. DEFINISI

Gastritis erosif atau ulserasi duodenum adalah kondisi lambung dimana terjadi erosi atau

ulserasi lambung atau duodenum yang telah mencapai sistem pembuluh darah lambung atau

duodenum; dapat terjadi secara akut atau kronis. 15

2. EPIDEMIOLOGI

Data studi retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien

yang menjalani endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan

SCBA. Penyebab perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus,

225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif.16

Berdasarkan penelitian Adi pada tahun 2009 dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF

Penyakit Dalam RSU dr Soetomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus,

19,2% gastritis erosif, 1,0% tukak peptik, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-

sebab lain.17

3. ETIOLOGI

Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis erosif adalah

sebagai berikut:

a. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus.

Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) seperti aspirin, ibuprofen,naproxen dan

piroxicam dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi

prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat
tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika

pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat

mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer.15

Beberapa penelitian juga telah dilakukan di RSCM untuk melihat efek samping dari

penggunaan obat rematik antara lain pemeriksaan endoskopi pada pasien yang telah

menggunakan aspirin selama lebih dari 2 bulan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa

terjadi kerusakan pada struktur saluran cerna bagian atas yaitu 66,7% pasien, hampir 30 %

pengguna aspirin tersebut mengalami tukak pada saluran cerna bagian atas, dan yang

menarik adalah 25 % pasien pengguna aspirin tersebut tidak merasakan apa apa walaupun

sudah mengalami tukak pada lambung.19

b. Penggunaan zat korosif, alkohol dan kokain secara berlebihan

Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan

membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi

normal sehingga dapat menyebabkan perdarahan.19

4. PATOFISIOLOGI

 Stress-induced gastritis
Stres yang berkaitan dengan inflamasi mukosa gaster merupakan salah satu kasus

yang umum dilaporkan pada pasien-pasien yang rawat inap di Rumah Sakit. Pada bayi

kecil (infants), syok akibat asfiksia prenatal, traumatik, dan sepsis merupakan beberapa

penyebab dari stress-induced gastritis. Inflamasi gastroduodenal, secara histologis,

tampak erosi yang multipel dari mukosa gaster maupun duodenum, yang terlihat melalui

endoskopi.20

Pada kondisi normal, mukosa gaster dapat mentoleransi sekresi asam lambung

yang tinggi dan sekresi ini meningkatkan aliran darah ke mukosa, dimana akan

meningkatkan fungsi faktor defensif. Hal ini menunjukkan bahwa sekresi asam lambung
yang tinggi tidak bisa menginduksi terjadinya ulserasi stres sendiri. Walaupun begitu,

jika sawar mukosa gaster suatu ketika rusak, maka keasaman lambung akan

memperparah lesi yang ada. Untuk itu, walaupun asam lambung berperan penting dalam

perkembangan erosi akut gaster, proses dinamik ini juga dipengaruhi oleh perubahan

aliran darah gaster, permeabilitas mukosa, sekresi mukosa dan keseimbangan asam-basa

secara keseluruhan.21

Pada situasi stres tertentu, juga telah ditunjukkan bahwa walaupun tidak ada

hipersekresi dari asam lambung dan keasaman intralumen tidak rendah, lesi pada gaster

dapat terjadi. Kerusakan langsung pada mukosa gaster biasanya akibat dari paparan obat

(seperti, kortikosteroid, NSAIDs), hipersekresi asam lambung dan pepsin atau refluks

garam empedu. Hal ini terjadi ketika motilitas menurun dan pilorus tertutup dengan tidak

baik saat terjadi stres. Di bawah tekanan stres, semua mekanisme ini akan merusak sawar

mukosa dan menginduksi perkembangan lesi.21

Lambung sangat kaya akan vaskularisasi dan sirkulasi limfatik. Ini merupakan salah

satu alasan selama hipotensi, saluran cerna merupakan area pertama yang berkembang

menjadi iskemia. Derajat iskemia apapun akan menginduksi terjadinya perubahan

metabolisme energi dan juga akan menyebabkan tidak berlanjutnya proses difusi balik

ion hidrogen. Hipoksia meningkatkan radikal bebas lokal dalam lambung dan radikal-

radikal ini sebagian menyebabkan kerusakan oksidatif mukosa gaster yang diinduksi oleh

stres. Hipoksia pada fetus atau neonatus dapat menjadi tahap awal terjadinya lesi gaster

pada bayi baru lahir, hingga berkembang menjadi perforasi intestinal. Secara skematik,

dapat dilihat dari skema pada lembar sebelumnya.21


 NSAIDs and aspirin-related gastritis

Akibat risiko penggunaan aspirin pada penyakit viral (misal, Reye syndrome) dan

berbagai preparasi antpiretik yang tersedia, penggunaan aspirin pada populasi pediatrik

telah berkurang secara signifikan. Namun, baik NSAIDs maupun aspirin dapat

menyebabkan kerusakan gastroduodenal yang signifikan. NSAIDs dan aspirin

menyebakan kerusakan pada mukosa gaster dan duodenum dengan sejumlah mekanisme

patofisiologi. Kedua senyawa ini menyebabkan kerusakan lokal secara langsung. Aspirin

menurunkan pH permukaan sel apikal epitelial gaster dan mengganggu fungsi vital sel.

Selain itu, aspirin juga memodulasi komponen mukus gaster, isi dan kuantitasnya, serta

menurunkan sekresi bikarbonat. Di lain pihak, NSAIDs menginduksi kerusakan

gastroduodenal dengan meningkatkan platelet activating factor, disfungsi platelet,

menginhibisi sintesis prostaglandin, meningkatkan radikal bebas oksigen, meningkatkan

pelepasan histamin oleh sel mast dan merusak kapiler mukosa. Kedua obat ini

menyebabkan kerusakan mikrovaskular dan memperlambat regenerasi epitel dan

meningkatkan risiko untuk perdarahan ulserasi.20

 Cow Milk Allergy (CMA)-induced gastritis

Cow Milk Allergy (CMA) masih merupakan masalah utama pada bayi dan anak-

anak, yang dapat melibatkan sistem gastrointestinal, sistem respirasi dan kulit. CMA

selalu merupakan suspek pada bayi dengan muntah dan/atau diare kronis. Keterlibatan

saluran gastrointestinal antar lain esofagitis, gastrits dan duodenitis, yang dapat

menyebabkan hematemesis pada CMA, tetapi hanya tersedia sedikit data pasien CMA

dengan hematemesis.22
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aanpreung dan Atisook6, gastritis

akibat CMA lebih umum terjadi daripada GERD pada bayi kecil. Gastritis yang diinduksi

CMA merupakan penyebab paling umum perdarahan SCBA pada bayi kecil (infants).

Hal ini terjadi akibat reaksi imunologis terhadap protein susu sapi. Gastritis yang

diklasifikasikan dalam penyakit mixed-IgE dan non-IgE sebagai gastritis eosinofilik

alergik. Pada gastritis eosinofilik alergik, rentang usia dapat terjadi pada neonatus sampai

usia dewasa. 50% kasus memiliki penyakit atopik dan eosinofilia. Patologi menunjukkan

tanda infiltrasi eosinofil pada mukosa dan submukosa gaster, khususnya pada daerah

antrum. Gejalanya meliputi post-prandial vomiting, nyeri abdomen, anoreksia dan

hematemesis. Pada penelitien yang dilakukan Aanpreung dan Atisook, tanda adanya

infiltrasi eosinofil tidak ditemukan. Hal ini memungkinkan gastritis yang diinduksi CMA

pada bayi kecil tidak diklasifikasikan sebagai gastritis eosinofilik. Telah dilaporkan

adanya kasus bayi laki-laki berusia 3,5 bulan dengan hematemesis akibat gastritis erosif

disertai adanya riwayat konsumsi whole cow milk. Adanya infiltrasi eosinofil pada

lambung dan menghilangnya gejala setelah memberhentikan penggunaan susu sapi,

mengarahkan ke diagnosis CMA-induced hematemesis.22

 Gastritis alkoholik

Penggunaan alkohol merupakan masalah mayor pada usia remaja. Rata-rata usia

untuk konsumsi alkohol pertama kali yaitu 11,9 pada laki-laki dan 12,7 pada perempuan.

Peminum berat telah dilaporkan pada 15% anak-anak kelas delapan, 24% kelas sepuluh,

dan 40% pada siswa perkuliahan.23

Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa gaster. Konsumsi alkohol dapat

menyebabkan gastritis hemoragik akut atau erosif melalui iritasi langsung pada mukosa
gaster. Alkohol juga dapat menyebabkan peningkatan produksi gastrin dan penurunan

sekresi pepsin, dimana dapat mengakibatkan iritasi gaster. Walaupun gastritis yang

berkaitan dengan alkohol lebih sering asimtomatik, dapat juga ditemukan nyeri

epigastrium atau nyeri abdomen atas, mual, muntah, dan perdarahan gastrointestinal yang

masif atau tersamar.23

Walaupun jarang terjadi, identifikasi dan tatalaksana gastritis alkoholik penting untuk

beberapa alasan: 1) gastritis kronis dan ulkus meningkatkan risiko kanker; 2) gastritis

dapat mengakibatkan life-threatening perdarahan gastrointestinal; dan 3) identifikasi

adanya penggunaan alkohol dapat menentukan intervensi untuk mengurangi angka

morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan penggunaan alkohol.23

5. DIAGNOSIS

Gejalanya bermacam-macam, tergantung kepada jenis gastritisnya. Biasanya

penderita gastritis mengalami gangguan pencernaan (indigesti) dan rasa tidak nyaman di

perut sebelahatas. Pada gastritis karena stres akut, penyebabnya misalnya penyakit berat,

luka bakar atau cedera biasanya menutupi gejala-gejala lambung, tetapi perut sebelah atas

terasa tidak enak.Bila penderita tetap sakit, ulkus bisa membesar dan mulai mengalami

perdarahan, biasanya dalam waktu 2-5 hari setelah terjadinya cedera. Perdarahan

menyebabkan tinja berwarna kehitaman seperti aspal, cairan lambung menjadi kemerahan

dan jika sangat berat, tekanan darah bisa turun. Perdarahan bisa meluas dan berakibat

fatal.

Gejala dari gastritis erosif kronis berupa mual ringan dan nyeri di perut sebelah atas. Jika

gastritis menyebabkan perdarahan dari ulkus lambung, gejalanya bisa berupa:- Tinja
berwarna kehitaman seperti aspal (melena) - Muntah darah (hematemesis) atau makanan

yang sebagian sudah dicerna, yang menyerupai endapan kopi.

Gastritis merupakan inflamasi mukosa gaster. Terdapat banyak penyebab


gastrtis; sebagian besar dikelompokkan menjadi gastritis akut atau kronis. Infeksi kronis oleh
H. pylori dapat menyebabkan atrofi gaster dan metaplasia intestinal. Gastritis akut
merupakan inflamasi mukosa gaster yang bersifat transien. Sebagian besar berhubungan
dengan iritan lokal seperti endotoksin bakter, kafein, alkohol dan aspirin. Berdasarkan
keparahan penyakit, respon mukosa dapat bervariasi dari edema sedang dan hiperemia
sampai erosi hemoragik dari mukosa gaster
Gastritis kronis dikarakteristikkan oleh tidak adanya erosi yang terlihat dengan kasat mata

dan adanya perubahan inflamasi kronis secara bertahap menjadi atrofi epitel glandular pada

lambung. Perubahan ini dapat menjadi displastik dan memungkinkan berubah menjadi

karsinoma. H. pylori dan sejumlah faktor lain, seperti penggunaan alkohol dalam jangka

waktu yang lama, merokok dan penggunaan NSAIDs jangka panjang dapat berperan dalam

perkembangan penyakit ini. terdapat empat tipe mayor dari gastritis kronis, yaitu H. pylori

gastritis, gastritis autoimun, gastritis atrofik multifokal dan chemical gastritis. H. pylori

gastritis merupakan penyakit inflamasi kronis pada antrum dan korpus gaster. Penyakit ini

merupakan tipe paling umum dari gastritis kronis non-erosif di Amerika Serikat.24

Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu

diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan

gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti

adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal

dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae,

adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai untuk menyingkirkan


diagnosis banding lain. Pemeriksaan fisik abdomen yang biasa ditemukan adalah nyeri

epigastrium dan pada pemeriksaan rectal toucher dapat ditemukan BAB yang berwarnahitam.

Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes,

diantaranya :

1. Darah rutin

Digunakan untuk mengetahui apakah pasien mengalami anemia agar segera

mendapatkan terapi lanjut.

2. Rontgen

Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat

dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu

sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat

lebih jelas ketika di rontgen.

3. Endoskopi

Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin

tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan

sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam

esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu

dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien

merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat

mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan

tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini

memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung
disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi

menghilang, kurang lebih satu atau dua jam.25

6.TATALAKSANA

Tujuan terapi pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal tampak pada tabel di bawah
ini.26

Selama pendekatan diagnosis pada anak dengan perdarahan saluran cerna bagian atas,

hal yang segera dilakukan adalah langsung melakukan resusitasi dan mengembalikan

kehilangan yang terjadi dengan mencapai kestabilan hemodinamik. Anamnesis yang cepat

harus dilakukan selama mengevaluasi tanda vital dan membuat akses vena. Pemeriksaan

laboratorium yang penting untuk evaluasi pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian

atas antara lain, terlihat pada tabel di bawah.26


Ketika anak sudah stabil, tatalaksana kemudian harus disesuaikan dengan kondisi

spesifik yang mendasari terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas. Sumber perdarahan

saluran cerna bagian atas dibagi menjadi dua kategori mayor, dengan masing-masing terapi

spesifik.26

1) Gangguan dengan erosi atau ulserasi mukosa (esofagitis, gastritis, duodenitis, ulkus

gaster, ulkus duodenum, Mallory-Weiss tear). Pada kelompok ini, tujuan terapi yaitu

untuk menetralisasi atau mencegah pelepasan asam lambung.

2) Perdarahan varises : tujuan terapi yaitu secara langsung menghentikan perdarahan dan

menurunkan tekanan portal.

Gastritis termasuk dalam kategori pertama, yaitu lesi mukosa. Tujuan dari terapinya

untuk menetralisasi atau mencegah pelepasan asam lambung, dengan preparat sebagai

berikut:26
Penatalaksanaan sesuai kondisi spesifik pasien sebagai berikut.

 Stress-induced gastritis

Bayi dengan simple stress-related gastritis dapat diterapi dengan H2 reseptor

antagonist secara oral atau intravena, seperti ranitidine (6,0 mg/kg/hari BID). Pasien dengan

perdarahan aktif membutuhkan continuous infusion ranitidine (0,1-0,25 mg/kg/jam).27

Agen sitoprotektif seperti sukralfat lebih baik dari placebo untuk mengurangi

insidensi gastritis erosif pada pasien kritis. Di pihak lain, pemberian H2 reseptor antagonist

(contohnya, rantidine) atau proton pump inhibitor (contohnya, omeprazole) juga telah

disarankan pada pasien kritis dengan risiko stress ulcers.20

 NSAIDs and aspirin-related gastritis


Tidak diketahui dengan jelas bahwa terapi konjungtif dengan analog prostaglandin

(contohnya, misoprostol) memberikan efek proteksi atau manfaat untuk anak yang harus

menggunakan NSAID karena penyakit yang dideritanya. Penelitian pada orang dewasa,

terdapat lebih banyak bukti yang memuaskan mengenai manfaat pemberian misoprostol pada

perawatan jangka panjang pasien dengan gastropati yang diinduksi NSAID. Penelitian kohort

pediatrik dari Kanada menunjukkan bahwa anak-anak dengan artritis yang diberikan

misoprostol (2,5 μg/kg/hari) selama terapi NSAID mengurangi gejala pada 82% pasien

dengan keluhan gastrointestinal, sedangkan 18% pasien lainnya mengalami gejala yang

rekuren setelah membaik awalnya. Walaupun begitu, penelitian ini sangat terbatas karena

tidak adanya kelompok kontrol dan hanya retrospektif berdasarkan gejala saja. Sejak

kerusakan gastroduodenum dapat asimtomatik, manfaat sebenarnya dari misoprostol pada

penelitian kohort pediatrik bisa tidak dapat sepenuhnya diketahui.20

 Cow Milk Allergy (CMA)-induced gastritis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aanpreung dan Atisook, kelompok yang

tidak diberikan ranitidine dapat berespon dengan sangat baik hanya dengan mengganti

formula susu untuk anak. H2 blocker atau antasid tidak memiliki peranan pada tatalaksana

CMA-induced hematemesis. Penggunaan formula protein hidrolisat secara ekstensif selalu

direkomendasikan untuk tatalaksana CMA.22

Bayi akan mentolerir secara ekstensif formula susu sapi yang dihidrolisis pada

sebagian besar kasus. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 17-47% anak yang sensitif

terhadap susu sapi juga sensitif terhadap susu kedelai. Susu kedelai tidak direkomendasikan

pada penanganan diet CMA. Namun penelitian lainnya berbanding terbalik dan menyarankan

penggunaan susu kedelai pada anak dengan IgE-mediated CMA. Kurang lebih 86% anak
kecil dengan IgE-mediated CMA akan mentolerir susu kedelai. 50% bayi dengan reaksi non-

IgE-mediated CMA akan bereaksi dengan kedelai dan penggantian dengan formula hidrolisat

secara ekstensif harus dipertimbangkan. Pada tahun 2000, American Academy of Pediatrics

telah mengubah rekomendasi formula kedelai untuk CMA dan menyarankan penggunaan

formula kedelai untuk bayi dengan IgE-mediated symptoms CMA, khususnya setelah berusia

6 bulan. Karena formula protein hidrolisat mahal, mayoritas pasien yang menerima formula

kedelai berespon dengan sangat baik. Sebagian besar anak akan menghilang sensitivitasnya

terhadap protein susu sapi dalam 3 tahun pertama kehidupan.22

Gambar 11. Dosis Obat pada Anak dengan Perdarahan Saluran Cerna 28
Gambar 12. Algoritme Penanganan Awal Pasien dengan Perdarahan SCBA Akut26
Gambar 13. Algoritme Penanganan Segera Pasien dengan Perdarahan SCBA Akut26

Anda mungkin juga menyukai