Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
(reaksi hipersensitifitas tipe 1 pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia yaitu ig E ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut, dengan gejala bersin-bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan
palatum), hidung tersumbat, hidung berair, mata berair, post nasal drip, tekanan pada
sinus dan rasa lelah yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.¹,2,3,4

Geja rinitis alergi dapat dicetuskan dari beberapa fakor, diantaranya pajanan
udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk deterjen,
serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non
spesifik. Beberapa aeroalergen yang paling banyak ditemukan adalah D.
Farinae(63,51%) diikuti dengan D. Pteronyssinus (60,81%) serta Blomia tropicalis
(58,10%) sebagai tungau debu rumah yang paling banyak menimbulkan reaksi rinitis
alergi.5,6

Data WHO tahun 2000, rinitis alergi di Amerika Utara dan Eropa Barat, terjadi
peningkatan prevalensi rinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28% dalam 10 tahun
terakhir. Peningkatan prevalensi rinitis alergi pada usia anak sekolah di Eropa Barat
menjadi dua kali lipat. Prevalensi rinitis alergi seasonal dan perennial di USA
meningkat mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun.3,6

Di Indonesia belum ada angka yang pasti, Dari hasil penelitian yang dilakukan
di Bandung, prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%),
dan dari hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad Pekanbaru periode Januari 2006-Desember 2006. terhadap 221
kasus rinitis alergi menunjukkan kasus rinitis alergi terbanyak pada umur 15-24 tahun
(22,3%) dan lebih banyak pada perempuan 128 (57,92%).3,6

1
Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat
ringannya penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi
rinitis alergi yaitu dengan menghindari paparan alergen bila mungkin, edukasi
kemudian pemberian anti histamin, dekongestan, atau kombinasi dekongestan-anti
histamin. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik untuk jangka pendek pada
penderita rinitis alergi musiman yang berat dan berlangsung singkat juga sangat efektif
selain itu dapat juga dilakukan operasi maupun imunoterapi.2,7

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan perdarahan dan persyarafannya, bagian-
bagiannya dari atas ke bawah yaitu, 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung
(dorsum nasi) merupakan bagian agak ke atas dan belakang dari puncak hidung yang
berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi, 3) puncak hidung (tip),
4) ala nasi, 5) kolumela bermula dari puncak hidung, yaitu di posterior bagian tengah
bibir dan terletak sebelah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum, 6)
lubang hidung (nares anterior). 8,9
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari, 1) tulang hidung (os nasal),
2) prosesus frontalis os maxilla, 3) prosesus nasalis os frontalis, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago ala mayor, 3) tepi anterior kartilago
septum.8,9

Gambar 1. Anatomi Pembentuk Hidung Luar.1

3
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh cavum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasofaring.8,9
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu medial, lateral, inferior dan superior.8,9
Dinding medial hidung adalah sepum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari 1) lamina perendikularis os edmoidalis 2) os
vomer, 3) krista nasalis os maxilla, 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
terdiri dari 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.8,9
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adlah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka superema. Konka
superema ini biasanya rudimenter.8,9
Konka superema, konka superior dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maxilla bagian superior dan palatum. Konka inferior adalah tulang yang memanjang
berbentuk seperti kulit kerang, bagian superior melekat ke dinding lateral cavum nasi.
Ada tepi melengkung yang memisahkan permukaan medial dengan lateral. Tepi bebas
inferior melengkung dari depan ke belakang dan dari atas ke bawah, dengan bagian
cembungnya menghadap kearah septum.8,9
Tulang yang membentuk konka berlubang-lubang seakan-akan mempunyai sel-
sel sehingga penampangnya kasar dan berlekuk-lekuk. Ujung anterior dan posterior
agak meruncing.Permukaan konka berlubang-lubang di beberapa tempat untuk dilalui
pembuluh darah. Lekukan longitudinal atau parit-parit juga membantu distribusi
4
pembuluh darah besar. Mukosa konka tebal, kaya akan pembuluh darah, dan melekat
erat pada perikondrium atau periosteum.8,9

Gambar 2. Anatomi dinding lateral hidung.2

Konka media dan konka inferior dilapisi oleh epitel-epitel torak berlapis semu
bersilia, yang ujung-ujung anteriornya pada orang dewasa epitelnya dapat berubah
menjadi epitel kubik atau gepeng. Stroma konka media mengandung banyak sekali
kelenjar, sedangkan struma konka inferior banyak mengandung pembuluh darah. Pada
konka inferior juga ada kelenjar, tetapi tidak sebanyak konka media.8,9
Pembuluh-pembuh darah di konka inferior adalah pleksus vena yang
membentuk jaringan erektil hidung dan letaknya terutama pada sisi bawah konka
inferior dan ujung posterior konka inferior dan media.8,9
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus inferior,
meatus media dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
didndin lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal , sinus
maxilla, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang

5
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus spenoidalis.8,9
Batas rongga hidung, dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh prosesus palatina os maxilla dan prosesus horizontal os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krobroformis merupakan
lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf oftalmikus. Dibagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.8,9

PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama 1)
a.etmoidalis anterior, 2) a. edmoidalis posterior, 3) a. sfenopalatina, cabang terminal
dari a. maksilaris interna, yang berasal dari a. karotis interna.8,9
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anteriordan
posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. Maxillaris interna,
diantaranya ialah ujung a. Palatina mayor dan a. Sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. Sfenopalatina dam memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media.8,9

Gambar 3. Perdarahan Arteri Dinding Lateral Hidung3


6
Bagin depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. Fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. Sfenopalatina, a.
Palatina mayor, a. Etmoid anterior, a. Labialis superior, yang disebut sebagai pleksus
kiesselbach (littel’s area). Pleksus kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama
pada anak.8,9

Gambar 4. Perdarahan Arteri Dinding Medial Hidung.4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung ke v. Oftalmika dan v.
facialis yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi samapai ke intrakranial.8,9,10

PERSARAFAN HIDUNG
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n.
Oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. Maxilla melalui ganglion sfenopalatina.8,9

7
Gambar 5. Persarafan Dinding Lateral Dan Medial Hidung.5

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf sensoris dari n. Maxilla (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
Petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. Petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.8,9
Fungsi penghidu berasal dari n. Oftalmikus. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus oftalmikus dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.8,9

2.1.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dari teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:8
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.

8
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal

Gambar 6. Fisiologi Hidung6


FUNGSI RESPIRASI
Hidung merupakan tempat lalunyaudara pernapasan masuk dan keluar.
Dibagian depan ditunjang oleh kartilago lateralis superior dan inferior yang setengah
kaku, pada inspirasi kuat dinding lateral hidung dapat tertarik kedalam. Sedangkan
bagian posterior saluran udara ini kaku.8,9
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang
dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.8,9

9
Suhu udara yang melalui hidung akan diatur sehingga berkisar 37 oC. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.8

FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius dan epitel oftalmikus berlapis semu yang berwarna kecklatan pada
atap rongga hiung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas
dengan kuat.8,9
Menurut teori stereokimia, untuk penghidu setiap bau-bauan kimia atau dasar
indra penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat
elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor yang
bentuk dan dimensinya tertentu, sehingga satu molekul bau yang spesifik
membutuhkan partikel reseptor tersendiri.9
Bau-bauan primer adalah bau-bauan eterial, kamper, “musky” wangi bunga,
bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan
kombinasi yang ditimbulkan oleh peraturan molekul-molekul dengan dua atau lebih
reseptor.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manisyang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strowberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal
dari cuka dan asam jawa.8,9

FUNGSI FONETIK
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
10
konsonen nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun
untuk aliran udara.8

REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.8

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
(reaksi hipersensitifitas tipe 1) pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia yaitu ig E ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut, dengan gejala bersin-bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan
palatum), hidung tersumbat, hidung berair, mata berair, post nasal drip, tekanan pada
sinus dan rasa lelah yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.¹,2,3,4

Rinitis alergi (RA), secara klinis merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen pada mukosa
hidung, diikuti oleh ikatan alergen – IgE pada sel mast dan basofil yang tersensitisasi.
Gejala yang timbul antara lain rinore, buntu hidung, gatal pada hidung, bersin dan pada
beberapa kasus terdapat gejala mata, telinga dan tenggorok.11

Berdasarkan ARIA 2007, klasifikasi RA didasarkan pada parameter gejala,


kualitas hidup, durasi dan tingkat keparahan, menjadi kelompok persisten dan
intermiten dengan derajat ringan dan sedang berat.Rinitis alergi merupakan masalah
kesehatan global yang dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua
tingkat usia, dengan puncak pada usia produktif.11

3.2 Etiologi

Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi :4


1. Riwayat atopi keluarga
2. IgE serum lebih tinggi daripada 100 IU/ml pada anak di bawah usia 6 tahun
3. Keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi
4. Paparan terhadap alergen rumah tangga seperti hewan dan tungau debu
rumah tangga
5. Uji kulit tusuk positif.

12
Faktor predisposisi terjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor lain
misalnya pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama
dapat menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat muncul
bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu. Pada penelitian didapatkan 48% pasien
mempunyai riwayat atopi. Riwayat atopi keluarga ditemukan pada ibu (42%); ayah
(40%), dan pada saudara kandung (24%).4,5
Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentuk antibodi alergi (IgE)
dalam memberikan respons terhadap alergen spesifik. Atopi merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan rinitis alergi. Periode kritis sensitisasi allergen terjadi sampai usia
dua atau tiga tahun.4
Apabila didapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya, kemungkinan
risiko rinitis alergi lebih besar dibandingkan apabila salah satu dari orang tuanya yang
atopi, namun perlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan multifaktorial. Seseorang
tanpa riwayat keluarga atopi dapat menderita rinitis alergi. Individu atopi mewariskan
kecenderungan terjadinya respons imun limfosit Th2 dengan pembentukan IgE-sel
mast.4
Paparan terhadap alergen tungau debu rumah, kecoa, kucing, anjing dan hewan
piaraan lain, serbuk sari atau alergen lain untuk jangka lama dengan konsentrasi rendah
menyebabkan presentasi alergen oleh antigen presenting cell (APC) terhadap CD41.
Alergrn penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen
ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe 1 pada telinga, hidung dan tenggorok
anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.4,5

3.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi sekitar
10 hingga 25% populasi. Pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih tinggi seperti
di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di Amerika berkisar 33,6%.
Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun data dari berbagai rumah
sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki frekuensi berkisar 10-26%.2,12

13
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani
memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu juga dengan
prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria
(lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong (25-30%).2,12
Rinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal tetapi gejalanya dapat
mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup penderita.
Penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu efektif kerja, dan prestasi
sekolah. Dampak secara ekonomi di Amerika mencapai 3 juta dolar dan tambahan 4
juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis dan asma.2

3.4 Patofisiologi
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka
(Amerika) dan Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung timbulnya
penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan diagnostik.
Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk membuktikan adanya IgE
yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi mediator yang dilepaskan.1,5,12
Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan
reaksi alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah kontak
dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen,
sedangkan RAFL berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8
jam pertama.1,5,12
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup
bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit
yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau
APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang
berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk
kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0).1,5,12
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
14
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.1,5,12

Gambar 7. Reaksi alergi yang bersifat akut dan kronis.7

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain histamin
dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.1,5,12
15
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu
histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain
seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.1,5,12
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan
berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil,
basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung.1,5,12
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi.1,5,12
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita
yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel
B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas
dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas
tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit.1,5,12
Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari
sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung.
Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau
penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang
positif.1,5,12

16
3.5 Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,4
 Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara peernapasan,
misalnya : tungau debu rumah (D. Pteronissinus, D. Farinae, B.
Tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing),
rerumputan (bermuda grass) serta jamur (aspergilus alternaria)
 Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan.
 Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
 Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

1. Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis dibagi atas :1,13


 Rinitis alergi musiman (seasonal, hay faver, polinolis). Di indonesia
tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada dinegara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
pollinosis.
 Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) gejala pada penyakit ini
timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contoh :
tungau dan alergen diluar rumah (autdoor). Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologi pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan
dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
17
2. Berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :1,4,5,13
 Intermiten (kadang –kadang): Bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu
atau kurang dari 4 minggu. Gejala dijumpai hilang timbul dan biasanya
terdapat dinegara dengan 4 musim. Terdapat 3 kelompok alergen
serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini
berturut-turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim
gugur.
Sering terjadi mulai masa anak-anak dan paling sering pada dewasa
muda, yang meningkat sesuai degan bertambahnya umur dan menjadi
masalah pada usia tua.
 Persisten /menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan lebih dari
4 minggu. Gejala rinitis alergi ini dapat terjadi sepanjang tahun,
penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik. Gejalanya
sering timbul tetapi hanya sekitar 2-4 % popiulasi yang mengalami
gejala yang berarti.
3. Berdasarkan berat ringannya penyakit dibagi menjadi :1,5,6,13
 Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian(seperti bersekolah, bekerja, berolahraga), bersantai, dan hal-hal
lain yang mengganggu.
 Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut, dan
terdapat gejala yang berat. Berdasarkan penelitian di RSUP Dr.
Kariadi semarang derajat sedang-berat memiiki prevalensi angka
kejadian tertinggi dibandingkan derajat ringan.

3.6 Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1,11
3.6.1 Anamnesis
anamnesa sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
18
ditegakkan berdasarkan anamnesa saja, rinitis alergi biasanya mulai
timbul pada kanak-kanak dan ditandai dengan gejala rinitis alergi
yang khas:1,11
 Bersin (lebih dari 5 kali setiap serangan)
 Rinore (ingus bening encer)
 Hidung tersumbat (menetap / bergantian)
 Gatal di hidung, tenggorok, langit langit atau telinga
 Mata gatal berair dan kemerahan
 Hiposmia atau anosmia
 Post nasal drip atau batuk kronik
 Variasi diurnal (memburuk pada pagi hingga siang, membaik
saat malam hari)
 Frekuensi serangan, beratnya, durasi, intermiten atau persisten
 Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti gangguan pekerjaan,
sekolah, tidur dan aktivitas sehari-hari.
3.6.2. Pemeriksaan Fisik1, 11
 Hidung
Menggunakan spekulum hidung yaitu rinoskopi anterior, untuk
melihat patologi kavum nasi, misalnya mukosa edema dan
kebiruan atau pucat (livid), adanya secret encer yang banyak,
hidung buntu. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi, untuk memperjelas dapat dilakukan pemeriksaan
nasoendoskopi.
 Ciri umum muka
Tampak warna kebiruan infra orbita (allergic shinners), lipatan
menonjol di bawah kelopak mata inferior (Morgan-Dennie lines),
tampak garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga bawah
disebut (nasal crease) dan tampak anak menggosok hidung, karena
gatal dengan punggung tangan. (allergic salute),
 Telinga, mata, mulut dan faring

19
Menilai keadaan membrana timpani, udem konjungtiva, mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid), lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)
dan keadaan faring, dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal.
 Leher, paru dan kulit
Evaluasi untuk mencari gejala klinis asma dan dermatitis atopik.

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai
dengan fasilitas yang ada.1,11,12
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk
mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil
pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan
Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas
tersedia.
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan
75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis
alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis
rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi
dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST
(Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE

20
serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan
menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya,
seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan
lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang
dari 3 jam saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung.
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis
alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu
negatif.
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika
direncanakan tindakan operasi.

Tabel 1. Klasifikasi Klinis Rinitis.1


21
3.6.4. Diagnosa Banding.14

Alternative Diagnosis Typical Characteristics

Acute rhinosinusitis Facial pressure or pain, purulent nasal discharge;


maxillary toothache; failure to respond to
decongestants; fever or cough may be present;
typically follows an allergy flare-up or a viral URI
Chronic rhinosinusitis Facial pressure or pain, purulent discharge; fever
often absent; may be present in addition to allergic
rhinitis; symptoms may wax and wane over time;
chronic hyposmia.
Viral URI Self-limited course with symptoms (clear
rhinorrhea, cough, ache, low grade fever) usually
resolving within 3-7 days
Structural abnormalities Include nasal septal deviation, nasal polyps,
enlarged turbinates, adenoidal hypertrophy.
Obstruction may be unilateral or bilateral and may
or may not be seen on routine nasal examination.
Gustatory rhinitis Clear rhinorrhea caused by hot (i.e. soup) or spicy
foods, may have prominent nasal congestion as a
symptom.
Rhinitis medicamentosa Also called “rebound rhinitis;” caused by overuse
of topical decongestants; diagnosis is easily made
by history; may mask another underlying condition
such as septal deviation or allergic rhinitis.
Autonomic dysfunction (vasomotor rhinitis ) Clear rhinorrhea, nasal obstruction, often depends
on position (e.g., supine), may be episodic.
Pregnancy may exacerbate symptoms. Common in
geriatric patients
Medication side effect Common medications causing rhinitis symptoms
Atrophic rhinitis include calcium channel blockers, beta blockers,
ACE inhibitors and alpha blockers
Also called “ozena”, caused by over-resection of
nasal turbinate tissue or poor mucus production,
resulting in nasal dryness and crusting. Foul odor
may be present.
Gastroesophageal reflux Under-recognized cause of post-nasal drip, cough,
Non-allergic rhinitis and globus sensation; hoarseness or frequent throat
clearing may also be present
Post-nasal drip sensation often with morning
phlegm

22
3.6.5. Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi cukup jarang terjadi, namun ada beberapa
penyakit yang menjadi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering
diantaranya adalah :1,7
 Penyakit rinitis alergi berhubungan dengan asma bronkial,
sekitar 3-10% kasus asma bronkial di Amerika diikuti oleh
rinitis alergi.
 Polip hidung, beberapa penelitian mendapatkan bahwa, alergi
hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya
polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
 Ototis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-
anak
 Rinosinusitis

23
BAB IV
PENATALAKSANAAN

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang


dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik
yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan pengobatan rinitis
alergi adalah :1,2,5,7
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-
hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti pola makanan
yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.

Terapi rinitis alergi harus mempertimbangkan gejala utama, derajat, kualitas


hidup, dan cost effectiveness. Terapi rinitis alergi meliputi control lingkungan,
farmakoterapi, dan immunoterapi. Farmakoterapi meliputi pemberian antihistamin,
kortikosteroid, nasal dekongestan, antileukotrin, mukolitik. Bila secara farmakoterapi
mengalami kegagalan bisa dilanjutkan dengan imunoterapi dan sebagai wacana baru
adalah terapi anti Ig E antibodi yang merupakan alternatif dalam penatalaksaan pasien
dengan penyakit alergi.1,2

1. Kontrol lingkungan
Salah satu penanganan rinitis alergi yang penting adalah menghindari
alergen. Sementara ini tidak ada keraguan bahwa menghindari alergen efektif
dapat memberikan perbaikan klinis, hanya dalam prakteknya banyak kesulitan.
Misalnya pada seseorang yang alergi kucing dia tetap memelihara kucing dan
24
membiarkan gejala alerginya berlanjut, demikian juga seseorang yang alergi
tepung sari walaupun dia tidak masuk taman tetapi tetap terkena paparan karena
tingginya kadar tepung sari di udara.1,2
2. Antihistamin.
Pemberian antihistamin oral dosis tunggal merupakan first line terapi
untuk kasus rinitis alergi ringan. Gejala – gejala alergi (gatal,bersin, pilek dan
hidung tersumbat) disebabkan interaksi antara mediator dengan saraf,
pembuluh darah dan kelenjar yang berada di rongga hidung. Histamin melalui
interaksinya dengan reseptor H1 mempunyai peran dalam mediator inflamasi
yang terlibat dalam proses ini. Aktivitas antihistamin disebabkan peran
antagonis hiatamin pada reseptornya.1,2,5,7
Antihistamin generasi pertam efektif menekan respon alergi tetapi
kemampuannya menembus sawar darahotak menimbulkan efek samping sentra
yang dibagi dalam 3 kategori yaitu depresif, stimulatori dan neuropsikiatri. Juga
terdapat efek antikolinergik perifer seperti mata kabur, dilatasi pupil, mulut
kering dan gangguan berkemih.1,2,5,7
Sebagian besar antihistamin generasi kedua tidak mampu menembus
sawar darah otak karena perubahan sifat lipophobisitis dan elektrostatis tetapi
pada dosis tinggi terdapat efek sedasi. Fexofenadine antihistamin generasi
terbaru merupakan sediaan tanpa efek sedasi walaupun dalam dosis tinggi
direkomendasikan pemakiannya oleh Royal Air Force pada pilot karena tidak
ada efek sedasi dan gangguan psikomotor.1,2,5,7
Terfenadine dan astemizole penggunaannya terbatas karena dapat
menimbulkan aritmia jantung sehingga dengan alasan keamanan obat tersebut
ditarik dari peredaran.1,2,5,7
3. Steroid intranasal
Pemakaian steroid intranasal direkomendasikan untuk rinitis alergi
sedang-berat, secara efektif dapat mengatasi gejala-gejala elergi pada anakanak
dan dewasa. Walaupun availabilitas dan dosis obat rendah pada pemakaian
steroid intranasal harus diwaspadai efek supresinya terhadap aksis HPA, dan
resiko gangguan pertumbuhan pada anak-anak.2
25
4. Dekongestan
Dekongestan sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi untuk
menghilangkan keluhan hidung tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif
tetapi ada resiko tachyphilaxis dan rebound phenomen jika pemberiannya
dihentikan. Sedangkan sediaan oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan
kenaikan tekanan darah.2,5
5. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfracuted, inferior turbinoplasty perlu
dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasilkan
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triktor asetat,1
6. Imunoterapi
Imunoterapi memberikan kemungkinan kesembuhan yang permanen,
tetapi memerlukan waktu terapi jangka lama sehingga memiliki keterbatasan
hanya dapat diterapkan pada pasien tertentu, pemberiannya harus dilakukan
oleh dokter spesialis dan tidak dianjurkan pada pasien multipel alergi.2,7
7. Anti IgE Antibodi
Sebagian besar terapi yang ada sekarang hanya mengurangi gejala,
tidak mempengaruhi perjalanan penyakit, diketahuinya patofisiologi penyakit
alergi membuka kesempatan untuk mengembangkan terapi baru. Semakin besar
pengetahuan mekanisme keseimbangan antara sel-sel Th1 dan Th2 dan sitokin-
sitokin yang diproduksi dikembangkan target penghambatan efek bradikinin,
substansi P, leukotrin, antibodi IgE, triptase, plateletactivating factor dan
prostaglandin.2,7
IgE tampaknya memiliki peran kunci pada reaksi alergi sehingga
menjadi pusat perhatian dalam modifikasi terapi Reaksi inflamasi alergi pada
saluran pernafasan disebabkan kegagalan kontrol respon imunologi yang
dimediasi oleh IgE. Sehingga kenaikan kadar imunoglobulin bebas dalam darah
dianggap sebagai petanda penyakit atopi.2,7
Aktifitas Biologi IgE dimediasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi
(FcåRI) dan reseptor afinitas rendah (FcåRII atau CD23), sedangkan sel mast
26
pada penderita atopi memiliki peningkatan jumlah reseptor FcåRI sehingga
berhubungan dengan peningkatan pengikatan IgE dan mudah terjadi
degranulasi.2,7

Tabel 2. Algoritma Diagnosa dan Tatalaksana Rinitis Alergi2


27
BAB V
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
(reaksi hipersensitifitas tipe 1) pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia yaitu ig E ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut, dengan gejala bersin-bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan
palatum), hidung tersumbat, hidung berair, mata berair, post nasal drip, tekanan pada
sinus dan rasa lelah yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.

Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan sesuai dengan berat ringannya


penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi rinitis alergi
yaitu dengan menghindari paparan alergen bila mungkin, edukasi kemudian pemberian
anti histamin, dekongestan, atau kombinasi dekongestan-anti histamin. Pengobatan
dengan kortikosteroid sistemik untuk jangka pendek pada penderita rinitis alergi
musiman yang berat dan berlangsung singkat juga sangat efektif selain itu dapat juga
dilakukan operasi maupun imunoterapi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepsrdi Asyad E, Iskandar N, Bashiruddin J. 2012. Rinitis Alergi. Buku Ajar


IlmuKesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorokan Kepala Dan Leher. FK.UI
Jakarta, Hal: 106-112.
2. Widuri, A. 2009. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara Medika. FK.
UMY Yogyakarta.
3. Sudiro M, Mediadipoera T, Purwanto B. 2010. Eosinifil Kerokan Mukosa
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. FK. Panjajaran. Bandung.
4. Harsono G, Munasir Z, Siregar PS. 2007. Faktor yang Diduga Menjadi Resiko
Pada Anak Dengan Rinitis Alergi Di RSU DR. Cipto mangunkusumo Jakarta.
FK. Brawijaya. Malang
5. Ap Arwin, Munasir Z, kurniati N. 2010. Rinitis Alergi. Buku Ajar Alergik
Imunologik Anak Edisi 2. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. Hal 245-251
6. Rafi M, Adnan A, Masdar H.2015. Gambaran Rinitis Alergi Pada Mahasiswa
Ffakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2011-2014 Dalam JOM FK
Vol. 2 Riau. Hal 1-6.
7. Ballenger J. Peran Hipersensitifitas dengan Perantaraan igE pada otitis Media
dan Rinitis. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Tangerang. Binapura Aksara Publisher, Hal: 159-181.
8. Soepsrdi Asyad E, Iskandar N, Bashiruddin J. 2012. Rinitis Alergi. Buku Ajar
IlmuKesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorokan Kepala Dan Leher. FK.UI
Jakarta, Hal: 96-100
9. Ballenger J. Peran Hipersensitifitas dengan Perantaraan igE pada otitis Media
dan Rinitis. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Tangerang. Binapura Aksara Publisher, Hal:1-27
10. Nagel P, Gurvon R. 2012. Rinitis Alergi dan Vasomotor. Dasar-Dasar Ilmu
THT Edisi 2 Hal : 34-35. EGC. Jakarta

29
11. Selvianti, Pawarti RD. 2009. Anti Imunoglobulin E (Omalizumab) Pada Terapi
Rinitis Alergi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya.
12. Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Padang
13. Keel Z, Neus, oorheelkunde. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok,
Hidung dan Telinga. EGC. Jakarta.
14. Deguzman AD. 2013. Alergik Rinitis. Michigan Medicine University of
Michigan.
15. Alergik Rinitis and its Impact on Asthma. 2007. WHO

30

Anda mungkin juga menyukai