PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
(reaksi hipersensitifitas tipe 1 pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia yaitu ig E ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut, dengan gejala bersin-bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan
palatum), hidung tersumbat, hidung berair, mata berair, post nasal drip, tekanan pada
sinus dan rasa lelah yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.¹,2,3,4
Geja rinitis alergi dapat dicetuskan dari beberapa fakor, diantaranya pajanan
udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk deterjen,
serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non
spesifik. Beberapa aeroalergen yang paling banyak ditemukan adalah D.
Farinae(63,51%) diikuti dengan D. Pteronyssinus (60,81%) serta Blomia tropicalis
(58,10%) sebagai tungau debu rumah yang paling banyak menimbulkan reaksi rinitis
alergi.5,6
Data WHO tahun 2000, rinitis alergi di Amerika Utara dan Eropa Barat, terjadi
peningkatan prevalensi rinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28% dalam 10 tahun
terakhir. Peningkatan prevalensi rinitis alergi pada usia anak sekolah di Eropa Barat
menjadi dua kali lipat. Prevalensi rinitis alergi seasonal dan perennial di USA
meningkat mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun.3,6
Di Indonesia belum ada angka yang pasti, Dari hasil penelitian yang dilakukan
di Bandung, prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%),
dan dari hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad Pekanbaru periode Januari 2006-Desember 2006. terhadap 221
kasus rinitis alergi menunjukkan kasus rinitis alergi terbanyak pada umur 15-24 tahun
(22,3%) dan lebih banyak pada perempuan 128 (57,92%).3,6
1
Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat
ringannya penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi
rinitis alergi yaitu dengan menghindari paparan alergen bila mungkin, edukasi
kemudian pemberian anti histamin, dekongestan, atau kombinasi dekongestan-anti
histamin. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik untuk jangka pendek pada
penderita rinitis alergi musiman yang berat dan berlangsung singkat juga sangat efektif
selain itu dapat juga dilakukan operasi maupun imunoterapi.2,7
2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
3
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh cavum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasofaring.8,9
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu medial, lateral, inferior dan superior.8,9
Dinding medial hidung adalah sepum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari 1) lamina perendikularis os edmoidalis 2) os
vomer, 3) krista nasalis os maxilla, 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
terdiri dari 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.8,9
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adlah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka superema. Konka
superema ini biasanya rudimenter.8,9
Konka superema, konka superior dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maxilla bagian superior dan palatum. Konka inferior adalah tulang yang memanjang
berbentuk seperti kulit kerang, bagian superior melekat ke dinding lateral cavum nasi.
Ada tepi melengkung yang memisahkan permukaan medial dengan lateral. Tepi bebas
inferior melengkung dari depan ke belakang dan dari atas ke bawah, dengan bagian
cembungnya menghadap kearah septum.8,9
Tulang yang membentuk konka berlubang-lubang seakan-akan mempunyai sel-
sel sehingga penampangnya kasar dan berlekuk-lekuk. Ujung anterior dan posterior
agak meruncing.Permukaan konka berlubang-lubang di beberapa tempat untuk dilalui
pembuluh darah. Lekukan longitudinal atau parit-parit juga membantu distribusi
4
pembuluh darah besar. Mukosa konka tebal, kaya akan pembuluh darah, dan melekat
erat pada perikondrium atau periosteum.8,9
Konka media dan konka inferior dilapisi oleh epitel-epitel torak berlapis semu
bersilia, yang ujung-ujung anteriornya pada orang dewasa epitelnya dapat berubah
menjadi epitel kubik atau gepeng. Stroma konka media mengandung banyak sekali
kelenjar, sedangkan struma konka inferior banyak mengandung pembuluh darah. Pada
konka inferior juga ada kelenjar, tetapi tidak sebanyak konka media.8,9
Pembuluh-pembuh darah di konka inferior adalah pleksus vena yang
membentuk jaringan erektil hidung dan letaknya terutama pada sisi bawah konka
inferior dan ujung posterior konka inferior dan media.8,9
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus inferior,
meatus media dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
didndin lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal , sinus
maxilla, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
5
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus spenoidalis.8,9
Batas rongga hidung, dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh prosesus palatina os maxilla dan prosesus horizontal os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krobroformis merupakan
lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf oftalmikus. Dibagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.8,9
PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama 1)
a.etmoidalis anterior, 2) a. edmoidalis posterior, 3) a. sfenopalatina, cabang terminal
dari a. maksilaris interna, yang berasal dari a. karotis interna.8,9
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anteriordan
posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. Maxillaris interna,
diantaranya ialah ujung a. Palatina mayor dan a. Sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. Sfenopalatina dam memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media.8,9
PERSARAFAN HIDUNG
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n.
Oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. Maxilla melalui ganglion sfenopalatina.8,9
7
Gambar 5. Persarafan Dinding Lateral Dan Medial Hidung.5
8
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal
9
Suhu udara yang melalui hidung akan diatur sehingga berkisar 37 oC. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.8
FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius dan epitel oftalmikus berlapis semu yang berwarna kecklatan pada
atap rongga hiung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas
dengan kuat.8,9
Menurut teori stereokimia, untuk penghidu setiap bau-bauan kimia atau dasar
indra penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat
elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor yang
bentuk dan dimensinya tertentu, sehingga satu molekul bau yang spesifik
membutuhkan partikel reseptor tersendiri.9
Bau-bauan primer adalah bau-bauan eterial, kamper, “musky” wangi bunga,
bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan
kombinasi yang ditimbulkan oleh peraturan molekul-molekul dengan dua atau lebih
reseptor.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manisyang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strowberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal
dari cuka dan asam jawa.8,9
FUNGSI FONETIK
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
10
konsonen nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun
untuk aliran udara.8
REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.8
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Rinitis alergi (RA), secara klinis merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen pada mukosa
hidung, diikuti oleh ikatan alergen – IgE pada sel mast dan basofil yang tersensitisasi.
Gejala yang timbul antara lain rinore, buntu hidung, gatal pada hidung, bersin dan pada
beberapa kasus terdapat gejala mata, telinga dan tenggorok.11
3.2 Etiologi
12
Faktor predisposisi terjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor lain
misalnya pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama
dapat menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat muncul
bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu. Pada penelitian didapatkan 48% pasien
mempunyai riwayat atopi. Riwayat atopi keluarga ditemukan pada ibu (42%); ayah
(40%), dan pada saudara kandung (24%).4,5
Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentuk antibodi alergi (IgE)
dalam memberikan respons terhadap alergen spesifik. Atopi merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan rinitis alergi. Periode kritis sensitisasi allergen terjadi sampai usia
dua atau tiga tahun.4
Apabila didapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya, kemungkinan
risiko rinitis alergi lebih besar dibandingkan apabila salah satu dari orang tuanya yang
atopi, namun perlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan multifaktorial. Seseorang
tanpa riwayat keluarga atopi dapat menderita rinitis alergi. Individu atopi mewariskan
kecenderungan terjadinya respons imun limfosit Th2 dengan pembentukan IgE-sel
mast.4
Paparan terhadap alergen tungau debu rumah, kecoa, kucing, anjing dan hewan
piaraan lain, serbuk sari atau alergen lain untuk jangka lama dengan konsentrasi rendah
menyebabkan presentasi alergen oleh antigen presenting cell (APC) terhadap CD41.
Alergrn penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen
ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe 1 pada telinga, hidung dan tenggorok
anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.4,5
3.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi sekitar
10 hingga 25% populasi. Pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih tinggi seperti
di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di Amerika berkisar 33,6%.
Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun data dari berbagai rumah
sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki frekuensi berkisar 10-26%.2,12
13
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani
memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu juga dengan
prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria
(lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong (25-30%).2,12
Rinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal tetapi gejalanya dapat
mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup penderita.
Penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu efektif kerja, dan prestasi
sekolah. Dampak secara ekonomi di Amerika mencapai 3 juta dolar dan tambahan 4
juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis dan asma.2
3.4 Patofisiologi
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka
(Amerika) dan Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung timbulnya
penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan diagnostik.
Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk membuktikan adanya IgE
yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi mediator yang dilepaskan.1,5,12
Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan
reaksi alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah kontak
dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen,
sedangkan RAFL berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8
jam pertama.1,5,12
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup
bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit
yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau
APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang
berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk
kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0).1,5,12
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
14
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.1,5,12
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain histamin
dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.1,5,12
15
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu
histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain
seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.1,5,12
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan
berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil,
basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung.1,5,12
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi.1,5,12
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita
yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel
B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas
dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas
tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit.1,5,12
Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari
sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung.
Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau
penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang
positif.1,5,12
16
3.5 Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,4
Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara peernapasan,
misalnya : tungau debu rumah (D. Pteronissinus, D. Farinae, B.
Tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing),
rerumputan (bermuda grass) serta jamur (aspergilus alternaria)
Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan.
Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
19
Menilai keadaan membrana timpani, udem konjungtiva, mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid), lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)
dan keadaan faring, dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal.
Leher, paru dan kulit
Evaluasi untuk mencari gejala klinis asma dan dermatitis atopik.
20
serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan
menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya,
seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan
lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang
dari 3 jam saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung.
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis
alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu
negatif.
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika
direncanakan tindakan operasi.
22
3.6.5. Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi cukup jarang terjadi, namun ada beberapa
penyakit yang menjadi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering
diantaranya adalah :1,7
Penyakit rinitis alergi berhubungan dengan asma bronkial,
sekitar 3-10% kasus asma bronkial di Amerika diikuti oleh
rinitis alergi.
Polip hidung, beberapa penelitian mendapatkan bahwa, alergi
hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya
polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Ototis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-
anak
Rinosinusitis
23
BAB IV
PENATALAKSANAAN
1. Kontrol lingkungan
Salah satu penanganan rinitis alergi yang penting adalah menghindari
alergen. Sementara ini tidak ada keraguan bahwa menghindari alergen efektif
dapat memberikan perbaikan klinis, hanya dalam prakteknya banyak kesulitan.
Misalnya pada seseorang yang alergi kucing dia tetap memelihara kucing dan
24
membiarkan gejala alerginya berlanjut, demikian juga seseorang yang alergi
tepung sari walaupun dia tidak masuk taman tetapi tetap terkena paparan karena
tingginya kadar tepung sari di udara.1,2
2. Antihistamin.
Pemberian antihistamin oral dosis tunggal merupakan first line terapi
untuk kasus rinitis alergi ringan. Gejala – gejala alergi (gatal,bersin, pilek dan
hidung tersumbat) disebabkan interaksi antara mediator dengan saraf,
pembuluh darah dan kelenjar yang berada di rongga hidung. Histamin melalui
interaksinya dengan reseptor H1 mempunyai peran dalam mediator inflamasi
yang terlibat dalam proses ini. Aktivitas antihistamin disebabkan peran
antagonis hiatamin pada reseptornya.1,2,5,7
Antihistamin generasi pertam efektif menekan respon alergi tetapi
kemampuannya menembus sawar darahotak menimbulkan efek samping sentra
yang dibagi dalam 3 kategori yaitu depresif, stimulatori dan neuropsikiatri. Juga
terdapat efek antikolinergik perifer seperti mata kabur, dilatasi pupil, mulut
kering dan gangguan berkemih.1,2,5,7
Sebagian besar antihistamin generasi kedua tidak mampu menembus
sawar darah otak karena perubahan sifat lipophobisitis dan elektrostatis tetapi
pada dosis tinggi terdapat efek sedasi. Fexofenadine antihistamin generasi
terbaru merupakan sediaan tanpa efek sedasi walaupun dalam dosis tinggi
direkomendasikan pemakiannya oleh Royal Air Force pada pilot karena tidak
ada efek sedasi dan gangguan psikomotor.1,2,5,7
Terfenadine dan astemizole penggunaannya terbatas karena dapat
menimbulkan aritmia jantung sehingga dengan alasan keamanan obat tersebut
ditarik dari peredaran.1,2,5,7
3. Steroid intranasal
Pemakaian steroid intranasal direkomendasikan untuk rinitis alergi
sedang-berat, secara efektif dapat mengatasi gejala-gejala elergi pada anakanak
dan dewasa. Walaupun availabilitas dan dosis obat rendah pada pemakaian
steroid intranasal harus diwaspadai efek supresinya terhadap aksis HPA, dan
resiko gangguan pertumbuhan pada anak-anak.2
25
4. Dekongestan
Dekongestan sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi untuk
menghilangkan keluhan hidung tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif
tetapi ada resiko tachyphilaxis dan rebound phenomen jika pemberiannya
dihentikan. Sedangkan sediaan oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan
kenaikan tekanan darah.2,5
5. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfracuted, inferior turbinoplasty perlu
dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasilkan
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triktor asetat,1
6. Imunoterapi
Imunoterapi memberikan kemungkinan kesembuhan yang permanen,
tetapi memerlukan waktu terapi jangka lama sehingga memiliki keterbatasan
hanya dapat diterapkan pada pasien tertentu, pemberiannya harus dilakukan
oleh dokter spesialis dan tidak dianjurkan pada pasien multipel alergi.2,7
7. Anti IgE Antibodi
Sebagian besar terapi yang ada sekarang hanya mengurangi gejala,
tidak mempengaruhi perjalanan penyakit, diketahuinya patofisiologi penyakit
alergi membuka kesempatan untuk mengembangkan terapi baru. Semakin besar
pengetahuan mekanisme keseimbangan antara sel-sel Th1 dan Th2 dan sitokin-
sitokin yang diproduksi dikembangkan target penghambatan efek bradikinin,
substansi P, leukotrin, antibodi IgE, triptase, plateletactivating factor dan
prostaglandin.2,7
IgE tampaknya memiliki peran kunci pada reaksi alergi sehingga
menjadi pusat perhatian dalam modifikasi terapi Reaksi inflamasi alergi pada
saluran pernafasan disebabkan kegagalan kontrol respon imunologi yang
dimediasi oleh IgE. Sehingga kenaikan kadar imunoglobulin bebas dalam darah
dianggap sebagai petanda penyakit atopi.2,7
Aktifitas Biologi IgE dimediasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi
(FcåRI) dan reseptor afinitas rendah (FcåRII atau CD23), sedangkan sel mast
26
pada penderita atopi memiliki peningkatan jumlah reseptor FcåRI sehingga
berhubungan dengan peningkatan pengikatan IgE dan mudah terjadi
degranulasi.2,7
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
(reaksi hipersensitifitas tipe 1) pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia yaitu ig E ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut, dengan gejala bersin-bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan
palatum), hidung tersumbat, hidung berair, mata berair, post nasal drip, tekanan pada
sinus dan rasa lelah yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
11. Selvianti, Pawarti RD. 2009. Anti Imunoglobulin E (Omalizumab) Pada Terapi
Rinitis Alergi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya.
12. Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Padang
13. Keel Z, Neus, oorheelkunde. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok,
Hidung dan Telinga. EGC. Jakarta.
14. Deguzman AD. 2013. Alergik Rinitis. Michigan Medicine University of
Michigan.
15. Alergik Rinitis and its Impact on Asthma. 2007. WHO
30