Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL

Disusun oleh:
Ayulaisitawati, S.Ked 04054821719014
Devin Chandra, S.Ked 04054821719021

Kepaniteraan Klinik Bagian Rehabilitasi Medik


Periode 22 November 2017 – 11 Desember 2017

Pembimbing: dr. Haidar Nasution

BAGIAN/DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Osteoarthritis Genu Bilateral

Oleh :
Ayulaisitawati, S. Ked
Devin Chandra, S. Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 22 November –
11 Desember 2017.

Palembang, Desember 2017

dr. Haidar Nasution

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Osteoarthritis Genu
Bilateral”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Rehabilitasi Medik RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Haidar Nasution selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Desember 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...............................................................................................iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................6
2.1. Anatomi Regio Lutut ..........................................................................6
2.2. Osteoarthritis
2.2.1. Definisi .....................................................................................9
2.2.2. Epidemiologi ............................................................................10
2.2.3. Etiologi .....................................................................................10
2.2.4. Manifestasi Klinis .....................................................................12
2.2.5. Patofisiologi ..............................................................................13
2.2.6. Pemeriksaan Umum..................................................................14
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang ............................................................17
2.2.8. Penegakan Diagnosis ................................................................19
2.2.9. Penatalaksanaan ........................................................................20
2.2.10. Edukasi ...................................................................................22
2.2.11. Prognosis ................................................................................26
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu gangguan kesehatan yang menonjol pada usia lanjut adalah gangguan
muskuloskeletal, salah satunya ialah Osteoarthritis. Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu
jenis radang sendi yang terjadi akibat kartilago sendi menipis. Kartilago adalah tulang rawan
yang menjadi bantalan di ujung tulang sehingga mencegah terjadinya gesekan antar ujung
tulang. Bila kartilago tersebut habis, maka ujung tulang pun akan rusak dan hancur sedikit
demi sedikit serta sendi akan terasa sakit.30
Sekitar 50% penderita OA mengalami perubahan radiologis namun hanya separuhnya
yang terdapat gejala-gejala. Osteoarthritis (OA) paling sering menyerang mereka yang sudah
lanjut usia, terutama di atas 40 tahun. Osteoarthritis menyerang pria dan wanita, tapi lebih
banyak wanita yang menderita penyakit ini dalam stadium sedang sampai berat. Di Amerika
Serikat, dilaporkan terjadi 1-10% dari populasi ratio laki-laki dan perempuan 1:1.
Prevelensinya dalam satu tahun berkisar antara 15% - 20% sedangkan insiden berdasarkan
kunjungan pasien baru ke pihak medis adalah 13,4%. 31
Menurut penelitian Warma Haditmaja (2011), jumlah prevelensi penderita
osteoarthritis di Indonesia berkisar 5- 10 % per tahunnya dengan perbandingan 2:1 antara
perempuan dan laki-laki. Dengan jumlah sekitar 30 % penderita yang berusia diatas 30 tahun
ke atas mengalami osteoarthritis. Data yang diperoleh bersumber dari RSAD Pelamonia
Tingkat II Makassar, menyebutkan bahwa selama 3 bulan terakhir dengan kunjungan pasien
berulang dengan 2 – 3 kali kunjungan setiap minggunya yakni antara bulan Agustus –
Oktober 2015 tercatat sekitar total kunjungan dengan kasus osteoarthritis ke fisioterapi
diperoleh data 10 orang laki – laki dan 26 orang perempuan.32
Penanganan OA pada lutut harus diusahakan seoptimal mungkin, dengan lebih dulu
memahami keluhan-keluhan yang ditimbulkan OA pada lutut tersebut. OA pada lutut dapat
menimbulkan gangguan kapasitas fisik yang berupa : (1) Adanya nyeri pada lutut baik nyeri
diam, tekan, ataupun gerak, (2) Adanya keterbatasan lingkup gerak sendi karena nyeri, (3)
Adanya spasme, penurunan kekuatan otot dan odema. Sedangkan gangguan fungsionalnya
berupa: (1) Adanya gangguan aktifitas jongkok berdiri, (2) Kesulitan untuk naik turun tangga
terutama saat menekuk dan menapak, (3) Berjalan jauh serta mengalami gangguan untuk
aktifitas sholat terutama untuk duduk antara dua sujud, serta berdiri lama.33
Berikut akan disampaikan sebuah laporan kasus seorang penderita osteoartritis genu
bilateral yang dirawat di bagian Rehabilitasi Medik RSMH.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi Regio Lutut


Sendi lutut dibentuk oleh epiphysis distalis tulang femur, epiphysis proxsimalis, tulang
tibia dan tulang patella, serta mempunyai beberapa sendi yang terbentuk dari tulang
yang berhubungan, yaitu antar tulang femur dan patella disebut articulatio patella
femoral, antara tulang tibia dengan tulang femur disebut articulatio tibio femoral dan
antara tulang tibia dengan tulang fibula proximal disebut articulatio tibio fibular
proxsimal.1
Tulang
Tulang-tulang yang membentuk sendi lutut diantaranya adalah tulang femur distal,
tulang tibia proksimal, tulang fibula dan tulang patella yaitu:
a. Tulang Femur
Tulang femur atau tulang paha merupakan tulang panjang terbesar pada manusia. Tulang
femur bersendi ke atas dengan pelvis dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur
terdiri dari epiphysis proksimal, diaphysis dan epiphysis distalis. Pada tulang femur ini
yang berfungsi dalam persendian lutut adalah epiphysis distalis. Epiphysis distalis
merupakan bulatan sepanjang yang disebut condylus femoralis lateralis dan medialis. Di
bagian proksimal tonjolan tersebut terdapat sebuah bulatan kecil yang disebut
epicondylus lateralis dan medialis. Pandangan dari depan, terdapat dataran sendi yang
melebar ke lateral yang disebut facies patellaris yang nantinya bersendi dengan tulang
patella. Dan pandangan dari belakang, diantara condylus lateralis dan medialis terdapat
cekungan yang disebut fossa intercondyloidea. 1

b. Tulang Patella
Tulang patella merupakan tulang dengan bentuk segitiga pipih dengan apeks menghadap
ke arah distal. Pada permukaan depan kasar sedangkan permukaan dalam atau dorsal
memiliki permukaan sendi yaitu facies articularis medialis yang sempit. 1

c. Tulang Tibia
Tulang tibia terdiri dari epiphysis proxsimalis, diaphysis, epiphysis diatalis. Epiphysis
proxsimalis pada tulang tibia terdiri dari dua bulatan yang disebut condylus lateralis dan
condylus medialis yang atasnya terdapat dataran sendi yang disebut facies artikularis
lateralis dan medialis yang dipisahkan oleh ementio intercondyolidea. Lutut merupakan

6
sendi yang bentuknya dapat dikatakan tidak ada kesusaian bentuk, kedua condylus dari
femur secara bersama-sama membentuk sejenis katrol (troclea), sebaliknya dataran tibia
tidak rata permukaannya, ketidaksesuaian ini dikompensasikan oleh bentuk meniscus. 1

d. Tulang Fibula
Tulang fibula ini berbentuk kecil panjang, terletak di sebelah lateral dari tibia juga terdiri
dari tiga bagian yaitu: epiphysis proximal, diaphysis, dan epiphysis distalis. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibula yang ke proximal meruncing menjadi
apex capitulis fibula. Pada capitulum terdapat dua dataran yang disebut facies articularis
capituli fibula untuk bersendi dengan tibia. Diaphysis mempunyai empat crista lateralis,
crista medialis, crista lateralis dan facies posterior. Epiphysis distalis ke arah lateral
membulat disebut malleolus lateralis (mata kaki luar). 1

Gambar 1. Tulang Penyusun Sendi Lutut

Ligamentum

Ligamentum mempunyai sifat ekstensibilitas dan kekuatan yang cukup kuat (tensile
strength) yang berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Ada
beberapa ligamen sendi lutut yaitu:

7
1. Ligamentum cruciatum anterior yang berjalan dari depan culimintio
intercondyloidea ke permukaan medial condyler lateralis femur yang
berfungsi menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan.
2. Ligamentum cruciatum posterior berjalan dari facies lateralis condylus
medialis femoris menuju ke fossa intercondylodea tibia, berfungsi menahan
bergesernya tibia ke arah belakang.
3. Ligamentum collateral lateral yang berjalan dari epicondylus lateralis ke
capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakan varus atau samping luar.
4. Ligamentum collateral mediale berjalan dari epicondylus medial ke
permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia) berfungsi menahan
gerakan valgus atau samping dalam eksorotasi. Namun secara bersamaan
fungsi – fungsi ligament collaterall menahan bergesernya tibia ke depan pada
fleksi lutut 90˚. 1

Gambar 2. Ligamen penyusun sendi lutut

Kapsul Sendi

Tulang-tulang pembentuk sendi dihubungkan satu dengan lainnya oleh selubung yang
disebut kapsula artikularis sebagai pembungkus yang mengelilingi permukaan-
permukaan sendi dan membungkus rapat ruang sendi yang terdapat diantara tulang-
tulang tersebut. Lapisan luar kapsula arikularis (lamina fibrosa) merupakan salah satu

8
struktur penting yang mengikat tulang-tulang pembentuk sendi. Lamina fibrosa dapat
menahan regangan yang kuat. Lapisan dalam kapsula artikularis (lamina synovial)
dibentuk oleh membrane synovial yang mensekresikan cairan sinovial (synovia) ke
dalam ruang sendi ujung artikular tulang masanya membesar dan mempunyai lapisan
luar tulang yang tipis tetapi padat (kompakta), disebelah dalamnya terdapat anyaman
tulang spongiosa. Kapsul sendi lutut ini termasuk jaringan fibrosus yang avascular
sehingga jika cedera sulit proses penyembuhan.1

Gambar 3. Sendi lutut

2.2 Osteoarthritis
2.2.1 Definisi
Osteoarthritis (OA) adalah suatu kondisi sendi ditandai dengan kerusakan dan
hilangnya kartilago artikular yang berakibat pada pembentukan osteofit, rasa sakit,
pergerakan yang terbatas, deformitas. Inflamasi persendian terjadi disebabkan oleh penipisan
dan kerusakan tulang rawan. Osteoartritis dikenal juga sebagai artritis degeneratif, penyakit
degeneratif sendi, adalah kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang
timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi. OA dapat terjadi di semua sendi
di tubuh, tetapi paling sering pada persendian yang menumpu berat badan antara di pinggul,
lutut, tangan, kaki, dan tulang belakang. Pada umumnya penderita OA berusia di atas 40
tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lainusia, mekanik, genetik, humoral dan

9
faktor kebudayaan.2 Osteoarthritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slow
progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta
jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi.3 Kelainan utama pada
OA adalah kerusakan rawan sendi yangdapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,
pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada sinovium,sehingga
sendi yang bersangkutan membentuk efusi.4 Osteoarthritis diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoarthritis primer disebut idiopatik,
disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak.
Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik,
pertumbuhan, mikro dan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko
lainnya, seperti obesitas dan sebagainya.5

2.2.2. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan salah satu kondisi yang paling sering menyebabkan
disabilitas terutama pada populasi lansia. OA adalah penyakit sendi yang paling umum di
negara maju dan penyebab utama dari disabilitas kronik, sebagian besar karena OA lutut dan
atau panggul. Prevalensi OA lutut lebih tinggi dibandingkan OA lainnya. Sekitar 13% wanita
dan 10% pria yang berusia 60 tahun ke atas memiliki OA lutut yang simtomatik. Proporsi
penduduk yang mengalami OA lutut kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan penduduk usia lanjut dan tingginya kejadian obesitas ataupun berat badan
berlebih pada populasi umum. Perempuan terutama yang berusia ≥ 55 tahun cenderung
mengalami OA yang lebih berat di lutut namun tidak di daerah lainnya. Prevalensi
radiographic knee OA pada 2.282 pasien lansia di Jepang menunjukkan pada wanita semakin
tinggi usia, semakin tinggi pula angka kejadiannya. Symptomatic knee OA lebih umum pada
masyarakat pedesaan disbanding masyarakat perkotaan. Orang Afrika-Amerika memiliki
prevalensi OA lebih tinggi dibandingkan orang Kaukasia.6

2.2.3. Etiologi
OA memiliki etiologi yang multifactorial, yang terjadi karena interaksi antara faktor
sistemik dan local. OA dapat terjadi pada orang dengan usia apa saja. Beberapa gen
dihubungkan dengan terjadinya penyakit ini. Olahraga, cedera pada sendi, obesitas, dan
kerentanan genetic merupakan faktor predisposisi untuk atlet remaja mengalami OA. Riwayat
trauma pada lutut meningkatkan risiko OA lutut 3.86 kali lebih tinggi. Usia tua, jenis kelamin
perempuan, kelebihan berat badan dan obesitas, penggunaan sendi yang berulang-ulang,

10
cedera lutut, kepadatan tulang, kelemahan otot, semua memainkan peranan dari terjadinya
OA.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya OA antara lain:
a. Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatankelemahan di sekitar sendi,
penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi
kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham
menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63 –70 tahun memiliki bukti radiografik
menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih.7
Studi lain membuktikan bahwa risiko seseorang mengalami gejala timbulnya OA lutut
adalah mulai usia 50 tahun.8 Studi mengenai kelenturan pada OA telah menemukan
bahwa terjadi penurunan kelenturan pada pasien usia tuadengan OA lutut.9
b. Ras
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko
menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.10,12 Suatu
studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA
dibandingkan kulit putih.4
c. Jenis Kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi
menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang
setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50
– 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan.10
d. Faktor Herediter
Faktor herediter juga berpengaruh terhadap kejadian osteoartritis, misalnya pada
seorang ibu dengan osteoartritis pada sendi lutut, maka kemungkinan anaknya
berpeluang 3 kali lebih sering untuk terkena penyakit yang sama.14
e. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan,
setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan
melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan
bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira
5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA lutut secarara diografik meningkat

11
sebesar 1,36 poin.15 Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh
akan meningkatkan risiko menderita OA lutut. Kehilangan 5 kg berat badan akan
mengurangi risiko OA lutut secara simtomatik pada wanita sebesar 50%. Demikian
juga peningkatan risiko mengalami OA lutut yang progresif tampak pada orang-orang
yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu.16
f. Trauma dan Aktivitas
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus
merupakan faktor risiko timbulnya OAlutut.17 Studi Framingham menemukan bahwa
orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk
menderita OA lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih
muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran. 7
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak
jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg – 50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko
OA lutut.17,19
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita
OA lutut ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada
pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut sepertipekerja
administrasi.17,20 Terdapat hubungan signifikan antarapekerjaan yang menggunakan
kekuatan lutut dan kejadian OAlutut.17
Atlit olah raga yang sering mengalami benturan keras dan membebani lutut seperti
sepak bola, lari maraton dan kung fu, memiliki peningkatan risiko untuk menderita
OA lutut. Kelemahan otot kuadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya
OA karena terjadi penurunan stabilitas sendi.12 Tetapi, di sisi lain seseorang yang
memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA lutut. Ketika
seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat
aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan
mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan.23

2.2.4. Manifestasi Klinis


Nyeri dirasakan disekitar sendi dan dapat menjalar keatas di bagian anteriorpaha atau
menjalar kebawah di pergelangan kaki. Spasme otot umumnya terjadi pada otot hamstring.

12
Deformitas terbentuk dari adanya spasme otot hamstring dalam waktu lama dengan
posisifleksi lutut dimana deformitas yang terjadi adalah deformasi tibia yang disertai
dengandeformitas valgus. Sendi nampak membesar dan terjadi atropi otot quadriceps
khususnyaotot vastus medialis. Nampak pasien berjalan pincang akibat nyeri sendi dan
kecenderungan untuk jatuh khususnya selama melangkah turun.24

2.2.5. Patofisiologi
Osteoarthritis timbul karena adanya kerusakan kartilago sendi, yang biasa disebut
dengan “wear and tear”. Pada kerusakan kartilago, terjadi pelepasan material dari permukaan
solid oleh karena adanya aksi mekanikal. Kerusakan permukaan kartilago dapat diobservasi
pada in vitro. Jika terjadi kerusakan ultrastruktural dan atau hilangnya masa permukaan,
maka lapisan permukaan kartilago menjadi lebih lunak dan lebih permeabel. Dalam keadaan
ini, tahanan terhadap gerakan cairan akan berkurang, yang memungkinkan cairan bocor
keluar dari fluid film melalui permukaan kartilago sehingga terpecah di atas permukaan.
Hilangnya cairan akan meningkatkan kemungkinan kontak yang tajam pada permukaan solid
kartilago dan akhirnya dapat lebih memperberat terjadinya proses abrasi.25
Kerusakan juga dapat terjadi pada permukaan tumpuan yang baik lubrikasinya.
Kerusakan ini terjadi akibat adanya deformasi yang berulang secara periodik. Kerusakan ini
terjadi karena adanya akumulasi dari kerusakan material secara mikroskopik ketika terjadi
stress secara berulang-kali. Meskipun besarnya stress yang terjadi jauh labih kecil daripada
kekuatan material, tetapi pada akhirnya kerusakan akan terjadi jika cukup sering mengalami
stress. Pada sendi sinovial, adanya gerakan rotasi dan geser dapat menyebabkan area
permukaan sendi bergerak kedalam dan keluar dari area kontak. Proses ini menyebabkan
stress yang berulang pada kartilago dan dapat terjadi selama aktivitas fisiologis manusia.
Ketika kartilago terbebani, beban akan disangga oleh matriks collagen/proteoglycan dan
disangga pula oleh adanya tahanan (resisten) dari gerakan cairan yang melewati kartilago.24
Dengan demikian, beban yang berulang dan gerakan sendi dapat menyebabkan stress yang
berulang pada solid matriks serta terjadi exudasi dan inhibisi yang berulang dari cairan
interstitial jaringan. Kerusakan struktural pada kartilago dapat diobservasi melalui foto X-ray.
Bagian vertikal dari kartilago yang memperlihatkan keretakan disebut dengan fibrillasi, yang
akhirnya dapat meluas melewati lapisan kartilago yang sangat dalam. Kadang-kadang,
lapisan kartilago mengalami lebih banyak erosi daripada retak. Sekali terjadi kerusakan
mikrostruktur pada kartilago, maka mekanisme kerusakan yang bersifat mekanikal akan
terjadi secara progresif; terjadi pengeluaran molekul proteoglycan oleh gerakan cairan yang

13
keras dan kemampuan self lubrikasi dari kartilago mengalami kerusakan. Proses ini
mempercepat kerusakan interfasial dan terjadi kelelahan kartilago yang telah merusak matriks
collagen/proteoglycan. Akibat kerusakan kartilago, maka ujung tulang tidak terlindungi lagi
sehingga adanya kontak langsung atau gesekan saat bergerak akan menimbulkan nyeri hebat
dan akhirnya timbul inflamasi sendi yang dikenal sebagai osteoarthritis.26

2.2.6. Pemeriksaan Umum


1. Anamnesis
Gejala Klinis
 Nyeri jenis ngilu/pegal pada Tibio femoral joint
 Morning sickness dan start pain
 Gerak terbatas dan crepitasi
 Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
 Nyeri sendi saat beraktivitas
 Sendi yang sering terkena:
Faktor risiko penyakit :
 Bertambahnya usia
 Riwayat keluarga dengan OA generalisata
 Aktivitas fisik yang berat
 Obesitas
 Trauma sebelumnya atau adanya deformitas pada sendi yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan fisik
 Tentukan BMI
 Perhatikan gaya berjalan/pincang
 Kelemahan/atrofi otot
 Tanda-tanda inflamasi
 Lingkup gerak sendi (ROM)
 Krepitus
 Deformitas/bentuk sendi berubah
 Gangguan fungsi/keterbatasan geraksendi
 Nyeri tekan pada sendi dan periartikular
 Penonjolan tulang (Nodul Bouchard’s dan Heberden’s)
 Pembengkakan jaringan lunak

14
 Instabilitas sendi
3. Tes Provakasi pada Osteoarthritis
 Tes McMurray
Tes ini merupakan tindakan pemeriksaan untuk mengungkapkan lesi meniskus. Pada tes
ini penderita berbaring terlentang. Dengan satu tangan pemeriksa memegang tumit
penderita dan tangan lainnya memegang lutut. Tungkai kemudian ditekuk pada sendi
lutut. Tungkai bawah eksorotasi/ endorotasi dan secara perlahan-lahan diekstensikan.
Kalau terdengar bunyi “klek‟ atau teraba sewaktu lutut diluruskan, maka meniskus
medial atau bagian posteriornya yang mungkin terobek.6

Gambar 4. Pemeriksaan McMurray

 Anterior Drawer Test


Merupakan suatu tes untuk mendeteksi ruptur pada ligamen cruciatum lutut. Penderita
harus dalam posisi terlentang dengan panggul fleksi 45˚.Lutut fleksi dan kedua kaki
sejajar. Caranya dengan menggerakan tulang tibia ke atas maka akan terjadi gerakan
hiperekstresi sendi lutut dan sendi lutut akan terasa kendor. Posisi pemeriksa di depan
kaki penderita. Jika terdorong lebih dari normal, artinya tes drawer positif.6

Gambar 5. Pemeriksaan Anterior Drawer Test

15
 Posterior Drawer Test
Posterior Drawer Test sama halnya dengan Anterior Drawer Test, hanya saja
menggenggam tibia kemudian didorong kearah belakang.6

Gambar 6. Pemeriksaan Posterior Drawer Test

 Lachman Test
Test Lachman dikelola dengan meletakkan lutut pada posisi fleksi kira-kira dalam sudut
300, dengan tungkai diputar secara eksternal. Satu tangan dari pemeriksaan menstabilkan
tungkai bawah dengan memegang bagian akhir atau ujung distal dari tungkai atas, dan
tangan yang lain memegang bagian proksimal dari tulang tibia, kemudian usahakan untuk
digerakkan ke arah anterior.6

Gambar 7. Pemeriksaan Lachman

 Apley Compresion Test


Tes ini dilakukan untuk menentukan nyeri lutut yang disebabkan oleh robeknya
meniskus. Penderita dalam posisi berbaring tengkurap lalu tungkai bawah ditekukkan
pada sendi lutut kemudian dilakukan penekanan pada tumit pasien. Penekanan
dilanjutkan sambil memutar tungkai ke arah dalam (endorotasi) dan luar (eksorotasi).
Apabila pasien merasakan nyeri di samping medial atau lateral garis persendian lutut
maka lesi pada meniskus medial dan lateral sangat mungkin ada.6

16
Gambar 8. Pemeriksaan Apley Compresion Test

 Apley Distraction Test


Tes ini dilakukan untuk membedakan lesi meniskal atau ligamental pada persendian
lutut.Tindakan pemeriksaan ini merupakan kelanjutan dari Appley Comppresion Test.
Lakukan distraksi pada sendi lutut sambil memutar tungkai bawah keluar dan kedalam
dan lakukan fiksasi. Apabila pada distraksi eksorotasi dan endorotasi itu terdapat nyeri
maka hal tersebut disebabkan oleh lesi di ligamen.6

Gambar 9. Pemeriksaan Apley Distraction Test

2.2.7. Pemeriksaan Penunjang


Penegakan diagnosis OA berdasarkan gejala klinis. Tidak ada pemeriksaan penunjang
khusus yang dapat menentukan diagnosis OA. Pemeriksaan penunjang saat ini terutama

17
dilakukan untuk memonitoring penyakit dan untuk menyingkirkan kemungkinan arthritis
karena sebab lainnya. Pemeriksaan radiologi dapat menentukan adanya OA, namun tidak
berhubungan langsung dengan gejala klinis yang muncul. Selain pemeriksaan radiologi
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti LED, Rheumatoid factor, Cairan
synovial.

Gambar 10. Gambaran Tulang Pada OA

Gambar 11. Radiografi Lutut (A) anteroposterior and (B) lateral view menunjukkan (1)
penyempitan celah sendi dan (2) pembentukan osteofit

18
2.2.8. Penegakan Diagnosis
Secara radiologik didapatkan penyempitan celah sendi, pembentukan osteofit,
sklerosis subkondral dan pada keadaan yang berat akan tampak kista subkondral. Bila
dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen, dapat dilakukan pemeriksaan MRI yang
akan menunjukkan gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat
diagnostic yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah rancangan terapi.
Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan analisis cairan sendi juga
didapatkan gambaran cairan sendi yang normal. Bila didapatkan peninggian jumlah leukosit,
perlu dipikirkan kemungkinan artropati kristal atau artritis inflamasi atau artritis septik.4, 27
The American College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA lutut
idiopatik berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut:28

Klinis dan Laboratorium Klinis dan radiologi Klinis

Nyeri lutut + minimal 5 dari 9 Nyeri lutut + Nyeri lutut + minimal


berikut : minimal 1 dari 3 3 dari 6 berikut :
 Umur > 50 tahun berikut:  umur> 50 tahun
 stiffness < 30 menit  umur> 50 tahun  stiffness < 30 menit
 krepitasi  stiffness < 30  krepitasi
 nyeri pada tulang menit  nyeri pada tulang
 pelebaran tulang  krepitasi +  pelebaran tulang
 tidak hangat pada perabaan osteofit  tidak hangat pada
 LED < 40mm/jam perabaan
 Rheumatoid factor <1:40
 Cairan sinovial : jernih,
viscous, leukosit <2000/mm3
Derajat kerusakan sendi berdasarkan gambaran radiologis:

(A) (B)

19
(C) (D)
Gambar 10. Kriteri Kellgren and Lawrence
(A) Derajat 1. (B) Derajat 2. (C) Derejat 3. (D )Derajat 4

1. Derajat 0 : radiologi normal.


2. Derajat 1 : penyempitan celah sendi meragukan.
3. Derajat 2 : osteofit dan penyempitan celah sendi yang jelas.
4. Derajat 3 : osteofit sedang dan multipel, penyempitan celah sendi, sklerosis
sedang dan kemungkinan deformitas kontur tulang.
5. Derajat 4 : osteofit yang besar, penyempitan celah sendi yang nyata, sklerosis
yang berat dan deformitas kontur tulang yang nyata.22,29

2.2.9. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami OA adalah untuk mengedukasi
pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan menghambat
progresivitas penyakit. Penatalaksanaan OA terdiri dari terapi non obat (edukasi, penurunan
berat badan, terapi fisik dan terapi kerja), terapi obat, terapi lokal dan tindakan bedah.21
1. Terapi non obat
a. Terapi panas superfisial
Terapi panas superfisial yaitu panas hanya mengenai kutis atau jaringan sub kutis
saja (Hot pack, infra merah, kompres air hangat, paraffin bath). Sedangkan terapi
panas dalam, yaitu panas dapat menembus sampai ke jaringan yang lebih dalam
yang sampai ke otot,tulang, dan sendi Diatermi gelombang mikro (MWD),
Diatermi gelombang pendek (SWD), Diatermi gelombang suara ultra (USD). Pada
kasus OA digunakan SWD (short wave diathermi) dan USD (ultra sound
diathermi).18
b. Terapi dingin

20
Terapi dingin digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah, mengurangi
peradangan, mengurangi spasme otot dan kekakuan sendi sehingga dapat
mengurangi nyeri. Dapat juga menggunakan es yangdikompreskan pada sendi yang
nyeri. Terapi dingin dapat berupa cryotherapy, kompres es dan masase es.18
c. Terapi listrik
Yang digunakan adalah TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS
merupakan modalitas yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
melalui peningkatan ambang rangsang nyeri.18
d. Hidroterapi
Hidroterapi bermanfaat untuk memberi latihan. Daya apung air akan membuat
ringan bagian atau ekstermitas yang direndam sehingga sendi lebih mudah
digerakan. Suhu air yang hangat akan membantu mengurangi nyeri, relaksasi otot
dan memberi rasa nyaman.18
e. Latihan penguatan otot
Latihan diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan pergerakan sendi,
menguatkan otot, meningkatkan ketahanan statik dan dinamik dan meningkatkan
fungsi yang menyeluruh.Latihan terdiri dari latihan pasif, aktif, ketahanan,
peregangan dan rekreasi.16
f. Ortotik Prostetik
Digunakan untuk mengembalikan fungsi, mencegah dan mengoreksi kecacatan,
menyangga berat badan dan menunjang anggota tubuh yang sakit. Pada penderita
OA biasa dilakukan rencana penggunaan knee brace atau knee support.16
g. Terapi okupasi
Terapi okupasi meliputi latihan koordinasi aktivitas kehidupan sehari-hari(AKS)
untuk memberikan latihan pengembalian fungsi sehingga penderita bisa melakukan
kembali kegiatan/perkerjaan normalnya.16
h. Psikologi
Terapi psikologi diperlukan untuk pemberian motivasi dan penanaman sugesti
positif terhadap pasien agar mendapatkan kepercayaan dirinya kembali untuk
melakukan kegiatan sehari-hari.16
i. Sosial medik
Tujuannya adalah menyelesaikan/memecahkan masalah sosial yang berkaitan
dengan penyakit penderita, seperti masalah penderita dalam keluarga maupun
lingkungan masyarakat.16

21
2. Terapi obat
Parasetamol merupakan analgesic lini pertama yang diberikan pada penderita OA
dengan dosis 1 gram 4 kali sehari, karena cenderung aman dan dapat ditoleransi dengan
baik, terutama pada pasien dengan usia tua. Kombinasi parasetamol/opiat seperti
coproxamol bisa digunakan jika parasetamol saja tidak mampu mengurangi nyeri.
Tetapi jika dimungkinkan, penggunaan opiat yang lebih kuat hendaknya dihindari.21
Kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri penderita OA
adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS). OAINS bekerja dengan cara
menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam
enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat pada lambung, ginjal dan
trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS tradisional bekerja
dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2, sehingga dapat mengakibatkan
perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. OAINS
yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang
lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang tradisional. 3,4,12
3. Terapi lokal
Terapi lokal meliputi pemberian injeksi intra artikular steroid atau hialuronan
(merupakan molekul glikosaminoglikan besar dan berfungsi sebagai viskosuplemen)
dan pemberian terapi topikal, seperti krem OAINS, krem salisilat atau krem
capsaicin. Injeksi steroid intra artikular diberikan bila didapatkan infeksi lokal atau
efusi sendi.12
4. Operasi
Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang
efektif. Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint
debridement, dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti. Walaupun tindakan operatif
dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi kadang-kadang fungsi sendi tersebut
tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga terapi fisik pre dan pasca operatif harus
dipersiapkan dengan baik.11,12

2.2.10. Edukasi
Edukasi yang dapat kita berikan pada pasien OA adalah sebagai berikut:
 Menjaga berat badan
 Aktifitas Olah raga sesuai kebutuhan

22
 Menghindari perlukaan pada persendian.
 Minum suplemen sendi
 Mengkonsumsi makanan sehat
 Memilih alas kaki yang tepat dan nyaman
 Lakukan relaksasi dengan berbagai tehnik
 Jika ada deformitas pada lutut, misalnya kaki berbentuk O, jangan dibiarkan. hal
tersebutakan menyebabkan tekanan yang tidak merata pada semua permukaan tulang.
 Olah raga yang tidak banyak menggunakan persendian, ajarkan cara senam untuk
pasien OA di rumah.

 Posisi duduk dengan rileks (nyaman) di kursi, angkat salah satu tungkai dan
ditahan 10 hitungan secara bergantian, diulang 3-4 kali dengan khaki
bergantian

 posisi duduk di ujung kursi dengan kedua tangan memegang kursi, tarik salah
satu ujung kaki ke belakang/sejajar dengan kursi, dengan posisi kaki
menumpu di ujung kaki. Lakukan dorongan ujung kaki ke lantai. Ditahan 5
kali hitungan diulang 3-4 kali dengan kaki bergantian.

23
 posisi duduk di kursi, salah satu kaki diikat dengan karet,kemudian gerakkan
kaki ke depan dan digerakkan dengan pelan-pelan, ulangi gerakan dengan kaki
bergantian.

 posisi duduk di ujung kursi dengan kedua tangan memegang kursi, tarik salah
satu ujung kaki ke belakang / sejajar dengan kursi, dengan posisi kaki
menumpu di ujung kaki. Lakukan dorongan ujung kaki ke belakang. Ditahan 5
kali hitungan, diulangi 3-4 kali dengan kaki bergantian

 Posisi berdiri tegak, angkat tungkai setinggi pinggang ke mudian dilakukan


secara bergantian, latihan ini dilaku kan selama 2 menit.

24
 Posisi awal berdiri tegak dengan kedua tangan memegang pinggang, lakukan
gerakan menekuk lutut, tidak dianjurkan menekuk lutut sampai posisi duduk.
Ulangi gerakan 10 kali.

 Posisi awal berdiri tegak disamping kursi, tali kaki dengan tiang kursi,
kemudian gerakkan kaki kearah depan dan ditahan pada posisi itu selama 3
detik, ulangi 10 kali.

 Posisi berdiri di belakang kursi, ikat kaki dengan menggunakan tali elastic,
lakukan gerakan kearah belakang tahan pada posisi itu selama 3 detik, ulangi
10 kali.

25
 Posisi berdiri di samping kursi, gerakkan tungkai kearah samping, tahan 2-3
detik ulangi 10 kali.

2.2.11. Prognosis
Prognosis pada pasien osteoarthritis tergantung pada sendi yang terlibat dan tingkat
keparahannya. Pasien yang dilakukan tindakan penggantian sendi memiliki prognosis
yang baik, dengan tingkat keberhasilan arthroplasty lutut mencapai 90%.

26
BAB III
KESIMPULAN

Osteoarthritis (OA) adalah suatu kondisi sendi ditandai dengan kerusakan dan
hilangnya kartilago artikular yang berakibat pada pembentukan osteofit, rasa sakit,
pergerakan yang terbatas, deformitas. OA dapat terjadi di semua sendi di tubuh, tetapi paling
sering pada persendian yang menumpu berat badan antara di pinggul, lutut, tangan, kaki, dan
tulang belakang.
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit muskuloskeletal yang dipicu oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu usia tua, jenis kelamin perempuan, kelebihan berat badan
dan obesitas, penggunaan sendi yang berulang-ulang, cedera lutut, kepadatan tulang,
kelemahan otot.
Diagnosis osteoarthritis (OA) dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan seperti nyeri jenis ngilu/pegal pada
tibio femoral joint, morning sickness dan start pain, gerak terbatas, nyeri dirasakan
berangsur-angsur, serta nyeri sendi saat beraktivitas. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
perubahan bentuk sendi, penonjolan tulang, krepitasi, gerak sendi terbatas, nyeri tekan pada
sendi, serta pembengkakan jaringan lunak. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
osteofit dan penyempitan celah sendi pada radiografi. Gambaran laboratorium umumnya
normal. Bila dilakukan analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi yang
normal
Tatalaksana pada penderita osteoarthritis terdiri dari terapi non obat (edukasi,
penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja), terapi obat, terapi lokal dan tindakan
bedah. Tindakan bedah dapat dilakukan bila penderita OA sudah dalam stadium yang parah
atau tindakan non bedah tidak dapat melegakan pasien dari nyeri.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Aswin, S. 1989. Struktur Sendi dan Patofisiologi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
2. Poole, A.R. 2001. Arthritis and Allied Conditions. Text Book of Rheumatology (edisi
ke-14). Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia, Amerika Serikat, hal. 226 – 284
3. Palletier, J.M. dan Palletier J.P. 1997. Effect of Aceclogenac and Diclofenac on
Inflamatory in Human Osteoarthritis. Clinical Drugs Investigation, 14 (3): 326 – 332
4. Bambang, S. 2003. Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta: 27 – 31
5. Altman, R.D. 1997. Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology, 27 (suppl): 10 – 12
6. Behzad, H. 2011. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and
features: Part I. Caspian J Intern Med, 2(2):205-212.
7. Felson, D.T., Zhang Y., Hannan M.T., et al. 1995. The Incidence and Natural History
of Knee Osteoarthritis in the Elderly: The FraminghamOsteoarthritis Study. Arthritis
Rheumatology, 38: 1500 – 1505.
8. Kraus V.B. Pathogenesis and Treatment of Osteoarthritis. Med Clin North Am, 81: 85
– 112
9. Pay Y.C., Rymer W.Z., Chang R.W., et al. 1990. Effect of Age andOsteoarthritis on
Knee Proprioception. Arthritis Rheumatology, 40: 2260 – 2265
10. Felson D.T., ZhangY. 1998. An Update on the Epidemiology of Knee and Hip
Osteoarthritis with a View to Prevention. Arthritis Rheumatology, 41: 1343 – 1355
11. Dieppe Paul A., Lohmander L.S. 2005. Pathogenesis and Management of Pain in
Osteoarthritis. The Lancet,365: 965 – 973.
12. Klippel, J.H., Dieppe P.A., Brooks P., et al. 1994. Rheumatology: Osteoarthritis.
Mosby – Year Book Europe Limited, Inggris, hal 21 – 106.
13. Data Keadaan Morbiditas Pasien Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Form RL2.
Tahun 2004 – 2006
14. Braunwald, E., Fauci A.S., et al. 2002.Harrison’s Manual of Medicine: Degenerative
Joint Disease. McGraw-Hill, Boston, Amerika Serikat, hal. 748-749.
15. Felson, D.T. 2000. Osteoarthritis New Insights. Part 1 : The Disease and Its Risk
Factors. Ann Intern Med,133: 637 – 639.

28
16. Tulaar, A.B.M. 2006. Peran Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
padaTatalaksana Osteoartritis. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran Ethical Digest
hal. 46-54
17. Maetzel, A., Makela M., Hawker G., et al. 1997. Osteoarthritis of the Hip and Knee
and Mechanical Occupational Exposure: A Systematic Overview of the Evidence,
1997; 24: 599 – 607.
18. Reni, H.M. 2005. Rehabilitasi Nyeri pada Sendi Degeneratif. Surabaya: FK UNAIR.
19. Lau E.C., Cooper C., Lam D., et al. 2000.Factors Associated with Osteoarthritis of the
Hip and Knee in HongKong Chinese: Obesity, Joint Injury, and Occupational
Activities.American Journal Epidemiology, 152: 855 – 862.
20. Hunter D.J., March L., Sambrook P.N. 2002. Knee Osteoarthritis: The Influence of
Environmental Factors. Clinical Exp Rheumatology, 20: 93 – 100.
21. Haq I., Murphy E., dan Dacre J. 2003. Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79: 377
– 383.
22. Sengkey, L.S. 2010. Kumpulan Kuliah Rehabilitasi Medik. FK UNSRAT, Manado,
Indonesia.
23. Oliveria S.A., Felson D.T., Reed J.L., et al. 1995. Incidence of Symptomatic Hand,
Hip and Knee Osteoarthritis among Patients in a HealthMaintenance Organization.
Arthritis Rheum,38: 1134 – 1141.
24. Karen A. 2000. Phyisotherapy in Orthopaedics A Problem-Solving Approach.
Churchill Livingstone, Edinburgh.
25. Callavaro, G. dan Kenda S.F., 2009. Pathology Implication for the Physical Therapist
Elsevier, St.Louis, Amerika Serikat.
26. Kisner, C. dan Colby, L.A. 2007. Therapeutic Exercise Foundations and Technique
(edisi ke-3). F.A. Davis Company,Philadelphia, Amerika Serikat, hal. 69-87.
27. Price, S.A. dan Wilson L.M. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 1218 - 1222.
28. Altman, R.D. 1991. Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology, 27 (suppl): 10 – 12.
29. Erwinanti, E. 2000. Perbandingan Terapi Osteoartritis Lutut Menggunakan SWD
dengan atau tanpa Latihan di RSUP Dr. Kariadi Semarang [skripsi]. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
30. Sylvia dan Lorrine. 2002. Pathology Implication for the physical theraphy. Elsevier,
St. Louis.

29
31. Ahmed, H. I., Anwer A. S.,dan Alghadir, A. 2015. Effect of modified hold-relax
stretching and static stretching on hamstring muscle flexibility. J. Phys. Ther. Sci,27
(2).
32. Warma, H.2011. Pengaruh Mobilisasi Sendi dan hold relax terhadap Problematika
Penderita Osteoartritis Lutut. Universitas Surakarta, Malang.
33. Departemen Kesehatan RI. 2000.Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi Kebijakan
dan Strategi Pembangunan Kesehatan. Jakarta, hal. 4.

30

Anda mungkin juga menyukai