Permenkes 99/2015 sebagai revisi terhadap Permenkes
71/2013. Beberapa perubahan tersebut menarik untuk dibahas. 1. Pada pasal 3 terdapat perubahan dan penambahan berupa keharusan tersedianya Fasilitas Laboratorium Pratama di PPK 1. Bila PPK tidak dapat menyediakannya, maka BPJSK dapat bekerjasama dengan Laboratorium Pratama. Pada Permenkes 71/2013, standarnya adalah "Laboratorium Sederhana". Ketentuan tentang Laboratorium Pratama tertuang dalam Permenkes 411/2010 Di dalamnya dimuat persyaratan fisik, kelengkapan alat, standar tenaga sampai ke kemampuan pemeriksaan minimal. Ketentuan ini nampaknya disinkronkan dengan ketentuan mengenai standar pelayanan laboratorium di klinik (Permenkes 9/2014) dan di puskesmas (Permenkes 75/2014). Disesuaikan juga dengan kemampuan pemeriksaan memenuhi Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer (Permenkes 5/2014). Tentu ini sebuah tantangan bagi PPK 1.
2. Setelah pasal 4 ditambahkan pasal 4A bahwa BPJSK
wajib melaporkan secara berkala Faskes yang telah bekerjasama kepada Pemerintah dan Pemda. Hal ini penting untuk menegaskan pelaksanaan pasal 35 Perpres 12/2013 bahwa pada dasarnya ketersediaan faskes dan nakes adalah tanggung jawab pemerintah dan pemda.
3. Pada pasal 5 diubah dan ditambah bahwa selain
memenuhi persyaratan teknis, kerjasama BPJSK dengan Faskes juga harus mempertimbangkan aksesibilitas, kecukupan antara jumlah Fasilitas Kesehatan dengan jumlah Peserta yang harus dilayani, kapasitas Fasilitas Kesehatan, serta jumlah penduduk di wilayah tersebut. Dua terakhir adalah penambahan dari isi sebelumnya di Permenkes 71/2013. Dalam hal ini perlu tetap diperjelas bahwa bila terdapat keberatan atas suatu proses kredensialing, maka alurnya adalah membuat pengaduan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk kemudian ditelusuri duduk masalahnya (diatur lebih khusus pada pasal-pasal selanjutnya).
4. Pada pasal 8, ayat 2 yang berbunyi "Dalam rangka
pemberian pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan" dihilangkan. Maknanya disatukan dalam ayat 1 bahwa bila Dinkes setempat menyatakan tidak ada tenaga dokter suatu wilayah, maka BPJSK dapat bekerja sama dengan bidan dan/atau perawat untuk melaksanakan layanan PPK 1, sesuai kewenangan masing-masing dalam perundang-undangan. Selain itu ditambahkan ayat (3) bahwa bidan dan/atau perawat tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari Dinkes dan organisasi profesi. Ini sesuai dengan amanah pasal 20 Permenkes 1/2012 tentang Sistem Rujukan.
5. Pada pasal 9 ditambahkan 2 ayat: (2a) Seleksi dan
kredensialing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. (2b) Dalam hal Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) tidak terlibat dalam seleksi dan kredensialing, BPJS Kesehatan dalam melakukan penetapan hasil harus secara bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Keterlibatan Dinkes dan Asosiasi Faskes ini dipertegas dalam pasal 10. Kemudian bila ada keberatan, maka dapat diajukan kepada Dinkes Propinsi (pasal 11).
6. Ada tambahan pasal 15A sebelum pasal 16: Pasal
15A : Seluruh Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan wajib memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pasien termasuk mengenai pelayanan JKN. Nampaknya ini di dasari banyak keluhan di lapangan tentang ketidak tahuan soal hak dan kewajiban.
7. Pada pasal 16 terdapat perubahan tentang cakupan
pelayanan non spesialistik di PPK 1. Ada dua perubahan. f. transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis; butir ini dihilangkan. Butir terkait pada pasal 18 juga dihapus. f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama (sesuai perubahan pada pasal 3. Penghapusan butir tentang transfusi lebih sesuai dengan klausul keamanan pelayanan darah.
8. Pasal 22 terdapat penambahan menjadi pasal 22A:
Pasal 22A (1) Rumah sakit wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap untuk pelayanan JKN. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara langsung dan/atau tidak langsung (3) Pemberian informasi secara langsung dilakukan dengan menyediakan fasilitas pelayanan informasi atau dilakukan oleh petugas Rumah Sakit. (4) Pemberian informasi secara tidak langsung dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website. Hal ini menanggapi keluhan mengenai "RS penuh". Kewajiban ini terkait juga dengan UU KIP no 14/2008 dan Permenkes 26/2011 serta Permenkes 1/2015. Dengan pemenuhan data ini, maka lebih mudah menata agar pasien mendapat akses tempat tidur di RS.
9. Pasal 25 untuk memperlancar penyediaan obat rujuk
balik. Pasal 25 (1) Untuk menjamin pemenuhan obat program rujuk balik BPJS Kesehatan harus melakukan kerjasama dengan apotek, ruang farmasi atau instalasi farmasi di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang mudah diakses oleh peserta JKN. (2) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar BPJS Kesehatan di luar biaya kapitasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan obat program rujuk balik diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan. Ketentuan ini kemudian diatur dalam Lampiran huruf E.
10. Penambahan pasal 32A Pasal 32A Terhadap
pelayanan nonkapitasi yang diberikan oleh jejaring Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan membayarkan langsung klaim pembiayaan pelayanan tersebut kepada jejaring Fasilitas Kesehatan. Hal ini menjawab keluhan tentang proses pencairan dana non kapitasi kepada pemberi pelayanan jejaring seperti bidan jejaring.
11. Pasal 39 ada perubahan: (3) BPJS Kesehatan wajib
melaporkan hasil Utilization Review secara berkala kepada Menteri dan DJSN. Kata "wajib" ditambahkan pada revisi ini. Meskipun tata cara dan mekanisme pelaporan itu tetap diatur berdasarkan Peraturan BPJSK (ayat 4 pasal 39).
12. Penambahan pasal 39A dan 39B terkait mekanisme
pengaduan. Awalnya mekanisme ini diatur dalam Permenkes 28/2013. Pasal 39A (1) Setiap Peserta atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan terhadap pelayanan Jaminan Kesehatan. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Fasilitas Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan. (3) Fasilitas Kesehatan atau BPJS Kesehatan wajib menyediakan sarana pengaduan yang dikelola secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri oleh Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan. (4) Dinas Kesehatan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal Peserta atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak puas dengan penyelesaian pengaduan oleh Fasilitas Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan, pengaduan dapat disampaikan secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Menteri.
13. Perubahan pada pasal 41 tentang jangka waktu
harus terakreditasinya Faskes untuk dapat bekerja sama dengan BPJSK. a. Diberi waktu tenggang sampai 7 tahun untuk PPK 1, berarti sampai sebelum 1 Januari 2023. b. Diberi waktu tenggang 5 tahun untuk PPK 2 dan PPK 3, berarti sampai sebelum 1 Januari 2021. Perubahan ini karena melihat kenyataan masih banyakya Faskes yang belum terakreditasi. Bila dipaksakan kaku, maka berisiko banyak Faskes yang belum bisa bekerjasama. Namun tentunya, ketentuan ini tidak mengubah ketentuan bahwa selambat-lambatnya 2 tahun setelah ijin operasional, RS harus sudah terakreditasi (Permenkes 12/2012). Sedang terkait Akreditasi FKTP, diatur dalam Permenkes 46/2015. Demikian beberapa perubahan dalam Permenkes 99/2015 sebagai revisi terhadap Permenkes 71/2013. Semoga membawa JKN semakin baik.
Perubahan 2 Perpres Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Perubahan Kedua Atas Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah