Disusun Oleh:
Amelia Imas Voleta
G99162115
Periode: 1 Januari 2018 – 14 Januari 2018
Pembimbing:
Sandy Trimelda, drg., SpOrt
1. Definisi
Mikrognatia merupakan keadaan seseorang yang memiliki ukuran
rahang bawah yang kecil (Soemartono, 1997). Mikrognatia digambarkan
sebagai hipoplasia mandibular yang disebabkan penyusutan daguDalam
kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat terkena. Biasanya
ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika mikrognatia,
microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan disebut
Sindroma Pierre Robin. Secara garis besar, mikrognatia dibagi menjadi:
(1) Apparentmikrognatia; (2) Truemikrognatia (Patel, 2009).
2. Etiopatogenesis
Maloklusi skeletal merupakan kelainan kongenital yang sering
ditemui yang disebabkan karena distorsi perkembangan maxilla dan/atau
mandibula yang memiliki efek besar terhadap posisi, kesejajaran, dan
kesehatan gigi primer dan permanen. Mikrognathia, mandibula atau
maxilla berukuran kecil, merupakan penyebab maloklusi paling umum
dengan prevalensi 1/1,500 dari kelahiran hidup. Hal tersebut dilaporkan
bahwa semua penderita mikrognathia juga mengalami retrognathia (posisi
relatif abnormal posterior mandible atau maxilla terhadap struktur wajah)
dikarenakan ukuran dan pola pertumbuhannya yang kecil (Joshi et al.,
2014).
Mikrognatia sering dijumpai pada beberapa sindroma sebagai salah
satu ciri utama, seperti sindrom cat cry, Pierre Robin, Treacher-Collin,
Down dan Turner, yang masing-masing berbeda patogenesis dan pola
pertumbuhan serta perkembangannya. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan dentofasial
kompleks, yang terutama dipengaruhi oleh:
Faktor genetik: genotip yang diwariskan dan mekanisme genetik,
dapat terjadi karena kelainan kromosom trisomi 13 dan trisomi 18
Faktor lingkungan: interaksi nutrisi dan biokemikal, fenomena fisik
temperature, tekanan, hidrasi. Mencakup penggunaan obat teratogenik
seperti metotreksat, karbamazepin, warfarin, tetrasiklin, dll
Kekuatan fungsional: kekuatan ekstrinsik dan intrinsic aksi otot-otot,
ruang yang ditempati organ-organ dan rongga-rongga serta ekspansi
pertumbuhan
Etiologi mikrognatia masih belum jelas, kemungkinan disebabkan
oleh adanya gangguan perkembangan, baik kongenital maupun yang
didapat. Mikrognatia akan mengakibatkan perubahan bentuk dentofasial
dan terganggunya fungsi pengunyahan, pembentukan fonetik maupun
penampilan anak. Dengan demikian ada kemungkinan anak akan
mengalami gangguan pertumbuhan, baik secara fisik maupun psikologis
(Goodman, 1977; Boraz, 1978; Grayson, 1986).
Sedangkan etiologi makrognatia berhubungan dengan perkembangan
protuberantia yang berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula
bersifat didapat melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan
dengan macrognatia adalah gigantisme pituitary, Paget’s disease, dan
akromegali. Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon
pertumbuhan berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak
(adenoma). Penderita biasanya menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot,
parestesi, pada tulang muka dan rahang terlihat perubahan orofasial seperti
penonjolan tulang frontal, hipertrofi tulang hidung, dan pertumbuhan
berlebih tulang rahang (mandibula) yang dapat menyebabkan rahang
menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).
3. Patofisiologi
Mikrognatia terjadi karena hipoplasia mandibula di antara minggu ke
7 dan ke 11 pada masa kehamilan. Lidah tetap terletak tinggi di rongga
mulut, karena terbelahnya langit-langit mulut. Teori ini menjelaskan
langit-langit berbentuk U terbalik dan ketiadaan hubungan antara langit-
langit dan bibir. Oligohidramnion dapat berperan sebagai etiologi
sindroma ini karena terjadinya kekurangan cairan amnion dapat
mengakibatkan deformasi dari dagu dan terjepitnya lidah di antara langit-
langit. Kegagalan pembentukan mandibula menyebabkan posisi lidah lebih
ke atas, mencegah palatina lateral menyatu di garis tengah dan
menjelaskan bahwa mikrognatia sering disertai dengan adanya bibir
sumbing.
Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat
pelepasan hormon pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh
tumor hipofisa jinak (adenoma). Etiologinya antara lain kelainan bawaan
(penyebab terbanyak), pituitary gigantism (peningkatan hormon
pertumbuhan), Paget’s disease, akromegali, dan leantosis ossea.
4. Klasifikasi
Mikrognatia dibedakan menjadi dua yaitu mikrognatia sejati dan
palsu
Mikrognatia sejati (true mikrognatia)
Keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia
rahang
Mikrognatia palsu (false mikrognatia)
Keadaan mikrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang
terletak lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan
mandibula
5. Diagnosis
Manifestasi klinis dari mikrognatia meliputi:
Kerusakan keselarasan gigi, menyempitnya cavum oris dan maloklusi
Dagu yang mengalami penyusutan dengan wajah yang kecil
Kesulitan pemberian makanan pada anak-anak
Kesulitan dalam menyebutkan artikulasi yang tepat dan berbicara
Diagnosis mikrognatia berdasarkan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ukuran rahang yang
lebih kecil dari normal, pada bayi tampak kesusahan dalam minum dan
adanya maloklusi. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan MRI, foto
rontgen gigi, dan skull ray.
Manifestasi klinis dari makrognatia meliputi:
Rahang bawah lebih besar dari normal menyebabkan dagu protrusi
Peningkatan volume maxilla sehingga terlihat seperti senyum
Dagu prominen
Sudut rahang yang curam
Makrognatia digambarkan dengan pertumbuhan berlebih dari
mandibula atau maxilla di atas ukuran yang seharusnya diamana
klinisnya tampak jelas saat puncak pertumbuhan rahang sekitar umur
12,2 tahun pada perempuan dan 14 tahun pada laki-laki. Deteksi
sonografi digunakan untuk diagnosis prenatal pada mikrognatia terisolasi
(manifestasi maloklusi tingkat II) yang normalnya berbeda dari keadaan
actual kelahiran pada sebagian besar kasus.
Jalan nafas anak, terutama bayi memiliki perbedaan dengan jalan nafas
orang dewasa. Pada anak laring terletak lebih sefalad, yaitu pada C3-4 pada bayi,
dan bergeser semakin ke kaudad pada usia 6 tahun yaitu ke C5 seperti pada orang
dewasa. Karena laring pada bayi terletak lebih tinggi, lidah menjadi terletak lebih
dekat ke palatum dan lebih mudah terjatuh ke palatum, akibatnya obstruksi jalan
nafas dapat terjadi selama induksi anestesi atau saat membangunkan pasien dari
anestesia. Kesalahan istilah yang terjadi adalah menyatakan laring pada bayi lebih
anterior padahal yang benar adalah lebih rostral atau superior. Pada sindrom
dengan hipoplasia mandibula, seperti pada Pierre Robin, laring terletak pada
posisi yang lebih posterior daripada normal. Hal ini mengakibatkan angulasi
curam yang lebih besar antara muara laring dengan dasar lidah. Pada kondisi ini
visualisasi langsung pada glottis akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin
dilakukan. Karena posisi laring yang lebih sefalad dan oksiput yang besar, posisi
“sniffing” tidak dapat membantu dalam memvisualisasi laring. Mengangkat
kepala hanya menggerakkan laring ke posisi lebih anterior.
Kunci untuk memilih tatalaksana obstruksi jalan nafas yang sesuai yaitu
dengan riwayat menyeluruh dan evaluasi klinis. Pemeriksaan umum awal harus
dilakukan untuk menentukan ada tidaknya sindrom. Tujuan pemeriksaan fisik
untuk mengetahui keadaan nasal, faring, oral, laring, dan daerah trakea.
Pemeriksaan tersebut meliputi nares dan choana untuk patensi, ukuran rahang dan
mobilitas, hubungan maxillomandibular, kehadiran celah, dan posisi lidah,
kontrol, dan kekuatan. Orang tua pasien harus ditanyai tentang tanda-tanda khas
penyumbatan jalan nafas. Penilaian obyektif jalan nafas harus mencakup
laringoskopi direk, pemeriksaan endoskopik (fleksibel / rigid) pada saluran nafas
atas dan bawah tanpa memasang tabung endotrakea, oksimetri, polisomnografi,
dan radiograf lateral polos atau MRI pada jalan nafas.
Gambar 14. Penilaian sistematis dan alur penanganan untuk penyumbatan jalan
nafas pada bayi sindromik dan nonsindromik dengan mikrognatia.
NP, nasofaring; ET, endotrakeal; NG, nasogastrik; PSG, polisomnografi; TLA,
adhesi lidah-bibir. 1.Follow-up PSG, penilaian jalan nafas secara endoskopik, dan
monitor kenaikan berat badan. 2.Stickler's Bisa diobati mirip nonsindromik
pasien.
Cruz et al membuat algoritma untuk penilaian dan manajemen jalan nafas
pada semua pasien dengan Pierre Robin Sequence (PRS). Schaefer et al
mengusulkan a algoritma untuk pengelolaan penyumbatan jalan nafas pada anak-
anak dengan PRS yang terisolasi. Secara sistematis, penilaian dan alur tatalaksana
penyumbatan jalan nafas pada bayi sindromik dan nonsindromik dengan
mikrognatia dijelaskan pada Gambar 14.
Tatalaksana Bedah
Berdasarkan bukti terkini, jelas bahwa mayoritas bayi dengan PRS yang
terisolasi dapat diobati dengan nonbedah. Sedangkan tatalaksana distraksi
mandibula dan TLA biasanya dilakukan pada pasien PRS yang gagal dilakukan
tatalaksana nonbedah. Anak-anak dengan sindrom mikrognatia dan penyakit
sistemik komorbid serta bayi prematur dengan PRS lebih cenderung
membutuhkan intervensi bedah tapi kandidat buruk dilakukan distraksi mandibula
dini. Sehingga trakeostomi merupakan pilihan terbaik dalam penanganan
obstruksi jalan nafas karena angka mortalitas dan komplikasinya lebih rendah
daripada distraksi mandibula.
Saat ini banyak bukti yang mempublikasikan peran dari distraksi
mandibular pada beberapa bayi, tetapi hal ini tidak menggantikan pendekatan
nonbedah yang juga teruji dengan baik dalam beberapa kasus, ataupun intervensi
bedah alternatif seperti TLA dan trakeostomi pada beberapa kasus yang lain juga.
Yang terpenting adalah evaluasi klinis menyeluruh dan pemeriksaan tambahan
oleh tim interdisipliner yang mengarah kepada keputusan berdasarkan bukti yang
berlaku. Perlu penelitian prospektif lebih lanjut untuk menggambarkan
kesempatan tatalaksana mana yang terbaik pada bayi dengan mikrognotia.
DAFTAR PUSTAKA
Bush PG, Williams AJ. 1983. Incidence of the Robin anomalad. Br J Plast Surg
36:434
Cohen SR, Suzman K, Simms C, et al. 1998. Sleep apnea surgery versus
tracheostomy in children: An exploratory study of the comparative effects
on quality of life. Plast Reconstr Surg 102:1855.
Cruz MJ, Kerschner JE, Beste DJ, et al. 1999. Pierre Robin sequence: Secondary
respiratory difficulties and intrinsic feeding abnormalities. Laryngoscope
109:1632.
Dutton JM, Palmer PM, McCulloch TM, et al. 1995. Mortality in the pediatric
patient with tracheotomy. Head Neck 17:403
Figueroa AA, Glupker TJ, Fitz MG, et al. 1991. Mandible tongue and airway in
Pierre Robin sequence: A longitudinal cephalometric study. Cleft Palate
Craniofacial J 28:425.
Gaudet PT, Peerless A, Sasaki CT, et al. 1978. Pediatric tracheostomy and
associated complications. Laryngoscope 88:1633.
Gilhooly JT, Smith JD, Howell LL, et al. 1993. Bedside polysomnography as an
adjunct in the management of infants with Robin sequence. Plast Reconstr
Surg 92:23.
Glover JJ, Caniano DA. 2003. Ethical considerations for newborn surgery, in Puri
P (ed): Newborn Surgery (ed 2). London, Arnold. pp 173-183
Heaf DP, Helms PJ. 1982. Naso-pharyngeal airways in Pierre Robin syndrome. J
Pediatr 100:698.
Johnson GM, Todd DW. 1980. Cor pulmonale in severe Pierre Robin syndrome.
Pediatrics 65:152.
Joshi N, Hamdan AM, Fakhouri WD. 2014. Skeletal Malocclusion: A
Developmental Disorder with a Life-Long Morbidity.
http://www.jocmr.org/Review.pdf -diakses pada Desember 2017
Kirschner RE, Low DW, Randall P, et al. 2003. Surgical airway management in
Pierre Robin sequence: Is there a role for tongue-lip adhesion. Cleft Palate
Craniofac J 40:13.
Lewis CW, Carron JD, Perkins JA, et al. 2003. Tracheotomy in pediatric patients:
A national perspective. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 129:523.
Mallory SF, Paradise JL. 1979. Glossoptosis revisited: On the development and
resolution of airway obstruction in the Pierre Robin syndrome. Pediatrics
64:946.
Myer CM III, Reed JM, Cotton RT, et al 1998. Airway management in Pierre
Robin sequence. Otolaryngol Head Neck Surg 118:630.
Parsons RW, Smith DJ. 1982. Rule of thumb criteria for tongue-lip adhesion in
Pierre Robin anomalad. Plast Reconstr Surg 70:210
Perkins JA, Sie KCY, Milczuk H, et al. 1997. Airway management in children
with craniofacial anomalies. Cleft Palate Craniofac J 34:135.
Routledge RT. 1960. The Pierre Robin syndrome: A surgical emergency in the
neonatal period. Br J Plast Surg 13:204
Schaefer RB, Stadler JA, Gosain AK. 2004. To distract or not to distract: An
algorithm for airway management in isolated Pierre Robin sequence.
Plastic Reconstr Surg 113:1113.
Sheffield LJ, Reiss JA, Strohm K, et al. 1987. A genetic follow up study of 64
patients with the Pierre Robin complex. Am J Med Genet 28:25.
Shprintzen RJ, Singer L: Upper airway obstruction and the Robin sequence. Int
Anesthesiol Clin 30:109, 1992
Soni P. 2013. Makrognatia: Its Causes, Signs, Symptoms & Treatment. Pulp.
Sumartono (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta:
IDAI
Tomaski SM, Zalzal GH, Saal HM. 1995: Airway obstruction in the Pierre Robin
Sequence. Laryngoscope 105:111.
Van Der Haven I, Mulder JW, Van Der Wal KG, et al. 1997. The jaw index: New
guide defining micrognathia in newborns. Cleft Palate Craniofac J 34:240.
Vettraino IM, Lee W, Bronsteen RA, et al. 2003. Clinical outcome of fetuses with
sonographic diagnosis of isolated micrognathia. Obstet Gynecol 102:801.
Wagener S, Rayatt SS, Tatman AJ, et al. 2003. Management of infants with Pierre
Robin sequence. Cleft Palate Craniofac J 40:180
Ward RF, Jones J, Carew JF. 1995. Current trends in pediatric tracheotomy. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol 32:233.
Wittenborn W, Panchal J, Marsh JL, et al. 2004. Neonatal distraction surgery for
micrognathia reduces obstructive apnea and the need for tracheotomy. J
Craniofac Surg 15:623