Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TATALAKSANA JALAN NAFAS PADA


BAYI DENGAN MIKROGNATIA :
KASUS YANG MEMBANTAH DISTRAKSI DINI

Disusun Oleh:
Amelia Imas Voleta
G99162115
Periode: 1 Januari 2018 – 14 Januari 2018

Pembimbing:
Sandy Trimelda, drg., SpOrt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
MIKROGNATIA

1. Definisi
Mikrognatia merupakan keadaan seseorang yang memiliki ukuran
rahang bawah yang kecil (Soemartono, 1997). Mikrognatia digambarkan
sebagai hipoplasia mandibular yang disebabkan penyusutan daguDalam
kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat terkena. Biasanya
ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika mikrognatia,
microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan disebut
Sindroma Pierre Robin. Secara garis besar, mikrognatia dibagi menjadi:
(1) Apparentmikrognatia; (2) Truemikrognatia (Patel, 2009).
2. Etiopatogenesis
Maloklusi skeletal merupakan kelainan kongenital yang sering
ditemui yang disebabkan karena distorsi perkembangan maxilla dan/atau
mandibula yang memiliki efek besar terhadap posisi, kesejajaran, dan
kesehatan gigi primer dan permanen. Mikrognathia, mandibula atau
maxilla berukuran kecil, merupakan penyebab maloklusi paling umum
dengan prevalensi 1/1,500 dari kelahiran hidup. Hal tersebut dilaporkan
bahwa semua penderita mikrognathia juga mengalami retrognathia (posisi
relatif abnormal posterior mandible atau maxilla terhadap struktur wajah)
dikarenakan ukuran dan pola pertumbuhannya yang kecil (Joshi et al.,
2014).
Mikrognatia sering dijumpai pada beberapa sindroma sebagai salah
satu ciri utama, seperti sindrom cat cry, Pierre Robin, Treacher-Collin,
Down dan Turner, yang masing-masing berbeda patogenesis dan pola
pertumbuhan serta perkembangannya. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan dentofasial
kompleks, yang terutama dipengaruhi oleh:
 Faktor genetik: genotip yang diwariskan dan mekanisme genetik,
dapat terjadi karena kelainan kromosom trisomi 13 dan trisomi 18
 Faktor lingkungan: interaksi nutrisi dan biokemikal, fenomena fisik
temperature, tekanan, hidrasi. Mencakup penggunaan obat teratogenik
seperti metotreksat, karbamazepin, warfarin, tetrasiklin, dll
 Kekuatan fungsional: kekuatan ekstrinsik dan intrinsic aksi otot-otot,
ruang yang ditempati organ-organ dan rongga-rongga serta ekspansi
pertumbuhan
Etiologi mikrognatia masih belum jelas, kemungkinan disebabkan
oleh adanya gangguan perkembangan, baik kongenital maupun yang
didapat. Mikrognatia akan mengakibatkan perubahan bentuk dentofasial
dan terganggunya fungsi pengunyahan, pembentukan fonetik maupun
penampilan anak. Dengan demikian ada kemungkinan anak akan
mengalami gangguan pertumbuhan, baik secara fisik maupun psikologis
(Goodman, 1977; Boraz, 1978; Grayson, 1986).
Sedangkan etiologi makrognatia berhubungan dengan perkembangan
protuberantia yang berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula
bersifat didapat melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan
dengan macrognatia adalah gigantisme pituitary, Paget’s disease, dan
akromegali. Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon
pertumbuhan berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak
(adenoma). Penderita biasanya menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot,
parestesi, pada tulang muka dan rahang terlihat perubahan orofasial seperti
penonjolan tulang frontal, hipertrofi tulang hidung, dan pertumbuhan
berlebih tulang rahang (mandibula) yang dapat menyebabkan rahang
menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).

3. Patofisiologi
Mikrognatia terjadi karena hipoplasia mandibula di antara minggu ke
7 dan ke 11 pada masa kehamilan. Lidah tetap terletak tinggi di rongga
mulut, karena terbelahnya langit-langit mulut. Teori ini menjelaskan
langit-langit berbentuk U terbalik dan ketiadaan hubungan antara langit-
langit dan bibir. Oligohidramnion dapat berperan sebagai etiologi
sindroma ini karena terjadinya kekurangan cairan amnion dapat
mengakibatkan deformasi dari dagu dan terjepitnya lidah di antara langit-
langit. Kegagalan pembentukan mandibula menyebabkan posisi lidah lebih
ke atas, mencegah palatina lateral menyatu di garis tengah dan
menjelaskan bahwa mikrognatia sering disertai dengan adanya bibir
sumbing.
Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat
pelepasan hormon pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh
tumor hipofisa jinak (adenoma). Etiologinya antara lain kelainan bawaan
(penyebab terbanyak), pituitary gigantism (peningkatan hormon
pertumbuhan), Paget’s disease, akromegali, dan leantosis ossea.
4. Klasifikasi
Mikrognatia dibedakan menjadi dua yaitu mikrognatia sejati dan
palsu
 Mikrognatia sejati (true mikrognatia)
Keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia
rahang
 Mikrognatia palsu (false mikrognatia)
Keadaan mikrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang
terletak lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan
mandibula
5. Diagnosis
Manifestasi klinis dari mikrognatia meliputi:
 Kerusakan keselarasan gigi, menyempitnya cavum oris dan maloklusi
 Dagu yang mengalami penyusutan dengan wajah yang kecil
 Kesulitan pemberian makanan pada anak-anak
 Kesulitan dalam menyebutkan artikulasi yang tepat dan berbicara
Diagnosis mikrognatia berdasarkan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ukuran rahang yang
lebih kecil dari normal, pada bayi tampak kesusahan dalam minum dan
adanya maloklusi. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan MRI, foto
rontgen gigi, dan skull ray.
Manifestasi klinis dari makrognatia meliputi:
 Rahang bawah lebih besar dari normal menyebabkan dagu protrusi
 Peningkatan volume maxilla sehingga terlihat seperti senyum
 Dagu prominen
 Sudut rahang yang curam
Makrognatia digambarkan dengan pertumbuhan berlebih dari
mandibula atau maxilla di atas ukuran yang seharusnya diamana
klinisnya tampak jelas saat puncak pertumbuhan rahang sekitar umur
12,2 tahun pada perempuan dan 14 tahun pada laki-laki. Deteksi
sonografi digunakan untuk diagnosis prenatal pada mikrognatia terisolasi
(manifestasi maloklusi tingkat II) yang normalnya berbeda dari keadaan
actual kelahiran pada sebagian besar kasus.

Gambar 13. (Kiri) Makrognatia, (Kanan) Mikrognatia

Lebih dari 90% fetus didiagnosis dengan mikrognathia terisolasi


melalui USG 3D yang menampilkan deformitas tambahan celah palatum
mole yang merupakan anomali terbanyak (73% dari kasus mikrognathia).
Hal ini terkait ukuran mandibula yang kecil menyebabkan lidah
menempel pada atap mulut dan menghambat pertumbuhan optimal
vertikal, elevasi dan fusi susunan palatum sekunder (Joshi et al., 2014).
6. Masalah terkait atau yang diakibatkan
Organ tubuh dan struktur oral dapat mengalami sejumlah besar
kelainan, yang terjadi dalam hidup janin atau setelah kelahiran atau
kadang-kadang muncul saat lahir. Kemudian setiap tahap kehidupan
berkembang, begitu pula pada gigi. Anomali perkembangan secara luas
diklasifikasikan sebagai dua jenis:
1. Anomali kongenital: yang cacat saat lahir atau sebelum lahir atau
melalui gen, mungkin tidak menular.
2. Cacat yang didapat atau cacat bawaan yang tidak turun temurun.
Cacat tulang rahang juga merupakan masalah umum dan terbaru. Hal
ini terutama disebabkan oleh kelainan genetik dan faktor lingkungan lain
yang mempengaruhi kesehatan.
a. Agnathia, merupakan hal yang langka, pengembangannya
mencerminkan kegagalan lengkap. Lebih sering pada bagian dari
rahang, untuk premaxila misalnya, kondilus dan ramus.
b. Mikrognathia berarti rahang kecil, di sisi lain mikrognati dapat
dikaitkan dengan mikrognatia kongenital, sindrom Pierre Robin atau
cacat jantung bawaan. Mikrognathia adalah salah satu penyebab
abnormal alignment gigi.
c. Makrognatia yaitu ukuran rahang leih besar dari normal. Jika rahang
kecil dibandingkan dengan ukuran rahang yang lain normal, maka
kemudian terlihat lebih besar. Ini yang disebut pseudomakrognatia.
7. Terapi
Penatalaksanaan pada mikrognatia dibedakan menjadi 2 yaitu
prenatal dan postnatal. Penatalaksanaan prenatalnya berupa mengurangi
tekanan intrauterine dan memperpanjang masa kehamilan.
Penatalaksanaan postnatal meliputi ex utero intrapartum treatment,
trakeostomi, dan distraction osteogenesis. Pada makrognatia
penatalaksanaan berupa bedah ortognatik (orthognathic surgery)
Pada mikrognatia, mayoritas penderiata anak-anak ditatalaksana
tanpa bedah. Tatalaksana non bedah diantaranya (Bartlett, 2014):
- Prone positioning
- Jalan nafas nasofaringeal; pipa fleksibel dengan ujung melebar
Tatalaksana bedah diantaranya (Bartlett, 2014):
- Prosedur adesi lidah-bibir
- Osteogenesis distraksi mandibular
- Trakeostomi
Makrognatia membutuhkan tatalaksana perpaduan dari (Soni, 2013):
a. Bedah reduksi dagu (genioplasti)
b. Osteotomi
c. Terapi ortodontik
Manajemen Obstruksi Jalan Nafas pada Pasien dengan
Mikrognatia

Pengenalan dini mikrognatia sangat membantu dalam mempersiapkan


orang tua dan dokter untuk kemungkinan keadaan darurat terjadinya kelainan
jalan nafas yang tidak diinginkan selama periode perinatal. Vettraino et al
mencatat dalam penelitian mereka tentang hasil klinis janin dengan diagnosis
sonografi mikrognatia bahwa 54% kelahiran hidup neonatus mengalami obstruksi
jalan nafas yang parah saat lahir yang membutuhkan beberapa intervensi.

Jalan nafas anak, terutama bayi memiliki perbedaan dengan jalan nafas
orang dewasa. Pada anak laring terletak lebih sefalad, yaitu pada C3-4 pada bayi,
dan bergeser semakin ke kaudad pada usia 6 tahun yaitu ke C5 seperti pada orang
dewasa. Karena laring pada bayi terletak lebih tinggi, lidah menjadi terletak lebih
dekat ke palatum dan lebih mudah terjatuh ke palatum, akibatnya obstruksi jalan
nafas dapat terjadi selama induksi anestesi atau saat membangunkan pasien dari
anestesia. Kesalahan istilah yang terjadi adalah menyatakan laring pada bayi lebih
anterior padahal yang benar adalah lebih rostral atau superior. Pada sindrom
dengan hipoplasia mandibula, seperti pada Pierre Robin, laring terletak pada
posisi yang lebih posterior daripada normal. Hal ini mengakibatkan angulasi
curam yang lebih besar antara muara laring dengan dasar lidah. Pada kondisi ini
visualisasi langsung pada glottis akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin
dilakukan. Karena posisi laring yang lebih sefalad dan oksiput yang besar, posisi
“sniffing” tidak dapat membantu dalam memvisualisasi laring. Mengangkat
kepala hanya menggerakkan laring ke posisi lebih anterior.

Epiglottis pada bayi lebih panjang, kaku, dan seringkali dikatakan


berbentuk omega atau huruf U. Proyeksinya di posterior di atas glottis dengan
sudut 45 derajat. Karena epiglottis lebih bersudut oblik, visualisasi pita suara akan
lebih sulit selama laringoskopi direk. Pengangkatan epiglotis dengan bilah
laringoskop mungkin dibutuhkan untuk memvisualisasi pita suara. Dulu bilah
laringoskop yang lurus lebih banyak dipilih untuk keperluan ini, namun saat ini
penggunaannya sudah tidak dianjurkan karena menyebabkan trauma pada laring.
Kartilago krikoid adalah bagian tersempit pada jalan nafas bayi (dengan diameter
sekitar 5 mm) berbeda dengan pada orang dewasa yaitu pada pita suara. Laring
bayi berbentuk seperti corong dengan penyempitan pada kartilago krikoid,
berbeda dengan jalan nafas orang dewasa yang berbentuk silinder. Pipa
endotrakea yang terlalu besar dapat menekan mukosa pada bagian tersebut
sehingga dapat mengakibatkan edema pada saat ekstubasi dan terjadi peningkatan
tahanan terhadap aliran udara

Kunci untuk memilih tatalaksana obstruksi jalan nafas yang sesuai yaitu
dengan riwayat menyeluruh dan evaluasi klinis. Pemeriksaan umum awal harus
dilakukan untuk menentukan ada tidaknya sindrom. Tujuan pemeriksaan fisik
untuk mengetahui keadaan nasal, faring, oral, laring, dan daerah trakea.
Pemeriksaan tersebut meliputi nares dan choana untuk patensi, ukuran rahang dan
mobilitas, hubungan maxillomandibular, kehadiran celah, dan posisi lidah,
kontrol, dan kekuatan. Orang tua pasien harus ditanyai tentang tanda-tanda khas
penyumbatan jalan nafas. Penilaian obyektif jalan nafas harus mencakup
laringoskopi direk, pemeriksaan endoskopik (fleksibel / rigid) pada saluran nafas
atas dan bawah tanpa memasang tabung endotrakea, oksimetri, polisomnografi,
dan radiograf lateral polos atau MRI pada jalan nafas.

Sher et al mengklasifikasikan gangguan jalan nafas bagian atas menjadi


beberapa tipe setelah pemeriksaan endoskopi dengan tujuan untuk menentukan
intervensi yang diperlukan. Dia menyimpulkan obstruksi jalan nafas tersebut
dapat bervariasi tergantung pada hubungan dari faring ke posisi lidah, velum, dan
dasar tengkorak. Pemeriksaan endoskopik dan polisomnografi bisa diulang untuk
memantau kemajuan perkembangan anak-anak yang mengikuti intervensi bedah
atau nonbedah.

Tujuan pengelolaan jalan nafas untuk kedua sindromik dan anak


nonsindromik yang lahir dengan mikro/retrognatia adalah agar membebaskan
jalan nafas dan jalan makan serta mencegah komplikasi kardiopulmoner,
metabolik, dan konsekuensi neurologis dari obstruksi jalan nafas. Manajemen
yang tepat tergantung pada penyebab, kelainan anatomi jalan nafas, tingkat
keparahan, dan adanya masalah komorbid seperti jantung, ginjal, dan penyakit
neuromuskular.

Gambar 14. Penilaian sistematis dan alur penanganan untuk penyumbatan jalan
nafas pada bayi sindromik dan nonsindromik dengan mikrognatia.
NP, nasofaring; ET, endotrakeal; NG, nasogastrik; PSG, polisomnografi; TLA,
adhesi lidah-bibir. 1.Follow-up PSG, penilaian jalan nafas secara endoskopik, dan
monitor kenaikan berat badan. 2.Stickler's Bisa diobati mirip nonsindromik
pasien.
Cruz et al membuat algoritma untuk penilaian dan manajemen jalan nafas
pada semua pasien dengan Pierre Robin Sequence (PRS). Schaefer et al
mengusulkan a algoritma untuk pengelolaan penyumbatan jalan nafas pada anak-
anak dengan PRS yang terisolasi. Secara sistematis, penilaian dan alur tatalaksana
penyumbatan jalan nafas pada bayi sindromik dan nonsindromik dengan
mikrognatia dijelaskan pada Gambar 14.

Tatalaksana Non Bedah

Pilihan tatalaksana nonbedah, seperti lateral atauposisi rawan atau


penggunaan saluran nafas nasofaring dengan lavage dan suctioning yang
memadai untuk periode 10 sampai 12 minggu atau lebih, terbukti sukses dalam
pengelolaan anak dengan PRS. Wagener et al melaporkan tatalaksana nonbedah
yang berhasil pada 20 dari 22 bayi dengan diagnosis PRS menggunakan intubasi
nasofaring dan pemantauan di unit neonatal hingga 60 hari. Benjamin dan Walker
mengatakan bahwa kebanyakan pasien dengan PRS berespon terhadap intervensi
non bedah dan dalam waktu 6 bulan mengalami perbaikan terhadap obstruksinya.
Diperkirakan keberhasilan tatalaksana nonbedah pada tahun pertama setelah
kelahiran dikarenakan pertumbuhan mandibula, maturitas, dan perbaikan kontrol
neuromuskular lidah dan jalan nafas faring, serta peningkatan ukuran saluran
nafas berpengaruh pada perbaikan spontan dari penyumbatan jalan nafas.Namun
penanganan sumbatan jalan nafas harus didasarkan pada hasilpengamatan
endoskopik langsung dari lokasi penyumbatan dan bukan pada dugaan diagnosis
glossoptosis.

Tatalaksana Bedah

3 intervensi bedah yang paling sering dijelaskan untuk mengatasi


sumbatan jalan nafas sekunder mikrognatia adalah adhesi lidah-bibir (TLA),
trakeostomi, dan baru-baru ini distraksi mandibula. Randall menyatakan bahwa
bayi cenderung memerlukan pembedahan jika ada riwayat sianosis berulang,
infeksi pernafasan berat yang berulang, jika perbedaan rahang maxillomandibular
lebih besar dari 1 cm atau jika pasien gagal menambah berat badan meskipun
cukup gizi asupan.
Kesimpulan

Berdasarkan bukti terkini, jelas bahwa mayoritas bayi dengan PRS yang
terisolasi dapat diobati dengan nonbedah. Sedangkan tatalaksana distraksi
mandibula dan TLA biasanya dilakukan pada pasien PRS yang gagal dilakukan
tatalaksana nonbedah. Anak-anak dengan sindrom mikrognatia dan penyakit
sistemik komorbid serta bayi prematur dengan PRS lebih cenderung
membutuhkan intervensi bedah tapi kandidat buruk dilakukan distraksi mandibula
dini. Sehingga trakeostomi merupakan pilihan terbaik dalam penanganan
obstruksi jalan nafas karena angka mortalitas dan komplikasinya lebih rendah
daripada distraksi mandibula.
Saat ini banyak bukti yang mempublikasikan peran dari distraksi
mandibular pada beberapa bayi, tetapi hal ini tidak menggantikan pendekatan
nonbedah yang juga teruji dengan baik dalam beberapa kasus, ataupun intervensi
bedah alternatif seperti TLA dan trakeostomi pada beberapa kasus yang lain juga.
Yang terpenting adalah evaluasi klinis menyeluruh dan pemeriksaan tambahan
oleh tim interdisipliner yang mengarah kepada keputusan berdasarkan bukti yang
berlaku. Perlu penelitian prospektif lebih lanjut untuk menggambarkan
kesempatan tatalaksana mana yang terbaik pada bayi dengan mikrognotia.
DAFTAR PUSTAKA

Bartlett S dan Taylor J. 2014. Mikrognatia. Philadelphia.


http://www.chop.edu/conditions-diseases/mikrognatia -diakses pada
Desember 2017

Benjamin B, Walker P. 1991. Management of airway obstruction in the PRS. Int J


Pediatr Otorhinolaryngol 22:29.

Bhat N, De R, Zeiton H, et al. 2000. Paediatric airway endoscopy. Rev Laryngol


Otol Rhinol (Bord) 121:31.

Boston M, Rutter MJ. 2003. Current airway management in craniofacial


anomalies. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 11:428,

Bush PG, Williams AJ. 1983. Incidence of the Robin anomalad. Br J Plast Surg
36:434

Caouette-Laberge L, Bayet B, Larocque Y. 1994. The Pierre Robin sequence:


Review of 125 cases and evolution of treatment modalities. Plastic
Reconstr Surg 93:934.

Carr MM, Poje CP, Kingston L, et al. 2001. Complications in pediatric


tracheostomies. Laryngoscope 111:1925.

Carter P, Benjamin B. 1983. Ten year review of pediatric tracheostomy in infants


and young children. Ann Otol Rhinol Laryngol 92:398.

Chigurupati R, Massie J, Dargaville P, et al. 2004. Internal mandibular distraction


to relieve airway obstruction in infants and young children with
micrognathia. Pediatr Pulmonol 37:230

Cohen SR, Simms C, Burnstein FD. 1998. Mandibular distraction osteogenesis in


the treatment of upper airway obstruction in children with craniofacial
deformities. Plast Reconstr Surg 101:312

Cohen SR, Suzman K, Simms C, et al. 1998. Sleep apnea surgery versus
tracheostomy in children: An exploratory study of the comparative effects
on quality of life. Plast Reconstr Surg 102:1855.

Cruz MJ, Kerschner JE, Beste DJ, et al. 1999. Pierre Robin sequence: Secondary
respiratory difficulties and intrinsic feeding abnormalities. Laryngoscope
109:1632.

Crysdale WS, Feldman RI, Naito K. 1988. Tracheotomies: A 10-year experience


in 319 children. Ann Otol Rhinol Laryngol 97:439
Denny AD, Kalantarian B. 2002. Mandibular distraction in neonates: A strategy to
avoid tracheostomy. Plast Reconstr Surg 109:896.

Denny AD, Talisman R, Hanson PR, et al. 2001. Mandibular distraction


osteogenesis in very young patients to correct airway obstruction. Plast
Reconstr Surg 108:302.

Dinwiddie R. 2004. Congenital upper airway obstruction, mini-symposium:


Upper airway obstruction. Paediatr Respir Rev 5:17.

Douglas B. 1946. The treatment of micrognathia associated with obstruction by a


plastic procedure. Plast Reconstr Surg 1:300

Dutton JM, Palmer PM, McCulloch TM, et al. 1995. Mortality in the pediatric
patient with tracheotomy. Head Neck 17:403

Figueroa AA, Glupker TJ, Fitz MG, et al. 1991. Mandible tongue and airway in
Pierre Robin sequence: A longitudinal cephalometric study. Cleft Palate
Craniofacial J 28:425.

Gaudet PT, Peerless A, Sasaki CT, et al. 1978. Pediatric tracheostomy and
associated complications. Laryngoscope 88:1633.

Gilhooly JT, Smith JD, Howell LL, et al. 1993. Bedside polysomnography as an
adjunct in the management of infants with Robin sequence. Plast Reconstr
Surg 92:23.

Glover JJ, Caniano DA. 2003. Ethical considerations for newborn surgery, in Puri
P (ed): Newborn Surgery (ed 2). London, Arnold. pp 173-183

Hadfield PJ, Lloyd-Faulconbridge RV, Almeyda J, et al. 2003. The changing


indications for paediatric tracheostomy. Int J Pediatr Otorhinolaryngol
67:7.

Heaf DP, Helms PJ. 1982. Naso-pharyngeal airways in Pierre Robin syndrome. J
Pediatr 100:698.

Hermann NV, Kreiborg S, Darvann TA, et al. 2003. Early craniofacial


morphology and growth in children with non–syndromic Robin sequence.
Cleft Palate Craniofac J 40:131.

Izadi K, Yellon R, Mandell DL, et al. 2003. Correction of upper airway


obstruction in the newborn with internal mandibular distraction
osteogenesis. J Craniofac Surg 14:493

Johnson GM, Todd DW. 1980. Cor pulmonale in severe Pierre Robin syndrome.
Pediatrics 65:152.
Joshi N, Hamdan AM, Fakhouri WD. 2014. Skeletal Malocclusion: A
Developmental Disorder with a Life-Long Morbidity.
http://www.jocmr.org/Review.pdf -diakses pada Desember 2017

Kirschner RE, Low DW, Randall P, et al. 2003. Surgical airway management in
Pierre Robin sequence: Is there a role for tongue-lip adhesion. Cleft Palate
Craniofac J 40:13.

Kremer B, Botos-Kremer AI, Eckel HE, et al. 2002. Indications, complications,


and surgical techniques for pediatric tracheostomies–An update. J Pediatr
Surg 37:1556.

Lewis CW, Carron JD, Perkins JA, et al. 2003. Tracheotomy in pediatric patients:
A national perspective. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 129:523.

Lubowitz AH. 1957. Makrognatia: Diagnosis, Treatment and Cephalometric


Appraisal. Philadelphia.

Mallory SF, Paradise JL. 1979. Glossoptosis revisited: On the development and
resolution of airway obstruction in the Pierre Robin syndrome. Pediatrics
64:946.

Monasterio FO, Drucker M, Molina F, et al. 2002. Distraction osteogenesis in


Pierre Robin sequence and related respiratory problems in children. J
Craniofac Surg 13:79

Morovic CG, Monasterio L. 2000. Distraction osteogenesis for obstructive apneas


in patients with congenital craniofacial malformations. Plast Reconstr Surg
105:2324.

Myer CM III, Reed JM, Cotton RT, et al 1998. Airway management in Pierre
Robin sequence. Otolaryngol Head Neck Surg 118:630.

Papay FA, McCarthy VP, Eliachar I, et al. 2002. Laryngotracheal anomalies in


children with craniofacial syndromes. J Craniofac Surg 13:351

Parsons RW, Smith DJ. 1982. Rule of thumb criteria for tongue-lip adhesion in
Pierre Robin anomalad. Plast Reconstr Surg 70:210

Patel A (2009). The developmental disturbences of jaws. Philadelphia.

Perkins JA, Sie KCY, Milczuk H, et al. 1997. Airway management in children
with craniofacial anomalies. Cleft Palate Craniofac J 34:135.

Pohunek P. 2004. Development, structure and function of the upper airways.


Paediatr Respir Rev 5:2.
Printzlau A, Andersen M. 2004. Pierre Robin sequence in Denmark: A
retrospective population-based epidemiological study. Cleft Palate
Craniofac J 41:47,

Randall P. 1989. The Robin sequence: Micrognathia and glossoptosiswith airway


obstruction, in McCarthy JG (ed): Plastic Surgery (vol 4; ed 2).
Philadelphia, PA, Saunders. pp 3123-3134

Routledge RT. 1960. The Pierre Robin syndrome: A surgical emergency in the
neonatal period. Br J Plast Surg 13:204

Schaefer RB, Stadler JA, Gosain AK. 2004. To distract or not to distract: An
algorithm for airway management in isolated Pierre Robin sequence.
Plastic Reconstr Surg 113:1113.

Sheffield LJ, Reiss JA, Strohm K, et al. 1987. A genetic follow up study of 64
patients with the Pierre Robin complex. Am J Med Genet 28:25.

Sher AE. 1992. Mechanisms of airway obstruction in Robin sequence:


Implications for treatment. Cleft Palate Craniofac J 29:224,

Shprintzen RJ, Singer L: Upper airway obstruction and the Robin sequence. Int
Anesthesiol Clin 30:109, 1992

Shprintzen RJ. 1992. Implications of the diagnosis of Robin sequence. Cleft


Palate Craniofacial J 29:205.

Sidman JD, Sampson D, Templeton B. 2001. Distraction osteogenesis of the


mandible for airway obstruction in children. Laryngoscope 111:1137.

Soni P. 2013. Makrognatia: Its Causes, Signs, Symptoms & Treatment. Pulp.

Sorin AD, McCarthy JG, Bernstein J. 2004. Predicting decannulation outcomes


after distraction osteogenesis for syndromic micrognathia. Laryngoscope
114:1815.

Sumartono (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta:
IDAI

Tantinikorn W, Alper CM, Bluestone CD, et al. 2003. Outcome in pediatric


tracheotomy. Am J Otolaryngol 24:131

Tomaski SM, Zalzal GH, Saal HM. 1995: Airway obstruction in the Pierre Robin
Sequence. Laryngoscope 105:111.

Van Der Haven I, Mulder JW, Van Der Wal KG, et al. 1997. The jaw index: New
guide defining micrognathia in newborns. Cleft Palate Craniofac J 34:240.
Vettraino IM, Lee W, Bronsteen RA, et al. 2003. Clinical outcome of fetuses with
sonographic diagnosis of isolated micrognathia. Obstet Gynecol 102:801.

Wagener S, Rayatt SS, Tatman AJ, et al. 2003. Management of infants with Pierre
Robin sequence. Cleft Palate Craniofac J 40:180

Ward RF, Jones J, Carew JF. 1995. Current trends in pediatric tracheotomy. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol 32:233.

Wetmore RF, Marsh RR, Thompson ME, et al: Pediatric tracheostomy: A


changing procedure? Ann Otol Rhinol Laryngol 108:659, 1999

Wittenborn W, Panchal J, Marsh JL, et al. 2004. Neonatal distraction surgery for
micrognathia reduces obstructive apnea and the need for tracheotomy. J
Craniofac Surg 15:623

Anda mungkin juga menyukai