Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN

TB PARU

MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH SISTEM


REPIRATORI

Kelompok 5

Eka Ari Kiswanto


Hanifah Auliya
Hedi Prasetyo
Setyo Herlina

NAMA

FEBRIN EKO HARYONO

HANIFAH AULIYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANKARYA HUSADA KEDIRI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis Paru (TB Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia,
sebagai penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya
secara serius. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang
bersifat permanen. Di samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses
restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural
yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam
kelainan faal paru (Supardi, 2006).
Penyakit Tuberkulosis paru (TB paru) sudah lebih dari 100 tahun yang
lalu ada dipermukaan bumi kita ini. Abad ke-19 merupakan abad ketika banyak
terdapat penemuan ilmiah termasuk konsep penyakit tuberkulosis. Di indonesia
penyakit ini sudah lama ada, dapat diketahui dari salah satu relief dicandi
Borobudur yang tampaknya menggambarkan suatu kasus Tuberkulosis. Berarti
pada masa itu (tahun 750 sesudah masehi) orang sudah mengenal penyakit ini ada
diantara mereka (Situmeah,2004).
Indonesia berada pada tingkat ke-3 terbesar didunia dalam jumlah
penderita Tuberkulosis(TB), setelah India dan Cina. Di dunia diperkirakan
penyakit ini dapat menyebabkan kematian kurang lebih 8.000 orang per hari
terdaftar hampir 2 400 kematian yang berhubungan dengan TB setiap harinya,
atau 140.000 per tahun, dan kurang lebih ¼ juta penduduk diduga terinfeksi TB
setiap tahun ( Jakarta Pos, 2008).
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
penyebarannya sangat mudah sekali, yaitu melalui batuk, bersin dan berbicara.
Untuk mengurangi bertambahnya TB paru dan masalah yang ditimbulkan oleh
penyakit TB paru, perlu dilakukan penanganan awal yang dapat dilakukan adalah
dilingkungan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu
tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. (Depkes RI,
2001).
Penyebaran penyakit tuberkulosis paru yang sangat mudah ini, sangat
rentan pada keluarga yang anggota keluarganya sedang menderita penyakit
tersebut. Penyakit dapat menular pada anggota keluarga yang lain. Oleh karena
itu, penyakit tuberkulosis harus mendapat penanganan yang tepat karena penyakit
ini menyerang tidak memandang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi
lemah dan berpendidikan rendah.
Penyakit TB paru lebih banyak ditemukan di daerah miskin. Karena faktor
lingkungan yang kurang mendukung menjadi penyebab TB paru. Beberapa faktor
yang erat hubunganya dengan terjadinya infeksi basil tuberkulosis yaitu adanya
sumber penularan, jumlah basil yang cukup banyak dan terus menerus memapar
calon penderita, virulensi (keganasan basil serta daya 3 tahan tubuh dimana daya
tahan tubuh ini mempunyai hubungan erat dengan faktor lingkungan, misalnya
perumahan dan pekerjaan, faktor imunologis. Keadaan penyakit yang
memudahkan infeksi seperti diabetes militus dan campak serta faktor genetik.
B. Tujuan
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang penerapan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan TB Paru.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit Granulomatosa kronis menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Robbins, 2007).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosae. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat
merupakan merupakan organisame patogen maupun saprofit (Price dan Wilson,
2006).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer,
2000).
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus
(Depkes, 2007).

B. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Pernapasan


Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama, paru-paru mengisi rongga
dada, terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung
beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam
mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua
bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks
kecuali paru-paru terletak diantara kedua lapisan pleura. Bagian terluar paru-paru
dilindungi oleh membran halus dan licin yang disebut pleura yang juga meluas
untuk membungkus dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma,
sedangkan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat
ruang yang disebut spasium pleura yang mengandung sejumlah kecil cairan yang
melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas
selama ventilasi.
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus atas dan
bawah. Sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap
lobus lebih jauh dibagi lagi menjadi segmen yang dipisahkan oleh fisurel yang
merupakan perluasan pleura. Dalam setiap lobus paru terdapat beberapa divisi-
divisi bronkus. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan pada
paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (sepuluh pada paru
kanan dan delapan pada paru kiri). Bronkus segmental kemudian dibagi lagi
menjadi bronkus sub segmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki arteri, limfotik dan syaraf. Bronkus subsegmental membantu
percabangan menjadi bronkiolus.
Bronkiolus membantu kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang
membentuk selimut tidak terputus untuk laposan bagian dalam jalan nafas.
Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh silia
dan berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru-paru
menuju laring. Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis
kemudian menjadi saluran transisional antara kalan udara konduksi dan jalan
udara pertukaran gas. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus
alveolus dan jakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan
karbondioksida terjadi di dalam alveoli.
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel-sel
alveolar, yaitu tipe I adalah sel membentuk dinding alveolar. Sel-sel alveolar tipe
II adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, mensekresi sufraktan, suatu
fostolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak
kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagosit besar
yang memakan benda asing, seperti lendir dan bakteri, bekerja sebagai mekanisme
pertahanan yang penting (Smeltzer & Bare, 2002).

C. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm
dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Suyono, et al 2001). Bakteri ini
sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik dan bersifat anaerob yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium
Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya
tinggi, daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis.
Adapun klasifikasi TB Paru yaitu :
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a) Tuberkulosis Paru BTA (+)
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif .
b) Tuberkulosis Paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M.tuberculosis positif
3) Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa.
2. Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan
pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif
kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi sekunder
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan).
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan.
f. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan
lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik

D. Patofisiologi
Infksi diawali karena seseorang menghirup basil M. Tuberculosis. Bakteri
menyebar melalui jalan napas menuju aveoli lalu berkembang biak dan terlihat
bertumpuk. Perkembangan M. Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke
area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe
dan aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang, dan kortex serebri) dan area
lai dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memberikan
respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan
aksi fagositosi (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
melibatkan terakumulasinya eksudat dalam aveoli yang menyebabkan
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu
setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa
awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi
yang terdiri dari makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal
ini akan menjadi kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian
bakteri menjadi nonaktif. Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak
adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat
timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali
menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga
menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkhus.
Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk
jaringan parut. Paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan
timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel dan seterusnya. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil
terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu 16 membentuk sel tuberkel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang
mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan
fibroblas akan menimbulkan respon berbeda, kemudian pada akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Smeltzer & Bare, 2001).
E. Manifestasi Klinis
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan
gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang
timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik meliputi :
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif
kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah
17 segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung
dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore
dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin
lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan
makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam
beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia.

F. Pemeriksaan Diasnotik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik ciri-cirinya : batuk ≥ 3 minggu, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai
tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas
lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,
pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Gejala sistemik cirinya : demam, gejala sistemik lain: malaise,
keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
2. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa,
kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess”.
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau
dengan cara:
1) Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
2) Dahak Pagi ( keesokan harinya )
3) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan
apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji
resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas
objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat
pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas
saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak
dengan kertas saring:
1) Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar
terlihat bagian tengahnya.
2) Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
3) Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi
pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
4) Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat
yang aman, misal di dalam dus.
5) Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil.
6) Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan
lidi.
7) Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal
pengambilan dahak.
8) Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke
alamat laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi,
termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
1) Mikroskopik
2) Biakan
Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-
Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett Mikroskopik fluoresens:
pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) Untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu
dengan cara sebagai berikut :
1) Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge
dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
2) Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak
mencair sempurna.
3) Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm.
4) Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-
merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya
menjadi merah.
5) Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan
larutan HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah
jambu ke kuning-kuningan.
6) Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan
(boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi
hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2
kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2
kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf →
Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca
dengan skala bronkhorst atau IUATLD
Catatan : Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali
positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang. Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara :
1) Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
2) Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,
dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi
MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun
pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang
timbul.
d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif.
1) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.
2) Kalsifikasi atau fibrotik
3) Kompleks ranke
4) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
1) Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks
untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama
pada kasus BTA dahak negatif).
3) Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5
(sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.
4) Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat.
1) Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil
pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang
benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif
sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis
TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai
dengan organ yang terlibat.
2) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini
merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup
lama.
b) Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan
(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir
plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai
dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna
pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah
c) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.
d) ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis
dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik
TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari
membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb
38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4
garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis
kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel
yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini
pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis
f. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis.
g. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.
h. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening
dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila
pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru
memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan.
i. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
j. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari
uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan
dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa
uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi
HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang
1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang
ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog
dengan ;
1) Reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang
terkena infeksi atau
2) Status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).
Skema alur diagnosis TB Paru
Skema diagnosis TB Paru pada orang dewasa

G. Pemeriksaan Fisik
1. Alat dan bahan
Alat yang diperlukan adalah :
a. Stetoskop
b. Penunjuk waktu
c. Bed atau tempat tidur
d. Penerangan yang cukup
2. Proses Tindakan
Sebaiknya pasien dilepas bajunya sampai pinggang, dan harus cukup
lampu/penerangan sebab kontur dan tekstur akan menonjol dengan
penerangan yang baik. Selalu bandingkan dada kanan dan kiri di tempat
yang simetris.
a. Inspeksi
1) Perhatikan irama dan frekuensi pernapasan. Dikenal berbagai tipe:
a) Normal
Rate dewasa 8–16x/menit dan anak maksimal 44 x/menit
b) Tachypnoea
Cepat dan dangkal, penyebab: nyeri pleuritik, penyakit paru
restriktif, diafragma letak tinggi karena berbagai sebab.
c) Hyperpnoea hiperventilasi
Napas cepat dan dalam, penyebabnya: cemas, exercise,
asidosis metabolik, pada kasus koma ingat gangguan otak
(midbrain/pons)
d) Pernapasan Kussmaul
Napas dalam dengan asidosis metabolik Bradypnoea. Napas
lambat, karena depresi respirasi karena obat, tekanan
intrakranial meninggi.
e) Napas Cheyne Stokes
Ada perioda siklik antara napas dalam dan apnoe bergantian.
Gagal jantung, uremi, depresi napas, kerusakan otak.
Meskipun demikian dapat terjadi pada manula dana anak-anak.
f) Pernapasan Biot
Disebut pernapasan ataxic, iramanya tidak dapat diramalkan,
acap ditemukan pada kerusakan otak di tingkat medulla.
Sighing. “Unjal ambegan”, menggambarkan sindrom
hiperventilasi yang dapat berakibat pusing dan sensasi „sesak
napas‟, psikologik juga. Ekspirasi diperpanjang. Ini terjadi
pada penyakit paru obstruktif, karena resistensi jalan napas
yang meningkat.
2) Gerakan paru yang tidak sama, dapat kita amati dengan melihat
lapang dada dari kaki penderita, tertinggal, umumnya
menggambarkan adanya gangguan di daerah dimana ada gerakan
dada yang tertinggal. (tertinggal = abnormal).
3) Dada yang lebih tertarik ke dalam dapat karena paru mengkerut
(atelectasis, fibrosis) pleura mengkerut (schwarte) sedangkan dada
mencembung karena paru mengembung (emfisema pulmo) pleura
berisi cairan (efusi pleura).
4) Deformitas dan bentuk dada
a) Dada normal anak
b) Dada normal dewasa
c) Dada bentuk tong.
d) Diameter antero-post memanjang – usila, kifosis, emfisema
paru disebut juga barrel chest
e) Dada bentuk corong.
Funnel chest, pectus excavatum, lekuk di sternum bawah yang
dapat membuat kompresi jantung dan vasa besar --- bising
f) Dada Burung. pigeon chest, pectus carinatum,dada menjorok
ke depan
g) Dada kifoskoliosis.
Dada mengikuti deformitas punggung, terjadi distorsi alat
dalam yang sering mengganggu interpretasi dapatan diagnosis
fisik.
b. Palpasi
1) Dengan palpasi ini diharapkan kita dapat menilai semua kelainan
pada dinding dada (tumor, benjolan, muskuloskeletal, rasa nyeri di
tempat tertentu, limfonodi, posisi trakea serta pergeserannya,
fraktur iga, ruang antar iga, fossa supraklavikuler, dsb) serta
gerakan, excursion dinding dada.
2) Lingkarkan pita ukur (ukur sampai 0.5 cm ketelitian) sekitar dada
dan nilai lingkar ekspirasi dan lingkar inspirasi dalam, yang
menggambarkan elastisitas paru dan dada.
3) Untuk ini diperlukan penggunaan dua tangan ditempatkan di
daerah yang simetris, kemudian dinilai. Pada waktu pasien
bernapas dalam :
a) (tangan diletakkan di bagian depan dada) maka amati gerakan
dada simetriskah,
b) (tangan ditaruh di dada samping) gerakan tangan kita naik
turun secara simetris apa tidak,
c) (tangan ditaruh di dada belakang bawah) gerakan tangan ke
lateral di bagian bawah atau tidak. Gerakan dinding dada
maksimal terjadi di bagian depan dan bawah.
4) Pada waktu melakukan palapasi kita gunakan juga untuk
memeriksa fremitus taktil. Dinilai dengan hantaran suara yang
dijalarkan ke permukaan dada dan kita raba dengan tangan kita.
5) Pasien diminta mengucapkan dengan suara dalam, misalnya
mengucapkan sembilan puluh sembilan (99) atau satu-dua-tiga dan
rasakan getaran yang dijalarkan di kedua tangan saudara.
a) Fremitus akan meninggi kalau ada konsolidasi paru (misal :
pneumonia, fibrosis)
b) Fremitus berkurang atau menghilang apabila ada gangguan
hantaran ke dinding dada (efusi pleura, penebalan pleura,
tumor, pneumothorax)
6) Apabila jaringan paru yang berisi udara ini menjadi kurang
udaranya atau padat,suara yang dijalarkan ke dinding dada lewat
cabang bronkus yang terbuka ini melemah. Suara dengan nada
tinggi (high-pitched sounds) yang biasanya tersaring terdengar
lebih jelas. Keadaan ini ditemukan di permukaaan dari jaringan
paru yang abnormal. Perubahan ini dikenal sebagai : suara
bronchial, bronchophonie, egophony dan suara bisikan (whispered
pictoriloqui). Untuk mudahnya dikatakan : suara bronchial dan
vesikuler mengeras. Hal ini dapat dirasakan dengan palpasi
(fremitus taktil) atau didengar dengan auskultasi.

INSPIRASI DALAM
Posisi tangan pada
pemeriksaan perherakan
lobus medius pada
mendula

Inspirasi dalam

Posisi tangan pada


pemeriksaan perherakan
lobus interior.

Inspirasi dalam

Gambar.2.2 pemeriksaan fisik ‘palpasi’

c. Perkusi
1) Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru.
2) Perkusi dapat cara : direk : langsung mengetuk dada atau iga - cara
klasik Auenbrugger) atau indirek: ketukan pada jari kiri yang
bertindak sebagai plessimeter oleh jari kanan.
3) Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah,
demikian juga pada bagian belakang dada. Ketukan perkusi dapat
keras atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat
„tertembus‟. Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan
parunya mulai menipis, dengan perkusi keras maka akan terkesan
jaringan di bawahnya sedangkan dengan perkusi lemah maka
masih terdeteksi paru yang tipis ini sehingga masih terdengar
suara sonor.
4) Dengan perkusi dapat terdengar beberapa kemungkinan suara :
a) Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal
(latihlah di paru anda).
b) Suara memendek (suara tidak panjang) Suara redup (dull),
ketukan pada pleura yang terisi cairan, efusi pleura.
c) Suara timpani (tympanic) seperti ketukan di atas lambung
yang kembung
d) Suara pekak (flat), seperti suara ketukan pada otot atau hati
misalnya.
e) Resonansi amforik, seperti timpani tetapi lebih bergaung,
f) Metallklang Hipersonor (hyperresonant) disini justru suara
lebih keras, contoh pada bagian paru yang di atas daerah yang
ada cairannya, suara antara sonor dan timpani, karena udara
bertambah misalnya pada emfisema pulmonum, juga
pneumothorak.
5) Perkusi dapat menentukan batas paru hati, peranjakan, batas
jantung relatif dan batas jantung absolut. Kepadatan (konsolidasi)
yang tertutup oleh jaringan paru lebih tebal dari 5 cm sulit
dideteksi dengan perkusi. Kombinasi antara inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi banyak mengungkap patologi paru. Perlu
diingat bahwa posisi pasien (misalnya tidur miring)
mempengaruhi suara perkusi meskipun sebenarnya “normal”
6) Untuk menentukan batas paru bawah gunakan perkusi lemah di
punggung sampai terdengar perubahan dari sonor ke redup,
kemudian pasien diminta inspirasi dalam-tahan napas-perkusi lagi
sampai redup. Perbedaan ini disebut peranjakan paru (normal 2 –
3 cm). Peranjakan akan kurang atau hilang pada emfisema paru,
pada efusi pleura, dan asites yang berlebihan. Untuk menentukan
batas paru-hati lakukan hal yang sama di bagian depan paru, linea
medio clavicularis kanan.
7) Dalam melakukan perkusi ingat selalu pembagian lobus paru yang
ada dibawahnya, seperti diketahui paru kanan terdiri dari lobus
superior, medius dan inferior dan lobus kiri terdiri hanya dari
lobus superior dan lobus inferior .
8) Perkusi hendaknya dimulai di tempat yang diduga sehat (dari
inspeksi dan palpasi) menuju ke bagian yang diduga sakit. Untuk
lebih meyakinkan, bandingkan dengan bagian yang kontra lateral.
Batas-batas kelainan harus ditentukan.

Gambar 2.3 Pemeriksaan Fisik ‘perkusi’


9) Perkusi untuk menentukan apek paru (Kronig’s isthmus)
dilakukan dengan cara melakukan perkusi di pundak mulai dari
lateral ke arah medial. Suara perkusi dari redup sampai sonor,
diberi tanda. Kemudian perkusi dari medial (leher) ke lateral
sampai terdengar sonor, beri tanda lagi. Diantara kedua tanda
inilah letaknya apek paru. Pada orang sehat lebarnya 4-6 cm. Pada
kelainan di puncak paru (tuberculosis atau tumor) daerah sonor ini
menyempit atau hilang (seluruhnya redup).
10) Pada perkusi efusi pleura dengan jumlah ciran kira-kira mengisi
sebagian hemitoraks (tidak terlalu sedikit dan juga tidak terlalu
banyak) akan ditemukan batas cairan (keredupan) berbentuk garis
lengkung yang berjalan dari lateral ke medial bawah yang disebut
garis EllisDamoiseau.
11) Pada perkusi di kiri depan bawah akan terdengar suara timpani
yang berbentuk setengah lingkaran yang disebut daerah semilunar
dari Traube. Daerah ini menggambarkan lambung (daerah bulbus)
terisi udara.
d. Auskultasi
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat
masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan
seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus
pernapasan (inspirasiekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada
tempat simetris.
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari
ekspirasi. Penjelasan serta perpanjangan fase ekspirasi mempunyai
arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara dasar dahulu
kemudian melukiskan suara tambahannya. Kombinasi ini, bersama
dengan palpasi dan perkusi memberikan diagnosis serta diferensial
diagnosis penyakit paru
3) Suara dasar :
a) Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta
lebih jelas
b) Vesikuler melemah: Pada bronchostenose, emfisema paru,
pneumothorak, eksudat, atelektase masif, infiltrat masif,
tumor.
c) Vesikuler mengeras: Terdengar lebih keras.
d) Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada radang Bronchial:
Ekspirasi lebih jelas, seperti suara dekat trachea, dimana paru
lebih padat tetapi bronchus masih terbuka (kompresi, radang)
e) Amforik: Seperti bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup
diatas mulut botol kososng sering pada caverne. Eksipirasi
Jelas.
4) Suara tambahan :
Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase
inspirasi maupun ekspirasi dapat nada tinggi (sibilant) dan nada
rendah (sonorous) = rhonchi, rogchos berarti „ngorok‟. Sebabnya
ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering
hilang atau berubah sifat. Rhonchi basah (moist rales). Timbul
letupan gelembung dari aliran udara yang lewat cairan. Bunyi di
fase inspirasi.
a) Ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli),
b) Ronkhi basah sedang (bronchus sedang),
c) Ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar).
d) Ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat,
pneumonia, tuberculosis.
e) Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus
secara mendadak, serentak terdengar di fase inspirasi. (contoh:
atelectase tekanan)
f) Suara gesekan (wrijfgeruisen, friction-rub). Ada gesekan
pleura dan gesek perikardial sebabnya adalah gesekan dua
permukaan yang kasar (mis: berfibrin)
Ronkhi basah sering juga disebut sebagai crackles, rhonchi kering
disebut sebagai wheezes dan gesek pleura atau gesek perikard
sebagai pleural dan pericardial rubs. Auskultasi suara Dapat
dilaksanakan dengan auskultasi menggunakan dua cara: suara
keras dan suara berbisik (gunakan suara S). Terdengar resonansi
suara yang jelas makin kita auskultasi mendekati hilus. (depan di
IC 2 dan 3 dekat sternum dan belakang interskapula dekat
vertebra). Apabila suara tadi dijalarkan membaik Maka disebut
ada bronchophoni (paling baik digunakan suara bisik). Diatas
eksudat yang terlalu besar didengar egophoni suara ini jarang
ditemukan.
e. Rekapitulasi
1) Palpasi
Tertinggal di daerah yang ada lesi. Vocal fremitus mengeras kalau
ada infiltrat, atelektase tekanan (kompresi). Vocal fremitus
melemah pada emfisema, eksudat, schwarte, atelektase masif.
Trakea tertarik pada fibrosisi paru, schwarte, atelektase masif.
Trakea terdorong pada eksudat, pneumothorak, tumor.
2) Perkusi
Sonor pada paru normal. Redup pada infiltrat, atelektase masif
atau tekanan, tumor, eksudat, fibrosis, paru, efusi, schwarte.
Hipersonor pada emfisema, pneumothorak.
3) Auskultasi
Bronkofoni pada infiltrat, juga egofoni (jarang), suara normal
vaskuler. bronkiial pada infiltrat, atelektase tekanan. Vesikuler
melemah pada emfisema, pneumothorak, atelektasi masif, efusi.
Schwarte, fibrosis. Amforik pada caverne. Ronkhi basah pada
infiltrat, rhonchi kering pada bronchitis. gesek pleura (dengan
gerak napas) dan gesek perikardium (irama jantung).
Kelainan Deskripsi Perkusi Fermitus Suara Daasar Suara
Tambahan

Normal Alveolus dan Sonor Normal Vesikular kecuali Tidak ada


trakeobronhus bersih, dekat bronchus besar
pleura baik Tidak ada Gagal
jantung kiri Selama
Selama ekspirasi Sonor Normal Normal atau exp Rhonchi basah
Gagal jantung basal paru diperpanja ng crepitasi basal
kiri mengembang,
mukosa bronch udem
Pleuritis Sicca Nyeri napas, ada Sonor Normal atau vesikuler Gesek pleura
fibrin sebab LE, agak lemah
rheuma, viral sering gesek
plera
Penebalan Terjadi pada pleritis Redup sampai Lemah, Lemah hilang Tidak ada
pleura lama, pus napas pekak intercostal
(schwarte) tertinggal akan teraba
menyempi t
Efusi pleura Efusi sereus, darah, Redup sampai Lemah – Vesikuler lemah- Tidak ada,
(pleuritis pus, jar ikat nyeri pekak, hilang, /hilang, bronchial kecuali ada
exudativa) napas dapat terjadi, Skodaic bronkofoni , dapat dipuncak pada kelainan pada
napas tertinggal resonan ce egofoni dapat efusi, gesek pleura +/ penyakit dasar,
terdengar pd pada fase awal
eff >> gesek gesek pleura
pleura +/-
Pneumonia Meski redup, tapi Redup Meningkat Bronchial Rhinchi basah
(konsolida si) selama jalan napas dengan mulai crepitasi
besar terbuka, bronchofo ni, indux- tak ada
fremitus da suara egofonie suaracrepitasi
seperti keluar dari redux (tergantung
trakea/laring sputa fase hepatisas)
rufa
Bronchitis Dapa terjadi obstruksi Sonor Normal Dapat normal tetapi Bervariasi dari
bronchus parsial seringkali exp tanpa ke rh. Bas
karena sekresi atau memanjan g atau expiratoir
obsruksi. Sering ada ada polyphonic
deflasi abn. wheezes, masih
baru hilang dgn
batuk, lama
menetap
Bronchiec Batuk, sutum pagi, Normal Normal atau Variabel, dapat Rhonchi basah
tasis foul sput, clubbing, sampai mengeras bronchofo ni sampai
sputum 3 lapis, faktor timpani, dapat amforik
obstruksi dan infeksi ada unsur
fibrosis
Emfisema Sering bersama Normal ke Mengurang Vesikuler lemah Normal atau
pulmonum dengan bronchitis. hiper sonor, mengurang, dengan tanda
Adanya ventilasi sering seringkali dengan bronchitis
kurang dan menutupi komponen ekspirasi
hiperventilasi keredupan memanjang
mengarah ke sini jantung dan
diafragma
letak
Pneumothorax Udara bebas ini Normal Berkurang Berkurang hingga Tidak ada
serupa COPD tetapi sampai hingga hilang hilang
unilateral trakea hipersonor
terdesak. Udara
banyak hipersonor,
suara napas lemah
Fibrosis paru Infiltrat lama berubah Redup/p ekak Dapat Bronchov esic lemah, Tidak pasti
fibrosis berkerut kalau ada mengeras atau bronchia tergantung lesi
menarik trakea, udara agak dapat awal
mediastinum, dada timpani melemah
Tumor paru Sulit, masif atau Tergant ung melemah Melemah dan daerah Tidak ada atau
tidak, di permukaan besar dan yang tertekan akan crepitasi
atau tidak jarak dari seperti atelektase
permuk aan tekanan
sulit kecuali
dengan efusi
pleura
Atelektasis Paru kolaps Redup Berkurang Vesikuler berkurang Tidak ada
atelektasis perkusi hingga hilang atau hilang
redup obstruksi
bronchus < hantaran
suara, trakea dapat
tetarik
Tabel.2.1 Tanda diagnosis fisik pada beberapa gangguan paru :
H. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif.
Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes
tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang
pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG
vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan
diberikan kemoprofilaksis.
b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-
kelompok populasi tertentu misalnya: karyawan rumah
sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan
siswa-siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG
d. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi
bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau
utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok
berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan
remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang
bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang
menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi
positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit
tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di
tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM
(misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia –
PPTI).
2. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
a. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat,
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH
5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan
Etambutol 15 mg/kgBB.
b. Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat
selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi
selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British
Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan
Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat
diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi.
Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat
untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara
obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi
WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan
Etambutol (Depkes RI, 2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO
menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori
didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu,
penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
a) Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita
dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis
dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif
tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan
selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu ( tahap lanjutan )
b) Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap
positif, diberikan kepada :
a) Penderita kambuh
b) Penderita gagal terapi
c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat

c) Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )


Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya
tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam
kategori I.
d) Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan
rendah karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
3. Obat-obatan anti tuberkulostatik
a. Isoniazid (INH) :
Merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti
rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen
pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang
sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada
faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme,
gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini
perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak
awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis
sangat jarang terjadi.
b. Rifampisin :
Merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.
Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan
kecuali bila ada kontra indikasi. Pada dua bulan pertama
pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara
pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya
tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi
gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian
obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati.
Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat
metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin,
sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi
oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.
c. Pyrazinamid :
Bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya
nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat
bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam
cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas
hati yang serius kadang-kadang terjadi.
d. Etambutol :
Digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi.
Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk
pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis
25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan
(atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan
intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis
30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek
samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan
penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan
lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis
berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal
penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka
etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa
mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat
alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari
sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus
dilakukan sebelum pengobatan.
e. Streptomisin :
Saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi.
Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk
berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun,
diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang
diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan
kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari
atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang
diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan
meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder
diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten
atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa
ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin,
sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin),
4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.
2.2 Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

4. Kombinasi dosis combination ( fixed dose combination )


a. Dosis tiap hari :
1) RHZE : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (400 mg) + E (75 mg)
2) RHZ : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (450 mg)
3) RH : R (300 mg) + H (150 mg)
4) R (150 mg) + H (75 mg)
5) EH : H (150 mg) + E (400 mg)
6) RHZ : R (150 mg) + H (150 mg) + Z (500 mg)
7) RH : R (150 mg) + H (150 mg)
8) Dosis 3X/ minggu :

5. Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)


Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah nama untuk
suatau strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia
untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien tuberkulosis. Strategi ini
terdiri dari 5 komponen, yaitu:
a. Dukungan politik para pimpinan wilayah disetiap jenjang sehingga
program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaanpun akan
tersedia.
b. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa tuberkulosis
melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan
penemuan secara pasif.
c. Pengawas minum obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan
dipercayai baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang ikut
mengawasi pasien minum seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan
bahwa pasien betul minum obatnya dan diharakan sembuh pada akhir
masa pengobatan.
Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari
sistem surveilans penyakit ini sehingga pemamtauan pasien dapat berjalan
Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang benar, termasuk dosis
dan jangka waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan
pengobatan. Termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan paduan obat
ini (Mansyor, 1999, hal 474).
6. Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi, diantaranya :
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
b. Komplikasi lanjut :
1) Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca
Tubercolosis)
2) Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :
a. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Riwayat Sakit dan Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a) Keluhan respiratoris, meliputi:
 Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur
darah.
 Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau
hanya berupa bloodstreak, berupa garis, atau bercak-
bercak darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan
jumlah darah yang dikeluarkan:
 Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari
600 cc/24 jam.
 Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600
cc/24 jam.
 Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang
dari 250 cc/24 jam.
b) Keluhan sistematis, meliputi:
 Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas
serangan semakin pendek
 Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan malaise.
2) Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan
perawat dalam melengkapi pengkajian.
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas
berkurang apabila beristirahat?
 Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang
dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya
seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau
kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam
melakukan pernapasan?
 Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
 Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan
klien?
 Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan,
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, apakah
gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu
juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau
hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan
klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan
gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama
pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah
bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti
diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa
diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini
meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang
terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh
penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat
dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan
mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.
5) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang
kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk
menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual
yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering
mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan yang
dialaminya.
6) Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi
pemerikasaan fisik umum per system dari observasi keadaan
umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood),
B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh
system pernapasan.
a) Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan
secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap
bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis,
somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB
paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara
signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan
darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti
hipertensi.
b) B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan
pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang
klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat
adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada
penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif,
maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang
disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien
dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya
gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun
demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan
luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat
mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada
klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif
yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi
sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum,
terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang
membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi
sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap
intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB
paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan
dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian
kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan
biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika
perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien
berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran
dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk
membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada
bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada
dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi,
biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup
sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi
cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks
ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan
(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa
untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui
stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal.
Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan
resonan vocal pada sisi yang sakit.
c) B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan
kelemahan fisik.
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada
TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi
jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
d) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya
sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada
pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya
kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi
hati.
e) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang
berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi
ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT
terutama fifampisin.

f) B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
g) B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB
paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan,
insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.
No Tanggal, Kode DX Diagnosa Intervensi Implementasi Evaluasi
bulan, Keperawatan keperawatan
tahun
Ketidakefektifan NIC : Jalan nafas efektif
1 00031 jalan nafas Repiratory status :
Definisi : Airway patency
ketidakmampuan NIC :
untuk  Auskultasi suara nafas
membersihkan dan catat adanya
sekresi atau suara tambahan
obstruksi dari  Posisikan pasien
saluran pernapasan untuk
untuk memaksimalkan
mempertahankan ventilasi.
kebersihan jalan  Lakukan fisioterapi
nafas dada bila perlu
 Keluarkan sekret
dengan batuk atau
section
 Identifikasi pasien
jika memerlukan
pemasangan alat jalan
nafas buatan.
 Hitung respirasi dan
dokumentasikan.
00030 Gangguan NIC : Tidak adanya
pertuaran gas NOC : gangguan
Definisi : kelebihan  Posisikan pasien pertukaran gas
atau defisit untuk
oksigenasi dan atau memaksimalkan
eliminasi karbon ventilasi
dioksidaf pada  Keluarkan sekret
membran alveolar- dengan batuk atau
kapilerz section
 Monitor pola nafas
 Catat pergerakan
dada, amati
kesimetrisan
penggunaan otot
tambahan, reaksi otot
supraclavicula dan
intercosta.
 Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunanan/ tidak
adanya ventilasi dan
suara tambahan
00007 Hipertermia NOC : Suhu tubuh dalam
Definisi : suhu Termoregulation batas normal
tubuh diatas normal NIC :
diurnal karena  Mengukur suhu tubuh
kegagalan pasien
termoregulasi  Berikan pengobatan
untuk menurunkan
demam (anti piretik)
 Ukur TD dan suhu
tubuh
 Hitung RR dan HR
 Berikan pengobatan
untuk mencegah
terjadinya menggigil.
 Kolabrasi dengan tim
medis lain.
00002 Ketidakseimbangan NOC Nutrisi dalam
nutrisi kurang dari Nutritional status batas normal
kebutuhan tubuh NIC
Definisi : asupan  Kaji adanya alergi
nutrisi tidak cukup makanan.
untuk memenuhi  Timbang BB pasien
kebuthan dan catat perubaan
metabolik, BB
 Anjurkan pasien
untuk meningkatkan
protein dan vit.C
 Pantau adanya mual
dan muntah.
 Monitor intake dan
output pasien dan
dokumentasikan.
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan
pasien.
00004 Resiko infeksi NOC Tidak terjadi
Definisi : rentan Risk countrol infeksi silang dari
mengalami invasi NIC pasien-
dan multiplikasi  Pertahankan teknik pengunjung atau
organisme isolasi. sebaliknya
patogenik yang  Batasi pengunjung
dapat mengganggu bila perlu.
kesehatan  Cuci tangan sebelum
dan sesudah
tindakan.
 Gunakan APD saat
tindakan
 Dorong masukan
nutrisi yang cukup.
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi.
 Laporkan
kecurigaan infeksi.
 Kkolaborasi
pemeriksaan arah
lengkap jika perlu
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut:
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak
sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat
lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet
nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan
pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat,
maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.

B. Saran
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien
dengan TB paru karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala
adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan rencana keperawatan pada penderita TB Paru.
Daftar Pustaka

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-haryantig0-5448-

1-babi.pdf diakses pada tanggal 05-11-2016 pukul 20.31

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-lisakurnia-6389-

2-babii.pdf diakses pada tanggal 10 november 2016

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-nurmapuspi-

5399-2-babii.pdf’ diakses pada tanggal 10 November 2016

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40165/4/Chapter%20II.pd

f diakses pada tanggal 10 November 2016

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35527-

Kep%20Respirasi- Askep%20TB%20Paru.html#popup diakses pada tanggal 12

November 2016

Modul Pemeriksaan Fisik pada Paru, Lab. Ketrampilan Medik PPD

Unsoed

http://fk.unsoed.ac.id/sites/default/files/img/modul%20labskill/modul%20ganjil%

20I/Ganjil%20I%20-%20Pemeriksaan%20Fisik%20paru.pdf diakses pada

tanggal 10 november 2016

Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Sommantri, Irman.2007.Keperawatan Medikal Bedah Asuhan

Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta; Salemba

Medika
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Pedoman diagnisis & penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia diakses

pada tanggal 14 november 2016 pukul 23.10 p.m

http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf

Anda mungkin juga menyukai