Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

“FRAKTUR CRURIS”
DI RUANG POLI BEDAH RSUD Dr. Saiful Anwar
MALANG

Disusun Oleh :
LAYLA VIARA RIZKY
176410024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan Asuhan keperawatan Medikal Bedah dengan


masalah FRAKTUR CRURIS di ruang Poli Bedah RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG sesuai praktik program studi pendidikan profesi ners yang di lakukan
oleh :
Nama : Layla Viara Rizky
Nim : 17.641.0024
Insitusi : STIKES Insan Cendekia Medika Jombang
Sebagai syarat pemenuhan praktika klinik yang di setujui dan di sahkan pada :
Hari :
Tanggal :

Malang………..……….2018

Mahasiswa

Layla Viara Rizky

Menyetujui

Pembimbing akademik pembimbing ruangan

( ) ( )

Kepala ruangan

( )
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR CRURIS

I. KONSEP TEORI
a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringau tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang
(Doengoes, 1999). Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
tipe dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stres lebih besar dari
kemampuannya untuk menahan (Sapto Harnowo, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang
terdiri dari tulang tibia dan fibula. Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula
(Brunner & Suddart, 2000).

b. Anatomi Fisiologi

Gambar 1 Anatomi Cruris Tibia-Fibula


1. Tibia
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai
bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia adalah tulang
pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
Ujung atas memperlihatkan adanya kondil medial dan kondil lateral. Kondi-
kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang.
Permukaan superior memperlihatkkan dua dataran permukaan persendian
untuk femur dalam formasi sendi lutut.
Kondil lateral memperlihatkan posterior sebuah faset untuk persendian
dengan kepala fibula pada sendi tibio-fibuler superior. Kondil-kondil ini di
sebelah belakang dipisahkan oleh lekukan popliteum.
Ujung bawah masuk dalam formasi persendian mata kaki. Tulangnya
sedikit melebar dan ke bawah sebelah medial menjulang menjadi maleolus
medial atau maleolus tibiae.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada
persendian tibio-fibuler inferior. Tibia membuat sendi dengan tiga tulang,
yaitu femur, fibula dan talus.
Merupakan tulang tungkai bawah yang lebih besar dan terletak di
sebelah medial sesuai dengan os radius pada lengan atas.Tetapi Radius
posisinya terletak disebelah lateral karena anggota badan bawah memutar
kearah medialis. Atas alasan yang sama maka ibu jari kaki terletak disebelah
medialis berlawanan dengan ibu jari tangan yang terletak disebelah lateralis.
(Anatomi fisiologi,untuk siswa perawat, 1997)
2. Fibula
Merupakan tulang tungkai bawah yang terletak disebelah lateral dan
bentuknya lebih kecil sesuai os ulna pada tulang lengan bawah. Arti kata
fibula adalah kurus atau kecil. Tulang ini panjang, sangat kurus dan gambaran
korpusnya bervariasi diakibatkan oleh cetakan yang bervariasi dari kekuatan
otot – otot yang melekat pada tulang tersebut. Tidak urut dalam membentuk
sendi pergelangan kaki, dan tulang ini bukan merupakan tulang yang turut
menahan berat badan.
Pada fibula bagian ujung bawah disebut malleolus lateralis. Disebelah
bawah kira – kira 0,5 cm disebelah bawah medialis, juga letaknya lebih
posterior. Sisi – sisinya mendatar, mempunyai permukaan anterior dan
posterior yang sempit dan permukaan – permukaan medialis dan lateralis
yang lebih lebar. Permukaan anterior menjadi tempat lekat dari ligamentum
talofibularis anterior. Permukaan lateralis terletak subkutan dan berbentuk
sebagai penonjolan lubang. Pinggir lateral alur tadi merupakan tempat lekat
dari retinakulum. Permukaan sendi yang berbentuk segi tiga pada permukaan
medialis bersendi dengan os talus, persendian ini merupakan sebagian dari
sendi pergelangan kaki. Fosa malleolaris terletak disebelah belakang
permukaan sendi mempunyai banyak foramina vaskularis dibagian atasnya.
Pinggir inferior malleolus mempunyai apek yang menjorok kebawah.
Disebelah anterior dari apek terdapat sebuah insisura yang merupakan
tempat lekat dari ligamentum kalkaneofibularis.(Anatomi fisiologi untuk
siswa perawat, 1997).

c. Klasifikasi Fraktur
Ada 2 tipe dari fraktur cruris diantara adalah sebagai berikut:
1) Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan captula.
Contoh (Kapital fraktur, dibawah kepala femur, melalui ekstra kapsuler)
2) Fraktur ekstra kapsuler
Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih besar atau
yang lebih kecil pada daerah intertrokanter. Terjadi di bagian distal menuju
leher cruris tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokanter terkecil.
Selain 2 tipe diatas ada beberapa klasifikasi fraktur diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian
(fragmen) atau lebih.

Gambar 1. Tipe fraktur


b. Fraktur incomplete (parsial)
Fraktur incomplete terbagi lagi menjadi
1. Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di
tempat, biasa terjadi di tulang pipih
2. Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius,
ulna, clavikula dan costae.
3. Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2) Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari
sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari
sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3) Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat
anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya.
4) Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur
dengan dunia luar.
a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang
menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang
memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke
tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
Derajat I
 Luka kurang dari 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
 Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
 Kontaminasi ringan.
Derajat II
 Laserasi lebih dari 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
 Fraktur komuniti sedang.
Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
d. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat
yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak
disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma
dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
2) Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses
pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase
atau osteoporosis.
3) Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan.
Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut
tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
4) Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5) Fraktur tibia dan fibula
Terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau
gerakan memuntir yang keras. Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat
dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan
gangguan kesejajaran.
e. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
(Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit,
pembengkakan, dan kelainan bentuk:
1) Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti rotasi
pemendekan tulang dan penekanan tulang
2) Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur
3) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
4) Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/
perdarahan), pergerakan abnormal, dan shock hipovolemik hasil dari hilangnya
darah
f. Patofisiologi
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks,
sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini
merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan
pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan
dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik
(Mansjoer, 2002).
Kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi
yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah pendarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut,
jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur.
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati di mulai. Di tempat
patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang baru
mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati (Mansjoer Arief, 2002).

g. Pathway
h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus fraktur antara lain
sebagai berikut:
1) Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung dan
Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah
serta selama proses penyembuhan secara periodik.
2) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
3) Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
4) Tekhnik lain
a. Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
i. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1) Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular
ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur
tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk
melindunginya dari kerusakan yang lebih parah. Kerusakan jaringan lunak
yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur,
dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini
khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di
mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan
perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang
belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya
pembedahan untuk menstabilkannya.
2) Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk
meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins /
kawat ke dalam tulang.
3) Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk
menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada
banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment
tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin
dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi
yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan
dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang
memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada
fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil
adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
4) Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
j. Biologi penyembuhan tulang
1) Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini
terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.
c. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley,
A.Graham,1993).
k. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips
dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
III ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan (PQRST):
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang harin
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Adakah erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Adakah gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Adakah gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(4) Muka
Apakah wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(5) Mata
Adakah gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Adakah lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Adakah deformitas, pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Adakah pembesaran tonsil, gusi terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Adakah pergerakan otot intercostae, gerakan dada.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Adakah suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainnya.

(d) Auskultasi
Adakah Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu
dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

b. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma destruksi jaringan tulang
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi dan Rasional
. Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut NOC: pain level dan NIC:Pain Managament
berhubungan pain control 1.1 lakukan pengkajian nyeri
dengan agen Kriteria Hasil: secara komprehensif (lokasi,
cidera
- Pasien mampu karakteristik, durasi,
(terputusnya
jaringan mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas)
tulang, gerakan penyebab nyeri dan Rasional : mengetahui skala
fragmen mampu menggunakan nyeri yang dirasakan pasien
tulang, edema
dan cedera tehknik nonfarmakologi 1.2 kontrol lingkungan pasien
pada jaringan) untuk mengurangi yang dapat mempengaruhi
nyeri) nyeri seperti suhu ruangan,
- Mampu mengenali nyeri pencahayaan, dan kebisingan
(skala, intensitas, Rasional : memberikan
frekuensi) kenyamanan bagi pasien
Menyatakan rasa 1.3 ajarkan tentang tekhnik non
nyaman setelah nyeri farmakologi seperti teknik
berkurang relaksasi nafas dalam
Rasional : mengalihkan rasa
nyeri yang dirasakan pasien
1.4 berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
Rasional : mengurangi rasa
nyeri pasien
1.5 tingkatkan istirahat
Rasional : manajemen energi
pasien
1.6 evaluasi keefektifan control
nyeri
Rasional : mengevaluasi
hasil tindakan dan
menentukan intervensi
lanjutan

2. Hambatan NOC: joint movement NIC:Exercise therapy


mobilitas fisik dan mobility level (ambulation)
berhubungan Kriteria Hasil: 2.1 monitor vital sign sebelum
dengan
- Peningkatan aktivitas dan sesudah latihan
kerusakan
integritas pasien Rasional : mengetahui
struktur tulang - Memperagakan kondisi pasien secara umum
penggunaan alat bantu 2.2 kaji kemampuan pasien
untuk mobilisasi dalam mobilisasi
Rasional : mengetahui
kemampuan pasien
2.3 dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan sehari hari
pasien (ADLS)
Rasional : mencegah
terjadinya cedera
2.4 berikan alat bantu jika pasien
membutuhkan
Rasional : memberikan
keamanan bagi pasien
2.5 ajarkan pasien bagaimana
mengubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
Rasional : mencegah cedera
pada pasien
3. Kerusakan NOC: tissue integrity NIC: Pressure Management
integritas kulit (skin and mocus 3.1 jaga kebersihan kulit agar
berhubungan membranes) tetap bersih dan kering
dengan
Kriteria Hasil: Rasional : menghindari
imobilitas fisik
- Tidak ada luka, lesi terjadinya infeksi
pada kulit 3.2 mobilisasi pasien setiap 2
- Perfusi jaringan baik jam sekali
- Integritas kulit yang Rasional : mencegah luka
baik bisa dipertahankan dekubitus
(sensasi, elastisitas, 3.3 monitor kulit aka adanya
temperature, hidrasi kemerahan
pigmentasi) Rasional : memantau tanda-
tanda infeksi
3.4 oleskan lotion atau minyak
pada daerah yang tertekan
Rasional : mencegah luka
dekubitus
3.5 monitor status niutrisi pasien
Rasional : membantu
pemulihan

4. Resiko infeksi NOC: immune status, NIC: Infection Control


berhubungan and risk control 4.1 monitor vital sign pasien
dengan trauma Kriteria Hasil: Rasional : mengetahui
destruksi - Klien bebas dari tanda
kondisi umum pasien
jaringan tulang dan gejala infeksi
4.2 batasi pengunjung
- Jumlah leukosit dalam
Rasional : mengurangi
batas normal
resiko infeksi
4.3 cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
Rasional : tindakan aseptik
untuk mencegah terjadinya
infeksi
4.4 pertahankan lingkungan
aseptic selama pemasangan
alat
Rasional : mengurangi resiko
infeksi
4.5 tingkatkan intake nutrisi
Rasional : meningkatkan
status imun pasien

5. Ansietas NOC: Anxiety self NIC: anxiety reduction


berhubungan control, coping 5.1 gunakan pendekatan yang
dengan Kriteria Hasil: menenangkan
perubahan Rasional : memberikan rasa
- Pasien mampu
status nyaman pada pasien
kesehatan mengidentifikasi dan
5.2 jelaskan semua prosedur dan
mengungkapkan gejala apa yang yang dirasakan
cemas selama prosedur
- Mengidentifikasi, Rasional : menurunkan rasa
mengungkapkan dan cemas pasien
menunjukkan tekhnik 5.3 dengarkan dengan penuh
perhatian
untuk mengontrol
Rasional : memberikan
cemas penghargaan pada pasien
Vital sign dalam batas 5.4 identifikasi tingkat
normal kecemasan
Rasional : mengetahui
tingkat cemas yang dirasakan
pasien
5.5 instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Rasional : mengurangi rasa
cemas pasien
Daftar pustaka

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 10. Jakarta:
EGC.

Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process


Approach. W.B. Saunder Company.
Mansjoer, Arif. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapsis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Marilynn, Doenges. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3. Jakarta:
EGC.

NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, 2005-2006 Definisi &


Klasifikasi. Philadelphia, NANDA International.

Price, Sylvia. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6


Volume 2. Jakarta: EGC.

Reeves. Charlene. J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.


Smeltzer, Susanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddarth, Ed. 8. Jakarta : EGC.
Syamsuhidajat, R & Jong, D.W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai