Anda di halaman 1dari 28

Rabu, 06 Januari 2010

Pengunjung Kota Tua Meningkat 50 Persen

Jakarta - Jumlah pengunjung di kawasan wisata Kota Tua meningkat hingga lebih dari 50 persen
dibandingkan dengan bulan lalu. Pada Mei 2009 ini, angka pengunjung yang datang sekitar 1.500
orang, bahkan pernah mencapai angka 2.000-an, sedangkan April 2009 hanya sekitar 1.000
pengunjung.

Hal itu diungkap Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Penataan dan Pengembangan Kota Tua,
Candrian Attahiyyat, Kamis (14/5) siang. Dia mengatakan, peningkatan ini karena mayoritas
pengunjung yang datang adalah para siswa yang akan memasuki masa libur sekolah dan
pelaksanaan ujian akhir sekolah telah selesai.

Sementara itu, terkait HUT ke-482 Kota Jakarta, Kepala Museum Sejarah Jakarta Raphael Manik
menambahkan, pihaknya akan menggelar sejumlah kegiatan, di antaranya Batavia Art Festival,
yaitu pertunjukan seni dan budaya yang akan berlangsung hingga akhir tahun.

Khusus untuk memperinga-ti Hari Museum Internasional pada 18 Mei, pihaknya akan
mengadakan Museum Day dengan acara utama memasuki bunker (ruang bawah tanah) di Museum
Fatahillah. "Ruang ini tidak dibuka untuk umum karena resapan air yang merembes. Hanya karena
acara ini kami akan mengeringkan dan membukanya pada pukul 3 sore," katanya.

Dia menambahkan, rangkaian acara ini bertujuan untuk menyatukan dan menumbuhkan rasa
memiliki serta memelihara Kota Tua di antara komunitas dan masyarakat sekeliling kawasan itu.

Kawasan Kota Tua yang terletak di wilayah Jakarta Barat itu dikelilingi enam museum, seperti
Museum Bahari, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik,
Museum Bank Mandiri, serta Museum Bank Indonesia. Jasa keliling kawasan wisata
menggunakan ojek sepeda ontel juga tersedia dengan tarif Rp 25.000 per jam untuk mengunjungi
lima tempat bersejarah, termasuk Sunda Kelapa. (ant/nor)

(Sinar Harapan, Jumat, 15 Mei 2009)

Djulianto Susantio di 06.18 Tidak ada komentar:

Selasa, 05 Januari 2010

Jakarta Bangga Punya Kotatua*

Pinondang Simanjuntak
Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
Provinsi DKI Jakarta

Konteks Sejarah

Perkembangan fisik kota Jakarta pada sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat
pesat. Bangunan tinggi dengan arsitektur modern dijumpai pada hampir setiap sudut kota. Di
antara pesatnya pembangunan, ada suatu keluhuran, yakni tidak terbongkarnya bangunan
bersejarah. Bahkan kawasan-kawasan yang memiliki nilai sejarah tetap dilestarikan, salah satunya
adalah Kotatua.

Kotatua adalah morfologi kota yang memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang, 481 tahun.
Dimulai dari sebuah kota yang diberi nama Jayakarta pada 1527, luasnya hanya 15 hektar
berlokasi pada sisi barat sungai Ciliwung (Kalibesar). Pola Kota Jayakarta cukup cantik, pusat
kotanya ditandai dengan alun-alun yang bagian selatannya terdapat kraton, sedangkan pada sisi
barat alun-alun terdapat masjid. Sayang kota Jayakarta hanya bertahan 92 tahun, sebab pada 1619
dibumihanguskan oleh VOC Belanda. Di atas lahan kota Jayakarta VOC Belanda membangun
kota Batavia yang luasnya 105 hektar. Kota Batavia sempat bertahan selama 189 tahun, karena
pada 1808 dibongkar total dan ditinggalkan warganya,. Penyebabnya adalah terjadinya angka
kematian yang tinggi akibat wabah penyakit. Kota Batavia yang terlantar tersebut baru mendapat
perhatian kembali sejak dibentuknya Dewan Kotapraja--seperti DPRD sekarang--pada 1905.
Terjadilah peremajaan kota Batavia sejak 1905 hingga 1930-an.

Sebagian besar bangunan tua yang terdapat di Kotatua berasal dari periode peremajaan (1905-
1930). Arsitektur bangunannya adalah internasional style atau artdeco yang tren pada saat itu.
Bangunan yang berasal dari abad ke-17 atau 18 hanya beberapa buah saja (mungkin tak sempat
dibongkar), di antaranya adalah Gudang dan sisa tembok kota yang kini menjadi Museum Bahari,
Stadhuis yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta, Jembatan Gantung Kota Intan, dan beberapa
bangunan di Jalan Kalibesar Barat.

Elemen kota memang terjadi perubahan dari zaman ke zaman, tetapi struktur kota abad ke-17
masih terlihat garis-garis batas kota dan jalan kotanya. Kondisi ini yang menuntut kita harus
melestarikan sisa-sisa kotatua. Yang membanggakan kita, tinggalan sejarah dalam bentuk kota ini
adalah peninggalan kota terbesar di Asia. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah masih ada
aktivitas kehidupan kota.

Living In The City

Kehidupan dan perilaku etnik yang turun menurun, masih terlihat di Kotatua. Di Glodok dan
Pinangsia hingga kini masih memperlihatkan aktivitas kehidupannya yang tidak meninggalkan
unsur tradisionalnya. Sebagian besar etnik ini adalah pedagang mulai dari kebutuhan sehari-hari
hingga kebutuhan hiburan dan makanan serta obat-obat tradisional. Cukup unik melihat Glodok
dan Pinangsia, suasana Pecinan sangat terasa. Etnik lainnya yang bagian dari sejarah adalah Arab.
Keturunan Arab kini banyak yang berdomisili di daerah Pakojan. Mengapa dua etnik ini masih
bertahan di Kotatua? Selain karena faktor sejarah, etnik ini cukup adaptif dengan lingkungan
masyarakat.

Pasar Ikan, yang kini merupakan bagian pelabuhan Sundakelapa masih dinikmati aktivitas
bongkar muat kapal tradisional Phinisi dengan cara yang tradisional pula, sehingga menarik
perhatian para turis mancanegara. Kampung Luar Batang dengan aktivitas religiusnya tetap
bertahan sepanjang masa, terlebih ketika diselenggarakan acara tahunan seperti Maulid Nabi dan
Ramadhan. Semua terselenggara tanpa bantuan anggaran pemerintah.

Aktivitas ekonomi yang membentuk sentra-sentra marak berlangsung. Bila kita berjalan di Jalan
Cengkeh maka dijumpai deretan pedagang terpal untuk keperluan tenda, ke utara lagi akan
ditemukan deretan pedagang alat-alat kapal, terus menuju Pasar Ikan kita jumpai deretan
pedagang mainan tradisional. Unik. Jarang ditemukan di daerah lain.

Kantung-kantung aktivitas sosial dan ekonomi ini didukung lagi dengan keberadaan kawasan
arsitektural bersejarah dengan aktivitas pengunjung terutama di kawasan Taman Fatahillah, Taman
Beos yang menikmati keberadaan Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Keramik
& Senirupa, Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia. Juga setiap harinya terjadi
aktivitas streethunting photography.

Lokasi aktivitas sosial, ekonomi dan suasana kesejarahan di kotatua yang unik dan menarik
merupakan potensi dalam pengembangan kotatua, sehingga kita merasa perlu membuat arahan
batas-batas karakter morfologi.

Karakter Morfologi

Delapan ratus empat puluh enam hektar dinyatakan sebagai luas pengusaan perencanaan Kotatua,
sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 34 tahun 2006. Batas paling utara adalah sebagian
Pelabuhan Sunda Kelapa; batas paling selatan adalah Gedung Arsip Nasional Jalan Gajah Mada;
batas paling barat adalah mesjid tua di Jalan Bandengan; dan batas paling Timur adalah satu blok
di belakang Bank BNI Kota.

Masterplan yang akan mengatur arahan pengembangannya masih dalam proses finalisasi.
Walaupun demikian secara garis besar sudah disepakati bahwa luas 846 hektar terbagi ke dalam 5
zonasi kawasan pengembangan yang didasari pada karakter morfologi.

Zonasi 1:
Sundakelapa, yang batasnya ke arah utara dari bentangan rel kereta api. Karakter zona ini adalah
bahari yang didominasi dengan perkampungan etnik dan pergudangan, langgam merespon iklim
laut. Visi pengembangannya adalah menyemarakkan aktivitas kebaharian.
Zonasi 2:
Fatahillah, yang batasnya adalah sekitar Taman Fatahillah, Kalibesar dan Taman Beos. Karakter
asal zona ini adalah kota lama dengan populasi bangunan tua terbanyak. Visi pengembangannya
adalah memori masa lalu, yang memberi fungsi baru sebagai museum, industri kreatif dan fungsi
campuran. Pada zonasi ini dikenakan retriksi yang ketat demi pelestarian kawasan.

Zonasi 3:
Pecinan, yang batasnya adalah sekitar Glodok Pancoran. Karakter zona budaya etnik Cina baik
kehidupannya maupun lingkungan arsitekturnya, sedangkan visi pengembangannya adalah
pelestarian bangunannya dan tetap mempertahankan kehidupan.

Zonasi 4:
Pakojan, yang batasnya adalah sekitar Pakojan, Jembatan Lima dan Bandengan. Karakter zonanya
adalah budaya religius karena pada zona ini terdapat beberapa masjid tua. Visi pengembangannya
adalah kampung multi etnis.

Zonasi 5:
Kawasan Peremajaan, yang batasnya adalah dari Pancoran ke arah Jalan Gajah Mada (Gedung
Arsip). Visi pengembangan zonasi ini adalah sebagai pusat bisnis Kotatua.

Apa Yang Telah Dikerjakan Dalam Revitalisasi

Pekerjaan Revitalisasi Kotatua telah dilaksanakan sejak akhir 2005, dimulai penataan jalan Pintu
Besar Utara sepanjang 300 meter yang mengganti permukaan jalan dengan batu andesit dan
pelebaran jalan di Pancoran. Pada tahun berikutnya penataan Taman Fatahillah sekaligus
pembuatan Lighting Heritage agar bangunan tua yang ada disinari warna-warni cahaya di malam
hari. Selain itu ditata pula pohon-pohon di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara dan Taman
Fatahillah.

Tahun 2008 ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan dana APBD untuk
Penataan air Kalibesar, pedestrianisasi sebagian Jalan Kunir, dan Pencahayaan di sekitar
Sundakelapa, Museum Bahari.

Khusus untuk penataan air Kalibesar, perencanaannya sudah dibuat sedemikian rupa. Kali yang
selama ini difungsikan sebagai drainase dimana limbah rumah tangga langsung menuju kali
tesebut, kelak tidak akan terjadi lagi. Air Kalibesar akan bebas kotoran dengan dibangunnya 4
buah IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) pada sisi kanan kiri Kalibesar. Debit air dijaga
stabil, agar pada permukaan kali tersebut kelak diselenggarakan atraksi-atraksi.

Pekerjaan fisik ini sebagian besar adalah penataan infrastruktur, yang tujuannya sekaligus
menciptakan daya tarik dan menciptakan kembali kepercayaan investor utuk menanamkan modal
di Kotatua.
Leading Sector

Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta dipercaya sebagai leading sector
dalam koordinasi pekerjaan fisik penataan kawasan Kotatua yang melibatkan dinas-dinas lain, di
antaranya Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Penerangan Jalan Umum, dan
Dinas Pertamanan, memfasilitasi partsipasi masyarakat yang membantu penataan tersebut.
Partisipasi masyarakat tersebut datang dari Jakarta Oldtown Kotaku (JOK) dan Paguyuban Kota
Tua.

Paguyuban Kota Tua adalah sebuah kelompok yang sebagian besar anggotanya adalah owner
bangunan tua atau yang berdomisili di kotatua. Mereka sangat membantu dalam menciptakan
iklim kondusif di masyarakat, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadinya protes terhadap
pembangunan kotatua. Paguyuban ini menjadi mediator yang menjembatani permasalahan-
permasalahan yang muncul antara pemerintah dan masyarakat. Selain Paguyuban Kotatua, JOK
juga bertindak serupa, namun lebih banyak mencarikan sumbangan-sumbangan dalam penataan
Kotatua. Di antara sumbangsihnya adalah menempatkan tong sampah pada tiap-tiap sudut kotatua,
menyumbang pohon dan lampu, serta turut mempublikasikan keberadaan kotatua.

Untuk membantu pekerjaan yang bersifat teknis, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Penataan dan Pengembangan Kotatua, di bawah
pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. UPT ini merupakan ujung tombak dalam
menciptakan jejaring kerja unit-unit terkait dan para stakeholder.

Identifikasi Masalah

Dewasa ini citra Kotatua sudah lebih baik daripada sebelum dilakukan revitalisasi, terlihat dari
tingginya animo masyarakat yang berkunjung ke Taman Fatahillah. Namun citra kemacetan dan
adanya tempat kumuh belum lepas dari pemikiran setiap pengunjung maupun calon pengunjung.

Pasific Rim Council on Urban Development (PRCUD) Forum telah menyelenggarakan


pertemuannya di Jakarta pada bulan Mei 2007 yang pada kesempatan tersebut membahas
permasalahan-permasalahan yang dialami dalam Pengembangan Kotatua. Terdapat 5 masalah
utama yang harus ditangani, yakni (1) Aspek Lingkungan Fisik; (2) Aspek Sosio Kultural; (3)
Aspek Ekonomi Finansial; (4) Aspek Kelembagaan; dan (5) Aksesibilitas dan Daya Tarik.

Masalah pada aspek lingkungan fisik kini tengah dilaksanakan penanganannya, yakni dengan
penataan Taman Fatahillah, Kalibesar dan Pancoran Glodok. Sedangkan penanganan aspek
kelembagaan, telah dibentuk UPT KOTATUA. Aspek aksesibilitas dan daya tarik sedang ditangani
pengaturan trafik dan penyelenggaraan event-event. Tinggal yang masih harus dipikirkan adalah
masalah pada aspek ekonomi finansial, masih sebatas konsep, yakni konsep ekonomi kreatif.

*Makalah dalam Seminar Kotatua


yang diselenggarakan oleh Harian Sinar Harapan
Di Hotel Batavia Jakarta, 9 Juli 2008

Djulianto Susantio di 05.17 Tidak ada komentar:

Senin, 04 Januari 2010

Revitalisasi Kota Tua Jalan di Tempat


Ganggu Warga Setempat

[JAKARTA] Revitalisasi Kota Tua yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak beberapa tahun
terakhir dinilai jalan di tempat dan hanya menghamburkan anggaran hingga miliaran rupiah. Hal
itu dikatakan Ketua Paguyuban Kota Tua Jacky Sutiono di Jakarta, baru-baru ini.

Dijelaskan, dalam melakukan upaya revitalisasi, Pemprov DKI tidak turut melakukan perawatan.
Selain itu dalam merevitalisasi Kota Tua, Pemprov DKI juga tidak melibatkan masyarakat yang
tinggal di sekitar Kota Tua.

"Di antaranya para pemilik bangunan di Kota Tua yang tergabung dalam Paguyuban Kota Tua
tidak pernah dimintai pendapat atau dilibatkan dalam setiap kebijakan dan rencana revitalisasi
yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta," ujarnya baru-baru ini.

Akibatnya, jelas Jacky, beberapa upaya revitalisasi yang dilakukan Pemprov DKI merugikan
pemilik bangunan tua di kawasan itu. Contohnya, penanaman pohon kelapa yang menutupi
jendela bangunan.

"Sehingga jendela tidak bisa dibuka. Belum lagi pembuatan dan peninggian pedestrian yang
menutupi pintu bangunan, sehingga pintu kami tidak bisa dibuka keluar. Ini merugikan
masyarakat," ujarnya.

Selain itu, jaringan kabel dipasang di atas kali juga mengganggu keindahan dan membahayakan
masyarakat sekitar. Belum lagi banyak sampah berserakan. Padahal, warga sudah membayar
retribusi. Masalah lain, adanya parkir kendaraan yang tidak teratur. "Keamanan dan ketertiban
belum benar-benar dapat dirasakan masyarakat yang tinggal di Kota Tua," kata Jacky.

Hal senada dikatakan Sekjen Paguyuban Kota Tua Ella Ubaidi. Menurutnya, kawasan Kota Tua
yang luasnya sekitar 840 hektare itu, sebanyak 18% di antaranya seperti lahan dan gedung kantor
kecamatan, museum milik Pemprov DKI. Sebanyak 12% seperti Stasiun KA Beos, Kantor Pos
milik Pemerintah Pusat. "Sedangkan 70 persen lainnya lahan milik swasta. Artinya pihak swasta
dan komunitas yang ada di kawasan Kota Tua jangan ditinggalkan begitu saja dalam melakukan
revitalisasi kawasan itu," katanya.
Ella mengatakan, dalam merevitalisasi Kota Tua, Pemprov DKI juga harus mempertimbangkan
masalah perawatannya. Sehingga proyek bernilai miliaran rupiah tidak sia-sia hanya dalam
hitungan bulan.

"Contohnya revitalisasi di Taman Fatahillah yang menelan biaya Rp 50 miliar, untuk penataan
pencahayaan, penataan kabel PLN, telepon, taman, dan sebagainya. Proyek 2006-2007 itu cuma
bisa bertahan tiga bulan, lampu-lampu banyak yang mati, telepon rusak," ujarnya.

Menurut Ella, pembangunan kawasan Kota Tua perlu melibatkan warga sekitarnya, sehingga ada
manfaat ekonomi bagi warga sekitar. Misalnya, dengan kegiatan industri rumahan,
mengembangkan wisata kuliner yang harganya terjangkau masyarakat luas.

Sementara itu, Direktur Pengelola Aset PT Pusat Perdagangan Indonesia(PPP) Robert Tambunan,
mengkritisi pernyataan Aurora Tambunan seusai dilantik menjadi Deputi Gubernur DKI Jakarta
Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. [Y-6]

(Suara Pembaruan, Senin, 16 Maret 2009)

Djulianto Susantio di 07.14 Tidak ada komentar:

Wisata Kota Tua dengan Sepeda Ontel

OLEH: DEYTRI ARITONANG


(Sinar Harapan, Sabtu, 23 Mei 2009)

JAKARTA - Seseorang yang berwisata ke Kota Tua, Jakarta Barat, baru bisa dikatakan menjalani
wisata sejarah jika sudah mengelilingi Kompleks Kota Tua dengan sepeda kumbang atau sepeda
ontel. Penyewa maupun pengojek sepeda ontel bangga ikut melestarikan kebudayaan dan sejarah
Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuknya Taman Fatahillah, Jakarta Barat, Amir (41) sibuk membersihkan dan
memeriksa setiap detail sepeda ontel miliknya. Tangannya sigap menggosok semua bagian sepeda
tuanya yang katanya diproduksi tahun 1940-an.

Di alun-alun depan Museum Sejarah Jakarta itu ia memarkir dua koleksi sepeda tuanya, berjajar
dengan sepeda ontel milik rekan seprofesinya. Di depan jajaran sepeda terpampang papan
bertuliskan “Disewakan untuk keliling Kota Tua”.

Sepeda kesayangannya itu memang disewakannya bagi pengunjung Kota Tua yang ingin
menjelajahi jejak penjajahan pemerintahan Kolonial Belanda di Jakarta. Suasana tempo dulu baru
terasa kental ketika berkeliling menyusuri bangunan-bangunan tua di sana.

Dengan tarif Rp 20.000 per jam, bapak satu anak berani melepaskan sepedanya digunakan secara
bebas oleh pengunjung. Syarat untuk dapat meminjam sepeda yang di Belanda disebut omafiets
atau “sepeda oma” ini hanya dengan meninggalkan kartu identitas (KTP).

Amir mengaku tidak khawatir sepedanya tidak dikembalikan peminjam. Menurutnya, jaminan
KTP sudah cukup memadai dan membuat peminjam takut melarikan sepeda yang menjadi
tumpuan hidup keluarganya itu.

Lelaki yang berdomisili di Penjaringan, Jakarta Utara, ini menggantungkan hidupnya dari usaha
mengojek atau menyewakan sepeda ontel. Ia mengaku penghasilannya dari sepedanya tidaklah
besar. “Pas-pasan aja sih. Tapi yang penting kan cukup untuk makan,” kata pria sederhana ini.

Rata-rata dalam sehari laki-laki berkulit legam ini bisa membawa pulang hingga Rp 30.000. Meski
demikian, tidak jarang juga ia bisa menghasilkan hingga Rp 150.000 dalam sehari.

Salah satu pengalaman mengojek yang tidak dilupakannya adalah ketika mengantar wisatawan
dalam negeri dari Taman Fatahillah, Jakarta Barat, ke Taman Monas, Jakarta Pusat. Menurut
kisahnya, kala itu warga keturunan Tionghoa itu ingin menikmati suasana Jakarta dengan santai
tanpa terjebak kemacetan.

Kisah yang hampir sama dituturkan Pak Daryono (52). Salah satu pengurus komunitas sepeda tua
asuhan Museum Bank Mandiri ini mengaku menjalani usaha jasa sepeda tua sejak tahun 1981.
Katanya, kala itu tidak banyak peminat jasa sepeda ontel. Saingannya pun belum banyak.

Kini ketika penyedia jasa sepeda kumbang semakin banyak, peminat sepeda yang lahir di tanah
Belanda ini tidak bertambah.

Calon Pengantin

Penyewa dan pengguna jasa sepeda ontel memang tidak banyak. Kelompok orang yang paling
sering menyewa sepeda adalah calon pasangan pengantin. Mereka biasa menyewa sepeda untuk
foto prapernikahan dengan tema tempo dulu. “Selain foto prewedding, paling anak-anak remaja
yang mau foto,” katanya.

Meski memiliki koleksi sepeda ontelnya sendiri, bapak empat anak ini memilih menggunakan
sepeda yang dipercayakan Museum Bank Mandiri kepadanya. Sepeda ontel yang dibelinya pada
tahun 1980-an hanya dipakai sesekali saja.

Lelaki berdarah Betawi ini mengaku tidak memiliki mata pencaharian lain selain mengojek sepeda
ontel dan menyewakan sepedanya. Meski begitu, dia bangga. Dari penghasilannya yang juga ikut
berperan melestarikan sejarah dan budaya, ia berhasil mengantarkan anaknya ke jenjang
pendidikan yang tinggi. Walau kehidupan yang dijalaninya tidak tergolong mewah, Pak Daryono
bersyukur dapat menjalani pekerjaannya yang turut membantu pemda mengembangkan Wisata
Kota Tua.
Dia mengatakan, banyak keuntungan yang didapatnya menggunakan sepeda ontel. Salah satunya
adalah kesehatan. Bersepeda menurutnya sama dengan berolahraga. Diakuinya, semasa hidupnya
ia tidak pernah terjangkit penyakit parah. Keuntungan lainya, sepeda lebih ramah lingkungan dan
bebas macet.

Ia berharap adanya persewaan sepeda ontel dapat ikut mengembangkan wisata sejarah di Kota
Tua. Untuk itu, ia ingin agar kompleks Kota Tua dibebaskan dari kendaraan bermotor dan
persewaan sepeda modern.

Jika kawasan Kota Tua telah menjadi kawasan seperti yang dicita-citakan pemda dan banyak
persewaan sepeda dapat menjadi bisnis menjanjikan yang mendukung wisata Kota Tua, kenapa
tidak dikembangkan? Dengan begitu, jalan-jalan di Kota Tua bisa dijalani tanpa harus kepanasan
dengan alat transportasi bebas polusi yang pernah hidup di Jakarta dulu.

Djulianto Susantio di 07.10 Tidak ada komentar:

Menunggu Kota Tua Nyaman dan Tertib

Oleh NELI TRIANA

Kawasan Kota Tua di Jakarta Barat merupakan tonggak awal berkembangnya Batavia yang kini
menjelma menjadi Jakarta. Sebuah kota dengan bangunan bergaya arsitektur Indis tepat di pinggir
Kali Ciliwung ini memang selalu menjadi kawasan bisnis nan sibuk.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Pemandangan di sekitar Kali Besar, Jakarta Barat, yang membelah kawasan Kota Tua, beberapa
waktu lalu. Kali Besar merupakan salah satu kanal terusan Sungai Ciliwung yang dibangun oleh
Belanda yang mengelilingi Benteng Batavia.

Perbedaannya, setelah mengarungi waktu selama hampir 500 tahun, rupa cantik Kota Tua yang
memadukan seni bangunan gaya barat dan Indonesia kini kian memudar. Tata ruang yang dulu
menyeimbangkan antara bangunan, taman, dan jalan, sekarang hanya kumpulan bangunan tua
yang rusak keropos. Kondisi sekitarnya pun semrawut dan kotor.

Padahal, sudah sejak tahun 1970-an, revitalisasi Kota Tua dicanangkan, tetapi hasilnya, kawasan
ini selalu tampak seperti daerah yang terabaikan. Wisatawan pun enggan mampir.

Sesuai data dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Permuseuman DKI, jumlah wisatawan per
tahun hanya sekitar 140.000 orang. Sebagian besar wisatawan tercatat selalu mengeluhkan soal
keamanan, kebersihan, dan ketertiban di Kota Tua yang jauh dari ketentuan standar.

Berdasarkan data kunjungan wisatawan di beberapa museum dan obyek kunjungan di Kawasan
Kota Tua, seperti di Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Museum
Bahari, pengunjung yang datang rata-rata adalah peminat khusus atau siswa sekolah.
”Saya memang suka dengan tempat-tempat kuno seperti ini. Apalagi, saya sedang gencar latihan
fotografi. Macet atau kumuh tidak masalah untuk saya,” kata Alan Sinatryo, fotografer amatir, saat
ditemui di depan Museum Fatahillah, Sabtu (16/5).

Wisatawan minat khusus, seperti Alan, memang tidak terlalu memerhatikan kondisi sekitar obyek
yang dituju. Berbeda dengan wisatawan umum yang amat memerhatikan kenyamanan selama
perjalanan dan saat di lokasi. Tentu saja jumlah wisatawan minat khusus ini masih amat terbatas.
Tidak heran, dalam satu tahun jumlah pengunjung Kota Tua hanya 140.000 orang.

Tidak tertanganinya masalah keamanan, ketertiban, dan kebersihan membuahkan masalah lain,
seperti kemacetan lalu lintas yang tak terpecahkan. Angkutan umum, baik mikrolet, metromini,
maupun bus besar dan bus transjakarta, melalui kawasan ini dari arah Jalan Hayam Wuruk, di
mana terdapat pasar elektronik Glodok, dan dari Mangga Dua. Tepat di persimpangan sebelum
menuju Museum Fatahillah, arus lalu lintas dari dan ke arah Stasiun Kota, Pasar Asemka, Mangga
Dua, dan Glodok bertemu.

Tak ketinggalan sepeda motor dan mobil-mobil pribadi yang turut berdesakan di tengah lautan
kendaraan itu. Sampah masih bertebaran di setiap sudut. Belum lagi kawasan kumuh di terminal
mikrolet dekat Jembatan Kota Intan atau sekitar Stasiun Kampung Bandan maupun di Asemka dan
Glodok.

Ekonomi kreatif

Upaya menata Kota Tua sebenarnya dilakukan sejak masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin
(1966-1977). Kala itu, Kota Tua ditetapkan sebagai kawasan konservasi sekaligus obyek wisata
seluas 864 hektar yang mencakup wilayah Jakarta Kota dari seputar Glodok hingga Pelabuhan
Sunda Kelapa.

”Namun, penataan dan renovasi memang selalu terpusat di sekitar Fatahillah saja,” kata Kepala
Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Permuseuman DKI Arie Budhiman, pertengahan Mei lalu.

Selama lima tahun terakhir, berdasarkan data dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan
Permuseuman DKI, sedikitnya tiga kali dilakukan renovasi di sekitar Museum Sejarah Jakarta
(Museum Fatahillah). Sebuah lorong bawah tanah pun telah dibangun menghubungkan Museum
Bank Mandiri, Stasiun Kota Tua, selter bus transjakarta, dan Museum Sejarah. Terakhir, April lalu,
mulai diberlakukan pembebasan beberapa jalan di tengah Kota Tua dari lalu lalang kendaraan
bermotor.

Akan tetapi, semua upaya itu belum memberi dampak berarti, khususnya dalam menjadikan Kota
Tua tertata apik dan menarik minat wisatawan. Berdirinya Unit Pengelolaan Teknis Kota Tua sejak
2004 juga tidak kuasa mengatur kawasan tersebut menjadi lebih nyaman. Padahal, pada 2008,
dana sebesar Rp 110 miliar dari APBD DKI diguyurkan untuk program revitalisasi kawasan Kota
Tua.

Berdasarkan pada fakta-fakta itu, Arie sadar bahwa revitalisasi Kota Tua selama ini ternyata belum
menyentuh dasar masalah, yaitu mewujudkan Kota Tua yang aman, tertib, dan bersih. Untuk itu,
ia merencanakan agar pengelolaan Kota Tua ke depan berbasis manajemen sumber daya budaya.

Direktur Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat,
Rabu, menambahkan, kunci utama keberhasilan mengelola Kota Tua adalah pada pengembangan
ekonomi kreatif berbasis budaya. Selain itu, pengelolaan harus berdasarkan desain matang (by
design), bukan berubah-ubah (management by accident).

”Kota Tua juga harus dilihat sebagai sebuah kawasan besar, tidak hanya terbatas pada Museum
Fatahillah dan bangunan-bangunan tua lainnya. Pemecahannya, yaitu harus melihatnya sebagai
kawasan yang terintegrasi,” kata Hari.

Kota Tua tidak terlepas dari kawasan Glodok, Kota Intan, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa dan
sekitarnya. Untuk itu, kata Hari, pencanangan Kota Tua sebagai kawasan yang dilestarikan dan
direvitalisasi harus diperluas. Hal ini disebabkan Kota Tua memang sebuah kawasan terintegrasi
dan mewakili perkembangan kota hingga kini.

Jadi, kata Hari, yang bisa dijual sebagai obyek wisata adalah sisi perkembangan Kota Jakarta kuno
hingga modern ini. Di kawasan ini, bisa terlihat adanya sungai sebagai poros kota, benteng,
kawasan Pecinan, perdagangan, pusat pemerintahan, dan permukiman. Membawa wisatawan
mengembara mengenang dan melihat bagaimana Jakarta berkembang tentu amat menarik.

Di Kota Tua, tercatat selain 284 bangunan yang bersejarah, Pasar Glodok juga telah ada sejak
tahun 1740. Pada perkembangannya kini, Kota Tua diperkaya dengan adanya Pasar Asemka yang
merupakan pasar pusat perhiasan imitasi dan kosmetik serta Mangga Dua sebagai pusat fashion.
Semua itu bisa menambah kekhasan Kota Tua.

Hari menambahkan, sebagai langkah awal, Pemprov DKI bisa mengoptimalkan potensi yang
sudah ada. Menurutnya, yang pertama perlu dilakukan adalah lalu lintas di sekitar Kota Tua harus
tegas ditertibkan. Di sana sudah tersedia banyak gedung tinggi dengan lahan parkir cukup luas,
seperti di Glodok dan Lindeteves. Silakan kendaraan pribadi parkir di sana dan meneruskan
perjalanan dengan kendaraan umum yang ada.

”Di sini, Dinas Perhubungan dan Dinas Tata Kota disarankan mengatur rute angkutan umum
sehingga bisa melayani hingga ke seluruh kawasan Kota Tua,” kata Hari.

Ide sederhana ini, kata Hari, bisa menjadikan Kota Tua sebagai oase di tengah Jakarta yang panas
dan semrawut. Jadi, mampukah DKI mewujudkannya?

(Kompas, Kamis, 18 Juni 2009)


Djulianto Susantio di 06.56 Tidak ada komentar:

Wisata Sepeda Keliling Kota Tua

Menelusuri jejak keemasan Batavia masa lampau, kini bisa dilakukan dengan ojek sepeda di
kawasan Kota Tua Jakarta.

Kegiatan ini bisa dilakukan dengan menyediakan waktu luang antara 1,5 sampai 2 jam diatas sadel
sepeda, mengelilingi situs seluas kira-kira 2 kilometer persegi.

Pengendara yang juga pemilik sepeda, selanjutnya akan membawa penumpang berkeliling lima
lokasi wisata sejarah, sambil memberikan berbagai penjelasan tentang sejarah lokasi-lokasi
tersebut.

Tarmuji, biasa dipanggil Pak Muji, adalah pendiri sekaligus salah satu pengemudi sepeda ojek
wisata paling senior di Kota Tua Jakarta.

Layanan ojek sepeda keliling Kota Tua diberikan Muji dan kawan-kawan biasa mangkal di
lapangan Fatahillah, sebuah arena terbuka seluas kira-kira lapangan bola, terletak persis di depan
Museum Sejarah atau lebih dikenal dengan nama museum Fatahillah.

Lokasi ini menyatukan tiga lokasi wisata sejarah Kota Tua sekaligus, yakni Museum Fatahillah
sendiri, Museum Wayang dan Museum Keramik. Masing-masing berhadapan sehingga bisa
dikunjungi sekaligus.

"Konsumen ojek sepeda wisata ini, kebanyakan turis lokal yang banyak datang ke Taman
Fatahillah," kata Muji.

Target utamanya adalah rombongan anak sekolah, yang sebagian besar menyempatkan mampir ke
Museum Fatahillah untuk melihat warisan budaya Jakarta masa lalu.

Dalam sepekan biasanya ratusan hingga sekitar ribuan wisatawan datang. Muji dan kawan-kawan
menunggu, dengan berbagai jenis dan merek sepeda.

Kebanyakan pengunjung yang menyewa, memilih dibonceng saja. Biayanya Rp 25.000 untuk satu
jam sewa.

"Kalau mau naik sendiri atau boncengan dengan teman boleh juga. Biaya sewanya Rp 20.000,''
tambah Muji.

Untuk satu putaran, penyewa akan dibawa berkeliling, dengan tujuan pertama menuju Pelabuhan
Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, Museum Bahari, jembatan Raden Inten dan lokasi Toko
Merah, sebelum dibawa kembali ke Lapangan Fatahillah.
Dibiarkan rusak

Selain lalu lintas yang luar biasa padat, pemandangan menyolok dari kawasan Kota Tua adalah
banyaknya gedung dan bangunan bersejarah yang kurang terawat.

Muji mengatakan, sebagian bangunan ini memang merupakan milik swasta. Beberapa dijadikan
kantor perusahaan, seperti ruang pamer mobil dan agen jual-beli tiket perjalanan.

"Tapi banyak yang milik pemerintah juga. Yang ini contohnya, dulu milik Petamina, entah
mengapa sampai sekarang tidak dipakai lagi," keluh Muji.

Karena usia yang sudah melampaui satu abad, tidak heran banyak gedung yang nyaris ambruk.
Menurut Muji, bahkan banyak yang dari luar nampak masih tegak sebenarnya di dalam sudah
keropos dan hancur.

Beberapa gedung seperti gedung milik PT Samudera Indonesia di Jalan Kali Besar juga rusak
akibat genangan air dan banjir.

Tiang Gedung Museum Bahari bahkan sempat ambrol sebelumnya juga akibat banjir.

Untungnya, ini tidak terjadi pada Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pelabuhan berumur lebih dari lima abad ini ternyata sampai kini masih ramai menjadi pusat kapal
niaga berlabuh.

Saat kami berkunjung, Sunda Kelapa sesak oleh ratusan kapal yang rapi berderet di pinggir
galangan. Sebagian besar datang dari penjuru nusantara, kata Muji, bukan kapal asing.

"Bedanya dengan dulu sebelum masa reformasi, sekarang kapal banyak bawa bahan mentah
seperti bahan makanan atau semen."

"Kalau dulu banyak bawa kayu dari luar Jawa. Setelah reformasi dan ramai berita tentang illegal
logging, kayu jarang dibawa ke Sunda Kelapa," tambah Muji.

Dari Sunda Kelapa rute selanjutnya adalah Menara Syahbandar. Tidak jauh hanya sepelemparan
batu jaraknya.

Namun jalan yang menanjak dan lalu lintas yang ganas biasanya cukup membuat penumpang
khawatir.

Maklum, ojek sepeda biasanya tidak dilengkapi dengan pengaman seperti helm.

Di menara, hanya dengan membayar sebesar Rp 2.000 rupiah, pengunjung bisa naik hingga lantai
enam setinggi kira-kira 30 meter.

Penataan kacau

Dari atas, nampak pemandangan sekitar Kota Tua. Sekaligus jelas juga betapa kacaunya penataan
ruang di kawasan ini.

Atap gedung berarsitektur kuno Belanda bercampur-baur dengan tumpukan atap seng serta asbes
rumah penduduk yang muncul di mana-mana.

Sampah dan air Kali Besar yang hitam juga nampak jelas berbaur dengan lalu-lintas yang
diselimuti asap agak pekat.

"Lingkungan sekitar Kota memang sudah buruk penataannya sejak lama, termasuk sistem saluran
pembuangan limbah. Padahal dahulu, sejak Batavia didirikan pada 1527, saluran Kali Besar
termasuk yang paling bersih di Asia," kata Muji tentang pentingnya penataan ulang kawasan ini.

Gedung Museum Bahari misalnya, terletak di Jalan Pasar Ikan No.1 , berseberangan dengan
rumah penduduk beratap seng dan dibangun campur aduk tanpa penataan.

Sekitar tahun 1720-an, Museum Bahari merupakan gudang tembakau dan rempah-rempah milik
VOC Belanda.

Agar kegiatan bongkar-muat mudah dilakukan, gedung ini didirikan persis di bibir pantai
Pelabuhan Sunda Kelapa.

Bibir pantai itu sudah lama hilang, digantikan bangunan rumah penduduk yang semrawut, dihiasi
tumpukan sampah disana-sini.

"Saya dengar mau ada netralisasi kawasan pelabuhan, katanya 5-6 tahun lagi rencananya Pemda
DKI mau mengembalikan kawasan ini seperti masa dulu lagi," kata Muji setengah berharap.

Berikutnya sampai di Jembatan Kota Inten, sebuah jembatan kayu diatas Kali Besar, sekitar 5 abad
lalu merupakan jembatan pertama yang mengaplikasikan teknologi jungkit.

Jembatan akan membuka dan menutup bila kapal besar melayari Kali Besar menuju pelabuhan
Sunda Kelapa.

Kini kanal sekeliling jembatan kini didandani dengan lampu dan trotoar bersih, kabarnya karena
ada rencana menggunakannya sebagai sarana wisata air.

Lagi-lagi, rencana itu belum terwujud.


Bangunan disewakan

Di jalan menuju jembatan Jalan Inten, sejumlah bangunan kuno nampak masih terawat kokoh dan
indah.

Misalnya sebuah gedung berlantai dua berjendela kayu besar, salah satu sisinya dihiasi lambang
VOC, Verenigde Indische Oost Compagnie, perusahaan dagang Kompeni Belanda.

Meski nampak lebih terawat, Pak Muji mengkritik persewaan bangunan tua ini.

"Mestinya kan dipelihara negara, untuk museum atau lokasi gedung pemerintahan gitu," protes
Muji.

Lima tujuan ojek sepeda Kota Tua


Pelabuhan Sunda Kelapa: masih berfungsi sejak 1573 ratusan kapal bersandar tiap hari
Menara Syahbandar: tinggi sekitar 30m memberi pemandangan menyeluruh kawasan Kota Tua
Museum Bahari: didirikan 1652 sebagai gudang rempah-rempah VOC, jaman Jepang jadi gudang
senjata dan kini menyimpan benda sejarah bahari nusantara
Jembatan Raden Inten: jembatan dengan teknologi Jungkit pertama di Indonesia, dibangun untuk
memudahkan kapal VOC melewati Kali Besar menuju Sunda Kelapa
Toko Merah: didirikan tahun 1730 oleh Gubernur Jendral Belanda terakhir ditutup polisi karena
menjadi arena judi
Nasib yang hampir sama dialami Toko Merah.

Tidak ada barang apapun dijual disini, karena memang sudah lama tutup.

Menurut sejarahnya, bangunan asli toko ini adalah asrama untuk kadet angkatan laut Belanda
didirikan oleh Gubernur Jendral Belanda GustaaF Willem Baron van Imhoff tahun 1730.

Bangunan megah berlantai dua berukuran besar dengan dinding bata, pintu dan jendela dari kayu
jati hitam ini kemudian beralih pemilik pada seorang saudagar Cina.

Karena kepercayaannya akan warna merah yang dianggap membawa keberuntungan, sang
pedagang mengubah cat bangunan itu menjadi seluruhnya merah, kecuali bingkai kayu pada
jendela dan pintunya.

Nama bangunan pun berubah jadi Toko Merah, menjual rempah-rempah.

Terakhir bangunan ini berfungsi sebagai arena judi, kata Muji.

"Makanya disebut Kaliber 11 singkatan dari alamatnya Jalan Kali Besar No 11. Tiga tahun lalu
tempat ini ditutup polisi, dipimpin sendiri oleh Jendral Sutanto."
Masih nampak kuat, jendela-jendela gedung Toko Merah nampak kusam oleh debu dan sisa hujan.

Karena kosong dan tidak dipakai, Toko Merah menambah lagi daftar panjang bangunan bersejarah
yang terancam rusak di kawasan Kota Tua.

Penataan kawasan

Meski masih harus banyak dibenahi, penampilan Kota Tua sekarang ini jauh lebih baik.

Menurut Muji, berbagai upaya dilakukan untuk membuat Kota Tua jadi lebih nyaman.

Diantaranya penataan kawasan Museum Fatahillah, di mana lalu lintas yang tadinya melalaui
kawasan ini dialihkan.

Juga sekitar Jembatan Raden Inten, yang tadinya dikenal sebagai kawasan remang-remang dan
rawan kejahatan.

Kanal Kali Besar bahkan dilengkapi dengan halte perahu, yang tadinya direncanakan mantan
Gubernur Sutiyoso sebagai fasilitas water way.

Yang terakhir, terkait rencana mengembalikan fungsi kawasan Museum Bahari, dengan menata
ulang permukiman sekitarnya.

"Ya kita tunggu saja, meskipun kagak tahu kapan terlaksana," kata Muji sambil tersenyum.

Rencana apapun untuk mengembalikan fungsi kawasan Kota Tua, menurut Muji, sangat ditunggu
pelaku pariwisata seperti dirinya.

Penataan tersebut penting bagi pelaku pariwisata seperti Muji, untuk memastikan kawasan Kota
Tua tetap diminati wisatawan.

Dengan penataan juga diharapkan kesemrawutan dan polusi berkurang disekitar daerah ini.

Karena dekat dengan pusat niaga Glodok dan Pelabuhan Sunda Kelapa, lalu-lintas jalanan sekitar
Kota Tua sangat padat.

Bukan saja keahlian khusus dan keberanian, tapi dibutuhkan pula kesehatan prima pengojek untuk
membelah kepadatan ini dengan bersepeda.

Mereka harus berhadapan langsung dengan polusi asap kendaraan maupun aroma Kali Besar yang
berbau menyengat.
Saat ditanya tentang bagaimana caranya menghindari polusi, Muji mengaku kebal.

"Tidak apa, sudah biasa," katanya sambil tertawa.

(bbcindonesia.com)

Djulianto Susantio di 06.45 1 komentar:

Penataan Kota Tua Terhambat

Jakarta - Upaya Pemerintah Kota Jakarta Barat (Pemkot Jakbar) menata kawasan Kota Tua
menjadi tempat wisata bertaraf internasional masih mengalami sejumlah kendala. Salah satunya,
banyak bangunan yang ditinggal pemiliknya. Karena itu, pihaknya akan melacak para pemilik
tersebut melalui data yang terdapat di Badan Pertanahan Jakarta Barat.

"Untuk mempercepat proses pengecatan di Kota Tua, saat ini kami tengah melacak nama pemilik
bangunan yang belum diketahui alamatnya melalui Badan Pertanahan Jakarta Barat," kata Wali
Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan, Rabu (8/7) siang, seperti dilansir situs resmi Pemda Jakarta,
beritajakarta.com.

Dia menyatakan, program pengecatan bangunan ini telah menjadi program Pemkot Jakbar.
Namun, pelaksanaanya tidak seluruhnya ditanggung pemerintah melainkan harus melibatkan
peran aktif para pemilik bangunan. Karena itu, Pemkot Jakbar sengaja menghubungi para pemilik
bangunan untuk melakukan pengecatan.

"Pemerintah kota hanya mengecat gedung-gedung tua yang memang milik pemerintah, sedangkan
untuk gedung milik perorangan dan swasta dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Karena itu, kita
berusaha menghubungi mereka," ujarnya.

Djoko menyatakan, bagi para pemilik yang sudah berhasil dihubungi, mereka sangat antusias
menyambut program pengecatan yang dicanangkan Pemkot Jakbar. Namun, bagi para pemilik
yang belum berhasil dihubungi, belum terlihat responnya.

Program pengecatan bangunan-bangunan kuno di kawasan Kota Tua ini ditargetkan rampung pada
akhir Juli ini karena proses pelacakan pemilik bangunan terus digencarkan.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Kota Tua Candrian Attahiyat mengungkapkan, saat ini jumlah
bangunan kuno di Kota Tua sebanyak 284 unit. Dari jumlah tersebut, yang dinyatakan milik
pemerintah sebanyak 29 bangunan, yakni milik Pemerintah DKI Jakarta 6 bangunan dan BUMN
23 bangunan. Sementara itu, 255 bangunan lagi milik instansi swasta dan perorangan.(norman
meoko)

(Sinar Harapan, Kamis, 9 Juli 2009)


Djulianto Susantio di 06.19 Tidak ada komentar:

Public Crowd, Salah Satu Strategi Menarik Investor ke Kotatua

Keynote speech
Gubernur DKI Jakarta
DR.Ing. Fauzi Bowo
Dalam Seminar Kotatua Jakarta, 9 Juli 2008

Konteks Sejarah

Pada 2006 Pemerintah Provinsi telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 34 tentang
Penguasaan Perencanaan Dalam Rangka Penataan Kawasan Kotatua seluas 846 hektar. Alasan
diterbitkannya Peraturan Gubernur tersebut adalah untuk memberi kejelasan arah pengembangan
kawasan Kotatua dan batas kawasan yang berdampingan sebagai zona pengaman. Batas-batas
tersebut ditentukan oleh persebaran bangunan tua dan aktivitas kultural. Di dalamnya terdapat
kawasan inti yang merupakan kawasan padat bangunan tua.

Sekitar Taman Fatahillah, Taman Beos, Kalibesar, Pasar Ikan, dan Pancoran/Glodok adalah
identitas kawasan inti Kotatua. Tapak dari struktur kotanya berasal dari abad ke-17, sedangkan
elemen kotanya berasal dari berbagai periode zaman hingga tahun 1990-an. Bila mengamati foto
udara lokasi tersebut sekarang, kita masih bisa melihat batas-batas kota Batavia yang dikelilingi
oleh tembok dan parit. Namun kini tinggal paritnya yang sudah menjadi sungai. Garis-garis jalan
dan bloknya masih mirip dengan peta Batavia tahun 1650. Hanya bangunan-bangunannya tidak
lagi menunjukkan abad ke-17, tapi lebih menunjukkan pada perkembangan awal abad ke-20. Hal
ini terjadi karena kota Batavia dibongkar dan ditinggalkan lebih dari seratus tahun sejak Gubernur
Jenderal Daendels. Baru pada 1905 kota Batavia yang kosong dan terlantar ini mulai dibangun
kembali.

Komitmen Pelestarian

Namun fasilitas dan bangunan kotatua sejak kemerdekaan Indonesia kembali merosot kualitas
lingkungannya hingga tahun 1970. Pada kondisi yang seperti ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
segera mengeluarkan keputusan yang men-declare kawasan sekitar Taman Fatahillah sebagai
preserved historical site pada 1970 melalui Surat Keputusan Gubernur nomor: CD.3/1/70
Menyusul Surat Keputusan Berikutnya nomor: D.III-b 11/4/54/73 yang dikeluarkan pada 1973
dimana areal perlindungannya diperluas sampai sekitar Kota dan Pasar Ikan. Pada tahun itu juga
Kotatua direvitalisasi untuk pertama kalinya dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada
1974. Sayang Kotatua yang sudah ditata saat itu tidak terurus dengan baik. Akhirnya banyak
fasilitas yang disalahfungsikan, kualitas lingkungannya kembali menurun akibat kemacetan,
rawan keamanan dan banyaknya pendatang liar, ditambah lagi dengan tidak adanya lembaga yang
mengelola.
Gubernur-gubernur berikutnya tetap mempunyai perhatian yang besar terhadap Kotatua, mulai
dari Tjokropranolo, R. Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Surjadi Sudirja namun sebatas
pencanangan. Kemudian Gubernur sebelum saya, Sutiyoso melakukan penataan yang cukup
signifikan dengan mengubah jalan kendaraan menjadi pedestrian di sekitar Taman Fatahillah.
Busway menjadi moda transportasi ke kotatua.

Untuk mengurus penataan dan pengembangan Kotatua diperlukan satu lembaga yang dapat
menangani koordinasi antarunit dalam pembangunannya, serta menjembatani stakeholder.
Sesungguhnya lembaga yang dibutuhkan semacam otorita, namun Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta akan melakukannya secara bertahap, dimulai dari bentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT)
sebagai embrio yang kelak menjadi otorita. Kini kantor UPT Kotatua menempati sayap kanan
lantai bawah Museum Sejarah Jakarta.

Upaya Penataan

Kondisi sekarang Kotatua sudah tidak lagi sekotor sebelumnya, keamanan mulai kondusif, tetapi
kemacetan tetap saja terjadi. Banyak pengguna jasa jalan mengatakan bahwa masuk Kotatua harus
melewati neraka lalulintas, dua kali lipat waktu tempuh sesungguhnya. Belum lagi debunya! Ada
lagi yang bilang, pake busway dong!

Bukan saja kemacetan yang menjadi keluhan masyarakat, tetapi masyarakat juga mengeluhkan
hanya bisa menikmati 6 Museum dan seabrek bangunan tua kosong yang khawatir sekonyong-
konyong ambruk. Selain itu tidak ada yang bisa dibeli. Bahkan jajanan makan dan minum
termasuk barang langka di sini.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetap proaktif dalam menanggapi permasalahan di kotatua.
Dewasa ini sedang berjalan penanganan transportasi dan kemacetan lalulintas dengan penertiban-
penertiban pedagang kakilima yang menyita badan jalan, parkir sembarangan, dan terminal-
terminal liar. Kini yang sedang dipersiapkan adalah konsep pemanfaatan bangunan-bangunan
kosong baik yang terawat maupun tak terawat.

Konsep penataan dan pengembangan Kotatua didasari pada sebuah visi yang mempertemukan
kepentingan pelestarian dan kepentingan ekonomi. Visi tersebut adalah terciptanya kawasan
bersejarah Kotatua Jakarta sebagai tujuan wisata budaya yang mengangkat nilai pelestarian dan
memanfaatkan ekonomi yang tinggi.

Industri Kreatif

Salah satu misi yang paling utama dalam pengembangan Kotatua adalah memperkuat aktivitas
yang ada dan mendorong pengembangan aktivitas bisnis dan ekonomi baru dengan pendekatan
pengembangan creative community and industry yang selaras dengan potensi yang dimiliki dalam
menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai daerah tujuan wisata budaya dengan nilai
pelestariannya.

Industri kreatif menjadi pilihan utama dalam pemanfaatan bangunan-bangunan tua di kawasan inti
Kotatua, titik sebarannya bisa ditempuh dengan berjalan kaki paling lama 10-15 menit. Fungsi
eksisting bangunan yang tidak berhubungan dengan industri kreatif tetap dipertahankan, namun
lantai dasarnya diubah fungsinya menyesuaikan dengan industri kreatif agar bisa diakses publik.

Industri kreatif yang bersumber pada kreativitas, keterampilan dan talenta individual yang
memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan melalui penciptaan dan
ekploitasi dari hak kekayaan intelektual memang memiliki skala dan potensi yang sangat besar
untuk ekonomi suatu bangsa.

Di Inggris, industri/ekonomi kreatif memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, jauh di atas
pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Demikian juga di Amerika Serikat, Cina, India dan negara-
negara lainnya. Sangat beralasan jika pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada
pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia 2007 mengatakan “... mari kita kembangkan
ekonomi kreatif dengan memadukan ideas, art and technology. Kita bisa, tidak boleh kalah dengan
negara dan bangsa lain untuk membangun dan mengembangkan ekonomi ktreatif ini...”

Strategi Public Crowd

Penataan Kotatua Jakarta yang sudah dimulai sejak akhir 2005 hingga kini belum juga berhasil
menarik investor untuk ikut ambil bagian dalam industri atau ekonomi kreatif dengan
memanfaatkan bangunan-bangunan tua di sekitar Taman Fatahillah, dan Jalan Pintu Besar Utara,
area yang dewasa ini sudah menjadi plaza dan pedestrian.

Buyers adalah alasan tersembunyi di antara alasan regulasi, kemacetan, dan keamanan dari
penyebab keengganan investor menanamkan modalnya di kawasan Taman Fatahillah dan Pintu
Besar Utara. Dewasa ini para investor lebih mengeksplore orang-orang yang butuh hiburan malam
sebagai buyers. Maka tak heran investor lebih suka membuka diskotik, tempat pijat plus-plus atau
usaha-usaha yang dikaitkan undercover malam.

Menciptakan buyers harus disiasati secara kreatif. Salah satu strateginya adalah meng-create
terbentuknya public crowd, atau dengan istilah lainnya adalah keramaian publik. Dengan
terciptanya crowd people tentu akan membentuk potensi buyers. Lalu public crowd yang
bagaimana yang kita inginkan? Setidaknya telah ada 4 lokasi public crowd yang sudah terbentuk,
seperti di Stasiun KA Beos, Terminal Busway Beos, Pinangsia, dan Glodok Pancoran. Dua lokasi
yang disebut pertama, potensi buyersnya rendah karena mobile, sedangkan yang kita inginkan
seperti public crowd di Glodok dan Pinangsia potensi buyersnya tinggi dan public crowd
permanen. Beda dengan crowd people di sekitar Taman Fatahillah, tidak permanen! Tergantung
ada tidak adanya event.
Padahal Taman Fatahillah ini berpotensi public crowd. Bedanya lagi adalah Glodok dan Pinangsia
industrinya sudah ada lebih dahulu baru terbentuk crowd, sedangkan Taman Fatahillah diciptakan
dahulu crowd-nya baru investor percaya menanamkan modalnya untuk industri kreatif.

Saya yakin strategi crowd people dapat berhasil menumbuhkan kembali kepercayaan investor di
sekitar Taman Fatahillah maupun Kalibesar, apabila crowd people tersebut bersifat permanen dan
serempak dengan radius berjalan kaki antara 10 sampai 15 menit. Untuk melaksanakan strategi
public crowd, pemerintah DKI Jakarta pada 2008 ini menyiapkan beberapa event yang
diselenggarakan di Taman Fatahillah dan penataan Kalibesar untuk memberi porsi yang besar
pada ruang publik.

Jakarta, 9 Juli 2008

Djulianto Susantio di 05.53 Tidak ada komentar:

Minggu, 03 Januari 2010

Keynote Speech Gubernur Provinsi DKI Jakarta

DALAM SEMINAR KOTATUA JAKARTA


YANG DISELENGGARAKAN OLEH HARIAN SINAR HARAPAN
BATAVIA HOTEL,JAKARTA 9 JULI 2008

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.


Puji Syukur kita bisa bertemu pada pagi ini, bertemu di Kotatua untuk membahas Kotatua
bagaimana melestarikan dan memanfaatkannya. Rasanya senang sekali, sebab yang hadir pada
kesempatan ini adalah orang-orang yang siap memberikan kontribusi kepada penataan dan
pengembangan Kotatua, sebuah kota yang diurus mulai Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen
hingga era saya.

Saya Bukan Jan Pieterszoon Coen

Para sejarawan Indonesia dan Belanda sepakat bahwa Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri
sekaligus Gubernur Kompeni kota Batavia pada 1620, didahului dengan penghancuran kota
Jayakarta pada lokasi yang sama. Kota Batavia dibangun secara bertahap sehingga komplet
sebagai kota pada 1650. Jadi memakan waktu 30 tahun membangun kota. Untuk keamanan kota,
Batavia dipagari tembok (fortified city) dan dikelilingi parit. Warga yang mendiami kota
bertembok ini adalah orang Eropa, Cina, dan Arab karena ketiga bangsa ini dianggap warga nomor
satu pada waktu itu, dan berhak tinggal di dalam kota. Sedangkan pribuminya harus tinggal di luar
tembok!
Struktur/pola kota Batavia, mirip Amsterdam. Rumah berderet kecil memanjang ke belakang,
jendela kecil untuk mengadaptasi iklim dingin atau salju. Lupa kalau Batavia beriklim panas
menyengat. Akhirnya Kota Batavia menjelang akhir abad ke-19 di-declare sebagai kota yang tidak
sehat, epidemik karena struktur kota dan bangunannya tidak menyesuaikan iklim tropis. Akibatnya
kota ini dibongkar dan ditinggalkan lebih seratus tahun. Bayangkan bagaimana kota Batavia pada
saat itu, disentri, kolera, lepra menjadi pemandangan yang umum dan penyebab utama kematian
warga.

Hadirin yang saya hormati,

Saya Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta (dulu Batavia en Ommelanden) sekarang 2007-2012
(Insya Allah) tidak akan berfikir seperti Jan Pieterszoon (JP) Coen yang membangun kota hanya
untuk etnik dan bangsa tertentu, tetapi saya membangun kota Jakarta adalah visi Aman, Nyaman,
Sejahtera Untuk Semua termasuk dalam merevitalisasi Kotatua Jakarta. Tetapi saya juga belajar
dari kegagalan Jan Pieterszoon Coen, agar kotatua yang tengah direvitalisasi ini dinyatakan
sebagai kota yang sehat, dikunjungi banyak orang dan diminati banyak investor.

Preserved by decree

Saya salut dengan almarhum Ali Sadikin, Gebernur Jakarta 1967-1977 yang sangat besar
perhatiannya terhadap sejarah kota Jakarta. Ketika melihat bangunan-bangunan tua di sekitar
Taman Fatahillah kondisinya semakin memperihatinkan dan bahkan terlanjur menjadi Terminal
Bus, langsung tergerak mengeluarkan instruksi kepada jajarannya untuk memikirkan bagaimana
menyelamatkan lingkungan bersejarah ini. Langkah pertama adalah menyelamatkan dengan
keputusan politis, yaitu menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor CD.3/1/70 tertanggal
21 Oktober 1970. Dalam SK tersebut, Daerah Taman Fatahillah dinyatakan sebagai Preserved
Historical Site.

Ali Sadikin tidak omdo alias tidak omong doang. Konsekuensi dari diterbitkannya SK no
CD.3/1/70 adalah harus membongkar terminal bus.

Padahal terminal tersebut sangat dibutuhkan karena merupakan terminal koneksi Lapangan
Banteng, Tanjung Priok dan Grogol. Sang Gubernur tetap kekeh untuk memindahkan terminal
Taman Fatahillah demi menyelamatkan heritage. Kepada seluruh jajaran staf saya, siapkan
penghargaan buat beliau!

Saudara-saudara sekalian,

Tahun 1971, Pemerintah DCI Jakarta then, mencanangkan Pemugaran Kota(tua), pertama kali di
Indonesia pemugaran site kota secara makro.

Konsep perencanaan digelar pada acara "Djakarta Historical Evening", pada 18 oktober 1971,
bertempat di Museum Sejarah Kota, yang kini sebagai Museum Wayang. Sedangkan yang kini
sebagai Museum Sejarah Jakarta atau masyarakat mengenalnya sebagai Museum Fatahillah pada
saat itu masih digunakan sebagai Asrama KODAM.

Sebelum rencana Pemugaran Kota dilaksanakan, sempat dikaji ulang SK CD.3/1/70. Masalahnya
areal perencanaannya kok kecil amat sebatas Taman Fatahillah. Sedangkan tapak sejarah Kotatua
sampai Pasar Ikan di sebelah Utara, Glodok/Pancoran di sebelah selatannya. Oke kalau begitu kita
perluas, pinta Ali Sadikin. Diterbitkanlah SK baru pada 1973 yang menyebutkan perluasan daerah
pemugaran Kota, yakni SK Gubernur nomor D.III-b 11/4/54/73 Tentang Pernjataan Bahwa Daerah
Djakarta Kota dan Pasar Ikan, Djakarta Barat dan Djakarta Utara Sebagai Daerah Dibawah
Pemugaran Pemerintah DCI Djakarta. Dalam pernyataan ini disebutkan bahwa setiap
pembangunan bangunan-bangunan baru di daerah tersebut harus menyesuaikan bentuk-bentuk
arsitekturnya dengan bentuk arsitektur yang memiliki identitas sejarah di daerah tersebut.

Revitalisasi Kotatua

Sehat (aman, nyaman, sejahtera), dikunjungi banyak pelancong, dan diminati para investor,
demikian yang harus diangkat dalam revitalisasi Kotatua. Tiga tuntutan ini bagaikan menancapkan
bambu di atas batu, mungkin akan lebih mudah jika batu tersebut diganti tanah gembur. Walaupun
demikian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap mem-vitalisasi kembali Kotatua dan bahkan
menjadikannya sebagai program dedicated.

Pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 34 tentang
Penguasaan Perencanaan Dalam Rangka Penataan Kawasan Kotatua seluas 846 hektar. Alasan
diterbitkannya Peraturan Gubernur tersebut adalah untuk memberi kejelasan arah pengembangan
kawasan Kotatua dan batas kawasan yang berdampingan sebagai zona pengaman. Batas-batas
tersebut ditentukan oleh persebaran bangunan tua dan aktivitas kultural. Di dalamnya terdapat
kawasan inti yang merupakan kawasan padat bangunan tua. Sekitar Taman Fatahillah, Taman
Beos, Kalibesar, Pasar Ikan, dan Pancoran/Glodok adalah identitas kawasan inti Kotatua. Tapak
dari struktur kotanya berasal dari abad ke-17, sedangkan elemen kotanya berasal dari berbagai
periode zaman hingga tahun 1990-an.

Kendati areal penguasaan perecanaannya ditentukan tahun 2006, satu tahun sebelumnya
sesungguhnya sudah dimulai pelaksanaan fisik revitalisasi Taman Fatahillah, sebagian kecil dari
luas kotatua. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman ditunjuk sebagai leading-sector-nya dalam
mengkoordinasikan seluruh pekerjaan fisik yang melibatkan Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Penerangan Jalan Umum, Dinas Pertamanan, dan Dinas Perhubungan. Pekerjaan tersebut hingga
kini tetap berlangsung. Terus terang proyek fisik kasat mata ini merupakan pilot project yang
bertujuan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
sini.
Hadirin yang saya hormati,

Kondisi sekarang Kotatua sudah tidak lagi sekotor sebelumnya, keamanan mulai kondusif, tetapi
kemacetan tetap saja terjadi. Banyak para pengguna jasa jalan mengatakan bahwa masuk kotatua
harus melewati neraka lalulintas, dua kali lipat waktu tempuh sesungguhnya. Belum lagi debunya!
Pendapat ini adalah pendapat warga yang tak pernah mencoba Transjakarta. Mangkanya pake
busway dong!

Bukan saja kemacetan yang menjadi keluhan masyarakat, tetapi masyarakat juga mengeluhkan
hanya bisa menikmati 6 Museum dan seabrek bangunan tua kosong yang khawatir sekonyong-
konyong ambruk. Selain itu tidak ada yang bisa dibeli. Bahkan jajanan makan dan minum
termasuk barang langka di sini.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetap proaktif dalam menanggapi permasalahan di kotatua.
Dewasa ini sedang berjalan penanganan transportasi dan kemacetan lalulintas dengan penertiban-
penertiban pedagang kakilima yang menyita badan jalan, parkir sembarangan, dan terminal-
terminal liar. Kini yang sedang dipersiapkan adalah konsep pemanfaatan bangunan-bangunan
kosong baik yang terawat maupun tak terawat yang sebagian besar milik BUMN, badan usaha
milik negara.

Saya sudah berbicara dengan Pak Sofyan Djalil, Menteri BUMN dan memintanya agar bangunan
kosong milik BUMN dapat diberikan fungsi baru sesuai dengan konsep penataaan dan
pengembangan Kotatua yang menghendaki agar setiap lantai dasar bangunan di kawasan inti dapat
diakses oleh publik. Restoran, toko cendera mata, dan toko buku adalah sebagian contoh
peruntukkannya. Pak Sofyan Djalil setuju.

Saudara-saudara sekalian,

Konsep penataan dan pengembangan Kotatua didasari pada sebuah visi yang mempertemukan
kepentingan pelestarian dan kepentingan ekonomi. Visi tersebut adalah terciptanya kawasan
bersejarah Kotatua Jakarta sebagai tujuan wisata budaya yang mengangkat nilai pelestarian dan
memanfaatkan ekonomi yang tinggi. Ekonomi kreatif menjadi pilihan utama dalam
pengembangannya.

Ekonomi Kreatif

Salah satu misi yang paling utama dalam pengembangan Kotatua adalah memperkuat aktivitas
yang ada dan mendorong pengembangan aktivitas bisnis dan ekonomi baru dengan pendekatan
pengembangan ekonomi kreatif yang selaras dengan potensi yang dimiliki dalam menciptakan
iklim investasi yang kondusif sebagai daerah tujuan wisata budaya dengan nilai pelestariannya.
Manusia tanpa roh akan mati, begitu pula Kotatua tanpa roh akan mati. Roh Kotatua adalah
ekonomi kreatif.

Industri Kreatif menjadi pilihan utama dalam pemanfaatan bangunan-bangunan tua di kawasan
inti Kotatua. Titik sebarannya bisa ditempuh dengan berjalan kaki paling lama 10-15 menit.
Fungsi eksisting bangunan yang tidak berhubungan dengan industri kreatif tetap dipertahankan,
namun lantai dasarnya diubah fungsinya menyesuaikan dengan industri kreatif agar bisa diakses
publik.

Ekonomi Kreatif yang bersumber pada kreativitas, keterampilan, dan talenta individual yang
memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan melalui penciptaan dan
ekploitasi dari hak kekayaan intelektual memang memiliki skala dan potensi yang sangat besar
untuk ekonomi suatu bangsa.

Di Inggris, industri/ekonomi kreatif memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, jauh di atas
pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Demikian juga di Amerika Serikat, Cina, India, dan negara-
negara lainnya.

Strategi Public Crowd

Kotatua hingga kini belum juga berhasil menarik investor untuk ikut ambil bagian dalam industri
atau ekonomi kreatif dengan memanfaatkan bangunan-bangunan tua di sekitar Taman Fatahillah,
dan jalan Pintu Besar Utara, area yang dewasa ini sudah menjadi plaza dan pedestrian.

Buyers adalah alasan tersembunyi di antara alasan regulasi dan kemacetan dari penyebab
keengganan investor menanamkan modalnya di kawasan Taman Fatahillah dan Pintu Besar Utara.
Dewasa ini para investor lebih mengeksplore orang-orang yang butuh hiburan malam sebagai
buyers, maka tak heran investor lebih suka membuka diskotik, tempat pijat plus-plus atau usaha-
usaha yang dikaitkan undercover malam.

Menciptakan buyers harus disiasati secara kreatif, salah satu strateginya adalah meng-create
terbentuknya public crowd, istilah ini tidak baku atau dengan istilah lainnya adalah keramaian
publik. Dengan terciptanya public crowd tentu akan membentuk potensi buyers.

Hadirin yang saya hormati,

Saya yakin public crowd merupakan salah satu strategi yang dapat berhasil menumbuhkan
kembali kepercayaan investor di sekitar Taman Fatahillah maupun Kalibesar, apabila public crowd
tersebut bersifat permanen dan serempak.

Penutup
Upaya revitalisasi Kotatua Jakarta yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
merupakan komitmen pelestarian sekaligus memberi masa depan sehingga dapat dinikmati
generasi berikut. Pelestarian ini jangan diartikan sebagai pengembalian citra kolonialisme, tetapi
lebih diartikan pada sejarah dan trend ekonomi negara-negara di dunia yang memanfaatkan kota
tua sebagai sumber pendapatan.

Meningkatnya vitalitas kawasan kotatua Jakarta sangat bergantung pada kepedulian pemerintah
dan kesadaran masyarakat. Dua aspek ini saling berkait erat dalam mempertemukan kepentingan
pelestarian dan kepentingan ekonomis yang artinya, historis kawasan tetap memiliki makna dan
pertumbuhan ekonomi kawasan meningkat tinggi.

Saudara-saudara,

Untuk mengurus penataan dan pengembangan Kotatua, saya sudah membentuk satu lembaga yang
dapat menangani koordinasi antarunit dalam pembangunannya, dan menjembatani serta
memfasilitasi para stakeholder. Sesungguhnya lembaga yang dibutuhkan adalah semacam otorita,
namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukannya secara bertahap, dimulai dari bentuk
Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagai embrio yang kelak menjadi otorita. Saya minta seluruh
dinas-dinas yang terkait dalam revitalisasi Kotatua dikoordinasikan oleh UPT Penataan dan
Pengembangan Kawasan Kotatua (UPT Kotatua).

Penataan yang dewasa ini dikoordinasikan oleh UPT Kotatua di sekitar Taman Fatahillah dan
Kalibesar melalui APBD Provinsi DKI Jakarta, semata-mata untuk men-triger penataan-penataan
di lokasi lainnya di kawasan Kotatua dengan melibatkan partisipasi masyarakat tanpa APBD.
Begitu pula dengan event-event yang dewasa ini 90% dibiayai APBD kelak saya minta partisipasi
masyarakat. Contoh konkretnya adalah penyelenggaraan seminar ini, Pemerintah Provinsi DKI
sedikitpun tidak merogoh koceknya.

Terimakasih kepada Sinar Harapan,


Yang lainnya saya tunggu.
Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Salam Kotatua
Fauzi Bowo

Djulianto Susantio di 08.16 Tidak ada komentar:

Visi dan Misi Kotatua Jakarta

Lokasi yang kini disebut kotatua merupakan kawasan yang berhadapan dengan pantai Jakarta.
Pada abad ke-16 merupakan pelabuhan di bawah kekuasaan Sunda Pajajaran. Daerah tersebut
dikenal dengan sebutan Sundakelapa. Namun sejak kehadiran pasukan Fatahillah pada 1527,
Sundakelapa diubah menjadi Jayakarta. Usia Kota Jayakarta hanya 92 tahun, sebab pada 1619
kota ini dihancurkan oleh Belanda akibat konflik perang. Di atas bekas kota Jayakarta inilah,
Belanda membangun kota Batavia. Elemen kota Batavia sudah banyak yang berubah, tetapi
struktur kotanya masih terlihat hingga kini. Batas-batasnya dikelilingi parit dan kini menjadi
sungai.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan kotatua sebagai kawasan bersejarah yang
harus dilindungi, ditata kembali, dan dikembangkan. Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 34
tahun 2006 menetapkan penguasaan perencanaan dalam rangka penataan (revitalisasi) kawasan
kotatua seluas 846 hektar.

VISI REVITALISASI KOTATUA

Terciptanya kawasan bersejarah Kotatua Jakarta sebagai sebagai daerah tujuan wisata budaya yang
mengangkat nilai pelestarian dan memiliki manfaat ekonomi yang tinggi.

MISI REVITALISASI KOTATUA

Memperkuat aktivitas yang ada dan mendorong pengembangan AKTIVITAS BISNIS DAN
EKONOMI BARU dengan pendekatan pengembangan ‘creative community and industry’ yang
selaras dengan potensi yang dimiliki dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai
daerah tujuan wisata budaya dengan nilai pelestariannya.

Melakukan KONSERVASI dan REVITALISASI dalam pengembangan kawasan KOTATUA


melalui strategi pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas ekonomi sosial, dan budaya baru
sehingga mampu mengembalikan citra dan kualitas fisik kawasan menjadi kawasan yang berperan
penting dan memiliki nilai ekonomis tinggi dalam konteks nasional maupun internasional.

Meningkatkan SARANA DAN PRASARANA LINGKUNGAN dalam pengembangan kawasan


pelestarian Kotatua yang selaras dengan kebutuhan daya dukung kawasan akibat adanya
peningkatan intensitas kegiatan pada area Kotatua dan sekitarnya.

Mendorong kehidupan dan keberagaman AKTIVITAS SOSIAL, SENI, DAN BUDAYA melalui
penyediaan ruang dan fasilitas sehingga dapat mengangkat nilai fungsional, ekonomi, seni, dan
sejarah pada bangunan-bangunan konservasi yang ada.

Mengembalikan fungsi kawasan sebagai tempat bermukim dengan segala aktivitas HIDUP DAN
BERKEHIDUPAN DI KOTA ‘LIVING IN THE CITY’ bagi setiap individu dengan berbagai latar
belakang yang berbeda, sehingga mampu menciptakan kawasan tempat tinggal yang nyaman,
aman, dan sejahtera bagi setiap penghuninya.
Mengembangkan PUBLIC - PRIVATE PARTNERSHIP melalui sistem kelembagaan, hukum, dan
manajemen perkotaan yang efektif serta profesional sehingga mendukung perencanaan yang
komprehensif dengan tetap mempertimbangkan kaidah-kaidah pelestarian kawasan bersejarah.

PEKERJAAN FISIK REVITALISASI

Pekerjaan fisik revitalisasi yang tengah dilaksanakan diutamakan pada penataan infrastruktur
kotatua yang dewasa ini merupakan tuntutan pembenahan agar dapat menumbuhkan kembali
kepercayaan investor. Pekerjaan tersebut adalah mengubah Taman Fatahillah (pusat kotatua)
menjadi plaza yang dapat berhubungan langsung dengan pembatas jalan sehingga batas tersebut
tidak ada lagi karena menjadi pedestrian. Pedestrianisasi ini kelak akan menghubungkan halte
busway di Taman Beos.

Djulianto Susantio di 08.02 1 komentar:


Beranda
Lihat versi web
Administrator

Djulianto Susantio
Jakarta
Arkeolog, blogger, penulis
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger

Anda mungkin juga menyukai