Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang
harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan
tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan hal ini sudah di atur dalam hukum
Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa
yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan
perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma – norma agama dan
menghindari jinah.
Terpenuhinya syarat rukun perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan
tersebut baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah ( kompilasi hukum islam ).
Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan
menurut fiqih munakahat atau hukum islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah?
2. Bagaimana hukum pernikahan dalam islam?
3. Apa saja rukun serta syarat nikah?
4. Apa jenis-jenis pernikahan bermasalah?

C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami pengertian nikah menurut alqur’an serta hukum-hukumnya.
Selain itu juga untuk menambah wawasan kepada pembaca tentang pernikahan yang dilarang oleh
islam agar kita sebagai mahasiswa tidak terjebak kedalam hal-hal yang dilarang oleh agama islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Nikah
Lafadz nikah mengandung tiga macam arti:
Pertama, arti menurut Bahasa. Nikah menurut Bahasa adalah berkumpul atau menindas.
Kedua, nikah menurut ahli ushul terdapat tiga macam pendapat :
1. Pendapat pertama menurut Ahli Ushul golongan Hanafi
Nikah menurut aslinya ialah setubuh dan menurut arti madjazi ( metaphoric) ialah aqad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.
2. Pendapat menurut golongan Syafi’yah
Nikah menurut arti aslinya ialah aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita, sedangkan menurut madjazi ialah setubuh.
3. Pendapat menurut Abu Hanifah
Nikah, bersyarikat artinya antara aqad dan setubuh.
Ketiga, nikah menurut Ulama Fiqh
Jika kita lakukan penelitian secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan pengertian
diantara Ulama Fiqh mengenai definisi tersebut. Perbedaan yang terdapat adalah pada redaksi atau
(phraseologie). Jadi untuk para Ulama Fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah aqad yang diatur
oleh agama untuk memberikan kepada hak memiliki penggunaan terhadap farad ( kemaluan)
wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah,
tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

÷ ‫ع فوببإ إنن‬
‫ث ووتربوبباَ و‬ ‫ب لوتكنم إمون الننوساَإء ومنثونىَ ووثتول و‬ ‫طاَ و‬‫طوُا إفيِ انليووتاَومىَ وفاَننإكتحوُا وماَ و‬
‫ووإإنن إخنفتتنم أولل تتنقإس ت‬
‫ك أوندونىَ أولل توتعوُتلوُا‬ ‫ت أونيوماَنتتكنم وذلإ و‬
‫إخنفتتنم أولل تونعإدتلوُا فوووُاإحودةة أونو وماَ وملووك ن‬
“Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

‫ف إإنلهت وكاَون وفاَإحوشةة ووومنقةتاَ وووساَوء و‬


َ‫سإبيلةا‬ ‫ووول توننإكتحوُا وماَ نووكوح آوباَتؤتكنم إمون الننوساَإء إإلل وماَ قوند وسلو و‬
“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad
nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

2
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah
subhanahu wa ta’ala :

َ‫طللقووهاَ فوول تجوناَوح وعلونيإهوماَ أونن يوتووراوجوعببا‬


‫طللقووهاَ فوول توإحلِل لوهت إمنن بونعتد وحلتىَ توننإكوح وزنوةجاَ وغنيورهت فوإ إنن و‬
‫فوإ إنن و‬
‫ك تحتدوتد ل‬
‫اإ يتبويننتوهاَ لإقونوُمم يونعلوتموُون‬ ‫اإ ووتإنل و‬
‫ظلناَ أونن يتإقيوماَ تحتدوود ل‬
‫إإنن و‬
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual),
bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah
menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang
kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama.
Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah
radhiyallahu ‘anha :

- َ‫ يونعإنىَ ثولوةثا‬- ‫ق انمورأوتوهت‬


‫طل ل و‬ ‫ت تسئإول ورتسوُتل ل‬
‫ وعنن ورتجمل و‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬- ‫اإ‬ ‫عونن وعاَئإوشةو وقاَلو ن‬
‫ت وزنوةجاَ وغنيورهت فوودوخول بإوهاَ ثتلم طوللقوهوبباَ قونبببول أونن يتووُاقإوعهوبباَ أوتوإحببلِل لإوزنوإجهوبباَ الولوإل قوبباَلو ن‬
َ‫ت قوبباَول النلبإببلِى‬ ‫فوتووزلووج ن‬
َ‫ق تعوسنيلوتووها‬ ‫ق تعوسنيلوةو الوخإر وويوتذو و‬ ‫ لو توإحلِل لإلولوإل وحلتىَ توتذو و‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬-
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang
laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang
lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia
halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
"Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua)
dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual)
dengannya."

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual
adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :

‫صنوتعنوُا تكلل وشنيِمء إلل الننوكاَح‬


‫اإ ن‬
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan
hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua
arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan
keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang

3
perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad
nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya
bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama
berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan
kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari
madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan
pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin.
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual.
Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-
Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .

B. Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum
menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian
ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :

“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi)
untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu
menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :

, ‫ع إمننتكتم اونلوباَوءةو فونليوتووزلونج‬ ‫وقاَول لووناَ ورتسوُتل و ل‬


‫اإ صلىَ ا عليه وسلم وياَ ومنعوشور واللشوباَ إ‬
‫ب ! ومإن انستو و‬
‫طاَ و‬
‫صنوُإم ; فوإ إنلهت لوهت إووجاَءء‬ ‫صتن لإنلفونر إ‬
‫ ووومنن لونم يونستوإطنع فووعلونيإه إباَل ل‬, ‫ج‬ ‫ ووأونح و‬, ‫صإر‬
‫ض لإنلبو و‬
ِ‫فوإ إنلهت أووغ ل‬

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia
menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum
mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .”

4
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda
untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah), kalimat tersebut
mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub “
(Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).

Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala ,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

ô ‫إإلل‬ ‫ك وووجوعنلوناَ لوهتنم أونزوواةجبباَ ووتذنريلببةة ووومبباَ وكبباَون لإورتسببوُمل أونن يوببأنتإويِ إبآِيوببمة‬
‫وولوقوند أونروسنلوناَ ترتسةل إمنن قونبلإ و‬
‫اإ لإتكنل أووجمل إكوتاَ ء‬
‫ب‬ ‫بإإ إنذإن ل‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul
mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab
(yang tertentu)”

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :

‫صببللىَ ل‬
‫اتبب وعلونيببإه‬ ‫ات وعلونيإه وووسللوم وسأ وتلوُا أونزوواوج النلبإنيِ و‬ ‫صللىَ ل‬ ‫ب النلبإنيِ و‬ ‫صوحاَ إ‬ ‫س أولن نوفوةرا إمنن أو ن‬
‫وعنن أونو م‬
‫ضهتنم ول‬‫ضهتنم ول آتكتل الللنحوم وووقاَول بونع ت‬ ‫ضهتنم ول أوتووزلوتج الننوساَوء وووقاَول بونع ت‬ ‫وووسللوم وعنن وعوملإإه إفيِ النسنر فووقاَول بونع ت‬
‫صبوُتم‬ ‫او ووأونثونىَ وعلونيإه فووقاَول وماَ وباَتل أونقووُامم وقاَتلوُا وكوذا وووكوذا لوإكننبيِ أت و‬
‫صبنليِ ووأوونباَتم ووأو ت‬ ‫أووناَتم وعولىَ فإورا م‬
‫ش فووحإمود ل‬

‫ووأتنفإطتر ووأوتووزلوتج الننوساَوء فوومنن ورإغ و‬


‫ب وعنن تسنلإتيِ فولوني و‬
ِ‫س إمنني‬

“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang
tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian
sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak
akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka
berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka,
dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari
golonganku.”

Keempat : Karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang
Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al
Utsaimin :

5
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk
penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan
mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “

Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan
cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini
merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah)
dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan
tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya
dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “

Dalil-dalil mereka adalah :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

÷ ‫ع فوببإ إنن‬
‫ث ووتربوبباَ و‬ ‫ب لوتكنم إمون الننوساَإء ومنثونىَ ووثتول و‬ ‫طاَ و‬‫طوُا إفيِ انليووتاَومىَ وفاَننإكتحوُا وماَ و‬
‫ووإإنن إخنفتتنم أولل تتنقإس ت‬
‫ك أوندونىَ أولل توتعوُتلوُا‬ ‫ت أونيوماَنتتكنم وذلإ و‬
‫إخنفتتنم أولل تونعإدتلوُا فوووُاإحودةة أونو وماَ وملووك ن‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah
hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan antara menikah atau
mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan
pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa
memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat
wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “

Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan
kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang
berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai
bentuk pengarahan saja.

6
C. Macam-macam Pernikahan Bermasalah

1. Pernikahan usia dini

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa,
keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama
menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri
menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama
harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi
(jalur keturunan) akan semakin kabur.

Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang
dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah.
Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,
pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.

Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup
oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak
dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons
kasus tersebut.

Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan
dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi
kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak
yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.

Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari
aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw
dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan
khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.

Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini
merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah
dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang
lumrah di kalangan sahabat.

Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi
konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi
kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu
Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.

Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya.
Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang
waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara/kafaah”.

7
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak
perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya”.

2. Nikah Syighor

Adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau


budak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut
menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya
kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua
pernikahan tersebut
Para ulama telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda
pendapat mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat nikah
syighar tidak sah, berdasarkan dalil:
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

‫نووهىَ ورتسوُتل ل‬
‫ وعإن النشوغاَإر‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬- ‫اإ‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

‫ ووالنشببوغاَتر أونن يتببوزنووج اللرتجببتل انبنوتوببهت‬، ‫اإ – صلىَ ا عليه وسلم – نووهىَ وعإن النشببوغاَإر‬
‫أولن ورتسوُول ل‬
‫صودا ء‬
‫ق‬ ‫ لوني و‬، ‫وعولىَ أونن يتوزنووجهت الوختر انبنوتوهت‬
‫س بونينوهتوماَ و‬
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya:
seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut
untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no.
5112 dan Muslim no. 1415)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

‫ وزاود انبتن نتومنيببمر ووالنشببوغاَتر أونن يوقتببوُول اللرتجببتل‬.‫ وعإن النشوغاَإر‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬- ‫اإ‬
‫نووهىَ ورتسوُتل ل‬
َ‫ك أتنخإتى‬‫ك ووأتوزنوتج و‬
‫ك انبنوإتىَ أونو وزنونجإنىَ أتنختو و‬ ‫ك ووأتوزنوتج و‬‫إلللرتجإل وزنونجإنىَ انبنوتو و‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah syighor.” Ibnu Numair
menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah
putrimu padaku dan aku akan menikahkan putriku padamu, atau nikahkanlah saudara
perempuanmu padaku dan aku akan menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no.
1416)

8
Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar
ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

‫ب ل‬
‫اإبب‬ ‫طاَ لونيبب و‬
‫س فإببىَ إكتوبباَ إ‬ ‫ب ل‬
‫اإ ومببإن انشببتوورطو وشببنر ة‬ ‫ت إفىَ إكوتاَ إ‬ ‫طوُون تشترو ة‬
‫طاَ لونيوس ن‬ ‫وماَ وباَتل أتوناَ م‬
‫س يونشتوإر ت‬
‫ق ووأونوثو ت‬
‫ق‬ ِ‫اإ أووح ل‬
‫س لوهت ووإإنن وشورطو إماَئوةو وملرمة وشنرطت ل‬ ‫فولوني و‬
“Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab
Allah? Persyaratan apa saja yang tidakdiperbolehkan dalam kitab Allah merupakan persyaratan
yang batil, meskipun seratus persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan
persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 1504)

2. Nikah Muhallil

Kita telah ketahui bahwa maksimal talak adalah sampai talak ketiga. Dua talak sebelumnya,
masih bisa ada rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa rujuk kembali
sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak diakal-akali.

Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang menikah wanita yang telah ditalak tiga,
kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama.
Nikah semacam ini terlarang, bahkan termasuk al kabair (dosa besar). Pria kedua yang melakukan
nikah muhallil terkena laknat sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata,

‫ات وعلونيإه وووسللوم التموحلنول ووانلتموحللول لوهت‬


‫صللىَ ل‬
‫لووعون ورتسنوُتل اإ و‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang
wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang
pertama) dan al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya
agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no.
1934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata,

‫ فوتووزلووجوهاَ أوءخ لوهت إمنن وغنيببإر تمببوؤاومورمة‬،َ‫ق انمورأوتوهت ثولوةثا‬‫وجاَوء ورتجءل إإولىَ انبإن تعومور فووسأ ولوهت وعنن ورتجمل طولل و‬
‫ تكلناَ نوتعلِد هووذا وسببوفاَةحاَ وعلوببىَ وعنهببإد ورتسببنوُإل‬،‫ إإلل نإوكاَوح ورنغيومة‬،‫ل‬‫ و‬:‫ هونل توإحلِل لإلولوإل؟ِ وقاَول‬،‫إمننهت لإيوإحللهت لوإخنيإه‬
‫ات وعلونيإه وووسللوم‬‫صللىَ ل‬ ‫اإ و‬.
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan menanyakan
tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-
lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita
tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh
suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami

9
menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 2: 217. Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari Muslim. Adz Dzahabi pun menyatakan demikian)

Nikah muhallil dinilai terlarang dan nikahnya tidak sah, terserah apakah dipersyaratkan di awal
bahwa si wanita akan dicerai supaya halal bagi suami pertama ataukah tidak disyaratkan tetapi
hanya diniatkan.

3. Nikah Mut’ah

Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu -sehari, dua
hari atau lebih- dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia
dihapus oleh Allah melalaui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan
nikah mut’ah samapi hari kaiamat.
Terdapat perbedaan mengenai hadits-hadits yang menjelaskan tentang informasi waktu
dihapuskannya nikah mut’ah.
Diantara hadits-hadits shahih yang menjelaskannya adalah:
a. Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar
Diriwayatkand ari Ali bahwa dia pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu alayhi wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan memakan
daging keledai piaraan pada waktu perang khaibar ” (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah itu Nabi shallallahu alayhi wasalam memberi keringanan lagi dengan membolehkan
nikah mut’ah. hanya saja informasi tentang keringanan ini tidak sampai kepada Ali bin abi Thalib,
sehingga dia melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah
shallallahu alayhi wasalam tentang diharamkannya nikah mut’ah pada peristiwa khaibar.
b. Nikah Mut’ah dihapus pada tahun penaklukan kota Mekah.
Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya, Subrah pernah berperang bersama
Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat penaklukan kota Mekah. Dia berkata: “Kami tinggal
diMekah selama lima belas hari, lalu Rasulullah shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami
menikah secara mut’ah. Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis dan aku tidak
keluar (berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarangnya“(HR
Muslim).
dalam Riwayat lain disebutkan “….wanita-wanita yang kami nikahi secara mut’ah itu bersama
kami slema tiga hari, kemudia Rasulullah memerintahkan kami agar mencerai mereka ” (HR Muslim
dan Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah memerintahkan kami menikah
secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah ketiak kami memasuki kota Mekah dan kami
tidak keluar dari kota Mekah sampai Nabi shallallahu alayhi wasalam melarangnya” (HR Muslim).
c. Nikah Muta’h dihapus pada tahun Authas

10
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk
nikah mut’ah selaam tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah) kemudia beliau
melarangnya” (HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).
Pernikahan tahun ini (Authas) adalah pengharaman secara permanen sampai hari kiamat.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radiallahuanhu, dia berkata “kami pernah menikah secara
mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, hingga
akhirnya Umar bin Khaththab melarangnya ketika terjadi kasus Amru bin Harits” (HR Muslim dan
Abu Dawud).
Hadits ini ditafsirkan, bahwa orang yang melakukan nikah mut’ah pada zaman Abu Bakar
mungkin karena berita mengenai pengharamannya tidak sampai kepada mereka. (lihat syarah
Ma’ani Al Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555).
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terlanjur nikah mut’ah ? apa yang harus dilakukan ?
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa nikah mut’ahadalah tidak sah. Dengan
demikian dia harus bercerai. Sebab Nabi shallallahu alayhi wasalam menyuruh orang yang
melakukan nikahmut’ah untuk menceraikan isterinya, sebagaimana dengan hadits yang iriwayatkan
oleh Subrah.

4. Nikah Sirri

Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena takut
dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di umumkan, di ketahui oleh
orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga nama baik dan kehormatan.

Macam-Macam Nikah Sirri

Diantaranya adalah:

Pertama, nikah yang dialakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa
pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya
pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:

ِ‫ل نكاَح إل بوُلي‬


“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam
Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan
sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas
dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah
bersabda:

‫ فنكاَحهاَ باَطل‬, ‫ فنكاَحهاَ باَطل‬,‫أيماَ امرأة نكحت بغير إذن وليهاَ فنكاَحهاَ باَطل‬

11
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

َ‫ل تزوج المرأة المرأة ل تزوج نفسهاَ فإن الزانية هيِ التيِ تزوج نفسها‬

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang
menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul
Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan
sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang
terlibat dalam pernikahan tanpa wali.

Kedua, Adalah pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah
wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan. Pernikahan seperti ini menurut agama
hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa perrnikahan tersebut
tidak sah.

Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti
syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi
yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa
yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga
pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
Allah SWT berfirman;

‫وياَ أولِيوهاَ اللإذيون آومتنوُنا إإوذا تووداوينتتم بإودنيمن إإولىَ أووجمل لِموس مةمىَ وفاَنكتتتبوُهت‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... [QS AL-Baqarah (2):

Ketiga, Adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi, pernikahan seperti ini jelas halnya
bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya;

12
Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi
yang adil (HR. Al-Daraquthniy)

Keempat, Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I’lankan kekhalayak
(penyampaian berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa
melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua
mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:

‫وحلدثووناَ أونولإنم وولونوُ بإوشاَمة‬


“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].

5. Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga


Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh
suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar
(bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman,

‫طللقووهاَ فوول تجوناَوح وعلونيإهوماَ أونن يوتووراوجوعبباَ إإنن‬


‫طللقووهاَ فوول توإحلِل لوهت إمنن بونعتد وحلتىَ توننإكوح وزنوةجاَ وغنيورهت فوإ إنن و‬
‫فوإ إنن و‬
‫اإ ووتإنل و‬
‫ك تحتدوتد ل‬
‫اإ يتبويننتوهاَ لإقونوُمم يونعلوتموُون‬ ‫ظولناَ أونن يتإقيوماَ تحتدوود ل‬
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi “
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada
suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur
(bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya
yang pertama. Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa

,sallam
‫أوتتإريإديون أونن تونرإجإعىَ إإولىَ إروفاَوعةو لو وحلتىَ توتذوإقىَ تعوسنيلوتوهت وويوتذو و‬
‫ق تعوسنيلوتو إ‬
‫ك‬
Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau “
merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)
6. Kawin Lari
Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah,
atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul
kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin hubungan RT
secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal
copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki.

13
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat
urutan:
1. Ayah
2. Kakek
3. Saudara laki-laki
4. Anak saudara laki-laki (keponakan)
5. Paman
6. Anak saudara paman (sepupu)

Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika
masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti paman
menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah kepada
paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan ingat,
syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 3: 142-145).

Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah.

‫ت بإوغنيإر إإنذإن وولإينوهاَ فونإوكاَتحوهاَ وباَإطبءل وباَإطبءل وباَإطبءل‬


‫ أولِيوماَ انمورأومة نووكوح ن‬: ‫ وقاَول ورتسنوُتل اإ‬: ‫ت‬
‫وعنن وعاَئإوشةو وقاَلو ن‬
‫يِ لوهت‬ ‫فوإ إإن انشتووجترنوا وفاَللِسنل و‬
‫طاَتن وولإلِيِ ومنن لو وولإ ل‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka
bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no.

.2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66

Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan

‫وعنن أوبإنيِ تمنوُوسىَ الونشوعإر ن‬


ِ‫ لو نإوكاَوح إإلل بإووُلإيي‬: ‫ وقاَول ورتسنوُتل اإ‬: ‫ي وقاَول‬
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan
Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

َ‫وعنن أوإبىَ هتورنيورةو وقاَول لو تتوزنوتج انلومنرأوةت انلومنرأوةو وولو تتوزنوتج انلومببنرأوةت نونفوسببوهاَ وواللزانإيوببةت اللتإببىَ تتننإكببتح نونفوسببوها‬
َ‫بإوغنيإر إإنذإن وولإينوها‬
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita
menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni,
3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka
mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan
pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya.
Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar

14
bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al
Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41).
7. Nikah dengan wanita pezina/pelacur.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-
orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur.
Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang
baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).
Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang
mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas)
dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian
hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang
terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal” [Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30)]

15
BAB III
KESIMPULAN

Setelah kita mengetahui, dapat diambil kesimpulan bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu
akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita
membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan
antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah
dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut
melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya,
maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat : Pendapat Pertama :
bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-
Utsaimin. Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini
merupakan pendapat mayoritas ulama.
Dan banyak macam-macam nikah yang ternyata dilarang oleh agama seperti: Pernikahan usia
dini, Nikah Syighor, Nikah Muhallil, Nikah Mut’ah, Nikah Sirri, Nikah dengan Mantan Isteri yang
Sudah Ditalak Tiga, Kawin Lari, Nikah dengan wanita pezina/pelacur.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anil Karim
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,
Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, Bogor, Al-Azhar Press, 2007
http://lilisokviyani1001.blogspot.co.id/2014/01/makalah-tafsir-alquran-nikah-
yang.html
http://learnfiqh.blogspot.co.id/2015/10/pernikahan-yang-dilarang-dalam-islam.html
https://almanhaj.or.id/3233-pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam.html
http://holilahpa.blogspot.co.id/2014/01/makalah-pernikahan-yang-dilarang.html

17

Anda mungkin juga menyukai