LP Isos
LP Isos
Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Stase Jiwa
Program Profesi Ners XXXV Unpad
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK RAJAWALI
1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami kesendirian dan keadaan tersebut
dipaksakan oleh orang lain sebagai bentuk yang negatif dan mengancam suatu
negara(Carpenito, 2013). Sedangkan menurut Doenges, Townsend dan Moorhouse (2007),
isolasi sosial adalah kondisi ketika individu atau kelompok mengalami, atau merasakan
kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak
mampu mewujudkannya.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah keadaan
ketika individu atau kelompok mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan
dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya secara wajar sehingga menimbulkan kecemasan
pada diri sendiri dengan cara menarik diris ecara fisik maupun psikis.
Isolasi sosial merupakan salah satu repson maladpatif individu yang berada dalam rentang
respon neurobiology. Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sossial budaya dan lingkungan (Stuart, 2007).
Respon Adapif adlah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultur dimana individu
tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respon adaptif tersebut adalah:
a. Solitude. Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan di
lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara untuk mengawasi diri dan menentukan
langkah berikutnya.
b. Otonomi. Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ideide
pikiran.
c. Kebersamaan. Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan. Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
hubungan interpersonal.
Respon maladaptive adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat. Karakteristik
dari perilaku tersebut adalah:
a. Menarik diri. Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
b. Manipulasi. Menganggap orang lain sebagai obyek dan berorientasi pada diri sendiri.
c. Ketergantungan. Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang
dimiliki.
d. Impulsif. Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
e. Narkisisme. Harga diri yang rapuh, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika
orang lain tidak mendukung.
3. Rentang Respon Hubungan sosial
Dalam membina hubungan sisoal, individu berada pada rentang adaptif dan maladaftif.
Respon adaftif adalah respon yang dapat di terima secara norma dan adat sedangkan respon
mal adaftif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan maslah kurang dapat
diterima secara norma sosial dna budaya (Badar, 2016). Adapun rentang respon hubungan
sosial adalah sebagai berikut :
Rentang respon sosial
Batasan karakteristik klien dengan isolasi sosial menurut Nanda-I, (2012), dibagi menjadi
dua, yaitu objektif dan subjektif: Batasan karakteristik klien dengan isolasi sosial menurut
Nanda-I, (2012), dibagi menjadi dua, yaitu objektif dan subjektif:
a. Objektif
1) Tidak ada dukungan orangyang dianggap penting.
2) Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan.
3) Afek tumpul.
4) Bukti kecacatan.
5) Ada di dalam subkultur.
6) Sakit.
7) Tindakan tidak berarti
8) Tidak ada kontak mata
9) Dipenuhi dengan pikiran sendiri
10) Menunjukkan permusuhan
11) Tindakan berulang
12) Afek sedih
13) Ingin sendirian
14) Tidak komunikatif
15) Menarik diri
b. Subjektif
1) Minat yang tidak sesuai dengan perkembangan
2) Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain.
3) Ketidak mampuan memenuhi harapan orang lain.
4) Tidak percaya diri saat berhadapan dengan publik.
5) Mengungkapkan perasan yang didorong oleh orang lain.
6) Mengungkapkan perasaan penolakan
7) Mengungkapkan tujuan yang tidak adekuat
8) Mengungkapkan nilai yang tidak dapat diterima oleh kelompok kultural yang
dominan
9) Tidak ada dukungan orang yang dianggap penting.
10) Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan.
11) Afek tumpul.
12) Bukti kecacatan.
13) Ada di dalam subkultur.
14) Sakit.
15) Tindakan tidak berarti
16) Tidak ada kontak mata
17) Dipenuhi dengan pikiran sendiri
18) Menunjukkan permusuhan
19) Tindakan berulang
20) Afek sedih
21) Ingin sendirian
22) Tidak komunikatif
23) Menarik diri
5. Konsep Rufa (Respon Umum Fungsi Adaftif)
Kondisi adaptif dan maladaptif dapat dilihat atau diukur dari respon yang
ditampilkan.Dari respon ini kemudian dirumuskan diagnosa Skor RUFA (Respon Umum
Fungsi Adaptif) yang dibuat berdasarkan diagnose keperawatan yang ditemukan pada
pasien.Sehingga setiap diagnose keperawatan memiliki kriteria skor RUFA tersendiri. Adapun
lembar
observasi pada pasien isolasi sosial adalah sebagai berikut:
Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka penanganan kedaruratan dibagi dalam:
1. Fase intensif I (24 jam pertama)
Pasien dirawat dengan observasi, diagnosa, tritmen dan evaluasi yang ketat.Berdasarkan
evaluasi pasien memiliki tiga kemungkinan yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase intesif
II, atau dirujuk ke rumah sakit jiwa.
2. Fase intensif II (24-72 jam pertama)
Perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam.Berdasarkan hasil
evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu dipulangkan,
dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I.
3. Fase intensif III (72 jam- 10 hari)
Pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi sudah mulai berkurang dan
tindakan keperawatan diarahkan kepada tindakan rehabilitasi.merujuk kepada hasil
evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau
unit psikiatri di rumah sakit umum ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II.
6. Etiologi
Gangguan isolasi sosial terjadi karena adanya faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
Kegagalan pada individu akan menimbulkan ketidakpercayaan individu, menimbulkan rasa
pesimis, ragu, taku salah dan tidak percaya terhadap orang lain, merasa tertekan sehingga
menyebabkan individu tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, suka menyendiri dan lebih
suka berdiam diri dan tidak mementingkan kegiatan sehari-hari (Direja,2011). Menurut Stuart,
2007 penyebab isolasi sosiala adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Sistem keluarga yang terganggu dapat berperan dalam perkembangan respon sosial
maladaptif. Individu yang mengalami masalah ini adalah orang yang tidak berhasil
memisahkan dirinya dan ornagtua.
2) Faktor Sosiokultural
Adanya transiensi norma yang tidka mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
tidak menghargai anggota masyarakat yang produktif seperti lanjut usia, orang cacat dan
penderita penyakit kronis, isolasi terjadi karena sistem yang dimiliki seseorang berbeda
dengan budaya mayoritas.
3) Faktor biologis
Faktor genetic dapat berperan dalam respon sosial maladaptive. Bahwa keterlibatan
neurotransmitter dalam perkembangan gangguan ini.
4) Faktor keluarga
Komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negatif akan
mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
b. Faktor Presipitasi
Meurut (Direja,2011) fator presipitasi isolasi sosial adalah:
1) Faktor Eksternal
Contohnya adalah stressor , sosial budayadan stress yang dtinggalkan oleh faktor sosial
budaya seperti keluarga.
2) Faktor Internal
Contohnya adalah stress psikologis, stress yang terjadi akibat kecemasan
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
berpisah untuk mnegatasinya. Kecemasan dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
7. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial
Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan ditemukan data obyektif
yaitu kurang spontan terhadap masalah yang ada, apatis (acuh terhadap lingkungan), ekspresi
wajah kurang berseri (ekspresi bersedih), efek tumpul, menghindar dari orang lain, tidak ada
kontak mata atau kontak mata kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri dalam kamar,
bahkan tidak mampu merawat dan memperhatikan kebersihan diri (Dalami, Suliswati,
Rochimahet.al,2009).
Selain itu beberapa tanda dan gejala lain yaitu komunikasi verbal menurun bahkan sama
sekali tidak ada, klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat (mengisolasi diri
sendiri/menyendiri), menolak hubungan dengan orang lain dengan memutuskan percakapan
atau pergi bila diajak bercakap-cakap, pasien tampak memisahkan diri dari orang lain misalnya,
pada saat makan, terjadi gangguan pada pemasukan makanan dan minuman sehingga terjadi
retensi urine dan feces, Pasien mengalami gangguan aktifitas atau aktifitas menurun dan pasien
tampak kurang energik sehingga pasien mengalami gangguan harga diri (Dalami, Suliswati,
Rochimah et.al, 2009).
8. Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon social maladaktif menggunakan berbagai mekanisme
dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah
hubungan yang spesifik (Gail,W Stuart 2006).
Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisocial antara lain proyeksi,
splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
ambang splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang
lain dan identifikasi proyeksi.
Menurut Gail W. Stuart 2006, sumber koping berhubungan dengan respon social mal-
adaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan
hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal
misalnya kesenian, music atau tulisan (Ernawati Dalami dkk,2009)
9. Penatalaksanaan
Penelitian yang dilakukan oleh Eyvin, Sefty dan Michaeal tahun 2016 menyatakan hasil
bahwa adanya pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi
klien isolasi sosial. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad dan Dwi tahun 2018
menyatakan hasil bahwa adaya perubahan respon umum fungsi adaftif sebelum diberikan
intervensi social skill training dan setelah diberikan social skill training pada klien dengan
Isolasi sosial. Sehingga kedua metoda tersebut dapat dipergunakan dalam perawatan pasien
dengan isolasi sosial . selain hal tersebut penatalaksanaan pasien isolasi sosial diantaranya
adalah:
Obat anti psikotik
1) Clorpromazine (CPZ)
Indikasi:
Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari
-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping:
Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik,mulut kering,
kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama ja ntung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut,
akatshia, sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin,
metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
2) Haloperidol (HLD)
Indikasi:
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi
kehidupan sehari –hari.
Efek samping:
Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).
3) Trihexy phenidyl (THP)
Indikasi:
Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan idiopatik,sindrom
parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.
Efek samping:
Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti kolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra oluker meninggi, gangguan irama jantung
4) Terapi
a. Electro Convulsive Therapi (ECT)
Elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan
jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali
diperkenalkan oleh 2 orang neurologist italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun
1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya
dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu
kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya
15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai
saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-Derived
Neurotrophic Factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsive terhadap
terapi farmakologis.
b. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapiyang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan
oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa. Terapi ini bertujuan memberi
stimulus bagi klien dengan ganggua interpersonal.
c. Terapi Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus
mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan
manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak
baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.
Selain hal diatas, bentuk penatalaksanaan dari isolasi sosial dapat dilakukan
terapi. Good theraphy.org menayatakan bahwa Terapi dapat membantu mengatasi
masalah emosional dan psikologis yang mengarah pada perilaku isolasi. Terkadang
isolasi bukan masalah pilihan; beberapa orang mungkin melaporkan ingin memiliki
teman dan terlibat secara emosional tetapi tidak dapat melakukannya karena takut atau
karena mereka tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan. Selain itu, banyak orang yang
melawan rasa isolasi selama masa transisi kehidupan besar, seperti ketika seseorang
kehilangan pasangan intim atau orang kepercayaan dekat, dan yang lain mungkin
mengalami isolasi hanya karena mereka secara fisik terisolasi dengan tinggal di daerah
terpencil. Bagaimanapun, perasaan terisolasi dapat sangat menyedihkan, dan terapi
dapat membantu seseorang mengembangkan keterampilan sosial dan belajar untuk
mengelola gejala. Bahkan, proses terapi itu sendiri memberikan kesempatan untuk
membangun kepercayaan dengan dan mengalami dukungan emosional dari orang lain,
yang semuanya akan membantu seseorang untuk hidup dengan kehidupan yang kurang
terisolasi.
10. Patofisiologi
Faktor penyebab:
Faktor predisposisi
Faktor presipitasi
-faktor perkembangan,
Faktor eksternal, faktor
faktor sosiokultural, faktor
internal
bilogis, faktor keluarga
Mekanisme koping
Adaptif Maladaptif
Pendengaran/penciuman/pengecapan/pe
rabaan.
Isolasi sosial
Ketidakberdayaan
Koping Individu
Tidak Efektif
Kurang Motivasi
C. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial menarik diri
2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
3. Ketidakberdayaan
4. Koping individu tidak efektif
5. Defisit perawatan diri
6. Risiko gangguan persepsi sensori : halusinasi
D. Intervensi
Untuk membina hubungan saling percaya dengan klien isolasi social perlu waktu
yang tidak sebentar. Perawat harus konsisten bersikap terapeutik pada klien. Selalu penuhi
janji, kontak singkat tapi sering dan penuhi kebutuhan dasarnya adalah upaya yang bisa di
lakukan.
a. Tujuan umum
1. klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara optimal
kriteria hasil :
Klien dapat menunjukan ekspresi wajah bersahabat
Menunjukan rasa sayang
Ada kontak mata
Mau berjabat tangan
Mau menjawab salam
Mau menyebut nama
Mau berdampingan dengan perawat
Mau mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi keperawatan :
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip terapeutik
Sapa klien dengan ramah
Tanyakan nama lengkap klien, dan nama panggilan yang disukai
Jelaskan tujaun pertemuan
Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
Beri perhatian pada klien dan penuhi kebutuhan klien
2. Klien mampu menyebutkan penyebab isolasi social atau tidak berhubungan dengan
orang lain
Kriteria hasil :
klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial atau tidak berhubungan
dengan orang lain berasal dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Intervensi keperawatan
2. SP 2
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan kesmpatan kepada klien untuk mempraktikkan cara berkenalan
dengan satu orang
c. Membantu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang
lain sebagai salah satu kegiatan harian.
Orientasi
“Selamat pagi S! Bagaimana perasaan S hari ini?”
“Sudah diingat-ingat lagi pelajaran kita tentang berkenalan? Coba
sebutkan lagi sambil bersalaman dengan suster!” “Bagus sekali, S masih
ingat. Nah, seperti janji saya, saya akan mengajak S mencoba berkenalan
dengna teman saya, perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit.”
“Ayo kita temui perawat N di sana!”
Kerja
(Bersama-sama S, perawat mendekati perawat N)
“Selamat pagi perawat N, S ingin berkenalan dengan N. Baiklah S, S bisa
berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktikka kemari.” (Pasien
mendemonstrasikan cara berkenalan dnegan perawat N. Memberi salam,
menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya.)
“Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada perawat N? Coba tanyakan tentang
keluarga perawat N!”
“Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S dapat menudahi perkenalan
ini. Lalu S, bisa buat janji untuk bertemu lagi dengan perawat N, misalnya
jam 1 siang nanti.” “Baiklah perawat N, karena S sudah selesai berkenalan,
saya dan S akan kembali keruangan S. Selamat pagi!” (Bersama pasien,
perawat H meninggalkan perawat N untuk melakukan terminasi dengan S
di tempat lain.)
Terminasi
“Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengna perawat N?”
“S tampak bagus sekali saat berkenala tadi.” “Pertahankan terus apa yang
sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya
perkenalan berjalan lancar, misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan
sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain? Mari kita
masukkan kedalam jadwal. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2
kali. Baik, nanti S coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa?
Jam 10? Sampai besok!”
3. SP 3
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan kesempatan kepada klien untuk berkenalan dengan dua
orang atau lebih
c. Menganjurkan klien untuk memasukkan kegiatan ini kedalam jadwal
harian.
Orientasi
“Selamat pagi S! Bagaimana perasaan S hari ini?”
“Apakah S bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang (jika
jawaban pasien, ya, perawat dapat melanjutkan komunikasi berikutnya
dengan pasien lain).”
“Bagaimana perasaan S setelah bercakap-cakap dengan perawat N
kemarin siang?” “Bagus sekali S menjadi senang karena punya teman
lagi!” “Kalau begitu S ingin punya banyak teman lagi?”
“Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan teman
seruangan S yang lain, yaitu O. Seperti biasa, kira-kira 10 menit. Mari
kita temui dia diruang makan.”
Kerja
(Bersama-sama S, perawat mendekati pasien lain)
“Selamat pagi, ini ada pasien saya yang ingin berkenalan.”
“Baiklah S, S sekarang bisa berkenalan dengan nya seperti yang telah S
lakukan sebelumnya.”(Pasien mendemontrasikan cara berkenlaan:
memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal, hobi, dan
menanyakan hal yang sama.) “Ada lagi yang ingin S tanyakan kepada
O? Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi
perkenalan ini. Lalu S bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu
lagi jam 4 sore nanti (S membuat janji untuk bertemu kembali dengan
O).”
“Baiklah O, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali
ke ruangan S. Selamat pagi (Bersama pasien perawat meninggalkan O
untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain).
Terminasi
“Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan O?”
“Dibandingkan kemarin pagi, S tampak lebih baik ketika berkenalan
dengan O. Pertahankan apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa
untuk bertemu kembali dengan O jam 4 sore nanti.”
“Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap
dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi, satu hari
S dapat berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam
10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, S bisa bertemu dengan N, dan
tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjutnya S bisa berkenalan
dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana S, setuju kan?”
“Baiklah, besok kita bertemu lagi untuk membicarakan pengalaman S.
Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya.”
“Sampai besok!”
Carpenito, M.L (2007). Buku saku diagnosa keperawatan, alih bahasa, Yasmin Asih,
editor edisi bahasa indonesia, ed. 10, EGC: Jakarta.
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K.R,. Lestari, W (2009). Asuhan keperawatan
klien dengan gangguan jiwa.Ed.1.TIM: Jakarta.
Doenges, M.E., Tonsend, M.C., Moorhouse, M.F (2007). Rencana asuhan keperawatan
psikiatri. Ed.3, EGC: Jakarta.
Suliswati., Payapo, T.A., Maruhawa, J., Sianturi, Y., Sumijatun (2005). Konsep dasar
keperawatan kesehatan jiwa. Ed.1, EGC: Jakarta.
Stuart, G.W & Lararia, M.T (2001). Principles & practice of psichiatric nursing. Ed.7, St
Louis: Mosby.
Taufiq., Muhammad, Fitriani R., Dwi. 2018. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada
Klien Isolasi Sosial dengan Intervensi Inovasi social skill training Terhadap Kemampuan
Berinteraksi di Ruang Elang RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda.
http://jurnal.akperkridahusada.ac.id/index.php/jpk/article/view/2/2
https://www.kajianpustaka.com/2013/08/isolasi-sosial.html
https://www.goodtherapy.org/learn-about-therapy/issues/isolation
http://jouchihchang.int-des.com/2017/06/01/isolation-in-psychology/