Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

PEMBAHASAN

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn.W dengan TB

paru di Ruang Teratai RSUD Tanjungpinang yang dimulai dari tanggal 21April

sampai dengan 23 April 2017, maka pada bab ini penulis akan membahas tentang

kesenjangan antara teori dan kasus. Adapun pembahasan ini meliputi: Pengkajian,

Diagnosa Keperawatan, Perencanaan Keperawatan (Intervensi Keperawatan),

Penatalaksanaan (Implementasi) dan Evaluasi Keperawatan.

4.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.

Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.

Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap

ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan

menentukan desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan

keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena

itu, pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh

kebutuhan perawatan pada klien dapat diidentifikasi. Kegiatan pengkajian

adalah pengumpulan data. Pengumpulan data adalah kegiatan untuk

menghimpun informasi tentang status kesehatan klien. Status kesehatan klien

yang normal maupun yang senjang hendaknya dapat dikumpulkan. Hal ini

dimaksudkan untuk mengidentifikasi pola fungsi kesehatan klien, baik yang

efektif optimal maupun bermasalah (Rohmah & Walid, 2014)

115
116

Pengkajian yang dilakukan pertama kali merupakan perbandingan

dikemudian hari tentang status kesehatan klien. Perawat menggunakan data

ini untuk memberikan pelayanan secara komprehensif. Data hasil pengkajian

meliputi data dasar dan data fokus dicatat pada formulir pengkajian (Dinarti,

2009).

Pengkajian keperawatan pada Tn.W dilakukan pada tanggal 21 April

2017 pukul 14.30 WIB. Dari hasil pengkajian di temukan tanda dan gejala

seperti batuk berdahak, dahak klien berwarna putih kental dan sulit untuk di

keluarkan, terdapat suara tambahan ronchi pada paru sebelah kanan, sputum

dalam jumlah ±1-2 cc, RR :26 kali/menit. Selanjutnya ditemukan data seperti

klien mengatakan sesekali akan merasakan sesak nafas, sesak nafasnya

dikarenakan batuk yang terus menerus, klien mengatakan berat badan

menurun sejak tahun 2014 dari 63 kg menjadi 52 kg, klien terlihat lemah,

mukosa bibir kering, konjungtiva pucat,klien mengatakan sulit tidur pada

malam hari karena batuknya sering kali muncul, klien mengatakan tidur

sekitar kurang lebih 4-5 jam per hatinya dan tidak bisa tidur karena batuknya.

Terlihat lingkaran hitam disekitar mata pasien, klien tampak menguap pada

saat pengkajian, klien mengatakan apabila bangun pagi hari badannya akan

semakin terasa lemah , klien tampak batuk dengan menggunakan tisu ataupun

selimutnya dan dahaknya diletakkan di kantong kresek terbuka yang di

letakkan di atas tempat tidur. Klien mengatakan tidak mengerti kenapa

batuknya tidak mau berhenti selama kurang lebih 4 hari. Klien tidak

menggunakan masker dan tidak menggunakan teknik etika batuk yang baik
117

dan benar. Sebelumnya klien pernah dirawat di ruang teratai dengan penyakit

yang sama TB paru. Klien mengatakan pernah tidak memakan obat selama ±2

hari karena pada saat mengonsumsi obat tersebut klien mengeluh terdapat

bintik-bintik merah dan terasa gatal di bagian tubuhnya.

Hal ini bisa terjadi karena sistem imun tubuh berespons terhadap

bakteri yang masuk dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrophil

dan makrofag) menelan banyak bakteri Mycobakterium tuberculosis, limfosit

spesifik tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal.

Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli.

Akibat penumpukan eksudat yang berlebihan inilah mengakibatkan terjadinya

batuk yang terus menerus pada penderita TB Paru dan terjadinya masalah

ketidakefektifan bersihan jalan nafas (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Black (2014) tanda dan gejala TB paru dapat dibagi menjadi

2 yaitu : Gejala paru yang akan muncul seperti Dispnea, Batuk nonproduktif

atau produktif, Hemoptisis, Nyeri dada yang berupa pleuritik atau nyeri dada

tumpul, sesak di dada, Crickles dapat ditemukan pada saat auskultasi. Gejala

umum yang akan muncul seperti Rasa lelah, Anoreksia (hilang nafsu makan),

kehilangan berat badan, demam rendah diikuti menggigil dan berkeringat

(sering pada malam hari).

Menurut Mutaqin (2012), keluhan klien dengan TB Paru dapat dibagi

menjadi dua golongan yaitu : Keluhan resepiratoris meliputi batuk keluhan ini

timbul paling awal dan merupakan gangguan yang sering dikeluhkan.keluhan

batuk bersifat non-produktif ataupun produktif atau sputum bercampur


118

darah.Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya

batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

Sesak nafas ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas dan karena

ada hal yang menyertai seperti efusi pluera, pnemothorak, anemia. Nyeri dada

timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena TB. Keluhan sistemis

meliputi: Demam yang biasa timbul pada sore atau malam hari mirip demam

influenza, hilang timbul dan semakin lama semakin panjang serangannya

sedangkan masa bebas serangan semakin pendek. Keluhan sistemis lain

seperti yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat

badan dan malaise. Timbul biasanya bersifat grafual muncul dalam beberapa

minggu-bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak

napass walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai pneumonia.

Pada pemeriksaan thoraks atau dada pada kasus TB Paru akan

mengalami kelainan, pada saat inspeksi klien biasanya tampak kurus sehingga

pada bentuk dada terlihat adanya penurunan proporsi diameter antero-

posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari

TB paru seperti efusi pleura yang massif maka akan terlihat adanya

ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada sisi

yang sakit. Pada klien TB paru minimal dan tanpa komplikasi biasanya

gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika

terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan yang luas pada parenkim

paru biasanya akan terlihat sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan

menggunakan otot bantu pernapasan. Kemudian jika klien mengalami efusi


119

pleura yang massif, pneumothoraks, abses paru yang massif dan

hidropneumothoraks akan menyebabkan getaran pernapasan atau vocal

fremitus teraba tidak sama saat palpasi antara paru kanan dan paru kiri karena

adanya penurunan pada taktil fremitus di area yang sakit dikarenakan

transmiter getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga

pleura. Pada saat perkursi klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi

biasanya akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.

Kemudian jika klien disertai komplikasi seperti efusi pleura akan di dapatkan

bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi

cairan di rongga pleura. Pada saat auskultasi akan didapatkan suara napas

tambahan ronchi pada bagian yang sakit (Muttaqin, 2012).

Dari gejala sistemik menurut Mutaqqin (2012), didapati gejala

demam, merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore

dan malam hari mirip influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang

serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek. Gejala sistemik

lainnya yaitu gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan

berat badan serta malaise. Keringat malam menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan gangguan pola tidur pada penderita TB paru. Kemudian selain

keringat malam, juga bisa terjadi karena peningkatan produksi sputum dalam

paru dan sulit dikeluarkan, sehingga respon batuk terus terjadi dan sering

terjadi pada malam hari. Akibatnya pola tidur menjadi terganggu.

Menurut Black (2014) Alasan penyakit TB aktif muncul pada

beberapa klien (alih-alih mampu dikontrol oleh respon imun yang didapat
120

sehingga tetap dorman) masih belum dipahami dengan jelas. Namun, faktor-

faktor yang tampaknya berperan pada perkembangan dari infeksi TB dorman

menjadi penyakit aktif melibatkan hal-hal seperti Kontak ulang dengan orang

yang memiliki TB aktif, Usia Lanjut, Infeksi HIV, Imunosupresi, Terapi

Kortikosteroid jangka panjang, tinggal atau bekerja pada area padat beresiko

tinggi (penjara, fasilitas perawatan jangka panjang), berat badan renda (10%

atau lebih di bwah berat ideal), penyalahgunaan narkoba, adanya penyakit

lain (misalnyaDM, Ginjal stadium akhir atau penyakit ganas)

Selain penyakit primer progresif, terinfeksi ulang juga dapat

menyebabkan bentuk klinis TB aktif, atau infeksi sekunder. Lokasi infeksi

primer yang mengandung basilus TB mungkin tetap klien bertahun-tahun dan

dapat mengalami reaktivitas jika resistansi klien turun. Oleh karena

dimungkinkan terjadinya infeksi ulang dan karena lesi dorman dapat

mengalami reaktivitas, maka penting bagi klien dengan infeksi TB untuk

dikaji secara periodik terhadap bukti-bukti adanya penyakit aktif. (Black,

2014)

Dari teori Black (2014) yang memaparkan alasan TB aktif pada

beberapa faktor-faktor yang berperan, tinggal atau bekerja pada area padat

beresiko tinggi merupakan salah satu alasan TB paru aktif kembali, faktor

pencetus terinfeksi ulang dalam hal ini pekerjaan klien merupakan seorang

pemulung. Selain itu,didukung dengan klien mengatakan pernah putus obat

selama±2 hari karena menimbulkan bintik-bintik merah dan gatal di bagian

tubuhnya.
121

Notoatmojo (2007) perilaku seseorang atau massyarakat tentang

kesehatn ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan

sebagiannya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu,

ketersediaan fasilitasa, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap

kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Menurut Leavel dan Clark yang disebut pencegahan adalah segala kegiatan

yang dilakukan baik langsung atau tidak langsung untuk mencegah suatu

masalah kesehatan atau penyakit. Pencegahan berhubungan dengan masalah

kesehatan atau penyakit yang spesifik dan meliputi perilaku menghindar.

Peran petugas kesehatan yaitu memberikan penyuluhan kesehatan.

Penyuluhan kesehatan klien dengan TB paru merupakan upaya yang sangat

menentukan keberhasilan penyembuhan dan mencegah terjadinya penularan

kepada orang lain. Kegiatan dapat dilakukan oleh perawat rumah sakit, mulai

dari pasien rawat jalan dipoliklinik, pasien rawat inap sampai dengan klien

pulang dari rumah sakit.

Sesuai dengan teori menurut Nototmojo (2007) bahwa prilaku

seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan. Yang mana dalam

hal ini bisa terjadi karena tingkat pendidikan klien yang rendah yaitu hanya

tamat SD, sehingga kurang terpapar dengan penyakit TB Paru yang baru

dideritanya. Hasil pemeriksaan penunjang yang penulis cantumkan adalah

rontgen dan laboratorium, didapatkan hasil rontgen pada paru-paru terdapat

gambaran DD/TB Paru Atipikal kanan.Hasil laboratorium pemeriksaan Basil

Tahan Asam (BTA) dengan hasil (-).


122

Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat

kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap basil tahan asam BTA,

kultur sputum dan tes kulit tuberkulin. Rontgen dada biasanya akan

menunjukkan adanya lesi pada lobus atas. Sputum pagi hari untuk kultur

BTA dikumpulkan, usap BTA akan menunjukkan apakah terdapat

mikobakterium, yang menandakan diagnosis dari tuberkulosis paru (Brunner

& Suddarth, 2002). Pada pemeriksaan penunjang tidak ada kesenjangan

antara teori dan kasus, pemeriksaan dilakukan berdasarkan tanda gejala dan

hasil pengkajian yang dilakukan.

Faktor pendukung dalam pengkajian adalah ketersediaan format

pengkajian yang menjadi acuan dalam proses pengkajian, catatan medik, dan

catatan keperawatan dan keluarga klien yang kooperatif dalam memberikan

informasi mengenai keadaan klien. Penulis tidak menemukan faktor

penghambat dari pengkajian.

4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan hasil akhir dari pengkajian yang

dirumuskan atas dasar interprestasi data yang tersedia (Dinarti,2009).

Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau

perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok tempat

perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat memberikan intervensi

secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi,

menyingkirkan, atau mencegah perubahan (Rohmah & Walid, 2014).


123

Penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap

masalah kesehatan atau proses kehidupan aktual ataupun potensial sebagai

dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat

bertanggung jawab. Tujuan diagnosis keperawatan adalah memungkinkan

perawat untuk menganalisis dan mensistesis data yang telah dikelompokkan

di bawah pola kesehatan dan digunakan untuk mengidentifikasi masalah,

faktor penyebab masalah, dan kemampuan klien untuk mencegah atau

memecahkan masalah (Rohmah & Walid, 2014).

Diagnosa keperawatan memberikan dasar pemilihan intervensi

keperawatan memberikan dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk

mencapai derajat kesehatan bagi klien. Setelah mendapatkan data dari

pengkajian yang dilakukan pada Tn.W, selanjutnya data yang diperoleh

dikelompokan dan dibentuk analisa data untuk mengetahui masalah yang

muncul pada klien, kemudian penulis menentukan dan menegakan diagnosa

keperawatan terhadap Tn.W dengan TB Paru. Secara teoritis menurut

Adriansyah (2012) dan Mutaqqin (2012) diagnosa keperawatan yang

mungkin muncul pada klien dengan TB Paru yaitu :

1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi

mukus yang kental, hemoptitis, kelemahan fisik, upaya batuk buruk

dan edema trakheal/faringeal.

2) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan

menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan

dalam rongga pleura.


124

3) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan

jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler,

dan edema bronchial.

4) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan keletihan, anoreksia, dispnea, dan peningkatan metabolisme

tubuh.

5) Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan.

6) Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) yang

berhubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).

7) Nyeri akut berhubungan dengan peluritis.

8) Kurang informasi dan pengetahuan mengenai kondisi dan aturan

pengobatan, berhubungan dengan kurangnyaa informasi tentang

proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.

9) Infeksi dan risiko tinggi penyebaran atau aktivasi ulang kuman TB,

berhubungan dengan kerusakan jaringan/infeksi tambahan.

10) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk terus menerus.

11) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

Berdasarkan kasus yang didapatkan pada klien Tn.W dengan TB Paru

terdapat beberapa masalah keperawatan yang mana dikaitkan dengan etiologi

dan symptom sebagai berikut.

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan pembentukan

sputum berlebih ditandai dengan klien tampak sulit mengeluarkan

dahaknya, dahak klien putih kental, terdapat suara nafas tambahan Ronchi
125

pada paru sebelah kanan, RR : 26 kali/menit, sputum dalam jumlah 1-2 cc,

klien mempunyai riwayat perokok aktif.

Penulis menegakkan diagnosa tersebut karena ditemukan data-data yang

menujang diagnosa yaitu klien mengeluh batuk berdahak berwarna putih,

dahak kental sulit dikeluarkan, klien mengatakan merokok sejak kelas 19

tahun dan berhenti 2 tahun yang lalu sedangkan data objektif klien tampak

sulit mengeluarkan dahaknya, dahak putih kental, terdapat suara nafas

tambahan ronchi pada paru sebelah kanan, RR : 26 kali / menit, sputum

dalam jumlah ±1-2 cc

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

ditandai dengan klien tampak sesak, pasien tampak lemah RR : 26

kali/menit, terpasang nasal kanul 2 l, wajah tampak memerah.

Penulis menegakkan diagnosa tersebut karena ditemukan data-data yang

menujang diagnosa yaitu klien mengatakan seak nafas, pasien tampak

lemah RR 26kali/menit, terpasang nasal kanul 2 l,wajah tampak memerah.

Klien mengatakan apabila klien batuk klien akan sesak nafas, posisi klien

semifowler/fowler

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk terus menerus dan proses

adaptasi lingkungan ditandai dengan klien tampak lemah, terdapat

lingkaran hitam di sekitar mata klien, klien tampak menguap saat

berinteraksi , konjungtiva pucat, frekuensi klien tidur selama 4-5 jam per

hari
126

Penulis menegakkan diagnosa tersebut karena ditemukan data-data yang

menujang diagnosa yaitu sulit tidur malam dan siang karena batuk terus

menerus, suhu ruangan yang panas dan selalu berkeringat pada malam

hari, klien mengeluh saat bangun tidur tidak puas dan terasa lemas

badanya, klien mengatakan terbangun saat batuk, klien mengatakan tidur

hanya 4-5 jam dalam sehari sedangkan data objektif klien tampak lemah

,terdapat lingkaran hitam di sekitar mata klien, klien tampak menguap,

klien tampak berkeringat.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai

proses penyakit dan pengobatan ditandai dengan klien tampak saat batuk

menutup dengan kain selimut, klien tidak menggunakan teknik batuk yang

benar, klien tidak menggunakan masker, serta tempat dahak tidak ditutup,

klien sering bertanya ke perawat seputar batuk terus-menerusnya.

Penulis menegakkan diagnosa tersebut karena ditemukan data-data yang

menujang diagnosa yaitu saat batuk tidak menutup dengan tissue atau sapu

tangan, klien mengatakan tidak menggunakan masker, klien mengatakan

kurang mengerti kenapa batuknya tidak mau berhenti dengan sedangkan

data objektif klien tampak saat batuk tidak menutup dengan tissue atau

sapu tangan, klien tidak menggunakan teknik batuk yang benar, klien tidak

menggunakan masker, serta tempat dahak tidak ditutup, klien sering

bertanya ke perawat.
127

4.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah panduan untuk prilaku spesifik yang

diharapkan oleh klien, atau tindakan yang harus dilakukan oleh

perawat.Intervensi dilakukan untuk membantu klien mencapai hasil yang

diharapkan. Intervensi keperawatan pada kasus ini dilakukan pada tujuan

intervensi pada setiap masing masing diagnosa keperawatan. Berdasarkan

intervensi yang dirujuk dari NIC dan NOC ada beberapa intervensi yang

digunakan dalam mengatasi masalah klien dengan TB paru yaitu

ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, gangguan pola tidur dan

kurang pengetahuan. Adapun intervensi yang dapat direncanakan untuk

mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk diagnosa Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan

dengan pembentukan sputum berlebih ditandai dengan klien tampak sulit

mengeluarkan dahaknya, dahak klien putih kental, terdapat suara nafas

tambahan Ronchi pada paru sebelah kanan, RR : 26 kali/menit, sputum dalam

jumlah 1-2 cc, klien mempunyai riwayat perokok aktif. Tujuannya setelah

dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas

efektif dengan kriteria hasil klien mendemonstrasikan batuk efektif dan suara

nafas bersih, tidak ada sianosis dan dyspnea (mampu mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips), menunjukan jalan
128

nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi

pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

Sementara untuk diagnosa Ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan penurunan ekspansi paru ditandai dengan klien tampak sesak, pasien

tampak lemah RR : 26 kali/menit, terpasang nasal kanul 2 l, wajah tampak

memerah. Tujuannya setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24

jam, mampu mendemonstrasikan batuk efektif adn suara nafas bersih, tidak

ada sianosis, TTV dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, dan

pernafasan)

Kemudian untuk diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan

proses adaptasi lingkungan ditandai dengan klien tampak lemah, mata klien

tampak sayu, terdapat mata panda di sekitar mata klien, klien tampak

menguap, klien tampak berkeringat. Tujuannya setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 × 24 jam, kebutuhan pola tidur pasien terpenuhi

dengan kriteria hasil jumlah jam tidur klien dalam batas nomal 6-8 jam/ hari,

pola tidur, kualitas dalam batas normal, perasaan segar sesudah tidur atau

istirahat.

Dan untuk diagnosa kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang

informasi mengenai proses penyakit dan pengobatan ditandai dengan klien

tampak saat batuk tidak menutup dengan tissue atau sapu tangan, klien tidak

menggunakan teknik batuk yang benar, klien tidak menggunakan masker,

serta tempat dahak tidak ditutup, klien sering bertanya ke perawat. Tujuannya

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam, pemahaman


129

tentang resiko infeksi terpenuhi dengan kriteria hasil klien dan keluarga

menyatakan pemahaman tentang proses penyakit, pasien dan keluarga mampu

menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.

Faktor pendukung yang penulis temukan dalam perencanaan ini yaitu

tersedianya buku diagnosa keperawatan sebagai acuan dalam penyusunan

perencanaan. Dan faktor penghambat adalah dalam membuat batasan waktu

dalam menetapkan kriteria hasil.

4.4 Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi

pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan

sesudah pelaksanaan tindakan serta menilai data yang baru (Rohmah & Walid

,2014 ). Perawat melakukan pengawasan terhadap efektifitas intervensi yang

dilakukan, bersamaan pula menilai perkembangan pesien terhadap

pencapaian tujuan atau hasil diharapkan.Tahap implementasi yaitu tahap

melakukan perencanaan yang telah dibuat pada pasien. Adapun kegiatan

dalam tahap ini yaitu meliputi pengkajian ulang, memperbarui data dasar,

meninjau dan merevisi rencana asuhan keperawatan yang telah dibuat serta

melaksanakan intervensi yang telah direncanakan.

Berdasarkan dari intervensi yang ada, penulis dapat

mengimplementasikan semua intervensi yang ada, yaitu pada tahap ini,

penulis telah melakukan implementasi selama 3 x 24 jam setiap diagnosa.


130

Penulis dapat melakukan intervensi yang ada pada tinjauan kasus. Untuk

diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas penulis dapat melakukan

implementasi selama 3 hari. Yang mana selama implementasi di temukan

keluahan klien seperti klien mengatakan batuk berdahak, dahak klien

berwarna putih kental dan sulit dikeluarkan. Sementara untuk intervensi

diagnosa ketidakefektifan pola nafas penulis dapat melakukan implementasi

selama 3 hari. Yang mana selama implementasi ditemukan keluhan seperti

dengan klien tampak sesak, pasien tampak lemah RR : 26 kali/menit,

terpasang nasal kanul 2 l, wajah tampak memerah. Kemudian untuk

intervensi diagnosa gangguan pola tidur penulis melakukan implementasi

selama 3 hari. Yang mana selama implementasi ditemukan keluhan seperti

klien mengatakan sulit tidur malam dan siang karena batuk yang terus

menerus dan suhu ruangan yang panas dan selalu berkeringat pada malam

hari, klien mengeluh saat bangun tidur tidak puas dan terasa lemas badanya,

klien mengatakan terbangun saat batuk, klien mengatakan tidur hanya 4-5 jam

dalam sehari. Dan untuk intervensi diagnosa kurang pengetahuan penulis

dapat melakukan implementasi selama 2 hari. Yang mana selama penulis

melakukan implementasi ditemukan keluhan seperti klien saat batuk tidak

menutup dengan tissue atau sapu tangan, klien tidak menggunakan masker,

klien mengatakan kurang mengerti dengan batuk yang terus menerusnya.

Dimana pada diagnosa kurang pengetahuan klien telah dapat memahami

penyebab penyakit, tanda dan gejala, cara penularan dan mencegahnya serta
131

bagaimana proses pengobatan yang harus dilakukan oleh klien serta klien

telah menerapkan cara-cara untuk mencegah penularan penyakit TB paru.

Namun, dalam hal pemberian obat dalam waktu 24 jam penulis hanya

dapat memberikan obat pada klien 1 kali sedangkan untuk 2 kali pemberian

obat pada waktu malam dan pagi hari tidak dapat penulis lakukan,

dikarenakan waktu dinas penulis berbeda.

Pada tahap ini penulis menemukan hambatan dalam pemberian obat

yang mana telah penulis jelaskan bahwa jam dinas dilaksakan pada jam yang

berbeda dengan epmberian obat seperti pada jam dinas pagi hari dan siang

hari. Untuk faktor pendukung yang penulis dapatkan pada tahap ini yaitu

penulis mendapatkan kerjasama yang baik antara penulis dan perawat

ruangan serta pasien sangat kooperatif selama penulis melakukan tindakan

keperawatan.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan yang

mana pada tahap ini dapat dilihat keberhasilan dari tindakan yang telah

diberikan dengan mengkaji respon pasien setelah dilakukan asuhan

keperawatan, membandingkan respon pasien dengan kriteria hasil,

memodifikasi asuhan keperawatan sesuai dengan hasil evaluasi, dan mengkaji

ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Rohmah & Walid 2012).

Evaluasi keperawatan dicatat disesuaikan dengan setiap diagnosa

keperawatan. Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan meliputi data


132

subyektif (S), data obyektif (O), analisa permasalahan (A), klien berdasarkan

S dan O, Serta perencanaan ulang (P) berdasarkan hasil analisa data diatas.

Evaluasi ini disebut juga evaluasi proses.

Pada diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan pembentukan sputum berlebih ditandai dengan klien

tampak sulit mengeluarkan dahaknya, dahak putih kental, terdapat suara nafas

tambahan ronchi pada paru sebelah kanan, RR: 26 kali / menit, sputum dalam

jumlah ± 1-2 cc, riw. klien perokok aktif. Sesuai dengan tujuan pemberian

asuahan keperawatan selama 3 × 24 jam masalahakan teratasi namun, setelah

3 × 24 jam penulis memberikan asuhan keperawatan masalah ini hanya

teratasi sebagian. Hal ini di karenakan satu dari dua kriteria hasil yang

diharapkan belum tercapai yaitu menunjukan jalan nafas yang paten (klien

tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang

normal, tidak ada suara nafas abnormal).

Pada diagnosa kedua yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan penurunan ekspansi paru ditandai dengan klien tampak sesak, pasien

tampak lemah RR : 26 kali/menit, terpasang nasal kanul 2 l, wajah tampak

memerah. Sesuai dengan tujuan pemberian asuahan keperawatan selama 3 ×

24 jam masalahakan teratasi dan setelah 3 × 24 jam penulis memberikan

asuhan keperawatan masalah ini teratasi sebagian. Hal ini dikarenakan faktor

pencetus dari sesak nafas tersebut adalah karena ada nya batuk secara terus

menerus sehingga apabila batuk belum teratasi maka sesak akan muncul

secara tiba-tiba jika terjadi batuk berulang.


133

Pada diagnosa ketiga yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan

proses adaptasi lingkungan ditandai dengan klien tampak lemah, mata klien

tampak sayu, terdapat mata panda di sekitar mata klien, klien tampak

menguap, klien tampak berkeringat. Sesuai dengan tujuan pemberian

asuahan keperawatan selama 3 × 24 jam masalah akan teratasi dan setelah 3 ×

24 jam penulis memberikan asuhan keperawatan masalah ini teratasi sesuai

dengan kriteria hasil yang diharapkan yaitu jumlah jam tidur dalam batas

nomal 6-8 jam / hari, pola tidur, kualitas dalam batas normal, perasaan segar

sesudah tidur atau istirahat. Sedangkan kondisi klien sudah bisa tidur selama

6-8 jam sehari, pola tidur normal dan klien merasa segar setelah bangun tidur.

Pada diagnosa keempat yaitu kurang pengetahuan berhubungan

dengan kurang informasi mengenai proses penyakit dan pengobatan ditandai

dengan klien tampak saat batuk menutup dengan kain selimut, klien tidak

menggunakan teknik batuk yang benar, klien tidak menggunakan masker,

serta tempat dahak tidak ditutup, klien sering bertanya ke perawat seputar

batuk terus-menerusnya.Sesuai dengan tujuan pemberian asuahan

keperawatan selama 3 × 24 jam masalahakan teratasi dan setelah 2 × 24 jam

penulis memberikan asuhan keperawatan masalah ini teratasi sesuai dengan

kriteria hasil yang diharapkan yaitu pasien dan keluarga menyatakan

pemahaman tentang proses penyakit, pasien dan keluarga mampu

menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan

lainnya.Sedangkan kondisi klien sudah mengetahui tentang penyakitnya dan


134

klien sudah mengetahui cara pencegahan terhadap penularan penyakit TB

Paru.

Faktor penghambat dalam memberikan asuhan keperawatan yaitu

pada diagnosa pertama dan kedua masalah hanya dapat diatasi sebagian.

Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas masih dirasakan pada klien

karena batuk yang dialami klien disebabkan oleh aktivitas bakteri

Micobacterium tuberculosis di area parunya. Sehingga untuk mengatasi

batuknya, maka bakteri tersebut harus lebih dahulu dimatikan dengan

penatalaksanaan atau terapi pengobatan obat anti tuberkulosis paru (OAT)

Sedangkan klien dirawat di rumah sakit hanya untuk mendapatkan diagnosa

awal, pengobatan yang tepat dan untuk mendapatkan perawatan selama

beberapa hari sampai gejala yang dirasakan sedikit berkurang.Akibatnya

penulis belum dapat mencapai hasil yang diharapkan dikarnakan penulis

hanya memberikan asuhan keperawatan selama 3 hari.

Sedangkan faktor pendukung dalam memberikanasuhan keperawatan,

penulis mendapatkan kerja sama yang baik antara penulis dan perawat

ruangan, penulis dengan tim kesehatan lainnya, penulis dengan klien, penulis

dengan keluarga klien yang berlangsung selama 3 hari dinas.

Anda mungkin juga menyukai