ARTIKEL
EUTHANASIA PADA HEWAN PERCOBAAN
oleh :
Drh. Dyah Widyaningroem Isbagio *
PENDAHULUAN
Kemajuan luar biasa dalam mengendalikan
penyakit manusia dan hewan telah banyak tercapai.
Walaupun demikian masih diraksakan adanya
keperluan yang mendesak akan adanya penelitian
‘yang bertujuan untuk mencari metoda pencegahan
dan pengobatan berbagai penyakit yang belum
didapatkan cara pengendaliannya yang memadai,
khususnya penyakit tak menular dan menyakit
‘menular endemik didaerah beriklim panas.
Selain itu untuk keperluan ilmu kedokteran,
penelitian tentang penggunaan zat teraputik,
profilaksis, diagnostik dan alat baru pada manusia,
‘merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan,
Syarat utama secara nasional maupun
internasional dalam kode etik penelitian pada
manusia, dan juga pada banyak perundang-undangan
nasional, adalah bahwa zat atau alat baru tidak boleh
digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali
bila sebelumnya telah diuji pada hewan dan
diperoleh kesan yang cukup mengenai keamanannya,
Yang dimaksud dengan hewan adalah
semua binatang yang hidup didarat, baik yang
dipelihars maupun yang hidup secara liar, termasuk
ikan. Hewan peliharaan atau hewan budidaya ilaha
hewan, yang cara hidupnya untuk sebagian
ditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu.
Sedangkan istilah “Experimental animal” (hewan
percobaan) dipakai untuk semua hewan vertebrata
kehidupannya dipisahkan dari lingkungan alamnya
dan digunakan untuk keperluan penelitian,
pendidikan dan pengujian.
Berbagai usaha yang telah dilakukan untuk
meningkatan produktivitas sumber daya manusia
perlu ditopang oleh penelitian pada hewan, baik
hewan coba sebagai hewan model untuk berbagai
* Peneliti pada Pusat Penelitian Penyakit Menular
penelitian maupun hewan produksi sebagai sumber
protein untuk manusia,
Pada kenyataannya kita sebagai tenaga
peneliti, tidak akan pernah lepas hubungannya
dengan penelitian yang sewaktu-waktu pasti
membutuhkan hewan percobaan sebagai sarananya
Penggunaan hewan untuk meramalkan efek yang
mungkin timbul dalam percobaan pada manusia,
untuk penelitian fisiologik, patologik, toksikologik
atau (eraputik, pencegahan, diagnostik’serta
diagnosis infeksi, keracunan pada manusia dan
hewan, atau untuk menguji sekumpulan preparat
bidlogik yang tidak dapat diperiksa (kadarnya)
dengan metode fisik, memerlukan pertimbangan
etik. Sckalipun demikian, penggunaan hewan
laboratorium hanya diizinkan bila diperlukan,
dimana mungkin berbagai metode analisis statistik,
model matematis, simulasi kompvter dan sistem
biologi in-vitro harus diguaakan untuk melengkapi
percobaan hewn dan mengurangi jumlah hewan
yang digunakan, Perlu pertimbangan yang cukup
‘mengenai relevansinya terhadap keschatan manusia
atau hewan, pergunakan spesies hewan dengan
tingkat filogeni yang serendah mungkin yang masih
memenuhi syarat untuk percobaan.
Secara etis perlakukanlah hewan dengan
selayaknya, sehingga tercapai kualitas hasil ilmiah
yang didapat dari pereobaan hewan. Walaupun
sedikit yang diketahui mengenai persepsi nyeri pada
hewan, penelitian harus bertindak berdasarkan
anggapan bahwa prosedur yang dapat menimbulkan
nyeri fisik pada manusia dapat menimbulkan rasa
nyeri yang sederajat pada hewan vertebrata
Premidikasi dan dibawah anstesi sesuai dengan
praktek kedokteran hewan yang lazim perlu
diterapkan pada percobaan hewan yang diperkirakan
menimbulkan sesuatu yang lebib dari sekedar rasa
nyeri atau penderitaan yang ringan dalam waktu
yang singkat. Nyeri pasca bedah harus dicegah atau
dlikurangi dengan analgetika.
Media Litbangkes Vol.II No.01/1992
18ARTIKEL
Seperti diketahui bahwa percobaan dengan
hhewan akan sering memerlukan pembunuhan hewan
untuk mendapatkan jaringan untuk penelitian in-vitro
pada akhir atau sclama penelitian, untuk menilai
bbagaimana efeknya. Selain itu pada akhir percobaan,
hewan yang menggangu nyeri hebat atau kronik,
penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat
disembuhkan, harus dilakukan “euthanasia” ; hewan
hharus dibunuh dengan cara yang layak.
Manusia merupakan faktor yang amat penting dalam
melakukan euthanasia, Karena itu peneliti atau
teknisi periu untuk mengetahui cara euthanasia dan
dapat mempergunakannya secara efektif dan
manusiawi.
Istilah “euthanasia” dipergunakan untuk
elukiskan proses dengan cara bagaimana seckor
hewan dibunuh dengan menggunakan teknis yang
dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti
bahwa hewan dapat mati dengan mudah (“easy
death"), jadi mati dengan perasaan tenang, tanpa
adanya rasa sakit - rasa takut atau gelisah. Dengan
demikian kriteria terpenting dari cara ini adalah
adanya aksi depresi awal pada susunan syaraf pusat
untuk memastikan adanya kekurang pekaannya
terhadap perasaan sakit dengan segera
Dalam melakukan euthanasi, perlu
diketahui dan dipertimbangkan bagaimana pemilihan
euthanasi yang tepat, penilaian kesakitan dan
ketegangan, bagaimana ukuran ketidak-sadarannya,
cara euthanasinya, dan bagaimana pengaruh cara
cuthanasi terhadap jaringan.
PEMILIHAN CARA EUTHANASL
Pemifihan cara euthanasi tergantung dari
sifat penelitiannya, spesies dari hewannya, dan juga
dari jumlah hewan yang akan dimatikan. Mungkin
pada beberapa kasus diperlukan penanganan secara
individual, sedang yang lainnya sejumlah atau
sekelompok hewan dapat ditangani secara simultan;
dengan euthanasi massal. Kriteria yang harus
dipenuhi baik itu euthanasi secara individual atau
‘massal adalah sebagai berikut
a, Hewan mati tanpa memperlihatkan kepanikan,
kesakitan dan kesukaran,
b. Hilangnya kesadaran dalam jangka waktu yang
singkat.
cc. Dapat diandalkan dan diulang kembali
d. Aman untuk orang yang mengerjakannya,
€. Efek fisologis sesedikit mungkin.
Sesuai dengan syarat dan tujuan penelitian.
Efek yang sesedikit mungkin untuk observator
dan operator.
h, Pengaruh lingkungan seminimal mungkin.
i, Mudah, murah, relatif bebas biaya dan peralatan
hekanik.
j. Lokasi cukup jauh dan terpisah dari ruangan
tempat pemeliharaan hewan..
PENILAIAN KESAKITAN DAN
KETEGANGAN
Untuk menilai rasa sakit dan ketegangan
hewan, maka individu yang melaksanakannya perlu
mengetahui tingkah laku hewan dan respons
fisologisnya. Dengan observasi secara subjektif
dapat dipelajari bagaimana keadaan hewan dalam
keadaan kesukaran bersuara, mengadakan
perlawanan, lepasnya hambatan aktifias,
mempertahankan serangan, tremor muskularis,
dilatasi pupil, salivasi, refleks buang air besar dan
air kecil, suara yang terengah-engah, berkeringat
dan takikardi,
Pada euthanasi proses kemstian hewan pada
umunya akan melalui derajat kedua dari anestesi
Mungkin akan terlikat adanya stadium delirium,
exitement, aktifitas yang tak terkendali berupa
gerak-gerakan yang tak terkoordinasi, mengamuk,
menangis dan respom yang berkelebihan terhadap
rangsangan yang menyakitkan. Pada keadaan ini
elektronsefalogram akan memperlihatkan aktifiats
elektrokortikal cepat lambat tanda dari depresi
UKURAN TINGKAT KETIDAK-SADARAN
Cara yang sering dilupakan untuk
mengukur tingkat ketidak-sadaran dan kemampuan,
untuk merasakan nyeri adalah refleks pabpebra,
kornea dan kedip. Refleks ini dinilai dengan cara
menyentuh kelopak mata hewan atau korneanya,
hilangnya refe\leks kedip menunjukkan ketidak-
sadaran, dengan demikian kurang peka tethadap rasa
nyeri (kecuali pada penggunaan obat bentuk kurare,
yang sengaja diberikan untuk melumpuhkan otot
atau anestesi disosiatif yang menggunakan kloral
hidrat atau ketamine hidroklorida dll). Pada hewan,
dalam keadaan tak sadar atau tak peka terhadap
perasaan nyeri, gambaran elektroensefalogram
terlihat datar atau isoelektrik,
19
Media Lithangkes Vol. No.01/1992ARTIKEL
Untuk memastikan kematian hewan
diperlukan penghentian aliran darah ke otak, jadi
denyut jantung harus berhenti. Tidak seperti pada
manusia, walaupun denyut jantung menetap untuk
beberapa lama, asalnya refieks konea tak ada atau
elektroensefalogram rata, hewan sudah dianggap
mati. Pastikan dahulu bahwa pada hewan yang
dibunub tak terjadi rekoveri, sebelum membuang
hewan. Penting sekali dipastikan bahwa denyut
jantung telah berhenti. Tak adanya aktifitas atau
pengerakan otot tak dapat diguaakan sebagai
pedoman dari ketidak-sadaran atau ketidak-
pekaannya terhadap rangsangan rasa sakit, walaupun
tak adanya pergerakan yang lama menunjukkan
bahwa hewan mati
CARA-CARA ETANASI
Penting untuk diketahui bahwa beberapa
cara euthanasi secara estetika tidak menyenangkan,
seperti dekapitasi (pemenggalan kepala), stunning
(dibuat pingsan) dan eksanguinas
Pengertian ini perlu diketahui untuik menentukan
cara euthanasi maka yang akan dipakai. Meskipun
kepekaan observator atau operator tak dapat
dihindarkan, pemilihan cara euthanasi harus lebih
berdasarkan kepekaan dari hewan yang akan
dimatikan dari pada kepekaan dari observator atau
operator.
Banyak usaha telah dicurahkan terhadap
pengembangan cara euthanasi yang dapat diterima.
Walaupun demikian, tetap terdapat adanya pendapat
yang berbeda antara para ilmuwan dan masyarakat.
Menurut penelitian yang terakhir, pedoman berikut
sudah berdasarkan penilaian yang secara umum
dapat diterima. Untuk pemakaian dimasa mendatang
diharapkan adanya perbaikan penelitian dengan cara
yang lebih manusiawi.
Pada dasarnya euthanasi dapat dilakukan
secara fisik, dengan pemakaian zat farmakologis
yang non-inhalan, secara anestesi perinhalasi,
dengan pemberian gas yang non-anestetik, zat-zat
transkuiliser, zat-zat bentuk kurare, striknin dan
nikotin sulfat.
1. Euthanasi secara fisik
Cara ini digunakan bila cara yang lain dapat
mengganggu informasi yang diharapkan. Misalnya
pada pemberian kloroform atau eter akan
menyebabkan kenaikan kortikosteron plasma
(kortisol, katekolamin, sedangkan dengan cara
dekapitasi tidak. Bila bahan-bahan kimia dan ensim-
‘ensim jaringan merupakan subjek yang akan diamati
maka seringkali diperlukar, pembunuhan hewan
dengan cara fisik.
Yang termasuk dalam euthanasi secara fisik
adalah dengan cara menuliskan hewan ("Stunning"),
dislokasi servical ("cervical dislocation"), pemberian
in listrik (“electrocution”), pemenggalan leher
(decapitation) dan penembakan (“shooting”).
Walaupun masih memerlukan penelitian lebih Tanjut
untuk spesies-spesies hewan tertentu, yang terbatas
pada ukuran besar hewan, menurut penelitian
terakhir, maka pecelupan seluruh hewan kedalam
cairan nitrogen dan pemaparan hewan dengan
gelombang mikro, telah diperkenalkan sebagai
tambahan cara pembunuhan hewan secara fis
Pembunuhan hewan secara fisik dengan
cara stunning biasanya dipergunakan untuk
membunuh hewan percobaan yang tergolong rodent
kecil. Secara estetika cara ini tidak menyenangkan.
Dengan melakukan tiupan pada tulang tengkorak
pusat dengan tenaga yang cukup besar akan terjadi
perdarahan serebral yang hebat sehingga
mengakibatkan depresi pada Susunan Syaraf Pusat
dengan cepat, akibatnya hewan dengan segera hilang
kepekaannya terhadap rasa sakit. Setelah stunning
selesai dilakukan, pembuluh darah utama hewan
harus diinsisi dengan segera, rongga dada dibuka,
dan otot jantung dipotong.
Cara decompression bertujuan agar
Jingkungan hewan kekurangan oksigen dalam wakts
singkat. Jadi pada hewan dilakukan simulasi, seolah-
olah pada ketinggian diantara 50.000 sampai 60.000
kaki. Hal yang tidak menguntungkan ialah gas yang
terperangkap (misalnya dalam sinus atau usus) tidak
dapat dikeluarkan, Gas tersebut terlebih dahulu akan
menekan sekitarnya (pada kondisi dimana tekanan
udara rendah) dan menyebabkan rasa sakit sebelum
cfek anoksia otak tercapai
Teknik cervical dislocation dengan
menggunakan alat-alat yang tersedia secara
komersiil, amat praktis dilakukan pada mencit,
tikus, hewan spesies kecil ainnya yang serupa dan
juga kelinci. Dilakukan dengan cara memisahkan
tengkorang dan otak dari sumsum nilang belakang.
Teknik untuk melakukan metode ini ialah dengan
Media Lithangkes Vol. No.01/1992
20ARTIKEL
memberikan tekanan ke bagian posterior dasar
tulang tengkorak dan sumsum tulang belakang. Bila
sumsum tulang belakang terpisah dari otak, reflek
kedip menghilang dengan segera, rangsangan rasa
sakit menghilang schingga hewan tak peka rasa
sakit
Teknik electrocution jarang digunakan
dalam laboratorium, kecuali pada beberapa institusi
kedokteran hewan untuk destruksi hewan peliharaan
besar. Care ini sering dilakukan untuk membunuh
ikan atau reptil, Untuk aplikasi cara ini, spesies
hewan ini harus didinginkan dulu, dimasukkan
kedalam refrigerator (suhu 4° C), supaya aktifitas
‘metabolismenya lebih rendah, sebagai penyebab
tingkat permutaan depresi. Dapat pula digunakan
untuk membunub anjing, tak dianjurkan untuk
membunuh kucing, Bila teknik ini dilakukan, mula-
mula letakkan elektroda pada telinga hewan,
Kemudian berikan kejutan awal melalui otak untuk
menghasilkan depresi Susunan Syaraf Pusat (seperti
pada cara stunning). Kemudian berikan kejutan
kedua yang menyebabkan fibrilasi jantung, sehingga
merusak aliran darah (02) ke otak.
Untuk eutharasi kodok, amfibi lainnya dan
reptil, digunakan cara pembunuhan hewan dengan
teknik pithing, yaitu dengan jalan merusak otaknya.
Teknik ini amat memeriukan persyaratan baik
keterampilan maupun kecakapan operator. Setelah
hewan didinginkan pada suhu 4? C, maka hewan
digenggam dengan tangan dan ditekan kepalanya
dengan ibu-jari, sehingga sambungan antara tulang
tengkorak dengan tulang atlas dapat dimanipulasi
dan didentifikasi. Kemudian masukkan "probe"
berbentuk tajam menembus kulit masuk diantara
tulang tengkorak dan tulang atlas, kemudian dengan
gerakan berkelok-kelok probe didorong kedepan
melalui foramen magnum kedalam rusng kranial
Pada teknik double pithing, sumsum tulang belakang
juga dirusak, yaitu dengan memindahkan arah dari
probe, probe didorong kebelakang masuk kedalam
vertebra servikal, sehingga hubungan antara sentral
syaraf spiral terputus
Walaupun teknik decapitation secara
estetika tidak menyenangkan, tetapi pada jenis
rodent dan spesies hewan kecil lainnya yang serupa,
akan menyebabkan hilangnya dengan segera refleks
kedip dan datarnya elektroensefalogram. Penelitian
telah membuktikan bahwa efeknya hampir sama
dengan cara pemberian preparat berbiturat secara
intra-vena,
Cara yang paling efektif di lapangan untuk
‘membuauh hewan secara manusiawi adalah dengan
cara shooting. Harus dilakukan oleh operator yang
betul-betul abli, subjeknya harus ditembak dari
jarak yang dekat dan pelurunya harus detul-betul
mengenai otak, dengan maksud membuat hewan
tidak peka dengan segera terhadap kesakitan
Diperlukan peralatan senapan dengan kaliber 12 atau
20, bedil berkaliber 22 atau pistol, tergantung dari
spesies dan besarnya hewan yang akan dibunuh,
2. Dengoa pemakaian zat farmakologik yang
ton-inhalan
Antara lain dengan pemakaian asam
barbiturat dan derivatnya, campuran barbiturat,
‘magnesium sulfat dan larutan etanasi T-61.
Pada kebanyakan euthanasi baik secara
estetika maupun secara ilmiah, sodium pentobarbital
dan derivat barbiturat lainnya paling sering
digunakan dan merupakan zat pilihan. Biasanya
diberikan secara intra-vena. Pemberian secara intra-
peritoneal merupakan kontra-indikasi. Walaupun
tidak dianjurkan, cukup efektif bila diberikan secara
intra-kardial, pemberian dengan cara ini
memerlukan keahlian khusus untuk menentukan
Jantung dengan tepat dan dianjurkan pemberian obat
penenang sebelumnya. Bila tidak tepat mengenai
jantung, absorbsi obat rendah sehingga kematian
terbambat karena onset efek anestetik yang
dihasilkan amat lambat.
Pada ayam dapat digunakan kloral hidrat
dan ketamine hidroklorida secara intra-peritoneal.
Zat ini termasuk anestetik yang dissosiatif, sehingga
tidak kehilangan refleks kedip pada satidum
anestetik.
Pemberian Laruran 7-61 yang mengandung
anestetik Lokal, secara intra-vena ztau intra-kardial
yang berdaya kerja seperti daya kerja obat yang
mempunyai efek paralise pada pusat pernapasan dan
efek relaksasi pada otot kerangka; menekan kuat
SSP dan menyebsbkan ketidak-sadaran (kematian
tak).
Dengan pemakaian MgSO4 sebagai "neuro-
mascular blocking agent”. Zat ini tidak dapat
dipakai sebagai anestetik, Karena tidak menekan
a
Media Litbangkes Vol.I No.01/1992ARTIKEL
SSP. Pada pemakaian zat MgSO4 ini, harus selale
didabului dengan pemberian barbituret untuk
menimbufkan ketidak-sadaran. Pemberian secara
cepat dengan dosis yang cukup besar akan
‘menyebabkan dengan segera terjadinya henti jantung
cardiac arrest"). Aplikasinya hanya dapat
dilakukan secara intra-vena, pemberian secara intra-
Peritoneal merupakan kontra-indikasi.
3. Dengan pemberian zat anestetik secara
inhalasi.
Cara ini digunakan untuk spesies hewan
tertentu bila suntikan intra-vena sukar dilakukan
Yang termasuk dalam zat anestetik inhalasi antara
Jain adalah eter, kloroform, halothane,
metoksifluran dan nitrous oksida yang digunakan
dalam bentuk uap.
Dalam beberapa hal terdapat kerugian
euthanasi dengan teknik ini, yaitu terjadinya
“struggling” dari hewan yang dietanasi yang
berhubungan dengan derajat eksitasi dari anestesi.
Hal ini mungkin disebabkan oleh iritasi asap dari
beberapa gas-gas anestetik schingga terjadi eksitasi
Pemakaian eter atau Kloroform relatif tidak
mahal bile dibandingkan dengan menggunakan
halothane, metoksifluran dan nitrous osida.
Walaupun tidak diperlukan sekali, mungkin
diperlukan bantuan peralatan khusus untuk
mengurangi pemborosan biaya dan kontaminasi
terhadap lingkungan. Sistem tempat pembuangan
yang memada: harus pula dipertimbangkan.
Eter merupakap bahan yang mudah
meledsk dan mudah terbakar, perlu dilakukan
tindakan pencegahan yang tepat pada waktu
membuka kontainernya, diusahakan jangan
diperlukan dekat api atau dekat peralatan listrik yang
tak memadai..
Q\A_ Pemakaian kloroform tidak dianjurkan pada
\oloni rodent, Karena mempunyai efek toksik pada
hati, ginjal, alat kelemin jantan dan juga bersifat
karsinogenik
4. Dengan menggunakan gas-gas yang bersifat
non-anestetik
‘Yang termasuk dalam gas-gas yang bersifat
non-anestetik antara Iain karbon-moncksida, karbon-
dioksida, nitrogen dari tersedianya pengantian
oksigen dalam kontainer oksigen dengan gas
tersebut. Pada penggunaan karbon monoksida dan
sianida harus dilakukan tindakan pencegahian dan
perlindungan untuk menghindarkan rangsangan
terhadap manusia dan hewan lainnya oleh gas yang
amat beracun ini, Perlu dilengkapi dengan peralatan
pembuangan khusus (difiltrasi dan didinginkan) yang
telah distandarisasi untuk memastikan adanya
produk bebas yang mengganggu karena zat tersebut
amat toksik dan mungkin mematikan, Karbon-
dioksida dan nitrogen relatif tak berbahaya bila
bebas didalam ruangan. Vertilasi ruangan etanasi
harus secukup mungkin, sehingga pertukaran udara
dengan gas yang dipergunakan dapat terjadi secara
cepa
Penggunaan karbon-monoksida dengan
konsentrasi kurang dari 2 %, akan menyebabkan
perubahan yang irreversible pada haemoglobin sel
darah merah, sehingga terjadi paralise pada pusat
respirasi dan jantung, akibatnya hewan akan mati
dengan segera, pada kucing dan anjing sering
disertai dengan adanya suara-suara, kematian terjadi
3-5 menit kemudian. Kecepatan terjadinya kematian
cersebut amat bervariasi, tergantung dari waktu
pemberian dan konsentrasinya.
Karbon-dioksida, diperjual-belikan dalam
bentuk gas didalam kontainer silinder atau es kering
(Cary ice*) dalam bentuk padat. Harganya relatif
tidak mahal, tak mudah terbakar, tak mudah
meledak dan secara essensial bila dipergunakan
secara tepat tidak membahayakan bagi operator.
Secara luas banyak dipergunakan pada laboratoriura
ewan percobaan untuk mebunuh rodent. Welaupun
dapat dipergunakan pula pada kucing tetapi
penggunaan pada anjing tidak dianjurkan, karena
tidak mengakibatkan depresi pada SSP, bahkan
menyebabkan rangsangan, tetap peka terhadap
rangsangan sakit, terjadi hiperventilasi, hewan
menjadi tidak dapat berorientasé, meronta-ronta,
sempoyoagan dan jatuh. Pemberian campuran CO2
dengan kloroform, akan meniadakan efek
hiperventilasi. CO2 akan menyebabkan efek dilatasi
pembuluh darah di otak, sehingga memperluas
kKontaknya terhadap kloroform, sehingga kolaps akan
terjadi dalam waktu 3-10 detik pada kucing, dan 30
detik pada anjing.
Penggunaan nizrogen untuk euthanasi pada
Media Litbangkes Vol.I1 No.01/1992
2ARTIKEL
kucing dan rodent, mempunyai manfxat sama
dengan pemberian CO2, walaupun pada anjing
masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Keuntungan
pemakaian kedua macam zat ini ialah tidak
membahayakan pada orang maupun hewan lain
disekitarnya. Pemberian N2 sampai sebesar 1.5 %
akan menyebabkan paralise dari pusat pernapasan,
diikuti dengan kolapsnya hewan, kemudian mati
Sianida, merupakan agen penyebab paralise
yang kuat sel respirasi. Siaft irreversibilitasnya
‘mengakibatkan terjadinya anoksia dengan cepat,
sehingga terjadi depresi pada SSP, dan kematian
cepat terjadi tanpa adanya rasa sakit, walaupun
hewan menderita konvulsi sebelum kematiannya
yang akan menyusahkan pengamat. Walaupun
demikian sianida tidak dianjurkan untuk dipakai
dilaboratorium karena bahan ini amat berbahaya
untuk operator dan hewan disekitamya:
5. Dengan pemberian zat-zat transkuiliser
Banyak tersedia secara_komersiil,
pemberiannya dapat secara oral, sub-kutan, intra~
muskuler atau intra-vena. Walaupun demikian tidak
dianjurkan pemakaiannya pada ctanasi, karena
biayanya mahal, relatif tidak efisien, pada dosis,
tinggi menghasilkan efek farmakologik yang
berbeda. Pemakaian zat transkuliser dianjurkan
hanya sebagai obat penenang pada setiap aplikasi
etanasi pada anjing, kucing dan kelinci.
6. Pemakaian zat-zat bentuk kurare, striknin
dan nikotin sulfat
Bahan-bahan bentuk kurare, termasuk
suksinilkolin, D-tubokurarin, organofosfat, striknin
dan nikotin sulfat tidak dianjurkan untuk etanasi,
karena tidak mempunyai efek depresi pada SSP,
tetapi bereaksi pada "neuro-muscular junctions”
Kematian hewan terjadi karena paralisis otot
respirasi, dengan cepat terjadi hipoksia otak, hewan.
tetap sadar sehingga dalam proses kematiannya
hewan amat menderita sekali
EFEK EUTHANASI TERHADAP JARINGAN
Efek terhadap jaringan dapat terjadi secara
Jangsung atau tak langsung. Pada pemeriksaan
secara histologik dengan elektronmiskroskop dapat
berakibat hanya pada Komponen bagian intra-
vaskuler saja atau dapat terjadi sedemikian cepat,
maka tidak tampak adanya perubahan histologik,
atau terdapat perubahan yang minimal sekali
1, Efek langsung terhadap jaringan
Secara umum, efek lansung euthanasi
erhadap jaringan tidak jelas, terutama pada zat-zat
farmakologis yang bersifat non-inhalan. Perubahan
yang terjadi pada euthanasi yang menyebabkan
anoksia tergantung dari kecepatan induksinya dan
terjadinya perubahan gas didalam darah. Pada
keadaan anoksia, pada pengamatan secara makro
mungkin akan terlihat bendungan pulmoner dan
udema, yang tingkatannya tergantung dari kecepatan
kematian.
Pada anjing yang mati karena menderita
hipoksia pada anestesi dekompresi cepat dapat
ditemukan badan-badan lamelar di dalam sel
Purkinye dari serebelum. Rangkaian perubahan
biokimia dan morfologik dari sel-sel neuron dan sel-
sel glial belum diketahui secara rinci. Tidak tampak
adanya perubahan yang jelas pada saluran
pemapasan yang mengalami hipoksia
Preparat barbiturat yang disuntikkan secara
intra-vaskuler akan terionisasi. Derajat ionisasinya
tergantung dari konstanta disosiasi obat dan pH
darah. Obat yang tak terdisosiasi akan mengalami
penetrasi ke dalam sel kemudian akan terdisosiasi
lagi dan kemudian akan terjadi ikatan obat dengan
sel kemudian akan terdisosiasi lagi dan kemudian
akan terjadi'ikatan obat dengan sel orga. Belum
pernah digambarkan perubahan jaringan yang
disebabkan karena penetrasi barbiturat ke dalam sel
atau ikatan dengan protein plasma membentuk
lingkungan obat yang terikat dan tidak terikat di
dalam sirkulasi darah dan limpa, sehingga limpa
tampak membesar dan berwarna biru-ketitaman,
2. Efek tak langsung terhadap jaringan
Efek ini terutama disebabkan karena
Jaringan menderita hipoksia, oleh Karena itu perl
penanganan hewan dengan selayaknya sebelum
ewan mati dan lakukan pengolahan secepatnya dari
jaringan setelah hewan mati, untuk memperoleh
gambaran histologis/elektronmikroskop yang
optimal dengan perubahan yang minimal.
Kebutuhan jacingan terhadap oksigen amat
bervariasi. Yang paling peka adalah sel-sel neuron
23
Media Litbangkes Vol.II No.01/1992ARTIKEL
pada Susunan Syaraf Pusat, yang dapat dinilai pada
pemeriksaan dengan elektron-mikroskop. Pada
Jjaringan dimana kebutuhan oksigen tak sebesar sel-
sel neuron, seperti pada osteosit, kondrosit dari
tulang dan tulang rawan dan jaringan lainaya yang
tidak peka terhadap oksigen, akan sulit dideteksi
adanya perubahan, bahkan deagan pemeriksaan
elektronmikroskop.
DAFTAR PUSTAKA,
1. Guide 10 the care and use of experimental
animal, Canadian Council on Animal care, A
committee of the Association of Universities and
Colleges of Canada, Volume I, 70-76, 103-106
2. Hafez, B.S.E. (1970). Reproduction and
Breeding Techniques for Laboratory Animals Lea
& Febiger, Philadelphia, 220-348.
3. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan,
Direktorat Jendral peternakan, Direktorat
Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian, Edisi
1, Cotakan I, 2
4. Smith, J.B. & Soesanto Mangkoowidjojo (1988).
Pemeliharaan, pembiakan dan penggunazn
hewan percobaan di daerah tropis, Dept of
Education and Culture, Directorate General of,
Higher Education, Intemational Development
Programme of Australia Universities and
Collages, U.L. Press,
5. Sri Oemijati, Rianto Setiabudy, Arif Budijanto
(1987). Fedoman Etik Penelitian Kedokteran
Indonesia, F-K.U.L., Jakarta, 17-22.
SEKILAS (Sambungan dari halaman
~ Peneliti madya 1 orang
= Ahli peneliti muda orang
~ Ahli peneliti madya 3 orang,
~ Abii peneliti utama 1 orang
Laboratorium
Laboratorium yang ada di PPEK saat ini
terdiri dari :
1, Laboratorium lingkungan fisik
2, Laboratorium mamalogi
3. Laboratorium parasitologi hewan
4, Laboratorium entomologi
Hasil penelitian yang telah dicapai
Hasil penclitian yang telah dicapai oleh
PPEK selama ini telah mencapai lebih dari 100 buah
penelitian yang menyangkut masalah peran serta
masyarakat/sosia! budaya, ketenagaan litbangkes,
derajat kesehatan, masalah keschatan, penggunaan
sarana pelayanan kesehatan, pemberantasan vector,
sitogenetika, koleksi nyamuk (insektarium),
zoonosis, resistensi agen, pencemaran lingkungan.
Bila ditinjaw tujuan lithangkes dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, tampak
masih banyak ketinggalan yang harus dikejar. Hal
ini disadari karena keterbatasan sumber dana &
day.
Dalam rangka pengembangan kemampuan
tenaga peneliti, telah dilakukan upaya pengiriman
tenaga peneliti mengikuti pendidikan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Sedangkan untuk
pengembangan laboratorium lingkungan fisik PEK,
sedang upaya bantuan dari pemerintah Jepang.
Untuk dapat mencapai hasil yang optimal
dengan sumber dana dan daya yang terbatas perlu
ditingkatkan kerjasama dan koordinasi, baik antar
Puslit/Puslitbang dalam Badan Litbangkes maupun
antara Badan Litbangkes dengan Lembaga Penelitian
lain di luar Badan Litbangkes termasuk dalam hal ini
Perguruan Tinggi
Media Litbangkes Vol.II No.01/1992
24