Anda di halaman 1dari 7
ARTIKEL EUTHANASIA PADA HEWAN PERCOBAAN oleh : Drh. Dyah Widyaningroem Isbagio * PENDAHULUAN Kemajuan luar biasa dalam mengendalikan penyakit manusia dan hewan telah banyak tercapai. Walaupun demikian masih diraksakan adanya keperluan yang mendesak akan adanya penelitian ‘yang bertujuan untuk mencari metoda pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit yang belum didapatkan cara pengendaliannya yang memadai, khususnya penyakit tak menular dan menyakit ‘menular endemik didaerah beriklim panas. Selain itu untuk keperluan ilmu kedokteran, penelitian tentang penggunaan zat teraputik, profilaksis, diagnostik dan alat baru pada manusia, ‘merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, Syarat utama secara nasional maupun internasional dalam kode etik penelitian pada manusia, dan juga pada banyak perundang-undangan nasional, adalah bahwa zat atau alat baru tidak boleh digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali bila sebelumnya telah diuji pada hewan dan diperoleh kesan yang cukup mengenai keamanannya, Yang dimaksud dengan hewan adalah semua binatang yang hidup didarat, baik yang dipelihars maupun yang hidup secara liar, termasuk ikan. Hewan peliharaan atau hewan budidaya ilaha hewan, yang cara hidupnya untuk sebagian ditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu. Sedangkan istilah “Experimental animal” (hewan percobaan) dipakai untuk semua hewan vertebrata kehidupannya dipisahkan dari lingkungan alamnya dan digunakan untuk keperluan penelitian, pendidikan dan pengujian. Berbagai usaha yang telah dilakukan untuk meningkatan produktivitas sumber daya manusia perlu ditopang oleh penelitian pada hewan, baik hewan coba sebagai hewan model untuk berbagai * Peneliti pada Pusat Penelitian Penyakit Menular penelitian maupun hewan produksi sebagai sumber protein untuk manusia, Pada kenyataannya kita sebagai tenaga peneliti, tidak akan pernah lepas hubungannya dengan penelitian yang sewaktu-waktu pasti membutuhkan hewan percobaan sebagai sarananya Penggunaan hewan untuk meramalkan efek yang mungkin timbul dalam percobaan pada manusia, untuk penelitian fisiologik, patologik, toksikologik atau (eraputik, pencegahan, diagnostik’serta diagnosis infeksi, keracunan pada manusia dan hewan, atau untuk menguji sekumpulan preparat bidlogik yang tidak dapat diperiksa (kadarnya) dengan metode fisik, memerlukan pertimbangan etik. Sckalipun demikian, penggunaan hewan laboratorium hanya diizinkan bila diperlukan, dimana mungkin berbagai metode analisis statistik, model matematis, simulasi kompvter dan sistem biologi in-vitro harus diguaakan untuk melengkapi percobaan hewn dan mengurangi jumlah hewan yang digunakan, Perlu pertimbangan yang cukup ‘mengenai relevansinya terhadap keschatan manusia atau hewan, pergunakan spesies hewan dengan tingkat filogeni yang serendah mungkin yang masih memenuhi syarat untuk percobaan. Secara etis perlakukanlah hewan dengan selayaknya, sehingga tercapai kualitas hasil ilmiah yang didapat dari pereobaan hewan. Walaupun sedikit yang diketahui mengenai persepsi nyeri pada hewan, penelitian harus bertindak berdasarkan anggapan bahwa prosedur yang dapat menimbulkan nyeri fisik pada manusia dapat menimbulkan rasa nyeri yang sederajat pada hewan vertebrata Premidikasi dan dibawah anstesi sesuai dengan praktek kedokteran hewan yang lazim perlu diterapkan pada percobaan hewan yang diperkirakan menimbulkan sesuatu yang lebib dari sekedar rasa nyeri atau penderitaan yang ringan dalam waktu yang singkat. Nyeri pasca bedah harus dicegah atau dlikurangi dengan analgetika. Media Litbangkes Vol.II No.01/1992 18 ARTIKEL Seperti diketahui bahwa percobaan dengan hhewan akan sering memerlukan pembunuhan hewan untuk mendapatkan jaringan untuk penelitian in-vitro pada akhir atau sclama penelitian, untuk menilai bbagaimana efeknya. Selain itu pada akhir percobaan, hewan yang menggangu nyeri hebat atau kronik, penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dilakukan “euthanasia” ; hewan hharus dibunuh dengan cara yang layak. Manusia merupakan faktor yang amat penting dalam melakukan euthanasia, Karena itu peneliti atau teknisi periu untuk mengetahui cara euthanasia dan dapat mempergunakannya secara efektif dan manusiawi. Istilah “euthanasia” dipergunakan untuk elukiskan proses dengan cara bagaimana seckor hewan dibunuh dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti bahwa hewan dapat mati dengan mudah (“easy death"), jadi mati dengan perasaan tenang, tanpa adanya rasa sakit - rasa takut atau gelisah. Dengan demikian kriteria terpenting dari cara ini adalah adanya aksi depresi awal pada susunan syaraf pusat untuk memastikan adanya kekurang pekaannya terhadap perasaan sakit dengan segera Dalam melakukan euthanasi, perlu diketahui dan dipertimbangkan bagaimana pemilihan euthanasi yang tepat, penilaian kesakitan dan ketegangan, bagaimana ukuran ketidak-sadarannya, cara euthanasinya, dan bagaimana pengaruh cara cuthanasi terhadap jaringan. PEMILIHAN CARA EUTHANASL Pemifihan cara euthanasi tergantung dari sifat penelitiannya, spesies dari hewannya, dan juga dari jumlah hewan yang akan dimatikan. Mungkin pada beberapa kasus diperlukan penanganan secara individual, sedang yang lainnya sejumlah atau sekelompok hewan dapat ditangani secara simultan; dengan euthanasi massal. Kriteria yang harus dipenuhi baik itu euthanasi secara individual atau ‘massal adalah sebagai berikut a, Hewan mati tanpa memperlihatkan kepanikan, kesakitan dan kesukaran, b. Hilangnya kesadaran dalam jangka waktu yang singkat. cc. Dapat diandalkan dan diulang kembali d. Aman untuk orang yang mengerjakannya, €. Efek fisologis sesedikit mungkin. Sesuai dengan syarat dan tujuan penelitian. Efek yang sesedikit mungkin untuk observator dan operator. h, Pengaruh lingkungan seminimal mungkin. i, Mudah, murah, relatif bebas biaya dan peralatan hekanik. j. Lokasi cukup jauh dan terpisah dari ruangan tempat pemeliharaan hewan.. PENILAIAN KESAKITAN DAN KETEGANGAN Untuk menilai rasa sakit dan ketegangan hewan, maka individu yang melaksanakannya perlu mengetahui tingkah laku hewan dan respons fisologisnya. Dengan observasi secara subjektif dapat dipelajari bagaimana keadaan hewan dalam keadaan kesukaran bersuara, mengadakan perlawanan, lepasnya hambatan aktifias, mempertahankan serangan, tremor muskularis, dilatasi pupil, salivasi, refleks buang air besar dan air kecil, suara yang terengah-engah, berkeringat dan takikardi, Pada euthanasi proses kemstian hewan pada umunya akan melalui derajat kedua dari anestesi Mungkin akan terlikat adanya stadium delirium, exitement, aktifitas yang tak terkendali berupa gerak-gerakan yang tak terkoordinasi, mengamuk, menangis dan respom yang berkelebihan terhadap rangsangan yang menyakitkan. Pada keadaan ini elektronsefalogram akan memperlihatkan aktifiats elektrokortikal cepat lambat tanda dari depresi UKURAN TINGKAT KETIDAK-SADARAN Cara yang sering dilupakan untuk mengukur tingkat ketidak-sadaran dan kemampuan, untuk merasakan nyeri adalah refleks pabpebra, kornea dan kedip. Refleks ini dinilai dengan cara menyentuh kelopak mata hewan atau korneanya, hilangnya refe\leks kedip menunjukkan ketidak- sadaran, dengan demikian kurang peka tethadap rasa nyeri (kecuali pada penggunaan obat bentuk kurare, yang sengaja diberikan untuk melumpuhkan otot atau anestesi disosiatif yang menggunakan kloral hidrat atau ketamine hidroklorida dll). Pada hewan, dalam keadaan tak sadar atau tak peka terhadap perasaan nyeri, gambaran elektroensefalogram terlihat datar atau isoelektrik, 19 Media Lithangkes Vol. No.01/1992 ARTIKEL Untuk memastikan kematian hewan diperlukan penghentian aliran darah ke otak, jadi denyut jantung harus berhenti. Tidak seperti pada manusia, walaupun denyut jantung menetap untuk beberapa lama, asalnya refieks konea tak ada atau elektroensefalogram rata, hewan sudah dianggap mati. Pastikan dahulu bahwa pada hewan yang dibunub tak terjadi rekoveri, sebelum membuang hewan. Penting sekali dipastikan bahwa denyut jantung telah berhenti. Tak adanya aktifitas atau pengerakan otot tak dapat diguaakan sebagai pedoman dari ketidak-sadaran atau ketidak- pekaannya terhadap rangsangan rasa sakit, walaupun tak adanya pergerakan yang lama menunjukkan bahwa hewan mati CARA-CARA ETANASI Penting untuk diketahui bahwa beberapa cara euthanasi secara estetika tidak menyenangkan, seperti dekapitasi (pemenggalan kepala), stunning (dibuat pingsan) dan eksanguinas Pengertian ini perlu diketahui untuik menentukan cara euthanasi maka yang akan dipakai. Meskipun kepekaan observator atau operator tak dapat dihindarkan, pemilihan cara euthanasi harus lebih berdasarkan kepekaan dari hewan yang akan dimatikan dari pada kepekaan dari observator atau operator. Banyak usaha telah dicurahkan terhadap pengembangan cara euthanasi yang dapat diterima. Walaupun demikian, tetap terdapat adanya pendapat yang berbeda antara para ilmuwan dan masyarakat. Menurut penelitian yang terakhir, pedoman berikut sudah berdasarkan penilaian yang secara umum dapat diterima. Untuk pemakaian dimasa mendatang diharapkan adanya perbaikan penelitian dengan cara yang lebih manusiawi. Pada dasarnya euthanasi dapat dilakukan secara fisik, dengan pemakaian zat farmakologis yang non-inhalan, secara anestesi perinhalasi, dengan pemberian gas yang non-anestetik, zat-zat transkuiliser, zat-zat bentuk kurare, striknin dan nikotin sulfat. 1. Euthanasi secara fisik Cara ini digunakan bila cara yang lain dapat mengganggu informasi yang diharapkan. Misalnya pada pemberian kloroform atau eter akan menyebabkan kenaikan kortikosteron plasma (kortisol, katekolamin, sedangkan dengan cara dekapitasi tidak. Bila bahan-bahan kimia dan ensim- ‘ensim jaringan merupakan subjek yang akan diamati maka seringkali diperlukar, pembunuhan hewan dengan cara fisik. Yang termasuk dalam euthanasi secara fisik adalah dengan cara menuliskan hewan ("Stunning"), dislokasi servical ("cervical dislocation"), pemberian in listrik (“electrocution”), pemenggalan leher (decapitation) dan penembakan (“shooting”). Walaupun masih memerlukan penelitian lebih Tanjut untuk spesies-spesies hewan tertentu, yang terbatas pada ukuran besar hewan, menurut penelitian terakhir, maka pecelupan seluruh hewan kedalam cairan nitrogen dan pemaparan hewan dengan gelombang mikro, telah diperkenalkan sebagai tambahan cara pembunuhan hewan secara fis Pembunuhan hewan secara fisik dengan cara stunning biasanya dipergunakan untuk membunuh hewan percobaan yang tergolong rodent kecil. Secara estetika cara ini tidak menyenangkan. Dengan melakukan tiupan pada tulang tengkorak pusat dengan tenaga yang cukup besar akan terjadi perdarahan serebral yang hebat sehingga mengakibatkan depresi pada Susunan Syaraf Pusat dengan cepat, akibatnya hewan dengan segera hilang kepekaannya terhadap rasa sakit. Setelah stunning selesai dilakukan, pembuluh darah utama hewan harus diinsisi dengan segera, rongga dada dibuka, dan otot jantung dipotong. Cara decompression bertujuan agar Jingkungan hewan kekurangan oksigen dalam wakts singkat. Jadi pada hewan dilakukan simulasi, seolah- olah pada ketinggian diantara 50.000 sampai 60.000 kaki. Hal yang tidak menguntungkan ialah gas yang terperangkap (misalnya dalam sinus atau usus) tidak dapat dikeluarkan, Gas tersebut terlebih dahulu akan menekan sekitarnya (pada kondisi dimana tekanan udara rendah) dan menyebabkan rasa sakit sebelum cfek anoksia otak tercapai Teknik cervical dislocation dengan menggunakan alat-alat yang tersedia secara komersiil, amat praktis dilakukan pada mencit, tikus, hewan spesies kecil ainnya yang serupa dan juga kelinci. Dilakukan dengan cara memisahkan tengkorang dan otak dari sumsum nilang belakang. Teknik untuk melakukan metode ini ialah dengan Media Lithangkes Vol. No.01/1992 20 ARTIKEL memberikan tekanan ke bagian posterior dasar tulang tengkorak dan sumsum tulang belakang. Bila sumsum tulang belakang terpisah dari otak, reflek kedip menghilang dengan segera, rangsangan rasa sakit menghilang schingga hewan tak peka rasa sakit Teknik electrocution jarang digunakan dalam laboratorium, kecuali pada beberapa institusi kedokteran hewan untuk destruksi hewan peliharaan besar. Care ini sering dilakukan untuk membunuh ikan atau reptil, Untuk aplikasi cara ini, spesies hewan ini harus didinginkan dulu, dimasukkan kedalam refrigerator (suhu 4° C), supaya aktifitas ‘metabolismenya lebih rendah, sebagai penyebab tingkat permutaan depresi. Dapat pula digunakan untuk membunub anjing, tak dianjurkan untuk membunuh kucing, Bila teknik ini dilakukan, mula- mula letakkan elektroda pada telinga hewan, Kemudian berikan kejutan awal melalui otak untuk menghasilkan depresi Susunan Syaraf Pusat (seperti pada cara stunning). Kemudian berikan kejutan kedua yang menyebabkan fibrilasi jantung, sehingga merusak aliran darah (02) ke otak. Untuk eutharasi kodok, amfibi lainnya dan reptil, digunakan cara pembunuhan hewan dengan teknik pithing, yaitu dengan jalan merusak otaknya. Teknik ini amat memeriukan persyaratan baik keterampilan maupun kecakapan operator. Setelah hewan didinginkan pada suhu 4? C, maka hewan digenggam dengan tangan dan ditekan kepalanya dengan ibu-jari, sehingga sambungan antara tulang tengkorak dengan tulang atlas dapat dimanipulasi dan didentifikasi. Kemudian masukkan "probe" berbentuk tajam menembus kulit masuk diantara tulang tengkorak dan tulang atlas, kemudian dengan gerakan berkelok-kelok probe didorong kedepan melalui foramen magnum kedalam rusng kranial Pada teknik double pithing, sumsum tulang belakang juga dirusak, yaitu dengan memindahkan arah dari probe, probe didorong kebelakang masuk kedalam vertebra servikal, sehingga hubungan antara sentral syaraf spiral terputus Walaupun teknik decapitation secara estetika tidak menyenangkan, tetapi pada jenis rodent dan spesies hewan kecil lainnya yang serupa, akan menyebabkan hilangnya dengan segera refleks kedip dan datarnya elektroensefalogram. Penelitian telah membuktikan bahwa efeknya hampir sama dengan cara pemberian preparat berbiturat secara intra-vena, Cara yang paling efektif di lapangan untuk ‘membuauh hewan secara manusiawi adalah dengan cara shooting. Harus dilakukan oleh operator yang betul-betul abli, subjeknya harus ditembak dari jarak yang dekat dan pelurunya harus detul-betul mengenai otak, dengan maksud membuat hewan tidak peka dengan segera terhadap kesakitan Diperlukan peralatan senapan dengan kaliber 12 atau 20, bedil berkaliber 22 atau pistol, tergantung dari spesies dan besarnya hewan yang akan dibunuh, 2. Dengoa pemakaian zat farmakologik yang ton-inhalan Antara lain dengan pemakaian asam barbiturat dan derivatnya, campuran barbiturat, ‘magnesium sulfat dan larutan etanasi T-61. Pada kebanyakan euthanasi baik secara estetika maupun secara ilmiah, sodium pentobarbital dan derivat barbiturat lainnya paling sering digunakan dan merupakan zat pilihan. Biasanya diberikan secara intra-vena. Pemberian secara intra- peritoneal merupakan kontra-indikasi. Walaupun tidak dianjurkan, cukup efektif bila diberikan secara intra-kardial, pemberian dengan cara ini memerlukan keahlian khusus untuk menentukan Jantung dengan tepat dan dianjurkan pemberian obat penenang sebelumnya. Bila tidak tepat mengenai jantung, absorbsi obat rendah sehingga kematian terbambat karena onset efek anestetik yang dihasilkan amat lambat. Pada ayam dapat digunakan kloral hidrat dan ketamine hidroklorida secara intra-peritoneal. Zat ini termasuk anestetik yang dissosiatif, sehingga tidak kehilangan refleks kedip pada satidum anestetik. Pemberian Laruran 7-61 yang mengandung anestetik Lokal, secara intra-vena ztau intra-kardial yang berdaya kerja seperti daya kerja obat yang mempunyai efek paralise pada pusat pernapasan dan efek relaksasi pada otot kerangka; menekan kuat SSP dan menyebsbkan ketidak-sadaran (kematian tak). Dengan pemakaian MgSO4 sebagai "neuro- mascular blocking agent”. Zat ini tidak dapat dipakai sebagai anestetik, Karena tidak menekan a Media Litbangkes Vol.I No.01/1992 ARTIKEL SSP. Pada pemakaian zat MgSO4 ini, harus selale didabului dengan pemberian barbituret untuk menimbufkan ketidak-sadaran. Pemberian secara cepat dengan dosis yang cukup besar akan ‘menyebabkan dengan segera terjadinya henti jantung cardiac arrest"). Aplikasinya hanya dapat dilakukan secara intra-vena, pemberian secara intra- Peritoneal merupakan kontra-indikasi. 3. Dengan pemberian zat anestetik secara inhalasi. Cara ini digunakan untuk spesies hewan tertentu bila suntikan intra-vena sukar dilakukan Yang termasuk dalam zat anestetik inhalasi antara Jain adalah eter, kloroform, halothane, metoksifluran dan nitrous oksida yang digunakan dalam bentuk uap. Dalam beberapa hal terdapat kerugian euthanasi dengan teknik ini, yaitu terjadinya “struggling” dari hewan yang dietanasi yang berhubungan dengan derajat eksitasi dari anestesi. Hal ini mungkin disebabkan oleh iritasi asap dari beberapa gas-gas anestetik schingga terjadi eksitasi Pemakaian eter atau Kloroform relatif tidak mahal bile dibandingkan dengan menggunakan halothane, metoksifluran dan nitrous osida. Walaupun tidak diperlukan sekali, mungkin diperlukan bantuan peralatan khusus untuk mengurangi pemborosan biaya dan kontaminasi terhadap lingkungan. Sistem tempat pembuangan yang memada: harus pula dipertimbangkan. Eter merupakap bahan yang mudah meledsk dan mudah terbakar, perlu dilakukan tindakan pencegahan yang tepat pada waktu membuka kontainernya, diusahakan jangan diperlukan dekat api atau dekat peralatan listrik yang tak memadai.. Q\A_ Pemakaian kloroform tidak dianjurkan pada \oloni rodent, Karena mempunyai efek toksik pada hati, ginjal, alat kelemin jantan dan juga bersifat karsinogenik 4. Dengan menggunakan gas-gas yang bersifat non-anestetik ‘Yang termasuk dalam gas-gas yang bersifat non-anestetik antara Iain karbon-moncksida, karbon- dioksida, nitrogen dari tersedianya pengantian oksigen dalam kontainer oksigen dengan gas tersebut. Pada penggunaan karbon monoksida dan sianida harus dilakukan tindakan pencegahian dan perlindungan untuk menghindarkan rangsangan terhadap manusia dan hewan lainnya oleh gas yang amat beracun ini, Perlu dilengkapi dengan peralatan pembuangan khusus (difiltrasi dan didinginkan) yang telah distandarisasi untuk memastikan adanya produk bebas yang mengganggu karena zat tersebut amat toksik dan mungkin mematikan, Karbon- dioksida dan nitrogen relatif tak berbahaya bila bebas didalam ruangan. Vertilasi ruangan etanasi harus secukup mungkin, sehingga pertukaran udara dengan gas yang dipergunakan dapat terjadi secara cepa Penggunaan karbon-monoksida dengan konsentrasi kurang dari 2 %, akan menyebabkan perubahan yang irreversible pada haemoglobin sel darah merah, sehingga terjadi paralise pada pusat respirasi dan jantung, akibatnya hewan akan mati dengan segera, pada kucing dan anjing sering disertai dengan adanya suara-suara, kematian terjadi 3-5 menit kemudian. Kecepatan terjadinya kematian cersebut amat bervariasi, tergantung dari waktu pemberian dan konsentrasinya. Karbon-dioksida, diperjual-belikan dalam bentuk gas didalam kontainer silinder atau es kering (Cary ice*) dalam bentuk padat. Harganya relatif tidak mahal, tak mudah terbakar, tak mudah meledak dan secara essensial bila dipergunakan secara tepat tidak membahayakan bagi operator. Secara luas banyak dipergunakan pada laboratoriura ewan percobaan untuk mebunuh rodent. Welaupun dapat dipergunakan pula pada kucing tetapi penggunaan pada anjing tidak dianjurkan, karena tidak mengakibatkan depresi pada SSP, bahkan menyebabkan rangsangan, tetap peka terhadap rangsangan sakit, terjadi hiperventilasi, hewan menjadi tidak dapat berorientasé, meronta-ronta, sempoyoagan dan jatuh. Pemberian campuran CO2 dengan kloroform, akan meniadakan efek hiperventilasi. CO2 akan menyebabkan efek dilatasi pembuluh darah di otak, sehingga memperluas kKontaknya terhadap kloroform, sehingga kolaps akan terjadi dalam waktu 3-10 detik pada kucing, dan 30 detik pada anjing. Penggunaan nizrogen untuk euthanasi pada Media Litbangkes Vol.I1 No.01/1992 2 ARTIKEL kucing dan rodent, mempunyai manfxat sama dengan pemberian CO2, walaupun pada anjing masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Keuntungan pemakaian kedua macam zat ini ialah tidak membahayakan pada orang maupun hewan lain disekitarnya. Pemberian N2 sampai sebesar 1.5 % akan menyebabkan paralise dari pusat pernapasan, diikuti dengan kolapsnya hewan, kemudian mati Sianida, merupakan agen penyebab paralise yang kuat sel respirasi. Siaft irreversibilitasnya ‘mengakibatkan terjadinya anoksia dengan cepat, sehingga terjadi depresi pada SSP, dan kematian cepat terjadi tanpa adanya rasa sakit, walaupun hewan menderita konvulsi sebelum kematiannya yang akan menyusahkan pengamat. Walaupun demikian sianida tidak dianjurkan untuk dipakai dilaboratorium karena bahan ini amat berbahaya untuk operator dan hewan disekitamya: 5. Dengan pemberian zat-zat transkuiliser Banyak tersedia secara_komersiil, pemberiannya dapat secara oral, sub-kutan, intra~ muskuler atau intra-vena. Walaupun demikian tidak dianjurkan pemakaiannya pada ctanasi, karena biayanya mahal, relatif tidak efisien, pada dosis, tinggi menghasilkan efek farmakologik yang berbeda. Pemakaian zat transkuliser dianjurkan hanya sebagai obat penenang pada setiap aplikasi etanasi pada anjing, kucing dan kelinci. 6. Pemakaian zat-zat bentuk kurare, striknin dan nikotin sulfat Bahan-bahan bentuk kurare, termasuk suksinilkolin, D-tubokurarin, organofosfat, striknin dan nikotin sulfat tidak dianjurkan untuk etanasi, karena tidak mempunyai efek depresi pada SSP, tetapi bereaksi pada "neuro-muscular junctions” Kematian hewan terjadi karena paralisis otot respirasi, dengan cepat terjadi hipoksia otak, hewan. tetap sadar sehingga dalam proses kematiannya hewan amat menderita sekali EFEK EUTHANASI TERHADAP JARINGAN Efek terhadap jaringan dapat terjadi secara Jangsung atau tak langsung. Pada pemeriksaan secara histologik dengan elektronmiskroskop dapat berakibat hanya pada Komponen bagian intra- vaskuler saja atau dapat terjadi sedemikian cepat, maka tidak tampak adanya perubahan histologik, atau terdapat perubahan yang minimal sekali 1, Efek langsung terhadap jaringan Secara umum, efek lansung euthanasi erhadap jaringan tidak jelas, terutama pada zat-zat farmakologis yang bersifat non-inhalan. Perubahan yang terjadi pada euthanasi yang menyebabkan anoksia tergantung dari kecepatan induksinya dan terjadinya perubahan gas didalam darah. Pada keadaan anoksia, pada pengamatan secara makro mungkin akan terlihat bendungan pulmoner dan udema, yang tingkatannya tergantung dari kecepatan kematian. Pada anjing yang mati karena menderita hipoksia pada anestesi dekompresi cepat dapat ditemukan badan-badan lamelar di dalam sel Purkinye dari serebelum. Rangkaian perubahan biokimia dan morfologik dari sel-sel neuron dan sel- sel glial belum diketahui secara rinci. Tidak tampak adanya perubahan yang jelas pada saluran pemapasan yang mengalami hipoksia Preparat barbiturat yang disuntikkan secara intra-vaskuler akan terionisasi. Derajat ionisasinya tergantung dari konstanta disosiasi obat dan pH darah. Obat yang tak terdisosiasi akan mengalami penetrasi ke dalam sel kemudian akan terdisosiasi lagi dan kemudian akan terjadi ikatan obat dengan sel kemudian akan terdisosiasi lagi dan kemudian akan terjadi'ikatan obat dengan sel orga. Belum pernah digambarkan perubahan jaringan yang disebabkan karena penetrasi barbiturat ke dalam sel atau ikatan dengan protein plasma membentuk lingkungan obat yang terikat dan tidak terikat di dalam sirkulasi darah dan limpa, sehingga limpa tampak membesar dan berwarna biru-ketitaman, 2. Efek tak langsung terhadap jaringan Efek ini terutama disebabkan karena Jaringan menderita hipoksia, oleh Karena itu perl penanganan hewan dengan selayaknya sebelum ewan mati dan lakukan pengolahan secepatnya dari jaringan setelah hewan mati, untuk memperoleh gambaran histologis/elektronmikroskop yang optimal dengan perubahan yang minimal. Kebutuhan jacingan terhadap oksigen amat bervariasi. Yang paling peka adalah sel-sel neuron 23 Media Litbangkes Vol.II No.01/1992 ARTIKEL pada Susunan Syaraf Pusat, yang dapat dinilai pada pemeriksaan dengan elektron-mikroskop. Pada Jjaringan dimana kebutuhan oksigen tak sebesar sel- sel neuron, seperti pada osteosit, kondrosit dari tulang dan tulang rawan dan jaringan lainaya yang tidak peka terhadap oksigen, akan sulit dideteksi adanya perubahan, bahkan deagan pemeriksaan elektronmikroskop. DAFTAR PUSTAKA, 1. Guide 10 the care and use of experimental animal, Canadian Council on Animal care, A committee of the Association of Universities and Colleges of Canada, Volume I, 70-76, 103-106 2. Hafez, B.S.E. (1970). Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals Lea & Febiger, Philadelphia, 220-348. 3. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian, Edisi 1, Cotakan I, 2 4. Smith, J.B. & Soesanto Mangkoowidjojo (1988). Pemeliharaan, pembiakan dan penggunazn hewan percobaan di daerah tropis, Dept of Education and Culture, Directorate General of, Higher Education, Intemational Development Programme of Australia Universities and Collages, U.L. Press, 5. Sri Oemijati, Rianto Setiabudy, Arif Budijanto (1987). Fedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia, F-K.U.L., Jakarta, 17-22. SEKILAS (Sambungan dari halaman ~ Peneliti madya 1 orang = Ahli peneliti muda orang ~ Ahli peneliti madya 3 orang, ~ Abii peneliti utama 1 orang Laboratorium Laboratorium yang ada di PPEK saat ini terdiri dari : 1, Laboratorium lingkungan fisik 2, Laboratorium mamalogi 3. Laboratorium parasitologi hewan 4, Laboratorium entomologi Hasil penelitian yang telah dicapai Hasil penclitian yang telah dicapai oleh PPEK selama ini telah mencapai lebih dari 100 buah penelitian yang menyangkut masalah peran serta masyarakat/sosia! budaya, ketenagaan litbangkes, derajat kesehatan, masalah keschatan, penggunaan sarana pelayanan kesehatan, pemberantasan vector, sitogenetika, koleksi nyamuk (insektarium), zoonosis, resistensi agen, pencemaran lingkungan. Bila ditinjaw tujuan lithangkes dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, tampak masih banyak ketinggalan yang harus dikejar. Hal ini disadari karena keterbatasan sumber dana & day. Dalam rangka pengembangan kemampuan tenaga peneliti, telah dilakukan upaya pengiriman tenaga peneliti mengikuti pendidikan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sedangkan untuk pengembangan laboratorium lingkungan fisik PEK, sedang upaya bantuan dari pemerintah Jepang. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal dengan sumber dana dan daya yang terbatas perlu ditingkatkan kerjasama dan koordinasi, baik antar Puslit/Puslitbang dalam Badan Litbangkes maupun antara Badan Litbangkes dengan Lembaga Penelitian lain di luar Badan Litbangkes termasuk dalam hal ini Perguruan Tinggi Media Litbangkes Vol.II No.01/1992 24

Anda mungkin juga menyukai