Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan
karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi
keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada. Penyakit jantung koroner (PJK)
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan
unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara
yang sedang berkembang, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan
menjadi masalah kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009).
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit
jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di seluruh
dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta
(Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya
3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK (World Health Organization, 2006).
Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI pada
tahun 1986, PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian pada usia di atas 45
tahun, pada tahun 1992 naik menjadi peringkat kedua dan sejak tahun 1993 menjadi peringkat
pertama. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK menempati peringkat ke-3 penyebab
kematian setelah stroke dan hipertensi (Tanuwidjojo, 2003).
PATOFISIOLOGI
Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol tertimbun di intima arteri besar. Timbunan ini
dinamakan ateroma atau plak yang akan mengganggu absorbsi nutrien oleh sel-sel endotel yang
menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena timbunan
ini menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami
nekrotik dan menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran darah
terhambat (Smeltzer & Bare, 2002 ).
Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang
mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat
sementara akan menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan
fungsi miokardium. Apabila iskemia ini berlangsung lebih dari 30 – 45 menit akan menyebabkan
kerusakan sel yang sifatnya irreversible serta nekrosis atau kematian otot jantung. Bagian yang
mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen. Otot yang
mengalami infark mula-mula akan tampak memar dan sianotik akibat berkurangnya aliran darah
regional. Dalam waktu 24 jam akan timbul edema pada sel-sel, respons peradangan disertai
infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung akan dilepaskan oleh sel-sel yang mengalami kematian.
Menjelang hari kedua atau ketiga, mulai terjadi proses degradasi jaringan dan
pembuangan semua serabut nekrotik. Selama fase ini, dinding nekrotik relatif tipis. Pada waktu
sekitar minggu ketiga, akan mulai terbentuk jaringan parut, lambat laun jaringan ikat fibrosa
menggantikan otot yang nekrosis dan mengalami penebalan yang progresif. Pada minggu
keenam, jaringan parut sudah terbentuk dengan jelas sehingga akan menurunkan fungsi ventrikel
karena otot yang nekrosis kehilangan daya kontraksi sedangkan otot yang iskemia disekitarnya
juga mengalami gangguan daya kontraksi.
Suatu plak aterosklerosis lanjut, menunjukkan beberapa ciri yang khas (Aaronson&
Ward, 2010):
1. Dinding arteri menebal secara fokal oleh proliferasi sel otot polos intima dan deposisi
jaringan ikat fibrosa sehingga membentuk suatu selubung fibrosa yang keras. Selubung
ini menonjol ke dalam lumen vaskular yang mengakibatkan aliran darah berkurang dan
seringkali menyebabkan iskemia pada jaringan yang disuplai oleh arteri yang mengalami
penebalan.
2. Suatu kumpulan lunak dari lipid ekstraselular dan debris sel berakumulasi di bawah
selubung fibrosa. Akumulasi lemak melemahkan dinding arteri yang mengakibatkan
selubung fibrosa robek sehingga darah masuk ke dalam lesi dan terbentuk trombus.
Trombus dapat terbawa melalui aliran darah sehingga menyebabkan embolisasi
(penyumbatan) pembuluh darah yang lebih kecil. Sumbatan ini dapat menyebabkan
infark miokard jika terjadi dalam koroner.
3. Endotel di atas lesi dapat menghilang sebagian atau seluruhnya. Hal ini dapat
menyebabkan pembentukan trombus yang terus berlanjut sehingga menyebabkan oklusi
aliran intermiten seperti pada angina tidak stabil.
4. Lapisan sel otot polos media di bawah lesi mengalami degenerasi. Hal ini melemahkan
dinding vaskular yang dapat mengembang dan akhirnya mengakibatkan ruptur atau
aneurisma.
Arteri yang mengalami aterosklerotik dapat mengalami spasme sehingga dapat menghambat
aliran darah dan memacu pembentukan trombus.
KLASIFIKASI
Lewis,S.L., Heitkemper,M.M., Dirksen, S.R., O’brien, P.G. & Bucher,L. (2007). Medical
Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems. Sevent Edition. Volume 2.
Mosby Elsevier
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G., (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC
Setyani, Rani. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner Pada Usia Produktif (< 55 tahun) [Versi elektronik]. Airlangga University Digital
Library.
Tanuwidjojo S, Rifqi S. (2003). Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap
cardiology-update. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
World Health Organization. (2006). Deaths from coronary heart disease. Diakses 13 Desember
2010 dari www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf