Anda di halaman 1dari 16

EVALUASI KEBIJAKAN INVESTMENT ALLOWANCE

BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN


PAJAK

RENDY NIZALDY
1206318615
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Sarjana Ekstensi Ilmu
Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Abstrak. Penelitian ini merupakan kajian evaluasi terhadap kebijakan tunjangan


investasi di Indonesia akibat adanya masalah prosedural dan tren penurunan
investor yang mengajukan dan mendapatkan fasilitas pajak penghasilan ini dengan
menggunakan perspektif prinsip kebijakan pajak yang baik. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pendekatan penelitian kualitatif.
Jenis penelitian ini berdasarkan tujuannya adalah penelitian deskriptif,
berdasarkan manfaat adalah penelitian murni, berdasarkan dimensi waktu adalah
penelitian cross sectional, dan dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tunjangan investasi di Indonesia belum
memenuhi kriteria yang terdapat dalam prinsip kesederhanaan, netralitas, serta
pertumbuhan dan efisiensi ekonomi. Peneliti menyarankan perlu adanya
perubahan dan/atau penyederhanaan peraturan terkait untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas kebijakan ini.

Kata kunci: tunjangan investasi, prinsip-prinsip kebijakan pajak yang baik

Abstract. This research is an evaluation study of investment allowance policy in


Indonesia because of procedural problem and a decreasing trend of its utilization
by the investors by using the framework of good tax system. The Method used by
this is including a qualitative approach. The type of this research according to its
purpose is a descriptive research, to its utility is a pure research, cross sectional,
and using qualitative data collection technique. The result shows that investment
allowance policies in Indonesia haven’t met the criterion of simplicity, neutrality,
and economic growth and efficiency principles. Researcher suggests that the
regulations of investment allowance need to be deregulate and/or simplified in
order to increase the effectiveness and efficiency of this tax policy.

Keyword: investment allowance, good tax system principles

PENDAHULUAN

Investasi merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong


pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tanpa adanya investasi, suatu negara dapat
menikmati tingkat konsumsi yang tinggi, tetapi hal ini dapat menimbulkan

1 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
masalah berupa ketidakseimbangan ekonomi (Pettinger, 2008). Berdasarkan
Investor Daily dalam Wirahman (2008), terdapat faktor-faktor utama dan faktor
tambahan yang menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi. Insentif
(termasuk insentif pajak) menurut data tersebut termasuk dalam faktor tambahan.
Insentif pajak memang bukan merupakan faktor utama yang menjadi
pertimbangan investor. Namun, bukan berarti tidak memiliki efek apapun dalam
penanaman modal. Insentif berperan sebagai penentu terhadap pilihan lokasi
investasi yang memiliki karakteristik serupa. Sehingga lebih tepat jika insentif
pajak disebut mempengaruhi keputusan beberapa investor pada waktu tertentu
(Morisset, 2003). Untuk itu, kebijakan insentif pajak yang efektif sangat
dibutuhkan dalam menarik minat para investor.
Kebijakan Investment Allowance sebagai suatu insentif pajak dalam hal
penanaman modal selama ini dirasa kurang efektif untuk menarik minat investor.
Pelaksana Tugas Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang
Brodjonegoro menyatakan bahwa insentif tax allowance mengalami masalah
persyaratan dan sering menimbulkan miskoordinasi antara pihak terkait sehingga
diperlukan penyederhanaan prosedur serta membuat insentif lebih menarik, karena
selama ini kurang populer (“Peraturan Kebijakan”). Untuk itu, perlu adanya kajian
dalam rangka evaluasi terhadap kebijakan investment allowance di Indonesia.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan
kebijakan investment allowance. Fasilitas pajak tersebut diatur dalam Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah
Nomor 1 tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 tahun 2012 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah
Tertentu, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.11/2012 tentang
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-
Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Perlu ada kajian yang
lebih dalam mengenai konsep dan teori kebijakan pajak atas pemberian fasilitas
investment allowance yang menjadi landasan perumusan peraturan-peraturan di
atas. Hal itu perlu dilakukan untuk mengetahui dengan pasti sudut pandang yang
harus digunakan dalam melakukan evaluasi kebijakan.

2 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Dalam rangka implementasi peraturan-peraturan di atas terdapat berbagai
masalah yang menyebabkan kebijakan investment allowance kurang efektif.
Banyak calon investor yang merasa kurang membutuhkan fasilitas pajak
penghasilan itu. Selain karena masalah prosedur yang dinilai berbelit-belit, juga
karena mereka lebih memilih tidak memanfaatkan fasilitas tersebut dengan alasan
tidak ingin diperiksa oleh kantor pajak yang mana merupakan syarat mutlak untuk
memanfaatkannya. Selain itu, terdapat juga masalah di pihak-pihak berwenang
dalam proses pemberian fasilitas investment allowance, yakni Kementrian
Keuangan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Koordinasi
Penanaman Modal. Sering terjadi miskoordinasi antar para pihak tersebut yang
menyebabkan lambatnya proses pemberian persetujuan pemanfaatan fasilitas.
Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan di atas maka kajian yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah evaluasi tentang kebijakan investment
allowance yang berlaku di Indonesia ditinjau secara konseptual dan teoritis
berdasarkan konsep dam teori supply side tax policy, serta evaluasi kebijakan
investment allowance berdasarkan prinsip simplicity (kesederhanaan), neutrality
(netralitas), economic growth and efficiency (pertumbuhan dan efisiensi ekonomi).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini


berdasarkan tujuannya adalah penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaatnya,
merupakan penelitian murni karena memiliki orientasi akademis. Penelitian
termasuk jenis penelitian cross-sectional yang dilakukan pada bulan April – Juni
2014 dan dilanjutkan pada bulan Sepember – Desember tahun yang sama.
Data dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data kualitatif, antara lain
wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini
adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), PT.ABC selaku wajib pajak, dan Akademisi. Analisis data dilakukan
melalui proses pereduksian dan pengelompokkan data yang relevan dengan
pertanyaan penelitian.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Diantaranya keterbatasan dari diri peneliti sendiri yakni dalam

3 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
hal waktu, jarak, tenaga, dan dana yang tersedia. Sedangkan keterbatasan yang
berasal dari luar diri peneliti antara lain seperti kesulitan dalam mendapatkan
informan, tidak dapat melakukan wawancara face to face karena kesibukan
informan sehingga informasi didapat dengan bertukar email, keterbatasan dalam
mendapatkan nama investor yang mengajukan perizinan investment allowance
karena bersifat confidential.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terbatas dalam membahas
mengenai kebijakan investment allowance yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya
peneliti juga hanya akan membahas mengenai kebijakan tersebut ditinjau dari
konsep Supply Side Tax Policy. Peneliti juga terbatas hanya melakukan evaluasi
kebijakan investment allowance berdasarkan prinsip Simplicity, Neutrality, dan
Economic Growth and Efficiency menurut AICPA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Investment allowance adalah bentuk pengurang dalam menghitung


penghasilan kena pajak serta sebagai tunjangan depresiasi. Investment allowance
diberikan kepada investor yang melakukan penanaman modal tertentu sebesar
investasi yang dilakukan untuk dimanfaatkan dalam satu tahun atau lebih (Easson,
2004). Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD), contoh fasilitas investment allowance yang biasa diberikan, antara lain
depresiasi yang dipercepat dan pengurang penghasilan neto (2001). Berdasarkan
teori para ahli tersebut, disimpulkan bahwa legal character investment allowance
adalah suatu bentuk pengurang penghasilan kena pajak bagi investor yang
melakukan penanaman modal tertentu. Dengan kata lain adalah: (1) special; (2)
deductions; (3) on taxable income.
Fasilitas pajak yang tercantum dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Pajak Penghasilan,
antara lain berupa pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi yang
dipercepat; kompensasi kerugian yang lebih lama, dan pengenaan Pajak
Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 sebesar 10%
(sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah. Dilihat dari jenis fasilitas yang diberikan dalam

4 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut, terlihat bahwa jenis fasilitas yang
diberikan relatif sama dengan yang ada pada teori OECD maupun Easson. Dalam
penjelasan Pasal tersebut juga dijelaskan bahwa tujuan diberikannya fasilitas
adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-
bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
Dengan berdasarkan kepada bunyi Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan di atas, disimpulkan bahwa fasilitas pajak yang tercantum pada pasal
tersebut merupakan investment allowance. Sesuai dengan legal character-nya
yaitu special, deduction, on taxable income. Special, berarti fasilitas itu bersifat
khusus dengan persyaratan tertentu. Fasilitas yang tercantum pada Pasal 31A
diberikan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau
daerah-daerah tertentu, sehingga sesuai dengan terminologi special.
Kedua, deduction yang berarti pengurang. Semua fasilitas yang diberikan
pada akhirnya akan mengurangi jumlah penghasilan penghasilan kena pajak
sehingga menyebabkan Pajak Penghasilan yang harus dibayar menjadi lebih
rendah. Oleh sebab itu legal character yang kedua terpenuhi. Selanjutnya, legal
character yang terakhir adalah on taxable income. Dari penjelasan sebelumnya
diketahui bahwa fasilitas pajak menurut Pasal 31A akan menjadi pengurang
penghasilan kena pajak, sehingga dapat dipastikan legal character yang ketiga
juga terpenuhi. Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa fasilitas pajak yang
tercantum pada Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan
kebijakan pajak investment allowance.
Supply side policy adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan
penawaran atau dengan kata lain, menggeser kurva penawaran ke sebelah kanan.
Maksudnya, kebijakan yang memberikan dorongan bagi produktivitas produsen
sehingga mampu menghasilkan produk lebih banyak lagi. Contoh dalam bidang
perpajakan adalah pemberian stimulus dari sisi pajak melalui kebijakan tax cut
sehingga produsen memiliki dana setelah pajak yang lebih banyak dan dapat
digunakan untuk memperluas usahanya dengan melakukan belanja modal atau
tenaga kerja yang secara langsung mampu untuk meningkatkan produktivitas.

5 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Beberapa tujuan dari konsep Supply Side, antara lain adalah untuk
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM), meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, meningkatkan moblilitas tenaga kerja, meningkatkan investasi modal dan
litbang oleh perusahaan, meningkatkan kompetisi dan mempercepat penemuan
dan inovasi, memberikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa inflasi, serta
mendorong pertumbuhan dan perluasan bisnis. (Riley, 2012)
Jika melihat karakteristik investment allowance yang berlaku di Indonesia
dalam Pasal 31A. Di batang tubuh dan penjelasan pasal tersebut, diberikan
terhadap penanaman modal di bidang usaha dan/atau daerah yang mendapat
prioritas nasional. Dengan kata lain, adalah sektor-sektor yang memiliki potensi
besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Diharapkan dengan adanya fasilitas
perpajakan ini, akan menarik minat para investor, baik lokal maupun domestik
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan masuknya modal baru, maka para produsen sebagai supplier dapat
meningkatkan produktivitas mereka, sehingga dapat meningkatkan penawaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan fasilitas investment allowance di Indonesia
sejalan dengan tujuan-tujuan Supply Side yang telah dijabarkan di atas. Pendapat
tersebut sesuai dengan pernyataan berikut.
‘Supply side itu maksudnya suatu kebijakan pajak diarahkan untuk
mempengaruhi supply of goods, jadi supply barang. Tentu untuk mempengaruhi
supply barang itu yang diinikan itu suppliernya, kalau demand side itu kepada
demander nya kepada pembelinya kepada konsumen ya, tentu segala sesuatu yang
diarahkan kepada suppliernya itu sesuai dengan supply side. Misalnya depresiasi
yang dipercepat, depresiasi yang dipercepat itu kan diberikan kepada produsen
tentu dia itu ya tujuannya supply side.’ (wawancara dengan Gunadi, 21 Mei 2014)
Terdapat dua jenis kebijakan yang berdasarkan kepada konsep Supply Side
Tax Policy, antara lain Market-based Policy (Kebijakan Pasar) dan Interventionist
Policy (Kebijakan Intervensi) (Riley, 2012). Dipandang dari jenis kebijakannya,
investment allowance dapat dikategorikan ke dalam Market-based Policy.
Kebijakan Pasar merupakan kebijakan yang mengupayakan peningkatan dari
kinerja pasar melalui pemberian insentif dalam penanaman modal. Dengan
mengetahui bahwa investment allowance yang berlaku di Indonesia adalah sebuah

6 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
kebijakan yang berdasarkan pada usaha untuk memberikan stimulus bagi pelaku
pasar, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemerintah ingin pihak
swasta memiliki porsi yang lebih besar dalam ekonomi dan menjadi aktor utama
dalam pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.
Riley juga mengatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang memiliki fokus
berbeda dalam konsep Supply Side, yaitu Pasar Produk (Produk Market) dan Pasar
Tenaga Kerja (Labour Market). Product Market merupakan kebijakan Supply Side
yang fokus pada tempat produksi dan penjualan barang dan jasa, yang bertujuan
untuk meningkatkan kompetisi dan efisiensi antar produsen. Sementara, Labour
Market merupakan kebijakan Supply Side yang memiliki fokus lebih kepada
tempat jual beli tenaga kerja, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas tenaga kerja. Dari seluruh fasilitas yang ditawarkan oleh kebijakan
investment allowance di Indonesia, semuanya memiliki fokus yang jelas yakni
untuk meningkatkan produktivitas dengan memberikan fasilitas pajak penghasilan
kepada produsen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan investment
allowance Indonesia dirumuskan berdasarkan pendekatan Product Market.
Setelah mengetahui jenis kebijakan dan pendekatan Supply Side yang telah
dijabarkan di atas, selanjutnya, peneliti akan menggambarkan pencapaian
kebijakan investment allowance di Indonesia berdasarkan tujuan Supply Side.
Berdasarkan salah satu statistik Investment Realization Progress : 2010 –
December 2013 yang dilaporkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
telah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja yang stabil dalam tahunnya
yang tergambar dalam tabel berikut
Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja Periode 2010-2013
Tahun Total Tenaga Kerja Selisih Persentase
(dalam ribuan orang) (dalam ribuan orang) Selisih
2010 1.045,35 - -
2011 1.159,58 114,23 10,93%
2012 1.289,49 129,91 11,20%
2013 1,829,93 540,44 41,91%
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah oleh peneliti

7 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Tabel di atas menunjukkan bahwa tren jumlah tenaga kerja yang dapat diserap
dengan adanya investasi langsung cenderung naik tiap tahunnya. Khusus pada
tahun 2013 terjadi kenaikan yang sangat signifikan sebesar 41,91 % dari tahun
sebelumnya.
Di lain pihak, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga menunjukkan tren kenaikan
setiap tahunnya dalam rentang waktu yang sama. Persentase kenaikan PDB tiap
tahunnya sekitar 6% per tahun, dengan selisih kenaikan tiap tahunnya mencapai
kisaran angka 150.000 Miliar Rupiah. Tabel di bawah ini menggunakan harga
konstan sebagai dasar penentuan PDB untuk mencegah kekeliruan atau salah
persepsi mengartikannya.
Tabel 2. Produk Domestik Bruto 2010-2013 (dalam milar rupiah)
Tahun Total PDB Selisih/Kenaikan Persentase
2010 2.314.458,8 135.608,4 6,22%
2011 2.464.566,1 150.107,3 6,49%
2012 2.618.938,4 154.372,3 6,26%
2013 2.770.345,1 151.406,7 5,78%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah oleh peneliti
Sementara itu, data lain yang dikeluarkan BKPM menunjukan data
mengenai jumlah investasi untuk proyek yang bersifat baru maupun ekspansi,
seperti berikut ini.

Gambar 1. Realisasi Investasi Berdasarkan Proyek Baru dan Ekspansi


Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2014

8 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Pada gambar di atas terlihat bahwa dalam rentang waktu tahun 2010 hingga
2013 terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari investasi yang merupakan
proyek bisnis baru di Indonesia. Kenaikan yang paling signifikan terjadi pada
tahun 2013 dimana 250,8 Triliun Rupiah atau sebesar 62,9 % dari total investasi
di tahun tersebut adalah untuk memulai bisnis baru. Sementara untuk investasi
yang bersifat ekspansi atau perluasan usaha cenderung stabil tanpa kenaikan yang
signifikan.
Berdasarkan data yang telah disajikan di atas terlihat bahwa sejak tahun
2010 hingga tahun 2013 terjadi peningkatan dari sisi PDB, realisasi penanaman
modal, penyerapan tenaga kerja hingga perluasan dan penambahan bisnis baru.
Peningkatan hal-hal yang telah disebutkan tersebut termasuk dalam tujuan supply
side tax policy. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa tujuan supply side
terwujud dalam rezim investment allowance terbaru yang berlaku efektif sejak
tahun 2008. Namun, bukan berarti bahwa fenomena tersebut disebutkan semata-
mata karena adanya insentif pajak tersebut, karena masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi hal itu. Hanya saja investment allowance sebagai salah satu faktor
tentu ada pengaruhnya meskipun tidak signifikan, terutama dalam menarik minat
para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini menjadi nilai
positif bagi proses pertumbuhan ekonomi Indonesia yang perlu untuk
dipertahankan dan ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kebijakan, perlu dibuat juga
fasilitas investment allowance yang memiliki fokus pada pasar tenaga kerja
(Labour Market) sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kerja
Indonesia. Contohnya, melalui fasilitas pajak untuk investasi di bidang pendidikan
dan pelatihan masyarakat umum sehingga dapat menjadi pelengkap kebijakan
investment allowance yang telah ada. Diharapkan kedua elemen pendekatan ini
menjadi suatu sinergi yang baik untuk mencapai tingkat produktivitas yang
diinginkan dengan adanya kebijakan tersebut. Selanjutnya akan dibahas mengenai
evaluasi kebijakan Investment Allowance berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan
pajak.
Evaluasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan sepuluh
prinsip kebijakan pajak yang dikeluarkan oleh American Institute of Certified

9 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Public Accountant (AICPA). AICPA menyatakan bahwa terdapat sepuluh prinsip
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu kebijakan pajak ataupun dalam
rangka evaluasi sistem perpajakan secara umum. Sepuluh prinsip yang akan
diuraikan sama pentingnya dan tidak dipengaruhi oleh penomoran yang dilakukan
(2001). Karena tidak semua prinsip dapat digunakan untuk mengevaluasi
kebijakan investment allowance, maka diambil 3 (tiga) prinsip yang relevan
dengan pertanyaan penelitian.
Pertama, prinsip Simplicity (kesederhanaan). Prinsip ini dipilih karena
relevan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu tentang kurang
efektifnya insentif pajak yang disebabkan prosedur yang berbelit-belit sehingga
investor kurang tertarik untuk memanfaatkannya. Kedua, prinsip Neutrality
(netralitas). Prinsip ini dipilih karena fasilitas pajak merupakan faktor yang dapat
menimbulkan distorsi terhadap kegiatan usaha, sementara Prinsip Economic
Growth and Efficiency (Efisiensi dan Pertumbuhan Ekonomi) dipilih karena
relevan dengan dampak adanya investment allowance terhadap penerimaan
negara, serta biaya yang harus dikeluarkan oleh Fiskus dan Wajib Pajak saat tahap
implementasi kebijakan.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, berikut ini adalah indikator yang akan
digunakan dalam penelitian:
Tabel 3. Indikator Evaluasi Prinsip-Prinsip Kebijakan Pajak
Prinsip Indikator
Simplicity (Kesederhanaan) Mudah dilaksanakan;
Tidak Berbelit-belit
Neutrality (Netralitas) Tidak mempengaruhi pilihan dalam
melakukan bisnis
Economic Growth and Efficiency Mendukung laju pertumbuhan ekonomi;
(Pertumbuhan Ekonomi dan Efisiensi) Administrative dan Enforcement Cost relatif
rendah;
Compliance Cost relatif rendah
Sumber: dari berbagai sumber, diolah oleh peneliti
Dalam pelaksanaan pemberian fasilitas pajak investment allowance ini ada 3
(tiga) pihak yang terlibat. Pertama, Kementrian Perindustrian (Kemenperin)
sebagai pihak yang mengeluarkan Klasifikasi Baku Lapangan Industri (KBLI)

10 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
untuk mengetahui kesesuaian bidang usaha Wajib Pajak dengan bidang usaha
yang bisa mendapatkan fasilitas investment allowance. Kedua, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) yang menerbitkan izin prinsip serta menindaklanjuti
permohonan Wajib Pajak dengan memberikan usulan kepada Direktorat Jenderal
Pajak (DJP). Ketiga, DJP selaku otoritas perpajakan yang berhak mengeluarkan
izin pemanfaatan investment allowance atas nama Menteri Keuangan.
Dalam implementasinya, diketahui masih ada banyak permasalahan
prosedural. Hambatan yang utama antara lain masih kurangnya koordinasi antar
instansi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh informan dari DJP berikut
ini. ‘Kalau hambatan sih biasanya kadang koordinasi sih mas, koordinasi dengan
BKPM dan Kemenperin. Ada lah selalu ada hambatan ya hambatan umum, kalau
hambatan kinerja intinya selalu ada lah. Kadang-kadang dalam pembagian fungsi.
Misalnya DJP di sini kan fungsinya harusnya sebagai pintu akhir, cuma kadang-
kadang kita mesti harus melakukan pengecekan, semestinya ada beberapa yang
harusnya diselesaikan di tingkat BKPM’ (wawancara dengan Sony Muraya, 5 Juni
2014).
Sementara itu menurut informan dari BKPM kurangnya koordinasi antar
instansi terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan antara pihak DJP dengan
BKPM, seperti yang dinyatakan berikut ini. ‘Harmonisasi kan perlu waktu ya,
pada intinya kan pajak lebih berhati-hati dari sisi pemberian fasilitas …
persyaratan yang ada dalam aturan di PP 52 terus PMK 144 itu kan hanya akte
perusahaan, NPWP, izin prinsip terus di 144 ditambahkan rincian aset dan
pernyataan belum berproduksi komersial kan hanya itu, tapi pada kenyataannya
pajak meminta lagi data yang lebih semata-mata untuk menyeleksi supaya lebih
selektif sejak awal jadi jangan sampai apa yang sudah disetujui mengalami
kendala di lapangan di KPP gitu jadi ya itu saja sih sebetulnya’ (wawancara
dengan Ali Fauzi, 20 Mei 2014).
Berdasarkan kedua pernyataan di atas, diketahui bahwa dalam menjalankan
kebijakan investment allowance kedua belah pihak masih mengalami kendala
dalam melaksanakan dengan baik. Hal itu dikarenakan masih ada perbedaan
antara persyaratan pengajuan izin yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan dengan peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh internal

11 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
DJP. Sehingga dapat terjadi dispute antara kedua instansi yang dapat merugikan
Wajib Pajak.
Dari sisi Wajib Pajak juga didapatkan pernyataan yang serupa. Menurut
informan dari PT. ABC diperlukan waktu yang lama serta birokrasi yang terlalu
panjang untuk mendapatkan persetujuan pemanfaatannya. PT. ABC, sejak akhir
tahun 2013 telah mengajukan permohonan investment allowance namun hingga
saat ini belum juga disetujui. ‘Kendalanya birokrasi yang panjang, sehingga
banyak dokumen2 yang masih harus disubmit, dan waktu yang lama dalam
prosesnya’ (wawancara via email dengan Slamet, 5 Desember 2014).
Menurut DJP, penyebab lamanya prosedur persetujuan izin fasilitas
investment allowance selain adanya koordinasi yang kurang baik dengan pihak
lain seperti BKPM, juga dikarenakan wajib pajak yang kurang memenuhi dengan
baik seluruh persyaratan yang telah ditentukan. ‘Nah, dari wajib pajaknya juga
mas harus kooperatif, misalkan tadi dibilang berbelit-belit tuh. Tapi, ketika
mereka minta, kita minta mereka memberikan data mengenai aktiva, atau mesin
apa yang digunakan untuk memproduksi barang-barang yang mendapatkan atau
tidak mendapatkan fasilitas mereka ngasihnya gelondongan, maka mereka juga
yang nggak kooperatif’ (wawancara dengan Sony Muraya, 5 Juni 2014).
Berdasarkan pernyataan dan pendapat para informan di atas, pelaksanaan
kebijakan investment allowance masih memiliki banyak hambatan yang
mempersulit pelaksanaan kebijakan tersebut. Mulai dari birokrasi yang masih
terlalu panjang hingga adanya masalah koordinasi antara pihak yang terkait dalam
proses persetujuan pemanfaatan fasilitas. Selain itu prosedur yang berbelit belit
dinilai merupakan hal yang relatif dan wajib pajak ikut berperan atas lambatnya
proses perizinan, selain tentunya birokrasi yang panjang menurut wajib pajak.
Prinsip Neutrality menurut AICPA adalah, ‘The effect of the tax law on a
taxpayer’s decisions as to how to carry out a particular transaction or whether to
engage in a transaction should be kept to a minimum.’ Artinya, suatu kebijakan
pajak seharusnya tidak boleh terlalu mempengaruhi pilihan dan keputusan wajib
pajak dalam melakukan aktivitas pribadi maupun bisnis. Berdasarkan hasil
penelitian, prinsip neutrality (netralitas) menjadi prinsip yang diperdebatkan
untuk dipakai dalam menganalisis kebijakan investment allowance.

12 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
‘Kalau Neutrality itu nggak bisa, yang namanya insentif itu nggak netral
jadi you nggak boleh bawa suatu prinsip yang bertentangan dengan you punya
skripsi. Insentif itu penyimpangan kalau netral semua orang dikasih tapi kalo
semua orang dikasih namanya bukan insentif itu’ (wawancara dengan Gunadi, 21
Mei 2014).
Berdasarkan pernyataan tersebut, prinsip netralitas menjadi hal yang
bertentangan dengan kebijakan insentif pajak. Insentif merupakan hal yang tidak
diberikan kepada semua wajib pajak sehingga pasti akan menimbulkan distorsi
terhadap pengambilan keputusan wajib pajak dalam menjalankan usahanya.
Prinsip Economic Growth and Efficiency menurut AICPA adalah, ‘The tax
system should not impede or reduce the productive capacity of the
economy.’Berarti, kebijakan pajak harus sejalan dengan kebijakan ekonomi suatu
negara. Sistem perpajakan seharusnya tidak mengganggu produktivitas produsen
dalam negeri yang dapat menurunkan daya saing produk nasional sehingga
menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Menurut informan dari DJP, sampai
saat ini belum ada kajian yang secara gamblang bagaimana pengaruh kebijakan
investment allowance terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun jika dilihat dari
tujuan dari insentif itu sendiri yaitu untuk mendorong produktivitas nasional
khususnya di bidang usaha dan daerah tertentu, tentu saja pasti memiliki dampak
yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Efisiensi menurut Rosdiana dan Irianto perlu dilihat dari dua sisi. Pertama,
dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak
yang dilakukan oleh kantor pajak lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil
dikumpulkan. Kedua, dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan
efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan
pajak dikatakan efisien jika cost of taxation-nya rendah (2012).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Administrative Cost (Biaya
Administratif) yang harus dikeluarkan oleh fiskus relatif rendah. Hal ini
dikarenakan fiskus dalam proses pemberian izin hanya menjadi pihak yang pasif
untuk melakukan proses tersebut. Fiskus relatif hanya bersikap menunggu sampai
ada pengajuan izin dari wajib pajak. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara

13 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
berikut, ‘Biaya? Nggak ada. Oh iya, itu kalau pemeriksaan lapangan. wajar lah
mas ya kalo saat pemeriksaan lapangan dilakukan pastilah biaya dinas itu kan.
Biaya perjalanan dinas itu’ (wawancara dengan Sony Muraya, 5 Juni 2014).
Enforcement Cost yang harus dikeluarkan fiskus untuk mengawasi
kepatuhan wajib pajak juga relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan pihak
DJP berikut ini, ‘Jadi begini, kalau untuk penyampaian laporan itu kan kita ada
koordinasi dengan KPP … pada saat implementasi misalkan pengawasan terhadap
pelaporan, laporan realisasi modal yang tiap semester itu dan sebagainya, itu kita
berkoordinasi dengan KPP…Pokoknya biaya-biaya kalaupun keluar terkait
dengan pemeriksaan aja sih mas. Kalau misalnya kita harus turun ke medannya
langsung untuk melakukan pemeriksaan terhadap objeknya, diluar itu nggak ada’
(wawancara dengan Sony Muraya, 5 Juni 2014)
Dari sisi Wajib Pajak, Compliance Cost (Biaya Kepatuhan) yang harus
dikeluarkan masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena wajib pajak
merupakan pihak yang aktif dalam proses perizinan investment allowance.
Beberapa bentuk compliance cost antara lain, adalah Fiscal costs, Time Costs dan
Psychological Costs (Rosdiana dan Irianto, 2012). Ketiga bentuk biaya kepatuhan
tersebut menjadi bagian dalam melakukan evaluasi atas Compliance Cost yang
dikeluarkan Wajib Pajak.
Fiscal Costs dalam konteks investment allowance, seperti biaya transportasi,
biaya konsultan pajak, biaya rapat dengan DJP dan BKPM, biaya pelaporan tiap
periode dan sebagainya. Time Costs dalam konteks investment allowance,
berkaitan dengan lamanya prosedur proses perizinan untuk mendapatka fasilitas
tersebut, sementara Psychological Cost adalah biaya psikis yang berupa
ketidakpastian, kegelisahan dan sebagainya dalam proses pelaksanaan kewajiban
dan hak perpajakannya.
Berdasarkan hasil penelitian, wajib pajak harus mengeluarkan biaya
compliance yang relatif tidak sedikit untuk mengurus perizinan fasilitas. Hal ini
dikarenakan wajib pajak membutuhkan waktu yang lama dalam proses
mendapatkan fasilitas. ‘Kurang efisien, karena waktu yang dibutuhkan tergolong
lama, 1 tahun lebih. Padahal untuk proyek investasi yang mendorong negara’
(wawancara by email dengan Slamet, 5 Desember 2014).

14 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Berdasarkan data dan informasi yang telah dijelaskan di atas, maka
disimpulkan bahwa prinsip economic growth and efficiency belum diterapkan
sepenuhnya karena wajib pajak sebagai pihak yang mengajukan izin masih harus
mengeluarkan biaya yang relatif tidak sedikit. Baik itu biaya tangible maupun
biaya yang intangible.

KESIMPULAN

Secara umum, kebijakan insentif pajak investment allowance belum


memenuhi sepenuhnya prinsip simplicity, neutrality, dan economic growth and
efficiency. Kebijakan yang ada kurang sederhana menimbulkan perbedaan
penafsiran peraturan, baik itu antara fiskus dengan wajib pajak, juga antar
lembaga yang berwenang dalam proses perizinan sehingga menyebabkan
implementasi kebijakan seakan terhambat. Kebijakan investment allowance tidak
memenuhi kriteria netralitas karena hanya diberikan kepada pihak tertentu dan
mempengaruhi perilaku bisnis wajib pajak. Selain itu kriteria efisiensi belum
terpenuhi karena biaya compliance yang harus dikeluarkan wajib pajak relatif
tidak sedikit.

DAFTAR REFERENSI

“Peraturan Kebijakan Insentif Pajak akan Diperlonggar”. 25 Juli 2013. 14


Februari 2014. <http://www.investor.co.id/home/peraturan-kebijakan-insentif-
pajak-akan-diperlonggar/65533>

American Institute of Certified Public Accountants. 2001. Guiding Principles of


Good Tax Policy: A Framework for Evaluating Tax Proposals.

Easson, A.J. 2004. Tax Incentives For Foreign Direct Investment. The Hague:
Kluwer Law International.

Morisset, Jacques. 2003. Tax Incentives: Using Tax Incentives to Attract Foreign
Direct Investment.
<http://siteresources.worldbank.org/EXTFINANCIALSECTOR/Resources/282
884-1303327122200/253Moris-020603.pdf>

OECD. 2001. OECD Tax Policy Studies Corporate Tax Incentives for Foreign
Direct Investment. OECD Publishing.

15 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014
Riley, Geoff. “Supply Sides Economic Policies”. 23 September 2012. 30
November 2014. <http://tutor2u.net/economic/revision-notes/as-macro-supply-
side-policies.html>

Rosdiana, Haula, dan Edi Slamet Irianto. 2012 Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
Dan Implementasi Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wirahman, Harry. 2008. “Analisis Rumusan Kebijakan Fasilitas Pajak


Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan
Atau Di Daerah-Daerah Tertentu (Catatan Kritis Atas Peraturan Pemerintah
No. 62 Tahun 2008)”. Skripsi FISIP Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan.

16 Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Rendy Nizaldy, FISIP UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai