Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok Sistem Respirasi adalah blok ke tiga belas pada semester IV dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Tn. Abi, 35 tahun, karyawan, tinggal dirumah susun,
datang berobat kerumah sakit dengan keluhan batuk berdarah yang semakin
bertambah sejak 3 hari yang lalu. Sejak 1 bulan yang lalu, Tn. Abi mengeluh sering
batuk berdahak berwarna putih kehijauan. Keluhan tersebut disertai demam tidak
terlalu tinggi dan berkeringat banyak pada malam hari, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, kadang- kadang batuk disertai nyeri dada. Tn. Abi tinggal di
rumah bersama istri dan satu orang anak yang berusia 3 tahun. Teman satu ruangan di
kantor Tn.Abi ada yang mengalami keluhan yang sama. Sebelumnya Tn.Abi tidak
pernah mengalami keluhan yang serupa. Dokter menganjurkan Tn.Abi melakukan
pemeriksaan rontgen paru.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr Ratika febriani
Moderator : Firdaus
Notulen : Gilda Ayu Nurwantari
Sekretaris : Nella Agustia
Waktu : Selasa, 20 Juni 2017
Kamis , 22 Juni 2017
Rule Tutorial : 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.
2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat.
3. Berbicara yang sopan dan penuh tata karma.

2.2 Skenario Kasus


Tn. Abi, 35 tahun, karyawan, tinggal dirumah susun, datang berobat kerumah sakit
dengan keluhan batuk berdarah yang semakin bertambah sejak 3 hari yang lalu. Sejak
1 bulan yang lalu, Tn. Abi mengeluh sering batuk berdahak berwarna putih kehijauan.
Keluhan tersebut disertai demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat banyak pada
malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, kadang- kadang batuk
disertai nyeri dada. Tn. Abi tinggal di rumah bersama istri dan satu orang anak yang
berusia 3 tahun. Teman satu ruangan di kantor Tn.Abi ada yang mengalami keluhan
yang sama. Sebelumnya Tn.Abi tidak pernah mengalami keluhan yang serupa. Dokter
menganjurkan Tn.Abi melakukan pemeriksaan rontgen paru.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Composmentis, BB: 60 kg, TB:164 cm
Tanda Vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 98 x/menit, pernapasan 20x/menit,
Suhu 37.70 C
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva tidak pucat
Thoraks : Paru
- Inspeksi : statis dan dinamis simetris
- Palpasi : stem fremitus meningkat pasda lapangan paru kanan atas
- Perkusi : redup pada apeks paru kanan
- Auskultasi :vesikuler meningkat, dan ronkhi basah sedang pada
lapangan atas paru kanan.
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : dalam batas normal
Pemeriksaan Laboratorium
Hb: 11 g%, WBC: 6500/mm3, LED 140 mm/jam, Hitung jenis 0/2/2/76/14/6
BTA I : (-), BTA II : (-), BTA III ( + +), Radiologi: Infiltrat apeks paru kanan.
2.3 Klarifikasi Istilah
1. Dahak (sputum ) Bahan yang dikeluarkan lewat mulut berasal
dari trachea, bronkus (paru- paru)
2. Batuk Berdahak batuk yang disertai ekspektorasi bahan-bahan
dari bronkus.

3. Batuk berdarah (hemoptisis) Sputum bercampur darah


4. Stem fremitus getaran yang ditimbulkan oleh melintasnya
udara melalui bronkus besar yang dipenuhi
mucus terasa pada saat palpasi
5. Ronki basah sedang bunyi kontinyu seperti mengorok pada
tenggorokan/tabung bronkial, terjadi karena
obstruksi parsial.
6. Vesikuler frekuensi bunyi yang rendah seperti bunyi
nafas normal pada paru seperti ventilasi
7. Dahak berwarna putih (phlegym) mukus kental yang diekskresikan dari
saluran pernapasan dalam jumlah yang
abnormal.

2.4 Identifikasi Masalah


1. Tn. Abi, 35 tahun, karyawan, tinggal dirumah susun, datang berobat kerumah sakit
dengan keluhan batuk berdarah yang semakin bertambah sejak 3 hari yang lalu.
2. Sejak 1 bulan yang lalu, Tn. Abi mengeluh sering batuk berdahak berwarna putih
kehijauan. Keluhan tersebut disertai demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat
banyak pada malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, kadang-
kadang batuk disertai nyeri dada.
3. Tn. Abi tinggal di rumah bersama istri dan satu orang anak yang berusia 3 tahun.
Teman satu ruangan di kantor Tn.Abi ada yang mengalami keluhan yang sama.
Sebelumnya Tn.Abi tidak pernah mengalami keluhan yang serupa. Dokter
menganjurkan Tn.Abi melakukan pemeriksaan rontgen paru.
4. Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Composmentis, BB: 60 kg, TB:164 cm
Tanda Vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 98 x/menit, pernapasan 20x/menit,
Suhu 37.70 C
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva tidak pucat
Thoraks : Paru
- Inspeksi : statis dan dinamis simetris
- Palpasi : stem fremitus meningkat pasda lapangan paru kanan atas
- Perkusi : redup pada apeks paru kanan
- Auskultasi:vesikuler meningkat, dan ronkhi basah sedang pada lapangan atas
paru kanan.
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : dalam batas normal
5. Pemeriksaan penunjang
Hb: 11 g%, WBC: 6500/mm3, LED 140 mm/jam, Hitung jenis 0/2/2/76/14/6
BTA I : (-), BTA II : (-), BTA III ( + +), Radiologi: Infiltrat apeks paru kanan.
2.5 Analisis Masalah
1. Tn. Abi, 35 tahun, karyawan, tinggal dirumah susun, datang berobat kerumah sakit
dengan keluhan batuk berdarah yang semakin bertambah sejak 3 hari yang lalu.
A. Bagaimana Anatomi, Fisiologi, Histologi pada organ yang terlibat?
Jawab:
1. Anatomi

Gambar 1. Sistem respirasi

Paru (Kanan dan kiri) terletak di samping kanan dan kiri mediastinum.
Diantaranya. Di dalam mediastinum, terletak jantung dan pembuluh darah besar.
Paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru tergantung bebas
dan dilekatkan pada mediastinum oleh radiksnya. Masing-masing paru
mempunyai apex yang tumpul, yang menonjol ke atas ke dalam leher sekitar
2,5cm diatas clavicula; basis yang konkaf yang terletak diatas diaphragm; facies
costalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding thorax yang konkaf; facies
mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium dan alat-alat
mediastinum lainnya. Sekitar pertengahan facies mediastinalis terdapat hilus
pulmonalis, yaitu suatu cekungan dimana bronchus, pembuluh darah, dan saraf
yang membentuk radix pulmonalis masuk dan keluar dari paru. Pinggir anterior
tipis dan tumpang tindih dengan jantung; pada pinggir anterior ini pada paru
kiriterdapat incisura cardiac. Pinggir posterior tebal dan terletak di samping
columna vertebralis (Snell, 2012).
1. Lobus dan Fissura
a. Paru Kanan

Paru kanan sedikit lebih besar dari paru kiri, dan dibagi oleh fissure
oblique dan fissure horizontalis menjadi tiga lobus; lobus superior, lobus
medius, dan lobus inferior Fissura oblique berjalan dari pinggir inferior ke atas
dan belakang menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong
pinggir posterior. Fissura horizontalis berjalan horizontal menyilang
permukaan costalis dan bertemu dengan fissure oblique. Lobus medius
merupakan lobus kecil berbentk segitiga yang dibatasi oleh fissure horizontalis
dan fissure oblique (Snell, 2012).

b. Paru Kiri
Paru kiri dibagi oleh suatu fissure(fissure oblique) menjadi dua lobus;
lobus superior dan lobus inferior (Snell, 2012).

Gambar 2. Permukaan lateral dan medial paru kanan dan kiri

2. Segmenta Bronchopulmonalia
Segmenta Bronchopulomonalia merupakan unit paru secara anatomi,
fungsi dan pembedahan. Setiap bronchus lobaris(sekunder) yang berjalan ke
lobus paru mempercabangkan bronchus segemntalis (tersier). Setiap
bronchus segmentalis kemudian masuk ke segmenta bronchopneumonalia.
Sebuah segmenta bronchopneumonia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
(Snell, 2012):
• Merupakan subdivisi lobus paru
• Berbentuk pyramid dengan apex menghadap ke radiz pulmonis
• Dikelilingi oleh jaringan ikat
• Mempunyai satu bronchus segmentalis, satu arteria segmentalis,
pembuluh limfe, dan persarafan otonom
• Venae segmentalis terletak di dalam jaringan ikat diantara segmenta
bronchopulmonalia yang berdekatan Karena merupakan
unitstruktural, segmen yang sakit dapat dibuang dengan pembedahan.
Setelah masuk segmenta bronchopulmonalia, setiap bronchus
segmentalis terbagi dua berulang-ulang. Pada saat bronchus menjadi lebih
kecil, cartilage yang berbentuk U yang ditemui sejak dari trachea
perlahanlahan diganti dengan lempeng cartilago yang lebih kecil dan lebih
sedikit jumlahnya. Bronchus yang paling kecil membelah dua menjadi
bronchiolus, yang diameternya kurang dari 1 mm. Bronchiolus tidak
mempunyai cartilage di dalam dindingnya dan dilapisi oleh epitel silinder
bersilia. Lapisan submucosa mempunyai serabut otot polos melingkar yang
utuh (Snell, 2012).
Bronchiolus kemudia membagi dua menjadi bronchiolus terminalis,
yang mempunyai kantong-kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas
yang terjadi antara darah dan udara terjadi pada dinding kantong-kantong
tersebut, karena itu dinamakan bronchiolus respiratorius. Diameter
bronchiolus respiratorius 0,5 mm. Bronchiolus respiratorius berakhir dengan
bercabang menjadi ductus alveolaris yang menuju kea rah saluran berbentuk
kantong dengan dinding yang tipis disebut saccus alveolaris. Saccus
alveolaris terdiri dari beberapa alveoli yang terbuka ke satu ruangan.
Masing-masing alveolus dikelilingi oleh jaringan yang mengandung kapiler
yang padat. Pertukaran gas terjadi antara udara yang terdapat di dalam
lumen alveoli, melalui dinding alveoli ke dalam darah yang ada didalam
kapiler disekitarnya. Segmenta-segmenta bronchopulmonalia utama adalah
sebagai berikut ini (Snell, 2012):
a. Paru kanan
- Lobus superior : Apicalis, posterior,anterior
- Lobus medius : Lateralis, medialis
- Lobus inferior : Superior (apical), basali medialis basalis anterior,
basalis lateralis, dan basalis posterior
b. Paru kiri
- Lobus superior : Apicalis, posterior, anterior, lingualaris superior,
lingualaris inferior
- Lobus inferior : Superior (apical), basali medialis basalis anterior,
basalis lateralis, dan basalis posterior
3. Radix pulmonalis
Radix pulmonalis dibentuk oleh alat-alat yang masuk dan keluar paru.
Alat-alat tersebut ada;ah bronchus, arteria dan vena pulmonalis, pembuluh
limfe, arteria dan vena broncialis dan saraf. Radix pulmonalis dikelilingi
oleh selubung pleura, yang menghubungkan pleura parietalis pars
mediastinalis dengan pleura visceralis yang membungkus paru (Snell, 2012).
4. Pembuluh Darah Paru
Bronchus, jaringan ikat paru, dan pleura visceralis menerima darah
dari arteriae bronchiales, yang merupakan cabang dari aorta descendens.
Vena bronchiales mengalirkan darahnya ke vena azygos dan vena
hemiazygos. Alveoli menerima darah teroksigenasi dari cabang-cabang
terminal arteria pulmonalis. Darah yang telah mengalami oksigenasi
meninggalkan kapiler-kapiler alveoli dan akhirnya bermuara ke dalam kedua
vema pulmonalis. Dua vena pulmonalis meninggalkan radix pulmonalis
masing-masing paru untuk bermuara ke dalam atrium kiri jantung (Snell,
2012).
5. Aliran Limfe Paru
Pembuluh limfe berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus
(Gambar 3), dan tidak terdapat pada dinding alveoli. Plexus superficialis
(subpleura) terletak dibawah pleura visceralis dan mengalirkan cairannya
melalui permukaan paru ke arah hilus pulmonalis, tempat pembuluh-pembuluh
limfe bermuara ke nodi bronchopulmonales. Plexus profundus berjalan
sepanjang bronchus dan arteria dan vena pulmonalis menuju ke hilus
pulmonalis, mengalirkan limfe ke nodi pulmonis yang terletak didalam
substansi paru. Limfe kemudian masuk ke dalam nodi bronchopulmonales di
dalam hilus pulmonis. Semua limfe dari paru meninggalkan hilus pulmonalis
mengalir ke nodi tracheobronchiales dan kemudian masuk ke dalam truncus
lymphaticus bronchomediastinalis (Snell, 2012).
Gambar 3. Aliran limfe paru dan ujung bawah oesophagus

6. Persarafan Paru
Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis (Gambar 4).
Plexus dibentuk dari cabang-cabang truncus symphaticus dan serabut-
serabut parasimpatik nervus vagus. Serabut-serabut eferen simpatik
mengakibatkan bronchodilatasi dan vasokonstriksi. Serabut-serabut eferen
parasimpatik mengakibatkan bronchokonstriksi,vasodilatasi dan peningkatan
sekresi kelenjar. Impuls aferen yang berasal dari membrane mucosa
bronchus dan dari reseptor regang dinding alveoli berjalan ke system saraf
pusat di dalam saraf simpatik dan parasimpatik (Snell, 2012).

Gambar 4. Persarafan Paru


2. Histologi Paru
Histologi bronkus intrapulmonal mirip dengan histologi trakea dan
bronkus ekstrapulmonal, kecuali bahwa di bronkusintra pulmonal, cincin tulang
rawan trakea bentuk –C diganti dengan lempeng tulang rawan. Semua tulang
rawan di trakea dan paru adalah tulang rawan hialin. Dinding bronkus
intrapulmonal di identifikasikan oeh adanya lempeng tulang rawan hialin.
Bronkus juga dilapisi oleh epitel tertingkat semu silindris bersilia dengan sel
goblet. Dinding bronkus intrapulmonal terdiri dari lamina propria yang tipis,
lapisan tipis oto polos, submukosa dengan kelenjar bronkialis, lempeng tulang
rawan hialin, dan adventisia (Eroschenko, 2014).

Gambar 5. Paru Pandangan Menyeluruh

Ketika bronkus intrapulmonal bercabang menjadi bronkus yang lebih


kecil dan bronkiolus, ketinggian epitel dan tulang rawan di sekitar bronkus
berkurang, sampai kadang kala hanya ditemukan potongan kecil tulang rawan.
Bronkus dengan diameter kurang dari 1 mm tidak memeiliki tulang rawan. Di
bronkiolus, lumen di lapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia
dengan adakalanya ditemukan sel goblet. Lumen menunjukan adanya lipatan
mukosa akibat kontraksi lapisan otot polos. Kelenjar bronkialis dan lempeng
tulng rawan sudah tidak ada dan bronkiolus dikelilingi oleh adventisia. Pada
gambar ini, suatu nodulus limfoid dan vena dekat adventisia menyertai
bronkiolus. Bronkiolus terminalis memperlihatkan lipatan mukosa dan dilapisi
oleh epitel silindris bersilia tanpa sel goblet. Lapisan tipis lamina propria dan
otot polos serta adventisia mengelilingi bronkiolus terminalis (Eroschenko,
2014).

Bronkiolus respiratorius dengan kantung- kantung alveoli berhubungan


langsung dengan duktus alveolaris dan alveoli. Di bronkiolus respiratorius,
epitel yaitu silindris rendah atau kuboid dan mungkin bersilia di bagian
proksimal saluran. Lapisan jaringan ikat tipis menyokong otot polos, serat
elastic di lamina propria dan pembuluh darah yang menyertai. Alveoli di
dinding bronkiolus respiratorius tampak berupa kantung atau evaginasi kecil.
Setiap bronkiolus respiratorius bercabang menjadi beberapa duktus alveolaris.
Dinding duktus alveolaris dilapisi oleh alveoli yang langsung bermuara ke
dalam duktus alveolaris. Kelompok alveoli yang mengelilingi dan bermuara
ke dalam duktus alveolaris disebut saku alveolaris. Bidang irisan melalui
bronkiolus terminalis hingga bronkiolus respiratorius dan masuk ke dalam
duktus alveolaris Vena pulmonalis dan arteri pulmonalis juga bercabang
sewaktu menyertai bronkus dan bronkiolus ke dalam paru. Pembuluh darah
kecil juga terlihat di jaringan ikat trabekula yang membagi paru-paru menjadi
berbagai segmen. Serosa atau pleura viscerale mengelilingi paru. Serosa terdiri
dari lapisan tipis jaringan ikat pleura dan epitel selapis gepeng mesotelium
pleura (Eroschenko, 2014).
3. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan
iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis
eksternus mengangkat iga-iga (Price, 2005).
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2005).

Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas


melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada
permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi
dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan
sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan
fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi
anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida
antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan
karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfir (Price, 2005).

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen


di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana
waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya
hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama (Price, 2005).

B. Apa saja etiologi dari batuk berdah?


Jawab:
1. Infeksi
a. Pneumonia bacterial
Sputum dapat mengandung darah yang berupa guratan, warna merah
muda yang difus, atau yang menyerupai karat. Bila disebabkan oleh
Klebsiella sputumnya bersifat lengket, berwarna merah dan mirip jeli.
b. Bronkitis kronis
Batuk kronis; sputum mukoid hingga purulen, dapat mengandung
guratan darah atau bahkan berdarah.
c. Tuberkulosis paru
Batuk kering atau sputum yang mukoid atau purulen, dapat
mengandung guratan darah atau bahkan berdarah.
d. Abses paru
Sputum purulen atau berbau busuk; dapat berdarah.
2. Non infeksi
a. Kanker paru
Batuk kering hingga produktif; sputum dapat mengandung guratan
darah atau bahkan berdarah.
b. Emboli paru
Batuk kering hingga produktif, sputum dapat berwarna gelap, merah
terang atau bercampur dengan darah (Bickley, L. S,2012: 242-243).
C. Apa makna dari batuk berdarah yang semakin bertambah sejak 3 hari
yang lalu?
Jawab:
Maknanya menandakan progretifitasnya Akut, yaitu batuk yang terjadi
kurang dari 3 minggu
D. Bagaimana patofisiologi batuk berdarah ?
Jawab:
Tertular penderita TBC menyebabkan bakteri BTA masuk ke paru-
paru melalui inhalasi lalu bakteri difagosit oleh makrofag alveolar dan
sebagian bakteri mati sebagian hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
lalu makrofag lisis menyebabkan pengeluaran sitokin, komplemen dan
molekul bakteri sehingga merekrut makrofag lain untuk fagosit bakteri, jika
makrofag tidak dapat fagosit bakteri menyebabkan migrasi monosit ke lesi dan
menyebabkan peningkatan aktivitas makrofag dan pembentukan granuloma.
Lama kelamaan granuloma dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, sel
fibroblast, dan bagian tengahnya membentuk nekrosis pengkejuan, jika
nekrosis keju dibatukkan membentuk kavitas, jika terdapat keradangan arteri
yang terdapat di dinding kavitas menyebabkan aneurisma yang berasal dari
percabangan arteri pulmonalis yang bisa menyebabkan batuk berdarah
(Price,2005: 852-853).

E. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus?


Jawab:
Untuk umunya banyak menyerang usia produktif 20-50 tahun, Jenis
kelamin yaitu laki-laki lebih sering terkena dari pada perempuan, karena laki-
laki lebih banyak melakukan aktifitas, sering terpapar penyebab penyakit,
merokok, minum alkohol, sehingga terjadi penurunan sistem imun sehingga
mudah terinfeksi dengan agen penyebab TB paru. Tempat tinggal yaitu rumah
susun merupakan lingkungan hidup yang sangat padat sehingga
mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah
kasus TB (Amin, 2014: 864).

Sintesis:
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat
182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari
Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (kemenkes, 2014: 1).
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2
- 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV
yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan
sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia. ( perhimpunan dokter paru indonesia. 2006: 2).
TB dianggap sebagai masalah kesehatan di dunia yang penting karena
±1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh bakteri TB. Sebagian besar angka
kejadian dari kasus TB ini (95%) dan angka kematiannya (98%) terjadi di
negara- negara yang sedang berkrmbang. Karena penduduk yang padat serta
tingginya prevalensi TB di Asia, maka < 65% dari kasus- kasus TB yang baru
dan kematiannya muncul disana. 75% TB menyerang usi produktif yakni
umur 20-50 tahun.
Masalah munculnya atau meningkatnya beban TB global antara lain
karena :
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara
yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan
tertentu di negara maju.
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk
dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di
kelompok yang rentan terutama di negara- negara miskin.
4. Tidak memadainya pendidikan kesehatan mengenai TB diantara
para dokter.
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, darana diagnostik, dan
pengawasan kasus TB dimana terdeteksi adanya kasus yang tidak
tertatalaksana dengan baik dan benar.
6. Adanya epidemi HIV/AIDS di seluruh dunia terutama afrika dan
Asia (Amin, 2014: 864 ).

2. Sejak 1 bulan yang lalu, Tn. Abi mengeluh sering batuk berdahak berwarna putih
kehijauan. Keluhan tersebut disertai demam tidak terlalu tinggi dan berk
eringat banyak pada malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,
kadang- kadang batuk disertai nyeri dada.
A. Apa makna Tn.Abi sering batuk berdahak berwarna putih kehijauan ?
Jawab:
Batuk berdahak merupakan salah satu gejala klinis yang ditemukan
pada pasien TB paru. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Sputum yang berwarna putih
kehijauan menandakan terjadinya infeksi jangka panjang atau penyebab
inflamasi non-infeksi. Warna sputum dapat dikaitkan dengan enzim yang
disebut myeloperoxidases (MPO) yang disebabkan oleh kerusakan neutrophil
dalam sel dan dikeluarkan oleh sel-sel darah putih (Amin, 2014: 472).

B. Bagaimana patofisiologi dari batuk berdahak warna putih kehijauan?


Jawab:
Penularan melalui Droplet nuclei (mycobacterium tuberculosis
sehingga terhirup dan masuk kesaluran pernafasan yang akan menyebabkan
partikel < 5 µm akan terus masuk ke laring, trakea dan bronkus dan
menempel disilia saluran pernapasan sehingga terjadi pertahanan fisik melalui
silia saluran pernapasanyang menyebabkan stimulasi reseptor iritan sehingga
refleks batuk kering menyebabkan kuman masuk ke parenkim paru dan
menyebar ke alveolar atas kemudian berlanjut terjadi pertahanan melalui
netrofil, makrofag,dan sel goblet menghasilkan mucus berlebih terjadi
inflamasi menyebabkan makrofag mengeluarkan enzim lisosom
menyebabkan dinding M.TBC bersifat asam menyebabkan kuman menjadi
bersifat dormant sehingga dormant diproses oleh APC dibawa ke KGB
terdekat (T-helper) akan mengalami diferensiasi menjadi Th1 yang
mengeluarkan IL-2, aktivasi sel T sitotoksik (reseptor IL-2) dikeluarkan
sitotoksin untuk membunuh dormant menyebabkan daerah sekitar mengalami
kerusakan terbentuk sarang primer menyebbakan meluas sebagai granuloma
granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma,kapiler dan fibroblast
akan menghancurkan jaringan sekitarnya dan tengahnya terjadi nekrosis
pengkijuan, sebagian secret dari pengkijuan berada di saluran napas, transfer
mukosilier sehingga menyebabkan batuk berdahak (Price& Sylvia.2005: 252).

C. Bagaimana patofisiologi dari demam yang tidak terlalu tinggi?


Jawab:
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet → bermultiplikasi
di alveolus → di fagosit oleh sel-sel makrofag → pengeluaran pirogen
endogen (IL-1, IL-6, TNF α, IFN) → merangsang asam arakidonat →
pembentukan prostaglandin →peningkatan set point di hipotalamus → demam
(Price& Sylvia.2005).

D. Bagaimana patofisiologi dari berkeringat banyak pada malam hari?


jawab:
Pada malam hari aktivitas tidak ada sedangkan pasien demam
suhu tubuh meningkat set point ( secara fisiologi memang dalam keadaan
panas) sedangkan tubuh suhunya lebih rendah dari set point memaksa
tubuh untuk menyamakan panas dengan set pointsedangkan akan ada
penganturan homeostasis tubuhkeringat keluar untuk melembabkan kulit
agar suhu tidak terlalu panas (Price& Sylvia.2005).

E. Bagaimana patofisiologi dari penurunan nafsu makan?


Jawab:
Infeksi mycobacterium tuberculosis melalui droplet gumpalan
bakteri kecil masuk ke alveoli  bakteri membelah diri mengeluarkan zat
lipoarabinomannan  sekresi hormon leptin ↑  mempengaruhi pusat lapar
di ventromedial hipotalamus penurunan nafsu makan  suplai nutrisi
berkurang  penurunan berat badan. (Prince & Wilson,2005).

F. Bagaimana patofisiologi dari batuk disertai nyeri dada?


Jawab:
Batuk dapat terjadi dengan sengaja atau karena refleks. Refleks batuk
terjadi melalui afferent dan efferent pathways. Iritasi percabangan
trakeobronkial  otot-otot inspirasi berkontraksi maksimal diikuti
menutupnya glotis  tekanan intra thoraks  glotis terbuka  batuk
(Amin, 2014).
G. Apa saja macam-macam warna sputum dan penyebabnya?
Jawab:
a. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi.
b. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan
nanah. Karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit
polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Contohnya adalah penyakit
bronkiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkiolus yang melebar
dan terinfeksi.
c. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema
paru akut.
d. Sputum yang berlendir, lekat dan berwarna abu-abu atau putih merupakan
tanda bronkitis kronik.
e. Sputum yang busuk merupakan tanda abses paru.
f. Sputum yang kental, translusen, putih keabu-abuan menandakan penyakit
pneumonia atipikal dan asma.
g. Sputum berwarna merah bata seperti jelly atau buah kismis menandakan
penyakit klebsiella pneumoniae.
h. sputum yang berwarna kuning pucat atau seperti ikan salmon menandakan
penyakit pneumonia stafilokokus. (Price & Wilson, 2005: 774-775).
H. Bagaimana hubungan keluhan sejak 1 bulan yang lalu dengan keluhan
utama?
Jawab:
Adanya progesivitas penyakit dari tn.Abi itu sendiri

3. Tn. Abi tinggal di rumah bersama istri dan satu orang anak yang berusia 3 tahun.
Teman satu ruangan di kantor Tn.Abi ada yang mengalami keluhan yang sama.
Sebelumnya Tn.Abi tidak pernah mengalami keluhan yang serupa. Dokter
menganjurkan Tn.Abi melakukan pemeriksaan rontgen paru.
A. Apa makna teman satu ruangan di kantor Tn.Abi ada yang mengalami
keluhan yang sama?
Jawab:
Maknanya teman Tn. Abi dapat menularkan penyakit melalui droplet nuclei
Sintesis :
Cara penularan TB
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. (Menkes, 2014: 4).
B. Apa faktor risiko dari kemungkinan penyakit?
Jawab:
Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian
penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berakaitan satu
sama lain. Faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis
adalah faktor karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan.
Sintesis:

1. Faktor Karakteristik Individu

Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap


kejadian TB Paru adalah :
A. Faktor Umur.

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di


Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta
infeksi AIDS. Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TBC.
Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada
usia 40-50 tahun dab kemudian berkurang sedangkan pada pria
prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia
60 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

B. Faktor Jenis Kelamin.

Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring


dengan peningkatan usia. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada
semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam
sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat tubrkulosis
paru sesudah bersalin (Crofton, 2002).

C. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap


pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru.

D. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi
terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara
yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola
hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan
selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah
(kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang
tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga
mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi
rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi
rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru
E. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan


meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit
jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.
Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per
orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana
dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi
merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari
5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk
terjadinya infeksi TB Paru.

F. Status Gizi

Status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam


timbulnya kejadian TB Paru. Tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh
faktor –faktor yang lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada
paru.. Karena kuman TBC merupakan kuman yang dapat “tidur”
bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan
menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TB paru.
Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menangkalnya adalah stus gizi
yang baik, baik untuk wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi
kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat
dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan
daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit
(Achmadi, 2005).

G. Kondisi Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,


keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga
akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka
akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru.
WHO (2003) menyebutkan penderita TB Paru di dunia
menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun
tidak berhubungan secara langsung namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk,
perumahan tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga
menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita
TBC kehilangan tiga sampai empat bulan waktu kerja dalam setahun.
Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30
% dari pendapatan rumah tangga (Ahmadi, 2005).

H. Perilaku

Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB adalah


perilaku yang mempengaruhi atau memjadikan seseorang untuk mudah
terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela
setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah
sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan,
bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan
prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber
penular bagi orang disekelilingnya.

2. Faktor Risiko Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian


TB Paru adalah :
A. Kepadatan hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni
di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah
penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni lebih dari dua orang.
B. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak


kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke
dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya
didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakkan mata.
memperoleh cahaya cukup pada siang hari diperlukan minimal
pencahayaan dalam rumah sebesar 60 lux (Kepmenkes, 1999). Jika
peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang
genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni cahaya alamiah dan
cahaya buatan. Cahaya alamiah yaitu cahaya matahari yang
mengandung sinar ultraviolet .Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil
TBC. Sedangkan cahaya buatan adalah dengan menggunakan sumber
cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api
dan sebagainya. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat
tidak menyilaukan Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan,
namun tergantung jenis dan lama cahaya tersebut (Achmadi, 2005),
sinar matahari langsung dapat mematikan bakteri TB Paru dalam 5
menit (Crofton, 2002).
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin
atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya
yang lebih redup .Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya
berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap
jenisnya.Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak
berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari
pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif
tidak tahan pada sinar matahari.

C. Ventilasi

Yang di maksud dengan ventilasi adalah proses di mana udara


bersih dari luar ruang sengaja di alirkan kedalam ruang dan udara yang
buruk dari dalam ruang di keluarkan.
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar.
Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ
selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa
oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga
agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy)
yang optimum.
Ada 2 macam ventilasi, yakni ventilasi alamiah dan buatan.
Ventilasi alamiah maksudnya adalah aliran udara di dalam ruangan
tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin,
lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Sedangkan ventilasi
buatan adalah dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap
udara.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang
ventilasi sebesar 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999). Untuk luas
ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga
diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam
ruangan. Umumnya temperatur yang nyaman berkisar 18° - 30°C dari
kelembaban udara berkisar 40%- 70%.
C. Bagaimana cara penularan dari kemungkinan penyakit?
Jawab:
Cara penularan Tuberculosis Paru menurut Depkes RI (2008) sebagai
berikut:
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga
sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
2. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
3. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut
4. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

D. Apa makna Tn.Abi tidak pernah mengalami keluhan yang serupa


sebelumnya?
Jawab:
Maknanya Tn. Abi baru mengalami infeksi primer dimana kasus ini
untuk sesorang yang baru pertama kali menderita yang dapat ditularkan
melalui droplet , dan belum terkena infeksi berulang
Sintesis:
Berdasarkan klasifikasi tuberculosis dapat di bagi dalam beberapa
klasifikasi yaitu salah satunya pembagian secara patologis yaitu:
1. Tuberculosis primer (childhoot tuberculosis)
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik,
yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin

Laporan Tutorial Skenario A 28


timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution
ad integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara :
1. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus c. Penyebaran
secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan.
2. Tuberculosis sekunder/ pasca primer (adult tuber-culosis)
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun
kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam
yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik

Laporan Tutorial Skenario A 29


kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut:
a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju
(jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan
keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini : • Mungkin meluas
kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas • Dapat pula
memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi • Kaviti bisa pula menjadi
bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped) (Depkes RI,2011: 3-4).
E. Bagaimana cara pemeriksaan rontgen ?
Jawab:
Pada kasus : Pemeriksaan TORAKS PA Berdiri tegak
a. Kecepatan kaset
Kaset dengan kombinasi layar-film (screen-filmcombination), kecepatan
nominal 200 dalam tempat kaset.
b. Ukuran kaset
35x43 cm (14x17 inci)
35x35 cm (14x14 inci)
24x30 cm (lOx 12 inci) untuk anak-anak
c. Ulasan
Apeks paru harus terlihat. Pajanan sebaiknya dilakukan pada saat
inspirasi penuh: iga ke-lO posterior dan iga ke-6 anterior harus tampak

Laporan Tutorial Skenario A 30


di atas diafragma. Pastikan bahwa bagian bawah diafragma terlihat
pada dua sisi, termasuk kedua sudut kostofrenikus. Struktur paru-paru
dan tulang belakang harus dapat terlihat di belakang jantung.
d. Cara pemeriksaan
i. Pasien masuk ke dalam kamar pemeriksaan, tentukan format kaset,
dan letakkan kaset dalam tempat kaset. Sejajarkan arah sinar
terhadap susunan kaset tersebut.
ii. Atur posisi pasien, pastikan bahu pasien ditekankanke depan
dengan benar. Sejajarkanlagi arah sinar, jika mungkin.
iii. Beritahu pasien untuk menarik napas dalam, lalu menahan napas.
iv. Pajankan sinar X (expose).
v. Beritahu pasien untuk bernapas biasa. (Sandstrom, 2010: 4).
4. Pemeriksaan fisik
A. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik yang abnormal?
Jawab:
Pemeriksaan spesifik Keadaan Interpretasi
fisiologis
Suhu 37.7◦C 36,5- 37,2oC Sub Febris
Ronki basah sedang Tidak ada bunyi Ronki basah sedang
tambahan Interpretasi :
Adanya cairan pada bronkus
Palpasi: stem fremitus Tidak ada Abnormal
meningkat pada peningkat
lapangan paru kanan
atas

Perkusi: Redup pada Sonor Abnormal


apeks paru kanan

Auskultasi thoraks:  Vesikuler tidak ↑ Vesikuler: Adanya media


Vesikuler meningkat meningkat / penghantar suara yang lebih
menurun baik dari udara yang ada

Laporan Tutorial Skenario A 31


diparu

B. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik ?


Jawab:
- Subfebris
Dormant → diproses oleh APC → dibawa ke KGB terdekat (T-helper)
→ diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2 (sitokin) →
sitokin dapat bersirkulasi menembus hematoencephalic barrier → efek
sitokin terhadap SSP (hipotalamus) → pengeluaran asam arakidonat →
pelepasan prostaglandin E2 → pengaruh kerja thermostat di
hipotalamus → subfebris.
- Vesicular meningkat
Adanya mikroorganisme yang masuk ke saluran pernafasan  sebagian
dikeluarkan melalui reflex batuk dan sebagian dormant (sistem imun
rendah)reaktivasi MTBdiproses oleh APCdibawa ke KGB
terdekat ( T- helper) diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-
2  aktivasi sel T sitotoksik (reseptor IL-2)  dikeluarkan sitotoksin
untuk membunuh dormant daerah sekitar mengalami kerusakan 
nekrosis pengkijuan  (auskultasi)  vesikuler meningkat.
- Ronki basah sedang
Adanya mikroorganisme yang masuk ke saluran pernafasan  sebagian
dikeluarkan melalui reflex batuk dan sebagian dormant (sistem imun
rendah)reaktivasi MTB bakteri membelah diri membangkitkan
peradangan (netrofil dan makrofag) membentuk granuloma →
MTBdiproses oleh APC → dibawa ke KGB terdekat (T-helper) →
diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2 → aktivasi sel T
sitotoksik (reseptor IL-2) → dikeluarkan sitotoksin untuk membunuh
dormant → daerah sekitar mengalami kerusakan → nekrosis pengkijuan
→sebagian sekret dari pengkijuan berada di saluran napas →
(auskultasi) → ronkhi basah sedang.(Bickley, 2009).
5. Pemeriksaan penunjang
A. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang yang abnormal?
Jawab:

Laporan Tutorial Skenario A 32


HasilPemeriksaan Nilai Rujukan Interpretasi
Hb: 11 g% 12,0 – 14,0 g% (P) Anemia
13,0 – 16,0 g% (L)
WBC: 6500/mm3 5000-10.000/ mm3 Normal
LED 140 mm/jam < 15 mm/jam (P) Meningkat
< 10 mm/jam (L)
Hitung jenis 0-1/1-3/2-6/50- Shift to the right
0/2/2/76/14/6 70/20-40/2-8
Radiologi Infiltrat apeks paru kanan
Sputum _ Hasil pemeriksaan satu
BTA I : (-), BTA II : _ spesimen dahak
(-), BTA III ( + +) _ menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologi
menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif

B. Bagaimana Mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan penunjang?


Jawab:
- Anemia
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet Bakteri masuk ke
alveolus  endoktoksin pada dinding bakteri meningkatkan kadar leptin
di hipotalamus  nafsu makan menurun  suplai nutrisi menurun 
pembentukan Hb menurun  anemia.
- LED meningkat
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet  mikroorganisme
terhirup dan masuk kesaluran pernafasan  partikel < 5 µm akan terus
masuk ke laring, trakea dan bronkus terjadi pertahanan paru (fisik,
humoral, seluler)  proses inflamasi  LED meningkat.
- Neutrofil segmen meningkat
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet  mikroorganisme
terhirup dan masuk kesaluran pernafasan  partikel < 5 µm akan terus
masuk ke laring, trakea dan bronkus  terjadi pertahanan melalui
netrofil segmen untuk memfagosit bakteri ↑ neutrofil segmen

Laporan Tutorial Skenario A 33


- Limfosit menurun
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet  mikroorganisme
terhirup dan masuk kesaluran pernafasan  partikel < 5 µm akan terus
masuk ke laring, trakea dan bronkus  menempel disilia saluran
pernapasan  terjadi pertahanan fisik melalui silia saluran pernapasan
 stimulasi reseptor iritan  refleks batuk kering, kemudian berlanjut
terjadi pertahanan melalui netrofil, makrofag,dan sel goblet
menghasilkan mucus berlebih  transfor mukosilier  batuk berdahak,
sebagian menjadi dormantdormant diproses oleh APC dibawa ke
KGB terdekat (T-helper)  diferensiasi menjadi Th1 yang
mengeluarkan IL-2  aktivasi sel T sitotoksik (reseptor IL-2)  sel T
sitotoksik mengeluarkan sitotoksin  makrofag yang mengandung
bakteri serta sel-sel di daerah sekitarnya (limfosit) hancur/lisis  kadar
limfosit menurun
- BTA I (-), BTA II (-), BTA III (++)
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet  mikroorganisme
terhirup dan masuk kesaluran pernafasan  partikel < 5 µm akan terus
masuk ke laring, trakea dan bronkus  terjadi pertahanan melalui
netrofil , makrofag dan sel goblet menghasilkan mucus berlebihan 
transfer mukosilier  batuk berdahak, sebagian menjadi dormant 
dormant diproses oleh APC  dibawa ke KGB terdekat (T-helper) 
diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2  aktivasi sel T
sitotoksik (reseptor IL-2)  dikeluarkan sitotoksin untuk membunuh
dormant  daerah sekitar mengalami kerusakan  nekrosis pengkijuan
 sebagian secret dari pengkijuan berada di saluran napas  transfor
mukosilier  dahak bertambah banyak  (pemeriksaan sputum) 
BTA positif.
- Infiltrat apeks paru kanan
Infeksi mycobacterium tuberculosis secara droplet  mikroorganisme
terhirup dan masuk kesaluran pernafasan  partikel < 5 µm akan terus
masuk ke laring, trakea dan bronkus  terjadi pertahanan melalui
netrofil , makrofag dan sel goblet menghasilkan mucus berlebihan 
transfer mukosilier  batuk berdahak, sebagian menjadi dormant 
dormant diproses oleh APC  dibawa ke KGB terdekat (T-helper) 

Laporan Tutorial Skenario A 34


diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2  aktivasi sel T
sitotoksik (reseptor IL-2)  dikeluarkan sitotoksin untuk membunuh
dormant  daerah sekitar mengalami kerusakan  nekrosis pengkijuan
 terbentuk suatu fokus primer Ghon diparu tekanan oksigen di apek
paru lebih tinggi sehingga bakteri berkembang lebih baik  hasil pada
rontgen terlihat adanya infiltrat di apeks paru kanan.
6. Bagaimana differential diagnosis pada kasus?
Jawab:
TB Paru Pneumonia Bronkitis Kronik
Etiologi Kuman TB Bervariasi Merokok, terpapar
(Mycobacterium (kebanyakan zat kimia
Tuberculosis) Staphylococcus
Aureus)
Gejala Batuk produktif yang Demam tinggi Batuk, produksi
berkepanjangan (> 3 (>40oc), menggigil, sputum berlebihan,
minggu), nyeri dada, batuk dengan dahak sesak napas, mengi,
hemoptisis. Gejala mukoid atau purulen malaise, sakit
sistemi berupa demam sering disertai darah, tenggorokan, nyeri
tidak terlalu tinggi, sesak napas, nyeri otot, hidung
menggigil, keringat dada tersumbat, sakit
malam, malaise, kepala
penurunan BB dan
nafsu makan
Pemeriksaan Pemeriksaan sputum Pemeriksaan LED Pemeriksaan sputum
(SPS) Pemeriksaan Pemeriksaan
Pemeriksaan radiologi radiologis radiologi
Pemeriksaan hitung
darah lengkap
Pengukuran gas
darah lengkap

7. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?


Jawab:

Laporan Tutorial Skenario A 35


1. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS)

a. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
b. P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
c. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi hari.

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu


pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan
Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana `
pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan).

3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali BTA +


negatif

1 kali positif, 2 kali negatif Ulangi BTA 3 kali

Bila 1 kali positif, dua kali negatif BTA +

Bila 3 kali negative BTA -

Tabel 1. Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International


Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang merup akan rekomendasi
dari WHO(8).

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang Negatif

Laporan Tutorial Skenario A 36


pandang

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang Di tulis dalam jumlah


pandang kuman yang ditemukan

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang + (1+)


pandang

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang ++ (2+)


pandang

Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang +++ (3+)

Tabel 2. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis Tb paru skalaUATLD

2. Pemeriksaan radiologis
a. Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus
dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu
dilakukan foto toraks bila:
1. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
2. Hemoptisis berulang atau berat
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +
b. Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif :
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas dan segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan
atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi Pleura
c. Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif :
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus
atas dan atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi.

Laporan Tutorial Skenario A 37


3. Penebalan pleura.
4. Pemeriksaan penunjang lain
1. Analisis cairan pleura – uji rivalta (+), eksudat, limfosit dominan,
glukosa rendah;
2. Biopsy – diambil 2 spesimen untuk dikirim ke laboratorium
mikrobiologi dan histologi
3. Darah – tidak spesifik, termasuk limfosit yang meningkat. LED
jam pertama, kedua dapat menjadi indicator penyembuhan pasien.
4. GeneXpert MTB/RIF (Amin,2014: 870-871).
8. Bagaimana working diagnosis pada kasus?
Jawab:
Tuberculosis Paru kasus baru et causa M. Tuberculosis
9. Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Jawab:

Laporan Tutorial Skenario A 38


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan.
Fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.

1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,


pirazinamiddan etambutol.
A. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat
(rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap
haridan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum
obatdan mencegah terjadinya kekebalan obat.
B. Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
- Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari
dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu.
Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.
- Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal
pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awa
pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah
suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal
diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan,
3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.
Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya
penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
C. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negati
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi
konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid
Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat
A. (rifampisin dan a. isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama
(minimal 4 bulan)
B. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program)
atau tiap hari (obat non program).

Laporan Tutorial Skenario A 39


C. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
3. OAT sisipan : HRZE
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir
pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan
pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan
obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
 Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
 Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
 Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar.
 Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
 Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi Dosis obat anti tuberkulosis
kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Laporan Tutorial Skenario A 40


A. Program pemberantasan tuberculosis
Program pemberantasan tuberkulosis paru yang dilakukan sampai sekarang
adalah :
1. Vaksinasi BCG.
2. Penemuan kasus secara pasif dan aktif.
3. Pengobatan dan pengobatan ulang terhadap penderita tuberculosis.
4. Penyuluhan kesehatan.
5. Evaluasi program.
Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi
DOTS (directly observed treatment shortcourse) yang direkomendasikan
oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC. Terdapat
lima komponen utama strategi DOTS:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana.
2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA dalam
dahak.
3. Terjaminnya persediaan obat antituberkulosis (OAT).
4. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan
mengevaluasi program penanggulangan TBC.
Untuk menekan dan menurunkan jumlah penderita tuberculosis
paru, Depkes pada tahun 1999 membentuk Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis paru (Gerdunas-TB). Hal ini dilakukan
mengingat keterbatasan sentral unit penyelengaraan program di departemen
kesehatan yang demikian kecilnya, maka menteri kesehatan memutuskan
untuk melaksanakan Gerdunas-TB.
Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis adalah
suatu gerakan yang terpadu dan menyeluruh meliputi seluruh pihak di
lingkungan masyarakat baik swasta maupun pemerintah. Gerakan ini
merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melalui peningkatan kesadaran sehat, serta peningkatan mutu pelayanan
guna tercapainya Indonesia sehat tahun 2010.

Laporan Tutorial Skenario A 41


B. Pengawas menelan obat (pmo)
Pengawas Menelan Obat (PMO) sudah lama dikenal di Indonesia.
Pada waktu itu namanya bukan PMO tapi case holding. Penderita
tuberculosis dirawat di Sanatorium selama beberapa bulan bahkan sampai
1-2 tahun, ternyata angka kesembuhan tanpa PMO rendah sekali dan
terdapat resisten obat.
C. Pencegahan tuberkulosis
1. Upaya Promotif.
Peningkatan pengetahuan tentang penanggulangan TBC melalui
pendidikan & pelatihan petugas pemberi pelayanan kesehatan, penyuluhan,
penyebar luasan informasi, peningkatan kebugaran jasmani, peningkatan
kepuasan kerja, peningkatan gizi.
2. Upaya preventif. .
Adalah upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi
yang memperberat penyakit TBC misalnya pemberian OAT.
3. Pencegahan Primer.
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk
mencegah timbulnya penyakit pada populasi yang sehat contohnya ialah
vaksinasi BCG
4. PencegahanSekunder. .
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk menemukan penyakit
TBC sedini mungkin mencegah meluasnya penyakit, mengurangi
bertambah beratnya penyakit (Kemenkes,2014).
10. Bagaimana komplikasi pada kasus?
Jawab:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis.
2. Komplikasi pada stadium lanjut:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan ductus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang

Laporan Tutorial Skenario A 42


pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal,
dan sebagainya. (Amin, 2014: 873).
11. Bagaimana prognosis pada kasus?
Jawab:
Dubia ad bonam
12. Bagaimana Kompetensi Dokter Umum pada kasus?
Jawab:
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik beradasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh
dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray) dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2012).

13. Bagaimana Nilai- Nilai Islam pada kasus?


Jawab:
QS. Yunus: 57
”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman
2.6 Kesimpulan
Tn. Abi, 35 tahun mengeluh batuk berdarah yang semakin berat sejak 3 hari
yang lalu karena mengalami Tuberkulosis paru kasus baru e.c mycobacterium
tuberculosis

Laporan Tutorial Skenario A 43


2.7 Kerangka Konsep

Faktor resiko

Usia, jenis kelamin, teman


sekantor, lingkunan

Menularkan TB

Invasi mycobacterium
Tuberculosis ke paru Batuk

Respon inflamasi makrofag

Pengeluaran sitokin pro-


inflamasi

Kerusakan Demam Penurunan nafsu makan,


jaringan paru dan penurunan berat
badan

Nyeri Batuk
dada berdarah

Laporan Tutorial Skenario A 44


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi .2005. Hubungan antara Kualitas Fisik Rumah dan Kejadian Tuberkulosis Paru
dengan Basil Tahan Asam positif di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang
,Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2005
Amin, Zulkifli. 2014. Tuberculosis paru . Dalam Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Hal 864)
Bickley, L. S. 2012. BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik &Riwayat Kesehatan. Jakarta :
EGC, hal 242-243)
Crofton, A. Horne, M. Miller, F. Tuberkulosis Klinis. Jakarta : Widya Medika; 2002.

Depkes RI. 2011.Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI,hal


3-4.
Eroschenko,2010. Atlah Histologi diFiore Ed.11.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hal 339.
Kemenkes.2014.Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta:Kementerian
Kesehatan RI,hal 1-14

Perhimpunan dokter paru indonesia. 2006. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di indonesia. Jakarta.hal 2
Price and Wilson. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC. Hal 774-853

Price, Sylvia A. & Lorraine. M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6Volume 2. EGC, Jakarta, hal. 852-853

Sandstrom, Staffan. 2010. Toraks dalam WHO Manual Pembuatan Foto Diagnostik
Teknik dan Proyeksi Radiografi. Jakarta: EGC. Hal 4
Snell, Richard. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Jakarta : EGC

Laporan Tutorial Skenario A 45

Anda mungkin juga menyukai