Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang dapat ditemukan pada
masyarakat di negara maju maupun berkembang. Hipertensi merupakan
suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan
140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg (Sidabutar,
2009).
Di dunia, prevalensi hipertensi pada usia 25 tahun ke atas mencapai
40% pada tahun 2008 sementara di Wilayah Asia tenggara, prevalensi
hipertensi sebesar 35%. Pada tahun 2013, prevalensi hipertensi sebesar
3,7% penderita hipertensi di dunia mengalami kecacatan (WHO, 2014).
Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi yang
berbahaya, seperti pada organ jantung, otak, ginjal dan juga mata (Corwin,
2009). Pada mata, hipertensi berperan dalam kerusakan saraf optik melalui
jalur mekanis dan vaskular. Pada jalur mekanis, hipertensi mengakibatkan
peningkatan TIO melalui peningkatan tekanan arteri dan vena okuler. Pada
jalur vaskular, hipertensi juga berperan dalam menurunkan tekanan perfusi
okular melalui penurunan aliran darah okular akibat lesi aterosklerotik
(Moore et al., 2010).
Berbagai penelitian secara konsisten menemukan korelasi positif
antara tekanan tekanan darah dan tekanan intraokuler di Kaukasia, Jepang
dan Cina (Ceowston, et al., 2009). Secara khusus, beberapa studi
epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah sistemik yang tinggi
dikaitkan dengan adanya sedikit peninggian tekanan intraokuler (TIO).
Sebanyak 36,65% pasien dengan glaukoma yang menderita hipertensi
sebelumnya (Vital, 2014).
Tekanan intraokuler (TIO) adalah tekanan di dalam bola mata yang
terbentuk sebagai akibat dari produksi dan sirkulasi aqueous humor secara

1
Universitas Muhammadiyah Palembang
2

terus menerus. Banyaknya aqueous humor ditentukan oleh kecepatan


pembentukan aqueous humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya
aqueous humor. Peningkatan tekanan intraokuler dapat terjadi akibat
peningkatan produksi ataupun gangguan aliran keluar dari aqueous humor
tersebut. Aliran dari aquoes humor ditentukan oleh adanya tekanan darah
sistemik (Salmon, 2009).
Normalnya TIO rata-rata sekitar 15 mmHg, dengan kisaran antara 12-
20 mmHg (Hall, 2011). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan
intraokuler adalah faktor genetik, ras, jenis kelamin, dan tekanan darah
(Maxwell, 2014).
Di Palembang pada penelitian mengenai hubungan hipertensi dengan
peningkatan TIO masih belum spesifik. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
akan meneliti hubungan antara hipertensi dengan peningkatan tekanan
intraokuler.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan
masalah “Adakah hubungan hipertensi dengan peningkatan tekanan
intraokuler?”

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum:
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara hipertensi dengan peningkatan tekanan intraokuler.

1.3.2. Tujuan Khusus:


Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui rerata tekanan darah pada pasien hipertensi dan non
hipertensi.
2. Mengetahui rerata nilai TIO pada pasien hipertensi dan non
hipertensi.
3. Mengetahui hubungan hipertensi dengan peningkatan TIO.

Universitas Muhammadiyah Palembang


3

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai hubungan hipertensi dengan peningkatan tekanan
intraokuler.
2. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktik


1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
keperluan praktisi medis, seperti penyuluhan kesehatan hipertensi
dan mata.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi
masyarakat tentang penyakit hipertensi dan pengaruhnya pada
organ lain terutama pada mata menyebabkan kerusakan optik dan
dapat mengganggu penglihatan.

1.5. Keaslian Penelitian


Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
No Nama Peneliti Judul Penelitian Jenis Penelitian Hasil Penelitian
1. Nicolas Xavier Hubungan Metode cross- Tidak terdapat
Ongko (2013) Hipertensi dengan sectional dengan hubungan antara
Peningkatan teknik non hipertensi denga
Tekanan probability peningkatan tekanan
Intraokuler pada sampling. intraokuler.
Pasien Glaukoma
di Poliklinik Mata
Rumah Sakit
Umum Pusat Haji
Adam Malik
Medan Periode
Juli-Agustus 2012

2. Maheksa Hayu Hubungan Metode cross- Tidak terdapat

Universitas Muhammadiyah Palembang


4

Purnama, Tekanan sectional dengan hubungan antara


Yunani Intraokular dengan teknik penelitian hipertensi dengan
Setyandriana Hipertensi di analitik korelasi tekanan intraokuler.
(2014) Klinik AMC non-
Yogyakarta. eksperimental.
3. Saima Irum, Mean Intraocular Metode cross Terdapat hubungan
Abdul Majeed Pressure In sectional. antara peningkatan
Malik, Hypertensive intraokuler dengan
Muhammad Adults. berbagai jenis
Shahid (2016) hipertensi.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel


terikatnya yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler. Sedangkan
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel bebas,
sampel, dan tempat penelitian. Penelitian yang dilakukan ini mengenai hubungan
hipertensi dengan peningkatan tekanan intraokuler.

Universitas Muhammadiyah Palembang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Hipertensi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah secara
persisten dalam dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
pada saat kondisi cukup istirahat tenang dimana tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
(Kemenkes RI, 2014).

2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi dibedakan atas usia individu. Tekanan
darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh,
umur, dan tingkat stres yang dialami. Klasifikasi hipertensi
berdasarkan kelompok usia yaitu pada bayi dikatakan tekanan darah
normal apabila memiliki tekanan darah 80/40 mmHg dan hipertensi
apabila memiliki tekanan darah 90/60 mmHg (Tambayong, 2000).
Pada anak usia 7-11 tahun memiliki tekanan darah normal
100/60 mmHg dan hipertensi apabila memiliki tekanan darah 120/80
mmHg. Pada remaja 12-17 tahun memiliki tekanan darah normal
115/70 mmHg dan hipertensi apabila memiliki tekanan darah 130/80
mmHg (Tambayong, 2000).
Pada orang dewasa usia 20-45 tahun memiliki tekanan darah
normal 120-125/75-80 mmHg, diakatakan hipertensi apabila memiliki
tekanan darah 135/90 mmHg. Pada usia 45-65 tahun tekanan darah
normalnya yaitu 135-140/85 mmHg dan hipertensi dengan tekanan
darah 140/90-160/95 mmHg. Pada usia >65 tahun tekanan darah
normalnya yaitu 150/85 mmHg dan hipertensi apabila memiliki
tekanan darah 160/95 mmHg (Tambayong, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

5
Universitas Muhammadiyah Palembang
6

Pressure (JNC7) tahun 2003 yang berpusat di Amerika, klasifikasi


tekanan darah pada orang dewasa umur ≥ 18 tahun terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi
derajat 2 ( Sudoyo dkk, 2010).

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7


Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 >160 >100

Sumber : (Sudoyo, 2010)

Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi


lain dari WHO dan International Society of Hypetension (ISH), dari
Europe society of hypertension (ESH), British Hypertension society
(BSH), tetapi umumnya digunakan JNC 7 ( Sudoyo dkk, 2010).

2.1.3. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan:
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih, pada usia 18 tahun ke atas dengan penyebab yang tidak di
ketahui. Pengukuran dilakukan 2 kali atau lebih dengan posisi
duduk, kemudian diambil reratanya, pada dua kali atau lebih
kunjungan (Chandra, 2014).
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus
hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada
sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Faktor
pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan

Universitas Muhammadiyah Palembang


7

kontrasepsi oral, coarcstation aorta, neurogenik (tumor otak,


ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume
intravaskuler, luka bakar, dan stress (Wajan, 2010).

2.1.4. Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat
diubah, penjelasannya sebagai berikut :
a. Faktor risiko tidak dapat diubah
1) Umur
Framingham Heart Study melaporkan bahwa risiko
untuk menderita penyakit hipertensi bagi pria atau wanita
yang sebelumnya tidak menderita hipertensi pada usia 45
tahun atau 65 tahun yaitu sekitar 90%. Faktor bertambahnya
umur juga dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi karena
angka kejadian hipertensi pada pasien usia lanjut cukup tinggi,
yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun
(Depkes, 2006).
2) Jenis kelamin
Pria memiliki risiko menderita hipertensi pada usia
diatas 45 tahun dibandingkan dengan wanita namun pria dan
wanita memiliki kemungkinan menderita hipertensi yang pada
usia 55 tahun hingga 64 tahun. Wanita memiliki kemungkinan
lebih tinggi untuk menderita hipertensi dibandingkan pria pada
usia diatas 65 tahun. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin
juga dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis dan perilaku
yang tidak sehat (Zuraidah et al., 2012)
3) Genetik
Faktor genetik juga berperan dalam terjadinya hipertensi
apabila seseorang yang mempunyai riwayat keluarga
menderita hipertensi maka risiko terkena penyakit hipertensi
akan lebih tinggi (CDC, 2013).

Universitas Muhammadiyah Palembang


8

b. Faktor resiko yang dapat diubah


1) Obesitas
Hipertensi pada orang yang obesitas memiliki risiko
lima kali lipat menderita hipertensi dari pada seseorang yang
memiliki berat badan normal. Penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20-33% memiliki berat badan diatas normal atau
obesitas (Depkes, 2006).
2) Stres
Stres dapat menyebabkan hipertensi melalui saraf
simpatis sehingga dapat tekanan darah secara intermitten.
Stres juga dapat merangsang kelenjar anak ginjal untuk
melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut
lebih cepat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah
(Anggraini et al., 2008).
3) Merokok
Merokok dapat menyebabkan rusaknya lapisan endotel
pembuluh darah arteri sehingga bisa mengakibatkan
arteriosklerosis dan tekanan darah tinggi dikarenakan zat-zat
kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang
masuk ke dalam aliran darah (Anggraini et al., 2008).
4) Olahraga
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan
tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan
(Depkes, 2006). Tekanan darah akan meningkat pada saat
melakukan olahraga namun jika dilakukan secara teratur
tekanan darah akan menurun. Olahraga teratur dalam jumlah
sedang akan lebih baik dibandingkan dengan olahraga berat
hanya dilakukan sekali saja (Anggraini et al., 2008).
5) Konsumsi alkohol dan kafein
Konsumsi alkohol dan kafein berlebih yang terdapat
dalam minuman kopi, teh, soda akan meningkatkan resiko
terjadinya hipertensi. Mengkosumsi alkohol dapat

Universitas Muhammadiyah Palembang


9

meningkatkan aktivitas saraf simpatis karena dapat


merangsang sekresi corticotrophin releasing hormone (CRH)
yang bisa meningkatkan tekanan darah sedangkan
mengkosumsi kafein dapat menstimulasi jantung untuk
bekerja lebih cepat sehingga mengalirkan darah lebih banyak
setiap detiknya (Anggraini et al., 2008).
6) Konsumsi Garam Berlebihan
Konsumsi garam secara berlebihan dapat menyebabkan
penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan yang
ada di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah (Anggraini et al.,
2008).
7) Hiperlipidemia / Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) didalam tubuh yang
ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol total,
trigliserida, low density lipoprotein (LDL) dan penurunan
kadar high density lipoprotein (HDL) dalam darah. Kolesterol
adalah salah satu faktor penyebab aterosklerosis yang dapat
mengakibatkan tingginya tahanan perifer pembuluh darah
sehingga tekanan darah meningkat (Depkes, 2006).

2.1.5. Patofisiologi
Tekanan darah merupakan hasil dari curah jantung (cardiac
output) dan tahanan perifer. Faktor yang berperan pada hipertensi
primer adalah faktor hormonal pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron (renin aldosterone angiotensin system RAAS), sistem
syaraf otonom, tahanan perifer, asupan garam (NaCl) (Rilantono,
2012).

Universitas Muhammadiyah Palembang


10

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah

(Sumber : Kaplan, 2010)

2.1.6. Gejala Klinis Hipertensi


Menurut Elizabeth J. Corwin (2009), sebagian besar tanpa
disertai gejala yang mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah
mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan
muntah, akibat tekanan darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

2.1.7. Tatalaksana Hipertensi


Apabila diagnosis hipertensi telah ditegakkan, maka pengobatan
dapat dimulai dengan terapi non-farmakologik. Tujuan
penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular, mencegah kerusakan organ, dan mencapai
target tekanan darah <130/80 mmHg dan 140/90 mmHg untuk

Universitas Muhammadiyah Palembang


11

individu berisiko tinggi dengan diabetes atau gagal ginjal (Sudoyo


dkk, 2009).
Penatalaksanaan non farmakologis yang berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya
hidup. Modifikasi gaya hidup yang dianjurkan dalam penanganan
hipertensi antara lain mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan
(BMI ≥27), diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan
berat badan atau obesitas yang berisiko menderita hipertensi, olahraga
dan aktifitas fisik, mengurangi asupan garam, diet rendah lemak
jenuh, diet tinggi serat, tidak merokok, istirahat yang cukup
(Kartikasari, 2011).
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis
hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika (terutama
jenis Thiazide atau Aldosteron Antagonist), beta blocker, calsium
channel blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor, dan
angiotensin II receptor blocker. Diuretika biasanya menjadi tambahan
karena meningkatkan efek obat yang lain. Jika tambahan obat kedua
dapat mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah satu
tahun, maka dicoba untuk menghentikan obat pertama melalui
penurunan dosis (Kartikasari, 2011).

2.1.8. Komplikasi Hipertensi


Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi
yang berbahaya menurut Price dan Wilson (2006), Corwin (2009),
Vitahealth (2005), Sutiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, dan Syam
(2014), seperti :
1. Payah jantung
Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi
jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan
tubuh. Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau
sistem listrik jantung.

Universitas Muhammadiyah Palembang


12

2. Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadi stroke,
karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini
terjadi pada pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak
yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat
sumbatan dari gumpalan darah yang macet dipembuluh yang
sudah menyempit.
3. Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran
darah yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring
kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal
menyaring lebih sedikit cairan dan membuangnya kembali
kedarah.
4. Kerusakan pengelihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di
mata, sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi kabur atau
buta. Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi
kabur, kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata
untuk menemukan perubahan yang berkaitan dengan hipertensi
yaitu retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada
bagaian otak, jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan
penderita hipertensi mengalami kerusanan organ mata yaitu
pandangan menjadi kabur.

2.2. Tekanan Intraokuler


2.2.1. Definisi
Tekanan intraokuler adalah tekanan di dalam bola mata yang
nilainya ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan
tahanan terhadap aliran keluarnya aqueous humor. Peningkatan
tekanan intraokuler dapat terjadi akibat peningkatan produksi ataupun
gangguan aliran keluar dari aqueous humor tersebut (Salmon, 2009).
Nilai normal rata-rata tekanan intraokuler sekitar 15 mmHg dengan

Universitas Muhammadiyah Palembang


13

kisaran antara 12 sampai 20 mmHg dan batas maksimumnya 21


mmHg (Hall, 2011).
Ketidakseimbangan produksi dan eksreksi aqueous humor dapat
terjadi Glaukoma. Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik
didapat yang ditandai oleh pencekungan (cupping) diskus optikus dan
pengecilan lapangan pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan
intraokuler (Salmon, 2008). Beberapa faktor risiko dapat memicu
terjadinya glaukoma. Faktor risiko yang kuat untuk memicu
terjadinya glaukoma adalah riwayat peningkatan tekanan intraokular
dan riwayat keluarga yang pernah menderita glaukoma. Faktor risiko
yang mungkin untuk memicu terjadinya suatu glaukoma adalah
penyakit sistemik kardiovaskular, diabetes melitus, migrain,
hipertensi sistemik dan vasospasme (Bell, et al., 2012).

2.2.2. Anatomi Mata

Gambar 2.2. Anatomi Mata


(Sumber : James, 2006)

Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Setelah


memasuki bilik mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan
masuk ke bilik mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik
mata depan. Aqueous humor dieskresikan oleh trabecular meshwork
(Paul, 2008).

Universitas Muhammadiyah Palembang


14

Bentuk korpus siliaris menyerupai cincin tebal pada lapisan


posterior persimpangan korneosklera yang terdiri atas otot dan
pembuluh darah. Korpus siliaris menghubungkan koroid dengan iris.
Korpus siliaris juga merupakan tempat perlekatan dari lensa.
Kontraksi dan relaksasi dari otot polos korpus siliaris mengatur
ketebalan serta mengatur fokus lensa. Lapisan pada permukaan dalam
korpus siliaris yaitu prosesus siliaris memiliki lapisan berpigmen dan
tidak berpigmen. Lapisan dalam epitel yang tidak berpigmen diduga
berfungsi sebagai tempat produksi aqueous humor (Moore, et al.,
2010).

Gambar 2.3. Corpus Siliaris


(Sumber : James, 2006)

Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea


perifer dan pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah
garis Schwalbe, anyaman trabekular (yang terletak di atas kanal
Schlemm) dan sclera spur (Paul, 2008).
Garis Schwalbe menandai berakhirnya endotel kornea.
Anyaman trabekular berbentuk segitiga pada potongan melintang,
dengan dasar yang mengarah ke korpus siliaris. Anyaman ini tersusun
atas lembar-lembar berlubang jaringan kolagen dan elastik, yang
membentuk suatu filter dengan pori yang semakin mengecil ketika

Universitas Muhammadiyah Palembang


15

mendekati kanal Schlemm. Bagian-dalam anyaman ini, yang


menghadap ke bilik mata depan, dikenal sebagai anyaman uvea;
bagian luar, yang berada dekat kanal Schlemm, disebut anyaman
korneosklera. Sclera spur merupakan penonjolan sclera ke arah dalam
di antara korpus siliaris dan kanal Schlemm, tempat iris dan korpus
siliaris menempel. Saluran-saluran eferen dari kanal Schlemm (sekitar
300 saluran pengumpul dan 12 vena aqueous) berhubungan dengan
sistem vena episklera (Paul, 2008). Pada anyaman trabekular juga
terdapat anyaman jukstakanalikula yaitu struktur yang berhubungan
dengan bagian dalam kanal Schlemm (Khurana, 2007).
Kanal Schlemm berbentuk oval dengan lapisan endotel dan
dikelilingi oleh sulkus skleral. Sel-sel endotel pada dinding bagian
dalam tidak teratur dan berbentuk spindle-shaped dan mengandung
giant vacuoles. Bagian luar dinding kanal dilapisi oleh sel datar yang
halus dan berisi beberapa tempat masuknya collector channels
(Khurana, 2007).

Gambar 2.4. Trabecular Meshwork


(Sumber : Weinreb, 2014)

Universitas Muhammadiyah Palembang


16

2.2.3. Fisiologi

Gambar 2.5. Aliran normal aqueous humor


(Sumber : Adatia & Damji, 2005)

Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik


mata depan dan belakang. Volumenya adalah sekitar 250 µL, dan
kecepatan pembentukannya, yang memiliki variasi diurnal, adalah 25
µL/menit. Tekanan osmotiknya sedikit lebih tinggi dibandingkan
plasma. Komposisi aqueous humor serupa dengan plasma, kecuali
bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat
yang lebih tinggi sedangkan konsentrasi protein, urea dan glukosa
lebih rendah (Salmon, 2008). Komposisi ion dari aqueous humor
ditentukan melalui sistem transport aktif yang selektif (Na-K-2Cl
simport, Na-H antiport, Na-K ATPase dan lain-lain) yang berperan
dalam sekresi aqueous humor oleh epitel siliar (Cibis, et al., 2007).

Universitas Muhammadiyah Palembang


17

Tabel 2.2. Perbandingan komposisi aqueous humor


Komponen Plasma Aqueous Vitreous
(mmol/kg Humor Humor
H2O)
Na 146 163 144
Cl 109 134 114
HCO3 28 20 20-30
Askorbat 0,04 1,06 2,21
Glukosa 6 3 3,4
Sumber : Cibis et al, 2007

Aqueous humor terbentuk dari plasma pada processus siliaris


melalui tiga mekanisme yaitu difusi, ultrafiltrasi dan transport aktif.
Difusi adalah proses transport zat yang larut lemak melewati
membran sel melalui perbedaan gradient konsentrasi. Ultrafiltrasi
adalah proses perpindahan air dan zat yang larut dalam air ke dalam
membran sel akibat perbedaan gradien osmotik atau tekanan
hidrostatik. Transport aktif adalah zat yang larut air ditransport secara
aktif melalui membran sel dan memerlukan Na-K ATPase dan
biasanya terdapat pada sel epitel yang tidak berpigmen (Khurana,
2007).
Aqueous humor dari bilik anterior akan didrainase dengan dua
rute yaitu aliran trabecular atau konvensional dan aliran uveoskleral
atau nonkonvensional. Aliran trabekular merupakan jalur utama
keluar aqueous humor dari bilik anterior, sekitar 90% dari total.
Aliran aqueous dari anyaman trabekular masuk ke dalam kanal
Schlemm yang menyebabkan resistensi aliran keluar. Teori
vakuolisasi merupakan mekanisme transport aqueous humor
melewati dinding dalam dari kanal Schlemm. Teori ini menyatakan
bahwa jarak transelular yang ada di sel endotel membentuk dinding
dalam kanal Schlemm sehingga berbentuk seperti vakuola dan pori-
pori yang respon terhadap tekanan dan mentransport aqueous humor
melalui jaringan ikat jukstakanalikular ke kanal Schlemm. Dari kanal
Schlemm, aqueous ditransport melalui 25-35 kanal-kanal pengumpul

Universitas Muhammadiyah Palembang


18

ke vena episklera melalui jalur direk maupun indirek (Khurana,


2007).
Aliran uveoskleral merupakan sistem pengaliran yang kedua
dan berkisar sekitar 10% dari total. Aqueous melewati badan siliaris
dan masuk ke rongga suprakoroidal dan kemudian didrainase oleh
sirkulasi vena di badan siliar, koroid dan sklera (Khurana, 2007).

Gambar 2.6. Teori vakuolisasi mengenai transport aqueous melewati dinding dalam kanalis
Schlemm: 1. Stadium non-vakuola; 2. Stadium awal lipatan dalam dari permukaan basal di
sel endotel; 3. Stadium pembentukan struktur makrovakuola; 4. Stadium pembentukan
kanal vakuola transelular; 5. Stadium oklusi dari lipatan basal.
(Sumber : Khurana, 2007)

Universitas Muhammadiyah Palembang


19

Gambar 2.7. Flow chart dari drainase aqueous humor


(Sumber : Khurana, 2007)

Fungsi dari aqueous humor adalah mempertahankan tekanan


intraokuli, menyediakan zat-zat (glukosa, oksigen dan elektrolit)
untuk keperluan metabolik pada kornea yang avaskular dan lensa,
mengekskresikan hasil-hasil atau produk metabolik (laktat, piruvat
dan karbon dioksida) dan mempunyai peran pada metabolisme
vitreous dan retina (Khurana, 2007).
Tekanan intraokuli ditentukan oleh laju dari sekresi aqueous dan
laju dari aliran keluar yang kemudian akan berhubungan dengan
resistensi aliran keluar dan tekanan vena episklera. Laju dari aqueous
sebanding dengan perbedaan antara tekanan intraokuli dan tekanan
vena episklera (Kanksi, 2007).
Tekanan mata yang normal berkisar sekitar 21 mmHg (Ji et al,
2007). Tekanan ini menunjukkan variasi diurnal. Pada malam hari
terjadi perubahan posisi dari berdiri menjadi berbaring sehingga
terjadi tahanan atau resistensi pada tekanan vena episklera sehingga

Universitas Muhammadiyah Palembang


20

menyebabkan tekanan intraokuli meningkat. Penurunan tekanan


intraokuli ini akan terjadi pada siang hari sehingga tekanan intraokuli
menjadi normal. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rentangan
nilai tekanan intraokuli, antara lain umur, jenis kelamin, ras, konsumsi
tobacco, obesitas, perubahan hormonal, olahraga. irama sirkadian
tubuh, denyut jantung, frekuensi pernafasan, jumlah asupan air dan
obat-obatan (Simmons, et al., 2007).

2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi TIO


Beberapa faktor yang mempengaruhi TIO antara lain (Lesk, 2002.
Kirana, 2013):
1) Usia
Usia muda mempunyai tekanan yang lebih rendah
dibanding populasi umum, sedangkan pada orang tua peningkatan
TIO mempunyai hubungan dengan tekanan darah yang meninggi,
frekuensi nadi dan obesitas.
Aliran keluar humor aquous menurun seiring dengan
bertambahnya usia, hal tersebut dipengaruhi oleh operasi, trauma,
pengobatan, dan faktor hormonal. Studi histologi
menghubungkannya dengan perubahan pada jaringan trabekula,
termasuk penebalan dan penggabungan lapisan trabekula,
degenerasi kolagen dan elastisitas fibril, hilangnya sel-sel endotel,
hiperpigmentasi sel-sel endotel, akumulasi organel intraseluler,
perubahan matriks ekstraseluler dan berkurangnya jumlah
vakuola raksasa.
2) Jenis kelamin
Wanita usia menopause mempunyai TIO yang relatif lebih
tinggi dibandingkan pria dengan umur yang sama, dalam hal ini
mungkin disebabkan oleh faktor-faktor hormonal. Perbedaan
biometri antara wanita dan pria, wanita memiliki mata yg lebih
pendek dan kamera okuli anterior dangkal dibanding pria.

Universitas Muhammadiyah Palembang


21

3) Variasi diurnal
Pada individu normal, TIO bervariasi antara 2-6 mmHg
selama 24 jam sebagai hasil dari produksi humor aquous dan
pergantian alirannya. Tekanan intraokular yang tinggi berkaitan
dengan fluktuasi yang tinggi dan fluktuasi variasi diurnal yang
lebih besar dari 10 mmHg dapat menimbulkan glaukoma. Puncak
TIO tertinggi pada masing-masing individu sangat beragam,
namun sebagian besar individu mengalami puncak TIO tertinggi
pada saat pagi hari.
Hubungan antara tekanan darah dan TIO sangat penting
pada terjadinya kerusakan saraf mata. Hipotensi sistemik,
terutama selama tidur dapat menyebabkan penurunan perfusi
saraf mata yang dapat menyebabkan kerusakan saraf mata.
4) Ras
Keterkaitan antara ras tertentu dengan TIO telah diperkuat
dengan adanya laporan yang menyatakan bahwa orang kulit hitam
mempunyai TIO lebih tinggi dibandingkan kulit putih.
5) Genetik
TIO pada populasi umum ada kaitannya dengan keturunan,
keadaan ini dibuktikan dengan terdapatnya kecenderungan TIO
yang lebih tinggi pada sejumlah keluarga penderita glaukoma.
6) Penyakit Sistemik
Baltimore Eye Study mengatakan bahwa hipertensi sistemik
berhubungan dengan penurunan risiko adanya glaukoma pada
pasien yang berusia <65 tahun dan peningkatan risiko glaukoma
pada pasien yang berusia lebih tua. Hipotesis dari penelitian ini
adalah pada pasien yang lebih muda, tekanan darah yang lebih
tinggi berhubungan dengan peningkatan perfusi pada nervus
optikus, tetapi dengan usia tua, terdapat efek negatif dari
hipertensi kronik pada mikrosirkulasi nervus optikus sehingga
meningkatkan kerentanan nervus terhadap perkembangan
neuropati optik glaukomatosa. Sebaliknya, Barbados Eye Studies

Universitas Muhammadiyah Palembang


22

menunjukan bahwa risiko relatif terjadinya glaucoma. pada pasien


yang menderita hipertensi sistemik <1,0 pada seluruh kelompok
umur, termasuk yang berusia 70 tahun ke atas.
Pasien dengan oklusi vena retina sentral dapat disertai
peningkatan TIO dan glaukoma. Pasien tersebut dapat memiliki
glaukoma sudut terbuka primer atau tipe glaukoma lain
sebelumnya. Setelah terjadinya oklusi vena retina sentral, dapat
terjadi glaukoma sudut tertutup atau pada tahap lanjut terjadi
glaukoma neovaskuler. Glaukoma dan hipertensi okuler
merupakan faktor risiko terjadinya oklusi vena retina sentral.
7) Obat-obatan
Pilokarpin dan obat kolinergik meningkatkan aliran humor
aquous. Epinefrin/dipivefrin/agonis β-adrenergik meningkatkan
aliran humor aquous. Beta blockers, carbonic anhydrase
inhibitors dan α-agonist menurunkan produksi humor aquous.
Prostaglandin meningkatkan aliran keluar humor aquous.
8) Latihan atau Olahraga
Latihan yang berat dapat menghasilkan penurunan TIO
sementara. Hal ini disebabkan oleh asidosis dan perubahan
osmolalitas serum. Secara umum individu yang sehat mempunyai
TIO rendah. Pada olahraga berat dan ekstrim yang menyebabkan
mengejan seperti angkat beban dapat meningkatkan TIO.
Kemungkinan hal ini disebabkan adanya valsava atau kenaikan
tekanan intrakranial yang dihubungkan dengan sistem vena
periokuler. Menahan nafas pada saat mengangkat beban dapat
menaikkan TIO.
Tipe olahraga yang berbeda memiliki pengaruh yang
berbeda pula pada TIO. Olahraga yang dinamik seperti jogging
menyebabkan peningkatan aktivitas isotonik otot secara
predominan sehingga metabolismenya berupa metabolism
aerobik. Selama olahraga dinamik TIO turun dan setelah istirahat
1 jam TIO akan kembali ke tekanan awal. Hal tersebut telah

Universitas Muhammadiyah Palembang


23

dicobakan pada dewasa muda yang sehat, orang tua, orang yang
aktivitasnya minimal atau tidak beraktivitas, atlet terlatih, dan
pada subjek dengan peningkatan TIO.
Penurunan TIO lebih besar pada individu yang terlatih
dibandingkan individu yang tidak melakukan aktivitas apapun.
Penurunan TIO lebih berhubungan dengan intensitas olahraga
dibandingkan dengan durasi olahraga. Olahraga dinamik
meningkatkan tekanan koloid dimana hal tersebut berhubungan
erat dengan penurunan TIO dan merupakan faktor determinan
yang penting dalam penurunan TIO.
9) Perubahan Postur
Ketika individu normal melakukan gerakan dari duduk
kemudian posisi supinasi (tidur) TIO naik sebanyak 6 mmHg.
Tekanan intraokuler naik lebih tinggi. Pada sebuah penelitian
individu normal yang ditempatkan pada posisi terbalik (kepala
berada di bawah) terdapat kenaikan TIO secara tajam, dari rata-
rata 16.8 mmHg menjadi 32.9 mmHg. Kenaikan TIO terjadi
sangat cepat mungkin disebabkan karena perubahan tekanan arteri
dan vena.

2.2.5. Pemeriksaan Tekanan Intraokuler


Pemeriksaan dilakukan secara langsung atau dengan alat yang
dinamakan tonometer, pemeriksaan tekanan yang dilakukan dengan
tonometer pada bola mata dinamakan tonometri. Tonometri adalah
cara pengukuran tekanan intraokular dengan memakai alat-alat
terkalibrasi yang melekukkan atau merata kornea. Berikut ini jenis
dari tonometer:
a. Tonometer schiotz
Tonometer schiotz merupakan tonometer indentasi atau
menekan permukaan kornea dengan beban yang dapat bergerak
bebas pada sumbunya. Plunger (tabung penampung) yang ditaruh
pada bola mata (kornea) akan menekan bola mata ke dalam

Universitas Muhammadiyah Palembang


24

melalui kornea, keseimbangan tekanan tergantung pada beban


tonometer. Beban 5,5 gram dipasang di ujung plunger. Jika mata
kencang, diberikan tambahan beban 7,5 dan 10 gram pada plunger
untuk menaikkan gaya pada kornea. Pembacaan skala
dikonversikan pada tabel tonometer schiotz untuk mengetahui
tekanan bola mata dalam mmHg. Pada tekanan lebih dari 20
mmHg dicurigai glaukoma, jika lebih 25 mmHg pasien menderita
glaukoma.

Gambar 2.8. Tonometer schiotz


(Sumber : Salmon, 2008)

b. Tonometer aplanasi Goldmann


Tonometer ini dipasang pada slit lamp (lampu celah) untuk
mengukur besarnya beban yang diperlukan untuk meratakan
apeks kornea dengan beban standard. Tonometer aplanasi tidak
memperhatikan kekakuan sklera. Alat yang digunakan yaitu slit
lamp dengan sinar biru yang dapat digeser sesuai dengan posisi
nyaman pasien, tonometer aplanasi, fluorisen, dan obat tetes
anastesi yang ditetes di kornea, berguna untuk keakuratan
tonometri. Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol
tekanan 10 mmHg. Permukaan depan prisma dibersihkan dengan

Universitas Muhammadiyah Palembang


25

air dan dikeringkan, pasien disuruh menahan kedipan mata dan


menatap lurus ke depan, slit lamp digeser sepanjang aksis optikus
untuk mencapai kornea dengan menggeser joystick ke belakang
dan pemeriksa mulai melihat dari biomikroskop. Penilaian
tonometer aplanasi melalui biomikroskop akan terlihat gambaran
dua semi lingkaran yang berukuran sama dimana sisi dalam kedua
semi lingkaran atas dan bawah saling bertemu dan sejajar. Nilai
yang terbaca pada tombol cakra tonometer dikalikan 10 untuk
mendapatkan nilai mmHg. Dengan tonometer aplanasi, jika
tekanan intraokular lebih dari 20 mmHg sudah dianggap
glaukoma.

Gambar 2.9. Tonometer Aplanasi Goldmann


(Sumber : Salmon, 2008)

c. Tonometer Perkins
Merupakan aplanasi yang hampir sama dengan Goldmann.
Tonometer perkins dapat digunakan dalam berbagai posisi karena
bersifat portable, keakuratannya sama baik dalam posisi vertikal
maupun horizontal. Tonometer ini dapat digunakan pada bayi,
anak, dan di dalam kamar operasi serta pada kornea yang
mengalami astigmatisma. Gambaran yang dijumpai sama dengan
gambaran tonometer Goldmann.

Universitas Muhammadiyah Palembang


26

Gambar 2.10. Tonometer Perkins


(Sumber : Salmon, 2008)

d. Tonometer non kontak


Tonometer non kontak menggunakan semburan udara
sebagai pengganti prisma untuk meratakan kornea, sehingga tidak
ada kontak langsung antara mata dengan alat yang dipakai yang
dapat mencegah penularan penyakit. Metode ini tidak
memerlukan anastesi karena tidak ada bagian alat yang mengenai
mata dan dapat digunakan dengan mudah. Pengukuran tekanan
intraokular dengan menggunakan tonometer non kontak sangat
singkat dan hasil pengukuran tampil secara digital di layar
(Salmon, 2008).

Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tonometer


schiotz dikarenakan tonometer schiotz sederhana, mudah dalam
kalibrasi, tidak mengandung komponen elektronik dan juga tersedia di
layanan kesehatan primer (Ilyas, 2008).

2.3. Hubungan Hipertensi dengan Peningkatan TIO

Universitas Muhammadiyah Palembang


27

Berbagai penelitian secara konsisten menemukan korelasi positif antara


tekanan darah dan tekanan intraokuler di Kaukasia, Jepang dan Cina
(Ceowston, 2009). Secara khusus, beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa tekanan darah sistemik yang tinggi dikaitkan dengan adanya sedikit
peninggian tekanan intraokular (Vital, 2009).
Hubungan antara peningkatan tekanan intraokular dengan hipertensi
yaitu perubahan tekanan intraokular berhubungan dengn perubahan tekanan
arteri (Ya xing wang, 2013). Setiap kenaikan 10 mmHg tekanan darah sistolik
dapat meningkatkan tekanan intraokuler sebesar 0,23-0,31 mmHg dengan
rata-rata 0,27 mmHg (Klein, 2007). Pada tekanan diastolik, setiap kenaikan
10 mmHg akan meningkatkan 0,19-0,6 mmHg tekanan intraokuler (Hulsman,
2007).
Faktor yang menentukan TIO adalah volume cairan intraokuler,
pembuluh darah arteri dan vena (volume khoroidal), volume vitreus rigiditas
sklera, komplians intraokular dan tonus otot-otot ekstraokular. Sedangkan
volume cairan intraokuler ditentukan juga oleh kecepatan produksi humor
aqueous dan drainasenya (Salmon, 2009).
Telah dihipotesiskan bahwa peningkatan TIO dan tekanan darah
mungkin didorong oleh faktor ekstrinsik yang umum seperti peningkatan
tonus simpatis terkait usia. Sebagai alternatif, peningkatan tekanan darah
cenderung meningkatkan tekanan arteri siliary, sehingga meningkatkan
komponen ultra filtrasi. Dari produksi air, menghasilkan peningkatan TIO.
Selain itu, karena peningkatan tekanan arteri ciliary dapat menghasilkan
peningkatan kecil pada tekanan vena episklera, sehingga terjadi hambatan
keluar aliran aqueous humor, yang dapat berkontribusi pada TIO yang lebih
tinggi (Zheng He, 2011).

2.4. Kerangka Teori

Hipertensi

Universitas Muhammadiyah Palembang


28

Peningkatan tekanan vena


episklera

Hambatan keluar
aliran humor aquos

Peningkatan
tekanan intraokular

Gambar 2.11. Kerangka Teori

2.5. Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara hipertensi dengan peningkatan TIO.
H1 : Terdapat hubungan antara hipertensi dengan peningkatan TIO.

Universitas Muhammadiyah Palembang


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah analitik korelatif dengan desain Cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober ─ November 2019.

3.2.2. Tempat Pelaksanaan


Penelitian ini dilakukan di poli mata Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari dan di poli mata Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi
3.3.1.1. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien di Rumah
Sakit di Kota Palembang.

3.3.1.2. Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien poli
mata di Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
Bari dan di poli mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang datang di poli mata.
30

3.3.2.1. Cara Pemilihan Sampel


Cara pemilihan sampel pada penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode consecutive sampling.

3.3.2.2. Estimasi Besar Sampel


Besar sampel yang diperlukan untuk kelompok target
hitung berdasarkan rumus dibawah ini (Sudigdo et al, 2011).
n = Zα2PQ
d2
n = 1,6452 x 0,6 x 0,4
0,12
n = 2,706 x 0,6 x 0,4
0,01
n = 64.9 = 65 orang
Keterangan :
Zα = Tingkat Kemaknaan (1,645)
P = Proporsi hipertensi (60%)
Q = 1-P (40%)
Perhitungan sampel dengan kemungkinan terjadinya drop out
= 10% x Besar sampel
= 10% x 65
= 6,5 = 7 orang
Jadi, jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 72
sampel.

3.3.3. Kriteria Penelitian


3.3.3.1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang datang ke poli mata yang mengalami keluhan
pada mata.
b. Pasien yang berusia ≥ 40 tahun.

Universitas Muhammadiyah Palembang


31

c. Pasien yang bersedia menjadi responden penelitian dengan


menandatangani informed consent.
3.3.3.2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang mengalami trauma pada mata sebelumnya.
b. Pasien yang mengalami infeksi pada mata.
c. Pasien yang mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus.
d. Pasien yang mengkonsumsi golongan obat beta blocker.

3.4. Variabel Penelitian


3.4.1. Variabel Bebas
Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah hipertensi.
3.4.2. Variabel Terikat
Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah tekanan
intraokuler.

3.5. Definisi Operasional


Tabel 3.1. Definisi Operasional
V Cara Ukur Alat S Ha
ar Definisi Ukur k sil
ia a Uk
Operasion
b al l ur
el a
y
a U
n k
g u
di r
u
k
u
r

Universitas Muhammadiyah Palembang


32

1 Hi Terjadinya 1. Manset karet difiksasi 1. Spigmomano N- Hipertensi,


p peningkatan tekanan melingkari lengan meter o Jika
er darah secara 2. Denyut pada (Manual m ≥ 140/90
te persisten dalam dua pergelangan tangan ABN) i - Tidak
n kali pengukuran diraba, sementara 2. Stetoskop n hipertensi,
si dengan selang waktu tangan yang lain (Riester) al jika
lima menit pada saat digunakan untuk <
kondisi cukup mengembangkan 140
istirahat /tenang manset sampai suatu /90
dimana tekanan tekanan, dimana denyut
darah sistolik lebih arteri radialis tidak lagi
dari atau sama teraba
dengan 140 mmHg 3. Stetoskop diletakkan
dan tekanan darah diatas denyut arteri
diastolik lebih dari brakialis pada fosa
Tid
atau sama dengan 90 kubiti
ak
mmHg 4. Tekanan pada manset
hip
karet diturunkan
erte
perlahan dengan
nsi
melonggarkan katupnya
5. Tekanan diturunkan,
catat saat bunyi
pertama dan saat bunyi
sudah tidak terdengar
lagi.

2 T Tekanan di 1. Pasien berbaring 1.Tonometer N- Meningkat,


e dalam bola 2. Mata ditetesi anestesi (Schiotz) o jika TIO
k mata yang mata 2.Anestesi lokal m ≥21
a nilainya 3. Plunger (tabung (tetes mata i - Tidak
n ditentukan penampung) ditaruh Pantokain 2%) n meningkat
a oleh pada bola mata a jika TIO
n kecepatan (kornea) l <21

Universitas Muhammadiyah Palembang


33

pembentuka 4. Beban 5,5 gram


I n aqueous dipasang di ujung
n humor dan plunger. Jika mata
t tahanan kencang, diberikan
r terhadap tambahan beban 7,5
a aliran dan 10 gram pada
o keluarnya plunger
k dari mata. 5. Pembacaan skala
u
l
a
r

3.6. Cara Pengumpulan Data


Data penelitian ini diambil dengan data primer. Data primer yang
dihasilkan dari pengukuran tekanan darah dan pengukuran TIO.
3.7. Cara Pengelolaan dan Analisis Data
3.7.1. Cara Pengelolaan Data
Langkah-langkah dalam pengolahan data sebagai berikut:
1. Editing adalah setiap data hasil pengukuran diperiksa untuk
memastikan bahwa telah mencukupi jumlah sampel.
2. Coding adalah pemberian kode pada setiap hasil pengukuran yang
terkumpul dalam lembar hasil pengukuran untuk memudahkan proses
pengolahan data.
3. Processing adalah melakukan pemindahan atau memasukan data dari
hasil pengukuran kedalam komputer untuk diproses secara
komputerisasi.

Universitas Muhammadiyah Palembang


34

4. Cleaning adalah proses yang dilakukan setelah data masuk ke


komputer, data akan diperiksa apakah ada kesalahan atau tidak.
5. Tabulating pada tahap ini hasil data pengukuran responden
dikelompok dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan,
kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.

3.7.2. Analisis Data


1. Analisis univariat, analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisa bivariat, Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Uji chi square merupakan uji korelatif yang digunakan dalam
data di penelitian ini. Uji signifikan antara data yang diobservasi
dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan (α
< 0,05) yang artinya apabila diperoleh p < α, berarti ada
perbandingan yang signifikan antara variabel independent dengan
variabel dependent dan bila nilai p > α, berarti tidak ada
perbandingan yang signifikan antara variabel independent dengan
variabel dependent. Uji alternative yang dipakai pada penelitian ini
yaitu uji fisher’s.

3.8. Alur Penelitian

Seluruh pasien yang berkunjung ke poli mata di


poli mata RSMP dan RSUD Bari

Pemilihan sampel sesuai kriteria


inklusi dan kriteria eksklusi

Pengisian informed
consent

Pemeriksaan tekanan darah Muhammadiyah Palembang


Universitas
dan TIO
Pengumpulan
data
35

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai