Anda di halaman 1dari 23

Adakah hubungan antara riwayat stroke dengan keluhan sekarang?

Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis (fungsi


saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).
Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme yang mendasari adalah
pulihnya fungsi sel otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang
sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit saraf yang
sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan
dengan pemulihan neurologis yang terjadi. Setelah lesi otak menetap, pemulihan
fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan
pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu
untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
optimal.
Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan pada proses reorganisasi atau
plastisitas otak melalui:
1. Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui terapi
latihan menggunakan berbagai metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung
pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif, yang membantu terbentuknya
proses belajar dan plastisitas otak.
2. Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional pasien dan
kemampuan fungsi pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan berulang-ulang
untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku,
atau perubahan lingkungan. Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat terapi, penyakit penyerta dan
atau komplikasi medis, serta berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
serta dukungan dan ekonomi keluarga.
Gangguan yang terjadi pasca stroke:
* Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan bermacam-
macam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan
fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.
1. Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan
menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada
mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)
b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)
c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)
d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)
e. menamakan
f. meniru
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu beberapa atau bahkan
semua kemampuan berbahaya (afasia global). Secara umum afasia dibedakan menjadi
afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia transkortikal motorik,
afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian
aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita,
semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan gangguan
pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih
bermanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan
diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan
fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan
menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2. Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal,
akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan
artikulasi. Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara,
artikulasi, resonansi dan prosodi. Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan sesuai
dengan penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,
meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah,
otot leher dan otot pernapasan.
* Gangguan Fungsi Luhur
Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling luhur pada manusia, yang
membedakan manusia dengan mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan
jaringan yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu
sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi
fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi.
Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi
kognisi antara lain kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi,
persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas,
pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain sebagainya.
Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur memerlukan rehabilitasi spesifik.
Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguanfungsi
kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama. Salah satu yang perlu
mendapat perhatian adalah hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan semua yang berada di sisi
kirinya. Pasien tersebut seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada makanan atau
minuman yang diletakkan di sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia
tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya. Gangguan ini tidak sama
dengan hemianopsia, dimana lapang pandang pasien menjadi terbatas.
* Gangguan Menelan
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan menelan akibat
stroke cukup banyak berkisar antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2
minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia merupakan gejala
klinis penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain
dehidrasi dan malnutrisi.
Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan.
Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai
berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada keseimbangan duduk, perlu
diberikan tunjangan bantalan agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan dengan kepala
sedikit menunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba menelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan apakah terjadi
elevasi laring yang menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah ada
keterlambatan atau terjadi proses menelan yang inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Monitor suara yang terdengar kering
atau basah/serak.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf aaa.... Monitor
kembali bagaimana suara yang terdengar.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan
minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan lebih
lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow study) atau FEES (fiberoptic
endoscopic evaluation of swallowing).
* Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder
yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi,
namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya residu sisa dalam
kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan
menyebabkan timbulnya infeksi kandung kemih. Pasien inkontinensia karena uninhibited
bladder dapat diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah
minum dan urine pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan
voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih dengan
pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti
antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio urin.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi
akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain
gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh
obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup
cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi),
serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
* Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya
kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi,
keseimbangan dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari
kemampuan mempertahankan posisiduduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri
statik dandinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu
diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi
ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan
tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau
bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri
serta jalannya dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di
dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu
tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.
* Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk mengerjakan
semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas.
Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat
dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya
aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang
perlu ditolong oleh keluarga.
* Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk sedikit
bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti
itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan mengharapkan kondisi
seperti ini akan bertambah baik. Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan
untuk aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi
roda. Hal tersebut disebabkan oleh endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi
lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang diperlukan untuk
bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi
cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien
jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan
duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan
istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi
untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil
makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan
bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya
melempar bola masuk ke keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila dilakukan sesering
mungkin akan memperbaiki/meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan
beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik
atau menggunakan theraband atau karet ban dalam bekas. Suasana hati yang murung juga
membuat pasien merasa cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan
tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh
keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna bagi
orang
Pada pasien ini, gejala yang dialami sekarang, yaitu imobilisasi, minum dan
makan hanya sedikit dan tidak mau bicara didapat dari komplikasi pasca stroke yang
tidak direhabilitasi dengan baik.
Apakah penyebab, faktor resiko dan komplikasi, tata laksana stroke?
1. Stroke Hemoragik
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan
parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya.
Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan
struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan
sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi
jaringan otak dan menekan batang otak.
Etiologi dari Stroke Hemoragik :
1) Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80%
di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinis :
 Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan
dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu
nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan
epistaksis.
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan
dapat disertai kejang fokal / umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan
bola mata menghilang dan deserebrasi
 Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.
2) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinis :
 Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
 Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan
kejang.
 Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit
sampai beberapa jam.
 Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
 Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid.
 Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan
2. Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik, Infark Otak, Penyumbatan)
Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-kranial atau
hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau
ketidakstabilan hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah
kepala dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya.
Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh plak

aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi
penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah
otak yang terkena.
Faktor Risiko Stroke
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor
risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung
(fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang
aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.

Penatalaksanaan Stroke
STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan
tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak
meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid;
hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT
scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit,
protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika
hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah
memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang.
STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik maupun penyulit.
Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial
untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu,
menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien
yang dapat dilakukan keluarga.
1. Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil
analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL
dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg%
dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula
darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv
sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan
muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220
mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada
2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,
gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah
20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90
mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500
mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika
belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin
2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal
100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-P (recombinant tissue Plasminogen
Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika
didapatkan afasia).
2. Stroke Hemoragik
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah.
Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan
labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)
maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan
300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke
iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi
dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi
saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi Pada
perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan
bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun (gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang
panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif
primer dan sekunder
Terapi fase subakut:
 Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
 Penatalaksanaan komplikasi,
 Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara,
terapi kognitif, dan terapi okupasi,
 Prevensi sekunder
 Edukasi keluarga dan Discharge Planning

Apa penyebab tidak mau makan, minum, tidak mau bicara, dan batuk selama
sebulan? Akibatnya apa? Faktor resiko?
Tidak mau makan dan minum
Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan digestif dan absorpsi
akibat hilangnya opioid endogen dan hiperkolesistokinin yang berakibat anoreksia,
penyakit periodontia yang berakibat gangguan mengunyah, penurunan motilitas perut
hingga terjadi konstipasi. Ketidaknyamanan ini berakibat inanisi (tidak mau makan).
Selain itu pada geriatri juga terjadi perubahan fisiologis saluran cerna. Pertama,
terjadi penurunan indera pengecap dan pencium, banyak lansia tidak dapat menikmati
aroma dan rasa makanan. Bertambahnya umur berkorelasi negatif dengan jumlah taste
buds pada lidah lansia, nilai ambang terhadap aroma, rasa manis, pahit dan asin pun
meningkat. Kemudian terjadi pula penurunan produksi saliva yang akan menyebabkan
mulut relatif kering (xerostomia) yang semakin mengganggu indera pengecap atau
perasa.
Kedua, reseptor pada esofagus menjadi kurang sensitif dengan adanya makanan.
Kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan pun menurun, ditambah lagi
dengan pengosongan lambung yang terlambat. Akhirnya terjadilah refluks gastroesofagal
karena fungsi sfingter esofagus yang melemah.
Ketiga, pada lambung terjadi penurunan motilitas lambung yang menyebabkan
pengosongan lambung menjadi lebih lambat. Pada lansia usia 80 tahun, sering terjadi
atopic gastritis. Kehilangan epitel lambung juga menyebabkan berkurangnya pH lambung
yang berakibat penurunan absorbsi besi, kalsium, vitamin B6, vitamin B12 dan asam
folat. Karena pH lambung berkurang, kemampuan pertahanan diri pun menjadi menurun
dan menyebabkan tumbuhnya bakteri pada usus halus. Ketiga hal inilah yang membuat
pasien merasa tidak nyaman untuk makan dan akhirnya menjadi tidak mau makan
(inanisi).
Batuk-batuk
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana
alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk
menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan.
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena
bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paruparu,atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker
paru atau penggunaan alkohol.
Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk,nyeri dada
demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi sinar-x dan pemeriksaan sputum.
Pengobatan tergantung penyebab dari pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati
dengan antibiotika.
Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada semua kelompok
umur, dan menunjukan penyebab kematian pada orang tua dan orang dengan penyakit
kronik. Tersedia vaksin tertentu untuk pencegahan terhadap jenis pnuemonia. Prognosis
untuk tiap orang berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat,ada
tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut.
GEJALA
Orang dengan pneumonia sering kali disertai batuk berdahak, sputum kehijauan
atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Disertai nafas yang
pendek,nyeri dada seperti pada pleuritis ,nyeri tajam atau seperti ditusuk. Salah satu nyeri
atau kesulitan selama bernafas dalam atau batuk. Orang dengan pneumonia, batuk dapat
disertai dengan adanya darah,sakit kepala,atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit
lembab. Gejala lain berupa hilang nafsu makan,kelelahan,kulit menjadi
pucat,mual,muntah,nyeri sendi atau otot. Tidak jarang bentuk penyebab pneumonia
mempunyai variasi gejala yang lain. Misalnya pneumonia yang disebabkan oleh
Legionella dapat menyebabkan nyeri perut dan diare,pneumonia karena tuberkulosis atau
Pneumocystis hanya menyebabkan penurunan berat badan dan berkeringat pada malam
hari. Pada orang tua manifestasi dari pneumonia mungkin tidak khas. Bayi dengan
pneumonia lebih banyak gejala,tetapi pada banyak kasus, mereka hanya tidur atau
kehilangan nafsu makan
Diagnosis
Untuk diagnosa suatu pneumonia,perawatan berdasarkan gejala-gejala dari pasien
dan penemuan dari pemeriksaan fisik. Informasi dari foto thorax,pemeriksaan darah dan
kultur sputum sangat membantu. Foto thorax khususnya di gunakan di rumah sakit dan
beberapa klinik dengan fasilitas sinar x. Bagaimanapun pengaturan dalam
masyarakat(praktek umum) pneumonia biasanya didiagnosa berdasarkan gejala dan
pemerikasaan fisik sendiri. Diagnosa pneumonia sulit pada beberapa orang,khususnya
mereka yang mempunyai penyakit lain. Kadang dengan CT scan atau tes yang lain yang
diperlukan untuk membedakan pneumonia dari penyakit lain.
PEMERIKSAAN FISIK
Individu dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi medis. Pemeriksaan fisik
untuk perawatan kesehatan menunjukan demam atau kadang-kadang suhu tubuh
menurun,peningkatan frekwensi pernapasan(RR),penurunan tekanan darah,denyut
jantung yang cepat,atau saturasi oksigen yang rendah, dimana jumlah oksigen dalam
darah yang diindikasikan oleh pulse oximetri atau analisis gas darah. Orang yang
kesulitan bernafas, bingung atau dengan sianosis(kulit berwarna biru) memerlukan
pertolongan segera. Mendengarkan paru-paru dengan stetoskop(auskultasi) akan
menunjukan beberapa hal. Hilangnya suara nafas normal, adanya suara retak(rales),atau
peningkatan suara bisikan(whispered pectoryloqui) dapat mengenali daerah pada paru
yang keras dan yang penuh cairan yang dinamakan “konsolidasi”.Pemeriksa dapat juga
merasakan permukaan dada(palpasi) dan mengetuk dinding dada(perkusi) untuk
mengetahui lebih jauh lokasi konsolidasi. Pemeriksa juga dapat meraba untuk
meningkatkan getaran dari dada ketika berbicara(fremitus raba).
Pemeriksaan Laboratorium
Pada sebagian besar kasus jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi dan
kadang leukositosis. Pada hitung jenis terdapat “geser ke kiri” dan dapat dipakai sebagi
petunjuk diagnosis infeksi akut yang penting. Peningkatan ureum darah terjadi pada 30%
kasus, peningkatan ringan serum transaminase 20% kasus, dan peninggian kreatinin dan
gula darah dapat terjadi. Ditemukan pula hiponatremi dan hipofosfatemi.
Gambaran radiologik, bila jelas akan tampak gambaran infiltrate paru. Kadang
sulit menilai gambaran foto toraks, terutama bila terdapat dehidrasi, sehingga infiltrate
belum tampak dalam waktu 24-48 jam perawatan. Pada pneumoni yang dini, pneumoni
oleh bakteri gram negatif, foto toraks kadang tampak normal.

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?


Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis yang menunjukkan sikap segan
untuk berhubungan dengan sekitarnya atau sikapnya acuh tak acuh. Tekanan darah
120/70 mmHg tergolong normal. Respiratory Rate (RR) 30 kali/menit, meskipun RR
pada lansia memang normalnya lebih tinggi, namun RR yang tinggi juga mengarah pada
infeksi saluran bagian bawah seperti pada pneumonia. Suhu 36,5oC suhu normal pada
umumnya adalah 36,5oC - 37,2oC, suhu pada lansia tidak dapat menginterpretasikan suatu
keadaan secara pasti karena proses thermoregulasi yang mengalami penurunan
sensitifitasnya, misalnya pada kasus infeksi lansia tidak selalu menunjukkan gejala
demam atau pada penurunan suhu yang tidak disadari hingga lansia jatuh dalam kondisi
hipotermia. Heart Rate (HR) 108 kali/menit, normalnya pada lansia HR adalah lebih dari
90 kali/menit

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang?


Hasil leukosit 7500, leukosit adalah salah satu komponen yang membentuk darah
dan berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian
dari sistem kekebalan tubuh. Kadar normal 4000-11.000/mm3. Namun pada beberapa
kasus infeksi tidak selalu menunjukkan peningkatan pada leukosit, sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang lain.
Hasil foto thorax PA menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah
kanan, adanya bayangan kesuraman yang homogen pada satu lobus/lebih dan terlihat
konsolidasi pada satu lobus/lebih, serta becak infiltrat merupakan salah satu gejala yang
didapatkan pada penyakit pneumonia.

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan paru?


Pada auskultasi didapatkan suara dasar bronkhial, suara ini dapat diakibatkan
adanya konsolidasi paru sehingga udara dalam paru menurun. Selain itu di dapatkan
suara tambahan ronkhi basah kasar merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi
di saluran nafas besar dengan intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih
lama biasa ditemukan pada kasus udem pulmo, dekompensasi kordis sinistra, gagal
jantung kongestif (CHF), dan pneumonia. Pada palpasi didapat stem fremitus
meningkat yang menunjukkan adanya konsolidasi paru, misalnya pada fibrosis dan
pneumonia.

Adakah kegawatdaruratan pada pasien?


Kegawatdaruratan yang dialami eyang Yoso adalah kondisinya yang sudah apatis,
tidak mau makan, minum menyebabkan kondisi eyang Yoso nertambah buruk karena
nutrisinya yang tidak terpenuhi. Serta tidak mau bangun dari tempat tidur ini dapat
menyebabkan terjadinya ulkus dekubitus jika dilakukan terus-menerus. Selain itu kondisi
batu yang dialami eyang Yoso menunjukkan adanya penyakit pneumonia yang diderita
eyang Yoso sehinggadiperlukan tatalaksana yang sesuai dan cepat.

Apa indikasi kasur dekubitus?


- Pasien dengan kondisi yang menyebabkan turah baring cukup lama selama
pengobatan, seperti pada pasien stroke, fraktur, koma, dan lainnya.
- Pasien yang mengalami immobilisasi sehingga gerakannya terbatas.
- Pasien dengan risiko dekubitus setelah dilakukan skoring Norton.

Bagaimana factor risiko ulkus dekubitus?


Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah
kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan
pada suatu daerah secara terus- menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Area yang biasa terkena adalah tempat di atas tonjolan
tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah
sacrum, troclanter mayor, SIAS, dan daerah tumit, serta siku. Usia lanjut
berpotensi besar untuk terjadi ulkus dekubitus, karena pada lansia didapatkan
berkurangnya jaringan lemak subkutan, jaringan kolagen dan elastic, serta
menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit yang menyebabkan kulit
menjadi lebih tipis dan lebih rapuh.
Klasifikasi berdasar AHCPR (The Agency of Health Care Policy and
Research), yaitu stadium I apabila manifestasinya eritema, stadium II apabila
sudah terjadi kehilangan epidermis dan dermis, stadium III apabila berkembang
ke jaringan lunak, dan stadium IV jika otot dan tulang sudah terlihat. Pencegahan
Ulkus dekubitus dapat dilakukan dengan penilaian menggunakan skor norton
pada pasien dengan imobilisasi. Skor Norton memiliki 5 variabel yaitu kondisi
fisik, kondisi mental, aktivitas, mobilitas, dan inkontinensia, yang kemudian
diinterpretasikan sebagai resiko tinggi jika skor <14, resiko 50% jika skor <12,
resiko sedang jika skor 12-13, dan resiko kecil jika skor 14. Selain itu dengan
merubah posisi sesering mungkin juga akan dapat mencegah ulkus dekubitus.
Menegnai penatalaksanaan, hal ini sesuai dengan stadium ulkus dekubitus, pada
stadium I bisa dilakukan pembersihan dengan air hangat dan sabun serat amsase
ringan, untuk stadium II dapat dilakukan rangsangan sirkulasi dengan digesek es
dan air hangat secara bergantian, juga dapat diberi salep topical. Stadium III
menjaga kelembapan dan kebersihan, serta pemberian antibiotik, sementara
stadium IV ditambhand engan preparat enzim, oksigenasi, dan pembuangan
jaringan yang nekrotik (Pranarka dan Martono,, 2011)
Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat
tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko
terjadi luka dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien.
Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan
luka dekubitus diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia,
infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan usia.
Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri,
tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus
memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari
drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang
dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan
inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat
tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2005).

Faktor risiko terjadinya dekubitus antara lain, yaitu :


1. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,
sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus
menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk terkena
luka tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
Penelitian yang dilakukan Suriadi (2003) di salah satu rumah sakit di Pontianak juga
menunjukan bahwa mobilitas merupakan faktor yang signifikan untuk perkembangan
luka tekan.
2. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk
merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi
dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan.
3. Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan
terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah
mengalami erosi. Selain itu kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena
pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan
dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan
enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
4. Tenaga yang merobek ( shear )
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan,
pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang
yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika
pasien diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini
pasien bisa merosot ke bawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah
namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah,
serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan
sedikit kerusakan pada permukaan kulit.
5. Pergesekan ( friction)
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan.
Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit.
Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.
6. Nutrisi
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian
Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orangtua berhubungan
dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak
mencukupi.
7. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka tekan
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan
kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi
berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.
Studi yang dilakukan oleh kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang
terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar
untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat
bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi
oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia.
Imobilsasi berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000)
menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu:
a. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi,
penyakit-penyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau
cairan tubuh).
b. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan
c. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau
peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap
tertentu (Andika, 2011).
8. Tekanan arteriolar yang rendah
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan
sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan
menjadi iskemia. Studi yang dilakukan oleh Nancy Bergstrom (1992) menemukan bahwa
tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan luka
tekan.
9. Stress emosional
Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga
merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan.
10. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki
efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002)
ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka
tekan.
11. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan faktor yang
signifikan dengan risiko terjadinya luka tekan.
13. Anemia
Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin
mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi
jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu
metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
14. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai
kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat
seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini
meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien
kakesia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk
melindungi tonjolan tulang dari tekanan ( Potter & Perry, 2005).
15. Obesitas
Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah
kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari
tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh
vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang
berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi
(Potter & Perry, 2005).
16. Demam
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa
mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik
tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin
rentan mengalami iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan
meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi
kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2005).
17. Gangguan Sirkulasi Perifer
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan
mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang
menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan
sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2005).

Bagaimana medikasi pasien ulkus dekubitus?


Karena luka tekan lebih mudah dicegah daripada diobati, setiap orang yang
berpartisipasi dalam perawatan pasien bertanggung jawab untuk mencegah kerusakan
kulit. Jika kerusakan kulit sudah terjadi, semua pemberi asuhan harus berusaha
mempercepat
penyembuhan dekubitus.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
1. Rubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali. Ketika merubah hindari pergesekan
seperti menggeser pasien dengan linen atau alat-alat lain.
2. Anjurkan pasien untuk duduk di kursi roda setiap 10 menit untuk mengurangi
tekanan. Bila penderita dapat duduk, dapat didudukkan di kursi. Gunakan
bantalan untuk penyangga ke 2 kaki dan bantal – bantal kecil untuk menahan
tubuh penderita. Bila memungkinkan ganti posisi tidur penderita setiap hari
dengan cara mengganjalnya dengan bantal atau bantalan busa.
3. Anjurkan masukan nutrisi yang tepat dan cairan yang adekuat.
4. Segera bersihkan feses atau urin dari kulit karena bersifat iritatif terhadap kulit.
Cuci dan keringkan daerah tersebut dengan segera.
5. Laporkan adanya area kemerahan dengan segera.
6. Jaga agar kulit tetap bersih dan kering.
7. Jaga agar linen tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan/ tidak kusut dan benda
keras.
8. Mandikan pasien dan beri perhatian khusus pada daerah-daerah yang berisiko
mengalami tekanan atau gesekan.
9. Masase sekitar daerah kemerahan dengan menggunakan lotion.
10. Beri sedikit bedak tabur yang mengandung calamine, zinc, camphor yang
bermanfaat untuk mencegah kerusakan kulit akibat garukan karena gatal. Jangan
sampai bedak menumpuk atau menggumpal.
11. Lakukan latihan ROM minimal 2 kali sehari untuk mencegah kontraktur.
12. Periksa kesesuaian dan penggunaan penahan atau restrein.
13. Periksa selang NGT dan kateter untuk memastikan bahwa selang tersebut tidak
pada posisi yang dapat menyebabkan iritasi.
14. Gunakan kasur busa, kasur kulit, atau kasur perubah tekanan. Jika pasien harus
menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus,
yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara.

Mengapa pasien diminta untuk konsul ke bagian rehabilitasi medik?


Konsultasi ke bagian rehabilitasi medik penting karena upaya rehabilitasi harus
segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan pasien sudah stabil. Fisioterapi pasif
perlu diberikan bahkan saat pasien masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan
dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bcara atau
menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah pasien bisa berjalan sendiri, terapi
fisis dan okupasi perlu diberikan, agar pasien bisa kembali mandiri. Pendekatan
psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang biasanya
sangat menurun setelah terjadinya stroke.

Anda mungkin juga menyukai