Anda di halaman 1dari 85

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan resume portofolio mata
kuliah Keperawatan Sistem Gawat Darurat 2 .

Makalah “resume portofolio mata kuliah Keperawatan Sistem Gawat


Darurat 2” disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Keperawatan Sistem
Gawat Darurat 2. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Merina
Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing dan sebagai Penanggung
Jawab Mata Kuliah Keperawatan Sistem Gawat Darurat 2. Untuk teman-teman
serta pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu karena mereka banyak
membantu dalam proses penulisan, penyusunan daalam resume ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


portofolio ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Surabaya, 2018

Penulis

ii
Daftar Isi

Table of Contents
Daftar Isi ............................................................................................................................. iii
BAB 1 ...................................................................................................................................iv
1.1 Konsep Icu ...........................................................................................................iv
BAB 2 ................................................................................................................................... x
2.1 Konsep OK ........................................................................................................... x
2.2 Fase- Fase Operatif ........................................................................................... xvi
2.4 Peran Perawat Perioperatif............................................................................... xvi
2.5 Asuhan Keperawatan Perioperatif ................................................................... xvii

iii
BAB 1

1.1 Konsep Icu

1.1.1 Definisi Icu


Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan
di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil
merawat pasien sakit gawat yang perlu penanganan dengan segera dan
pemantauan intensif (Gulli et al, 2001). Fungsi utama ICU adalah merawat pasien
yang dalam keadaan kritis, memantau keadaan pasien secara terus menerus dan
memberikan tindakan segera jika dibutuhkan pasien tersebut (Hanafie, 2007).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU
di Rumah sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi
di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia (Pane, 2012).
Perawat memiliki beberapa peran di ICU antara lain sebagai advokat, care
giver, kolaborator, peneliti, coordinator, konsultan. Dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien, serta hubungan dengan dokter, dikenal beberapa peran
perawat, yaitu Peran Independen (mandiri), Dependen (tergantung pada dokter),
dan Kolaborasi (Interdependen). Peran mandiri merupakan peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh
perawat secara mandiri. Peran kolaborasi merupakan peran perawat dalam
mengatasi permasalahan secara team work dengan tim kesehatan (Priharjo 1995).
1.1.2. Indikasi dan Kontraindikasi Pasien Masuk ICU
Indikasi masuk ICU : Pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya
sewaktu-waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multiple organ atau
sistem dan masih ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali oleh perawatan,
pemantauan dan pengobatan intensif. Indikasi masuk ICU ada indikasi sosial yaitu
masuknya pasien ke ICU karena ada pertimbangan social (Irfan, 2010).
Kontra indikasi masuk ICU : yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah
pasien dengan penyakit yang menular dimana penularan penyakit melalui udara.
(contohnya : pasien dengan gangrene, TB aktif dll (Irfan, 2010). Apapun kategori
dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda klinis penyakit kritis biasanya

iv
serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan gangguan pada fungsi pernafasan,
kardiovaskular, dan neurologi. Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah takipnea,
takikardia, hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi atau bingung,
agitasi atau penurunan tingkat kesadaran).
1) Golongan pasien prioritas 1
pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan
tertitrasi, seperti: dukungan, bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ atau
sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif atau inotropik, obat anti aritmia, serta
pengobatan rain-rainnya secara kontinyu dan tertitrasi.
2) Golongan pasien prioritas 2
Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di lCU,
sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan purmonary arteriar catheter.
3) Golongan pasien prioritas 3
Pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, yang
disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya.
1.1.3 Indikasi Pasien Keluar ICU
Prioritas pasien dipindahkan dari lCU berdasarkan pertimbangan medis
oleh kepala lCU atau tim yang merawat pasien, antara lain:
a. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga
tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.
b. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi
pada waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus
(seperti ventilasi mekanis) (Supriantoro, 2011).
Sebelum dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan
penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU.
a. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar
paksa)
b. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada
pasien lain yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi yang
lebih intensif. Pasien seperti ini hendaknya diusahakan pindah ke ruang
yang khusus untuk pemantauan secara intensif yaitu HCU (Supriantoro,
2011).
1.1.4 Alur Pelayanan ICU
Pasien yang memerlukan pelayanan ICU dapat berasal dari (Supriantoro,
2011) :
1. Pasien dari IGD
2. Pasien dari HCU
3. Pasien dari Kamar operasi atau. kamar tindakan lain, seperti: kamar
bersalin, ruang endoskopi, ruang dialisis, dan sebagainya.
4. Pasien dari bangsal (Ruang Rawat Inap).

v
1.1.5 Peran Perawat Kritis dalam Pemenuhan KDM
Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan
pasien yang berkualitas tinggi dan komprehensif.
a. Advokat: Perawat melindungi hak klien sebagai manusia dan secara
hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila
dibutuhkan.
b. Care Giver: Perawat membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya
melalui proses penyembuhan.
c. Kolaborator: Peran ini dilakukan perawat karena perawat bekerja bersama
tim kesehatan lainnya seperti dokter, fisioterapis, ahli gizi, apoteker, dan
lainnya dalam upaya memberikan pelayanan yang baik (Vicky, 2010).
d. Peneliti: Peran sebagai pembaharu dan peneliti dilakukan dengan
mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan sistematis, dan terarah
sesuai metode pemberian pelayanan (Vicky, 2010).
e. Koordinator: Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan,
dan mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian layanan dapat terarah serta sesuai kebutuhan (Vicky, 2010).
1.1.6 Klasifikasi Pelayanan ICU
No Primer Sekunder Tersier
1 Resusitasi jantung Resusitasi jantung
paru paru
2 Resusitasi jantung Pengelolaan jalan Pengelolaan jalan
paru napas,termasuk napas,termasuk
intubasi trachea dan intubasi trachea dan
ventilasi mekanik ventilasi mekanik

3 Terapi oksigen Terapi oksigen Terapi oksigen


4 Pemasangan kateter Pemasangan kateter Pemasangan kateter
vena sentral vena sentral dan vena sentral, arteri,
arteri swan ganz, ICP dan
ECHO monitoring

5 Pemantauan EKG, Pemantauan EKG, Pemantauan EKG,


Puls oksimetri Puls oksimetri Puls oksimetri
dan tekanan dan tekanan dan tekanan

vi
darah non invasive darah non invasive darah non invasive
dan invasive dan invasive, swan
ganz
6 Pelaksanaan terapi Pelaksanaan terapi Pelaksanaan terapi
secara titrasi secara titrasi secara titrasi

7 Pemberian nutrisi Pemberian nutrisi Pemberian nutrisi


enteral dan enteral dan enteral dan
parenteral parenteral parenteral

8 Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan


laboratorium khusus laboratorium khusus laboratorium khusus
dengan cepat dan dengan cepat dan dengan cepat dan
menyeluruh menyeluruh menyeluruh

9 Fungsi vital dengan Fungsi vital dengan Fungsi vital dengan


alat alat portable alat alat portable alat alat portable
selama transportasi selama transportasi selama transportasi
pasien gawat pasien gawat pasien gawat

10 Kemampuan Kemampuan Kemampuan


melakukan melakukan melakukan
fisioterapi dada fisioterapi dada fisioterapi dada

11 - Melakukan prosedur Melakukan prosedur


isolasi isolasi

12 - Melakukan Melakukan
hemodialisis dan hemodialisis dan
kontinyu kontinyu

vii
Komen: menurut pengalaman yang pernah saya lihat, ICU diprioritaskan untuk
pasien yang mempunyai harapan hidup yang besar dan setelah pasien sudah stabil,
pasien dipindahkan keruangan perawatan biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Carol Vestal. 1998. Comprehending the Nursing Process. A workbook


approach. Jakarta:EGC.
Asmadi, 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:EGC
Carolyn, et all. 1997. Critical Care Nursing Seventh Edition. Philadelphia:
Lippincott Company.
Dwidiyanti M. 1987. Aplikasi model konseptual Keperawatan, Semarang: Akper
Dep.Kes.
Dewi Ratna Sari, S.Kep.Ns.MM.2013.”Komunikasi Efektif: SBAR”. Mayapada
Hospital
Kemenkes. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah
Sakit. Diakses pada 9 September 2014 melalui
www.kemenkes.go.id
Kusnanto, S.Kp. M.Kes. 2003. Pengantar profesi dan praktik Keperawatan
profesional.
Laura A, Talbot. 1997. Pengkajian Keperawatan Kritis. Jakarta :EGC
NANDA internasional. 2012. Nursing Diagnosis: Definition and Clasification
20012-2014. Jakarta:EGC
Nursalam (2007), Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktek Keperawatan
Proffesional. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam, Very Evendi. 2010. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Pane, TH. 2012. Peran Keluarga dalam Perawatan ICU. Jurnal Universitas
Sumatera Utara diakses melalui
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31771/4/Chapter%
20II.pdf
Paula J. Christensen. 2009. Proses Keperawatan: Aplikasi Model Konseptual.
Jakarta: EGC
Priharjo, R (1995). Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Rahaminta, Brita. Sulisno, Madya. 2012.”Pengalaman Perawat Berkolaborasi
dengan Dokter di Ruang ICU”.Jurnal Nursing Studies.Volume
1,No.1, http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing, 9
September 2013
Russel C.. 2000. Pengantar kepemimpinan dan manajemen keperawatan. Jakarta :
EGC

viii
Sitorus, R, Yulia (2006). Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit;
Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan
Keperawatan di Ruang Rawat, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
Sudarma, M (2008). Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Supriantoro, dkk. 2011. Kemenkes RI tentang Petunjuk Tekhnis Penyelenggaraan
Pelayanan Intensif ICU diakses melalui
http://www.perdici.org/wp-content/uploads/Pedoman-ICU.pdf
Talbot, Laura, dan Mary Meyers-Marquardt. 1997. Pengkajian Keperawatan
Kritis ed2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tappen, R.M., (l 995). Nursing Leadership and Management. Concepts and
Practice. (3 rd edition). Philadelpia: F.A. Davis Company.

ix
BAB 2

2.1 Konsep OK

2.1.1 Pengertian Kamar Operasi


Kamar Operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk
melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, membutuhkan
keadaan steril.
Secara umum lingkungan kamar operasi terdiri dari 3 area.
1. Area bebas terbatas (unrestricted area)
Pada area ini petugas dan pasien tidak perlu menggunakan pakaian khusus
kamar operasi.
2. Area semi ketat (semi restricted area)
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi
yang terdiri atas topi, masker, baju dan celana operasi.
3. Area ketat/terbatas (restricted area).
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi
lengkap dan melaksanakan prosedur aseptic.
2.1.2. Job Description Kamar Operasi
Peran perawat perioperatif tampak meluas, mulai dari praoperatif,
intraoperatif, sampai ke perawatan pasien pascaanestesi. Peran perawat di kamar
operasi berdasarkan fungsi dan tugasnya terbagi 3 yaitu :
1. Perawat administratif
2. Perawat pada pembedahan
3. Perawat pada anestesi
Peran perawat perioperatif dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Lamanya pengalaman bertugas dikamar operasi, terutama pada kamar
pembedahan khusus, seperti sebagai perawat instrumen di kamar bedah
saraf, onkologi, ginekologi, akan memberikan dampak yang besar terhadap
peran perawat dalam menentukan hasil pembedahan.
2. Kekuatan dan ketahanan fisik. Beberapa jenis pembedahan, seperti bedah
saraf, toraks, kardiovaskular, atau spina memerlukan waktu operasi yang
panjang. Perawat instrumen harus berdiri dalam waktu lama dan

x
dibutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Agar mengikuti jalannya
pembedahan secara optimal, dibutuhkan kekuatan dan ketahanan fisik
yang baik.
3. Keterampilan terdiri atas keterampilan psikomotor, manual, dan
interpersonal yang kuat. Perawat instrumen diharapkan mampu untuk
mengintegrasikan antara keterampilan yang dimiliki dengan keinginan dari
operator bedah pada setiap tindakan yang dilakukan dokter bedah dan
asisten bedah.
4. Sikap professional. Pada kondisi pembedahan dengan tingkat kerumitan
yang tinggi, timbul kemungkinan perawat melakukan kesalahan saat
menjalankan perannya. Perawat harus bersikap professional, dan
menerima teguran.
5. Pengetahuan tentang prosedur tetap yang digunakan institusi. Perawat
menyesuaikan peran yang akan dijalankan dengan kebijakan dimana
perawat tersebut bekerja.
Peran Perawat Pre Operasi
Sebelum tindakan operasi dimulai, peran perawat melakukan pengkajian pre
operasi awal, merencanakan penyuluhan dengan metode yang sesuai dengan
kebutuhan pasien, melibatkan keluarga atau orang terdekat dalam wawancara,
memastikan kelengkapan pemeriksaan praoperasi, mengkaji kebutuhan klien
dalam rangka perawatan post operasi.
a) Pengkajian
Sebelum operasi dilaksanakan pengkajian menyangkut riwayat kesehatan
dikumpulkan, pemeriksaan fisik dilakukan, tanda-tanda vital di catat dan data
dasar di tegakkan untuk perbandingan masa yang akan datang.
b) Informed Consent
Memastikan bahwa informed consent yang di berikan dokter di dapat dengan
sukarela dari klien, sebelumnya diberikan penjelasan dan jelas mengenai
pembedahan dan kemungkinan resiko.

xi
c) Pendidikan Pasien Pre operasi
Penyuluhan pre operasi didefinisikan sebagai tindakan suportif dan
pendidikan yang dilakukan perawat untuk membantu pasien bedah dalam
meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah pembedahan.
d) Informasi Lain
Pasien mungkin perlu diberikan penjelasan kapan keluarga atau orang
terdekat dapat menemani setelah operasi.
1) Peran Perawat Administratif
Perawat administratif berperan dalam pengaturan manajemen penunjang
pelaksanaan pembedahan. Biasanya terdiri dari perencanaan dan pengaturan staf,
kolaborasi penjadwalan pasien bedah, perencanaan manajemen material, dan
manajemen kinerja.
Peran perawat administratif :
a) Perencanaan dan Pengaturan Staf
Tanggung jawab manajemen tang dipercayakan dan diberikan kepada
perawat administratif. Menurut Gruendemann (2006), ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pengaturan staf, yaitu :
1) Mengidentifikasi jenis pekerjaan yang akan dilakukan
2) Mengidentifikasi jumlah staf yang diperlukan
3) Mengidentifikasi tipe pekerja yang diperlukan untuk pekerjaan
tersebut
4) Mengembangkan pola pengaturan untuk penjadwalan staf.
Penjadwalan staf meliputi pengembangan kebijakan penjadwalan dan
pengembangan jadwal kerja untuk staf.
b) Identifikasi Jenis Pekerjaan
Dikamar operasi staf pekerjaan dibagi menjadi staf perawatan langsung
dan staf perawatan tak langsung. Staf perawatan langsung terdiri dari
perawat scrub, perawat sirkulasi (unloop), perawat anestesi, dan perawat
asisten operasi. Staf perawatan tidak langsung tidak memberikan asuhan
langsung kepada pasien.
c) Penjadwalan staf

xii
Kebijakan penjadwalan menjadi kerangka kerja untuk mengembangkan
jadwal kerja staf yang dilakukan secara adil dan konsisten, dalam
kaitannya dengan pedoman penjadwalan yang jelas.
d) Penjadwalan Pasien Bedah
Dilakukan oleh perawat administratif berkolaborasi dengan dokter bedah
pada setiap kamar bedah yang tersedia.
e) Manajemen Material dan Inventaris
Perawat administratif yang melakukan perencanaan dan control terhadap
inventaris dan material biasanya adalah Kepala Perawat di ruang operasi
yang dibantu oleh staf nonoperatif.
f) Pengaturan kinerja
Pengaturan kinerja dengan cara yang sistematis agar staf dapat mencapai
tujuan penyelesaian tugas secara optimal. Perencanaan kegiatan sistematis
direncanakan secara individual terhadap seluruh staf.
2) Peran Perawat Instrumen
Perawat scrub atau di Indonesia dikenal sebagai perawat instrumen memiliki
tanggung jawab terhadap manajemen instrumen operasi pada setiap jenis
pembedahan. Secara spesifik peran dan tanngung jawab dari perawat instrumen
adalah sebgai berikut :
1) Perawat instrumen menjaga kelengkapan alat instrumen steril yang sesuai
dengan jenis operasi.
2) Perawat instrumen harus selalu mengawasi teknik aseptik dan memberikan
instrumen kepada ahli bedah sesuai kebutuhan dan menerimanya kembali.
3) Perawat instrumen harus terbiasa dengan anatomi dasar dan teknik-teknik
bedah yang sedang dikerjakan.
4) Perawat instrumen harus secara terus menerus mengawasi prosedur untuk
mengantisipasi segala kejadian.
5) Melakukan manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi.
Mengatur alat-alat yang akan dan telah digunakan. Pada kondisi ini
perawat instrumen harus benar-benar mengetahui dan mengenal alat-alat
yang akan dan telah digunakan beserta nama ilmiah dan mana biasanya,
dan mengetahui penggunaan instrumen pada prosedur spesifik.

xiii
6) Perawat instrumen harus mempertahankan integritas lapangan steril
selama pembedahan.
7) Dalam menangani instrumen, Perawat instrumen harus mengawasi semua
aturan keamanan yang terkait.
8) Perawat instrumen harus memelihara peralatan dan menghindari kesalahan
pemakaian.
9) Perawat instrumen harus bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan
kepada tim bedah mengenai setiap pelanggaran teknik aseptik atau
kontaminasi yang terjadi selama pembedahan.
10) Menghitung kasa, jarum, dan instrumen. Perhitungan dilakukan sebelum
pembedahan dimulai dan sebelum ahli bedah menutup luka operasi.
3) Peran Perawat Sirkulasi
Perawat sirkulasi atau dikenal juga dengan sebutan perawat unloop
bertanggung jawab menjamin terpenuhinya perlengkapan yang dibutuhkan oleh
perawat instrumen dan mengobservasi pasien tanpa menimbulkan kontaminasi
terhadap area steril. Perawat sirkulasi adalah petugas penghubung antara area
steril dan bagian ruang operasi lainnya. Secara umum, peran dan tangggung jawab
perawat sirkulasi adalah sebagai berikut :
a) Menjemput pasien dari bagian penerimaan, mengidentifikasi pasien, dan
memeriksa formulir persetujuan.
b) Mempersiapkan tempat operasi sesuai prosedur dan jenis pembedahan
yang akan dilaksanakan.
c) Memeriksa kebersihan dan kerapian kamar operasi sebelum pembedahan.
d) Membantu memindahkan pasien ke meja operasi, mengatur posisi pasien,
mengatur lampu operasi, memasang semua elektroda, monitor, atau alat-
alat lain yang mungkin diperlukan.
e) Membantu tim bedah mengenakan busana (baju dan sarung tangan steril)
f) Tetap ditempat selama prosedur pembedahan untuk mengawasi atau
membantu setiap kesulitan yang mungkin memerlukan bahan dari luar
area steril.
g) Berperan sebagai tangan kanan perawat instrumen untuk mengambil,
membawa, dan menyesuaikan segala sesuatu yang diperlukan oleh

xiv
perawat instrumen, selain itu juga untuk mengontrol keperluan spons,
instrumen dan jarum.
h) Membuka bungkusan sehingga perawat instrumen dapat mengambil
suplai steril.
i) Mempersiapkan catatan barang yang digunakan serta penyulit yang
terjadi selama pembedahan.
j) Bersama dengan perawat instrumen menghitung jarum, kasa, dan
kompres yang digunakan selama pembedahan.
k) Apabila tidak terdapat perawat anestesi, maka perawat sirkulasi
membantu ahli anestesi dalam melakukan induksi anestesi.
l) Mengatur pengiriman specimen biopsy ke labolatorium.
m) Menyediakan suplai alat instrumen dan alat tambahan.
n) Mengeluarkan semua benda yang sudah dipakai dari ruang operasi pada
akhir prosedur, memastikan bahwa semua tumpahan dibersihkan, dan
mempersiapkan ruang operasi untuk prosedur berikutnya.
4) Peran Perawat Anestesi
Perawat anestesi adalah perawat dengan pendidikan perawat khusus anestesi.
Peran utama sebagai perawat anestesi pada tahap praoperatif adalah memastikan
identitas pasien yang akan dibius dan melakukan medikasi praanestesi. Kemudian
pada tahap intraoperatif bertanggung jawab terhadap manajemen pasien,
instrumen dan obat bius membantu dokter anestesi dalm proses pembiusan sampai
pasien sadar penuh setelah operasi.
5) Peran Perawat Ruang Pemulihan
Perawat ruang pemulihan adalah perawat anestesi yang menjaga kondisi pasien
sampai sadar penuh agar bisa dikirim kembali ke ruang rawat inap. Tanggung
jawab perawat ruang pemulihan sangat banyak karena kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat pada fase ini. Perawat yang bekerja diruangan ini harus
siap dan mampu mengatasi setiap keadaan darurat. Walaupun pasien di ruang
pemulihan merupakan tanggung jawab ahli anestesi, tetapi ahli anestesi
mengandalkan keahlian perawat untuk memantau dan merawat pasien sampai
benar-benar sadar dan mampu dipindahkan keruang rawat inap.

xv
2.2 Fase- Fase Operatif
a) Fase Praoperatif
Fase ini dimulai saat intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien
dikirim ke meja operasi. Lingkup aktifitas keperawatan: penetapan
pengkajian dasar pasien, menjalani wawancara praoperatif, dan menyiapkan
pasien untuk anestesi pada pembedahan. Macam anestesi yang diberikan :
Anestesi umum yaitu anestesi yang menghambat sensasi di seluruh tubuh;
Anestesi lokal yaitu anestesi yang menghambat sensasi di sebagian tubuh atau
di bagian tubuh tertentu.
b) Fase Intraoperatif
Fase ini dimulai ketika pasien masuk ke bagian bedah dan berakhir saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas keperawatan:
memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan
fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien.
c) Fase Pascaoperatif
Fase Pascaoperatif dimulai pada saat pasien masuk keruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut. Lingkup aktifitas keperawatan:
mengkaji efek anestesi, membantu fungsi vital tubuh, serta mencegah
komplikasi. Peningkatan penyembuhan pasien dan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut.
2.4 Peran Perawat Perioperatif
a) Fase Pre-Operatif
Keperawatan pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif.
Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase
ini. Tugas perawat:
1) Persiapan fisik klien meliputi: status kesehatan fisik secara umum, status
nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, pengosongan kandung kemih,
latihan pra-operasi (latihan tarik napas dalam, latihan ROM),
2) Persiapan penunjang (EKG, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
laboratorium)
3) Persiapan jenis anestesi yang diberikan

xvi
4) Informed consent
5) Persiapan mental dan psikis klien
b) Fase Intraoperatif
1) Mengatur posisi klien saat akan dioperasi untuk keselamatan klien itu
sendiri
2) Melakukan pematauan Fisiologis, memperhitungkan efek dari hilangnya
atau masuknya cairan secara berlebihan pada pasien, membedakan data
kardiopumonal yang normal dengan yang abnormal, melaporkan
perubahan-perubahan pada nadi, pernafasan, suhu tubuh dan tekanan darah
pasien.
3) Memberikan dukungan emosional pada pasien dan mengkaji status
emosional pasien
c) Fase Pascaoperatif
1) Mengkaji efek dari anesthesia
2) Memantau tanda-tanda vital klien
3) Mencegah adanya komplikasi dari operasi
4) Memberikan penyuluhan agar mempercepat proses penyembuhan klien
5) Perawatan tindak lanjut setelah operasi (rehabilitasi)
6) Pemulangan
2.5 Asuhan Keperawatan Perioperatif
Diagnosa keperawatan 1: Ansietas berhubungan dengan perubahan status
kesehatan
Kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, rasa
cemas/ansietas teratasi
Intervensi Keperawatan:
Awasi respon fisiologis (takipnea, palpitasi, pusing, sakit kepala, sensasi
kesemutan).
Dorong pernyataan takut dan ansietas dan berikan umpan balik.
Berikan informasi akurat, nyata tentang apa yang dilakukan.
Dorong orang terdekat tinggal dengan pasien, berespon terhadap tanda
panggilan dengan cepat. Gunakan sentuhan dan kontak mata dengan cepat.

xvii
Tunjukkan teknik relaksasi, contoh : visualisasi, latihan napas dalam,
bimbingan imajinasi.
Berikan obat sesuai dengan indikasi dokter.
Komen : menurut pengalaman saya, pasien yang akan dioperasi diutamakan
pasien yang operasinya membutuhkan waktu yang cukup lama dan yang gawat.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari.2009.Asuhan Keperawatan Perioperatif Konsep,


Proses, dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.

xviii
BAB 3

3.1 Askep Kritis ARDS

1 Definisi

Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan sindrom yang


ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air,
larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi
cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein.
Faktor resiko Trauma langsung pada paru:
a) Pneumoni virus,bakteri,fungal
b) Contusio paru
c) Aspirasi cairan lambung
d) Inhalasi asap berlebih
e) Inhalasi toksin
f) Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
Trauma tidak langsung:
a) Sepsis
b) Shock
c) DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d) Pankreatitis
e) Uremia
f) Overdosis Obat
g) Idiophatic (tidak diketahui)
h) Bedah Cardiobaypass yang lama
i) Transfusi darah yang banyak
j) PIH (Pregnand Induced Hipertension)
k) Peningkatan TIK
l) Terapi radias

2 Patofisiologi
ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskuler. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak
langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi
dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih : Inisiasi, Amplikasi,
dan injury. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan
menyebabkan sel – sel imun dan non imun melepaskan mediator – mediator dan
modulator – modulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase
amflikasi, sel efektor seperti netrofil teraktifasi, tertarik ke dan tertahan di dalam
paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi,
termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan
mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ketiga disebut fase injury,
kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan
permiabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang

xix
alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus,
dan terjadi kerusakan lebih jauh.
3 Gejala klinis:
a) Penurunan kesadaran mental
b) Takikardi (denyut jantung cepat), takipnea (nafas cepat)
c) Dispnea dengan kesulitan bernafas
d) Terdapat retraksi interkosta
e) Sianosis
f) Hipoksemia
g) Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
h) Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
i) Hipotensi
j) Febris (demam)
4 Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
b) Foto dada
5 Konsep Askep ARDS
1) Pengkajian awal
Airway :
DS: Pasien mengeluh sesak nafas
DO: Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi,
dan suara nafas bronkhial.

Breathing:
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO : pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan
otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal
flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.
Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan
suara nafas bronkhial.
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Penurunan dan tidak
seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada
dada yang ditemukan dengan cara palpasi. Sputum encer, berbusa.

Circulation :
DS: pasien mengeluh sesak nafas
DO: Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia),
hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
Heart rate : takikardi biasa terjadi.
Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat
terjadi. Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal.
Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa
terjadi (stadium lanjut)

xx
2) Pengkajian dasar
Breathing
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO : pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan
otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal
flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.
Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan
suara nafas bronkhial.
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Penurunan dan tidak
seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada
dada yang ditemukan dengan cara palpasi. Sputum encer, berbusa.
Blood
DS : -
DO : kulit terlihat sianosis, hipotensi, Pemeriksaan hasil Analisa Gas
Darah: Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ), Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap
awal karena hiperventilasi, Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal
ventilasi, Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini, Asidosis
respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut

Brain
DS : pasien mengeluh kepala terasa sakit
DO : terjadi penurunan kesadaran mental.

Bladder :
DS : -
DO : -

Bowel
DS : pasien mengeluh mual, dan kehilangan nafsu makan
DO : hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan berat
badan.

Bone
DS : -
DO : terdapat sianosis pada kulit dan kuku.

3) Diagnosa Keperawatan

a) Gangguan pertukaran gas b/d imatur paru dan dinding dada atau
kurangnya jumlah cairan surfaktan.

xxi
b) Tidak efektif bersihan jalan nafas b/d obstruksi atau pemasangan
intubasi trakea yang kurang tepat dan adanya sekret pada jalan nafas.
c) Tidak efektif pola nafas b/d ketidakseimbangan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator, dan posisi bantuan ventilator
yang kurang tepat.
d) Resiko injury b/d ketidakseimbangan asam-basa ; O2 dan CO2 dan
barotrauma ( perlukaan dinding mukosa ) dari alat bantu nafas.
e) Resiko perubahan peran orang tua b/d hospitalisasi sekunder dari
situasi krisis pada bayi.
f) Resiko kurangnya volume cairan b/d hilangnya cairan yang tanpa
disadari ( insensible water loss ).
g) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
menelan, motilitas gastric menurun, dan kurangnya penyerapan.
Perencanaan
a) Pertukaran gas adekuat yang ditandai dengan nilai analisa gas darah dan
saturasi oksigen dalam batas normal.
b) Kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan yang ditandai dengan bunyi
nafas adekuat dan ada pergerakan dinding-dinding dada.
c) Support ventilator tepat dan ada asuhan bayi untuk bernafas yang
ditandai dengan analisa gas darah dalam batas normal.
d) Bayi tidak mengalami ketidakseimbangan asam-basa dan barotrauma.
e) Orang tua bayi akan menerima keadaan anaknya dan mau melakukan
bonding dan mengidentifikasi perannya.
f) Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan.
g) Kebutuhan intake nutrisi dapat dipertahankan.
Implementasi
Mempertahankan pertukaran gas yang adekuat:
a) Identifikasi bayi mungkin adanya resiko-resiko yang muncul
b) Monitor status pernafasan ; distress pernafasan dan lapor ke dokter bila
terjadi keburukan kondisi pernafasan
c) Monitor analisa gas darah, pulse oximetry
d) Posisikan bayi dengan tepat agar ada upaya bayi bernafas

xxii
e) Pertahankan suhu lingkungan netral
f) Mengurangi pegangan
g) Pemberian oxygen sesuai program
Meningkatkan kebersihan jalan nafas
a) Kaji dada bayi apakah bunyi nafas bilateral dan adanya ekspansi selama
inspirasi
b) Atur posisi bayi untuk memudahkan drainage
c) Lakukan pengisapan lender ( suction )
d) Kaji kepatenan jalan nafas setiap jam
e) Kaji posisi ketepatan alat ventilator setiap jam
f) Auskultasi kedua lapang paru
Meningkatkan pola nafas efektif
a) Monitor serial analisa gas darah sesuai program
b) Menggunakan alat bantu nafas sesuai instruksi
c) Pantau ventilator setiap jam
d) Berikan lingkungan yang kondusif supaya bayi dapat tidur, gunakan
sedative bila perlu sesuai program
e) Kaji adanya usaha bayi dalam bernafas
Mencegah injury b/d ketidakseimbangan asam-basa ; O2 dan CO2 dan
barotama
a) Evaluasi gas darah untuk melihat fungsi abnormal pernafasan
b) Monitor pulse oximety
c) Monitor komplikasi
d) Pantau dan pertahankan ketepatan posisi alat bantu nafas atau ventilator

xxiii
Komen : ARDS merupakan suatu penyakit yang menyerang paru dan
menyebabkan kegagalan bernapas.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medical Bedah Pendekatan Sistem


Pernapasan. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doengoes, E. Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
EGC
Huddak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Vol. 2. Jakarta: EGC
Price, Sylvia, Wilson. 2006. Potofisiologi Konsep Klinis Proses – proses
Penyakit. Jakarta : EGC

xxiv
Bab 4
4.1 Askep Kritis CVA Bleeding
1 Definisi
Cerebrovaskuler Accident ( CVA ) Bleeding yang disebut dengan nama lain
stroke hemoragik merupakan gangguan fungsi pada otak yang disebabkan
oleh perdarahan intra serebral atau perdarahan subarachnoid.

a) Perdarahan Intraserebral (ICH :Intra Cerebral Hemorage) adalah suatu


disfungsi neurologis fokal yang akut yang disebabkan oleh perdarahan
primer didalam substantia otak, bukan karena trauma kapitis, disebabkan
oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri, vena serta kapiter.
b) Perdarahan subarachoid (SAH : Sub Arachnoid Hemorage) adalah
keadaan akut dimana terjadi perdarahan otak ke dalam ruang
subarachnoid.
2 Faktor resiko
Faktor resiko bagi stroke iskemik maupun perdarahan terdapat perbedaan,
tapi secara keseluruhan WHO telah menyusun sederetan faktor- faktor resiko
yaitu hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, TIA, atau pernah
mengalami stroke, obesitas, alkoholisme, merokok, hiperlipidemia, infeksi,
faktor genetik atau keluarga serta faktor-faktor lain seperti migren suhu
dingin, pil kontrasepsi dengan estrogen tinggi dan lain-lain.
3 Etiologi
a) Perdarahan intra serebral
perdarahan ini disebabkan oleh karena pecahnya arteria, pembuluh
kapiler atau vena dalam parenkim otak. Oleh karena lemahnya pembuluh
darah akibat hipertensi, arteriosklerosis, infiltrasi tumor, diskrasia darah.
b) Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan ini dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma, kelainan
pembekuan darah, tumor otak dan beberapa sebab lain.
4 Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria
serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari
pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau
didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan.
Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga
mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, sposme ini dapat
menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-
aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada

xxv
arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-
kadang pecah saat melakukan aktivitas.
Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak
sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung
pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan
terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi
yang tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat
meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang
tidak perdarahan, sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak
baik secara umum maupun lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan
konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa hari.
5 Manifestasi klinis
Stroke akibat perdarahan intra serebral mempunyai gejala prodromal yang
tidah jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan sering kali siang
hari, saat aktivitas atau emosi atau marah. Sifat nyeri kepala hebat sekali. mual
dan muntah sering kali terdapat pada awal serangan. Hemi parese atau hemiplegi
biasa terjadi sejak awal serangan. Kesadaran biasanya turun dan cepat masuk
koma. Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis nyeri
kepala hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada
gejala atau tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila ada
perdarahan sub arachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri. Komunikans
anterior atau arteri karotis interna (Kapita selekta kedokteran, 2000 : 18).
1) Perdarahan Introserebral
Secara umum perdarahan introserebral merupakan gambaran klinis akibat
akumulasi darah dalam parenkim otak. Perdarahan intraserebral khas terjadi
waktu aktivitas. Perjalanan penyakit akut 1-2 jam sakit kepala hebat biasanya
disertai penurunan kesadaran yang bervariasi, tergantung dari perdarahan.
2) Perdarahan Subarochnoid
Perdarahan subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat
hebat (berbeda dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1
menit dan sakit kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang
dilaksanakan oleh penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti
nyeri dan kekakuan pada leher, kesadaran hilang umumnya 1-2 jam, kejang
sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%) perdarahan subarochnoid sering
diakibatkan oleh arterivena malformasi.
6 Diagnosis
1) Anamnesa
2) Pemeriksaan neurologi sesuai dengan gejala klinis

xxvi
3) CT-Scan
4) Punksi lumbal

7 Penatalaksanaan
1) Perdarahan Intraserebral
Management non bedah dimulai dari menjaga jalan nafas, kateterisasi
urinaria, tetapi hipertensi penurunan tekanan arteri terlalu cepat harus
dihindari (turunkan secara perlahan untuk menghindari penurunan tekanan
perfusi jaringan yang cepat karena dapat menimbulkan iskemi jaringan).
Turunkan sistol sampai 140 mmHg dan diastol sampai 90 mmHg dengan
anti hipertensi parenteral. Dianjurkan menggunakan zat hiperiosmetik
(monitol). Observasi adanya tekanan intruksanial yang meningkat. Operasi
pola indikasi tegas untuk kransotomi untuk mengevakuasi darah pada
perdarahan intraserebral, namun diperkirakan hanya penderita dengan Gcs
7-10 mempunyai kemungkinan hidup bila dilakukan pembedahan tetapi
pemulihan fungsionalnya tetap jelek.
2) Perdarahan Subarochnoid
Perawatan umum meliputi menghindari tekanan darah yang mengikat
sedosi atau fenoborbital menghindari kegelisahan dan tensi yang
meningkat. Bila kejang dapat diberikan anti konvulson yang efektif dengan
dosis 30 mg peroral 3 kali perhari, untuk menghindari mengejang
diberikan pelunak feses misal dioksil suksinat sedium 100 mg peroral
perhari. Pemberian anti fibrolitik untuk memecah perdarahan ulang akibat
lisis atau bekuan darah ditempat yang mengalami perdarahan tadi. Operasi
dilakukan dalam 2 hari pertama setelah perdarahan yang dianggap untuk
mengurangi perdarahan ulang.
8 Asuhan Keperawatan CVA Bleeding
a) Pengkajian

a. Identitas
Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku,
agama, alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal
pengkajian diambil) dan identitas penanggung jawab (nama, umur,
pendidikan, agama, suku, hubungan dengan klien, pekerjaan, alamat).
b. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak

xxvii
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala,
mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kotrasepsi oral yang lama, penggunan obat-obat anti
koagulasi, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu
b) Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadang mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia,
TTV meningkat, nadi bervariasi.
 B1 (Breathing)
Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan sputum, sesak
napas, penggunaan alat bantu napas, dan peningkatan frekuensi
napas.
 B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan
darah biasanya terdapat peningkatan dan dapat terjadi hipertensi
masif (tekanan darah >200 mmHg)
 B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran
area perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori).
 B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan

xxviii
kebutuhan dan ketidakmampuan mengendalian kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
 B5 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk.
c) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien lanjut usia kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor dan koma
d) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal dan hemisfer
e) Pengkajian Saraf Kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central
f) Pengkajian Sistem Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh
g) Pengkajian Reflek
Pada fase akur refleks fisiologis yang lumpuh akan menghilang setelah
beberapa hari reflek fisiologi muncul kembali didahului refleks patologis
h) Pengkajian Sistem Sensori
Dapat terjadi hemihipertensi.
9 Diagnosa Keperawatan, Tujuan dan Intervensi

a) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah sekunder akibat


peningkatan tekanan intracranial.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak gelisah.
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
3) GCS E : 4, M: 6, V: 5.
4) TTV normal (N: 60-100 x/menit, S: 36-36.7 OC, RR: 16-20 x/menit).
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada keluarga tentang sebab-sebab peningkatan TIK

xxix
dan akibatnya.
Rasional : keluarga dapat berpartisipasi dalam proses penyembuhan.
2) Berikan klien bed rest total.
Rasional : untuk mencegah perdarahan ulang.
3) Observasi dan catat TTV dan kelainan intrakranial tiap 2 jam.
Rasional : mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini
untuk penetapan tindakan yang tepat.
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30o dengan letak jantung (beri bantal
tipis).
Rasional : mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainase vena dan
memperbaiki sirkulasi serebral.
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan.
Rasional : batuk dan mengejan dapat meningkatkan TIK dan potensial terjadi
perdarahan ulang.
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.
Rasional : rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan TIK.
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor.
Rasional : memperbaiki sel yang masih viable.
b) Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau oral.
Tujuan : setelah diberikan tindakan selama 3x24 jam diharapkan
kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1) Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi
2) Mampu berbicara yang koheren
3) Mampu menyusun kata-kata
Intervensi :
1) Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti spontan tidak tampak memahami
kata/mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional : membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral
yang terjadi.
2) Bedakan antara afasia dan disatria.
Rasional : intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya.

xxx
3) Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana.
Rasional : melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
(afasia sensorik).
4) Minta pasien untuk mengucapkan suara sederhana.
Rasional : mengidentifikasi adanya disatria sesuai komponen motorik dari
bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat
mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia
motorik.
5) Berikan metode alternatif seperti menulis di papan tulis.
Rasional : memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarakan
keadaan defisit yang mendasarnya.
6) Kolaborasi konsultasikan dengan rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional : mempercepat proses penyembuhan.
a. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
mobilisasi klien mengalami peningkatan atau perbaikan.
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan posisi optimal.
2) Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang mengalami
hemiparese.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal.
Rasional : mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan
informasi mengenai pemulihan.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
Rasional : menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
3) Latih rentang gerak/ROM
Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontroktur.
4) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada
tangan.
Rasional : mencegah aduksi bahu dan fleksi siku.

xxxi
5) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional : mempertahankan posisi fungsional.
b. Defisit perawatan diri b.d hemiparase/hemiplegic.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan.
2) Klien dapat mengidentifikasikan komunitas untuk memberikan bantuan
sesuai kebutuhan.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan
perawatan diri.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi merencanakan pemenuhan
kebutuhan secara individual.
2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas sesuai
kemampuan.
Rasional : meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-
menerus.
3) Berikan bantuan perawatan diri sesuai kebutuhan.
Rasional : memenuhi kebutuhan perawatan diri klien dan menghindari
sifat bergantung kepada perawat.
4) Berikan umpan balik positif untuk setiap usaha yang dilakukannya.
Rasional : meningkatkan kemandirian dan mendorong klien berusaha
secara kontinyu.
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional : memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangan
rencana terapi.
c. Resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya reflek batuk
dan menelan, immobilisasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pola nafas efektif.
Kriteria hasil :

xxxii
1) Klien tidak sesak nafas.
2) Tidak terdapat suara nafas tambahan.
3) RR dalam rentang normal (16-20 x/menit)
Intervensi :
1) Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan pola napas.
2) Auskultasi suara nafas.
Rasional : mengetahui adanya kelainan suara nafas.
3) Ubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : perubahan posisi dapat melancarkan saluran nafas.
4) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga sebab ketidakefektifan
pola nafas.
Rasional : klien dan keluarga berpartisipasi dalam mencegah
ketidakefektifan pola nafas.
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen.
Rasional : mempertahankan kepatenan pola nafas.
d. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi :
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM jika mungkin.
Rasional : meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Rasional : menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah yang
menonjol.
Rasional : menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang
menonjol.
4) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.

xxxiii
5) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas
terhadap kulit.
Rasional : mempertahankan keutuhan kulit.
e. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi gangguan nutrisi.
Kriteria hasil :
1) Turgor kulit baik.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan.
3) Tidak muntah.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan, dan reflex
batuk.
Rasional : untuk menentukan jenis makanan yang akan diberikan
kepada klien.
2) Berikan makan dengan bertahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa ada
gangguan dari luar.
3) Berikan makanan dalam penyajian masih hangat.
Rasional : menarik minat makan klien.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan makanan melalui selang.
Rasional : mungkin dibutuhkan bila klien dalam penurunan kesadaran.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit yang tepat.
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
f. Defisiensi pengetahuan b.d informasi tidak adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kebutuhan pengetahuan klien dan keluarga
terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis, dan program pengobatan.

xxxiv
Intervensi :
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik.
Rasional : mengetahui tingkat pengetahuan klien.
2) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
Rasional : memenuhi kebutuhan informasi pasien.
3) Sediakan bagi keluarga tentang informasi kemajuan keadaan pasien.
Rasional : memenuhi kebutuhan informasi keluarga.
4) Diskusikan dalam pemilihan terapi atau penanganan terhadap pasien.
Rasional : melibatkan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan
tindakan.
10 Evaluasi
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah sekunder akibat
peningkatan tekanan intracranial.
1) Klien tidak gelisah.
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
3) GCS E : 4, M: 6, V: 5.
4) TTV normal (N: 60-100 x/menit, S: 36-36.7 OC, RR: 16-20
x/menit).
b. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau
oral.
1) Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi
2) Mampu berbicara yang koheren
3) Mampu menyusun kata-kata
c. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
1) Mempertahankan posisi optimal.
2) Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
mengalami hemiparese.
d. Defisit perawatan diri b.d hemiparase/hemiplegic.
1) Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
kemampuan.
2) Klien dapat mengidentifikasikan komunitas untuk memberikan

xxxv
bantuan sesuai kebutuhan.
e. Resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya reflek batuk
dan menelan, immobilisasi.
1) Klien tidak sesak nafas.
2) Tidak terdapat suara nafas tambahan.
3) RR dalam rentang normal (16-20 x/menit)
f. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
1) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
g. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
1) Turgor kulit baik.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan.
3) Tidak muntah.
h. Defisiensi pengetahuan b.d informasi tidak adekuat.
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan program pengobatan.

xxxvi
Komen : menurut pengalaman saya saat praktek, saya menemukan pasien
stroke hemoragik. Pasien ini memiliki perdarahan pada bagian kepala dibagian
dalam dan pasien ini bisa dilakukan operasi untuk mengurangi perdarahan yang
ada didalam dan tidak semua pasien ini menjalani operasi, karena dilihat dulu
seberapa besar perdarahan yang terjadi didalam kepala.

xxxvii
BAB 5
(Askep Kritis Kejang Tetani)
5.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus atau
Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.
Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali
pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan
eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan,
spasme dari otot bergaris.
5.2 Etiologi
Kuman tetanus tidak invasif tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya,
rusak dengan enzim proteolitik. Tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan
dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan
(rigiditas), spasme otot dan kejang-kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel-
sel darah merah.
5.3 Patogenesis

Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora
ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng),
luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus,
tali pusat, kadang-kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Bila keadaan
menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob
disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka
spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak
invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin.
5.4 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat
hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Secara klinis tetanus
terdapat 3 macam yaitu:
1) Tetanus umum
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik
bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot
terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Dalam 24–48
jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar

xxxviii
dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan
otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga
muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus
Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher
bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan
tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal, kesadaran
penderita tetap baik, kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi
2) Tetanus lokal
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekauan otot-otot pada bagian proksimal
dari tempat luka.
3) Bentuk chepalic
Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala,
muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi.
Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: Nervus III, IV, VII, IX,
X, XI,
5.5 Pemeriksaan penunjang
1) Ekg
2) Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau lebih rendah kadar fosfat dalam
serum meningkat
5.6 Prognosa
Dipengaruhi beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of onset, panas,
pengobatan, ada tidaknya kompilkasi, frekuensi kejang.

5.7 Komplikasi
1) Pada saluran pernafasan
2) Pada kardiovaskuler
3) Pada tulang dan otot

5.8 Penatalaksanaan
1) Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan
harus tenang.
2) Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
3) Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tindakan
trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
4) Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva
maka dibersihkan dengan pengisap lendir.
5) Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang
mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori

xxxix
5.9 Pencegahan
1) Perawatan luka
2) Imunisasi pasif
3) Imunisasi aktif

5.10 Pengkajian
1. B 1 (Breathing)
(Inspeksi): apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas penggunaan otot
bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.
(Palpasi) : taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
(Auskultasi) : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan
produksi secret
2. B 2 (Blood)
Didapatkan syok hipovolemik, tekanan darah normal, peningkatan heart rate,
adanya anemis karena hancurnya eritrosit
3. B 3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi
letargi, stupor, dan semikomatosa
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan gaya berbicara, ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik
c) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I: tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.
Saraf II: ketajaman penglihatan normal.
Saraf III, IV dan VI: dengan alasan yang tidak diketahui, klien
mengalami fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.
Saraf V: reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti mulut ikan
(gejala khas tetanus)
Saraf VII : pengecapan normal, wajah simetris
Saraf VIII : tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.
Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus).
Saraf XI : didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
Saraf XII : lidah simetris, indra pengecap normal
d) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi
mengalami perubahan
e) Pemeriksaan refleks
Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum
derajat refleks pada respon normal
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor.

xl
4. B 4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal
5. B 5 (Bowel)
Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang karena
anoreksia dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit BAB
karena spasme otot
6. B 6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang umum.

5.11 Diagnosa dan Intervensi


(Diagnosa I)
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.

Ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai


dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah
abnormal (Asidosis Respiratorik)

Tujuan : Jalan nafas efektif


Kriteria :
Klien tidak sesak, lendir
Pernafasan 16-18 kali/menit
Tidak ada pernafasan cuping hidung
Tidak ada tambahan otot pernafasan
Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas
normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)

Intervensi : bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi


Rasional : meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap
berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas
Intervensi: pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara
nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali.
Rasional : Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas
cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan
sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
Intervensi : Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir
dengan melakukan suction
Rasional : Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan
sekret, sehingga mempermudah proses respirasi
Intervensi : oksigenasi
Rasional : Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
Intervensi : Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam

xli
Rasional : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama.

(Diagnosa 2)
Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan.

Ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya


lendir dan sekret yang menumpuk.

Tujuan : Pola nafas teratur dan normal


Kriteria :
Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn
oksigen
Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
Tidak sianosis.
Intervensi: Monitor irama pernafasan dan respirati rate
Rasional : Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan
dapat dilihat 18 dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama
nafas.
Intervensi : atur posisi luruskan jalan nafas
Rasional : Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses
respirasi dapat berjalan dengan lancar.
Intervensi : observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi
ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer
Intervensi : oksigenasi
Rasional : Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia
Intervensi : Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama.
Intervensi : observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan
(mekanical ventilation).

xlii
(Diagnosa 3)
Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin
(bakterimia).

Ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih
dari 10.000 /mm3

Tujuan : Suhu tubuh normal


Kriteria :
Suhu tubuh 36-37 oC
Hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000 - 10.000/mm3
Intervensi : Atur suhu lingkungan yang nyaman.
Rasional : Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh
individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan
konveksi.
Intervensi : Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : Identifikasi perkembangan gejala gajala ke arah syok exhaution
Intervensi : Berikan hidrasi atau minum yang cukup adequat
Rasional : Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan
kompresi badan dari dalam
Intervensi : Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada
perawatan luka
Rasional : Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang
masih berada disekitar luka.
Intervensi : Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan
kejang.
Rasional : Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan
suhu tubuh dengan cara proses konduksi.

(Diagnosa 4)
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan
otot pengunyah.

Ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat
mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai
hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.


Kriteria :
BB optimal
Intake adekuat
Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %

xliii
Intervensi : Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan
dan pentingnya makanan bagi tubuh
Rasional : Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot
pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang
timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang
adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam
program diit.
Intervensi : Kolaboratif : Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur
kasar. Pemberian carian per IV line Pemasangan NGT bila perlu
Rasional : Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat
membuka mulut dan proses mengunyah. Pemberian cairan perinfus
diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa
makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. NGT dapat
berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.

Komen: menurut saya, tetanus sering terjadi pada luka yang didalamnya terdapat
kuman tetanus dan mengakibatkan kejang pada penderita jika terlambat diberi
pertolongan maka akan mengancam nyawa.

Daftar Pustaka

Batticaca Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif H A, Kusuma H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Nanda Nic Noc


Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction

http://eprints.ums.ac.id/22239/20/2._Naskah_Publikasi_Ilmiah.pdf

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35583
Kep%20Neurobehaviour-Askep%20Tetanus.html#popup

xliv
BAB 6

(Askep Kritis Peritonitis)

6.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang

kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. Peritonitis merupakan sebuah proses

peradangan pada membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan

organ yang terletak didalam nya. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi

peradangan lingkungan sekitarnya melalui perforasi usus seperti ruptur

appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan

lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia

yang iritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari

perforasi kantung empedu atau laserasi hepar. Pada wanita sangat

dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba

fallopi atau rupturnya kista ovari.

6.2 Etiologi
1) Infeksi bakteri

a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

b. Appendisitis yang meradang dan perforasi

c. Tukak peptik (lambung / dudenum)

d. Tukak thypoid

e. Tukan disentri amuba / colitis

f. Tukak pada tumor

g. Salpingitis

h. Divertikulitis

xlv
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta

hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya

adalah clostridium wechii.

2) Faktor ekstrinsik (dari luar)

a. Operasi yang tidak steril

b. Trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa, ruptur hati

6.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Peradangan menimbulkan akumulasi
cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan
tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian
sel. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan
dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal
begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk
dinding abdomen mengalami oedem. Hipovolemia bertambah dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Tifus abdominalis
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke
usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis
yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans
muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang

xlvi
diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis
atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.

6.4 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara

hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi

dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,

Sreptococus atau Pneumococus.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus

gastrointestinal atau tractus urinarius.

c. Peritonitis tersier, misalnya:

- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii

misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

- Aseptik/steril peritonitis

- Granulomatous peritonitis

- Hiperlipidemik peritonitis

xlvii
- Talkum peritonitis

6.5 Tanda dan gejala


Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam
tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum
maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu
pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan
steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatrik.

6.6 Penatalaksanaan
1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok

dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan

vena untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein.

2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan

perbaikan dapat diupayakan.

3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti

apendiktomi.

6.7 Komplikasi
1. Eviserasi Luka

2. Pembentukan abses

6.8 Pemeriksaan penunjang


1. Test laboratorium

Leukositosit

Hematokrit meningkat

2. X. Ray

6.1 Askep Peritonitis


1. Pengkajian

xlviii
Data Subyektif
1) Pasien mengatakan nyeri didaerah perutnya, nyeri sedang
2) Pasien mengatakan mual dan muntah
3) Pasien mengatakan tidak nafsu makan
4) Pasien mengatakan demam
5) Pasien mengatakan badannya meriang
6) Pasien mengatakan susah buang air besar
7) Pasien mengatakan dadanya berdebar-debar, pusing dan nafasnya
cepat
8) pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya

Data Obyektif

1) Pasien tampak meringis


2) Mukosa mulut pasien kering
3) Turgor kulit pasien buruk
4) Pasien tampak gelisah
5) Pasien tampak lemas
6) Badan pasien teraba panas
7) RR pasien meningkat
8) Nadi pasien meningkat
9) Tekanan Darah pasien meningkat
10) Berat badan pasien menurun
11) Perut pasien kembung
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga
abdomen/peritoneal (distensi abdomen) yang ditandai dengan pasien
mengatakan nyeri pada bagian abdomen, pasien tampak meringis
kesakitan.
2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder
akibat infeksi atau inflamasi ditandai dengan pasien mengatakan
demam, badan pasien teraba panas.

xlix
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus ditandai
dengan pasien mengatakan sembelit, terdapat benjolan dikuadran
bawah atau pelvis.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakitnya
ditandai dengan pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya.

l
li
lii
liii
No. Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan Rasional
1. Nyeri akut yang Tujuan : nyeri pasien dapat Mandiri Mandiri
berhubungan dengan berkurang dengan
akumulasi cairan Kriteria Hasil: 1. Kaji skala nyeri pasien 1. Mengetahui penyebab,
dalam rongga 1.Skala nyeri berkurang dengan metode PQRST skala nyeri, kualitas,
abdomen/peritoneal 2.Pasien tidak meringis lokasi, gejala dan
(distensi abdomen) 3.TTV pasien normal periode nyeri yang
- RR = 16-20 x / menit dialami pasien
- TD = 120/80 mmHg sehingga dapat
- Nadi = 80-100 x/menit memberikan
penanganan yang
sesuai dengan keadaan
pasien

2. Kaji TTV pasien terutama 2. Sebagai dasar untuk


nadi,RR dan tekanan darah intervensi selanjutnya

3. Pertahankan posisi semi 3. Memudahkan drainase


fowler sesuai indikasi cairan/luka karena

liv
gravitasi dan
membantu
meminimalkan nyeri
karena gerakan.

4. Ajarkan penggunaan 4. Agar pasien dapat


manajemen nyeri, tehnik menggunakan tehnik-
keadaan hangat tehnik meningkatkan
nafsu makan pasien.

5. Berikan tindakan 5. Meningkatkan


kenyamanan contoh pijatan relaksasi dan mungkin
punggung, nafas meningkatkan
dalam,latihan kemampuan koping
relaksasi/visualisasi pasien dengan
memfokuskan kembali
perhatian.

Kolaborasi

lv
Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian analgetik 6. Menurunkan laju
metabolik dan iritasi
usus karena toksin
sirkulasi/local yang
membantu
menghilangkan nyeri
dan meningkatkan
penyembuhan.

2. Hipertermi Tujuan : suhu tubuh pasien Mandiri Mandiri


berhubungan dengan kembali normal dengan
1. Sebagai dasar untuk
kerusakan kontrol Kriteria Hasil: 1. Kaji TTV, terutama suhu
intervensi selanjutnya.
suhu sekunder akibat 1. Suhu tubuh pasien tubuh pasien
infeksi atau inflamasi. normal (36,5-370 C)
2. Perpindahan panas
2. Pasien tidak meriang 2. Berikan kompres hangat
secara konduksi dari
3. Kulit tidak teraba hangat pada daerah dahi dan ketiak
tubuh pasien ke

lvi
kompres, akan
membantu
mempercepat
penurunan suhu tubuh
pasien.

3. Anjurkan pasien untuk 3. Mengatasi pengeluaran


mengkonsumsi cairan dalam cairan melalui keringat
jumlah yang cukup (1500- akibat peningkatan
2000 ml) suhu tubuh.

Kolaborasi Kolaborasi
4. Kolaborasi dengan dokter 4. Membantu
dalam pemberian antipiretik mempercepat
penurunan suhu tubuh

3. Konstipasi Tujuan : BAB pasien lancar Mandiri Mandiri


berhubungan dengan dengan
1. Catat adanya distensi 1. Distensi dan hilangnya
penurunan peristaltik Kriteria Hasil:

lvii
usus. 1. BAB pasien teratasi abdomen dan auskultasi peristaltic usus
2. Peristaltik normal peristaltic usus. merupakan tanda
3. Perut tidak kembung fungsi defekasi hilang

2. Untuk menstimulasi
2. Anjurkan pasien untuk
peristaltic yang
miring kanan dan miring
memfasilitasi
kiri
kemungkinan
terbentuknya flatus

3. Beri pasien makanan yang 3. Makanan berserat


mengandung serat dapat melembekkan
feses

Kolaborasi
Kolaborasi
4. Untuk memperlancar
4. Kolaborasi dalam
keluarnya feses.
pemberian huknah/lavement
dan obat supositoria

lviii
4 Kurang pengetahuan Tujuan : pengetahuan pasien Mandiri Mandiri
. berhubungan dengan tentang penyakitnya bertambah
1. Dorong pasien untuk 1. Pasien termotivasi
prognosis penyakitnya. dengan
menanyakan hal-hal yang untuk bertanya tentang
Kriteria Hasil:
ingin diketahui mengenai hal-hal yang ingin dia
1. Pasien tidak bertanya-
penyakitnya. ketahui mengenai
tanya lagi tentang
penyakitnya, sehingga
penyakitnya.
pengetahuannya dapat
2. Pasien mengerti dan
bertambah.
memahami tentang
penyakitnya
2. Pengetahuan pasien
2. Berikan informasi mengenai
tentang penyakitnya
hal-hal yang ingin diketahui
dapat bertambah.
pasien mengenai
penyakitnya.

3. Tanyakan kembali kepada


3. Mengetahui tingkat

lix
pasien tentang hal-hal yang pemahaman pasien.
telah dijelaskan perawat

Komen: peritonitis adalah suatu peradangan pada selaput perut ditandai dengan nyeri perut.

Daftar Pustaka

Doegoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG

Smeltzer, Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif, DKK. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

lx
lxi
BAB 7

(Askep Kritis GBS)

7.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu inflamasi /peradangan
akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang
jelas. Ditandai dengan kelemahan motorik, paralisis, dan hiperflasia
simetris asenden dan progresif dengan atau tanpa disertai gejala
sensorik atau otonom.
7.2 Etiologi
Penyebab Guillain Bare Syndrome yang merupakan penyakit
autoimun tidak diketahui. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB,
antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik ; Keganasan, Systemic lupus erythematosus,
Tiroiditis, Penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
7.3 Manifestasi klinis
Gejala awal antara lain adalah : rasa seperti ditusuk-tusuk jarum
diujung jari kaki atau tangan mati raa di bagian tubuh tersebut. Kaki
terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan
telapak tangan tidak bias menggenggam erat atau memutar sesuatu
dengan baik (buka kunci, buka kaleng, dll). Gejala-gejala awal ini
bias hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita
biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya
pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-
gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala klinis lainnya:
kelumpuhan, gangguan sensibilitas, saraf kranialis, gangguan fungsi
otonom, kegagalan pernafasan, papiledema.
7.4 Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan
antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian
mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel
limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan
memproduksi autoantibodi spesifik. Destruksi pada myelin tersebut

lxii
menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara
efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon
perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris
dari seluruh bagian tubuh.
7.5 Pemeriksaan penunjang
1) pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan
kadar protein.
2) EMG
3) MRI
7.6 Penatalaksanaan
1) Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk dilakukan
observasi tanda tanda vital.
2) Pasien dengan progresivitas yang lambat hanya dapat diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
3) Plasma exchange therapy (PE)
4) Intravenous inffusion of human Immunoglobulin dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada.
5) Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas otot setelah paralisa

7.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko
terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada
bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.

7.8 Pemeriksaan fisik


1. B 1 (breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran
napas.
2. B 2 (blood)
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi
perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD
meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
3. B 3 (brain)
a) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis

lxiii
b) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan
tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam
perubahan
c) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
menggaganggu moblitas fisik .
e) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g) Sistem sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4. B 4 (bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

lxiv
5. B 5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang
terpenuhi.
6. B 6 (bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu orang lain.

7.9. Pemeriksaan diagnostik


1) Lumbal pungsi
2) Pemeriksaan kondusif saraf
3) Uji fungsi pulmonal

7.10 Diagnosa dan intervensi


Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan
progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal
pernapasan

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola


napas kembali efektif.
kriteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit.
Tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi : Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,


perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot bantu
pernapasan
Rasional : Menjadi parameter monitoring serangan gagal napas dan
menjadi data dasar intervensi selanjutnya
Intervensi : Evaluasi keluhan sesak napas bak secara verbal
maupun nonverbal
Rasional : Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas
saat bicara, pernapasan dangkal dan ireguler,takikardia dan
perubahan pola napas.
Intervensi : Beri ventilasi mekanik
Rasional : Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai
kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kearah
kemunduran, yang mengindikasikan kearah memburuknya kekuatan
otot pernapasan.

lxv
Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.

Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi


kriteria hasil : stabilitas hemodinamik baik

Intervensi : Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur dalam


keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
Rasional : Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel,
hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran
katekolamin.
Intervensi : Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
Rasional : Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya
kekuatan nadi.
Intervensi : Catat murmur
Rasional : Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung,
(kelainan katup, kerusakan septum, atau fibrasi otot papilar).

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan
makanan.

Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi


kriteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi
akibat penurunan asupan nutrisi

Intervensi : Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi klien


oral
Rasional : Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan
pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan.
Intervensi : Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisisensi
aktivitas parasimpatis
Rasional : Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas
parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui intravena
dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat mementau bising
usus sampai terdengar
Intervensi : Berikan nutrisi via NGT
Rasional : Indikasi jika klien tidak mampu menelan melalui oral
Intervensi : Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan berkurang
Rasional : Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan
perlahan-lahan dan sangat hati-hati.

lxvi
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan
kesadaran.

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas


klien meningkat atau teradaptasi
kriteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis
vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis
yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak
terjadi.

Intervensi : Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan


mobilitas fisik
Rasional : Merupakan data dasar untuk melakukan intervensi
selanjutnya
Intervensi : Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam
pemenuhan aktivitas sehari-hari
Rasional : Bila pemulihan mulai untuk dlakukan, klien dapat hipotensi
ortostatik ( dari disfungsi otonom ) dan kemungkinan membutuhkan
meja tempat tidur untuk menolong mereka mengambil posisi duduk
tegak
Intervensi : Hindari factor-faktor yang memungkinkan terjadinya
trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
Rasional : Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalalmi
kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan peritonial
Intervensi : Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
Rasional : Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional
dan memberikan latihan rentang gerak secara pasif paling sedikit
dua kali sehari
Intervensi : Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
Rasional : Deteksi awal thrombosis vena profunda dan dekubitus
sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah
dilaksanakan.

lxvii
Komen:
Menurut saya, GBS adalah penyakit yang menyerang sistem saraf,
dapat mengakibatkan kelumpuhan, tetapi gbs ini dapat pulih kembali
jika rajin dilakukan trainning.

Daftar Pustaka

lxviii
BAB 8

(Askep Kritis pada Anak)

8.1 Definisi

Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan


pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak
mampu memenuhi metabolisme tubuh.

8.2 Etiologi

Faktor predisposisi : Terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak


dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda dengan orang dewasa,
yaitu :

1. Struktur anatomi
 Dinding dada : Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak
disertai insersi tulang iga yang kurang kokoh, letak iga lebih
horisontal dan pertumbahan otot interkostal yang belum sempurna,
menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas.
 pernafasan: pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter
bronkiolus ½ dewasa, sedangkan ukuran tubuh dewasa 20 kali
neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1
mm saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran pernafasan 75%.
 Alveoli : jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘elastic
recoil’ untuk mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus
alveoli relatif lebih besar dan mudah kolaps. Dengan makin
besarnya bayi, jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan
menambah ‘elastic recoil’.
2. Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak
kerentangan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor
predisposisi gagal nafas
3. Kelainan konginetal
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau
organ lain yang berhubungan dengan alat pernafasan.

Faktor fisiologis dan metabolik


Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar
daripada dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat
mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen
tersebut di capai dengan menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat
pertama adalah kehilangan kalori dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi
otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi dan anak kadar
glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam
organik sebagai hasil metabolisme anaerib akibatnya terjadi asidosis.

lxix
8.3 Patofisiologi

Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan


yaitu obstruksi saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila
seorang anak menderita infeksi saluran nafas maka akan terjadi :

1. Sekresi trakeobronkial bertambah


2. Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3. Aliran darah pulmonal bertambah
4. ‘Metabolic Rate’ bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka
lumen saluran nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan
terperangkapnya udara dibagian distal sumbatan yang akan menyebabkan
gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan difusi dan retensi CO2
menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini disertai kerja
pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan timbulnya
asidosis. Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus
terganggu sehingga terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan
menyebabkan kegagalan pernafasan dan akirnya kematian.
Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal
yang menyebabkan tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan
bekerja lebih berat, beban jantung bertambah dan akirnya menyebabkan gagal
jantung. Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang
mengakibatkan permiabilitas kapiler bertambah, retensi CO2 yang
mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic rate’ yang bertambah,
terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya
gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal
nafas.

lxx
8.4 Manifestasi Klinis

1. Umum : kelelahan, berkeringat

2. Respirasi : wheezing, merintih, menurun/menghilangnya suara


nafas, cuping hidung retraksi, takipnea, bradipnea atau apnea,
sianosis.

3. Kardiovaskuler: bradikardia atau takikardia hebat,


hipotensi/hipertensi, pulsus paroksus 12 mmHg, henti jantung.

4. Serebral : gelisah, iritabilitas, sakit kepala, kekacauan mental,


kesadaran menurun, kejang, koma

8.5 Pemeriksaan Penunjang

Pengenalan dini gagal nafas sulit diketahui secara klinis,


pemeriksaan laboratorium yang terpenting untuk membantu diagnosa
gagal nafas ialah pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui keadaan
oksigenasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa, saturasi O2 dan pH
darah. Pada pemeriksaan BGA pada gagal nafas akan didapat hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis (respiratorik atau metabolik).

8.6 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

- Identitas

- Riwayat Keluarga

- Keluhan Utama

- Kaji keadaan dada

- Kaji tanda terjadinya hipoxia

2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan pertukaran gas b.d perunahan suplay oksigen, perubaha


aliran darah ke pulmonal

b. Resiko tinggi terjadinya kematian b.d obstruksijalan napas

c. Gangguan proses keluarga b/d krisis situasi (penyakit serius pada


anak)Intervensi Keperawatan

d. Intoleransi aktivitas b/d distress pernafasan

lxxi
3. Intervensi

No Intervensi Rasional

1 1. Beri posisi yang dapat 1. Memeberikan rasa nyaman


memaksimalkan dan mencegah adanya
ekspansi paru; komplikasi
tinggikan kepala
selama tidak ada 2. Dengan mengelurkan
kontraindikasi, cek sputum, anak bisa bernafas
secara teratur posisi
dengan baik
klien.
2. Pertahankan jalan 3. Untuk memberi pernapasan
nafas tetap terbuka,
hindari hyperektensi 4. Untuk pemeriksaan lebih
leher gunakan efektif
‘sniffing’ posisi,
anjurkan anak untuk 5. Turgor kulit yang pucat
mengeluarkan sputum. adalah tanda-tanda dari
3. Beri bantuan oksigen
komplikasi dan adanya
4. Jika perlu pertahankan
anak tetap puasa masalah poda paru
5. Kaji warna kulit
6. Observasi usaha nafas 6. Adanya pergerakan dada dan
: Observasi kembang kempis dada
pergerakan dada, merupakan usaha nafas yang
kembang kempis dada baik
dan penggunaan otot
bantu pernafasan
7. Monitor BGA

Komen:

Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada
dewasa.

Daftar Pustaka

lxxii
BAB 9

(Askep Kritis Obstetri)

9.1 Definisi

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup


bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus,
mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan
perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan
(plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per
vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet),
perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.

9.2 Etiologi

Abortus pada wanita hamil bisa terjadi karena beberapa sebab diantaranya:

1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling


umum menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan
8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain
: kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil
pembuahan yang tidak bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat
zat yang berbahaya bagi janin seperti radiasi, obat obatan, tembakau,
alkohol dan infeksi virus.

2. Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan


pembentukan pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh
karena penyakit darah tinggi yang menahun.

3. Faktor ibu seperti penyakit penyakit khronis yang diderita oleh sang
ibu seperti radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi
virus toxoplasma.

4. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada
mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang
lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke
depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.

9.3 Patofisiologi

Pada permulaan, terjadinya perdarahan pada desidua basalis, diikuti


oleh nekrosis jaringa sekitarnya, kemudian sebagian atau seluruh hasil
konsepsi terlepas. Karena dianggap benda asing maka uterus berkontraksi
untuk mengeluarkannya. Pada kehamilan dibawah 8 minggu, hasil
konsepsi dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum menembus

lxxiii
desidua terlalu dalam; sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu telah
masuk agak dalam, sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan
tertinggal, karena itu akan banyak terjadi pendarahan. Pada kehamilan
lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu dari pada plasenta
hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau
benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati,
janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus
papiraseus.

9.4 Klasifikasi

Klasifikasi abortus digolongkan menjadi 2 yaitu :

Abortus spontaneous Yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului


faktor-faktor mekanis atau medisinalis, tetapi karena faktor alamiah.
Aspek klinis abortus spontaneus meliputi :

1) Abortus Imminens

Abortus Imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada


kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus,
dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan
apabila terjadi perdarahan pervaginam pada paruh pertama kehamilan.
Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dari beberapa jam
sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus
mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis, nyeri dapat berupa
nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di
panggul, atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah
suprapubis. Kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama beberapa
minggu.

2) Abortus insipiens

Abortus Insipiens adalah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan


sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat
tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi
lebih sering dan kual perdarahan bertambah. Abortus inkompletus :
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.

3) Abortus kompletus

Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada


penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan
uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat dipermudah apabila hasil

lxxiv
konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah
keluar dengan lengkap.

4) Abortus Servikalis

Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dari uterus dihalangi oleh
ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya
terkumpul dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang
lebih bundar, dengan dinding menipis. Pada pemeriksaan ditemukan
serviks membesar dan di atas ostium uteri eksternum teraba jaringan.
Terapi terdiri atas dilatasi serviks dengan busi Hegar dan kerokan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi dari kanalis servikalis.

5) Missed Abortion

Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi


janin yang telah mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
Etiologi missed abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormone
progesterone. Pemakaian Hormone progesterone pada abortus imminens
mungkin juga dapat menyebabkan missed abortion.

6) Abortus Habitualis

Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut turut. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi
kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu

7) Abortus lnkompletus

Abortus Inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada


kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam
uterus. Apabila plasenta (seluruhnya atau sebagian) tertahan di uterus,
cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama
abortus inkompletus. Pada abortus yang lebih lanjut, perdarahan kadang-
kadang sedemikian masif sehingga menyebabkan hipovolemia berat.

9.5 Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya


terbatas pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan
penghidung. Hal yang diinspeksi antara lain : mengobservasi kulit
terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap drainase,
pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh,
pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas,

lxxv
Inspeksi Vulva : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil
konsepsi, tercium bau busuk dari vulva

2. Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh


dengan jari. Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat
suhu, derajat kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan
kontraksi uterus. Suhu badan normal atau meningkat

Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema,


memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati
turgor. Denyut nadi normal atau cepat dan kecil

Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon


nyeri yang abnormal

3. Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada


permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ
atau jaringan yang ada dibawahnya.

Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang
menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya
refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut
apakah ada kontraksi dinding perut atau tidak.

4. Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan


stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi
yang terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk
tekanan darah, dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising
usus atau denyut jantung janin. Tekanan darah normal atau menurun.

9.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes Kehamilan : Positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu
setelah abortus

2. Pemeriksaaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih


hidup.

3. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

9.7 Komplikasi

1. Perdarahan, perforasi, syok dan infeksi

2. Pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat terjadi
kelainan pembekuan darah

lxxvi
9.8 Penatalaksanaan

Istirahat baring. Tidur berbaring merupakan unsur penting dalam


pengobatan, karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke
uterus dan berkurangnya rangsang mekanik. Terapi hormon progesteron
intramuskular atau dengan berbagai zat progestasional sintetik peroral atau
secara intramuskular.Walaupun bukti efektivitasnya tidak diketahui secara
pasti.

Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan apakah janin masih hidup.

a. Penanganan Abortus Insipiens meliputi :

1) Jika usia kehamilan kurang 16 minggu, lakukan evaluasi uterus


dengan aspirasi vakum manual. Jika evaluasi tidak dapat, segera
lakukan: Berikan ergomefiin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang
setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral
(dapat diulang sesudah 4 jam bila perlu). Segera lakukan persiapan
untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.

2) Jika usia kehamilan lebih 16 minggu : Tunggu ekspulsi spontan


hasil konsepsi lalu evaluasi sisa-sisa hasil konsepsi. Jika perlu,
lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan intravena
(garam fisiologik atau larutan ringer laktat dengan kecepatan 40
tetes permenit untuk membantu ekspulsi hasil konsepsi. Pastikan
untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan

b. Penanganan abortus inkomplit :

1) Jika perdarahant idak seberapab anyak dan kehamilan kurang 16


minggu, evaluasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam
ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui
serviks. Jika perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg
intramuskulera taum iso prostol4 00 mcg per oral

2) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsungd an usia kehamilan


kurang 16 minggu, evaluasi hasil konsepsi dengan :Aspirasi vakum
manual merupakan metode evaluasi yang terpilih. Evakuasi dengan
kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan jika aspirasi vakum manual
tidak tersedia. Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera beri
ergometrin 0,2 mg intramuskuler (diulang setelah 15 menit bila

lxxvii
perlu) atau misoprostol 400 mcg peroral (dapat diulang setelah 4
jam bila perlu).

3) Jika kehamilan lebih dari 16 minggu:Berikan infus oksitosin 20 unit


dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologik atau ringer laktat)
dengan k ecepatan 40 tetes permenit sampai terjadi ekspulsi hasil
konsepsi Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg per vaginam setiap
4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg)
Evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.

4) Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.

c. Penganan abortus kompletus

Penderita dengan abortus kompletus tidak memerlukan pengobatan


khusus, hanya apabila penderita anemia perlu diberikan tablet sulfas
ferrosus 600 mg perhari atau jika anemia berat maka perlu diberikan
transfusi darah.

d. Penanganan abortus servialis

Penganan terdiri atas dilatasi serviks dengan busi Hegar dan kerokan
untuk mengeluarkan hasil konsepsi dari kanalis servikalis.

e. Penanganan missed abortion

Setelah diagnosis missed abortion dibuat, timbul pertanyaan apakah


hasil konsepsi perlu segera dikeluarkan. Tindakan pengeluaran itu
tergantung dari berbagai faktor, seperti apakah kadar fibrinogen dalam
darah sudatr mulai turun. Hipofibrinogenemia dapat terjadi apabila
janin yang mati lebih dari I bulan tidak dikeluarkan. Selain itu faktor
mental penderita perlu diperhatikan karena tidak jarang wanita yang
bersangkutan merasa gelisah, mengetahui ia mengandung janin yang
telah mati, dan ingin supaya janin secepatnya dikeluarkan.

9.9 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

o Identitas Pasien

o Keluhan Utama

o Riwayat Kesehatan

2. Diagnosa Keperawatan

1. Devisit Volume Cairan s.d perdarahan

lxxviii
2. Gangguan Aktivitas s.d kelemahan, penurunan sirkulasi

3. Gangguan rasa nyaman: Nyeri s.d kerusakan jaringan intrauteri

4. Resiko tinggi Infeksi s.d perdarahan, kondisi vulva lembab

5. Cemas.d kurang pengetahuan

3. Intervensi Keperawatan

No Intervensi Rasional
Dx

1 1. Kaji kondisi status 1. Pengeluaran cairan


hemodinamika pervaginal sebagai akibat
abortus memiliki
2. Ukur pengeluran carian karakteristik bervariasi
harian
2. Julah cairan ditentukan dari
3. Berikan sejumlah jumlah kebutuhan harian
cairan pengganti harian ditambah dengan jumlah
4. Evaluasi status cairan yang hilang
hemodinamika pervaginal

3. Tranfusi mungkin di
perlukan pada kondisi
perdarahan massif

4. Penilaian dapat dilakukan


secara harian melalui
pemeriksaan fisik.

Komen:

Menurut saya, kegawatan pada ibu hamil adalah abortus, karena abortus
mengakibatkan perdarahan dan menimbulkan syok hipovolemik.

Daftar Pustaka

lxxix
BAB 10

(Askep Kritis Psikiatri)

BAB 11

(Askep Kritis Endokrin)

lxxx
11.1 Definsi

Gawat darurat endokrin adalah keadaan gawat darurat yang diakibatkan


gangguan dari sistem endokrin, sehingga terjadi kondisi mengancam jiwa
seseorang yang memerlukan pertolongan segera agar tidak terjadi kematian.
Keadaan gawat darurat endokrin bisa diakibatkan oleh karena terganggunya
produksi hormon baik kelebihan maupun kekurangan produksi hormon oleh suatu
kelenjar endokrin. Kondisi gawat darurat sistem endokrin antara lain :

1. Miksedema / koma miksedema

2. Krisis Tirotosik (Tyroid storm)

3. Krisis Addison

4. Hipoglikemia.

Karena itu diperlukan suatu pengetahuan bagi perawat untuk dapat menilai
dan mengambil suatu tindakan tertentu untuk dapat menyelamatkan jiwa.

11.2 Etiologi Miksedema

Miksedema adalah keadaan lebih lanjut yang diakibatkan oleh karena kadar
hormon tiroid dalam darah berkurang. Hormon tiroid dalam darah berkurang
karena kurang aktifnya kelenjar tiroid dalam menghasilkan hormon tiroid atau
hormon tiroid yang dihasilkan terlalu sedikit (Hipotiroidisme) pada orang dewasa.
Koma Miksedema adalah keadaan yang mengancam nyawa yang ditandai oleh
eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme.

Banyak kasus koma miksidema dilatarbelakangi karena Hipotiroidisme


berat, pembedahan kelenjar tiroid, atau karena pengaruh radioaktif yodium pada
pengobatan gangguan tiroid. Koma miksidema diakibatkan oleh malfungsi
kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi
Kelenjar Tiroid, maka kadar HormonTiroid (HT) yang rendah akan disertai oleh
peningkatan kadar Tiroid Stimulating Hormon (TSH) dan Tiroid Releaxing
Hormon (TRH) karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis
anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi
hipofisis, maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH.
TRH dari hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari
TSH maupun HT. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus
akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH. Penurunan Hormon
Tiroid dalam darah menyebabkan laju metabolism basal turun, yang
mempengaruhi semua sistem tubuh.

Beberapa faktor yang memicu terjadinya koma miksidema secara tiba-tiba


terutama pada penderita hipotiroidisme, antara lain :

lxxxi
a. Obat-obatan (sedative, narkotika, dan obat anesthesi).

b. Faktor infeksi.

c. Stroke.

d. Trauma.

e. Gagal Jantung.

f. Perdarahan saluran pencernaan.

g. Hypotermia

h. Kegagalan pengobatan gangguan kelenjar tiroid.

11.3 Patofisiologi Miksedema

Gangguan pada kelenjar tiroid menyebabkan penurunan produksi hormon


tiroid, sehingga mengganggu proses metabolisme tubuh. Yang berakibat :

a. Produksi ATP dan ADP menurun terjadi kelelahan (intoleransi aktifitas)

b. Gangguan fungsi pernafasan, terjadi depresi ventilasi (hipoventiasi).

c. Produksi kalor (panas) turun terjadi hipotermia.

d. Gangguan fungsi gastroentestinal, terjadi peristaltik usus menurun


sehingga absorbsi cairan meningkat terjadi konstipasi.

e. Karena terjadi hipoventilasi suplai 02 ke jaringan berkurang demikian juga


dengan otak sehingga terjadi perubahan pola kognitif terjadi perubahan
proses pikir.

11.4 Gambaran Klinis Miksedema

Sistem neuromuskuler, terjadi kelambanan, perlambatan daya pikir, dan


gerakan yang lambat dan canggung.

a. Sistem Kardiovaskuler, terjadi penurunan frekuensi denyut jantung,


pembesaran jantung (jantung miksedema), dan penurunan curah jantung.

b. Pembengkakkan dan edema kulit, terutama di bawah mata dan di


pergelangan kaki.

c. Penurunan kecepatan metabolisme, penurunan kebutuhan kalori,


penurunan nafsu
makan dan penyerapan zat gizi dari saluran cerna

lxxxii
d. Sistem pencernaan terjadi konstipasi

e. Sistem pernafasan, terjadi sesak nafas saat aktifitas, pembengkakan pada


lidah dan apnea pada tidur yang diamati.

f. Perubahan-perubahan dalam fungsi reproduksi siklus menstruasi menjadi


tidak teratur bagi perempuan. Kesulitan dalam hamil dan wanita hamil
mungkin keguguran.

g. Kulit kering dan bersisik serta rambut kepala, alis tumbuh tipis, rapuh dan
mudah rontok.

h. Akibat lebih jauh karena hipotirodisme ini adalah keadaan yang disebut
miksidema yang ditandai muka oedema terutama pada sekitar bibir,
hidung dan kelopak mata, terjadi bradikardia, hypotermia tanpa menggigil,
hypotensi, hypoventilasi dan penurunan kesadaran sampai koma.
Kematian dapat terjadi apabila tidak diberi hormon tiroid dan stabilisasi
semua gejala.

11.5 Pemeriksaan Penunjang Miksedema

Pemeriksaan darah yang mengukur kadar Hormon Tiroid (T3 dan T4),
Tiroid Stimulating Hormon, dan Tiroid Releasing Hormon akan dapat
mendiagnosis kondisi dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat
atau kelenjar tiroid. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi
tiroid biasanya menunjukkan:

a. T4 serum rendah, TSH meningkat

b. Respon dari TSH ke TRH meningkat

c. Cholesterol meningkat

d. Hiponatremia, konsentrasi pCO2 meningkat (Hipoksemia)

e. Pemeriksaan rontgen dada bisa menunjukkan adanya pembesaran jantung.

f. Pemeriksaan EKG dan enzim-enzim jantung diperlukan untuk mengetahui


adanya gangguan fungsi jantung.

Pemeriksaan fisik menunjukkan tertundanya pengenduran otot


selama pemeriksaan refleks. Penderita tampak pucat, kulitnya kuning,
pinggiran alis matanya rontok, rambut tipis dan rapuh, ekspresi wajahnya
kasar, kuku rapuh, lengan dan tungkainya membengkak serta fungsi
mentalnya berkurang.

lxxxiii
Tanda-tanda vital menunjukkan perlambatan denyut
jantung,tekanan darah rendah dan suhu tubuh rendah.

11.6 Penatalaksanaan

Miksedema / Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang


ditandai oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk
hipotermi tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan
kesadaran hingga koma. Penatalaksanaan dilakukan untuk stabilisasi semua gejala
dan mencegah terjadinya kematian. Dalam keadaan darurat (misalnya koma
miksedema), obat yang diberikan antara lain :

a. 500 μg tiroksin i.v sesegera mungkin diikuti dengan

b. 100 μg T4 setiap hari dan

c. Hidrocortison 100 μg i.v tiap 8 jam

11.7 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

 Identitas

 Riwayat Kesehatan

 Keluhan Utama

2. Diagnosa

a. Intoleran aktivitas berhubungan dengan. kelelahan dan penurunan proses


kognitif

b. Perubahan suhu tubuh

c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal

d. Kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan untuk terapi


penggantian tiroid seumur hidup

e. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi ventilasi

f. Perubahan pola berpikir berhubungan dengan gangguan metabolisme dan


perubahan status kardiovaskuler serta pernapasan

3. Intervensi

No Intervensi Rasional

lxxxiv
Dx

1 1. Atur interval waktu antar 1. Mendorong aktivitas


aktivitas untuk sambil memberikan
meningkatkan istirahat kesempatan untuk
dan latihan yang mendapatkan
dapat ditolerir istirahat yang adekuat

2. Bantu aktivitas perawatan 2. Memberi kesempatan pada


mandiri ketika pasien pasien untuk berpartisipasi
berada dalam keadaan dalam aktivitas
lelah.
3. Meningkatkan perhatian
3. Berikan stimulasi melalui tanpa terlalu menimbulkan
percakapan dan aktifitas stress pada pasien
yang tidak menimbulkan
stress 4. Menjaga pasien agar tidak
melakukan aktivitas yang
4. Pantau respons pasien berlebihan atau kurang
terhadap peningkatan
aktititas

Komen: Gawat darurat endokrin keadaan gawat darurat endokrin bisa diakibatkan
oleh karena terganggunya produksi hormon baik kelebihan maupun kekurangan
produksi hormon oleh suatu kelenjar endokrin.

Daftar Pustaka

lxxxv

Anda mungkin juga menyukai