Anda di halaman 1dari 6

Pameran sebagai Ruang

Ekspresi
M. Fajar Prasudi

Pendahuluan
Dalam suatu pameran yang diberi tajuk “Proun Space” El Lissitzky
mendefinisikan ruangan (dalam konteks karya seni) sebagai berikut:

Ruang adalah sesuatu yang tidak terkunci, tidak dibuka melalui pintu. Ruang
tidak hanya tampak oleh mata, ia juga bukan sebuah lukisan; seseorang
dapat tinggal di dalamnya.

Didalam manifestonya untuk instalasi Proun Space pada sebuah pameran


besar seni di Berlin tahun 1923 El Lissitzky menghubungkan fungsi pameran
desainer pada praktik artistik dan pada keinginannya, dalam serial Proun
untuk membangun pertukaran antara arsitektur dan lukisan, antara kanvas
dan papan kayu sebagai situs bangunan. Dari investigasi awal ini Lissitzaky
mengembangkan suatu pendekatan pada desain pameran yang berusaha
untuk memproblematisir peranan penonton, menciptakan suatu partisipasi
aktif dari penonton, agar penonton tidak pasif.
El Lissitzky dalam mengeksekusi karyanya ingin mengajak penonton untuk
hadir dalam ruang rupa yang disediakannya, bahwa sensasi rasa yang
dialami penonton akan menciptakan sebuah pengalaman yang sungguh
berbeda ketika memasuki ruang karyanya, sehingga ruang pameran tidak
sekedar ruang konvensional seperti pada penikmatan pameran lukisan
konvensional. Dalam karyanya, Lissitzky bermain bentuk dan ruang dengan
mengikutsertakan penonton untuk “tinggal” dan menjadi bagian kehadiran
karyanya. Keleluasaan dalam mempersepsi bentuk dan ruang dalam
berkarya boleh jadi telah menjadi kekuatan sudut pandang Lissitzky dalam
berkarya. Sehingga ia dapat “bermain-main” diantara bentuk dan ruang pada
sebuah pamerannya. Dengan kata lain ia dapat bermain dan mengeksplor
pameran sebagai karya seninya, ia dapat menuangkan ekspresinya pada
moment suatu pameran.

Ekspresi dalam Ruang


Perkara seni rupa tidak dapat dipisahkan dari bentuk (form) sebagai elemen
dasar, sehingga dalam representasinya yang sangat beragam bentuk akan
selalu mengikuti dan mendapatkan porsi penekanan utama selain isi

1
(makna). Bentuk sendiri merupakan organisasi atau kesatuan komponen dari
unsur-unsur pendukung karya. ada dua macam bentuk yang dapat kita
pahami, yang pertama bentuk visual (visual form), yaitu bentuk fisik dalam
sebuah karya seni yang terjadi sebagai kesatuan unsur-unsur pendukung
karya seni. Yang kedua adalah bentuk khusus (special form), yaitu bentuk
yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang
dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran
emosionalnya. Bentuk fisik dapat diartikan konkritisasi subject matter dan
bentuk psikis merupakan susunan dari kesan hasil tanggapan. Hasil
tanggapan yang terorganisir dari proses imajinasi tersebut akan
menciptakan bobot karya atau makna karya seni. Karya seni akan
menghadirkan makna sesuai perangkat, proses dan bahan imajinasi yang
berlangsung dalam diri tiap penikmat secara berbeda (tidak persis sama)
pada setiap orang.

Tentang pengertian imajinasi dijelaskan Paul Edwards (ed), dalam The


Encyclopedia of Philosophy, Volume 3 & 4 yang dikutip H. Tejoworo dalam
Imaji dan Imajinasi Suatu Telaah Filsafat Postmodern, dijelaskan secara
umum sebagai “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-
konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi
(penginderaan)”. Daya membetuk gambaran ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai hal yang kompleks dalam kehidupan yang pernah dialami setiap
orang secara berbeda, sehingga akan memunculkan bentuk gambaran yang
berbeda pula pada setiap orang. Seni rupa modern banyak mengeksplor
pengalaman imajinasi yang disuguhkan dalam berbagai bentuk wacana,
mulai dari bahan, ruang, struktur, konsep dan sebagainya. Eksplorasi ruang
telah menjadi salah satu bagiannya, seperti konsep keruangan yang
diungkap Lissitzky.
Dalam salah satu desain pameran terkenalnya: The Demonstration
Room pada pameran seni Internasional di Hannover dan Dresden tahun
1926, Lissitzky dihadapkan dihadapkan pada penataan karya yang berlimpah
dalam ruang yang sempit. Solusi yang diambilnya adalah menggunakan
potongan kayu tipis yang ditempelkan pada dinding pada sudut 900 dan
dalam baris vertikal; potongan ini dicat putih pada satu sisi dan hitam pada
sisi lain dan dipasang pada dinding abu-abu. Dari satu titik yang
menguntungkan, dinding itu tampak putih, dari sisi lain tampak hitam dan
ketika dipandang dari depan ini tampak abu-abu. Maka, menurut Lissitzky,
karya seni diberikan suatu kehidupan lapis tiga. Selain itu, lukisan digantung
ganda pada sistem panel yang dapat digerakkan sedemikian sehingga ketika
salah satu dari dua sisi tampak, yang lain bisa dilihat sebagian melalui lubang
dari plat selipan. Dalam cara ini Lissitzky mengklaim telah mencapai solusi
dimana ruang yang dirancang secara khusus dapat mengakomodasi satu
setengah kali banyaknya karya seperti ruang konvensional. Pada waktu yang

2
sama, hanya separo dari karya dapat dilihat pada suatu waktu. Pameran
sebagai bagian dari proses perayaan seni telah menjadi karya seni tersendiri.
Kenneth Luckhurst dalam The Story of Exhibitions yang dikutip Mikke
Susanto dalam Menimbang Ruang Menata Rupa mengatakan:

The exhibition is a tool of athousand-and-one purposes, an half of


them not yet been discovered.

Pernyataan ini sangat mendukung untuk karya Lissitzky yang memanfaatkan


ruang sebagai media ekspresi, bahwa ruang pameran tidak sekedar ruang
konvensional dengan pembatas dindingnya, tetapi lebih dari itu ruang
pameran telah menjadi media yang potensial bagi karya seninya. Seperti
halnya bahasa, memberi arti dan makna pada ruang pameran juga
membutuhkan suatu pengertian dan mempertimbangkan konvensi yang
berlaku.
Sebuah pameran seni yang menggunakan ruang sebagai bagian dari karya
seni seringkali memandang ruang sebagai bagian yang sangat
diperhitungkan, - juga dalam pameran yang konvensional sekalipun
penataan karya ataupun display akan selalu mempunyai arti yang khusus.
Henrietta Lidchi menulis bahwa pameran dianggap sebagai sebuah peristiwa
yang memiliki ciri-ciri tersendiri dengan mengartikulasi atau memikirkan
obyek-obyek, teks-teks, representasi-representasi visual, juga rekonstruksi-
rekonstruksi dan bahkan suara-suara yang dikreasikan melalui sistem
representasional yang rumit dan terbatas. Bahkan ia juga mewacanakan
pameran sebagai poetic of exhibiting dan politics of exhibiting.
Aksi merencanakan, menata, merancang, mengatur, merekayasa, menyusun
berbagai unsur yang ada dalam kegiatan kesenirupaan adalah seperangkat
tindakan atau sistem representasi untuk mengupayakan, mewujudkan,
menggagas pameran. Semua itu merupakan sebuah aksi yang berfungsi
untuk mendekatkan penonton untuk memasuki wilayah kreatif perupa atau
karya. Lebih tepatnya, salah satu fungsi pameran adalah mengorganisasi
unsur-unsur atau objek-objek berdasarkan pertimbangan praktis, ekonomis,
estetis, dan ergonomic untuk disajikan kepada publik. Bruce W. Ferguson
memberi arti pameran dalam pengertian tertentu sebagai medium seni
kontemporer dalam menjadi agen komunikasi. Medium dalam hal ini
dianggap sebagai jaringan komunikatif atau dimaksudkan sebagai bagian
reproduksi teknologi, seperti halnya fotografi, laser disc, CD-ROM, dan
sebagainya yang tidak membatasi dan biasa dipakai esensialis dalam fakta
sejarah modernis.
Sehingga pameran dapat pula dianggap sebagai pusat yang membicarakan
subjek dalam cerita tentang seni, yang sering menjadi bagian dari tugas
kurator-kurator seni untuk bercerita pada publik. Ferguson juga menyebut
bahwa pameran merupakan sebuah sistem strategis representasi segala hal

3
yang baik dan menarik, mulai dari arsitektur, mendisplay karya, memasang
label, mengatur tata lampu, menyiapkan katalog dan sebagainya. Pameran
selain berfungsi strategis representasi juga berfungsi strategis sebagai usaha
melakukan percakapan dengan/antar penonton yang diatur untuk
menentukan nilai-nilai, hingga mengubah hubungan-hubungan sosial.
Pameran juga merupakan manajemen maksud-maksud, agar memelihara
identitas-identitas esensial yang dibutuhkan untuk maksud tertentu. Oleh
karenanya pameran selain merupakan bentuk representasi yang kompleks
dari institusi sosial masyarakat juga menjadi paradoks karena seringkali nilai-
nilai personal menjadi sama rasa di dalamnya.
Dalam suatu pameran konvensional penataan pameran memiliki tujuan
pokok untuk mengkondisikan materi karya yang dipamerkan dan
memfasilitasi pengamat/penonton agar berlangsung proses pengamatan
secara intensif, bahkan interaktif. Keberhasilan penataan ruang pameran
tercapai apabila mampu memasukkan pengamat kedalam alam materi karya
dan wacana yang dipamerkan oleh perupa, baik masuk secara intuitif
maupun secara fisik.
Dalam wacana kontemporer, pameran telah menjadi sebuah ”struktur tata
bahasa” dan cara bagaimana ”bertutur”. Struktur yang di dalamnya
menggambarkan tentang sebuah konsep, subjek-subjek terbatas sang
kurator, dan berbagai referensi-referensi yang disampaikan pada publik. Di
sana memungkinkan ketidakcocokan pengalaman antar penonton, yang
diterjemahkan dalam konsep lewat sebuah teks. Konsep memang bukanlah
elemen, tetapi ia adalah sebuah kendaraan teori dan kuratornya sebagai
penulis teori yang menulis peristiwa pameran.8 Seni rupa kontemporer
dengan paradigma visual baru sangat konsern dengan media-media seni
dalam berbagai bentuk (new media art) termasuk di dalamnya adalah ruang.
Dengan melihat dan membandingkan apa yang digarap kelompok Gorila dari
Carl Akeley tahun 1926 pada museum sejarah alam, yang cenderung
menunjukkan sisi pertunjukan teatrikalnya, penonton bisa mengalami secara
simultan kekuatan dari dominasi selain keyakinan, sehingga diorama
museum sejarah alam menjadi hilang secara relatif dari kekuatan yang
dibangkitkan oleh obyek melalui alat sinema.

Penutup
Berdasarkan fenomena di atas Judith Barry mempunyai dua kutub desain
pameran, yaitu model teatrikal seperti pada diorama di museum
sejarah yang digarap grup Gorila dari Akeley; dan model ideologis seperti
pada demonstration room konstruktivis yang digarap Lissitzky. Keduanya
merefleksikan keinginan untuk menyajikan situasi dimana penonton adalah
partisipan aktif dalam pameran itu, dan seperti ditunjukkan Benyamin
Bochloh, secara historis pelibatan penonton ini bersifat simtomatik, tidak

4
hanya krisis dalam representasi dari paradigma modernis, tetapi juga krisis
hubungan audiens dimana legitimasi hanya diperoleh dengan suatu definisi
ulang dari hubungannya massa urban baru dan tuntutan kultural mereka.
Model teatrikal dan model ideologis merupakan kulminasi dari desain
pameran untuk merespon kepentingan display konsumsi seperti halnya toko
dan tempat dimana orang dapat hidup dan beraktivitas di dalamnya.

Seniman dapat memperlakukan ruang sebagai bahan, media yang


berinteraksi dengan material lain dalam suatu struktur yang sarat akan
makna, penonton dapat berinteraksi dan masuk kedalam karya dan menjadi
bagian karya, dan mungkin ekspresi yang diperhitungkan sang kreator. Ini
merupakan penafsiran ruang yang berbeda dalam konsep seniman, bahwa
paradigma ruang pameran yang biasanya dibatasi dinding dan pintu, yang
biasanya di galeri, di museum, di selasar hotel atau bank telah berkembang
atau (diubah) oleh kreator yang memungkinkan karya seni dipamerkan di
ruang publik dimana penonton masuk dan terlibat dalam dan menjadi bagian
dari karya tersebut. Berbagai kemungkinan-kemungkinan tersebut telah
dieksplorasi oleh banyak seniman, antara lain konsep ruang yang digagas
dalam karya Lissitzky.

Dalam suatu disain pameran, sesungguhnya pameran menjadi suatu


seting permainan dengan objek yang dapat menjelaskan berbagai posisi
subjek yang serba mungkin dan membuat penonton menyadari secara
spasial sekaligus visual.

5
DAFTAR PUSTAKA

Barry Judith, Dissenting Spaces dalam Thinking About Exhibition,Reesaa


Greenberg, Bruce Ferguson and Sandy Nairne, (Ed.) Canada, London:
Routledge, 1996.

Burhan Agus M. Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan


Tradisi, dalam Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer, M. Agus Burhan
(Ed), Yogyakarta: BP ISI, 2006

Kartika Sony Dharsono, Seni Rupa Modern, Bandung: Penerbit Rewkayasa


Sains, 2004

Susanto Mikke, Menimbang Ruang Menata Rupa Wajah & Tata Pameran
Seni Rupa, Tangerang: PT Agromedia Pustaka, 2004

Tejoworo H, Imaji dan Imajinasi Suatu Telaah Filsafat Postmodern,


Yogyakarta: Kanisius, 2001

M. Fajar Prasudi
Widyaiswara di PPPPTK Seni dan Budaya
fajarpras@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai