Ekspresi
M. Fajar Prasudi
Pendahuluan
Dalam suatu pameran yang diberi tajuk “Proun Space” El Lissitzky
mendefinisikan ruangan (dalam konteks karya seni) sebagai berikut:
Ruang adalah sesuatu yang tidak terkunci, tidak dibuka melalui pintu. Ruang
tidak hanya tampak oleh mata, ia juga bukan sebuah lukisan; seseorang
dapat tinggal di dalamnya.
1
(makna). Bentuk sendiri merupakan organisasi atau kesatuan komponen dari
unsur-unsur pendukung karya. ada dua macam bentuk yang dapat kita
pahami, yang pertama bentuk visual (visual form), yaitu bentuk fisik dalam
sebuah karya seni yang terjadi sebagai kesatuan unsur-unsur pendukung
karya seni. Yang kedua adalah bentuk khusus (special form), yaitu bentuk
yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang
dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran
emosionalnya. Bentuk fisik dapat diartikan konkritisasi subject matter dan
bentuk psikis merupakan susunan dari kesan hasil tanggapan. Hasil
tanggapan yang terorganisir dari proses imajinasi tersebut akan
menciptakan bobot karya atau makna karya seni. Karya seni akan
menghadirkan makna sesuai perangkat, proses dan bahan imajinasi yang
berlangsung dalam diri tiap penikmat secara berbeda (tidak persis sama)
pada setiap orang.
2
sama, hanya separo dari karya dapat dilihat pada suatu waktu. Pameran
sebagai bagian dari proses perayaan seni telah menjadi karya seni tersendiri.
Kenneth Luckhurst dalam The Story of Exhibitions yang dikutip Mikke
Susanto dalam Menimbang Ruang Menata Rupa mengatakan:
3
yang baik dan menarik, mulai dari arsitektur, mendisplay karya, memasang
label, mengatur tata lampu, menyiapkan katalog dan sebagainya. Pameran
selain berfungsi strategis representasi juga berfungsi strategis sebagai usaha
melakukan percakapan dengan/antar penonton yang diatur untuk
menentukan nilai-nilai, hingga mengubah hubungan-hubungan sosial.
Pameran juga merupakan manajemen maksud-maksud, agar memelihara
identitas-identitas esensial yang dibutuhkan untuk maksud tertentu. Oleh
karenanya pameran selain merupakan bentuk representasi yang kompleks
dari institusi sosial masyarakat juga menjadi paradoks karena seringkali nilai-
nilai personal menjadi sama rasa di dalamnya.
Dalam suatu pameran konvensional penataan pameran memiliki tujuan
pokok untuk mengkondisikan materi karya yang dipamerkan dan
memfasilitasi pengamat/penonton agar berlangsung proses pengamatan
secara intensif, bahkan interaktif. Keberhasilan penataan ruang pameran
tercapai apabila mampu memasukkan pengamat kedalam alam materi karya
dan wacana yang dipamerkan oleh perupa, baik masuk secara intuitif
maupun secara fisik.
Dalam wacana kontemporer, pameran telah menjadi sebuah ”struktur tata
bahasa” dan cara bagaimana ”bertutur”. Struktur yang di dalamnya
menggambarkan tentang sebuah konsep, subjek-subjek terbatas sang
kurator, dan berbagai referensi-referensi yang disampaikan pada publik. Di
sana memungkinkan ketidakcocokan pengalaman antar penonton, yang
diterjemahkan dalam konsep lewat sebuah teks. Konsep memang bukanlah
elemen, tetapi ia adalah sebuah kendaraan teori dan kuratornya sebagai
penulis teori yang menulis peristiwa pameran.8 Seni rupa kontemporer
dengan paradigma visual baru sangat konsern dengan media-media seni
dalam berbagai bentuk (new media art) termasuk di dalamnya adalah ruang.
Dengan melihat dan membandingkan apa yang digarap kelompok Gorila dari
Carl Akeley tahun 1926 pada museum sejarah alam, yang cenderung
menunjukkan sisi pertunjukan teatrikalnya, penonton bisa mengalami secara
simultan kekuatan dari dominasi selain keyakinan, sehingga diorama
museum sejarah alam menjadi hilang secara relatif dari kekuatan yang
dibangkitkan oleh obyek melalui alat sinema.
Penutup
Berdasarkan fenomena di atas Judith Barry mempunyai dua kutub desain
pameran, yaitu model teatrikal seperti pada diorama di museum
sejarah yang digarap grup Gorila dari Akeley; dan model ideologis seperti
pada demonstration room konstruktivis yang digarap Lissitzky. Keduanya
merefleksikan keinginan untuk menyajikan situasi dimana penonton adalah
partisipan aktif dalam pameran itu, dan seperti ditunjukkan Benyamin
Bochloh, secara historis pelibatan penonton ini bersifat simtomatik, tidak
4
hanya krisis dalam representasi dari paradigma modernis, tetapi juga krisis
hubungan audiens dimana legitimasi hanya diperoleh dengan suatu definisi
ulang dari hubungannya massa urban baru dan tuntutan kultural mereka.
Model teatrikal dan model ideologis merupakan kulminasi dari desain
pameran untuk merespon kepentingan display konsumsi seperti halnya toko
dan tempat dimana orang dapat hidup dan beraktivitas di dalamnya.
5
DAFTAR PUSTAKA
Susanto Mikke, Menimbang Ruang Menata Rupa Wajah & Tata Pameran
Seni Rupa, Tangerang: PT Agromedia Pustaka, 2004
M. Fajar Prasudi
Widyaiswara di PPPPTK Seni dan Budaya
fajarpras@gmail.com