Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.
Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi
seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika
diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi
adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan
tahapan dalam sebuah sistem.
Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan
secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa
variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut :
Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi
implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan
sebagai berikut, yaitu :
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk
melaksanakan kebijakan
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
5. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh
isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya
ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang
menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di
antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang
diperlukan.
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif
bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001),
implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini
memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti
perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan
untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok
sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan
tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan.
Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan
dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
Implementasi kebijakan Publik
Ada beberapa tahapan dalam siklus kebijakan publik dan salah satu tahapan penting
dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering
dianggap hanya sebagai pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau
para pengambil keputusan, terkadang tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam
kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak
akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata
lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara
maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan
besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Tahapan implementasi suatu kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan
sasaran direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan.
Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang
tentang suatu kebijakan dikeluarkan dan dana yang disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut telah tersedia.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan
formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25)
mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s
administrative machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan
bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of
a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa
implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan
setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau
makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses
kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses
kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya
implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154)
bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy
making. Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua
pendekatan yaitu: “Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and
control (Lester Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan
pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top
down atau command and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di
tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top
down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat
yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti
implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi
yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat
dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun
suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang
mutlak harus ada yaitu:
1. Unsur pelaksana
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock
dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak
yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran
organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan
keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia,
pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti
yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are
dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan
publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
2. Adanya program yang dilaksanakan serta
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle
dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward
putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program
merupakan;
“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can
include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah
menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan.
Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan
budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Sasaran yang dikehendaki ,
2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari
sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;
“kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat
perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site
of decision making),pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang
tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Kebijakan publik adalah salah-satu kajian dari Ilmu Administrasi Publik yang banyak
dipelajari oleh ahli serta ilmuwan Administrasi Publik. Berikut beberapa pengertian dasar
kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Dye (1981:1): “Public
policy is whatever governments choose to do or not to do”. Dye berpendapat sederhana
bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan. Sementara Anderson dalam Public Policy-Making (1975:3)
mengutarakan lebih spesifik bahwa: “Public policies are those policies developed by
government bodies and official”.
Berhubungan dengan konteks pencapian tujuan suatu bangsa dan pemecahan masalah
publik, Anderson dalam Tachjan (2006i:19) menerangkan bahwa kebijakan publik
merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan
dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan. Seiring dengan pendapat
tersebut Nugroho (2003:52) menjelaskan bahwa kebijakan publik berdasarkan usaha-
usaha pencapaian tujuan nasional suatu bangsa dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas
yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional dan keterukurannya dapat
disederhanakan dengan mengetahui sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita telah
ditempuh.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan
legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya
operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan
atau kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk
institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara pelaksana
kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group)
kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak
(outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang
ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi
semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan
kebijakan.
Tachjan (2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik
terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:
1. Perumusan kebijakan
2. Implementasi kebijakan serta
3. Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.
Jadi efektivitas suatu kebijakan publik sangat ditentukan oleh proses kebijakan yang
terdiri dari formulasi, implementasi serta evaluasi. Ketiga aktivitas pokok proses
kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausalitas serta berpola siklikal atau bersiklus
secara terus menerus sampai suatu masalah publik atau tujuan tertentu tercapai.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta
sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai:
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan
terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana
disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan
formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25)
mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s
administrative machinery to the problems. Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan
bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of
a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan.
Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana
tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain
dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti
implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi
yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat
dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun
suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
1. Unsur pelaksana
2. Adanya program yang dilaksanakan serta
3. Target group atau kelompok sasaran.
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock
dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut:
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti
yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are
dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan
publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle
dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward
putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program
merupakan;
“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can
include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui
variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau
faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta
guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi
kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya
bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji
implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan mengajukan dua pertanyaan,
yakni:
George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji
empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya ,
komunikasi, disposisi.
definisi implementasi kebijakan publik
1. Definisi Kebijakan Publik Menurut Para Ahli (William Dunn, Charles O Jones,
Lee Friedman, David Easton, Carl Friedrich, Hugh Heglo, Lasswell dan Kaplan)
Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi
mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda,
sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut
pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang
kebijakan publik :
William Dunn
Menurut William N Dunn (1988:23) secara etimologis policy berasal dari
kata polis (Bahasa Yunani) yang artinya Negara kota, yang dalam bahasa Latin
Politeia (Negara) dan masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi policie yang
berarti masalah publik, kemudian secara bergantian dipakai istilah policy,
polictics dan policy study.
Menurut Dunn Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis
yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah
sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali
untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif
kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
William N. Dunn menyatakan kebijakan publik adalah suatu proses
ketata pemerintahan dan administrasi pemerintah yang menghasilkan
keputusan pemerintah, dimana instansi yang terkait mempunyai wewenang
atau kekuasaan dalam mengarahkan masyarakat dan tanggung jawab melayani
kepentingan umum. (Sumber : Naihasy, Syahrin. 2006. Kebijakan Publik (Public
Policy) menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Midi Pustaka. Hal 18)
Dalam perannya untuk pemecahan masalah, Dunn (1994: 30)
berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui
kebijakan adalah :
a. penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
b. formulasi kebijakan (policy formulation)
c. adopsi kebijakan (policy adoption)
d. implementasi kebijakan (Policy Implementation)
e. Penilaian Kebijakan (Policy assesment)
Charles O Jones (1977)
Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan
pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.
Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making, yaitu ketika
pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan tertentu.
Klasifikasi ini juga dapat didefinisikan sebagai intervensi negara dengan
rakyatnya ketika terdapat efek dari akibat suatu program yang dibuat oleh
pemerintah yang diterapkan dalam masyarakat.
Referensi lain menjelaskan bahwa menurut Jones kebijakan adalah :
a. Kebijaksanaan sebagai suatu merk bagi suatu bidang kegiatan tertentu
b. Kebijaksanaan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau
keadaan tertentu yang dikehendaki
c. Kebijaksanaan sebagai ususlan khusus
d. Kebijaksanaan sebagai keputusan pemerintah
e. Kebijaksanaan sebagai bentuk pengesahan formal
f. Kebijaksanaan sebagai program
g. Kebijaksanaan sebagai out put
h. Kebijaksanaan sebagai hasil akhir
i. Kebijaksanaan sebagai teori atas model
j. Kebijaksanaan sebagai proses
Jones menekankan studi kebijakan publik pada dua proses, yaitu :
1) Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu
sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu,
dan bagaimana tindakan pemerintah.
2) Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi tehadap masalah-masalah,
terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.
Menurut Charles O. Jones ( 1977 ) kebijakan terdiri dari komponen-
komponen :
1) Goal atau tujuan yang diinginkan.
2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan.
3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
5) Efek, yaitu akibat-akibat dari program ( baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder ).
Lee Friedman
Hampir tak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh William Dunn
dan Charles O Jones, Friedman juga menggunakan kata kebijakan dengan
“Policy” atau “public policy” yang berarti keputusan, keputusan yang dimaksud
ialah segala hal yang dikeluarkan aktor pembuat kebijakan dalam hal ini
pemerintah untuk diberikan kepada masyarakat umum dalam rangka
pemecahan suatu masalah publik. Selain itu juga dijelaskan bahwa keputusan
yang kemudian melahirkan kebijakan ini bersifat hubungan kasualitas yakni
hubungan sebab akibat antara pembuat kebijakan yakni pemerintah dengan
objek dari kebijakan itu sendiri yakni publik.
David Easton Easton ( 1969 )
David Easton (1953:129) mengemukakan bahwa “Policy is the
authoritative allocation of value for the whole society" (pengalokasian nilai-
nilai secara paksa/syah pada seluruh anggota masyarakat). Dari definisi ini,
maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik adalah
juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah
Penjelasan dari referensi lain bahwa Kebijakan publik menurut Easton
diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat
yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat
melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut
merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan
bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan
publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses
management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik.
Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan
tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga
definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.
Carl Fredrich
Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu
kebijakan adalah adanya tujuan (goal ), sasaran(objektive) atau
kehendak(purpose).
Carl Freidrich ( Irfan Islami, 2001: 3 ) yang mendefinisikan kebijakan sebagai
berikut : “ …a proposed course of action of a person, group, or government
within a given environment providing abstacles and opportunities which the
policy was proposed to utilize and overcome in and effort to reach a goal or
realize an objective or a purpose “ (….serangkaian tindakan yang yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan
kesempatan terhadap pelaksanaan usulam kebijakan untuk mencapai tujuan).
Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya
tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah.
Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari
peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.ketika pemerintah
benar-benar berindak untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Definisi
ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making ketika kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positif ( tindakan pemerintah mengenai segal sesuatu
masalah ) atau negatif ( keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu ).
Hugh Heglo
H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action
intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heglo ini selanjutnya
diuraikan oleh Jones dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan.
Pertama, tujuan. Di sini yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang
dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved). Bukan suatu
tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang
hanya diinginkan saja bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang
boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak
perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya,
dan ada”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal
yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program
atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk
mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu
yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana,
melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat.
Selanjutnya Heglo mengatakan bahwa kebijakan lebih dapat digolongkan
sebagai suatu alat analisis daripada sebagai suatu rumusan kata-kata. Sebab
itu, katanya, isi dari suatu kebijakan lebih dapat dipahami oleh para analis
daripada oleh para perumus dan pelaksana kebijakan itu sendiri.