Anda di halaman 1dari 24

Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.
Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi
seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika
diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.

Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi
adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan
tahapan dalam sebuah sistem.

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa


implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar.
Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif
top down adalah sebagai berikut :

1. Van Meter dan Van Horn

Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan
secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa
variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut :

1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi


2. Karakteristik agen pelaksana/implementor
3. Kondisi ekonomi, social dan politik
4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III

Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi
implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan
sebagai berikut, yaitu :

1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?


2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi
kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4
(empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan
informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari
terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya
ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan,
serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan


memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana
sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud
adalah :

a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk
melaksanakan kebijakan
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.

3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam


mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk
mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana
wewenang yang dimilikinya

4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan


beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan
koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan
implementasi.

3. Mazmanian dan Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya


melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :

“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a


statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision.
Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways,
‘structures’ the implementation process”.
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable,
yaitu (Nugroho, 2008) :
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan
dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan
seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi
yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public,
sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan
kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle

Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh
isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya
ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut :


1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Pelaksana program
6. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat


2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap

Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang
menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di
antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang
diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up


Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model
pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-
benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan
pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai
sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model
pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan
memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif
bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001),
implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini
memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti
perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan
untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok
sasaran.

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan
tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan.
Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan
dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
Implementasi kebijakan Publik

Ada beberapa tahapan dalam siklus kebijakan publik dan salah satu tahapan penting
dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering
dianggap hanya sebagai pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau
para pengambil keputusan, terkadang tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam
kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak
akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata
lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara
maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan
besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Tahapan implementasi suatu kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan
sasaran direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan.
Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang
tentang suatu kebijakan dikeluarkan dan dana yang disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut telah tersedia.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan
formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25)
mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s
administrative machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan
bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of
a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa
implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan
setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau
makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses
kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses
kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya
implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154)
bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy
making. Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua
pendekatan yaitu: “Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and
control (Lester Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan
pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top
down atau command and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di
tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top
down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat
yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti
implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi
yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat
dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun
suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang
mutlak harus ada yaitu:
1. Unsur pelaksana
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock
dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak
yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran
organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan
keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia,
pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti
yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are
dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan
publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
2. Adanya program yang dilaksanakan serta
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle
dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward
putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program
merupakan;
“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can
include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah
menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan.
Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan
budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Sasaran yang dikehendaki ,
2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari
sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;
“kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat
perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site
of decision making),pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang
tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan


tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur
dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang
tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang
tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)

3. Target group atau kelompok sasaran.


Unsur yang terakhir adalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35)
mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam
masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya
oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok
sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh
kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas
implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu
diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas
variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan
publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model
implementasi kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi
kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor
sebagai berikut:
1. Bureaucraitic structure (struktur birokrasi)
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi
itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya
sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari
tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi
yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan
menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

2. Resouces (sumber daya)


Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam
Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa: bagaimanapun jelas dan konsistensinya
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber
daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat
digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang
dijelaskan sebagai berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya
manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia
berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya,
sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup
untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan
sumber daya manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau
investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan,
sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan
efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3) Fasilitas (facility)
fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan
peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program
atau kebijakan.
4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi
yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan.
Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa
kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.
3. Disposisition (sikap pelaksana)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting
untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran.
Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan
komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam
asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana
kebijakn akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang,
fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan.
Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya
apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan
baik.
4. Communication (komunikasi)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada
komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian
informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan
(policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku
kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah,
kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat
mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar
proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan
kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu
tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi
(consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan
kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.
Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain
itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran
maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi
konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga
tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
terkait.
Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik yaitu nilai, kebutuhan
atau peluang yang tak terwujudkan. Meskipun masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi
hanya mungkin dicapai lewat tindakan publik yaitu melalui kebijakan publik (Dunn
dalam Nugroho, 2003:58). Karakteristik masalah publik yang harus diatasi selain bersifat
interdependensi (berketergantungan) juga bersifat dinamis, sehingga pemecahan
masalahnya memerlukan pendekatan holistik (holistic approach) yaitu pendekatan yang
memandang masalah sebagai kegiatan dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan atau
diukur secara terpisah dari yang faktor lainnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan publik
sebagai instrumen pencapaian tujuan pemerintah.

Kebijakan publik adalah salah-satu kajian dari Ilmu Administrasi Publik yang banyak
dipelajari oleh ahli serta ilmuwan Administrasi Publik. Berikut beberapa pengertian dasar
kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Dye (1981:1): “Public
policy is whatever governments choose to do or not to do”. Dye berpendapat sederhana
bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan. Sementara Anderson dalam Public Policy-Making (1975:3)
mengutarakan lebih spesifik bahwa: “Public policies are those policies developed by
government bodies and official”.

Berhubungan dengan konteks pencapian tujuan suatu bangsa dan pemecahan masalah
publik, Anderson dalam Tachjan (2006i:19) menerangkan bahwa kebijakan publik
merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan
dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan. Seiring dengan pendapat
tersebut Nugroho (2003:52) menjelaskan bahwa kebijakan publik berdasarkan usaha-
usaha pencapaian tujuan nasional suatu bangsa dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas
yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional dan keterukurannya dapat
disederhanakan dengan mengetahui sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita telah
ditempuh.

Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang berorientasi pencapian


tujuan maupuan pemecahan masalah ataupun kombinasi dari keduanya. Secara padat
Tachjan (Diktat Kuliah Kebijakan Publik, 2006ii:31) menjelaskan tentang tujuan
kebijakan publik bahwa tujuan kebijakan publik adalah dapat diperolehnya nilai-nilai
oleh publik baik yang bertalian dengan public goods (barang publik) maupun public
service (jasa publik). Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh publik untuk
meningkatkan kualitas hidup baik fisik maupun non-fisik.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan (2006ii:17), kebijakan
publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy
level, organizational level, operational level.

Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan
legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya
operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan
atau kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk
institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara pelaksana
kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group)
kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak
(outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang
ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi
semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan
kebijakan.

Adapun proses kebijakan publik adalah serangkian kegiatan dalam menyiapkan,


menentukan, melaksanakan serta mengendalikan kebijakan. Efektivitas suatu kebijakan
publik ditentukan oleh proses kebijakan yang melibatkan tahapan-tahapan dan variabel-
variabel. Jones (1984:27-28) mengemukakan sebelas aktivitas yang dilakukan pemerintah
dalam kaitannya dengan proses kebijakan yaitu: “perception/definition, aggregation,
organization, representation, agenda setting, formulation, legitimation, budgeting,
implementation, evaluation and adjustment/termination”.

Tachjan (2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik
terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:

1. Perumusan kebijakan
2. Implementasi kebijakan serta
3. Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.

Jadi efektivitas suatu kebijakan publik sangat ditentukan oleh proses kebijakan yang
terdiri dari formulasi, implementasi serta evaluasi. Ketiga aktivitas pokok proses
kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausalitas serta berpola siklikal atau bersiklus
secara terus menerus sampai suatu masalah publik atau tujuan tertentu tercapai.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta
sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai:

”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk


mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.

Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan
terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana
disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan
formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25)
mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s
administrative machinery to the problems. Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan
bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of
a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.

Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi


kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah
kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan
dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau
makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan.
Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana
tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain
dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.

Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua


pendekatan yaitu:
“Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan pendekatan the
market approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and
control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-
keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan
harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street
level bureaucrat)”.

Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti
implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi
yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat
dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun
suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.

Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang


mutlak harus ada yaitu:

1. Unsur pelaksana
2. Adanya program yang dilaksanakan serta
3. Target group atau kelompok sasaran.

Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock
dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut:

”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri


dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan
strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program,
pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta
penilaian”.

Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti
yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are
dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan
publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle
dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward
putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program
merupakan;

“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can
include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.

Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah


menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan.
Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan
budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Sasaran yang dikehendaki ,


2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat
dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan,
1985:85)

Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;


“kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat
perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site
of decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang
tersedia (resources commited)”.

Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan


tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur
dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang
tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang
tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
Masih membahas mengenai unsur-unsur implementasi kebijakan publik. Unsur yang
terakhir dalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan
bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang
akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam
konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok
sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia
serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui
variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau
faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta
guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi
kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya
bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut:

1. Bureaucraitic structure(struktur birokrasi)


2. Resouces (sumber daya)
3. Disposisition (sikap pelaksana)
4. Communication (komunikasi)

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji
implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan mengajukan dua pertanyaan,
yakni:

1. What is the precondition for successful policy implementation?


2. What are the primary obstacles to successful policy implementation?

George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji
empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya ,
komunikasi, disposisi.
definisi implementasi kebijakan publik

1. Definisi Kebijakan Publik Menurut Para Ahli (William Dunn, Charles O Jones,
Lee Friedman, David Easton, Carl Friedrich, Hugh Heglo, Lasswell dan Kaplan)
Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi
mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda,
sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut
pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang
kebijakan publik :
William Dunn
Menurut William N Dunn (1988:23) secara etimologis policy berasal dari
kata polis (Bahasa Yunani) yang artinya Negara kota, yang dalam bahasa Latin
Politeia (Negara) dan masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi policie yang
berarti masalah publik, kemudian secara bergantian dipakai istilah policy,
polictics dan policy study.
Menurut Dunn Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis
yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah
sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali
untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif
kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
William N. Dunn menyatakan kebijakan publik adalah suatu proses
ketata pemerintahan dan administrasi pemerintah yang menghasilkan
keputusan pemerintah, dimana instansi yang terkait mempunyai wewenang
atau kekuasaan dalam mengarahkan masyarakat dan tanggung jawab melayani
kepentingan umum. (Sumber : Naihasy, Syahrin. 2006. Kebijakan Publik (Public
Policy) menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Midi Pustaka. Hal 18)
Dalam perannya untuk pemecahan masalah, Dunn (1994: 30)
berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui
kebijakan adalah :
a. penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
b. formulasi kebijakan (policy formulation)
c. adopsi kebijakan (policy adoption)
d. implementasi kebijakan (Policy Implementation)
e. Penilaian Kebijakan (Policy assesment)
Charles O Jones (1977)
Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan
pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.
Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making, yaitu ketika
pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan tertentu.
Klasifikasi ini juga dapat didefinisikan sebagai intervensi negara dengan
rakyatnya ketika terdapat efek dari akibat suatu program yang dibuat oleh
pemerintah yang diterapkan dalam masyarakat.
Referensi lain menjelaskan bahwa menurut Jones kebijakan adalah :
a. Kebijaksanaan sebagai suatu merk bagi suatu bidang kegiatan tertentu
b. Kebijaksanaan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau
keadaan tertentu yang dikehendaki
c. Kebijaksanaan sebagai ususlan khusus
d. Kebijaksanaan sebagai keputusan pemerintah
e. Kebijaksanaan sebagai bentuk pengesahan formal
f. Kebijaksanaan sebagai program
g. Kebijaksanaan sebagai out put
h. Kebijaksanaan sebagai hasil akhir
i. Kebijaksanaan sebagai teori atas model
j. Kebijaksanaan sebagai proses
Jones menekankan studi kebijakan publik pada dua proses, yaitu :
1) Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu
sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu,
dan bagaimana tindakan pemerintah.
2) Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi tehadap masalah-masalah,
terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.
Menurut Charles O. Jones ( 1977 ) kebijakan terdiri dari komponen-
komponen :
1) Goal atau tujuan yang diinginkan.
2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan.
3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
5) Efek, yaitu akibat-akibat dari program ( baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder ).
Lee Friedman
Hampir tak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh William Dunn
dan Charles O Jones, Friedman juga menggunakan kata kebijakan dengan
“Policy” atau “public policy” yang berarti keputusan, keputusan yang dimaksud
ialah segala hal yang dikeluarkan aktor pembuat kebijakan dalam hal ini
pemerintah untuk diberikan kepada masyarakat umum dalam rangka
pemecahan suatu masalah publik. Selain itu juga dijelaskan bahwa keputusan
yang kemudian melahirkan kebijakan ini bersifat hubungan kasualitas yakni
hubungan sebab akibat antara pembuat kebijakan yakni pemerintah dengan
objek dari kebijakan itu sendiri yakni publik.
David Easton Easton ( 1969 )
David Easton (1953:129) mengemukakan bahwa “Policy is the
authoritative allocation of value for the whole society" (pengalokasian nilai-
nilai secara paksa/syah pada seluruh anggota masyarakat). Dari definisi ini,
maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik adalah
juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah
Penjelasan dari referensi lain bahwa Kebijakan publik menurut Easton
diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat
yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat
melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut
merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan
bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan
publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses
management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik.
Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan
tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga
definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.
Carl Fredrich
Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu
kebijakan adalah adanya tujuan (goal ), sasaran(objektive) atau
kehendak(purpose).
Carl Freidrich ( Irfan Islami, 2001: 3 ) yang mendefinisikan kebijakan sebagai
berikut : “ …a proposed course of action of a person, group, or government
within a given environment providing abstacles and opportunities which the
policy was proposed to utilize and overcome in and effort to reach a goal or
realize an objective or a purpose “ (….serangkaian tindakan yang yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan
kesempatan terhadap pelaksanaan usulam kebijakan untuk mencapai tujuan).
Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya
tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah.
Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari
peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.ketika pemerintah
benar-benar berindak untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Definisi
ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making ketika kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positif ( tindakan pemerintah mengenai segal sesuatu
masalah ) atau negatif ( keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu ).
Hugh Heglo
H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action
intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heglo ini selanjutnya
diuraikan oleh Jones dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan.
Pertama, tujuan. Di sini yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang
dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved). Bukan suatu
tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang
hanya diinginkan saja bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang
boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak
perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya,
dan ada”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal
yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program
atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk
mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu
yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana,
melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat.
Selanjutnya Heglo mengatakan bahwa kebijakan lebih dapat digolongkan
sebagai suatu alat analisis daripada sebagai suatu rumusan kata-kata. Sebab
itu, katanya, isi dari suatu kebijakan lebih dapat dipahami oleh para analis
daripada oleh para perumus dan pelaksana kebijakan itu sendiri.

Harold D Lasswel dan Kaplan


Menurut Harold D. Lasswell & Abraham Kaplan, kebijakan publik adalah
suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah.
(a projected program of goals, values and practices) (Sumber : Harold D.
Laswell, Abraham Kaplan, Power and Society, New Haven: Yale University
Press, 1970)
Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004:
21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang
diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Lebih lanjut Harold D Laswell menjelaskan bahwa Ilmu kebijakan adalah
ilmu yang berorientasi pada masalah kontekstual, multidisiplin, dan secara
eksplisit bersifat normatif. Ilmu-ilmu kebijakan dirancang untuk menyoroti
masalah fundamental dan yang seringkali diabaikan yang muncul ketika warga
negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan
sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang terus menerus untuk
melayani tujuan-tujuan demokrasi.(Dunn, 2003:89)
2. 5 (Lima) Tahapan Proses kebijakan menurut Michael Howlet dan M Ramesh
(1995:11)
Michael Howlet dan M. Ramesh (1995:11) menyatakan bahwa proses
kebijakan public terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:
1. Penyusunan agenda ( agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah
bias mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihan-
pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah
memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu prses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan
menilai hasil atau kinerja kebijakan.
Dalam tahap Perumusan kebijakan, Michael Howlett dan M Ramesh
menjelaskan bahwa Subsistem kebijakan dalam perumusan kebijakan terbentuk
tatkala semua yaitu pihak pemimpin dan yang dipimpin, antara berbagai
kelompok politik, masyarakat dan swasta berpartisipasi dan terjadi
interaksi diantara partisipan atau aktor. Kegiatan saling mempengaruhi
diantara para aktor akan membentuk suatu parameter-parameter yang relatif
stabil.
Menurut Michael Howlett dan Ramesh (1995: 153) mengenai
implementasi kebijakan, menerangkan bahwa : ” after a public problem has
made its way to the policy agenda, various options have been proposed to
resolved it, and goverment has made some choice among those options, what
remains is putting the decision into practice”...the policy implementation is
defined as the process whereby programs or policies are carried out; its
denotes the translation of plans into practice” (setelah masalah publik
ditentukan, maka itu merupakan jalan menuju agenda kebijakan, bermacam
pilihan telah ditentukan untuk memecahkannya, dan pemerintah telah
membuat beberapa pilihan dari alternatif tersebut, yang menempatkan
keputusan menjadi pelaksanaan, ...implementasi kebijakan merupakan proses
dari sebuah program atau kebijakan dilaksanakan ; yang ditandai dengan
terjemahan dari rencana menuju pelaksanaan”.
Sedangkan pada tahapan evaluasi michael Howlett dan M Ramesh
menjelaskan bahwa Kebijakan Publik : Merupakan proses mendapatkan
gambaran tentang kebijakan publik dalam pelaksanaan, alat yang dipakai dan
tujuan-tujuan yang diberikan

Anda mungkin juga menyukai