II
A.TEORI KEAGENAN
Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang
dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan,
sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang
menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.
Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency
Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam
perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model
akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model
ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik
dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada
hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau
lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan
informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang memiliki
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan
principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan
kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan
mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui
principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-
angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan
manajemen laba.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi
perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok
corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good
corporate governance adalah; transparansi (transparency), akuntabilitas
(accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility). Corporate
governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent
yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Kemudian, masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen
perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut. Karena
dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi berupaya untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil
keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan
pihak manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk
kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976),
Jensen (1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi
dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2)antara
pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan
yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer–
pemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki
kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan
juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai
porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk
perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka
pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer
mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang
saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan
pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji yang
besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di antaranya akan
menjadi beban pemegang saham lainnya.
Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima uang dalam
jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan pendapatan pemegang saham
bergantung pada besaran laba perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih
memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan
pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk memperoleh
kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek ± proyek yang berisiko.
Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat
menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek mengalami kegagalan, kreditur
mungkin akan menderita kerugianakibat dari ketidakmampuan pemegang saham untuk
memenuhi kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur
melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu pembatasan
adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek
baru.Konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemenWalaupun telah
dilakukan kontrak kerja yang sah antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain
pihak agent memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan
(full information)
dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal. Pengetahuan
yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan dengan pengetahuan yang
dimiliki oleh pihak principal ini membuatterbentuknya suatu asimetri information atau
asymetric information
.
Teori Akuntansi Keuangan´ Agency Theory ´.
Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya konflik
antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat
dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self
interest ),(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang(
bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
adverse).Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yangdihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan
reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief
Ujiyantho). Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan
bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pribadinya.
Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori keagenan
mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.
Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja
demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian
kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh
karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada
pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang
melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada
penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan
agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan.
Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu :
1. Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun
majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat
informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri
2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti
agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada
didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai
perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke
perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan
kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu
dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki
informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping
itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk
diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan
kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering
disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik
memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan
kinerja perusahaan.
Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah
perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada
meningkatkan nilai perusahaan.
Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan
karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan
informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan
pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan
(discretionary power).
Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan. Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga
mahasiswa untuk mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya mampu
mengakomodasi semua kepentingan keluargaNamun, terkadang pengurus lembaga
kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus
lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan
keluarga menjadi terabaikan
keagenan antara principal dan agen. Perspektif hubungan keagenan menjadi dasar
yang digunakan untuk memahami corporate governance dan earnings
dengan investor (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan
adalah sebuah kontrak antara manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar
konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan.
(Hendriksen dan Breda, 2001: 228), ada tiga macam bentuk keagenan :
dengan kontrak (Jensen dan Meckling, 1976). Namun dalam kenyataannya, yang
sering terjadi baik manajemen atau manajer perusahaan sering mempunyai tujuan
yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama antara pihak
prinsipal. Permasalahan yang timbul akibat adanya konflik kepentingan antara
2) Moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
Selain itu, perspektif teori agensi laba sangat rentan terhadap manipulasi oleh
cost). Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis
yaitu:
oleh agen.
agen tidak akan bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain
3) Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen
perbedaan kepeningan.
agen dan principal. Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan
untuk meminimalkan agency problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian
dan informasi yang memadai ini maka agen akan bertindak sesuai kepentingan
principal.
Karena biaya asimetri saham cenderung paling besar, manajer akan enggan untuk
menerbitkan saham. Saham menjadi alternatif paling akhir dalam upaya mencari dana.
Dana internal praktis bebas dari biaya asimetri informasi, karena itu dana internal akan
dipilih pertama kali jika perusahaan mebutuhkan dana. Jika kebutuhan dana masih ada,
maka perusahaan akan menerbitkan utang. Jika kebutuhan dana masih ada, maka
langkah terakhir adalah penerbitan saham.
Teori asimetri tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan teori packing order
(perusahaan memilih dana internal, dan menggunakan penerbitan sebagai langkah
terakhir). Dalam konteks asimetri informasi, penerbitan saham yang paling kecil
(urutan paling rendah), disebabkan biaya asimetri saham adalah yang paling besar.
Utang mempunyai asimetri yang lebih rendah dibandingkan saham. Dana internal bebas
dari biaya asimetri, oleh karena itu dana internal mempinyai asimetri paling kecil.
Karenanya, urut-urutan preferensi penggunaan berdasarkan asimetri biaya adalah :
1. Dana Internal
2. Utang
3. Penerbitan
Oleh karena itu model asimetri informasi bisa dipakai menjelaskan stuktur modal.
Tetapi dengan adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi
antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk
kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia
yaitu:
Adanya pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut
membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan
keuangan tersebut. pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh
manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba. Asimetri
informasi dapat diantisipasi dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih
berkualitas.
Ada dua tipe asimetri informasi :
1. Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih
yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi
usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi
karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam
(insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan
daripada para investor luar.
2. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang
melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha
potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-
transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi
karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan
karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
B. Corporate Governance
3) Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan
dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan alam satu kelompok usaha dan
tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati
posisi tersebut.
4) Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.
7) Komisaris independen harus bebas dari kepentingan atau urusan bisnis apapun yang
dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai
seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan perusahaan.
d. Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris perusahaan baik
berasal dari internal perusahaaan maupun eksternal perusahaan (Ujiyanto, 2007).
Semakin banyaknya personil yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada
makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan.
Hal tersebut dapat di jelaskan dalam agency problem (masalah keagenan) yaitu dengan
makin banyaknya anggota dewan komisaris semakin sulit dalam menjalankan
perannya, diantaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari
masing masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan yang dialami adalah sulitnya
menjalankan tugas pengawasan terhadap manajemen perusahaan yang nantinya
berdampak pula terhadap kinerja perusahaan yang semakin menurun (Ujiyanto, 2007).
2. Prinsip-Prinsip Corporate Governance
FCGI (2004) memuat uraian dalam Organization for Economic Co-Operation and
Development (OECD) bahwa terdapat empat unsur penting dalam corporate
governance, yaitu:
a. Keadilan (Fairness)
Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat
dibandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan
kepemilikan perusahaan.
c. Akuntabilitas (Accountability)
Hak-hak pemegang saham adalah pemberian informasi yang benar, tepat, & tepat
waktu mengenai perusahaan yang berperan serta dalam pengambilan keputusan
mengenai perubahan yang mendasar dalam perusahaan dan memperoleh bagian dari
keuntungan perusahaaan.
b) Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham
Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham terutama pemegang saham minoritas
dan pemegang saham asing dalam hal keterbukaan informasi.
c) Peranan semua hak yang berkepentingan (stakeholder) dalam corporate governance.
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan
kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemegang kepentingan dalam mencapai
tujuan perusahaan. d) Keterbukaan dan transparansi
Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu serta transparansi mengenai semua hal yang
berkaitan dengan kinerja perusahaan, kepemilikan serta para pemegang kepentingan.
e) Akuntabilitas dewan komisaris
Ada berbagai metode akuntansi yang selama ini diakui oleh prinsip akuntansi, misalkan
metode depresiasi garis lurus atau saldo menurun untuk mengalokasikan harga
perolehan (cost) aktiva tetap. Metode FIFO atau LIFO untuk menentukan harga pokok
persediaan. Prinsip akuntansi juga memberi kebebasan kepada penggunanya untuk
memilih metode dan prosedur akuntansi sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
2. Penerapan metode akuntansi ( accounting method application)
Setelah memilih metode akuntansi dan menentukan nilai estimasi akuntansi sesuai
dengan kepentingannya, manajer membuat kebijakan bagaimana cara menerapkan
tanpa harus melanggar prinsip akuntansi. Upaya untuk memilih dan menerapkan
metode akuntansi sesuai dengan kepentingan manajer, bisa dilakukan untuk mengelola
dan mengatur labanya agar lebih tinggi atau rendah dari laba yang sesungguhnya.
3. Waktu menerapkan metode akuntansi (acconting method timing)
Selain mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan metode atau standar
akuntansi yang sesuai dengan kebutuhan, manajer juga mempunyai kebebasan untuk
menentukan kebijakan kapan dan bagaimana suatu transaksi / peristiwa diakui sebagai
transaksi dan peristiwa akuntansi yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan.
Artinya, suatu transaksi atau peristiwa tidak harus dilaporkan pada periode terjadinya,
namun dilaporkan dan diungkapkan sesuai dengan kebijakan dan kepentingan
perusahaan.
4. Pemilihan waktu (timing)
Pemilihan waktu akuisisi aktiva dan disposisi dapat mempengaruhi laba akuntansi.
Pengusaha dapat menggunakan metode ini ketika seberapa besar yang diinvestasikan
dalam biaya pemeliharaan, yang diakui sebagai biaya periodik pada periode terjadinya
pengeluaran. Pengusaha dapat memutuskan saat yang tepat penjualan plan, property,
and equipment untuk dipercepat atau ditunda pengakuan keuntungan atau kerugian.
Sedangkan menurut Isnanta (2008) ada tiga metode untuk melakukan manajemen laba:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen
mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi
tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap/ amortisasi
aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Kepemilikan institutional adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau
lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi
lain) (Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Melalui kepemilikan institutional, efektifitas
pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi
yang dihasilkan melalui reaksi pasar atau pengumuman laba.Kepemilikan institusional
memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses
monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan
manajemen laba (Nuryaman, 2008). Kepemilikan institusional dapat diukur dengan
menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki pihak institusional dari
seluruh jumlah saham perusahaan.
Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya
perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui
reaksi pasar atas pengumuman laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh
institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup
kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen. (Siallagan dan
Machfoedz, 2006). Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat
mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan
berpengaruh terhadap akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono,
2005).
2. Kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba
Kepemilikan saham yang besar dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk
memonitor, secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah maka terdapat
kemungkinan terjadinya perilaku opertunistik manajer akan meningkat (Siallagan,
2006).
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak
dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang dinyatakan bahwa semakin besar
proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan
berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah
dirinya sendiri.
Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan
pengendalian operasional perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen
laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan
menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga
sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham.
Perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan
berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur
menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur, dengan
keefisienan kepemilikan keluarga maka perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang
tinggi dapat mengurangi oportinis pengelolaan laba (Siregar, 2005).
3. Proporsi dewan komisaris independen terhadap manajemen laba
Karakteristik dewan komisaris secara umum dan khususnya komposisi dewan dapat
menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Melalui peranan
dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh
pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang
efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau
kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Dapat dikatakan bahwa
komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan
mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba (Boediono, 2005).
Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan
kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini karena adanya
kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada
berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris
diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan (Ujiyanto, 2007).
Masuknya dewan komisaris dalam perusahaan dapat meningkatkan efektifitas dewan
tersebut dalam melakukan pengawasan manajemen untuk mencegah kecurangan dalam
pelaporan keuangan. Komposisi dewan komisaris lebih penting dalam untuk
mengurangai terjadinya manajemen laba di bandingkan dengan komite audit (Sefiana,
2009).
4. Ukuran dewan komisaris terhadap manajemen laba
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan berperan
terhadap aktivitas pengawasan, dengan peran dewan komisaris diharapkan dapat
meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi
monitoring atas pelaporan keuangan (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Besar kecilnya ukuran dewan komisaris bukanlah menjadi faktor penentu utama dari
efektivitas pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Akan tetapi mekanisme
pengendalian tergantung pada nilai, norma dan kepercayaan yang diterima dalam suatu
organisasi serta peran dewan komisaris dalam aktivitas pengendaliaan terhadap
manajemen (Ujiyanto, 2007).
Makin banyak anggota komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan
dewan ini makin berkualitas dengan makin banyaknya pihak independen dalam
perusahaan yang menuntut adanya transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan.
Hal ini menunjukan bahwa komisaris independen telah efektif dalam menjalankan
tanggungjawabnya mengawasi kualitas pelaporan keuangan demi membatasi
manajemen laba di perusahaan (Nasution dan Setyawan, 2007).
G. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang dilakukan Ujiyanto dan Pramuka (2007). Pengujian antara
kepemilikan institutional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris
independen, ukuran dewan komisaris dengan manajemen laba, keberadaan komite audit
juga mampu mengurangi manajemen laba, hal ini menunjukan bahwa keberadaan
komite audit telah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memenuhi
tagungjawabnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa mekanisme corporate
governance telah efektif mengurangi manajemen laba perusahaan.
Penelitian yang dilakukan (Boediono, 2005) Pengaruh mekanisme corporate
governance, dalam hal ini kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan
komposisi dewan komisaris berpengaruh secara bersama-sama terhadap manajemen
laba, teruji dengan tingkat pengaruhnya lemah.
Mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap manajemen
laba dimana mekanisme corporate governance terdapat hasil kepemilikan manajerial
secara negatif berpengaruh terhadap manajemen laba, dewan komisaris berpangaruh
positif terhadap manajemen laba dan komite audit berpengaruh secara positif terhadap
manajemen laba (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Pengujian antara komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris dan komite
audit dimana komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba hal ini menandakan bahwa mekanisme corporate governance yang diajukan
melalui pihak independen dalam dewan komisaris mampu mengurangi tindakan
manajemen laba. Selain itu ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
manajemen laba, untuk itu dewan komisaris yang lebih sedikit jumlahnya jauh lebih
efektif mengurangi dalam tindakan manajemen laba karena dapat menghambat
munculnya masalah keagenan.
Variabel independen yang diukur menggunakan proporsi komisaris independen, ukuran
dewan komisaris, keberadaan komite audit dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel
pengukuran tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, hal ini karena penerapan
corporate governance yang dilakukan oleh perusahaan disebabkan karena hanya untuk
memenuhi regulasi saja, selain itu penerapan corporate governance masih merupakan
hal baru di Indonesia yang efek dari penerapan corporate governance baru dapat
dirasakan dalam jangka waktu yang lama (Sefiana, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan Nasution dan Doody (2007) pengujian antara
komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, komite audit, ukuran perusahaan
dengan manajemen laba, menyatakan bahwa mekanisme corporate governance telah
aktif mengurangi manajemen laba perusahaan perbankan. Ukuran dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap manajemen laba artinya mekanisme corporate governance
mampu mengurangi praktik manajemen laba di dalam pengelolaan manajemen
perusahaan perbankan. Komposisi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh
negatif signifikan terhadap manajemen laba perusahaan perbankan. Sedangkan ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Nuryaman (2008) pengujian antara kosentrasi kepemilikan,
ukuran perusahaan, komposisi dewan komisaris dan kualitas audit dengan proyeksi
spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan manajemen laba.
Menghasilkan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba, ukuran perusahaan berpangaruh negatif terhadap manajemen laba,
komposisi dewan komisaris tidak berpangaruh terhadap manajemen laba, kualitas audit
dengan proyeksi spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) berpengaruh
negatif tidak signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan (Puspa
dan Mas’ud, 2003) pengujian antara kepemilikan manajerial dan kepemilikan
instutisional dan ukuran dewan direksi dengan manajemen laba, kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional berhubungan negatif terhadap manajemen laba
sedangkan ukuran dewan direksi berhubungan positif dengan manajemen laba.
Mekanisme kepemilikan manajerial, kepemilikan instutisional dan ukuran dewan
direksi mampu mengurangi konflik kepentingan yang timbul dari hubungan keagenan
antara manajemen dengan pemegang saham.
Menurut Siregar dan Sidadarta (2006) bahwa variabel ukuran perusahaan secara
konsisten mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap besaran pengelolaan
yang dilakukan perusahaan, artinya semakin besar ukuran perusahaan semakin kecil
pengelolaan labanya.
Penelitian yang dilakukan Iqbal (2007) menyatakan bahwa keseluruhan variabel
independen secara serentak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba pada
perusahaan go public industri manufaktur yang terdaftar di BEI. Namun secara
individual tidak ada variabel independen menunjukkan konfirmasi positif. Variabel
kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komite audit berpengaruh secara
signifikan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan go public industri
manufaktur yang terdaftar di BEI. Sementara variabel
Daftar Pustaka