Anda di halaman 1dari 36

BAB

II
A.TEORI KEAGENAN

Teori keagenan (Agency theory)

Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang
dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan,
sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang
menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.
Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency
Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam
perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model
akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model
ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik
dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada
hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau
lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan
informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang memiliki
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan
principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan
kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan
mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui
principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-
angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan
manajemen laba.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi
perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok
corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good
corporate governance adalah; transparansi (transparency), akuntabilitas
(accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility). Corporate
governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent
yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kemudian, masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen
perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut. Karena
dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi berupaya untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil
keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan
pihak manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk
kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976),
Jensen (1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi
dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2)antara
pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan
yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer–
pemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki
kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan
juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai
porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk
perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka
pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer
mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang
saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan
pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji yang
besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di antaranya akan
menjadi beban pemegang saham lainnya.
Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima uang dalam
jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan pendapatan pemegang saham
bergantung pada besaran laba perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih
memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan
pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk memperoleh
kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek ± proyek yang berisiko.
Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat
menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek mengalami kegagalan, kreditur
mungkin akan menderita kerugianakibat dari ketidakmampuan pemegang saham untuk
memenuhi kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur
melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu pembatasan
adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek
baru.Konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemenWalaupun telah
dilakukan kontrak kerja yang sah antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain
pihak agent memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan
(full information)
dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal. Pengetahuan
yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan dengan pengetahuan yang
dimiliki oleh pihak principal ini membuatterbentuknya suatu asimetri information atau
asymetric information
.
Teori Akuntansi Keuangan´ Agency Theory ´.
Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya konflik
antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat
dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self
interest ),(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang(
bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
adverse).Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yangdihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan
reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief
Ujiyantho). Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan
bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pribadinya.
Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori keagenan
mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.
Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja
demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian
kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh
karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada
pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang
melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada
penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan
agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan.
Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu :
1. Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun
majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat
informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri
2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti
agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada
didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai
perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke
perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan
kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu
dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki
informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping
itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk
diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan
kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering
disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik
memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan
kinerja perusahaan.
Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah
perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada
meningkatkan nilai perusahaan.
Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan
karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan
informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan
pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan
(discretionary power).
Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan. Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga
mahasiswa untuk mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya mampu
mengakomodasi semua kepentingan keluargaNamun, terkadang pengurus lembaga
kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus
lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan
keluarga menjadi terabaikan

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai “agency


relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage
another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves
delegating some decision making authority to the agent”.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama
prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi
prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk
memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara
yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham
perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan
yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang
nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling
(1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan
prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi
perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan
mengambil keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya
perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.
Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan
mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran kepemilikan saham
oleh manajerial (insider ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency
cost yang berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan
manajer merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang diambilnya. Proses ini
dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan
manajemen melalui program mengikat manajemen dalam modal perusahaan.
Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen salah
satunya dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas (excess cash flow). Kelebihan
arus kas cenderung diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan
kegiatan utama perusahaan. Ini menyebabkan perbedaan kepentingan karena pemegang
saham lebih menyukai investasi yang berisiko tinggi yang juga
menghasilkan return tinggi, sementara manajemen lebih memilih investasi dengan
risiko yang lebih rendah.
Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk
mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan kepemilikan saham oleh
manajemen (insider ownership), b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih
(earning after tax), c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang, d) kepemilikan
saham oleh institusi (institutional holdings).
Sedangkan dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan. Pertama, dengan
meningkatkan insider ownership. Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan
manajemen untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham
sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan
persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan
bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
Kedua, dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan
hutang. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan
saham sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan
memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga
secara periodik. Selain itu penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan
menimbulkan konflik keagenan antara shareholders dengan debtholders sehingga
memunculkan biaya keagenan hutang.
Ketiga, institutional investor sebagai monitoring agent. Moh’d et al, (1998)
menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside shareholders)
yaitu institutional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi biaya
keagenan ekuitas (agency cost). Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan
sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan
manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan
dalam perusahaan

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya hubungan

keagenan antara principal dan agen. Perspektif hubungan keagenan menjadi dasar
yang digunakan untuk memahami corporate governance dan earnings

management. Hubungan keagenan tercermin antara pihak manajemen (agen)

dengan investor (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan

adalah sebuah kontrak antara manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar

hubungan kontraktual ini dapat berjalan lancar, pemilik akan mendelegasikan

otoritas pembuatan keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat

bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik dalam hal

konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan.

Bentuk hubungan keagenan menurut positive accounting theory

(Hendriksen dan Breda, 2001: 228), ada tiga macam bentuk keagenan :

1) Antara pemilik dengan manajemen (bonus plan hypotesis)

2) Antara kreditur dengan manajemen (debt/equity hypotesis)

3) Antara masyarakat dengan manajemen (political cost hypothesis)

Ali (dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007), menyatakan bahwa munculnya

earnings management dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Sebagai agen,

manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para

pemilik (prinsipal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai 11

dengan kontrak (Jensen dan Meckling, 1976). Namun dalam kenyataannya, yang

sering terjadi baik manajemen atau manajer perusahaan sering mempunyai tujuan

yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama antara pihak
prinsipal. Permasalahan yang timbul akibat adanya konflik kepentingan antara

para manajer dan pemegang saham disebut dengan agency problem.

Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:

1) Adverse selection, adalah para manajer serta orang-orang dalam lainnya

yang pada dasarnya mengetahui lebih banyak keadaan dan prospek

perusahaan dibandingkan para pemegang saham atau pihak luar. Informasi

yang mengandung fakta yang akan digunakan pemegang saham untuk

mengambil kepeutusan tidak diberikan secara detail oleh manajer.

2) Moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak

seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman.

Sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar sepengetahuan

pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika

atau etika tidak layak dilakukan.

Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa konflik keagenan

disebabkan oleh pembuatan keputusan aktivitas pencairan dana (financing

decision) dan pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan.

Selain itu, perspektif teori agensi laba sangat rentan terhadap manipulasi oleh

manajemen. Informasi laporan keuangan yang disampaikan tepat waktu akan

mengurangi asimetri informasi yang berkaitan erat dengan agency theory.

Sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen diharapkan dalam mengambil 12


kebijakan perusahaan terutama kebijakan keuangan yang menguntungkan pemilik

perusahaan. Oleh sebab itu sebagai pengelola, manajemen (agen) berkewajiban

memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan terhadap pemilik (prinsipal).

Masalah agensi disebabkan karena adanya konflik kepentingan dan

asimetri informasi, maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency

cost). Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis

yaitu:

1) Biaya Monitoring (monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan

untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan

oleh agen.

2) Biaya Bonding (bonding cost), merupakan biaya untuk menjamin bahwa

agen tidak akan bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain

untuk meyakinkan agen, bahwa principal akan memberikan kompensasi

jika agen benar-benar melakukan tindakan tersebut.

3) Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen

dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat

perbedaan kepeningan.

Untuk meminimalkan agency problem, dapat digunakan kontrak antara

agen dan principal. Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan

untuk meminimalkan agency problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian
dan informasi yang memadai ini maka agen akan bertindak sesuai kepentingan

principal.

 Teori Agensi (Jensen dan Meckling1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam


teoriagensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexusof
contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer(agent) yang
mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut.
 Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua
permasalahan yaitu : (a) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry),
dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi
keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari pemilik; dan (b) terjadinya
konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan tujuan, dimana
manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Dalam upaya
mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini menimbulkan biaya keagenan
(agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent. Jensen dan
Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost
dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh
principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan
mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent
untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan
bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan
pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari
perbedaan keputusan agent dan keputusan principal. Menurut Schoeck (2002: 81)
penerapan manajemen risiko dapat menurunkan biaya keagenan dan meningkatkan nilai
perusahaan. Manajemen risiko perusahaan juga dapat dijadikan mekanisme
pengawasan dalam menurunkan Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.

informasi asimetris dan berkontribusi untuk menghindari perilaku oportunis dari


manajer (Kajuter et al., 2005).
Dalam kaitannya dengan masalah keagenan ini, positif accounting theory (Watts
dan Zimmerman, 1986) mengajukan tiga hipotesis, yaitu bonus plan,
hypothesis, debt/equity hypothesis, dan political cost hypothesis, yang secara
implisit mengakui tiga bentuk keagenan, yaitu antara pemilik dengan
manajeme, antara kreditor dengan manajemen, dan antara pemerintah dengan
manajemen. Sehingga secara luas, principal bukan hanya pemilik perusahaan,
tetapi juga bisa berupa pemegang saham, kreditur, maupun pemerintah.
Isu GCG diawali dengan munculnya pemisahan antara pemilik dan manajemen.
Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan manajemen sebagai
agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota
dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal
merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas
nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh
prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal
kepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap
memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan
seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang
berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal
dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu
mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis
memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari
Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat
untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik
kepentingan (Scott, 1997).
Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.
10
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi
yaitu :
a. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan
rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion)
b. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information
(AI) antara prinsipal dan agen.
c. Asumsi tentang informasi.
asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan
Teori Agensi
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori
agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus
of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer
(agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut.
Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua
permasalahan yaitu : (a) terjadinya informasi asimetris (information
asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi
mengenai posisi keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari
pemilik; dan (b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat
ketidak samaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan pemilik.
Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini menimbulkan
biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun
agent. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi
monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya
yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent,
yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding
cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk
kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang
berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan
keputusan agent dan keputusan principal.
Menurut Schoeck (2002: 81) penerapan manajemen risiko dapat menurunkan
biaya keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen risiko
perusahaan juga dapat dijadikan mekanisme pengawasan dalam menurunkan
Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.
9
Universitas Indonesia
informasi asimetris dan berkontribusi untuk menghindari perilaku oportunis dari
manajer (Kajuter et al., 2005).
Dalam kaitannya dengan masalah keagenan ini, positif accounting theory (Watts
dan Zimmerman, 1986) mengajukan tiga hipotesis, yaitu bonus plan,
hypothesis, debt/equity hypothesis, dan political cost hypothesis, yang secara
implisit mengakui tiga bentuk keagenan, yaitu antara pemilik dengan
manajeme, antara kreditor dengan manajemen, dan antara pemerintah dengan
manajemen. Sehingga secara luas, principal bukan hanya pemilik perusahaan,
tetapi juga bisa berupa pemegang saham, kreditur, maupun pemerintah.
Isu GCG diawali dengan munculnya pemisahan antara pemilik dan manajemen.
Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan manajemen sebagai
agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota
dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal
merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas
nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh
prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal
kepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap
memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan
seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang
berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal
dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu
mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis
memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari
Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat
untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik
kepentingan (Scott, 1997).
Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi
yaitu :
a. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan
rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion)
b. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information
(AI) antara prinsipal dan agen.
c. Asumsi tentang informasi.
asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan

B.TEORI ASIMETRI INFORMASI


Dalam bidang ekonomi, asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari
suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak
lainnya. (Sering juga disebut dengan istilah informasi asimetrik/informasi asimetris).
Umumnya pihak penjual yang memiliki informasi lebih banyak tentang produk
dibandingkan pembeli, meski kondisi sebaliknya mungkin juga terjadi.
 Teori Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakAN kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan
informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak
pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
 Teori asimetri mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan
tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan resiko perusahaan. Pihak
tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak lainnya.
Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak
luar (investor) karena itu bisa dikatakan terjadi asimetri informasi antara manajer
dengan infestor. Infestor, yang merasa mempunyai informasi yang lebih sedikit akan
berusha menginterpretasikan perilaku manajer.
 Myers dan Majluf (1977)Teori Packing Order sangat sesuai dengan kenyataan
empiris tetapi teori tersebut pada awalnya kurang dibicarakan dalam lingkungan
akademis.
 Myers dan Majluf (1977) kemudian memberikan justifikasi teoritis. Mereka membua
asimetri informsai antara manajer dengan pihak luar. Tujuannya untuk menjelaskan
fenomena menarik yang sering kali dijumpai yaitu harga saham cenderung mengalami
penurunan pada saat pengumuman penerbitan saham baru.
 Myers dan Majluf (1977) ada asimetri informasi antara manajer dengan pihak luar
manajer mempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi perusahaan
dibandingkan dengan pihak luar. Pada saat harga saham menunjukan nilai yang sangat
tinggi (over value) manajer akan cenderung mengeluarkan saham (memanfaatkan harga
yang terlalu tinggi). Tentunya pihak luar (pasar) tidak mau ditipu, karena itu pada saat
pengumuman saham baru di umumkan harga akan jatuh karena pasar
menginterpretasikan harga saham sudah over value. Teori tersebut bisa menjelaskan
fenomena jatuhnya harga saham pada saat terjadi pengumuman penerbitan saham baru.
Dibandingkan dengna saham, pengumuman penerbitan utang menurut pengamatan
biasanya disertai dengan penurunan harga saham yang lebih kecil. Dilihat dari asimetri
informasi sekuritas utang mempunyai asimetri informasi yang lebih kecil dibandingkan
dengan saham. Utang mempunyai pendapatan yang bersifat tetap (bunga utang), karena
itu ketidakpastian pendapatan utang lebih kecil dibandingikan dengan ketidapastian
saham. Asimetri informasi dari utang tidak sebesar asimetri untuk saham. Dengan kata
lain biaya asimetri utang lebih kecil dibandingkan dengan biaya asimetri saham.

Karena biaya asimetri saham cenderung paling besar, manajer akan enggan untuk
menerbitkan saham. Saham menjadi alternatif paling akhir dalam upaya mencari dana.
Dana internal praktis bebas dari biaya asimetri informasi, karena itu dana internal akan
dipilih pertama kali jika perusahaan mebutuhkan dana. Jika kebutuhan dana masih ada,
maka perusahaan akan menerbitkan utang. Jika kebutuhan dana masih ada, maka
langkah terakhir adalah penerbitan saham.

Teori asimetri tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan teori packing order
(perusahaan memilih dana internal, dan menggunakan penerbitan sebagai langkah
terakhir). Dalam konteks asimetri informasi, penerbitan saham yang paling kecil
(urutan paling rendah), disebabkan biaya asimetri saham adalah yang paling besar.
Utang mempunyai asimetri yang lebih rendah dibandingkan saham. Dana internal bebas
dari biaya asimetri, oleh karena itu dana internal mempinyai asimetri paling kecil.
Karenanya, urut-urutan preferensi penggunaan berdasarkan asimetri biaya adalah :
1. Dana Internal
2. Utang
3. Penerbitan
Oleh karena itu model asimetri informasi bisa dipakai menjelaskan stuktur modal.

Tetapi dengan adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi
antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk
kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia
yaitu:

1. manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest),


2. manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality)
3. manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang
dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat
dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.

Pengertian Asimetri Informasi

Pengertian Asimetri Informasi

Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses


informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar
perusahaan. Agency Theorymengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer
(agen) dengan pemilik (prinsipal).
Pengertian asimetri informasi menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati
dkk. (2006) menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut
adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan
yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk
kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang
tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen
yang menyimpang.
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada
pihak-pihak di luar korporasi. Laporan keuangan memiliki kelemahan tertentu,
sekalipun pembuatan laporan keuangan diatur oleh suatu standar yang telah ditetapkan,
namun perlu disadari bahwa laporan keuangan mengandung banyak asumsi, penilaian,
serta pemilihan metode perhitungan yang dapat digunakan oleh pembuatnya.

Adanya pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut
membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan
keuangan tersebut. pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh
manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba. Asimetri
informasi dapat diantisipasi dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih
berkualitas.
Ada dua tipe asimetri informasi :
1. Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih
yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi
usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi
karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam
(insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan
daripada para investor luar.
2. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang
melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha
potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-
transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi
karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan
karakteristik kebanyakan perusahaan besar.

A. Teori Keagenan (Agency Theory)


Persektif teori agensi merupakan dasar yang digunakan memahami isu corporate
governance dan earning management. Agensi teori mengakibatkan hubungan yang
asimetri antara pemilik dan pengelola, untuk menghindari terjadi hubungan yang
asimetri tersebut dibutuhkan suatu konsep yaitu konsep Good Corporate Governance
yang bertujuan untuk menjadikan perusahaan menjadi lebih sehat. Penerapan corporate
governance berdasarkan pada teori agensi, yaitu teori agensi dapat dijelaskan dengan
hubungan antara manajemen dengan pemilik, manajemen sebagai agen secara moral
bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan
sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi yang sesuai dengan kontrak.
Dengan hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana
masing-masing pihak berusaha untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki,
sehingga muncullah informasi asimetri antara manajemen dengan pemilik yang dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam
rangka menyesatkan pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Sefiana, 2009).
Masalah keagenan (agency problem) pada awalnya dieksplorasi oleh Ross (1973),
sedangkan eksplorasi teoritis secara mendetail dari teori keagenan pertama kali
dinyatakan oleh Jensen and Mecking (1976)
Me nyebutkan manajer suatu perusahaan sebagai “agen” dan pemegang saham
“principal”. Pemegang saham yang merupakan principal mendelegasikan pengambilan
keputusan bisnis kepada manajer yang merupakan perwakilan atau agen dari pemegang
saham. Permasalahan yang muncul sebagai akibat sistem kepemilikan perusahaan
seperti ini bahwa adalah agen tidak selalu membuat keputusan-keputusan yang
bertujuan untuk memenuhi kepentingan terbaik principal.
Salah satu asumsi utama dari teori keagenan bahwa tujuan principal dan tujuan agen
yang berbeda dapat memunculkan konflik karena manajer perusahaan cenderung untuk
mengejar tujuan pribadi, hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan manajer untuk
memfokuskan pada proyek dan investasi perusahaan yang menghasilkan laba yang
tinggi dalam jangka pendek daripada memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham
melalui investasi di proyek-proyek yang menguntungkan jangka panjang. Terdapat
cara-cara langsung yang digunakan pemegang saham untuk memonitor manajemen
perusahaan sehingga membantu memecahkan konflik keagenan. Pertama, pemegang
saham mempunyai hak untuk mempengaruhi cara perusahaan dijalankan melalui voting
dalam rapat umum pemegang saham , hak voting pemegang saham merupakan bagian
penting dari asset keuangan mereka. Kedua, pemegang saham melakukan resolusi
dimana suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan lobby terhadap
manajer (mewakili perusahaan) berkenaan dengan isu-isu yang tidak memuaskan
mereka. Pemegang saham juga mempunyai opsi divestasi 10 (menjual saham mereka),
divestasi mereprestasikan suatu kegagalan dari perusahaan untuk mempertahankan
investor, dimana divestasi diakibatkan oleh ketidakpuasan pemegang saham atas
aktivitas manajer ( Warsono, 2009).
Manajemen laba didasari oleh adanya teory agency yang menyatakan bahwa setiap
individu cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya. Konsep Agency Theory adalah
hubungan atau kontrak antara principal dan agen. Principal memperkerjakan agen untuk
melakukan tugas dalam rangka memenuhi kepentingan principal.

B. Corporate Governance

1. Definisi Corporate Governance


Menurut Nuryaman (2008) Corporate Governance merupakan salah satu elemen kunci
untuk meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan komisaris, pemegang saham, stakeholders lainnya.
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,
diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para
investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan
(Herawaty, 2008).
Sedangkan Corporate Governance adalah konsep yang diajukan demi peningkatan
kinerja perusahaan melalui supervisi dan monitoring kinerja manajemen dan menjamin
akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka
peraturan (Nasution, 2007).Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI, 2004) corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang
menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola ) perusahaan,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata
lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci untuk meningkatkan
efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen
perusahaan, dewan komisaris, pemegang saham, dan stakeholders lainnya. Corporate
governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-
sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring
kinerja (Ujiyanto, 2007).
Sedangkan Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan good corporate governance
sebagai kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang
dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien
guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para
pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan (Effendy, 2009).
Corporate governance merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan
kepada para pemegang saham ( Siallagan, 2006).
Dalam penelitian ini mekanisme corporate governance dilihat dari, kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, ukuran
dewan komisaris.
a. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institutional adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau
lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi
lain) (Midiastuty dan Machfoedz, 2003).
Terdapat dua pendapat yang bertentangan menyangkut kepemilikan institusional
pendapat pertama, yaitu berdasar pada pandangan bahwa kepemilikan institusional
adalah pemilik sementara yang biasa terfokus pada current earning sehingga manajer
terpaksa melakukan tindakan meningkatkan laba. Pendapat kedua yaitu kepemilikan
institusional adalah shophisiticated sehingga dapat melakukan fungsi monitoring secara
lebih efektif dan tidak mudah di perdaya atau percaya dengan tindakan manipulasi oleh
manajer.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan
manajemen melakukan manajemen laba (Ujiyanto, 2007). Melalui mekanisme
kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh
manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas
pengumuman laba.Prosentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat
mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan
berpengaruh terhadap akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen ( Buediono,
2005).
b. Kepemilikan Manajerial
Konflik keagenan disebabkan oleh adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian
dalam perusahaan. Dinyatakan bahwa semakin terkonsentrasi kepemilikan perusahaan
pada satu orang maka kendali akan menjadi semakin kuat dan cenderung menekan
konflik keagenan.
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak
dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa semakin
besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan
berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah
dirinya sendiri.
Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan
pengendalian operasional perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen
laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan
menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga
sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham.
Hal ini sesuai dengan sistem pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria:
a) Perusahaan dipimpin oleh manajer dan pemilik (owner-manager)b) Perusahaan yang
dipimpin oleh manajer dan non pemilik (non owners-manager).
Dua kriteria ini akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang
manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode
akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat
dikatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen
cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba. Kepemilikan manajerial memiliki
kemampuan untuk mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri
melalui tingkat pengawasan yang intens (Boediono, 2005).
c. Proporsi Dewan Komisaris Independen
Komposisi dewan komisaris adalah susunan keanggotaan yang terdiri dari komisaris
dari luar perusahaan (komisaris independen) dan komisaris dari dalam perusahaan.
Proporsi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari
proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari
kecurangan laporan keuangan.
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi oleh pihak
manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, pemegang saham pengendali, serta
bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuan untuk bertindak independen demi kepentingan perusahaan (KNKG,
2006).Non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah
dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi
kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris
independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar
tercipta perusahaan yang good corporate governance (Ujianto, 2007).
Dewan direksi bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan
perusahaan kepada dewan komisaris (NCCG, 2001). Selain mensupervisi dan memberi
nasihat pada dewan direksi sesuai dengan UU No. 1 tahun 1995, fungsi dewan
komisaris yang lain sesuai dengan yang dinyatakan dalam National Code for Good
Corporate Governance 2001 adalah memastikan bahwa perusahaan telah melakukan
tanggung jawab sosial dan mempertimbangkan kepentingan berbagai stakeholder
perusahaan sebaik memonitor efektifitas pelaksanaan good corporate governance
(Sefiana, 2009).
Menurut FCGI (2001) kriteria komisaris independen adalah sebagai berikut:
1) Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen.

2) Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau dengan


cara lain yang berhubungan secara langsung atau secara tidak langsung dengan
pemegang saham mayoritas dari perusahaan.

3) Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan
dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan alam satu kelompok usaha dan
tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati
posisi tersebut.
4) Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.

5) Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang


signifikan dan berpengaruh dari perusahaan dalam satu kelompok, atau dengan cara
lain berhubungan secara langsung atau tidak secara langsung dengan pemasok atau
pelanggan tersebut.

6) Komisaris tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan dalam satu kelompok


selain sebagai komisaris perusahaan tersebut.

7) Komisaris independen harus bebas dari kepentingan atau urusan bisnis apapun yang
dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai
seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan perusahaan.
d. Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris perusahaan baik
berasal dari internal perusahaaan maupun eksternal perusahaan (Ujiyanto, 2007).
Semakin banyaknya personil yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada
makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan.
Hal tersebut dapat di jelaskan dalam agency problem (masalah keagenan) yaitu dengan
makin banyaknya anggota dewan komisaris semakin sulit dalam menjalankan
perannya, diantaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari
masing masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan yang dialami adalah sulitnya
menjalankan tugas pengawasan terhadap manajemen perusahaan yang nantinya
berdampak pula terhadap kinerja perusahaan yang semakin menurun (Ujiyanto, 2007).
2. Prinsip-Prinsip Corporate Governance
FCGI (2004) memuat uraian dalam Organization for Economic Co-Operation and
Development (OECD) bahwa terdapat empat unsur penting dalam corporate
governance, yaitu:
a. Keadilan (Fairness)

Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang


saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya
komitmen dengan para investor.
b. Transparansi (Transparancy)

Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat
dibandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan
kepemilikan perusahaan.
c. Akuntabilitas (Accountability)

Menjelaskan peran dan tanggungjawab, serta mendukung usaha untuk menjamin


penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham sebagaimana yang
diawasi Dewan Komisaris. 18
d. Pertanggungjawaban (Responsibility)

Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan


dipatuhinya nilai-nilai sosial.
Sedangkan prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD
(Effendi, 2009) mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham

Hak-hak pemegang saham adalah pemberian informasi yang benar, tepat, & tepat
waktu mengenai perusahaan yang berperan serta dalam pengambilan keputusan
mengenai perubahan yang mendasar dalam perusahaan dan memperoleh bagian dari
keuntungan perusahaaan.
b) Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham

Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham terutama pemegang saham minoritas
dan pemegang saham asing dalam hal keterbukaan informasi.
c) Peranan semua hak yang berkepentingan (stakeholder) dalam corporate governance.

Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan
kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemegang kepentingan dalam mencapai
tujuan perusahaan. d) Keterbukaan dan transparansi

Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu serta transparansi mengenai semua hal yang
berkaitan dengan kinerja perusahaan, kepemilikan serta para pemegang kepentingan.
e) Akuntabilitas dewan komisaris

Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya


pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh
dewan komisaris, dan pertanggungjawaban dewan komisaris terhadap perusahaan dan
pemegang saham.
3. Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu yang tersistem untuk mempengaruhi
persyaratan tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur dan
hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang
melakukan kontrol/ pengawasan terhadap keputusan.
Penelitian mengenai Corporate governance menghasilkan berbagai mekanisme yang
bertujuan untuk meyakinkan bahwa tindakan manajemen selaras dengan kepentingan
stakeholder. Mekanisme Corporate Governance ada 2 kelompok (Herawaty, 2007):
a. Mekanisme Internal (Internal Mechanisme) adalah cara untuk mengendalikan
perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal, seperti komposisi dewan
direksi atau komisaris, kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif.
b. Mekanisme eksternal (External mechanisme) adalah cara mempengaruhi perusahaan
selain dengan menggunakan mekanisme internal seperti pengendalian oleh pasar dan
level debt financing, peraturan hukum, investor, akuntan public, tujuan Corporate
Governance Menurut Wardani (2008) penerapan prinsip Good Corporate Governance
secara konkret, memiliki tujuan terhadap perusahaan sebagai berikut : a. Memudahkan
akses terhadap investasi domestik maupun asing; b. Mendapatkan cost of capital yang
lebih murah; Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja
ekonomi perusahaan; d. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholders
terhadap perusahaan;e. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.
Sedangkan menurut FCGI tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan nilai
tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Corporate governance dimaksudkan
untuk : 1) Mengatur hubungan-hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris,
dan dewan direksi.2) Mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan yang signifikan dalam
strategi korporasi. Korporasi adalah mekanisme yang dibangun agar berbagai pihak
dapat memberikan kontribusi berupa modal, keahlian (expertise), dan tenaga, demi
manfaat bersama. 3) Memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
diperbaiki segera. Industri pasar modal telah berkembang. Secara teoritis, pratik good
corporate governance dapat meningkatkan nilai (valuation) perusahaan dengan
meningkatkan kinerja keuangan mereka, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan
oleh dewan dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan
umumnya corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor. C.
Manajemen Laba1. Definisi Manajemen Laba Menurut Nuryaman (2008)
Manajemen laba merupakan suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi
proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan,
menaikan dan menurunkan pelaporan laba. Manajemen laba adalah tindakan-tindakan
manajer untuk menaikan atau menurunkan laba periode berjalan dari sebuah
perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan atau penurunan keuntungan
ekonomi perusahaan jangka panjang. Menurut Iqbal (2007) manajemen laba adalah
tindakan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan untuk mempengaruhi
tingkat laba yang ditampilkan. Sedangkan manajeman laba merupakan suatu intervensi
dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja
untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi (Ujiyanto, 2007). Dengan kata lain
manajemen laba adalah aktivitas manajemen manajerial untuk mempengaruhi dan
mengintervensi laporan keuangan (Sulistyanto, 2008).Widyaningdyah (2001)
mendefinisikan manajemen laba adalah tindakan manajer untuk meningkatkan atau
mengurangi laba yang dilaporkan tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut. D. Motivasi Manajemen Laba
Motivasi manajemen melakukan manajemen laba adalah sebagai berikut: 1. Bonus
Plan Hypotesis Bonus plan hypotesis menyatakan bahwa rencana bonus atau
kompensasi manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode
akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggiKonsep ini
membahas bahwa bonus yang dijanjikan pemilik kepada manajer perusahaan tidak
hanya memotivasi manajer untuk bekerja dengan lebih baik tetapi juga memotivasi
manajer untuk melakukan kecurangan manajerial. Agar selalu bisa mencapai tingkat
kinerja yang memberikan bonus, manajer mempermainkan besar kecilnya angka-angka
akuntansi laporan keuangan sehingga bonus itu selalu didapatnya setiap tahun. Hal
inilah yang mengakibatkan pemilik mengalami kerugian ganda, yaitu memperoleh
informasi palsu dan mengeluarkan sejumlah bonus untuk sesuatu yang tidak
semestinya. 2. Debt (Equity) Hypotesis Debt (equity) hypothesis menyatakan bahwa
perusahaan yang mempunyai rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung
memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan laba yang lebih
tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang apabila ada manfaat dan keuntungan
tertentu yang dapat diperolehnya.Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam
pandangan pihak eksternal. Perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup
tinggi akan mendorong manajer perusahaan untuk menggunakan metode akuntansi
yang dapat meningkatkan pendapatan / laba, menyebabkan perusahaan kesulitan dalam
memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar
perjanjian hutang.3. Political Cost Hypotesis Polotical cost hypothesis menyatakan
bahwa perusahan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang
dapat memperkecil atau memperbesar laba yang dilaporkanya (Sulistyanto,
2008).Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut
memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan laba yang
tinggi membuat pemerintah akan segera mengambil tindakan seperti mengenakan
peraturan kenaikan pajak pendapatan dan lain-lain. Konsep ini membahas bahwa
manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi pemerintah, seperti undang-undang
perpajakan, apabila ada manfaat atau keuntungan yang diperolehnya. Manajer akan
mempermainkan laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi sehinggaalokasi
laba dengan kemauan perusahaan.
E. Metode Manajemen Laba
Menurut Sulistiyanto (2008) ada empat metode untuk melakukan manajemen laba
yaitu:
1. Pemilihan metode akuntansi (accounting method choice)

Ada berbagai metode akuntansi yang selama ini diakui oleh prinsip akuntansi, misalkan
metode depresiasi garis lurus atau saldo menurun untuk mengalokasikan harga
perolehan (cost) aktiva tetap. Metode FIFO atau LIFO untuk menentukan harga pokok
persediaan. Prinsip akuntansi juga memberi kebebasan kepada penggunanya untuk
memilih metode dan prosedur akuntansi sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
2. Penerapan metode akuntansi ( accounting method application)

Setelah memilih metode akuntansi dan menentukan nilai estimasi akuntansi sesuai
dengan kepentingannya, manajer membuat kebijakan bagaimana cara menerapkan
tanpa harus melanggar prinsip akuntansi. Upaya untuk memilih dan menerapkan
metode akuntansi sesuai dengan kepentingan manajer, bisa dilakukan untuk mengelola
dan mengatur labanya agar lebih tinggi atau rendah dari laba yang sesungguhnya.
3. Waktu menerapkan metode akuntansi (acconting method timing)

Selain mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan metode atau standar
akuntansi yang sesuai dengan kebutuhan, manajer juga mempunyai kebebasan untuk
menentukan kebijakan kapan dan bagaimana suatu transaksi / peristiwa diakui sebagai
transaksi dan peristiwa akuntansi yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan.
Artinya, suatu transaksi atau peristiwa tidak harus dilaporkan pada periode terjadinya,
namun dilaporkan dan diungkapkan sesuai dengan kebijakan dan kepentingan
perusahaan.
4. Pemilihan waktu (timing)

Pemilihan waktu akuisisi aktiva dan disposisi dapat mempengaruhi laba akuntansi.
Pengusaha dapat menggunakan metode ini ketika seberapa besar yang diinvestasikan
dalam biaya pemeliharaan, yang diakui sebagai biaya periodik pada periode terjadinya
pengeluaran. Pengusaha dapat memutuskan saat yang tepat penjualan plan, property,
and equipment untuk dipercepat atau ditunda pengakuan keuntungan atau kerugian.
Sedangkan menurut Isnanta (2008) ada tiga metode untuk melakukan manajemen laba:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen
mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi
tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap/ amortisasi
aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,


contohnya: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun
ke metode depresiasi garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain mempercepat/ menunda


pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode berikutnya.
F. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba
Komponen-komponen corporate governance terdiri dari:
1. Kepemilikan institusional terhadap manajemen laba

Kepemilikan institutional adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau
lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi
lain) (Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Melalui kepemilikan institutional, efektifitas
pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi
yang dihasilkan melalui reaksi pasar atau pengumuman laba.Kepemilikan institusional
memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses
monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan
manajemen laba (Nuryaman, 2008). Kepemilikan institusional dapat diukur dengan
menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki pihak institusional dari
seluruh jumlah saham perusahaan.
Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya
perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui
reaksi pasar atas pengumuman laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh
institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup
kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen. (Siallagan dan
Machfoedz, 2006). Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat
mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan
berpengaruh terhadap akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono,
2005).
2. Kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba

Kepemilikan saham yang besar dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk
memonitor, secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah maka terdapat
kemungkinan terjadinya perilaku opertunistik manajer akan meningkat (Siallagan,
2006).
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak
dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang dinyatakan bahwa semakin besar
proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan
berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah
dirinya sendiri.
Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan
pengendalian operasional perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen
laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan
menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga
sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham.
Perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan
berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur
menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur, dengan
keefisienan kepemilikan keluarga maka perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang
tinggi dapat mengurangi oportinis pengelolaan laba (Siregar, 2005).
3. Proporsi dewan komisaris independen terhadap manajemen laba

Karakteristik dewan komisaris secara umum dan khususnya komposisi dewan dapat
menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Melalui peranan
dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh
pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang
efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau
kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Dapat dikatakan bahwa
komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan
mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba (Boediono, 2005).
Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan
kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini karena adanya
kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada
berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris
diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan (Ujiyanto, 2007).
Masuknya dewan komisaris dalam perusahaan dapat meningkatkan efektifitas dewan
tersebut dalam melakukan pengawasan manajemen untuk mencegah kecurangan dalam
pelaporan keuangan. Komposisi dewan komisaris lebih penting dalam untuk
mengurangai terjadinya manajemen laba di bandingkan dengan komite audit (Sefiana,
2009).
4. Ukuran dewan komisaris terhadap manajemen laba

Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan berperan
terhadap aktivitas pengawasan, dengan peran dewan komisaris diharapkan dapat
meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi
monitoring atas pelaporan keuangan (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Besar kecilnya ukuran dewan komisaris bukanlah menjadi faktor penentu utama dari
efektivitas pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Akan tetapi mekanisme
pengendalian tergantung pada nilai, norma dan kepercayaan yang diterima dalam suatu
organisasi serta peran dewan komisaris dalam aktivitas pengendaliaan terhadap
manajemen (Ujiyanto, 2007).
Makin banyak anggota komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan
dewan ini makin berkualitas dengan makin banyaknya pihak independen dalam
perusahaan yang menuntut adanya transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan.
Hal ini menunjukan bahwa komisaris independen telah efektif dalam menjalankan
tanggungjawabnya mengawasi kualitas pelaporan keuangan demi membatasi
manajemen laba di perusahaan (Nasution dan Setyawan, 2007).
G. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang dilakukan Ujiyanto dan Pramuka (2007). Pengujian antara
kepemilikan institutional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris
independen, ukuran dewan komisaris dengan manajemen laba, keberadaan komite audit
juga mampu mengurangi manajemen laba, hal ini menunjukan bahwa keberadaan
komite audit telah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memenuhi
tagungjawabnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa mekanisme corporate
governance telah efektif mengurangi manajemen laba perusahaan.
Penelitian yang dilakukan (Boediono, 2005) Pengaruh mekanisme corporate
governance, dalam hal ini kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan
komposisi dewan komisaris berpengaruh secara bersama-sama terhadap manajemen
laba, teruji dengan tingkat pengaruhnya lemah.
Mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap manajemen
laba dimana mekanisme corporate governance terdapat hasil kepemilikan manajerial
secara negatif berpengaruh terhadap manajemen laba, dewan komisaris berpangaruh
positif terhadap manajemen laba dan komite audit berpengaruh secara positif terhadap
manajemen laba (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Pengujian antara komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris dan komite
audit dimana komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba hal ini menandakan bahwa mekanisme corporate governance yang diajukan
melalui pihak independen dalam dewan komisaris mampu mengurangi tindakan
manajemen laba. Selain itu ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
manajemen laba, untuk itu dewan komisaris yang lebih sedikit jumlahnya jauh lebih
efektif mengurangi dalam tindakan manajemen laba karena dapat menghambat
munculnya masalah keagenan.
Variabel independen yang diukur menggunakan proporsi komisaris independen, ukuran
dewan komisaris, keberadaan komite audit dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel
pengukuran tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, hal ini karena penerapan
corporate governance yang dilakukan oleh perusahaan disebabkan karena hanya untuk
memenuhi regulasi saja, selain itu penerapan corporate governance masih merupakan
hal baru di Indonesia yang efek dari penerapan corporate governance baru dapat
dirasakan dalam jangka waktu yang lama (Sefiana, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan Nasution dan Doody (2007) pengujian antara
komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, komite audit, ukuran perusahaan
dengan manajemen laba, menyatakan bahwa mekanisme corporate governance telah
aktif mengurangi manajemen laba perusahaan perbankan. Ukuran dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap manajemen laba artinya mekanisme corporate governance
mampu mengurangi praktik manajemen laba di dalam pengelolaan manajemen
perusahaan perbankan. Komposisi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh
negatif signifikan terhadap manajemen laba perusahaan perbankan. Sedangkan ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Nuryaman (2008) pengujian antara kosentrasi kepemilikan,
ukuran perusahaan, komposisi dewan komisaris dan kualitas audit dengan proyeksi
spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan manajemen laba.
Menghasilkan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba, ukuran perusahaan berpangaruh negatif terhadap manajemen laba,
komposisi dewan komisaris tidak berpangaruh terhadap manajemen laba, kualitas audit
dengan proyeksi spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) berpengaruh
negatif tidak signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan (Puspa
dan Mas’ud, 2003) pengujian antara kepemilikan manajerial dan kepemilikan
instutisional dan ukuran dewan direksi dengan manajemen laba, kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional berhubungan negatif terhadap manajemen laba
sedangkan ukuran dewan direksi berhubungan positif dengan manajemen laba.
Mekanisme kepemilikan manajerial, kepemilikan instutisional dan ukuran dewan
direksi mampu mengurangi konflik kepentingan yang timbul dari hubungan keagenan
antara manajemen dengan pemegang saham.
Menurut Siregar dan Sidadarta (2006) bahwa variabel ukuran perusahaan secara
konsisten mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap besaran pengelolaan
yang dilakukan perusahaan, artinya semakin besar ukuran perusahaan semakin kecil
pengelolaan labanya.
Penelitian yang dilakukan Iqbal (2007) menyatakan bahwa keseluruhan variabel
independen secara serentak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba pada
perusahaan go public industri manufaktur yang terdaftar di BEI. Namun secara
individual tidak ada variabel independen menunjukkan konfirmasi positif. Variabel
kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komite audit berpengaruh secara
signifikan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan go public industri
manufaktur yang terdaftar di BEI. Sementara variabel

Daftar Pustaka

Mamduh Hanafi. 2004.Manajemen Keuangan. Cetakan Pertama. Penerbit BPFE


:Yogyakarta
Abdelsalam, O.H., El-Masry, Ahmed. 2008. “The Impact Of Board Independence And
Ownership Structure On The Timeliness Of Corporate Internet Reporting Of Irish-
Listed Companies.” Managerial Finance, Vol. 34 No. 12, 2008 pp. 907-918.
Abdelsalam, O.H., S. M., Bryant, dan D. L. Street. 2007. “An Examination of the
Comprehensiveness of Corporate Internet Reporting Provided b London- Listed
Companies.” Journal of International Accounting Reasearch, Vol. 6, No.2, hal. 1- 33.
Agustina, Linda. 2007. “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Luas
Pengungkapan Informasi Keuangan pada Website Perusahaan.”, n.p,
http://www.eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 10 Januari 2011.
Almilia, Luciana Spica dan Budi Sasongko Susetyo. 2008. “Corporate Internet
Reporting of Banking Industry and LQ45 Firms: An Indonesia Example.” Accounting
& Business Conference 2008, Bandung. n.p, http://www.papers.ssrn.com. Diakses
tanggal 1 Februari 2011.
Almilia, Luciana Spica. 2009. “Determining Factors Of Internet Financial Reporting In
Indonesia.” Journal of Accounting and Taxation,” Vol. 1, No. 1.
Almilia, Luciana Spica. 2009. “Analisa Komparasi Indeks Internet Financial Reporting
Pada Website Perusahaan Go Publik Di Indonesia” Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi., Bandung. n.p, http://www.papers.ssrn.com. Diakses tanggal 1
Februari 2011.
Andrikopoulos, Andreas. 2007. “Financial Reporting Practices On The Internet: The
Case Of Companies Listed In The Cyprus Stock Exchange”. Panteion University of
Social and Political Sciences, Department of International and European Studies,
Athens, Greece. http://www.papers.ssrn.com. Diakses tanggal 10 Januari 2011.
Asbaugh, H., K. Johnstone, and T. Warfield. “Corporate Reporting on The Internet.”
Accounting Horizons., Vol.13, No.3.
Chariri, Anis, dan Hanny Sri Lestari. 2005. “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pelaporan Keuangan Melalui Internet (Internet Financial Reporting)
Dalam Website Perusahaan.” Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. n.p,
http://www.eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 12 Januari 2011. 25
Chen, Y. and Hasan, I. 2006. “The transparency of the banking system and the
efficiency of information-based bank runs”, Journal of Financial Intermediation, Vol.
15 No. 3, pp. 307-31.
Cinca, Carlos Serrano, Yolanda Fuertes-Calle´n and Begon˜a Gutie´rrez-Nieto. 2006.
“Online Reporting By Banks: A Structural Modelling Approach”, Online Information
Review, Vol. 31 No. 3, pp. 310-332.
Financial Accounting Standards Board (FASB) dalam Statement of Financial Concept
(SFAC) No. 1.
Fitriana, Meinar Rakhma. 2009. “Analisis Pengaruh Kompetisi dan Karaktristik
perusahaan terhadap Luas Pengungkapan Informasi Keuangan dalam website
Perusahaan”. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2008. Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial
Least Square. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Ghozali, Imam dan Anis Chariri.2000.Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit
Undip.
Haryanto, Edy. 2008. “Teknologi Informasi dan Komunikasi: Konsep dan
Perkembangannya. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Sebagai Media
Pembelajaran”. n.p, http://www.slideshare.net. Diakses tanggal 12 Januari 2011.
Hargyantoro, Febrian.2010. “Pengaruh Internet Financial Reporting Dan Tingkat
Pengungkapan Informasi Website Terhadap Frekuensi Perdagangan Saham
Perusahaan.” Skripsi Tidak Dipublikasikan , Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Indrianita, 2007. “Corporate Governance dan IT Governance.” n.p,
http://indrianita.wordpress.com. Diakses tanggal 27 Desember 2010.
Internet World Stats. N.d. "World Internet Usage and Populations Statistic".
Http://www.internetworldstats.com/stats. Diakses tanggal 27 Desember 2010 .
Ismail, Tariq H. 2002. “An Empirical Investigation of Factors Influencing Voluntary
Disclosure of Financial Information on the Internet in the GCC Countries”. Working
Paper Series, Vol.July 2002
Khan, Mohd Noor Azli Bin Ali And Noor Azizi Bin Ismail.2011. “The Use Of
Disclosure Indices In Internet Financial Reporting Research.” 2nd 26
International Conference On Business And Economic Research (2nd Icber 2011)
Proceeding
Lai, Syou-Ching, Cecilia Lin, Hung-Chih Li, Frederick H. Wu. 2010. “An Empirical
Study of The Impact of Internet Financial Reporting on Stock Prices.” The International
Journal of Digital Accounting Research, Vol.10, 2010, pp. 1-26.
Laswad, F, R. Fisher, and P. Oyelere. 2005. “Determinents of Voluntary Internet
Financial Reporting by Local Government Authorities”. Journal of Accounting and
Pubic Policy, Vol. 24(2): pp. 101-105.
Putri, Aulia Chandra Ayu Liana. 2008. “Faktor- Faktor yang mempengaruhi
Pencantuman Pelaporan Keuangan di website Perusahaan (Internet Financial
Reporting)”. Skripsi Tidak Dipublikasikan , Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Santika. 2003. “Pengantar Teknologi Informasi, Pengenalan Teknologi Informasi.”
Departemen Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung.
Standar Akuntansi Keuangan No.1 tahun 2000.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Suripto, Bambang. 2006. “Pengaruh Besaran, Profitabilitas, Pemilikan Saham oleh
Publik, dan Kelompok Industri terhadap Tingkat Pengungkapan Informasi Keuangan
dalam Website Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, vol. 5, No.1
Tadesse, Solomon. 2006. “The Economic Value of Regulated Disclosure: Evidence
from the Banking Sector.” School of Business University of Michigan. n.p,
http://www.ideas.repec.org. Diakses tanggal 20 Januari 2011.
Xiao, J., Yang, H. and Chow, C. (2004), “The Determinants And Characteristics Of
Voluntary Internet-Based Disclosures By Listed Chinese Companies”, Journal of
Accounting and Public Policy, Vol. 23 No. 3, pp. 191-225.

Anda mungkin juga menyukai