Anda di halaman 1dari 19

KONSEP BELAJAR MENURUT PANDANGAN ISLAM

November 13, 2013 Bahan kuliah S-1, Teori Bljr 3 Comments

Abstrak
Rasulullah SAW bersabda: “Mencari ilmu (belajar) wajib hukumnya bagi setiap orang Islam”. Dan
pada kesempatan lain beliau pun pernah menganjurkan, agar manusia mencari ilmu meski berada di
negeri orang (Cina) sekalipun; meski dari manapun datangnya. Hadis tentang belajar dan yang terkait
dengan pencarian ilmu banyak disebut dalam al-Hadis, demikian juga dalam Al-Qur’an al-Karim. Hal
ini merupakan indikasi, bahwa betapa belajar dan mencari ilmu itu sangat penting artinya bagi umat
manusia. Dengan belajar manusia dapat mengerti akan dirinya, lingkungannya dan juga Tuhan-nya.
Dengan belajar pula manusia mempu menciptakan kreasi unik dan spektakuler yang berupa
teknologi.

Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap saat
manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar. Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa juga
akan sangat tergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio, anugerah Tuhan
untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Hingga dalam al-Qur’an dinyatakan Tuhan akan
mengangkat derajat orang yang berilmu ke derajat yang luhur (lihat : Qs. Al- Mujadilah : 11).

Apalagi dalam konsep Islam terdapat keyakinan yang menegaskan, bahwa belajar merupakan
kewajiban dan berdosa bagi yang meninggalkannya. Keyakinan demikan ini begitu membentuk dalam
diri umat yang beriman, sehingga mereka memiliki etos belajar yang tinggi dan penuh semangat
serta mengharapkan “janji luhur” Tuhan sebagaimana yang difirmankan dalam ayat-Nya.

Bagaimanakah belajar menurut tuntutan Islam? Bagaimana konsep dan landasannya? Bagaimana
aspek nilainya. Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kemudian untuk
memulai pembahasannya, di tampilkan beberapa konsep dan teori-teori belajar menurut konsep
barat.

1. Pengertian Belajar
Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas belajar. Para
Pakar psikologi saling berbeda dalam menjelaskan mengenai cara atau aktivitas belajar itu
berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat ditandai, bahwa belajar yang sukses
selalu diikuti oleh kemajuan tertentu yang terbentuk dari pola pikir dan berbuat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar ialah untuk memperoleh kesuksesan dalam pengembangan
potensi-potensi seseorang. Beberapa aspek psikologis aktivitas belajar itu misalnya: motivasi,
penguasaan keterampilan dan ilmu pengetahuan, pengembangan kejiwaan dan seterusnya.

Bahwa setiap saat dalam kehidupan mesti terjadi suatu proses belajar, baik disengaja atau tidak,
disadari maupun tidak. Dari proses ini diperoleh suatu hasil, yang pada umumnya disebut sebagai
hasil belajar. Tapi untuk memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar harus dilakukan
dengan sadar dan sengaja dan terorganisasi dengan baik dan rapi. Atas dasar ini, maka proses
belajar mengandung makna: proses internalisasi sesuatu ke dalam diri subyek didik; dilakukan
dengan sadar dan aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.

Sumadi Suryabrata (1983:5) menjelaskan pengertian belajar dengan


mengidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu:

“Belajar adalah aktivitas yang dihasilkan perubahan pada diri individu yang belajar ( dalam
arti behavioral changes) baik aktual maupun potensial; perubahan itu pada pokoknya adalah
diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama; perubahan itu terjadi
karena usaha”.
Menurut Begge (1982:1-2), belajar adalah suatu perubahan yang berlangsung dalam kehidupan
individu sebagai upaya perubahan dalam pandangan, sikap, pemahaman atau motivasi dan bahkan
kombinasi dari semuanya. Belajar selalu menunjukkan perubahan sistematis dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai konsekwensi pengaalaman dalam situasi khusus.

Bertolak dari pemahaman di atas dapatlah ditegaskan, bahwa belajar senantiasa merupakan
perbuatan tingkah laku dan penampilah dengan serangkaian aktivitas misalnya: membaca,
mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dengan demikian, belajar juga bisa dilihat
secara makro dan mikro, luas dan khusus. Dalam arti makro, luas, belajar dapat diartikan sebagai
aktivitas ruhani-jasmani menuju perkembangan pribadi yang utuh.

Seperti yang dijelaskan oleh Bloom (1979), bahwa belajar itu mencakup tiga ruang lingkup,
yaitu cognitive domain yang berkaitan dengan pengetahuan hapalan dan pengembangan
intelektual, affective domain, yang berkaitan dengan minat, sikap dan nilai serta pengembangan
apresiasi dan penyesuaian, psychomotor domain, yang berkaitan dengan prilaku yang menuntut
koordinasi syaraf.
II. Teori-teori Belajar

Banyak para pakar membuat teori atau paradigma mengenai belajar ataupun pendidikan, dan mereka
saling berbeda di dalam merumuskan teori atau konsep-konsep itu. Diversifikasi pemahaman itu
dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif filosofisnya. Dan memang patut diketahui bahwa
filsafat merupakan teori umum dan landasan bagi pendidikan itu sendiri, oleh sebab itu hubungan
antara keduanya merupakan suatu keharusan (condisio sin quanon).
Sebagaimana aliran essensialisme (yang dibentuk dari idealisme dan realisme), adalah
memperhatikan pendidikan dari sisi nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Nilai-nilai tersebut
diderivasi dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan
perhitungan zaman renaisance, sebagai pangkal timbulnya (Barnadib, 1988: 38).

Menurut idealisme, bila seorang belajar, pada tahap awal adalah berarti ia memahami “aku”–nya
sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikro kosmos menuju makro-
kosmos. Ini seperti juga yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang
dicapai manusia lewat indera memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman
terlebih dahulu.

Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka mempunyai bentuk,
ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah budi manusia sebelum ada pengalaman
dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, melainkan benda-benda
itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan
mengambil landasan berpikir diatas, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada
dirinya sendiri sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri
(Pudjawijatno, 1964: 120-121).

Pandangan realisme mengenai belajar tercermin dalam pandangan atau aliran psikologi
behaviorisme, asosiasionisme atau koneksionisme. A.L. Thorndike, pendukung koneksionisme
misalnya menyatakan, bahwa belajar adalah berbagai kombinasi. Suatu bagian mental adalah
menerima atau merasa, sedangkan bagian fisik adalah suatu stimulus atau respon. Secara khusus
Thorndike melihat bahwa belajar adalah suatu proses hubungan mental dan fisik dan mental dengan
mental atau fisik dengan fisik. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori S – R bond ( lihat Bigge,
1982:52-53).

Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi rohani yang pasif,
yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang ditentukan oleh peraturan alam
(determinsm). Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam
kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial
oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh angkatan
berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua jenis determinisme, yaitu
determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah
mengenai hal-hal yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan
determinisme terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perenialisme adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori
dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Sebagai makhluk, manusia
memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya karena anugerah “rasio”-nya. Rasionalitas ini merupakan
sifat umum manusia dan merupakan evidensi diri. Konsep dasar tentang kebebasan manusia juga
lahir dari sifat rasional manusia. Dengan demikian manusia dapat menghilangkan belenggu
penindasan terhadap dirinya dan mampu menjadi merdeka. Kemerdekaan menjadi tujuan dan
dilaksanakan di dalam pendidikan dan belajar itu. Oleh sebab itu, belajar hakekatnya adalah belajar
berpikir dan menggunakan rasio tersebut.

Menurut perenialisme, belajar adalah bertujuan agar anak didik mengalami perkembangan
kepribadian yang utuh, integral dan seimbang sesuai dengan pandangannya, bahwa manusia adalah
bersifat psiko-somatik (Barnadib, 1988: 77).

Menurut perenialisme, belajar itu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran
dan belajar karena penemuan. Belajar karena pengajaran adalah dengan cara guru/ pendidik
memberkan pengetahuan dan pencerahan kepada subyek didik, dengan menunjukkan dan
menafsirkan implikasi dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan belajar karena penemuan
adalah subyek didik diharapkan dapat belajar atas kemampuannya sendiri (belajar mandiri ).

Pandangan di atas memang bersifat humanistik, yang memusatkan perhatian pada interes dan nilai-
nilai kepada manusia. Teori humanisme klasik beranggapan, bahwa pikiran manusia adalah
perantara aktif di dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan secara moral pikiran
manusia mempunyai sifat dasar netral sejak lahir (Bigge, 1982: 26). Sifat netral tersebut maksudnya,
bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat tidak jelek dan juga tidak baik, tetapi ia potensial untuk
menjadi buruk atau baik (tidak ada hubunganya dengan pembawaan lahirnya) (Bigge, 1982: 16).
Pandangan di atas didasari oleh konsep moral manusia, yaitu, bahwa substansi (pikir manusia adalah
netral-aktif, yang harus dikembangkan lewat latihan dan disiplin mental. Dalam hal ini sebagai aspek
yang mendasar adalah reason yang menjadi manusia mampu mencapai pengertian tentang
kebutuhan-kebutuhan dan mampu menyelaraskan antara tindakan, pengertian serta mampu
mengkomunikasikan pengertian-pengertian tersebut kepada setiap anggota di dalam kelompoknya.
Oleh sebab itu pula, maka pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang demikian itu (netral- active)
jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir akan mencuat keluar (Bigge, 1982: 26).
Oleh humanisme klasik, belajar dipandang sebagai proses disiplin diri yang tegas, terdiri dari
perkembangan yang harmonis antara semua kekuatan di dalam diri manusia, Hingga tidak satu
bagian pun yang berkembang melebihi yang lain. Dengan demikian, fungsi seorang guru adalah
untuk membantu para siswa mengenali kembali apa yang telah ada dalam pikir mereka. Metode ini
juga sekedar hanya menarik informasi dari para siswa dengan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
dengan ketrampilan penuh. Metode ini didasarkan pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan adalah
pembawaan, yang tak akan muncul tanpa bantuan tenaga ahli (Bigge, 1982: 28).

Learning through unfoldment atau disebut juga naturalisme-romantic mengatakan, bahwa manusia
pada dasarnya adalah baik dan aktif (good-active). Melalui alam anak akan berkembang secara
wajar. Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan kodrat alam. Anak harus dijauhkan dari
paksaan. Belajar sendiri sesuai dengan minatnya, ia bebas menentukan perbuatannya dan sekaligus
bertanggung jawab atas tindakannya. Teori ini dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul
oleh pembaharu pendidikan dari Swiss, Pestlozzi dan Froebel seorang filosof dari Jerman (Bigge,
1982: 33-34).
Rousseu berpendapat, bahwa secara heriditi manusia adalah baik dan mempunyai kemampuan yang
perlu dikembangkan secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan yang jelek mampu
membuat orang menjadi jelek pula, sebab lingkungan sosial bukanlah alamiah. Rousseu memberi
saran, agar guru memberikan kebebasan pada siswa untuk mandiri, sehingga memungkinkan
mereka berkembang secara wajar dan alamiah, baik perasaan, naluri maupun kesadaran mereka.

Disamping naturalisme-romantic, terdapat pula pandangan appersepsi, yang merupakan


asosianisme mental dinamis yang didasarkan pada pemikiran, bahwa tidak ada ide-ide pembawaan
lain. Segala sesuatu yang diketahui orang datangnya dari luar dirinya. Asosionisme merupakan teori
psikologi umum yang di klasifikasikan menjadi dua bagian : pertama, Asosiasionisme mentalistik
awal, yaitu appersepsi yang berfokus pada ide-ide dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-
respon fisikalistik yang lebih modern (Bigge, 1982: 36).
Perkembangana appersepsi didasari oleh pemikiran Aristoteles pada abad ke-empat S.S. Kemudian
pada abad ke 17 ditentang oleh John Locke dengan mengatakan, bahwa pikiran tidak hanya
dipegang oleh seseorang pasti pertama-tama diperoleh dari indera-inderanya. Teori John Locke ini
sangat populer dengan teori Tabolarasa. Konsep moral appersionisme adalah, bahwa sifat asli
manusia adalah tidak baik dan tidak pula jelek dipandang dari sisi moral dan tidak pula aktif
dipandang dari sisi aksi. Dibaliknya sifat asli manusia dipandang sebagai netral dari aspek moral dan
pasif dari aspek aksi. Dengan demikian, pikiran merupakan produk dari pengalaman-pengalaman
kehidupan (Bigge, 1982: 37).
III. Prinsip-prinsip Belajar Menurut Islam

1. Al Qur’an tentang Posisi Manusia


Kita ketahui bersama, bahwa Al-Qur’an adalah kalam suci Tuhan yang berfungsi sebagai: tanda,
petunjuk, rahmat dan shafaat bagi manusia, berdasarkan penegasan Al Qur’an, (QS. Al–Isra’: 29 : Ar-
Rum : 72). Syafi’i Ma’arif, seperti dikutip dari Ismail R. Faruqi, menjelaskan, bahwa manusia adalah
karya Tuhan yang terbesar dan terindah dengan struktur mental yang sophisticated dan spektakuler
(QS. At-Tin : 4). Oleh sebab itu, tidak heran pula kalau ada yang berpendapat, bahwa manusia
adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Ini bisa kita saksikan, betapa manusia dianugrahi rasio oleh
Tuhan itu bisa menciptakan kreasi yang canggih berupa sains dan teknologi itu. Sementara malaikat
diperintah sujud kepadanya karena tak mampu melakukan kompetisi intelektual dengan makhluk
manusia yang diciptakan dengan tanah liat kering itu (QS. Al-Isra’: 28-30; Shad : 71-73) di dalam
memahami dunia ciptaan-Nya secara konseptual (lihat: Syafi’i Ma’arif, 1987: 92).

Kelebihan intelektual inilah yang membuat manusia lebih unggul dari makhluk lainnya. Tetapi ia pun
juga bisa menjadi dekaden, bahkan lebih hina dari binatang, jika ia berbuat destruktif, melepaskan
imannya (lihat : Qs. At-Tin : 5-6 dan QS. Al-A’raf : 179). Oleh sebab itu, sebagai makhluk lainnya
maka ia dituntut agar dengan sadar bersedia memikul tanggung jawab moral bagi tegaknya suatu
tatanan sosial politik yang adil dan beradab. Tuntutan itu tercermin dalam beberapa ayat Al-Qura’an
surat An-Nahl : 90 ; Ali-Imron : 104, 114 ; Al-Hajj : 41 ; Al-Ahzab : 72.

Tatanan kehidupan yang bermoral ini hanyalah mungkin apabila iman sebagai prasyarat mutlaknya
diterima dengan kritis dan sadar. Dalam sistem kepercayaan Islam, iman memberikan fondasi moral
yang kokoh, dan di atas fondasi inilah manusia bisa menciptakan hidup secara imbang (Ma’arif. 1997:
93).

Dalam Islam, strategi pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan
hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil-ard) dengan tetap memegang amanah
besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman. Ilmu dan iman
menjadi bagian integral dalam diri seseorang, sehingga dengan demikian yang terjadi adalah ilmu
amaliah yang berada dalam jiwa yang imaniah. Dengan begitu, teknologi, yang lahir dari ilmu, akan
menjadi barang yang bermanfaat bagi umat manusia di sepanjang masa. Dan inilah yang mesti
menjadi tanggung jawab umat Islam.

Banyak sekali Al-Qur’an menjelaskan mengenai hubungan ilmu, amal dan iman ini (lihat misalnya
QS. Al-Baqarah : 82, 227 ; Ali-Imran : 57 ; An-Nisa’ : 57, 122 dan seterusnya). Dari banyak ayat Al-
Qur’an ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa antara ilmu, amal dan iman menjadi sangat penting
bagi umat manusia yang hendak menjadi khalifah di bumi ini. Dan amal baru bisa dinilai baik, saleh
jika dipancarkan dari iman. Iman memberi dasar moral, amal saleh diwujudkan dalam bentuk konkret.
Jadi terdapat hubungan yang organik antara iman dan amal salih.

2. Dasar Belajar dalam Islam

Sebagaimana pandangan hidup yang dipegang-teguhi oleh Umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul , maka sebagai dasar maupun filosofi bagi belajar adalah juga diderivasi dari dua sumber
tersebut, yang merupakan dasar dan sumber bagi landasan berpijak yang amat fondamental.
Tentang dua sumber ajaran yang fundamental ini, Allah SWT, telah memberikan jaminan-Nya, yaitu
jika benar-benar dipegang teguh, maka dijamin tidak akan pernah sesat dan kesasar, sebagaimana
Nabi pernah bersabda :

“Susungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, jika kamu berpegang teguh dengannya,
maka kamu tak akan sesat selamanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

Hadis tersebut juga dikukuhkan oleh banyak Al-Qur’an, antara lain surat Al-Ahzab: 71, Allah
berfirman :

“Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia akan mencapai kebahagiaan yang
tinggi”.

Ayat tersebut dengan tegas menandaskan, bahwa apabila manusia menata seluruh aktivitas
kehidupannya dengan berpegang teguh kepada prinsip Al- Qur’an dan As-Sunnah, maka jaminan
Allah adalah jalan yang lurus dan tidak akan kesasar, tetapi sebaliknya, jika manusia tidak menata
seluruh kehidupannya dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul-Nya, maka kesempitan akan
meliputi dirinya, sebagaimana firman-Nya :

“Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit”. (Qs. Thaha
: 124).

Al-Qur’an dan Al-Hadis penuh dengan konsep dan tuntutan hidup manusia, begitu juga mengenai
petunjuk ilmu pengetahuan. Jika manusia mau menggal kandungan isi Al-Qur’an, maka banyak
diketemukan mengenai beberapa persoalan yang berkaitan dengan ilmu (baik ilmu pengetahuan
sosial maupun ilmu pengetahuan alam), Misalnya perhatikan surat Ali Imran : 190-191. Disini
dipaparkan tentang kreasi penciptaan alam oleh Allah SWT. Yang harus direnungkan, demikian pula
tentang kisah dan sejarah umat-umat di masa lampau.

Sebagaimana dikatakan oleh Munawar Anis (1991), bahwa kata ilmu disebutkan dalam Al-
Qur’an mencapai 800 kali, yang berarti hanya berada di bawah konsep tauhid tingkatan urgensinya.
Belum lagi yang disebutkan dalam Al- Qur’an atau Sunnah Rasul.

2. Tujuan Belajar dalam Islam

Untuk membahas mengenai aspek-aspek moral dalam belajar, maka kita harus memulai dari
pertanyaan: Apa tujuan belajar itu? Untuk apa belajar itu? karena pertanyaan tersebut adalah
pertanyaan filosofis yang menyangkut segi nilai atau aksiologis.

Dalam Islam, bahwa belajar itu memiliki dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal dan
ketundukan vertikal. Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda dengan
belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali,
memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah). Pengembangan dan pendekatan-Nya secara lebih
dalam dan dekat, sebagai rab al-alamin. Dalam kaitan inilah, lalu pendidikan hati (qalb) sangat
dituntut agar membawa manfaat yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan
kerusakan dan kezaliman, dan ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertikal tadi.
Jadi, belajar di dalam perspektif Islam juga mencakup lingkup kognitif (domain cognitive), lingkup
efektif (domain affective) dan lingkup psikomotor (domain motor-skill). Tiga ranah atau lingkup
tersebut sering diungkapkan dengan istilah : Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam jiwa imaniah. Dengan
demikian, untuk apa belajar Belajar adalah untuk memperoleh ilmu. Untuk apa ilmu? Untuk
dikembangkan dan diamalkan. Untuk apa? Demi kesejahteraan umat manusia dan lingkungan yang
aman sejahtera. Berdasarkan apa? Pertanggungjawaban moral.
3. Mengembangkan Ilmu

Kenyataan memang tidak dapat dipungkiri, bahwa ilmu selalu berkembang hingga sekarang. Dari
tahapan pemikiran yang paling mitis hingga yang serupa rasional. Atau kalau meminjam terminologi
Peursen, dari yang Mitis, ontologis, hingga fimgsional, sedang menurut Comte, dari yang mitis,
metafisik hingga positif.

Perkembangan industri di abad ke-18 yang telah menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik
telah melahirkan cabang Ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklir sebagaimana pada
abad 20, telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemogi, dan seterusnya entah apa lagi
nanti namanya. Sofestikasi dari sains dan teknologi di era modern ini sesungguhnya juga merupakan
elaborasi dari ilmu itu sendiri. Itulah sebabnya menurut Koento Wibisono, (1988: 8) begitu sulitnya
mendifikasikan ilmu sekarang ini. Para penganut metodologi akan menyatakan, bahwa ilmu adalah
sistem peryataan-peryataan yang dapat diuji kebenaran dan kesalahannya, sementara penganut
heuristik akan menyatakan, bahwa ilmu adalah perkembangan lebih lanjut bakat manusia untuk
menentukan orientasi terhadap lingkungannya dan menentukan sikap terhadapnya.

Dalam pada itu, ilmu juga sering dipahami dari dimensi fenomenal dan strukturalnya. Dari dimensi
fenomenalnya ia merupakan masyarakat atau proses dan juga produk. Ilmu sebagai masyarakat
menggambarkan adanya suatu kelompok elit yang di dalam kehidupannya sangat mematuhi kaidah-
kaidah: universalisme, komunilisme, desintestedness dan skepsisme yang teratur. Ilmu sebagai
proses, menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah sebagai produk adalah merupakan hasil yang
dicapai oleh kegiatan tadi yang berupa : dalil, teori, ajaran, karya-karya ilmiah beserta penerapanya
yang berupa teknologi ( Koento Wibisono, 1988: 9) Dari dimensi strukturalnya, apa yang disebut
sebagai ilmu adalah sesuatu yang menunjukkan adanya komponen-komponen: objek sasaran yang
ingin diketahui yang terus menerus diteliti dan dipertanyakan tanpa mengenal henti.

Kini kita harus berfikir terus dan berupaya untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu, lebih-lebih
ilmu sebagai proses. Bagaimana formulasi-formulasi yang telah ditunjukan oleh para para pendahulu
kita itu diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut.

Dalam konteks Islam, ketertinggalan kita di bidang sains dan teknologi adalah persoalan yang sudah
terbuka mata. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Anees (19-91), bahwa salah satu
gagasan yang paling canggih, komperehensif dan mendalam yang dapat ditemukan dalam Al- Qur’an
adalah konsep’ilm, yang tingkat urgensinya hanya di bawah konsep tauhid. Pentingnya konsep ilmu
tersebut terungkap didalam kenyataan, bahwa Al-Qur’an menyebut kata akar dan kata keturunannya
sekitar 800 kali. Konsep ilmu ini juga membedakan pandangan-dunia (world-view) Islam dari pandang
ideologi lainnya: tidak ada pandangan dunia lain yang membuat pencarian ilmu sebagai kewajiban
individual dan sosial serta memberikan arti moral dan religius serta ibadah. Karena itu ilmu berfungsi
sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim yang ampuh. Tidak ada peradaban lain dalam
sejarah yang memiliki konsep “pengetahuan” dengan etos (ruh) yang paling tinggi sebagaimana
Islam. Ilmu memang mengandung unsur dari apa yang selama ini kita pahami sekarang sebagai
pengetahuan, tetapi ia juga mengandung komponen-komponen dari apa yang secara tradisional
dideskripsikan sebagai hikmah. Disamping itu, ilmu dalam Islam juga memiliki aspek ibadah, yaitu
bahwa menuntut ilmu merupakan bentuk ibadah. Dari sisi lain, ia juga memiliki tujuan untuk menjadi
kholifah fil-ard, manusia yang diserahi amanah Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam, oleh
sebab itu ia pun memiliki tanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Konsep Al-Qur’an tentang akhirat membatasi ilmu agar selalu menjamin relevansi, kegayutan moral
sosialnya. Dimensi-dimensi ilmu tersebut dari sekian banyak dimensi lainnya melukiskan sifat
kecanggihan dan komplesitas dari Islam tentang ilmu itu sendiri (lihat, Anwar Anees, 1991:93).

Dengan demikian, strategi pengembangan ilmu harus mengintensifkan dan mengekstensifkan belajar
atau pendidikan itu sendiri, dengan berbagai sarana dan presaranannya. Sebab dalam Islam,
pendidikan dan belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim (baik laki-laki maupun perempuan,
tua maupun muda dan dilakukan sepanjang masa). Sebagai sabda Nabi : “Mencari ilmu itu waji bagi
setiap muslim”.

Sebagaimana disinggung di depan, bahwa belajar dalam Islam adalah untuk memperoleh ilmu,
mengembangkan dan mengamalkan demi kepentingan kesejahteraan umat manusia. Atau kalau
dirumuskan secara simpel, tujuan belajar adalah : Untuk mengabdikan kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya :

“Dan tidak aku jadikan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat : 56).

Oleh sebab itu segala aktivitas yang berkaitan dengan ilmu dan pengembangannya harus
dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4. Aspek Moral dalam Belajar

Karena pendidikan dan belajar dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan mengabdi
kepada Allah SWT, maka sistem moralnya juga harus diderivasi dari norma-norma Islam tersebut,
atau wahyu.

Seperti yang dijelaskan oleh Sayid Abul A’la Al-Maududi (lihat, M. Arifin, 1991:142), bahwa sistem
moral Islam ini memiliki ciri-ciri yang komprehensif, yang berbeda dengan sistem moral lainnya. Ciri-
ciri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup Muslim. Dan keridaan Allah itu menjadi jalan bagi evolusi
moral kemanusiaan. Sikap mencari rida Allah memberikan sanksi moral untuk mencintai dan takut
kepada-Nya, yang pada gilirannya mendorong manusia untuk mentaati hukum moral tanpa
paksaan dari luar, Dengan dilandasi dengan iman kepada Allah dan hari kiamat, manusia
terdorong untuk mengikuti bimbingan moral secara sungguh-sungguh dan jujur, seraya berserah
diri secara iklas kepada Allah SWT ;
2. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan diatas moral Islami sehingga moral
Islam tersebut berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang hawa nafsu dan
kepentingan pribadi tidak diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia. Moral Islam
mementingkan keseimbangan dalam semua aspek kehidupan manusia: indivudual maupun sosial.
Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang berdasarkan norma-norma
kebajikan dan jauh dari kejahatan. Islam memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi
perbuatan munkar, bahkan memberantas kejahatan dalam segala bentuknya. Beberapa hal di atas di
dasarkan atas dalil Al-Qur’an antara lain surat Ali- Imran : 110 :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah….” dan juga QS. Al-Hajj : 41).

Dengan demikian, sistem moral dalam Islam berpusat kepada sikap mencari rida Allah,
mengendalikan nafsu negatif dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan keji dan
jahat dan pribadi yang berkhlaq mulia.

Dalam pandangan Islam, kecenderungan teosentris adalah merupakan sesuatu yang harus ada, yaitu
bahwa Allah adalah Zat Yang Wujud, Yang Maha Mengetahui dan segala sumber dari ilmu
pengetahuan. Ini sangat berbeda dengan konsep barat yang sekuler. Karena sumber pengetahuan
dalam Islam adalah kesadaran Yang Kudus pula (Seyyed Hossein Nasr, 1970: 22 dan lihat pula C.A
Qadir, 1989: 5).

Seperti yang dijelaskan di depan, bahwa menurut teori kependidikan yang berdasarkan pandangan
psikologi mekanistik, sejak John Lock pada abad 17 sampai aliran Bahaviorisme dari J.B. Waston
abad 20 terdapat pandangan, bahwa manusia dalam batas-batas kemampuan fisiknya dapat
dibentuk melalui cara-cara yang terbatas. John lock berpendapat, bahwa jiwa itu bagaikan meja lilin
(tabularasa) yang bersih dari goresan. Pengalamanlah yang membentuk kepribadiannnya.
Behavviorsme juga berbuat sama, dengan konsep S – R bond-nya.

Dalam sistem nilai dari paham naturalisme juga diorientasikan pada alam (naturo-centris): jasmaniah,
panca indera, kekuatan, kenyataan, survival, organisme dst. Oleh sebab itu naturalisme menolak hal-
hal yang bersifat moral dan spiritual, sebab paham ini, bahwa kenyataan/ realistas yang hakiki adalah
alam semesta yang bersifat fisik dan inderawi. Naturalisme dekat dengan materalisme yang
menafikan nilai-nilai manusia.
Kebalikan dari paham di atas adalah idealisme, yang memandang realitas yang hakiki ada pada ide
yang terdapat dalam jiwa atau spirit manusia. Idialisme berorientasi pada ide-ide ketuhanan dan nilai-
nilai sosial.

Tetapi perlu diketahui, bahwa meskipun idealisme berorientasi kepada ideal-spiritual, ia bukanlah
agama, idealisme hanyalah merupakan salah satu basis dari agama. Menurut Horne, idealisme
sebagai filsafat adalah sistem berpikir manusia (man-thinking), sementara agama adalah sistem
peribadatan manusia (man– worshipping). Filsafat dan agama mempunyai hubungan erat, tetapi tidak
identik (lihat M. Arifin, 1991:149).
Nilai-nilai pendidikan menurut kaum idealisme adalah pencetusan dari sususan atau sistem yang
kekal abadi yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Kewajiban manusia dan pendidikan adalah
berusaha mengaktualisasikan nilai tersebut. Filsafat pendidikan Islam dalam beberapa aspek
pendekatan memang memiliki prinsip-prinsip yang simbiotik dengan idealisme, terutama idealisme
spiritualistik. Idealisme juga mengakui adanya zat yang Maha Tinggi yang menciptakan realitas alam
serta menggerakkan hukum-hukumnya termasuk sanksi-sanksinya. Tetapi ada titik perbedaan yang
cukup tajam yang terletak pada sanksi moral sebagai konsekwensi. Bagi kaum idealisme, sanksi
moral terletak pada siksa Tuhan dan balasan perbuatan yang bermoral baik adalah pahala dari-Nya
kelak di hari kiamat. Kualifikasi moral dalam Islam adalah sumber dari Tuhan dan bagi setiap orang
sanksi hukuman tergantung kepada sejauh mana porsi perbuatan yang dilanggarnya (M. Arifin, 1991:
150-151) dan bukankah Nabi diutus untuk menyempurnaka akhlak-karimah?
Jadi, dalam kosepsi Islam, belajar itu diajarkan mengenai masalah pahala, dosa; sorga dan neraka.
Oleh sebab itu setiap perbuatan haruslah dapat dipertanggung jawabkan di sisi Tuhan, sebagaimana
firman-Nya :

“…. Ia mendapat pahala ( dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan)
yang diperbuatnya pula ……..” (QS. Al- Baqarah : 286).

Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas manusia menurut pandangan Islam adalah
bersumber dari Allah yang digambarkan dalam surat Al-Maidah : 115-116:

“….Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah kitab yang menerangi”. Dengan kitab itulah
Allah menjuluki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan, dan, (dengan kitab-
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus”.

“Dan barang siapa beriman kepada Allah, Allah akan menunjuki hatinya”. (QS. At-Taghabun : 11)

Beberapa keterangan di atas semakin menunjukkan kejelasan kepada kita, bahwa konsep
kependidikan dan kejelasan kepada kita, bahwa konsep kependidikan dan belajar dalam Islam sangat
berbeda dengan konsep pendidikan dan belajar menurut teori-teori Barat yang sekuler lebih bersifat
profan dan antroposentrik. Sementara konsep Islam sangat integral, disamping profan juga
transendental dan teosentrik yang menempatkan posisi manusia pada porsi yang balance, Rabbana
atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar,
Penutup dan Kesimpulan

Belajar adalah serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut: pemahaman, pendengaran dan
peniruan untuk memperoleh suatu pengalaman atau ilmu baru. Lingkup belajar mencakup : kognisi,
afeksi dan psikomotor.

Dalam Islam, belajar adalah serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut tiga ranah di atas
(kognisi, afeksi dan psikomotor) berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Islam, belajar
merupakan kewajiban setiap muslim ( baik laki-laki maupun perempuan). Dan hasil dari belajar (ilmu),
harus diamalkan baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain. Pengalaman ilmu harus dilandasi
dengan iman dan nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, dalam konsep Islam, belajar memiliki dimensi
tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal maupun ketundukan vertikal.

Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda dengan belajar pada umumnya,
yang tidak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali, memahami dan
mengembangkan) intelektual ke arah pengenalan dan pendekatan diri pada Tuhan Yang Maha
Agung (divine-unity). Ini juga berarti, bahwa belajar dalam Islam bertujuan untuk memperoleh
kesejahteraan umat manusia dan lingkungannya dengan motivasi ibadah (lihat, QS. Az-Zariayat : 56).
Oleh sebab itu segala aktivitas yang berkaitan dengan ilmu dan pengembangannya harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah SWT. ( Lihat, QS Al-Baqarah : 286).
Karena pendidikan dan belajar dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan mengabdi
kepada Allah SWT, maka sistem moralnya pun harus di bangun dan bersumber dari norma-norma
Islam tersebut (wahyu).

Filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan Barat yang sekuralistik, yang
meletakkan sanksi moral terletak pada susunan dunia moral itu sendiri, sementara dalam Islam
sanksi moral terletak pada siksa Tuhan di kelak kemudian, demikian pula balasan kebaikannya.
Dengan demikian konsep pendidikan dan belajar dalam Islam bercorak transendental dan
teosentris yang menempatkan manusia pada posisi yang seimbang dan serasi.

(http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/13/konsep-belajar-menurut-pandangan-islam-
3/ diakses pada 30 maret 2018 pukul 8:30 wib)
JURNAL BELAJAR MENGAJAR MENURUT ISLAM 1

http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/viewFile/202/193 (diakses pada


tanggal 30 maret 2018 pukul 8:32)

JURNAL BELAJAR MENGAJAR MENURUT ISLAM 2


https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Pionir/article/download/162/143 (di akses pada tanggal 30
maret 2018 pukul 8:37)
PRINSIP BELAJAR MENGAJAR
jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article/download/177/167 (diakses pada tanggal
30 maret 2018 pukul 11:36)

JURNAL BELAJAR MENGAJAR MENURUT ISLAM 3


https://adzdzikrobuletin.wordpress.com/2013/09/.../pengajaran-dalam-perspektif-is
MENGAJAR DALAM PERSPEKTIF ISLAM
https://media.neliti.com/media/publications/220457-belajar-dalam-perspektif-islam.pdf ( Diakses
pada tanggal 30 maret 2018 pukul 12:00)
STRATEGI MENGAJAR
https://media.neliti.com/media/.../57095-ID-strategi-pembelajaran-dalam-perspektif-i (Diakses
pada tanggal 30 maret 2018 Pukul 12:01)
SUMBER BELAJAR DALAM ISLAM

Oleh : Deri Suyatma

PENDAHULUAN

Berbicara tentang sumber belajar, tidak terlepas dari pembahasan proses belajar itu sendiri.
Proses belajar menurut konsep Islam sebagaimana dikemukakan oleh Sjahminan Zaini adalah
melatih, menggunakan, memfungsikan serta mengoptimalkan fungsi macam-macam alat
(indera luar dan dalam) yang telah dianugerahkan oleh Allah secara integral dalam pelbagai
aspek kehidupan sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada-Nya. [1]

Kegiatan belajar dalam Islam tidak memandang batas waktu dan tenpat. Hal tersebut
sebagaimana sabda Rasulallah saw yang artinya “Carilah ilmu itu sejak dari ayunan sampai
masuk ke liang lahat”(HR. Muslim). Sedangkan tujuan belajar dalam islam
adalah terpadunya iman, ilmu, dan amal seseorang. Hal ini terwujud dalam karakteristik
penampilan diri seseorang serta kepribadiannya yang mengimani Islam secara mantap dengan
dilandasi oleh ilmu Islam, dan mampu mengaktualisasikan ilmunya selaras dengan nilai-nilai
iman, serta senantiasa mengamalkan Islam dalam pelbagai aspek kehidupannya,
mendakwahkan Islam dalam berbagai bidang, dan tetap teguh/istiqamah dan sabar dalam ber-
Islam. [2]

Dari urian di atas dapat kita pahami bahwa kegiatan belajar pada dasarnya merupakan sebuah
proses untuk mengintegrasikan iman, ilmu dan amal dengan memfungsikan dan
mengoptimalkan berbagaimacam alat indera (luar dan dalam) secara integral dalam berbagai
aspek kehidupan. Sebagai konsekuensinya pendidikan Islam harus menyediakan berbagai
media dan sumber belajar untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan.

Namun pada kenyataanya, masih belum berubahnya paradigma para guru akan perannya
dalam proses pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya guru yang
mengandalkan cara mengajar dengan model konvensional, dimana siswa diposisikan sebagai
objek kegiatan belajar, sehingga guru dianggap satu-satunya sebagai sumber belajar bagi
siswa. Hal tersebut juga dapat kita jumpai pada model pembelajaran di pesantren-pesantren
tradisional yang pada umumnya memposisikan kyai atau ustadz dan kitab sebagai sumber
pengetahuan utama dalam pembelajaran. Padahal banyak sekali model pembelajaran yang
lebih mengkondisikan siswa berinnteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang
dapat membantu proses pembelajarannya.

Selain tersebut di atas, pada umumnya lembaga-lembaga pendidikan Islam masih enggan
memanfaatkan berbagai sumber belajar dengan alasan tidak perlu dan atau terbentur pada
anggaran biaya pendidikan, sehingga tidak mendorong para guru yang mengajar di
lembaganya untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran.
Padahal sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan ( learning resources by
utilization) cukup banyak.

PENGERTIAN SUMBER BELAJAR DALAM ISLAM

Membahas tentang sumber belajar, tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap
pengertian konsep belajar. Pengertian belajar menurut Sjahminan Zaini adalah melatih,
menggunakan, memfungsikan serta mengoptimalkan fungsi macam-macam alat (indera luar
dan dalam) yang telah dianugerahkan oleh Allah secara integral dalam pelbagai aspek
kehidupan sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada-Nya. [3] Firman Allah Q.S An-Nahl:
78

َ‫ْصار َو ْاْل َ ْفئِدَة َ لَعَله ُك ْم ت َ ْش ُك ُر ْون‬


َ ‫س ْم َع َو ْاْلَب‬ َ َ‫ون أ ُ همهاتِ ُك ْم ال ت َ ْعلَ ُمون‬
‫شيْئا ً َو َجعَ َل لَ ُك ُم ال ه‬ ِ ‫ط‬ُ ُ‫َّللاُ أ َ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن ب‬
‫َو ه‬

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar
kamu bersyukur. [2]

Menurut Winkel (1996:36) sebagaimana dikutip Liandiani, belajar adalah suatu aktivitas
mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. [4]

Sedangkan yang dimaksud sumber belajar sebagaimana dikemukakan oleh Sadiman, Arief S
(2004) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang,
benda, pesan, bahan, teknik, dan latar. [5] Sumber belajar mencakup apa saja yang dapat
digunakan untuk membantu setiap orang untuk belajar dan manampilkan kompetensinya.
Sumber belajar meliputi, pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar (AECT 1994).

Walaupun di dalam Al-qur’an tidak dijelaskan secara eksplisit apa itu sumber belajar, namun
banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an dari mana seseorang dapat belajar sehingga
memperoleh pengetahuan. Al-Quran menyuruh manusia mempelajari system dan skema
penciptaan, keajaiban-keajaiban alam, sebab-sebab dan akibat-akibat seluruh benda-benda
yang ada, kondisi-kondisi organisme hidup, bahkan diri manusia itu sendiri. Seluruh tanda-
tanda kekuasaan Allah yang ada di alam semesta merupakan sesuatu yang dapat digunakan
manusia untuk belajar.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa belajar pada hakikatnya melatih, mengunakan,
dan memfungsikan berbagai macam alat indera serta goptimalkan fungsinya dalam
berinteraksi aktif dengan lingkungan sehingga terjadi perubahan pada diri seseorang. Sebagai
konsekwensi agar terjadi proses belajar tersebut dibutuhkan segala sesuatu yang mengandung
informasi dan dirancang atau dimanfaatkan untuk belajar, baik berupa orang, pesan, bahan,
alat, teknik atau latar lingkungan. Jadi sumber belajar adalah segala sesuatu yang
mengandung informasi dan dimanfaatkan oleh seseorang agar terjadi perubahan pada dirinya
dengan menggunakan, menfungsikan berbagai macam alat indera secara optimal.

Adapaun istilah Pendidikan Islam mengandung beberapa pengertian sebagaimana


dikemukakan oleh Muhaimin dkk. Pertama, Pendidikan Islam diartikan sebagai Pendidikan
Islami. Dalam pengertian ini, yang dimaksud dengan Pendidikan Islam adalah pendidikan
menurut Islam, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kedua, Pendidikan Islam diartikan sebagai Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Islam yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah Pendidikan ke-Islam-an, yakni upaya mendidikkan
agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life seseorang.

Ketiga, Pendidikan Islam diartikan sebagai Pendidikan dalam Islam. Yang dimaksud
Pendidikan Islam dalam pengertian ini adalah proses dan praktik penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam sejak zaman Nabi
Muhammad Saw sampai sekarang. Dalam pengertian ini Pendidikan Islam dapat dipahami
sebagai proses pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke
generasi sepanjang sejarah.

Jadi yang dimaksud dengan sumber belajar dalam pendidikan Islam, dapat berarti 1. sumber
belajar yang digunakan dalam pendidikan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai
Islam; 2. atau juga dapat berarti sumber belajar yang digunakan dalam upaya mendidikkan
ajaran Islam; 3. juga dapat berarti sumber belajar yang digunakan dalam sejarah
penyelenggaraan dan perkembangan pendidikan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad
hingga sekarang.

MACAM-MACAM SUMBER BELAJAR

Sumber belajar dari segi pendidikan formal adalah segala sumber yang dimanfaatkan dalam
kegiatan belajar di sekolah, sedangkan dari segi pendidikan non formal adalah proses
pembelajaran seorang manusia dengan lingkunghan sekitarnya serta dengan berbagai media
yang ada. Sejalaan dengan hal tersebut, menurut Edgar Dale sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Rohani HM sumber belajar adalah pengalaman-pengalaman yang pada dasarnya
sangat luas, yakni seluas kehidupan yang mencakup segala sesuatu yang dapat dialami, yang
dapat menimbulkan peristiwa belajar.[7]

Menurut Ramayulis (2010:214) sumber belajar dalam pendidikan Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu sumber pokok dan sumber tambahan. [8]

1. 1. Sumber Pokok
2. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dari ilmu pengetahuan yang langsung disampaikan
Allah kepada Rasulnya. Disamping mengandung petunjuk-pentunjuk dan tuntunan-tuntunan
yang bersifat ubudiyah dan akhlaqiyah, juga mengandung petunjuk yang dapat dijadikan
pedoman manusia untuk mengelola dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mempelajari
gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapi dari masa ke masa.

Oleh karena itu dalam pendidikan Islam, Al-Qur’an merupakan sumber belajar
utama. Secara historis pada masa awal pertumbuhan Islam, nabi Muhammad saw
menjadikan Al Quran sebagai sumber belajar, disamping beliau sendiri melalui ucapan,
perbuatan dan ketetapan beliau (sunnah) juga menjadi sumber pendidikan agama Islam.
Firman Allah SWT Q.S An Nahl:64

َ‫اختَلَفُوا فِي ِه ۙ َو ُهدًى َو َرحْ َمةً ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬ َ ‫َو َما أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَيْكَ ْال ِكت‬
ْ ‫َاب إِ هال ِلتُبَيِنَ لَ ُه ُم الهذِي‬

Artinya : “Dan kami tidak menurunkan kepadamu al kitab (Al Quran) ini melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka perselisihan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman”.

1. As-Sunnah

As-Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Amalan yang dikerjakan oleh
Rasulallah dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber belajar yang pokok
setelah Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena Allah SWT menjadikan Rasulallah sebagai
teladan bagi umatnya. Firman Allah SWT Q.S Al-Ahzab:21

‫سو ِل فِي لَ ُكم َكانَ لَقَد‬ َ ‫سنَة أُس َوة‬


ُ ‫ّللاِ َر‬ َ ‫ّللاَ َوذَك ََر اْل ِخ َر َواليَو َم‬
َ ‫ّللاَ يَر ُجو َكانَ ِل َمن َح‬ ً ِ‫َكث‬
َ ‫يرا‬

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”.

Rasulullah juga menegaskan sebagaimana sabdanya :

‫سنهةَ نَبِيِ ِه‬ ‫َاب ه‬


ُ ‫َّللاِ َو‬ ‫َضلُّوا َما ت َ َم ه‬
َ ‫ ِكت‬:‫س ْكت ُ ْم بِ ِه َما‬ ِ ‫ لَ ْن ت‬،‫ت ََر ْكتُ فِي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن‬

Artinya : “Kutinggalkan untuk kamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akan tersesat
selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah” (HR. Malik).[9]
1. 2. Sumber Tambahan

Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam arti luas sumber belajar (learning resources) adalah
segala macam sumber yang ada diluar diri seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan
(memudahkan) terjadinya proses belajar. Dari pengertian tersebut maka selain Al-Quran dan
Assunnah, banyak sumber belajar lain yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar
seseorang. Sumber-sumber belajar tersebut adalah Segala ciptaan Allah yang ada di bumi dan
di langit. Sumber belajar tersebut dapat dikelompokan menjadi dua yaitu :

1. Sumber belajar yang dirancang (Learning resource by Design)

Learning resource by Design adalah sumber belajar yang memang sengaja dibuat untuk
tujuan pembelajaran. Contohnya adalah : buku pelajaran, modul, program audio, transparansi
(OHT).

1. Sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan (Learning Resource by
Utilization )

Learning Resource by Utilization adalah sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang
untuk keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, dipilih dan dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran. Contohnya: pejabat pemerintah, tenaga ahli, pemuka agama,
olahragawan, kebun binatang, waduk, museum, film, sawah, terminal, surat kabar, siaran
televisi, dan masih banyak yang lainnya.

Berikut adalah ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang hal-hal yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar :

1) Ciptaan Allah di alam semesta

َ ‫ض َمدَدْنَاهَا َوأَ ْلقَ ْينَا فِي َها َر َوا ِس‬


‫ي َوأَ ْنبَتْنَا فِي َها‬ ْ ‫) َو‬٦( ٍ‫ْف بَنَ ْينَاهَا َوزَ يهنهاهَا َو َما لَ َها ِم ْن فُ ُروج‬
َ ‫اْلر‬ َ ‫اء فَ ْوقَ ُه ْم َكي‬ ُ ‫أَفَلَ ْم يَ ْن‬
‫ظ ُروا إِلَى ال ه‬
ِ ‫س َم‬
)8( ‫ب‬ ٍ ‫ْص َرة ً َو ِذ ْك َرى ِل ُك ِل َع ْب ٍد ُمنِي‬
ِ ‫)تَب‬٧( ٍ‫ِم ْن ُك ِل زَ ْوجٍ بَ ِهيج‬

Artinya : “ Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atasnya, bagaimana
Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikitpun. Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang
kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah di pandang mata.
Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat
Allah.” (Q.S Qaaf:6-8)

2) Orang (narasumber)
ِّ ‫سأَلُوا أ َ ْه َل‬
َ‫الذك ِّْر إِّ ْن ُك ْنت ُ ْم ََل ت َ ْعلَ ُمون‬ ْ ‫فَا‬

Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (Q.S An Nahl:43)

3) Lingkungan keluarga

‫ظ ْل ٌم ع َِظي ٌم‬
ُ َ‫اَّللِ ِإنَّ الش ِْركَ ل‬ ُ ‫َو ِإ ْذ قَا َل لُ ْق َمانُ إلب ِن ِه َوه َُو َي ِع‬
َّ ‫ظهُ َيا بُنَ َّي ال تُش ِْركْ ِب‬

Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”(Q.S Luqman:13)

4) Lingkungan Sosial

َ‫َار تَبَ َو ُءوا َوالَذِين‬ ِ ‫ُورهِم فِي َي ِجدُونَ َو َل إِلَي ِهم هَا َج َر َمن ي ُِحبُّونَ قَب ِل ِهم ِمن َو‬
َ ‫الي َمانَ الد‬ ِ ‫صد‬ ُ ً‫َعلَى َويُؤثِ ُرونَ أُوتُوا ِم َما َحا َجة‬
‫صة ِب ِهم َكانَ َولَو أَنفُ ِس ِهم‬
َ ‫صا‬ ُ ‫ال ُمف ِلحُونَ ُه ُم فَأُولَئِكَ نَف ِس ِه‬
َ ‫ش َح يُوقَ َو َمن ۚ َخ‬

Artinya : “Dan orang-orang yang telah menempati kota madinah dan telah beriman (Ansar)
sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa di
berikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya; mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Al-Hasyr:9)

Di dalam ayat ini terdapat gambaran dimana hidup bermasyarakat yang di gambarkan oleh
kaum Ansar terhadap kaum Muhajirin, merupakan pelajaran yang dapat dipetik dalam
pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

https://mtsnurulazhar.wordpress.com/2013/12/08/sumber-belajar-dalam-islam/ (diakses pada


tanggal 30 maret 2018 pukul 11:41)
Pendahuluan

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan, proses
transformasi dan aktualisasi pengetahuan sulit untuk diwujudkan. Demikian juga dengan sains
sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang
ilmiah pula. Oleh karena itu Islam menekankan akan pentingnya belajar baik melalui aktivitas
membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini.

Belajar adalah suatu aktifitas di mana terdapat sebuah proses dari tidak tahu menjadi tahu, tidak
mengerti menjadi mengerti, tidak bisa menjadi bisa untuk mencapai hasil yang optimal. Jadi belajar
merupakan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil
dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Oleh karena itu
belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam
perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif,
afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu.

Islam memandang manusia sebagai mahluk yang dilahirkan dalam kaadaan fitrah atau suci,
Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah yang didalamnya terdapat bakat
untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan mansia
itu sendiri.

Al-Qur’an merupakan Firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai
pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan
bathin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an selalu relevan dengan problema
yang dihadapi manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya,
sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema yang dihadapinya, kapan dan dimanapun
mereka berada.

Malakah ini akan menganalisis konsep belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis Nabi saw,
mencakup dasar hukum dan karakterintiknya.

Anda mungkin juga menyukai