Anda di halaman 1dari 139

RESPIRASI DISTRESS SYNDROM

RDS

(Respirasi Distsress Syndrome)

PENDAHULUAN

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan
masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi
prematur adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang
bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram.

Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan
surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh
neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959
sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu
kemajuan di bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan
ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik
penggunaan surfaktan buatan, surfaktan dari cairan amnion manusia, dan surfaktan dari sejenis
lembu/bovine dapat dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai
pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya
defisiensi atau kerusakan surfaktan.

PERKEMBANGAN PARU NORMAL

Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap (tabel 1).

Selama tahap awal embryonik paru berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut
endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang merupakan
struktur teratas dari saluran napas.
Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi perkembangan
lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan acini primer. Struktur acinar terdiri
dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar
capillaries yang berada disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar
bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II ,dapat ditemui
dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan
barier alveolar-capillary. Fase saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer
yang merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan peningkatan
pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type II meningkat dan maturasi lebih
lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan
terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan udara. Selama tahap alveolar dibentuk septa
alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder
terdiri dari penonjolan jaringan penghubung dan double capillary loop.

Terjadi perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan
dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary loop .
Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel mesenchym berproliferasi dan
menyimpan matrix ekstraseluler yang diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan
II, jumlahnya meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam septa
sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary loop
menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada saat lahir dengan menggunakan
rentang antara 20 juta – 50 juta sudah mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai
sekitar 300 juta.

TES KEMATANGAN PARU

Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru yang
biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal
Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.

a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion
dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertama kali
diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan
sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan
Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan
dipisahkan dengan bpelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid
dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung
rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organic dari lesithin dan
sfingomyelin. Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan
komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan
normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada
usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris
disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa penulis
telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk
mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan klinis dari
neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian
bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio
L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil
interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak
mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi
yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.

b. Test Biofisika :

1) Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat
dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan
mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung
oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.
Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan
dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan
amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai
nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS .

2) TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip teknologi polarisasi
fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari agregasi lipid
dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan
kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen
kearah albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka
nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara
otomatis rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan maturasi
paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan
immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl; dan matur bila lebih atau sama dengan 60
mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu interpretasi hasil test.

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat
(dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen,
penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto
thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline
membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan
adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang
atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al
(1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg
dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan
PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 :
FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS.

Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal,
maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline
Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang
matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak
segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi
surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah
lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi
dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan
foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

a. Stadium 1

Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara

b. Stadium 2

Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara
terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru.

c. Stadium 3

Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan
bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.

d. Stadium 4

Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.

ETIOLOGI

Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli
yang mencegah kolaps paru. PMH seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan,
yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
Makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya PMH. Kelainan merupakan
penyebab utama kematian bayi prematur. Adapun penyebab-penyebab lain yaitu:

1. Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.


Bila bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari kemudian, biasanya disebabkan adanya
kelainan jantung atau paru-paru. Hal ini bisa terjadi pada bayi dengan riwayat kelahiran normal atau
bermasalah, semisal karena ketuban pecah dini atau lahir prematur. Pada bayi prematur, sesak
napas bisa terjadi karena adanya kekurangmatangan dari organ paru-paru. Paru-paru harusnya
berfungsi saat bayi pertama kali menangis, sebab saat ia menangis, saat itu pulalah bayi mulai
bernapas. Tapi pada bayi lahir prematur, karena saat itu organnya tidak siap, misalnya gelembung
paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara tidak masuk. Itu sebabnya ia tak bisa
menangis. Ini yang namanya penyakit respiratory distress syndrome (RDS). Tidak membukanya
gelembung paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan, yang tak cukup sehingga gelembung
paru-paru atau unit paru-paru yang terkecil yang seperti balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti
balon kempis. Gejala pada kelainan jantung bawaan adalah napas sesak. Ada juga yang misalnya
sedang menyusui atau beraktivitas lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi pasif. Jadi, penyakitnya itu
utamanya karena kelainan jantung dan secondary-nya karena masalah pernapasan. Jadi, biasanya
sesak napas yang terjadi ini tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus segera
dibawa ke dokter.

2. Kelainan pada jalan napas/trakea.

Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada bayi. Gejalanya, napas sesak dan
napas berbunyi "grok-grok". Kelainan ini terjadi karena adanya hubungan antara jalan napas dengan
jalan makanan/esophagus. Kelainan ini dinamakan dengan trackeo esophageal fistula. Akibat
kelainan itu,ada cairan lambung yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya ini berbahaya sekali.
Sehingga pada usia berapa pun diketahuinya, harus segera dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin
bisa menunggu lama karena banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru. Sebelum operasi pun
dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal dengan dimasukkan selang ke jalan napas
sehingga cairan dari lambung tak bisa masuk. Biasanya sesak napasnya tampak begitu waktu
berjalan 1-3 jam setelah bayi lahir. Nah, bila ada sesak napas seperti ini, prosedur yang harus
dilakukan adalah dilakukan foto rontgen segera untuk menganalisanya.

3. Tersedak air ketuban.

Ada juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat kelahiran. Karena suatu hal,
misalnya stres pada janin, ketuban jadi keruh dan air ketuban ini masuk ke paru-paru bayi. Hal ini
akan mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak. Bayi tersedak air ketuban akan ketahuan dari
foto rontgen, yaitu ada bayangan "kotor". Biasanya ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada
riwayat tersedak, batuk, kemudian sesak napasnya makin lama makin berat. Itulah mengapa, pada
bayi baru lahir kita harus intensif sekali menyedot lendir dari mulut, hidung atau tenggorokannya.
Bahkan jika tersedak air ketubannya banyak atau massive, harus disedot dari paru-paru atau paru-
parunya dicuci dengan alat bronchowash. Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan tak banyak,
tak jadi masalah. Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau, harus disedot dan "dicuci" paru-
parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada sebagian paru-parunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis
atau tersumbat, sehingga menyebabkan udara tak bisa masuk. Akibatnya, jadi sesak napas. Biasanya
kalau di-rontgen,bayangannya akan terlihat putih. Selain itu, karena tersumbat dan begitu hebat
sesak napasnya,ada bagian paru-paru yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat berbahaya.
Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian. Karena itu bila sesak napas seperti
ini, harus lekas dibawa ke dokter untuk mendapatkan alat bantu napas/ventilator.

4. Pembesaran kelenjar thymus.

Ada lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup merisaukan yang termasuk kelainan
bawaan juga. Gejalanya tidak begitu kuat. Biasanya bayi-bayi ini pun lahir normal, tak ada kelainan,
menangisnya pun kuat. Hanya saja napasnya seperti orang menggorok dan semakin lama makin
keras, sampai suatu saat batuk dan berlendir. Kejadian ini lebih sering dianggap karena susu
tertinggal di tenggorokan. Namun ibu yang sensitif biasanya akan membawa kembali bayinya ke
dokter. Biasanya kemudian diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh juga,
baru dilakukan rontgen. Penyebabnya biasanya karena ada kelainan pada jalan napas, yaitu
penyempitan trakea. Ini dikarenakan adanya pembesaran kelenjar thymus. Sebetulnya setiap orang
punya kelenjar thymus. Kelenjar ini semasa dalam kandungan berfungsi untuk sistem kekebalan.
Letaknya di rongga mediastinum (diantara dua paru-paru). Setelah lahir karena tidak berfungsi,
maka kelenjar thymus akan menghilang dengan sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada
yang kecil, ada juga yang besar; baik hanya satu atau bahkan keduanya. Nah, kelenjar thymus yang
membesar ini akan menekan trakea. Akibatnya, trakea menyempit dan mengeluarkan lendir. Itu
sebabnya napasnya berbunyi grok-grok dan keluar lendir, sehingga jadi batuk. Pengobatannya
biasanya dilakukan dengan obat-obatan khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar tidak
menekan trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak menghilang, diberikan lagi
pengobatan selama seminggu. Sebab, jika tidak diobati, akan menganggu pertumbuhan si bayi. Berat
badan tak naik-naik, pertumbuhannya kurang, dan harus banyak minum obat.

5. Kelainan pembuluh darah.

Ada lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi (stridor), yang dinamakan
dengan vascular ring. Yaitu,adanya pembuluh darah jantung yang berbentuk seperti cincin (double
aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan makan. Jadi, begitu bayi lahir napasnya berbunyi
stridor. Terlebih kalau ia menangis, bunyinya semakin keras dan jelas. Bahkan seringkali dibarengi
dengan kelainan menelan, karena jalan makanan juga terganggu. Pemberian makanan yang agak
keras pun akan menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari makanan padat
dan maunya susu saja. Pengobatannya, bila setelah dirontgen tidak ditemui kelenjar thymus yang
membesar, akan diminta meminum barium untuk melihat apakah ada bagian jalan makan yang
menyempit. Setelah diketahui, dilakukan tindakan operasi, yaitu memutuskan salah satu aortanya
yang kecil.

6. Tersedak makanan.

Tersedak atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa karena tersedak susu atau
makanan lain, semisal kacang. Umumnya karena gigi mereka belum lengkap, sehingga kacang yang
dikunyahnya tidak sampai halus. Kadang juga disebabkan mereka menangis kala mulutnya sedang
penuh makanan. Atau ibu yang tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga tiba-tiba bayinya muntah.
Mungkin saja sisa muntahnya ada yang masih tertinggal di hidung atau tenggorokan. Bukankah
setelah muntah, anak akan menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke paru-paru.
Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin setelah batuk ia akan tenang, tapi setelah 1-
2 hari napasnya mulai bunyi. Bahkan bisa juga kemudian terjadi peradangan dalam paru-paru. Anak
bisa panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah napas berbunyi seperti asma dan banyak lendir.
Biasanya setelah dilakukan rontgen akan diketahui adanya penyumbatan/atelektasis. Pengobatan
dapat dilakukan dengan bronkoskopi, dengan mengambil cairan atau makanan yang menyumbatnya.
Selain makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi karena minyak tanah atau bensin, meski
hanya satu teguk. Ini bisa terjadi karena kecerobohan orang tua yang menyimpan minyak
tanah/bensin di dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan. Bahayanya bila
tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini akan masuk ke lambung dan menguap, kemudian
masuk ke paru-paru, sehingga bisa merusak paru-paru. Akan sangat berbahaya pula kalau
dimuntahkan, karena akan langsung masuk ke paru-paru. Jadi, kalau ada anak yang minum minyak
tanah/bensin jangan berusaha dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh dokter, paru-parunya akan
"dicuci" dengan alat bronkoskop.
7. Infeksi.

Selain itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit infeksi. Bila anak mengalami ISPA
(Infeksi saluran Pernapasan Akut) bagian atas, semisal flu harus ditangani dengan baik. Kalau tidak
sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas ini akan
merembet ke ISPA bagian bawah, sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru, ataupun
asmatik bronkitis. Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan
makin lama melemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir biru/sianosis,
berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini akan diketahui dengan pemeriksaan dokter dan
lebih jelasnya lagi dengan foto rontgen. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika.
Biasanya kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Setelah
diobati,umumnya sesak napas akan hilang dan anak sembuh total tanpa meninggalkan sisa, kecuali
bagi yang alergi.

PATOFISIOLOGI RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil
sehingga sulit berkembang, pengembangan kurangsempurna karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga
daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat,
shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan
seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari
epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan
napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium
mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini
adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air bronchogram.

Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :

- Takipnea diatas 60x/menit

- Grunting ekspiratoar

- Subcostal dan interkostal retraksi

- Cyanosis

- Nasal flaring
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut apnea,
dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam
paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama.
Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh
pada akhir minggu pertama.

KOMPLIKASI

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :

1. Ruptur alveoli

Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium,


emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi,
apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular

Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada
bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS
terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa
gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada
waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden
BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

2. Retinopathy prematur

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi,
adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

FUNGSI SURFAKTAN

Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan paru lebih rendah dari
cairan biologi normal karena menemukan adanya perbedaan elastisitas pada paru-paru yang terisi
udara dan terisi larutan garam ( saline ). Disebutkan juga bahwa tegangan permukaan adalah lebih
penting dari kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat mengembang.
Tegangan permukaan antara air-udara alveoli memberikan kekuatan penarikan melawan
pengembangan paru. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran
cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi
cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan
mengeluarkan bahan particulate dari paru.

KOMPOSISI SURFAKTAN PARU

Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel alveolar tipe II
dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek
yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan
fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir
sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya
adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar
separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan
paru. Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80%
mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine, dan
15% phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine,
phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan glycolipid. Fosfolipid saturasi ini merupakan
komponen penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus
untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi.

JENIS SURFAKTAN

Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu:

1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu
seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan

2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik

3. Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),


hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan
Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama d pasarkan di amerika dan eropa.2,5
Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC (
Venticute),belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur.

4. Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta

5. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya
Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf

Saat ini ada 2 jenis surfaktan di Indonesia yaitu :


Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol. Surfanta dibuat
dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak
di protein.

PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY

DISTRESS SYNDROME

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan
RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari
hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif.
Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan
sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS sejak awal tahun 1990
(Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang
mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan
merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.

Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan permukaan, terutama terdapat
pada surfaktan kombinasi protein, dapat menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator
dengan cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan
derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16
penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat binatang
lebih banyak menurunkan angka kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan
sintetik bebas protein Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada meta-analisis adalah
Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan yang
sering dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh
Speer dkk (1995) yang membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200
mg/kg, pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil perbaikan
gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis Curosurf
100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter
perbaikan gas darah menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan
kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada jurnalnya.
Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas.

PROFILAKSIS SURFAKTAN DAN TERAPI

Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka


kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat
tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah
ada gejala Respiratory Distress Syndrome . Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan
pemberian profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami
kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran
protein pada permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan. Beberapa penelitian dengan
binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah lahir akan menurunkan
derajat beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah, fungsi paru dan
kelangsungan hidup.

Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi prematur sangat
bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi
profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak 30% dibandingkan kontrol dan
menurunkan angka kematian sebasar 48% tanpa efek samping. Tidak mungkin bisa memprediksi
bayi prematur yang akan terkena RDS atau tidak sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat
bermanfaat. Rendahnya masa gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada bayi
dengan masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan komplikasinya. Beberapa
alasan yang dikemukakan tentang tidak diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir
(sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi
yang tidak terkena RDS , disamping itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang
benar diperlukan. Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini mungkin
dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga yang berpendapat
bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir dapat mempengaruhi resusitasi dan
stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir,
maka pemberian surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.

Cochrane meta analysis ( Soll and Morley, 2003 ) menyatakan bahwa yang

disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama

pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sedangkan sebagai terapi bila
surfaktan diberikan beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala RDS . Pemberian surfaktan
profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan pneumothorax tetapi mempunyai efek yang
ringan pada komplikasi yang lain pada bayi prematur. Yost dan Soll, 2003 menyatakan bahwa ada
data yang menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada pemberian yang lebih
lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang berbeda tentang pengaruh pemberian dua
surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan beratnya gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan
perbaikan dalam pertukaran gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis.
Dunn dkk, menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada
kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk,
menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis membutuhkan tambahan oksigen yang lebih
rendah dan bantuan ventilasi dalam 72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi penelitian neonatus di

Texas tentang keberhasilan dan keselamatan pemberian surfaktan dini terhadap 132 bayi RDS ringan
sampai sedang dengan berat = 1250 gram, masa gestasi = 36 minggu, usia postnatal 4 -24 jam .
Dalam peneltian ini disebutkan bahwa tanpa pemberian surfaktan dini, didapatkan hanya 43% bayi
RDS yang memakai ventilasi, dan dalam waktu singkat yaitu 31 jam. Secara keseluruhan disebutkan
bahwa pemberian rutin yang direncanakan pada bayi prematur, tidak direkomendasikan.

PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam
batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan ruangan juga
harus adekuat.
2. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh
kompleks pada bayi premature. pemberian oksigen yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan retina. Untuk mencegah timbulnya komplikasi
pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak
lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang.

3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan
dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai
harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena yang berguna untuk
mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas
darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan dengan menggunakan campuran larutan
glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1

4. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk mencegah infeksi
sekunder. dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.

5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen
(surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi biayanya sangat mahal.

Mengidentifikasi masalah dan mengatasi penyebab dan pencegah infeksi amatlah penting.
Kebutuhan ventilasi sama halnya dengan kritis. Pada awalnya pasien hanya membutuhkan suplemen
oksigen. Sejalan dengan kemajuan penyakit, intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan.
Konsentrasi oksigen dan ventilator ditentukan oleh status pasien. Hal ini dipantau dengan gas darah
arteri. Tekanan ekspirasi-ahir positif (PEEP) atau tekanan udara positif kontinu (CPAP) adalah bagian
penting dari pengobatan RDS . PEEP dan CPAP meningkatkan kapasitas residual fungsional (FRC) dan
melawan kolaps alvelar dengan menjaga agar alveoli tetap terbuka, mengakibatkan perbaikan oksige
arteri dan reduksi dalam keseimbangan V/Q.

Hipotensi sistemik dapat terjadi pada pasien RDS karena hipovolemia sekunder terhadap kebocoran
cairan kedalam ruang interstisial. Hipovolemia harus diatasi tanpa menyebabkan kelebihan cairan
lebih lanjut. Larutan kristaloid intravena diberikan pemantauan yang cermat status paru. Agen
inotopik atau vasopresor mungkin diperlukan. Kateter tekanan paru arteri digunakan untuk
memantau status cairan pasien.

Dukungan nutrisi yang adekuat adalah penting dalam mengobati RDS karena dapat terjadi malnutrisi
yang bisa menyebabkan berhentinya fungsi organ tubuh (kegagalan organ multipel). Pasien dengan
RDS membutuhkan 35 sampai 45 kal/kg sehari untuk memenuhi kebutuhan normal. Pemberian
makan enteral adalah pertimbangan pertama; namun, nutrisi parenteral total dapat saja diperlukan

Obat-obatan khusus dapat diberikan untuk mengobati infeksi, mengurangi peradangan dan
membuang cairan dari dalam paru-paru. Misalnya pada infeksi diberikan antibiotik.

MASALAH KEPERAWATAN
Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan, resiko terjadi gangguan pernapasan,
kesukaran dalam pemberian makanan, resiko terjadinya infeksi, dan kebutuhan rasa aman dan
nyaman.

1. Bahaya kedinginan (hipotermia)

Bayi yang menderita PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis, jaringan lemaknya
belum terbentuk dan pusat pengatur suhu belum sempurna, maka bayi sangat mudah kedinginan.
Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury, sianosis, dispnea, dan apnea. Untuk
mencegah bayi kedinginan bayi harus dirawat dalam inkubator yang dapat mempertahankan suhu
bayi 36,5-37oC. Pengukuran suhu bayi prematur tidak dibenarkan melalui anus karena dapat
menimbulkan perlukaan mengingat selaput lendir pada anus masih sangat tipis, dianjurkan pada
ketiak, lipat paha, atau lipat lutut. Kelembapan udara harus adekuat yaitu 70-80%. Walau
kelembapan udara di Indonesia cukup tinggi tetapi bila inkubator ditempatkan diruangan ber AC
atau udara di luar panas, maka dapat terjadi menurunnya kelembapan udara di dalam inkubator.
Jika inkubator tidak dilengkapi alat untuk pelembab, dapat dipakai popok atau segumpal kapas yang
dibasahi air matang dan diletakkan pada salah atu tempat di dalam inkubator asalkan tidak
mengenai bayi. Apabila listrik padam atau bayi dirawat di luar inkubator, maka untuk
menghangatkan bayi dapat digunakan botol/kantung air panas dengan suhu air kira-kira 60oC, tetapi
harus diganti setiap jam.

2. Resiko terjadi gangguan pernapasan

Pada bayi prematur, walau gangguan pernapasan belum terlihat pada saat lahir, harus tetap
waspada bahwa bayi mungkin menderita PMH. Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah
lahir, kemudian makin jelas dan makin berat dalam 48 jam, untuk kemudian menetap sampai 72
jam. Setelah itu berangsur-angsur keadaan klinik pasien membaik. Karena itu bayi memerlukan
observasi terus-menerus sejak lahir agar apabila terjadi gangguan pernapasan dapat segera
dilakukan upaya pertolongan.

3. Kesukaran dalam pemberian makanan

Bayi yang menderita PMH adalah bayi prematur kecil. Oleh karena itu bayi belum mampu menghisap
dan menerima susu seperti bayi yang lebih besar karena organ pencernaannya belum sempurna.
Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-10%, banyaknya
sesuai dengan umur dan berat badan yaitu 60-125 ml/kgBB/hari. Bila keadaan klinik bayi membaik
dan sudah dibolehkan minum, maka minum dapat diberikan melalui sonde. Bayi dengan berat badan
<1500 gram dimulai dengan 1-2 ml/kgBB/setiap 2 jam, sedangkan pada bayi >1500 gram mulai
dengan 3 ml/kgBB setiap 2 jam dan tiap bayi akan diberi minum cairan lambungnya diisap dulu, jika
cairan lambungnya tersebut lebih dari 2 ml, jumlah susu yang akan dimasukkan dikurangi sejumlah
cairan yang dikeluarkan dan cairan yang diisap itu dikembalikan lagi ke lambung karena cairan itu
terdiri dari susu yang tercampur getah lambung. Untuk hari-hari berikutnya dengan melihat berat
badan bayi mungkin perlu ditambah jumlah susu yang diberikan sambil memperhatikan
perkembangan bayi. Jika berat badan naik terus dapat diberikan setiap 3 jam dan jumlahnya
disesuaikan dengan umur dan berat badan. Selain itu juga harus diperhatikan reaksi bayi dalam
menerima susu apakah tidak menimbulkan diare.

4. Resiko mendapat infeksi

Bayi prematur yang menderita PMH sangat mudah mendapat infeksi karena zat-zat kekebalannya
belum terbentuk sempurna. Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan
inkubator harus aseptik pula. Ruangan tempat merawat bayi harus terpisah, bersih, dan tidak
dibenarkan banyak orang memasuki ruangan tersebut kecuali petugas. Semua alat yang diperlukan
untuk bayi harus steril. Karena bayi yang menderita PMH biasanya berat badannya kurang dari 2000
gram, maka bayi memerlukan perawatan sampai beberapa minggu. untuk mencegah infeksi,
inkubator harus diganti setiap minggu dengan inkubator yang telah didesinfeksi. Perlu diingat tidak
boleh melap inkubator, apalagi menggunakan desinfektan, jika di dalam inkubator ada bayinya. Bila
terdapat beberapa bayi prematur dan salah satu ada yang menderita infeksi misalnya diare, segera
dipisahkan dan sediakan alat cuci tangan sendiri.

5. Kebutuhan rasa aman dan nyaman

Walaupun bayi yang menderita PMH ini bayi prematur yang sangat kecil tetapi ia perlu diperhatikan
kebutuhan akan rasa aman dan nyaman. Gangguan rasa nyaman dapat terjadi akibat tindakan
medis, misalnya pengisapan lendir, atau pemasangan infus. Pemasangan infus dengan wing needle
harus dilakukan oleh perawat yang berpengalaman karena sukar menemukan vena yang tepat.
Untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya selain sikap yang lembut setiap menolong bayi bila
kebetulan ibunya ada, izinkan sesekali menggendong bayinya, asalkan ibu memakai baju ruangan
dan mencuci tangan dahulu.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pada pengkajian dapat diadapat adanya takipnea lebih dari 60 kali permenit, retraksi interkostal,
pernapasan cuping hidung, sianosis, dan peningkatan hipoksemia, menurunnya daya komplien paru,
gangguan pernapasan tampak pada 6-8 jam pertama setelah lahir, adanya tanda hipotensi sistemik
seperti pucat pada daerah perifer, edema, pengisian kapiler lebih dari 3 detik, produksi urin yang
menurun, penurunan suara nafas, adanya asfiksia, terjadi pada bayi premature dengan berat badan
1000-2000 gram, pada pemeriksaan darah ditemukan adanya asidosis metabolic dan respiratorik.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Gangguan pertukaran gas

Resiko tinggi peningkatan volume cairan

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Bersihan jalan napas tidak efektif

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Acute Respiratory Distress Sindrome. Terdapat pada: http:
//www.medicine.com/ards/page 4.htm.

Anonim. 2007. Respiratory Distress Syndrome/Rds (On-line). Terdapat pada :


http://healthblogrds.blogspot.com

Hidayat, Azis alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan. edisi 1. Jakarta: Salemba Medika

Kurniasih, Dedeh. 2006. Respiratory Distress Syndrom. terdapat pada: http://www.tabloid-


nakita.com

Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto. 2007. Pemberian Surfaktan
Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome (On-line). Terdapat pada :
http://www.pediatrik.com/buletin/

TUGAS KEPERAWATAN ANAK II

ASMA

Disusun Oleh

Agnes Fitria N1A005001

Ima Sukmawati N1A0050012

Denti Budiarti N1A005013

Titis Aprilia N1A005014


Agus Aji P N1A005016

Bambang Aditya N1A005026

Elfira N N1A005048

Marita Widy P N1A004049

Yulia Rahmi N1A005059

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2007

ASMA

A. PENGERTIAN

Asma adalah suatu oenyakit obstruktif pada jalan nafas secara reversibel yang ditandai dengan
bronchospasme, imflamasi, dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai stimulan. Asma
juga disebut sebagai reaktive air way disease (RAD).

B. KLASIFIKASI

1. Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :

a. Ekstrinsik (alergik)

b. Intrinsik (non alergik)


c. Asma gabungan (bentuk asma yang paling umum)

2. Derajat keparahan berdasarkan jumlah serangan, gangguan tidur, gangguan aktivitas :

a. Intermiten (mingguan)

1) Gejala < 1X / minggu

2) Tanpa gejala diluar serangan

3) Serangan singkat

4) Fungsi paru asimptomatik dan normal diluar serangan

5) Serangan sesak waktu malam < 2X seminggu

b. Persisten ringan (mingguan)

1) Gejala > 1X / hari

2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur

3) Serangan sesak waktu malam > 2X seminggu

c. Persisten sedang (harian)

1) Gejala harian

2) Menggunakan obat setiap hari

3) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

4) Serangan 2X / minggu, bisa berhari-hari

5) Serangan sesak malam hari, 1X / minggu

d. Persisten berat (continue)

1) Gejala terus menerus

2) Aktivitas fisik terbatas

3) Sering serangan

4) Serangan malam hari sering

Tabel 1. Kriteria asma pada anak


Gejala/ hari Gejala/malam PEF %

Jarang (Intermittent) Kurang dari 1/ minggu Kurang dari 2/ bulan 80% atau lebih

Ringan (Mild Persistent) Lebih dari 1 kali/minggu tidak tiap hari Lebih dari 2/ bulan 80% atau lebih

Sedang (Moderately Persistent) Setiap hari timbul saat aktifitas Lebih dari 1/ minggu 60% - 80%

Berat (Severe Persistent) Berlanjut dengan aktifitas terbatas Sering Di bawah 60%

3. Berdasarkan berat ringannya gejala :

a. Serangan asma akut ringan, dengan gejala:

1) Rasa berat di dada

2) Batuk kering ataupun berdahak

3) Gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas

4) Mengi tidak ada atau mengi ringan

5) APE (Arus Puncak Aspirasi) kurang dari 80 %.

b. Serangan Asma akut sedang, dengan gejala:

1) Sesak dengan mengi agak nyaring

2) Batuk kering/berdahak

3) Aktivitas terganggu

4) APE antara 50-80%.

c. Serangan Asma akut berat, dengan gejala:

1) Sesak sekali,

2) Sukar berbicara dan kalimat terputus-putus,

3) Tidak bisa berbaring, posisi mesti 1/2 duduk agar dapat bernapas,

4) APE kurang dari 50 %.

C. ETIOLOGI
1. Faktor allergen

a. Alergen hirup (inhalan) : debu, asap rokok, polusi kendaraan, obat byamuk bakar, pewangi
ruangan, bulu binatang, bau yang merangsang (cat, sampah, keringat), dll.

b. Alergen makanan (ingestan) : makanan yang mengandung zat pengawet, penyedap dan pewarna;
bauh-buahan tertentu.

2. Latihan jasmani (aktivitas berlebihan) : seperti berlari-lari atau main sepeda seharian tanpa cukup
istirahat. Gejala yang timbul biasanya sewaktu tidur anak akan mengalami batuk-batuk. Inilah yang
disebut sebagai excercise induce asthma (EIA).

3. Emosi (terlalu sedih/gembira).

4. Infeksi : seperti influenza, dan infeksi saluran napas atas (ISPA). Batuk yang disebabkan penyakit
tersebut dapat memicu terjadinya asma.

5. Factor keturunan

a. Kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% dari anak mereka akan
menderika penyakit alergi pulla baik asma, rhinitis, dermatitis topic, dll.

b. Salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% dari anak mereka akan
menderita alergi.

c. Kedua orang tua tidak menderita alergi maka hanya 15% kemungkinan anaknya menderita alergi.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klasik dari asma bronchial ini adalah sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, sebagian penderita
nyeri dada. Pada serangan asma yang lebih berat gejala-gejala yang timbul adalah sianosis, gangguan
kesadaran, hiperinflasi dada, tachicardi, dan pernafasan dangkal.

Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak•

Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.

Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.

Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering
menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.

Nyeri otot & tulang berulang malam hari.

Sering kencing, atau bed wetting (ngompol)

Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering
putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan bibir kering.
Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam
seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.

Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat (berlebihan).

Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip,

Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.

Sering sakit kepala, migrain.

E. KOMPLIKASI

1. Penyakit tonsil

2. TD tinggi

3. Paru-paru menjadi keras sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.

F. PATOFISIOLOGI

Pada penderita asma, terjadi bronkokonstriksi. Proses bronkokonstriksi ini diawali dengan proses
hypersensitivitas yang distimulasi agent fisik seperti oleh suhu dingin, droplet, debu, serbuk tanaman
dan lainya. Asma juga adapat terjadi karena adanya stimulasi agen psikis seperti kecemasan dan rasa
takut.

Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi
saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam
saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan
penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas.

Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggungjawab terhadap awal
mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin
dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan
lendir - perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut
sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk
sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang.

Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi
jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga
bisa memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien.

Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan
lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran udara.
Hipersensitivitas bronkhiolus

terhadap benda-benda asing di udara

Timbul reaksi alergi

Ig E meningkat

Sel mast

Pelepasan mediator

• Histamine

• Serotonin

• Kinin

Bronkhospasme

Edema mukosa

Sekresi meningkat

Inflamasi

Tahanan saluran nafas meningkat

Kontraksi spastic dari oto-otot polos


bronkhiolus

Asma

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan radiology

Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru.

2. Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari factor alergi dengan berbagai allergen.

3. Scaning paru

Dengan scaning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

4. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible.

5. Pemeriksaan sputum

Sputum penderita asma secara keseluruhan kental, liat, dan keputihan.

6. Pemeriksaan darah

a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
atau asidosis.

b. Hipernatremia dan kadar leukosit kadang-kadang diatas 15000/mm3 dimana menandakan


terdapatnya suatu infeksi.
c. Pada pemeriksaan factor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Pengobatan asma bronchial terbagi 2, yaitu :

1. Pengobatan non farmakologik

2. Pengobatan farmologik

a. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.

b. Kromalin

Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma.

3. Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05251&rubrik=sehat

http://www.anakku.net/index.php?option=com_content&task=view&id=339&Itemid=1
TUGAS TERSTRUKTUR

KEPERAWATAN ANAK II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DIARE


Oleh :

Agung Ari S (N1A005005)

Fendi Budi W (N1A005009)

Ida Rahayu (N1A005010)

Eris Rismayanto (N1A005023)

Cecep Triwibowo (N1A005025)

Rahayu Nugraeini (N1A005035)

Marissa Wigianti M (N1A005040)

Bejo Wahyu U (N1A005041)

Ita Sari (N1A005044)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2007

DIARE

A. PENGERTIAN

Diare adalah: BAB lebih dari tiga dengan konsistensi cair (WHO, 1992). Diare adalah buang air besar
konsistensi lembek /cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (
biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari). Pada dasarnya adalah frekuensi buang air besar yang lebih
sering dari biasanya dengan konsistensi yang lebih encer atau cair. Frekuensi buang air besar lebih
dari empat kali pada bayi dan lebih dari tiga kali pada anak; konsisten feses encer, dapat berwarna
hijau, dapat juga bercampur lendir dan darah, atau hanya lendir saja (FK UI,1997). Individu
mengalami perubahan dalam kebiasaan BAB normal, ditandai dengan seringnya kehilangan cairan
dan feses yang tidak berbentuk (Susan martin,1998). Jenis diare sbb :

1. Menurut perjalanan penyakit :

a. . Akut : jika kurang dari 1 minggu

b. . Berkepanjangan : jika antara 1 minggu sampai 14 hari

c. . Kronis : jika > 14 hari dan disebabkan oleh non infeksi

d. . Persisten : Jika >14 hari dan disebabkan oleh infeksi

2. Menurut patofisiologi :

a. . Gangguan absorbsi

b. . Gangguan sekresi

c. . Gangguan osmotik

3. Menurut penyebab :

a. . Infeksi : Virus, bakteri, parasit,jamur

b. . Konstitusi

c. . Malabsorbsi
4. Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain,
seperti : demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

B. PENYEBAB DIARE

Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor:

1. Infeksi

a. Infeksi entral : ialah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab diare pada
anak meliputi infeksi interal sebagai berkut :

i. Infeksi bakteri: vibrio, E. coli, Salmonella, Sigela, Campylobakteri, Yersenia, Aerromonas dan
sebagainya..

ii. Infeksi virus : Entro virus, adenovirus, Rotavirus, Astovirus dll.

iii. Infeksi parasit : Cacing protozoa dan jamur.

b. Infeksi Parentral ialah ineksi diluar alat pencernaan makan seperti otitis media akut (OMA)
tonsillitis/ Tonsiloparingitis, bronkhopnemonia , encepalitis dsb. Keadaan ini terutama tedapat pada
anak kurang dari dua tahun.

2. Faktor Malabsorsi

a. Malabsorisi karbohidrat

b. Malabsorsi lemak

c. Malabsorsi Protein

3. Faktor makanan: Makanan basi, beracun alergi terhadap makanan.

4. Psikologis : rasa takut dan cemas

Faktor yang meningkatkan penyebaran kuman penyebab diare:

a. Tidak memadainya penyediaan air bersih

b. Air tercemar oleh tinja

c. Pembuangan tinja yang tidak hygienis

d. Kebersihan perorangan dan lingkungan jelek

e. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya

f. Penghentian ASI yang terlalu dini


C. PATOGENESIS

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:

1. Gangguan osmotic

Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic
dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi
rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga timbul diare.

2. Gangguan sekresi

Akibat rangsang tertentu ( Misalnya toksin pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air
dan elektrolit kedalam rongga usus selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga
usus

3. Gangguan motalitas usus

Hiperpristaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus menyerap makan seingga timbul
diare. Sebaliknya bila pristaltik menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan
selanjutnya timbul diare pula.

Faktor penyakit / toksik ( misal toksin E. Coli )

Peningkatan peristaltik usus Peningkatan cairan intraluminar

Passase usus meningkat

Waktu henti makanan menurun frekwensi BAB meningkat

( Resiko Infeksi )

( Resiko kerusakan integritas kulit )

Penyerapan makanan, elektrolit terganggu pengeluaran cairan meningkat


Ketidak seimbangan cairan

Ketidakseimbagan nutrisi kurang

Resiko Hipo/hipertermi

Resiko Hipe/hipernatremi

Resiko Hipo/hiperkalemi

Asidosis Metabolik

Gambaran Klinik

Mula-mula pasien cengen gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat nafsu makan berkurang atau
tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair mungkin disertai ledir atau lendir dan darah. Warna tinja
makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu. Anus dan sekitarnya timbul
lecet karena sering defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak asam
laktat yang berasal dari laktose yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare.

Gejala muntah sebelum dan sesudah diare dan dapat menyebabkan lambung juga turut meradang,
atau akibat gangguan asam basa dan elektrolit. Timbul dehidrasi akibat kebanyakan kehilangan
cairan dan elektrolit . Gejala dehidrasi mulai nampak yaitu berat badan menurun turgor berkurang
mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung ( pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit
tampak kering. Akibat dehidrasi diuresis berkurang ( oliguri sampai anuri). Bila sudah asidosis
metabolis pasien akan tampak pucat dengan pernapasan cepat dan dalam (kussmaul). Asidosis
metabolisme karena:

1. Kehilangan NaCO3 melalui tinja diare

2. Ketosis kelaparan

3. Produk- produk metabolik

4. Berpindahnya ion natrium dari cairan intra sel ke ekstrasel

5. Penimbunan laktat ( anoksia jaringan )

D. KOMPLIKASI

Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi
sebagai berikut:

a. Dehidrasi ( Ringan, berat hipotenik, isotonik hipertonik)

b. Renjatan hipovolemik

c. Hipoglikemi
d. Intoleransi sekunder akibat kerusakan filimukosa usus dan defisiensi enzim laktase

e. Hipokalemia

f. Kejang terjadi akibat dehidrasi hipertonik

g. Malnutrisi energi proteiN.

CARA MENILAI DEHIDRASI (WHO, 1992)

GEJALA DAN TANDA TAK DEHIDRASI DEHIDRASI TAK BERAT DEHIDRASI BERAT

1. Keadaan Umum Baik Rewel, gelisah, lemah. Apatis, tidak sadar

2. Mata Tidak cekung Cekung & kering Sangat cekung,

3. Air Mata Jika menangis masih ada Jika menangis tidak ada Jika menangis tidak ada

4. Bibir Tidak kering Kering Sangat kering

5. Rasa Haus Tidak merasa haus Haus sekali, jika diberi minum rakus. Tidak bisa minum

6. Cubitan Kulit Jika dicubit cepat kembali Jika dicubit kembali lambat dicubit kembali sangat lambat.

E. PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE

a. Mencegah terjadinya dehidrasi

b. Mengobati Dehidrasi

c. Memberi makanan

d. Mengobati masalah lain

CARA MELAKUKAN REHIDRASI

DERAJAT

DEHIDRASI KELOMPOK USIA JENIS CAIRAN VOLUME ml/kg BB WAKTU

RINGAN Semua kelompok Oral 50 Tiap 4 jam

SEDANG Semua kelompok Oral 70 Tiap 4 jam

BERAT Anak Intra vena 70 Tiap 3 jam

BERAT dan SYOK Semua kelompok Intra vena 70 - 100 Tiap 4 jam
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL

1. Ketidakseimbangan volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan
cairan melalui diare dan intake yang tidak adekuat

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningakatan


peristaltik usus yang menyebabkan waktu penyerapan menurun

3. Resiko infeksi

4. Ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan kehilangan elektrolit melalui tinja / diare

5. PK : Hipo/hipernatremi

6. PK : Hipe/hiperkalemi

7. Resiko kerusakan intergritas kluit

8. PK : Asidosis Metabolik

ASKEP berdasar NANDA, NIC dan NOC

1. Kekurangan Volume cairan (penurunan cairan intravaskuler, interstisiil, dan / atau intraseluler. Ini
mengarah ke dehidrasi, kehilangan cairan dengan pengeluaran sosium)

Batasan Karakteristik : Kelemahan, Haus, Penurunan turgor kulit/lidah, Membran mukosa/kulit


kering, Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi,
Pengisian vena menurun, Perubahan status mental, Konsentrasi urine meningkat, Temperatur tubuh
meningkat, Hematokrit meninggi, Kehilangan berat badan seketika (kecuali pada third spacing)

b/d :Kehilangan volume cairan secara aktif , Kegagalan mekanisme pengaturan

NOC

- Fluid Balance

- Hydration

- Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Kriteria Hasil :

Keseimbangan urin out put lebih dari 1300 mL/hari (paling sedikit 30 mL/jam)

Tekanan darah, nadi, dan suhu normal

Turgor kulit baik, membran mukosa dan lidah lembab, orientasi tempat, waktu, dan orang baik
Pasien mampu untuk mencegah dan mengatasi kehilangan cairan

NIC :

1. Fluid Management (Manajemen Cairan)

2. Fluid Monitoring (Monitor Cairan)

- Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan ( Hipertermia, terapi diuretik,
kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )

- Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi

- Monitor berat badan

- Monitor serum dan elektrolit urine

- Monitor serum dan osmilalitas urine

- Monitor BP- Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung

- Monitor parameter hemodinamik infasif

- Catat secara akutar intake dan output

- Monitor membran mukosa dan turgor kulit, serta rasa haus

- Catat monitor warna, jumlah dan

- Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan penambahan BB

- Monitor tanda dan gejala dari odema

- Bari cairan sesuai keperluan

- Beri obat yang dapat meningkatkan output urin

- Lakukan hemodialisis bial perlu dan catat respons pasien

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.(kurang dari kebutuhan ( keadaan


dimana individu mengalami intake nutrisi yg kurang dr kebutuhan tubuh utk memenuhi kebutuhan
metabolic)

b/d ketidakmampuan menelan, peny kronik, intoleransi makanan, kesulitan mengunyah, mual +
muntah,hilang nafsu makan.

NOC :
Nutritional Status

Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Nutritional Status : Nutrient Intake

Weight Control

Kriteria Hasil :

Adanya peningkatan berat badab sesuai dengan tujuan

Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan

Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

NIC :

1. Pengelolaan gangguan makan

2. Bantu kenaikan status peningkatan BB

3. Nutrition management (Manajemen nutrisi)

Kaji adanya alergi makanan

Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.

Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe

Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C

Berikan substansi gula

Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)

Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.

Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi


4. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

5. Nutrition monitoring (Monitor nutrisi)

BB pasien dalam batas normal

Monitor adanya penurunan berat badan

Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan

Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan

Monitor lingkungan selama makan

Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan

Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi

Monitor turgor kulit

Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah

Monitor mual dan muntah

Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht

Monitor makanan kesukaan

Monitor pertumbuhan dan perkembangan

Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva

Monitor kalori dan intake nuntrisi

Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.

Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet

3. Resiko infeksi (peningkatan resiko masuknya organisme patogen)

Faktor-faktor resiko : Prosedur Infasif, Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan


patogen, Trauma, Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan, Ruptur membran
amnion, Agen farmasi (imunosupresan), Malnutrisi, Peningkatan paparan lingkungan patogen ,
Imonusupresi ,Ketidakadekuatan imum buatan, Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon inflamasi), Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh,
trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan
peristaltik), Penyakit kronik

NOC:
Pengetahuan:Kontrol infeksi

- Menerangkan cara-cara penyebaran infeksi

- Menerangkan factor-faktor yang berkontribusi dengan penyebaran

- Menjelaskan tanda-tanda dan gejala

- Menjelaskan aktivitas yang dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi

Status Nutrisi

- Asupan nutrisi, Asupan makanan dan cairan, Energi, Masa tubuh, BB

Risk Control

- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

- Jumlah sel darah putih dalam batas normal

- Menunjukkan perilaku hidup sehat (menjaga kebersihan) seperti mencuci tangan,

perawatan mulut, dan lain-lain

NIC:

1. Infection Control (Kontrol Infeksi)

- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

- Pertahankan teknik isolasi

- Batasi pengunjung bila perlu

- Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
meninggalkan pasien

- Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan

- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan

- Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

- Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat


- Ganti letak IV perifer & line central &dressing sesuai dg petunjuk umum

- Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing

- Tingktkan intake nutrisi

- Berikan terapi antibiotik bila perlu

2. Infection Protection (Proteksi terhadap Infeksi)

- Monitor tanda dan gejala infeksi sistenikmdan lokal

- Monitor hitung granulosit, WBC, Monitor kerentanan terhadap infeksi

- Batasi pengunjung, Saring pengunjung terhadap penyakit menular

- Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

- Pertahankan teknik isolasi k/p, Berikan perawatan kuliat pada area epidema

- Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase

- Ispeksi kondisi luka / insisi bedah, Ambil kultur

- Dorong masukkan nutrisi yang cukup

- Dorong masukan cairan, Dorong istirahat

- Monitor perubahan tingkat energi, Dorong peningkatan mobilitas dan latihan

- Dorong batuk dan napas dalam

- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

- Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi, Ajarkan cara menghindari infeksi

- Batasi buah segar, sayuran dan merica pada pasien nertipenia

- Jauhkan bunag dan tanaman dari lingkungan pasien, Berikan ruangan pribadi, Yakinkan keamanan
air dengan hiperklorinasi dan pemanasan

- Laporkan kecurigaan infeksi, Laporkan kultur positif

DAFTAR PUSTAKA
Asri, Sekar. 2007. Diare.
http://sekarasri.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=19&artid=171. Diakses pada
November 2007

Anonim. Diare Mendadak dan Penanganannya. http://www.infoibu.com/tipsinfosehat/diare.htm.


Diakses pada November 2007

_______. Diare. http://id.wikipedia.org/wiki/Diare. Diakses pada November 2007. Diakses pada


November 2007

NANDA, NIC dan NOC

TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II

DEMAM TYPHOID
Disusun Oleh :

Ria Artiani Umy Kartika

Rina Astutia N Nurfitriana

Dian Okti I Prasetyo Yuni L

Diah Indriasih Syaeful Febrianto

Ria Novita R Novianenci

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO

2007

DEMAM TYPHOID

Pengertian

Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut disebabkan oleh infeksi kuman gram negatif Salmonella
typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan
secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.

Klasifikasi Demam Tipoid

1. Demam Tifus Murin ( endemik)

Yaitu demam akut yang disebabkan oleh Rickettsia atau Mooseri dan ditularkan kepada manusia
oleh tinjal. Demam selama 9 – 14 hari, sakit kepala, ruam makulopapula pada hari ke 3 sampai 5,
dan mialgia. Tifus Murin adalah salah satu riketsiosis yang paling jinak. Masa inkubasi berkisar antara
8-16 hari, dengan rata-rata 10 hari. Gambaran prodromal yang umum adalah sakit kepala, sakit
punggung, artralgia, dan rasa dingin. Mual, muntah, dan peningkatan sementara suhu tubuh dapat
mendahului awitan penyakit sesungguhnya. Perjalanan demam pada tifus murin biasanya
berlangsung selama kira-kira 12 hari pada orang dewasa, suhu tubuh berkisar antara 38,8 sampai 40
°C tetapi dapat mencapai 40,5 sampai 41,1 °C pada anak-anak.

2. Demam Tifus Epidemik ( yang ditularkan oleh tuma )

Yaitu tifus epidemik klasik merupakan penyakit demamyang berat yang disebabkan R.prowazekii dan
ditularkan kepada manusia melalui tuma tubuh. Sakit kepala hebat, demam berkelanjutan selama
kira-kira 2 minggu, munculnya makula pada kulit sekitar demam hari kelima, malaise, dan gangguan
saraf dan pembuluh darah menunjukkan gambaran klinis utama penyakit. Tifus epidemik
menyerupai tifus murin tetapi lebih berat. Setelah masa inkubasi sekitar 7 hari,awitan penyakit yang
mendadak berupa sakit kepala, rasa dingin, dan demam yang cepat mencapai puncak sebagai awal
penyakit.

3. Penyakit Brill-Zinsser (Tifus Rekrudesen)

Merupakan episode rekrudesen (kekambuhan penyakit setelah reda, selama beberapa


waktu).demamtifus epidemik yang muncul beberapa tahun kemudian setelah serangan awal.
R.prowazekii dapat diisolasi dari tuma yang mengambil makanan dari manusia selama fase aktif
penyakit.

4. Tifus Garukan (Scrub typhus)

Penyakit ini disebabkan oleh R.tsutsugamushi dan ditandai oleh lesi primer pada tempat gigitan
tungau yang terinfeksi. Demam selama kira-kira 2 minggu, ruam kulit yang muncul kira-kira pada hari
ke-5, dan munculnya aglutinin terhadap basil Proteus OX-K pada akhir minggu kedua. Antibiotik yang
serupa dengan yang digunakan untuk infeksi riketsia lainnya merupakan agen terapeutik yang
spesifik.
Etiologi

1. Disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu salmonella typhi, salmonella paratyphi A dan
salmonella Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain.demam disebabkan oleh
s.typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain.

2. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang
kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih.

3. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.

Patofisiologi

1. Setelah melalui asam lambung, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel
mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II

2. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer)


terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi
sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll

3. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya
salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler

Kuman S.Thypi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.Thypi kemudian menembus
ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S.Thypi masuk aliran darah melalui ductus
thoracicus. Kuman-kuman S.Thypi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.Thypi
bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semual
disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi
kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan
merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin
S.Thypi beperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal
pada jaringan tempat S.Thypi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.Thypi dan
endoktosinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang.

Patogenesis

Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi, dan dapat pula
dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urine, secret saluran nafas, atau
dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi
dalam dosis tertentu. Percobaan menyimpulkan bahwa jumlah kuman yang diperlukan untuk
menimbulkan penyakit adalah berkisar antara 1 juta dan 1 milyar.

Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan
sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Terbukti
dalam suatu penelitian bahwa S. typhi berhasil diisolasi dari jaringan tonsil penderita demam tifoid
ini, walaupun pada percobaan lain seseorang yang berkumur dengan air yang mengandung S.typhi
hidup ternyata tidak menjadi terinfeksi. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri
telan yang disebabakan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput
berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri,
kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui
saluran tuba eustachi ke telinga tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.

Di lambung organisme menemui suasana asam dengan pH rendah dimana kuman dimusnahkan.
Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap terjadinya infeksi.
Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme sampai di usus halus dan menemui dua
mekanisme pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus
karena faktor obat-obatan atau factor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan
timbulnya komplikasi. Flora normal usus berada di lapisan mukus atau menempel pada epitel
saluran cerna dan akan berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan
pertumbuhan, memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana asam serta
memproduksi zat antibakteria seperti colicin.

Di usus halus organisme dengan cepat menginvasi sel epitel dan tinggal di lamina propia. Proses
invasi dan penetrasi mikroorganisme ke dalam mukosa intestin ini merupakan proses yang sangat
penting dalam patogenesis deman tifoid.

Manifestasi Klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai
tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit
Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf
pusat, Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah,
serta tremor), nyeri abdomen.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga
pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

2. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali,
splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.

3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

KOMPLIKASI/PENYULIT

• Komplikasi intestinal yaitu,perforasi usus,perdarahan usus.

• Komplikasi ekstraintetstinal yaitu kardiovaskuler,darah, paru,hepar dan kandung kemih, ginjal,


tulang, neuropsikiatrik

• Otitis media, pnemoni, ensefalopati, syok, ileus, melena, ikterus, karditis, ISK. Termasuk penyulit
adalah relapse (kambuh), karier, perdarahan usus, perforasi, gangguan status mental berat.

LANGKAH DIAGNOSTIK
1. Amanesis

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu menetap atau remiten pada minggu kedua.
Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare.

2. Tanda klinik

3. Laboratorik

a. Leukopenia, anesonofilia

b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II,
air kemih minggu III

c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen
titer makin meninggi

d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan

e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M

4. Gejala gastrointestinal

5. Gejala saraf sentral

6. Identifikasi antibodi

PEMERIKSAAN FISIK

Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor),
hepatomegali, spenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan darah demam tifoid bervariasi bergantung pada masa sakit. Pada mulanya penderita
demam tifoid tidak mengalami anemia, tetapi pada pasien yang tidak mendapat antibiotik anemia
berkembang dengan cepat dan mencapai titik terendah pada minggu ketiga. Anemia disebabkan
karena kombinasi berbagai hal yaitu hemolisis, penekanan sumsum tulang, dan kehiloangan darah
akibat occult blood loss.

Jumlah leukosit bisa normal tapi bisa bervariasi antara 1.200 sampai 20.000 sel/mm3. Lekositosis
dapat timbul saat hari ke 7 sampai 10, kemudia berkembang menjadi lekopenia hingga mencapai
titik terparah pada minggu ketiga. Bila terjadi leukositosis bisa berasal dari bakteriemia, peritonitis
oleh karena perforasi usus, atau terjadi komplikasi ekstraintestinal lainnya. Hitung jenis leukosit
biasanya normal atau bergeser sedikit ke kiri. Besarnya pergeseran bergantung pada beratnya infeksi
dan efek regenerasi yang lebih besar dari efek degenerasi. Eosinofil dan basofil menghilang diikuti
dengan penurunan limfosit, secara bertahap eosinofil dan basofil muncul kembali diikuti
meningkatnya limfosit dan monosit setelah minggu kedua.

2. Pemeriksaan Uji Serologis

Pemeriksaan serologis untuk diagnosis demam tifoid adalah uji widal yang mengukur antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H. Dasar uji widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen S. typhi
dengan antibody yang terdapat pada serum penderita.

Nilai sensitifitas, spesifitas serta ramal reaksi widal sangat bervariasi dari satu laboratorium dengan
laboratorium lainnya. Disebut tidak sensitif karena adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan
positif tetapi tidak pernah dideteksi adanya antibody dengan uji ini. Bila dapat dideteksi adanya titer
antibodi sering titer naik sebelum timbul gejala klinis sehingga sulit untuk memperlihatkan
terjadinya kenaikan titer yang berarti. Disebut tidak spesifik oleh karena semua grup D Salmonella
mempunyai antigen O demikian juga grup A dan B Salmonella . Semua grup D Salmonella
mempunyai fase H antigen yang sama dengan S. typhi. Titer H tetap meningkat dalam waktu
sesudah infeksi.

Uji widal tidak dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid bila hanya
dilakukan satu kali saja, kenaikan titer widal pada satu seri pemeriksaan widal atau kenaikan titer 4
kali pada pemeriksaan berikutnya dapat membantu memastikan diagnosis demam tifoid.

3. Pemeriksaan Isolasi Kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi S. typhi. Isolasi dapat dilakukan dengan
melakukan biakan dari berbagai tempat dalam tubuh.

Biakan darah memberikan hasil positif Salmonella pada 40-80% penderita demam tifoid. Sensitivitas
biakan darah yang paling baik adalah selama minggu pertama sakit yakni memebrikan hasil positif
pada ≥ 80%.

Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil isolasi kuman, diantaranya jumlah kuman yang beredar
dalam darah dan faktor serum yang dapat menghambat atau membunuh kuman. Oleh karena itu
dalam tekhnik isolasi kuman harus diambil jumlah sampel darah yang cukup (5-10ml), dengan media
yang sesuai dan pengenceran yang cukup (1:8-10) sehingga faktor serum kadarnya lebih rendah dari
yang diperlukan untuk bakterisidal.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif,
medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu konsultasi
ke Divisi Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.

TERAPI

Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak rendah serat

Farmakologis :

Simtomatis
Antimikroba :

pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam

Alternatif lain :

1. Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol)

2. Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu

3. Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu

4. Sefalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram,
sefoperazon 2x1 gram

5. Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :

6. Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

7. Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

8. Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

9. Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari

10. Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

11. Kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan
kombinasi kloramfeniko 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram deksametason 3 x 5 mg

12. Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renjatan
septik

13. Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami renjatan septik
dengan dosis 3 x 5 mg

PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA

Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat


pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem,
azithromisin dan fluorokuinolon.

• Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral
atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi

• ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum
dapat minum obat, selama 21 hari, atau
• amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena
selama 21 hari, atau

• kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14
hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari
atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami
MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan
fluoroquinolon.

PENATALAKSANAAN PENYULIT

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik
menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan
(selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6
jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit
perforasi usus.

PENATALAKSANAAN EPIDEMIOLOGIS

Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan pemutusan transmisi dengan
pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman (”carrier”), sedangkan pencegahan dengan
melakukan immunisasi.

PENCEGAHAN

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi.
Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene
dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan
dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.Pada saat ini telah ada di pasaran
berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell)
tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek. Dua vaksin
yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar
subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin
pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular.
Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi
anti-Vi 1 µg/ml. Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated
atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia ≥ 5 tahun.
Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai
1 minggu sesudah imunisasi.

Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Tifus Abdominalis

Pengkajian
Pada pengkajian anak dengan tifus abdominalis dapat ditemukan timbulnya demam yang khas yang
berlangsung selama kurang lebih 3 minggu dan menurun pada pagi hari serta meningkat pada sore
dan malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor ujung dan tepinya
kemerahan, adanya meteorismus, terjadi pembesaran hati dan limfe, adanya konstipasi dan bahkan
bisa terjadi gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen,adanya bradikardia, mungkin
terjadi komplikasi seperti perdarahan usus halus, adanya perforasi usus, peritonitis, peradangan
pada meningen, bronkhopneumonia, dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
leukopenia dengan limfositosis relatif , pada kultur empedu ditemukan pada titer antibodi O lebih
besar atau sama dengan 1/200 dan H: 1/200

Diagnosis/Masalah Keperawatan

Diagnosis atau maslah keperawatan yang terjadi pada anak dengan tifus abdominalis adalah sebagai
berikut:

1. Imbalance nutrisi (kurang dari kebutuhan)

2. Hipertermia

3. Risiko terjadi komplikasi (cedera)

Rencana Tindakan Keperawatan

1. Imbalance nutrisi (kurang dari kebutuhan)

Hal ini disebabkan adanya asupan yang tidak adekuat oleh karena menurunnya nafsu makan akibat
proses patologis, maka tujuan keperawatannya diarahkan pada terpenuhinya kebutuhan nutrisi
pada anak.

Tindakan:

a. Berikan diet TKTP, cukup cairan, rendah serat, dan tidak mengandung gas.

b. Berikan ekstra susu atau makanan dalam keadaaan hangat.

c. Berikan makan mulai dari sedikit tetapi sering sehingga jumlah asupan terpenuhi.

d. Berikan nutrisi dalam bentuk makanan lunak untuk membantu nafsu makan.

e. Monitor perubahan berat badan,adanya bising usus, status gizi.

2. Hipertermia

Terjadinya hipertemia ini dapat disebabkan oleh adanya reaksi kuman Salmonella typhosa yang
masuk ke dalam tubuh. Untuk mengatasinya adalah dengan tujuan mempertahankan kondisi suhu
tubuh dalam batas normal dengan cara menurunkannya.

Tindakan:
a. Monitor perubahan suhu tubuh, denyutan nadi

b. Lakukan tindakan yang dapat menurunkan suhu tubuh seperti lakukan kompres,berikan pakaian
tipis untuk memudahkan proses penguapan.

c. Berikan antipiretik dan antibiotik sesuai dengan ketentuan.

d. Libatkan keluarga dalam perawatan serta ajari cara menurunkan suhu dan mengevaluasi
perubahan suhu tubuh.

3. Risiko Terjadi Komplikasi (Cedera)

Risiko terjadi cedera dalam hal ini adalah adanya komplikasi lebih lanjut dari tifus abdominalis ini
seperti adanya perdarahan,perforasi, tukak daerah mukosa yang dapat mengganggu sistem dalam
tubuh oleh karena kemampuan kuman dalam merusak sistem serta adanya penurunan daya tahan
tubuh. Tujuan dari rencana keperawatan adalah mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.

Tindakan:

a. Berikan istirahat yang cukup selama demam, dan lakukan mobilisasi setelah 2 minggu bebas panas
mulai dari duduk.

b. Monitorlah adanya tanda komplikasi.

c. Berikan antibiotik sesuai dengan ketentuan.

d. Libatkan keluarga dalam perawatan dan ajari cara melakukan perawatan secara aseptik.

DAFTAR PUSTAKA

Asdie,Ahmad H. 1999. Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Hidayat,Aziz Alimul A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika

Kaspan , M. Faried, Widodo Darmowandowo. Demam Tifoid


http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&h
tml=07110-fkxu277.htm

Manjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUIK

Rampengan, T.H. 1993. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC.

Soegijanto, Soegeng. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan Edisi 1. Jakarta:
Salemba Medika.
APENDISITIS

Oleh:

Kelompok V

Farida N N1A005004

Atika Dhiah N1A005011

Syafirial Uzaldy N1A005019

Meisa Agustin N1A005020

Ryan Hara. P N1A005029

M. Ghofur Feizal N1A005038


Eka Rehatiningrum N1A005045

Cecilia Rosqiah N1A005054

Ari Nurlaeli N1A005057

Sulastini N1A005062

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007

APPENDISITIS

1. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu (apendiks), atau radang pada appendiks vermiformis
yang terjadi secara akut. Usus buntu merupakan penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang
terdapat di usus besar, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus halus. Usus buntu mungkin
memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting. Apendiks
atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti, namun sering
menimbulkan keluhan yang mengganggu. Apendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6 – 9
cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan
selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat
mempermudah timbulnya apendisitis (radang pada apendiks). Di dalam apendiks juga terdapat
imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang banyak terdapat di dalamnya adalah Ig A.
Selain itu pada apendiks terdapat arteria apendikularis yang merupakan end-artery. Apendisitis
sering terjadi pada usia antara 10-30 tahun.
2. Penyebab

Penyebab apendisitis belum sepenuhnya dimengerti. Pada kebanyakan kasus, peradangan dan
infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila
peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pecah. Usus buntu yang pecah bisa
menyebabkan:

• Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal

• Terbentuknya abses

• Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada
saluran yang bisa menyebabkan kemandulan

• Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.

Selain itu banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi
pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya
timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing
dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen
apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.

3. Manifestasi Klinis

Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara samar (nyeri tumpul) di
daerah sekitar pusar. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri
itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu
nyeri pd titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan seperti
batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri yang bertambah saat terjadi
pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara visera yang meradang sehingga menimbulkan
rangsangan peritonium. Selain nyeri, gejala apendisitis akut lainnya adalah demam derajat rendah,
mules, konstipasi atau diare, perut membengkak dan ketidakmampuan mengeluarkan gas. Gejala-
gejala ini biasanya memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran gejala-gejala ini tidak
terlalu penting dalam menambah kemungkinan apendisitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-
gejala ini tidak akan mengurangi kemungkinan apendisitis.

Pada kasus apendisitis akut yang klasik, gejala-gejala permulaan antara lain :

• Rasa nyeri atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus ( nyeri tumpul ). Beberapa jam kemudian
nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan disekitar titik Mc
Burney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan merasakan
sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang
dirasakan tergantung juga pada letak apendiks, apakah di rongga panggul atau menempel di
kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat. Nyeri perut juga akan dirasakan
bertambah oleh penderita bila bergerak, bernapas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat
batuk dapat terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen.
• Muntah, mual ,dan tidak ada nafs umakan. Secara umum setiap radang yang terjadi pada sistem
saluran cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai muntah. Meskipun pada kasus apendisitis
ini, tidak ditemukan mekanisme pasti mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.

• Demam ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan terasa sangat lelah

Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam, terutama jika kausanya
adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh lapisan dinding apendiks. Demam ini muncul
jika radang tidak segera mendapat pengobatan yang tepat.

• Diare atau konstipasi. Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan peristaltik dari
usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing
oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut
melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang
keras ( fekolit ). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada beberapa keadaan, apendisitis
agak sulit didiagnosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih parah.

4. Patofisiologi

Patofisiologi appendicitis diawali dengan adanya sumbatan dan penyempitan lumen appendiks.
Adanya sumbatan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, termasuk diantaranya : fekolith,
hiperplasia jaringan limfoid submukosa, adanya parasit usus, corpua alenium, dan penyakit Crohn.
Sekresi mukus dalam lumen appendiks yang terus menerus terjadi menyebabkan lumen appendiks
distensi(tekanan intraluminar meningkat). Akibatnya akan memacu terjadinya iskemia jaringan,
pertumbuhan bakteri berlebihan, inflamasi/peradangan transmural dan mungkin juga biasa terjadi
perforasi. Peradangan mungkin juga bisa cepat menyebar ke peritoneum parietal dan struktur-
struktur yang berdekatan.Pada appendicitis kronis obstruksi lumen bersifat partial, jika obstrukasi
partial ini berubah menjadi total maka akan berkembang menjadi appendicitis akut.

Appendicitis akut fokal :

Nyeri viseral ulu hati karena regangan mukosa

Appendicitis supuratif :

Nyeri pada ttk Mc Burney

Peritonitis lokal
Appendicitis Gangrenosa

Perforasi

Peritonitis umum

5. Komplikasi

Komplikasi paling serius adalah ruptur appendiks. Hal ini terjadi jika appendisitis terlambat
didiagnosis atau diterapi. Kasus ini paling sering terjadi pada bayi, anak, atau orang tua.

Bocornya appendiks dapat menyebabkan peritonitis dan pembentukan abses. Peritonitis adalah
infeksi berbahaya yang terjadi akibat bakteri dan isi appendiks keluar mencemari rongga perut. Jika
tidak diobati dengan cepat, peritonitis dapat berakibat kematian. Abses adalah massa lunak yang
berisi cairan dan bakteri, biasanya terbentuk sebagai upaya tubuh untuk melokalisir infeksi.

6. Pemeriksaan Diagnostik

1. Anamnesa

a. Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke Mc Burney).

b. Muntah (rangsang viseral).

c. Panas (infeksi akut)

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada inspeksi biasa
ditemukan distensi perut.

b. Palpasi

Kecurigaan menderita apendisitis akan timbul pada saat dokter melakukan palpasi perut dan
kebahagian paha kanan. Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri ( Blumberg sign ). Nyeri perut kanan bawah
merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

Status lokalis

Mc.burney :

Nyeri tekan (+)


Nyeri lepas (+) → rangsang peritoneum

Nyeri ketok (+)

Defens muskuler (+) →m.rektus abdominis

Rovsing Sign (+) → pada penekanan perut bagian kontra Mc.Burney (kiri) terasa nyeri di Mc.Burney
karena tekanan tersebut merangsang peristaltik usus dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak
dan menggerakan peritoneum sekitar appendix yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.

Psoas sign (+) → m.Psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik Mc. Burney (pada appendix
retrocaecal) karena merangsang peritoneum sekitar app yang juga meradang.

Obturator sign (+) → fleksi dan endorotasi articulatio costa pada posisi supine, bila nyeri berarti
kontak dengan m. obturator internus, artinya appendix di pelvis.

Peritonitis umum (perforasi) :

Nyeri di seluruh abdomen

Pekak hati hilang

Bising usus hilang

Rectal touche : nyeri tekan pada jam 9 – 12

c. Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk menentukan letak apendiks bila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan colok dubur kemudian terasa nyeri maka kemungkinan
apendiks penderita terletak didaerah pelvis.

7. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan


radiologi.

• Pemeriksaan laboratorium, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga apendisitis akut adalah
pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75
%.Sedang pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam
setelah inflamasi jaringan.

• Pemeriksaan radiologi, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga apendisitisakut antara lain
adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran dari saekum

8. Penatalaksanaan Medis

Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif. Ada dua teknik
operasi yang biasa digunakan :
• Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat ( sekitar 5 cm ) dibagian bawah kanan perut. Sayatan
akan lebih besar jika apendisitis sudah mengalami perforasi.

• Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat buah. Satu didekat pusar, yang lainnya
diseputar perut. Laparoskopi berbentuk seperti benang halus denagn kamera yang akan dimasukkan
melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan pada
monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan
untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan apendiks, pembuluh
darah, dan bagian dari apendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.

Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, diskontinuitas jaringan

2. Risiko infeksi b.d prosedur invasif

3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi

4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan

Intervensi

1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, diskontinuitas jaringan

Manajemen nyeri :

• Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.

• Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

• Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.

• Kaji kultur yang mempengaruhi nyeri.

• Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.

• Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan tentang keefektifan kontrol nyeri masa lampau.

• Bantu klien dan keluarga untuk mendapatkan dukungan

• Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
• Kurangi faktor presipitasi nyeri.

• Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)

• kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.

• Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..

• Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

• Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.

• Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

• monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :

• Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.

• Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.

• Cek riwayat algi.

• ilih analgesik yang dibutuhkan dam kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu.

• Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

• tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.

• Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.

• Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.

• Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

2. Risiko infeksi b.d prosedur invasif

Konrol infeksi :

• Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

• Pertahankan teknik isolasi.

• Batasi pengunjung bila perlu.

• Intruksikan kepada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan sesudahnya.
• Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.

• Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.

• Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.

• Cukur dan persiapkan daerah untuk persiapan prosedur infasif dan pembedahan.

• Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.

• Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.

• Tingkatkan intake nutrisi.

• berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi

• Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

• Monitor hitung granulosit dan WBC.

• Monitor kerentanan terhadap infeksi.

• Batasi pengunjung.

• Saring pengunjung terhadap penyakit menular.

• Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.

• Pertahankan teknik isolasi bila perlu.

• Berikan perawatan kulit pda area oedema.

• Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

• Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

• Ambil kultur.

• Dorong masukan nutrisi adekuat.

• Dorong masukan cairan adekuat.

• Dorong istirahat yang cukup.

• Monitor perubahan tingkat energi.


• Dorong peningkattan mobilitas dan latihan.

• Dorong batuk dan napas dalam.

• Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.

• Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.

• Ajarkan cara menghindari infeksi.

• Batasi buah segar, sayuran, dan merica pada pasien neutropenia.

• Jauhkan bunga dan tanaman dari lingkungan klien.

• Berikan ruang pribadi.

• Yakinkan keamanan air dan hiperklorinisasi dan pemanasan.

• Laporkan kecurigaan infeksi.

• Laporkan jika kultur positif.

Imunisasi vaksinasi :

• Ajarkan kepada keluarga tentang jadwal imunisasi, alsan dan manfaatnya serta efek samping.

• Ajarkan kepada keluarga tentang jenis vaksinasi yang sesuai dengan paparan tertentu.

• Berikan informasi tertulis jika perlu.

• Sediakan catatan tentang tanggal dan jenis imunisasi.

• Identifikasi tentang teknik administrasi yang tepat.

• Identifikasi rekpomendasi terbaru tentang manfaat imunisasi.

• Berikan injeksi pada paha anterolateral.

• Informasikan imunisasi untuk turis yang akan pergi keluar negeri.

• Identifikasi tentang kontra indikasi imunisasi.

• yakinkan informed concenst untuk pemberian imunisasi.

• Bantu keluarga dengan masalah keuangann untuk pembayaran imunisasi.

• Observasi klien setelah pemberian imunisasi.

• Restrain anak selama pemberian imunisasi.


• Jadwalkan imunisasi dalam selang waktu yang tepat.

3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi

• Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lama penyembuhan dan harapan kesembuhan.

• Berikan informasi secara jelas dan sederhana.

• Jelaskan setiap prosedur tindakan yang diberikan; maksud dan tujuan serta sikap yang diharapkan.

• Jelaskan istilah-istilah medis yang klien/keluarga belum mengetahuainya.

• Libatkan klien/keluarga dalam perencanaan dan program perawatan.

4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan

• Pantau tanda dan gejala dini defisit volume cairan

• Berikan obat antiemetik sesuai program.

• Berikan cairan sering dalam jumlah kecil untuk mendorong urinasi setiap 2 jam.

• Monitor respon pasien terhadap pemberian terapi cairan.

• Evaluasi pemberian terapi cairan dari respon yang muncul

• Pantau input dan output cairan, pastikan input dapat mengkompensasi output.

• Timbang BB setiap hari.

Daftar Pustaka

Carpenito,LJ, 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan
Masalah Kolaboratif, EGC, Jakarta.

Cecily L.Betz & Linda A. Sowden, 2001, Buku saku Keperawatan Pediatri, EGC, Jakarta.

Irga. 2007. Apendisitis Akut. www.irwanashari.blogspot.com.

Markum. A.H.1991, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

McCloskey J.C, Bulechek G.M, 1996, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby, St. Louis.

Nanda, 2001, Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2001-2002, Philadelphia.

NN. 13 Nopember 2007. Apendisitis (Radang Usus buntu). www.medika.blogspot.com.

Price & Wilson,1995, Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth. EGC;
Jakarta.

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

GAGAL NAFAS

KELOMPOK 1

Gina Meirawaty NIA005007

Nur Afip Alfian N1A005015

Rini Astuti N1A005021

Pandu Prabowo N1A005024

Ima Setya Ningrum N1A005031

Dyah Rofi P N1A005032

Yulia Fauziyah N1A005033

Yusep Abdul Latief N1A005034

Romantika Vesdita N1A005037

Rofiyana N1A005056
PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007

GAGAL NAFAS

A. Pengertian

Gagal nafas Adalah gangguan pada sistem pernapasan, karena gangguan primer pada paru atau
gangguan lain, hingga kebutuhan metabolisme tubuh tak dapat terpenuhi.

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah
normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah
ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).

Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen
dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung
“Harapan Kita”, 2001).

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh.
Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan
tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

B. Etiologi

1. Depresi Sistem saraf pusat

Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan
pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan
dangkal.

2. Kelainan neurologis primer

Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar
melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot
pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks

Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini
biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan
dapat menyebabkan gagal nafas.

4. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat
mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan
fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan
dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar

5. Penyakit akut paru

Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh
mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal
nafas.

C. Patofisiologi

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing
mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien
yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum penyakit timbul. Sedangkan
gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik,
emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut
biasanya paru-paru kembali ke asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang
ireversibel.

Indikator gagal nafas yaitu frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal
ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator
karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran
ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan
nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons
dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga
pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode post operatif dengan anestesi bisa terjadi
pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkan
atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pneumonia atau dengan penyakit paru-paru
dapat mengarah ke gagal nafas akut.

Mekanisme patofisologi yang menjadi dasar dari gagal nafas :


a. Perfusi tanpa ventilasi (shunting)

b. Dead space ventilasi (ventilasi tanpa perfusi)

c. Difusi abnormal

d. Hipoventilasi alveolar

Skema Patofisiologi Gagal nafas

(anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia,
Pneumonia dengan Peny. paru2)

Pusat pernapasan tertekan

Pernapasan lambat dan dangkal

Gagal nafas akut

D. Manifestasi Klinis

a. Kesadaran menurun dan agitasi

b. Peningkatan frekuensi napas, berupa: retraksi suprasternal, interkostal, supraklavikular dan


retraksi epigastrium, takipneu, pernapasan paradoks.

c. Sianosis

d. Takikardi

e. Bradipneu (dalam keadaan lanjut)

E. Faktor Presipitasi

a. Peningkatan volume, viskositas, dan purulensi dahak dapat menyebabkan peningkatan obstruksi
jalan nafas dan inflamasi dan sekresi jalan napas, khususnya yang berhubungan dengan dorongan
ventilasi yang relative menjadi tumpul, menyebabkan keadaan hipoksia semakin buruk dan
peningkatan retensi CO2

b. Pemakaian obat depresan

c. Serangan polusi udara

F. Komplikasi
a. Aritmia kordis

b. Takikardi supraventrikel multifokal

c. Gagal ventrikel kiri

d. Emboli paru

e. Perdarahan saluran makanan akibat ulserasi stress

G. Pemeriksaan

a. Pemerikasan gas-gas darah arteri

Hipoksemia

Ringan : PaO2 < 80 mmHg

Sedang : PaO2 < 60 mmHg

Berat : PaO2 < 40 mmHg

b. Pemeriksaan rontgen dada

Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

H. Penatalaksanaan

1. Non medikamentosa

Tujuan pengobatan kegagalan pernafasan adalah perbaikan pertukaran gas yang adekuat dengan
komplikasi minimum. Ini dicapai dengan pelenyapan factor-faktor pencetus secepat mungkin. Terapi
spesifik penyakit pencetus dan atau penyakit yang mendasari adalah sangat penting. Dengan
demikian kegagalan pernafasan yang disebabkan oleh edema paru kardiogenik diobati dengan obat-
obat inotropik dan diuretic. Anak dengan asma harus ditatalaksana dengan obat-obat bronkodilator
dan antiradang. Sayangnya, bahkan pada penyakit akut seperti ini, respon terhadap pengobatan
tidak terjadi segera dan seringkali keseluruhan fungsi system pernafasan harus didukung secara
artificial. Tujuan lain juga adalah membuat oksigenasi arteri adekuat, dengan meningkatkan perfusi
jaringan dan meniadakan penyebab dasar dari gagal nafas tersebut. Hipoksemia lebih berbahaya
daripada hiperkarbia dan mungkin lebih mudah dikoreksi. Pemberian tambahan oksigen merupakan
tindakan pencegahan yang aman dan bijaksana pada semua penderita yang beresiko kegagalan
pernafasan, walaupun tidak ada bukti awal hipoksemia. Oksigen dapat diberikan melalui masker,
kanulasi hidung, kerudung kepala, atau tenda. Masker biasanya dapat ditoleransi dengan baik
karena bayi dan anak ketakutan. Kerudung kepala memberikan kadar oksigen yang diinspirasi lebih
konsisten daripada alat lain apapun, tetapi kerudung ini besar dan membatasi akses ke penderita.
Karenanya, kerudung mempunyai pemakaian terbatas untuk pengobatan dini di dalam kamar gawat
darurat.

Indikasi untuk dukungan ventilasi pada anak dengan kegagalan pernapasan biasanya didasarkan
pada adanya atau semakin jeleknya pertukaran gas. Ventilasi mekanis diperlukan pada anak dengan
pneumonia yang berkembang hipoksemia dan hiperkarbia berat karena meski diberi terapi antibiotic
yang paling efektif pun masih memerlukan waktu. Kadang-kadang dukungan ventilasi harus
dilakukan bila tidak ada perubahan dalam PO2 dan PCO2 arteri ketika disfungsi system lain
membahayakan pertukaran gas dengan sangat membatasi kemampuan mengkompensasi system
pernapasan. Syok kardiovaskuler adalah contoh yang khas. Pada keadaan ini penurunan aliran darah
dan penghantaran substrat pada otot-otot pernapasan dapat mengurangi gaya yang dapat
berkembang pada otot-otot ini dan dapat mempercepat kegagalan pernapasan, walaupun tidak ada
kelainan mekanis system pernapasan yang berat.

Biasanya (terapi tidak selalu) dukungan ventilasi memerlukan intubasi trakea dengan pipa
endotrakeal atau yang jarang, dengan kanula trakeostomi. Tanpa memandang tipe ventilator, tujuan
tujuan ventilasi mekanis bukan untuk menormalisasi tekanan gas darah arteri, tetapi lebih tepatnya
adalah untuk memberikan pertukaran gas yang adekuat. Definisi adekuat telah sangat berubah.
Sekarang ada consensus yang beralasan pada mereka yang mengobati anak yang sakit berat bahwa
beberapa paru akibat oksigen dan regangan minimal. Hiperkarbia sedang (yang dibolehkan) (PCO2
60-80 mmHg) tidak mempunyai akibat negative yang dapat dideteksi selama masa yang pendek,
sebagian karena pengaruhnya pada pH arteri dikurangi melalui retensi bikarbonat ginjal. Hipoksemia
sedang (saturasi oksigen 85-90%) sama-sama ditoleransi dengan baik pada penderita jantung
dipertahankan pada batas-batas fisiologis dan keadaan-keadaan seperti demam dan agitasi, yang
meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan, dicegah. Ventilasi mekanis artificial biasanya dimulai
dengan ventilator pendorong volume biasa; ventilator pancaran frekuensi tinggi atau ventilator
osilator sering digunakan sebagai terapi penyelamatan jika ventilator biasa gagal memperbaiki
oksigenasi.

Oksigenasi membrane ekstrakorporal (extracorporal membrane oxygenation [ECMO]) dan atau


pembuangan karbondioksida digunakan pada pengobatan bayi baru lahir dan bayi kecil yang tidak
berespon pada ventilasi mekanis dan diharapkan sembuh dalam masa yang singkat. ECMO
menggunakan membrane artificial untuk mengatur kandungan oksigen dan karbondioksida darah
yang dialihkan dari vena sentral penderita. Darah yang diobati kemudian dikembalikan dengan
bantuan pompa artificial ke sirkulasi arteri (veno-arteri) atau ke vena (veno-venosa). Karena
risikonya (dari kanulasi vaskuler dan antikoagulasi) dan kenyataan bahwa manfaatnya dibandingkan
manajemen konvensional pada penderita non-neonatus belum dipergakan secara jelas, indikasi
untuk pertukaran gas ekstrakorporal harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Nitrit oksida
hirupan dapat memperbaiki oksigenasi secara cepat dengan mengurangi kenaikan tahanan vaskuler
pulmonal.

Berdasarkan hal diatas maka hampir selalu diawali dengan oksigenasi. Biasanya diberikan dalam
jumlah yang melebihi kebutuhan, tapi dapat diatur kembali dilain waktu. Pada orang dengan kadar
karbondioksida tinggi yang sudah kronis, oksigen yang berlebih bias memperlambat pergerakan
udara (ventilasi) ke dalam dan keluar paru-paru, hal ini justru makin meningkatkan kadar
karbondioksida sehingga sangat berbahaya. Oleh karena itu pada beberapa orang dosis oksigen
harus diberikan dengan hati0hati.

Penanganan gagal napas dapat dilakukan diantaranya antara lain:

• Antibiotic untuk melawan infeksi,

• Bronkodilator untuk membuka jalan nafas,

• Obat-obatan lain yang diberikan untuk menurunkan proses inflamasi dan mencegah pembekuan
darah,
• Ventilator mekanik; diberikan jika kondisinya sudah sangat sehingga membutuhkan bantuan dalam
usaha pernafasannya. Alat ini sangat berguna pada pasien yang tidak mampu bernafas secara
adekuat. Pipa plastic yang dimasukkan lewat mulut atau hidung (endotrakea tube) atau melalui
trakea (tracheostomy tube) disambungkan dengan mesin yang memaksa udara masuk ke dalam
paru. Sedangkan ekhalasi terjadi secara passive karena elastisitas paru-paru.

Terdapat beberapa tipe ventilator dan mode operasi yang digunakan tergantung dari jenis gangguan
yang ada. Jika paru-paru tidak berfungsi dengan baik, oksigen tambahan dapat diberikan melalui
ventilator. Pada orang yang tidak membutuhkan dukungan pernafasan secara penuh, masker
(menutupi mulut dan hidung) dapat digunakan untuk memberikan tekanan positif, sehingga
membantu meringankan usaha seseorang saat bernafas dan mencegah kelelahan otot-otot
pernafasan. Hampir setengah dari penderita gagal nafas menggunakan teknik ini (bi-level positive air
way pressure atau CPAP) untuk menghindari kebutuhan intubasi trakea. Penggunaan bi-level
positive air way pressure pada malam hari dapat membantu orang dengan gagal nafas karena
kelemahan otot pernafasan. Dengan begitu setelah istirahat semalaman, otot-otot pernafasan dapat
berfungsi lebih efektif pada siang hari.

• Jumlah cairan tubuh juga harus dimonitor secara ketat dan diatur untuk memaksimalkan fungsi
paru-paru dan jantung. Keasaaman darah harus dijaga keseimbangannya dengan mengatur frekuensi
dan ukuran/volume pernafasan yang diberikan melalui ventilator.

• Orang dengan ventilator dapat mengalami agitasi yang dapat dikontrok dengan obat sedasi
lorazepam, midazolam, atau opioid seperti morfin atau fentanyl,

• Infeksi bakteri yang dapat berkembang saat seseorang terpasang ventilator mekanik harus segera
didiagnosis dan diobati secepat mungkin.

2. Medikamentosa

Nama obat Sediaan Pemberian Dosis

Aminofilin Larutan 24 mg/ml intravena 4-6 mg/kg BB dalam 30 menit dilanjutkan dengan 0,8-0,9
mg/kg BB/jam

Epinefrin 1 mg/ml (1:1000) subcutan 0,001 mg/kg BB, Maks 0,03 mg

Salbutamol Larutan 0,5 % inhalasi 0,05-0,15 mg/kg BB

Terbutalin MDI (0,2 mg/puff)

Larutan 0,1 % inhalasi

subcutan 1-2 puff maks 6 mg


0,2 mg/kg BB, Maks 6 mg

Metil prednisolon Larutan 125 mg/mg intravena 1 mg/kg BB tiap 6 jam

I. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Airway

- Peningkatan sekresi pernapasan

- Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

b. Breathing

- Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.

- Menggunakan otot aksesori pernapasan

- Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis

c. Circulation

- Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

- Sakit kepala

- Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk

- Papiledema

- Penurunan haluaran urine

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan
yang efektif.

Kriteria Hasil :

Pasien menunjukkan

- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal

- Adanya penurunan dispneu


- Gas-gas darah dalam batas normal

Intervensi :

- Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.

- Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn

- Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg

- Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan kebutuhan

- Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau
kecendurungan penurunan PaO2

- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam

- Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk
mengoptimalkan pernapasan

- Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk

- Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir

- Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan
frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien
memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap


hipoventilasi

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas
yang adekuat

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan :

- Bunyi paru bersih

- Warna kulit normal

- Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :

- Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia

- Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat
kesadaran pada dokter.
- Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau
penurunan dalam PaO2

- Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.

- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam

- Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan

- Pantau irama jantung

- Berikan cairan parenteral sesuai pesanan

- Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

- Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.

c. Kelebihan volume cairan b.d edema pulmo

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan:

- TTV normal

- Balance cairan dalam batas normal

- Tidak terjadi edema

Intervensi :

- Timbang BB tiap hari

- Monitor input dan output pasien tiap 1 jam

- Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung

- Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP

- Monitor parameter hemodinamik

- Kolaborasi untuk pemberian cairandan elektrolit

d. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan curah jantung

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.

Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan

- Status hemodinamik dalam bata normal

- TTV normal

Intervensi :

- Kaji tingkat kesadaran

- Kaji penurunan perfusi jaringan

- Kaji status hemodinamik

- Kaji irama EKG

- Kaji sistem gastrointestinal

Daftar Pustaka

Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Isselbasher et al. 2000. Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

NN. Rabu, 4 Juli 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Nafas. http://keperawatan-
gun.blogspot.com/2007/07/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan.html. Diakses pada tanggal
30 November 2007.
NN. Senin, 8 Januari 2007. Memahami dan melakukan perawatan pada pasien dengan gagal nafas.
http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/01/memahami-dan-melakukan-perawatan-pada.html.
Diakses pada tanggal 30 November 2007.

NN. 7 Oktober 2006. Gagal Nafas Akut. http://puskesmaspalaran.wordpress.com/

NN. 1 Desember 2006. Gagal Nafas Akut. http://cakmoki86.wordpress.com/. Diakses Tanggal : 30


November 2007.
ANEMIA

Disusun Oleh :

M. Badrushshalih

Ferani Nusi C

Roisca Dyah P.

Triyadini

Puput Pangesti

Herta Vika

M. Zaky

Antony Kurniawan

Untung Imam S.
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2007

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (protein pembawa oksigen) menurun
sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan
oksigen dari darah berkurang.

Sumber yang lain mengatakan bahwa anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah,
kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah.

Dokter spesialis anak Djajadiman Gatot dari Divisi Hematologi Onkologi, Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
menyebutkan berkurangnya produksi sel darah merah karena kurang zat besi, asam folat dan vit
B12, perdarahan dan penghancuran sel darah merah (hemolisis) sebagai penyebab terbanyak
terjadinya anemia pada anak.

Menurut kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), seseorang sudah mengalami anemia bila kadar Hb
kurang dari 11 g/dl pada usia kurang dari enam tahun dan kadar Hb kurang dari 12 g/dl pada usia
lebih dari enam tahun.

Menurut Direktur Bina Kesehatan Anak Departemen Kesehatan, Rachmi Untoro, penyebab langsung
timbulnya anemia adalah asupan makanan yang tidak cukup dan infeksi penyakit seperti cacingan
dan malaria. "Penyebab tidak langsung adalah ketimpangan gender, sehingga tidak ada ketersediaan
pangan keluarga untuk ibu dan anak," katanya.

Survey yang dilakukan oleh Hellen Keller International di kawasan kumuh beberapa kota besar di
Indonesia menunjukkan bahwa 65% balita yang ada menderita anemia gizi besi (HKI, 1999). Menurut
Kodiyat (1995), prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia sebesar 63,5%, balita (55,5%),
anak usia sekolah (20 -40%), wanita dewasa (30 - 40%), pekerja berpenghasilan rendah (30 - 40%)
dan pria dewasa (20 - 30%). Jelas dapat diamati bahwa anemia (khususnya gizi besi) masih
merupakan "PR" besar yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia.
ANEMIA

Pengertian

Anemia secara garis besar merupakan gangguan pada komponen darah, hemoglobin (protein
pembawa oksigen), dimana kadar hemoglobin (Hb) tersebut menurun sehingga tubuh mengalami
hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.

Penilaian anemia ini tergantung pada usia dan jenis kelamin setiap individu. Adapun kriteria
penilaian maximum konsentrasi hemoglobin.

Sex/Age, Years Hemoglobin, < g/dL

Males and Females

1 to less than 2 11.0

2 to < 5 11.1

5 to < 8 11.5

8 to < 12 11.9

Males

12 to <15 12.5

15 to < 18 13.3

≥ 18 13.5

Females

12 to < 15 11.8

15 to < 18 12.0

≥ 18 12.0

Menurut Dacie nilai rujukan hemoglobin tergantung pada umur, jenis kelamin, ras, letak geografis,
metode pemeriksaan dengan nilai rujukan yang berbeda pula. Kriteria maksimum hemoglobin
menurut Dacie :
• BBL : 18 ± 4 g%

• 3-6 bl : 12,6 ± 1,5 g%

• 1 th : 12,6 ± 1,5 g%

• 2-6 th : 12,5 ± 1,5 g%

• 6-12 th : 13,5 ± 2 g %

• Dewasa wanita : 13,5 ± 1,5 g%

• Dewasa pria : 15 ± 2 g%

Klasifikasi

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya. Pada klasifikasi anemia
menurut morfologi dikenal tiga klasifikasi besar dengan memperhatikan kandungan MCV dan MCHC
dalam darah itu sendiri.

1. Anemia normositik normokrom

Pada anemia jenis ini ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin
dalam jumlah normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah) tetapi individu menderita
anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik
termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum dan penyakit-penyakit
infiltratif metastatik pada sumsum tulang.

2. Anemia makrositik normokrom

Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena
konsentrasi hemoglobinnya normal (MCV meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12
dan atau asam folat.

3. Anemia mikrositik hipokrom

Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari
normal (MCV rendah; MCHC rendah). Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem
(besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau
gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal congenital).

Sedangkan klasifikasi anemia menurut etiologinya adalah :

1. Anemia Pasca Perdarahan (Post Hemorrhagic)

Anemia Karena Perdarahan Hebat adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan hebat.

Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar pembuluh darah
sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer
dan persentase sel darah merah berkurang. Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah
merah akan memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika
timbul dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada :

Kecelakaan

Pembedahan

Persalinan

Pecahnya pembuluh darah.

Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulang-ulang), yang
bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh:

Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat

Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) : mungkin tidak
terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang merah di
dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan tersembunyi

Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih ; bisa menyebabkan ditemukannya darah
dalam air kemih

Perdarahan menstruasi yang sangat banyak.

Gejala

Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah:

a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang

b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen
berkurang.

Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian. Anemia yang
disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia bisa
tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:

Pingsan

Pusing

Haus

Berkeringat

Denyut nadi yang lemah dan cepat

Pernafasan yang cepat


Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa
menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bias
menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari
tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan
sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal. Jika darah hilang lebih lambat (dalam
beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volume darah tubuh
bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.

Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang terjadi. Satu-
satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang berat
adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan
harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak terlalu berat,
tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa
harus menjalani transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang
selama perdarahan. Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat
besi, biasanya dalam bentuk tablet.

2. Anemia Hemolitik

Anemia Hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah.
Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel
pemakan dalam sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya dan merusaknya. Jika suatu
penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha
menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali
kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan
terjadi anemia hemolitik.

Beberapa etiologi dari anemia hemolitik meliputi:

Pembesaran Limpa

Ketika terjadi pembesaran, limpa cenderung menangkap dan menghancurkan sel darah merah;
membentuk suatu lingkaran setan, yaitu semakin banyak sel yang terjebak, limpa semakin
membesar dan semakin membesar limpa, semakin banyak sel yang terjebak. Anemia yang
disebabkan oleh pembesaran limpa biasanya berkembang secara perlahan dan gejalanya cenderung
ringan.

Pembesaran limpa juga seringkali menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit dan sel darah putih.
Pengobatan biasanya ditujukan kepada penyakit yang menyebabkan limpa membesar. Kadang
anemianya cukup berat sehingga perlu dilakukan pengangkatan limpa (splenektomi).

Kerusakan Mekanik Sel Darah Merah

Dalam keadaan normal, sel darah merah berjalan di sepanjang pembuluh darah tanpa mengalami
gangguan. Tetapi secara mekanik sel darah merah bisa mengalami kerusakan karena adanya
kelainan pada pembuluh darah (misalnya suatu aneurisma), katup jantung buatan atau karena
tekanan darah yang sangat tinggi. Kelainan tersebut bisa menghancurkan sel darah merah dan
menyebabkan sel darah merah mengeluarkan isinya ke dalam darah. Pada akhirnya ginjal akan
menyaring bahan-bahan tersebut keluar dari darah, tetapi mungkin saja ginjal mengalami kerusakan
oleh bahan-bahan tersebut.

Jika sejumlah sel darah merah mengalami kerusakan, maka akan terjadi anemia hemolitik
mikroangiopati. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan pecahan dari sel darah merah pada
pemeriksaan contoh darah dibawah mikroskop. Penyebab dari kerusakan ini dicari dan jika mungkin,
diobati.

Reaksi Autoimun

Jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik
autoimun. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah, yang terikat dan bereaksi terhadap sel darah merah
sendiri. Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik
antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.

a. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat

Anemia hemolitik antibodi hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi
yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah
merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam
limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu
penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus
eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.

Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya
berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa
terasa nyeri atau tidak nyaman.

Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan


kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena, selanjutnya peroral.
Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut.
Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti
menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.

Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini
gagal, diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun.

b. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin

Anemia hemolitik antibodi dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi
yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia
jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.

Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau
mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan
menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama
penderita reumatik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun.

Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan
kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala. Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel
darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak
kebiruan) pada tangan dan lengan.

Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan
dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.

Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel
darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.

Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk
akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan
gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.

Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal.

Hemoglobinuria paroksismal nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang
menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem
kekebalan.

Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak (paroksismal), bisa
terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke
dalam darah. Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap (hemoglobinuria).

Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada jenis kelamin
apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri
punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan tungkai.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa menemukan adanya sel darah
merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini. Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid
(misalnya prednison).

Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan (obat yang mengurangi
kecenderungan darah untuk membeku, misalnya warfarin). Transplantasi sumsum tulang bisa
dipertimbangkan pada penderita yang menunjukkan anemia yang sangat berat.

Gejala

Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya. Kadang-kadang hemolisis terjadi
secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan:

Demam

Menggigil

Nyeri punggung dan nyeri lambung

Perasaan melayang
Penurunan tekanan darah yang berarti.

Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap

Hal ini bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah. Limpa
membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan
nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana
batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah.

Sferositosis Herediter

Sferositosis Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat. Sel darah
merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa menyebabkan
anemia dan pembesaran limpa. Anemia biasanya ringan, tetapi bisasemakin berat jika terjadi infeksi.

Jika penyakit ini berat, bisa terjadi:

sakit kuning (jaundice)

anemia

pembesaran hati

pembentukan batu empedu.

Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk
tulang, seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti mnara dan kelebihan jari tangan dan kaki.
Biasanya tidak diperlukan pengobatan, tetapi anemia yang berat mungkin memerlukan tindakan
pengangkatan limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi
jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki anemia.

Eliptositosis Herediter

Eliptositosis Herediter adalah penyakit yang jarang terjadi, dimana sel darah merah berbentuk oval
atau elips. Penyaki ini kadang menyebabkan anemia ringan, tetapi tidak memerlukan pengobatan.
Pada anemia yang berat mungkin perlu dilakukan pengangkatan limpa.

Defisiensi G6PD

Kekurangan G6PD adalah suatu penyakit dimana enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase)
hilang dari selaput sel darah merah. Enzim G6PD membantu mengolah glukosa (gula sederhana yang
merupakan sumber energi utama untuk sel darah merah) dan membantu menghasilkan glutation
(mencegah pecahnya sel). Penyakit keturunan ini hampir selalu menyerang pria. Beberapa penderita
yang mengalami kekurangan enzim G6PD tidak pernah menderita anemia.

Hal-hal yang bisa memicu penghancuran sel darah merah, yaitu:

Demam

infeksi virus atau bakteri


krisis diabetes

bahan tertentu (misalnya aspirin, vitamin K dan kacang merah) bisa menyebabkan anemia.

Anemia bisa dicegah dengan menghindari hal-hal tersebut. Tidak ada pengobatan yang dapat
menyembuhkan kekurangan G6PD.

THALASSEMIA

Thalassemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan
pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin.

Etiologi

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan
hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini,
seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka
orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.

Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena. 2 jenis yang utama adalah
Alfa-thalassemia (melibatkan rantai alfa) dan Beta-thalassemia (melibatkan rantai beta). Thalassemia
juga digolongkan berdasarkan apakah seseorang memiliki 1 gen cacat (Thalassemia minor) atau 2
gen cacat (Thalassemia mayor). Alfa-thalassemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam
(25% minimal membawa 1 gen), dan beta-thalassemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia
Tenggara. 1 gen untuk beta-thalassemia menyebabkan anemia ringan sampai sedang tanpa
menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar 10% orang
yang memiliki paling tidak 1 gen untuk alfa-thalassemia juga menderita anemia ringan.

Gejala

Semua thalassemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar penderita
mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat, misalnya beta-thalassemia mayor,
bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan
pembesaran limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran
tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah.
Anak-anak yang menderita thalassemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas
lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan
seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot
jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.

Diagnosa

Thalassemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya. Hitung jenis darah
komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular volume).
Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfa-thalassemia. Karena itu
diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan pemeriksaan hemoglobin khusus.
Terapi

Pada thalassemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat.
Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang
bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang.
Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.

Pencegahan

Pada keluarga dengan riwayat thalassemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk menentukan
resiko memiliki anak yang menderita thalassemia.

Beberapa hal yang menyebabkan penghancuran tersebut secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi :

Faktor intrasel

Misal talassemia, hemoglobinopatia (talassemia HbE, sickle cell anemia), sferositos congenital,
defisiensi enzim eritrosit (G-6PD, piruvat kinase, glutation reduktase).

Faktor ekstrasel

Misal intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompabilitas golongan darah, reaksi hemolitik pada
transfusi darah).

3. Anemia Defisiensi

Anemia defisiensi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah kekurangan faktor
pematangan eritrosit (besi, asam folat, vitamin B12, protein, piridoksin, eritropoetin, dan
sebagainya).

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Tanpa zat gizi dan hormon pematangan darah, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat
dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut
oksigen sebagaimana mestinya.

Penyakit kronik juga bisa menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah merah. Asupan
normal zat besi biasanya tidak dapat menggantikan kehilangan zat besi karena perdarahan kronik
dan tubuh hanya memiliki sejumlah kecil cadangan zat besi. Sebagai akibatnya, kehilangan zat besi
harus digantikan dengan tambahan zat besi.

Janin yang sedang berkembang menggunakan zat besi, karena itu wanita hamil juga memerlukan
tambahan zat besi. Makanan rata-rata mengandung sekitar 6 mgram zat besi setiap 1.000 kalori,
sehingga rata-rata orang mengkonsumsi zat besi sekitar 10-12 mgram/hari. Sumber yang paling baik
adalah daging. Serat sayuran, fosfat, kulit padi (bekatul) dan antasid mengurangi penyerapan zat
besi dengan cara mengikatnya.

Vitamin C merupakan satu-satunya unsur makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi.
Tubuh menyerap sekitar 1-2 mgram zat besi dari makanan setiap harinya, yang secara kasar sama
dengan jumlah zat besi yang dibuang dari tubuh setiap harinya. Terjadinya anemia karena
kekurangan zat besi. Anemia karena kekurangan zat besi biasanya terjadi secara bertahap, melalui
beberapa stadium.

a. Stadium 1

Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama
di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara
progresif.

b. Stadium 2.

Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se darah
merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit.

c. Stadium 3.

Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya lebih
sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.

d. Stadium 4.

Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat
pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik),
yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.

e. Stadium 5.

Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul gejala-gejala
karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk.

Etiologi

Tubuh mendaur ulang zat besi, yaitu ketika sel darah merah mati, zat besi di dalamnya dikembalikan
ke sumsum tulang untuk digunakan kembali oleh sel darah merah yang baru. Tubuh kehilangan
sejumlah besar zat besi hanya ketika sel darah merah hilang karena perdarahan dan menyebabkan
kekurangan zat besi seperti epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis

Makanan yang mengandung sedikit zat besi bisa menyebabkan kekurangan pada bayi dan anak kecil,
yang memerlukan lebih banyak zat besi untuk pertumbuhannya. Pada pria dan wanita pasca
menopause, kekurangan zat besi biasanya menunjukkan adanya perdarahan pada saluran
pencernaan. Pada wanita pre-menopause, kekurangan zat besi bisa disebabkan oleh perdarahan
menstruasi bulanan.

Gejala
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya.
Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu:

Pika : suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti es batu, kotoran atau kanji

Glositis : iritasi lidah

Keilosis : bibir pecah-pecah

Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.

Anamnesis

1. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :

Kebutuhan meningkat secara fisiologis

a. masa pertumbuhan yang cepat

b. menstruasi

c. infeksi kronis

a. Kurangnya besi yang diserap

i. asupan besi dari makanan tidak adekuat

ii. malabsorpsi besi

1. Perdarahan

a. Perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)

2. Pucat, lemah, lesu, gejala pika

Diagnosis

Kadar zat besi dan transferin (protein pengangkut zat besi yang berada di luar sel darah merah)
diukur dan dibandingkan. Jika kurang dari 10% transferin yang terisi dengan zat besi, maka
kemungkinan terjadi kekurangan zat besi. Tetapi pemeriksaan yang paling sensitif untuk kekurangan
zat besi adalah pengukuran kadar ferritin (protein yang menampung zat besi).

Kadar ferritin yang rendah menunjukkan kekurangan zat besi. Tetapi kadang kadar ferritin normal
atau tinggi walaupun terdapat kekurangan zat besi karena feritin kadarnya bisa meningkat pada
kerusakan hati, peradangan, infeksi atau kanker. Kadang diperlukan pemeriksaan yang lebih
memuaskan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksan yang paling khusus adalah pemeriksaan
sumsum tulang, dimana contoh dari sel diperiksa dibawah mikroskop untuk menentukan kandungan
zat besinya.

Pada pemeriksaan laboratorium Kadar Hb<10 g%, MCV<79C , MHCV<32%, mikrositik, hipokromik,
poikilositosis, sel target. Kurve price jones bergeser ke kiri. Leukosit dan trombisit normal.
Pemeriksaan sumsum tulang menunnjukan sistem eritropoetik hiperaktiv dengan sel normoblas
polikromatofil yang predominan. Dengan demikian terjadi maturation arrest pada tingkat normoblas
polikromatofil. Dengan pewarnaan khusus dapat di buktikan tidak terdapat besi dalam sumsum
tulang.

Serum iron (SSI) merendah dan iron binding capacity (IBC) meningkat (kecuali pada MEP, SI, IBC
rendah.

Diagnosa Banding

Anemia hipokromik mikrositik :

• Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :

• Hb A2 meningkat

• Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun

• Anemia karena infeksi menahun :

• biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik

• Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun

• Keracunan timah hitam (Pb)

• terdapat gejala lain keracunan P

• Anemia sideroblastik :

• terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang

Terapi

Langkah pertama adalah menentukan sumber dan menghentikan perdarahan, karena perdarahan
merupakan penyebab paling sering dari kekurangan zat besi. Mungkin diperlukan obat-obatan atau
pembedahan untuk:

Mengendalikan perdarahan menstruasi yang sangat banyak

Memperbaiki tukak yang mengalami perdarahan

Mengangkat polip dari usus besar

Mengatasi perdarahan dari ginjal.

Biasanya juga diberikan tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat besi mengandung ferosulfat,
besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap dengan maksimal jika diminum 30
menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet.
Kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam
dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan
dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek
samping yang normal dan tidak berbahaya. Biasanya diperlukan waktu 3-6 minggu untuk
memperbaiki anemia karena kekurangan zat besi, meskipun perdarahan telah berhenti. Jika anemia
sudah berhasil diperbaiki, penderita harus melanjutkan minum tablet besi selama 6 bulan untuk
mengembalikan cadangan tubuh.

Pemeriksaan darah biasanya dilakukan secara rutin untuk meyakinkan bahwa pasokan zat besi
mencukupi dan perdarahan telah berhenti. Kadang zat besi harus diberikan melalui suntikan. Hal ini
dilakukan pada penderita yang tidak dapat mentoleransi tablet besi atau penderita yang terus
menerus kehilangan sejumlah besar darah karena perdarahan yang berkelanjutan. Waktu
penyembuhan dari anemia yang diobati dengan tablet besi maupun suntikan adalah sama.

Pencegahan

Lebih banyak mengkonsumsi daging, hati dan kuning telur; juga tepung, roti dan gandum yang telah
diperkaya dengan zat besi. Jika makanan sehari-hari sedikit mengandung zat besi, maka harus
diberikan tablet besi.

Pemeriksaan Fisis

a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati

b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah

c. Takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung

Pemeriksaan Penunjang

1. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun

2. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik

3. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi menurun

4. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat

5. Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg


BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-
3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Asam askorbat 100 mg/15 mg besi elemental (untuk
meningkatkan absorbsi besi).
Bedah

Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum
Meckel.

Suportif

Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani
(limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya )

Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Pulmonologi, Gastro-Hepatologi,
Kardiologi )

PEMANTAUAN

Terapi

1. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu

2. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat

3. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya
konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa
pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

Tumbuh Kembang

1. Penimbangan berat badan setiap bulan

2. Perubahan tingkah laku

3. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahli
psikologi

4. Aktifitas motorik

Langkah Promotif/Preventif

Upaya penanggulangan diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu balita, anak usia sekolah, ibu
hamil dan menyusui, wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya
pencegahan efektif untuk menanggulangi adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya
pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya yaitu berupa penyuluhan kesehatan,
memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang
pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.

ANEMIA DEFISIENSI VITAMIN B12

Anemia Defisiensi Vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah anemia megaloblastik yang disebabkan
oleh kekurangan vitamin B12. Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan vitamin B12 dan asam
folat untuk menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satu darinya, bisa terjadi anemia
megaloblastik.

Pada anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan abnormal
(megaloblas). Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal. Anemia megaloblastik paling
sering disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat dalam makanan atau
ketidakmampuan untuk menyerap vitamin tersebut. Kadang anemia ini disebabkan oleh obat-obat
tertentu yang digunakan untuk mengobati kanker (misalnya metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil
dan sitarabin)

Etiologi

Penyerapan yang tidak adekuat dari vitamin B12 (kobalamin) menyebabkan anemia pernisiosa.
Vitamin B12 banyak terdapat di dalam daging dan dalam keadaan normal telah diserap di bagian
akhir usus halus yang menuju ke usus besar (ilium). Supaya dapat diserap, vitamin B12 harus
bergabung dengan faktor intrinsik (suatu protein yang dibuat di lambung), yang kemudian
mengangkut vitamin ini ke ilium, menembus dindingnya dan masuk ke dalam aliran darah. Tanpa
faktor intrinsik, vitamin B12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja.

Pada anemia pernisiosa, lambung tidak dapat membentuk faktor intrinsik, sehingga vitamin B12
tidak dapat diserap dan terjadilah anemia, meskipun sejumlah besar vitamin dikonsumsi dalam
makanan sehari-hari. Tetapi karena hati menyimpan sejumlah besar vitamin B12, maka anemia
biasanya tidak akan muncul sampai sekitar 2-4 tahun setelah tubuh berhenti menyerap vitamin B12.
Selain karena kekurangan faktor intrinsik, penyebab lainnya dari kekurangan vitamin B12 adalah :

a. Pertumbuhan bakteri abnormal dalam usus halus yang menghalangi penyerapan vitamin B12

b. Penyakit tertentu (misalnya penyakit Crohn)

c. Pengangkatan lambung atau sebagian dari usus halus dimana vitamin B12 diserap

d. Vegetarian.

Gejala

Selain mengurangi jumlah pembentukan sel darah merah, kekurangan vitamin B12 juga
mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan:

a. Kesemutan di tangan dan kaki

b. Hilangnya rasa di tungkai, kaki dan tangan

c. Pergerakan yang kaku.

d. Buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru

e. Luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar

f. Penurunan berat badan

g. Warna kulit menjadi lebih gelap


h. Linglung

i. Depresi

j. Penurunan fungsi intelektual.

Diagnosa

Biasanya, kekurangan vitamin B12 terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin untuk anemia. Pada
contoh darah yang diperiksa dibawah mikroskop, tampak megaloblas (sel darah merah berukuran
besar). Juga dapat dilihat perubahan sel darah putih dan trombosit, terutama jika penderita telah
menderita anemia dalam jangka waktu yang lama. Jika diduga terjadi kekurangan, maka dilakukan
pengukuran kadar vitamin B12 dalam darah. Jika sudah pasti terjadi kekurangan vitamin B12, bisa
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebabnya.

Biasanya pemeriksaan dipusatkan kepada faktor intrinsik :

Contoh darah diambil untuk memeriksa adanya antibodi terhadap faktor intrinsik. Biasanya antibodi
ini ditemukan pada 60-90% penderita anemia pernisiosa.

Pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu analisa lambung.

Dimasukkan sebuah selang kecil (selang nasogastrik) melalui hidung, melewati tenggorokan dan
masuk ke dalam lambung. Lalu disuntikkan pentagastrin (hormon yang merangasang pelepasan
faktor intrinsik) ke dalam sebuah vena. Selanjutnya diambil contoh cairan lambung dan diperiksa
untuk menemukan adanya faktor intrinsik.

Jika penyebabnya masih belum pasti, bisa dilakukan tes Schilling.

Diberikan sejumlah kecil vitamin B12 radioaktif per-oral (ditelan) dan diukur penyerapannya.
Kemudian diberikan faktor intrinsik dan vitamin B12, lalu penyerapannya diukur kembali. Jika
vitamin B12 diserap dengan faktor intrinsik, tetapi tidak diserap tanpa faktor intrinsik, maka
diagnosisnya pasti anemia pernisiosa.

Terapi

Pengobatan kekurangan vitamin B12 atau anemia pernisiosa adalah pemberian vitamin B12.
Sebagian besar penderita tidak dapat menyerap vitamin B12 per-oral (ditelan), karena itu diberikan
melalui suntikan. Pada awalnya suntikan diberikan setiap hari atau setiap minggu, selama beberapa
minggu sampai kadar vitamin B12 dalam darah kembali normal. Selanjutnya suntikan diberikan 1
kali/bulan. Penderita harus mengkonsumsi tambahan vitamin B12 sepanjang hidupnya.

Pencegahan

Jika penyebabnya adalah asupan yang kurang, maka anemia ini bisa dicegah melalui pola makanan
yang seimbang.

ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT


Anemia Defisiensi Asam Folat adalah suatu anemia megaloblastik yang disebabkan kekurangan asam
folat. Asam folat adalah vitamin yang terdapat pada sayuran mentah, buah segar dan daging; tetapi
proses memasak biasanya dapat merusak vitamin ini. Karena tubuh hanya menyimpan asam folat
dalam jumlah kecil, maka suatu makanan yang sedikit mengandung asam folat, akan menyebabkan
kekurangan asam folat dalam waktu beberapa bulan.

Etiologi

Kekurangan asam folat lebih sering terjadi dunia Barat dibandingkan dengan kekurangan vitamin
B12, karena disana orang tidak cukup memakan sayuran berdaun yang mentah.

a. Penderita penyakit usus halus tertentu, terutama penyakit Crohn dan sprue, karena terjadi
gangguan penyerapan asam folat.

b. Obat anti-kejang tertentu dan pil KB, karena mengurangi penyerapan asam folat

c. Wanita hamil dan wanita menyusui, serta penderita penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa,
karena kebutuhan akan asam folat meningkat

d. Peminum alkohol, karena alkohol mempengaruhi penyerapan dan metabolisme asam folat

Gejala

Orang yang mengalami kekurangan asam folat akan menderita anemia. Bayi, tetapi bukan orang
dewasa, bisa memiliki kelainan neurologis. Kekurangan asam folat pada wanita hamil bisa
menyebabkan terjadinya cacat tulang belakang (korda spinalis) dan kelainan bentuk lainnya pada
janin.

Diagnosa

Pada pemeriksaan apus darah tepi dibawah mikroskop akan ditemukan megaloblas (sel darah merah
berukuran besar). Jika ditemukan megaloblas (sel darah merah berukuran besar) pada seorang
penderita anemia, maka dilakukan pengukuran kadar asam folat dalam darah.

Pada pemeriksaan laboratorium kadar hemoglobin rendah dan gambaran darah tepi makrositik
(MCV lebih dari 96 C ), serta terdapat hipersegmentasi neutrofil. Aktivitas asam folat dalam serum
rendah ( normal 2,1-2,8 ng/ml) dan bila aktivitas asam folat lebih rendah dari 3 ng/ml, maka
pemeriksaan FIGLU dalam urine akan positif. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan
eritropoetik yang megaloblastik, granulopoetik, dan trombopoetik menunjukkan hipersegmentasi
dan sel raksasa.

Terapi

Diberikan tablet asam folat 1 kali/hari. Penderita yang mengalami gangguan penyerapan asam folat,
harus mengkonsumsi tablet asam folat sepanjang hidupnya.

Pencegahan

Menambah asupan makanan yang banyak mengandung asam folat. Untuk mencegah kekurangan
asam folat pada kehamilan, maka wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi tablet asam folat.
ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

Penyakit kronik sering menyebabkan anemia, terutama pada penderita usia lanjut. Keadaan-keadaan
seperti infeksi, peradangan dan kanker, menekan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
Karena cadangan zat besi di dalam tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru,
maka anemia ini sering disebut anemia anemia penggunaan ulang zat besi.

Etiologi

Pada semua penderita, infeksi (bahkan infeksi yang ringan) dan peradangan (misalnya artritis dan
tendinitis) menghambat pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang, sehingga jumlah sel
darah merah berkurang. Tetapi keadaan tersebut baru akan menimbulkan anemia jika sifatnya berat
atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronik).

Gejala

Karena anemia jenis ini berkembang secara perlahan dan biasanya ringan, anemia ini biasanya tidak
menimbulkan gejala. Kalaupun timbul gejala, biasanya merupakan akibat dari penyakit kroniknya,
bukan karena anemianya.

Diagnosa

Pemeriksaan laboratorium bisa menentukan bahwa penyebab dari anemia adalah penyakit kronik,
tetapi hal ini tidak dapat memperkuat diagnosis. Karena itu yang pertama kali dilakukan adalah
menyingkirkan penyebab anemia lainnya, seperti perdarahan hebat atau kekurangan zat besi.
Semakin berat penyakitnya, maka akan semakin berat anemia yang terjadi; tetapi anemia karena
penyakit kronik jarang yang menjadi sangat berat :

a. Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah) jarang sampai dibawah 25% (pada pria
normal 45-52%, pada wanita normal 37-48%)

b. Hemoglobin (jumlah protein pengangkut oksigen dalam sel darah merah) jarang sampai dibawah
8 gram/dL (normal 13-18 gram/dL).

Terapi

Tidak ada pengobatan khusus untuk anemia jenis ini, sehingga pengobatan ditujukan kepada
penyakit kronik penyebabnya. Mengkonsumsi tambahan zat besi tidak banyak membantu. Jika
anemia menjadi berat, mungkin diperlukan transfusi atau eritropoietin (hormon yang merangsang
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang).

Pencegahan

Dengan mengobati penyakit kroniknya, maka bisa dicegah terjadinya anemia. Penyakit Crohn sulit
diobati, sehingga penderitanya bisa mengalami anemia yang hilang timbul, tergantung keadaan
penderita.

4. Anemia Aplastik
Anemia aplastik terjadi bila sel yang memproduksi butir darah merah (terletak pada sumsum tulang
belakang) tidak dapat menjalankan tugasnya. Hal ini dapat terjadi karena infeksi virus, radiasi,
kemoterapi atau obat tertentu.

Patofisiologi

1. Defek sel induk hematopoetik

2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang

3. Proses imunologi

Anemia aplastik merupakan suatu gangguan yang mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang,
yang sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemia aplastik dapat kongenital
idiopatik (penyebabnya tidak diketahui) atau sekunder akibat penyebab-penyebab industri atau
virus. Individu dengan anemia aplastik mengalami pensitopenia atau kekurangan semua jenis sel-sel
darah.

Secara morfologis sel darah merah terlihat rendah atau tidak ada, dan biopsi sumsum tulang
menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasi nyata dan penggantian dengan
jaringan lemak. Pada sumsum tulang tidak dijumpai sel-sel abnormal. kompleks gejala anemia
aplastik disebabkan oleh derajat pansitopenia. tanda dan gejala meliputi anemia disertai dengan
kelelahan, kelemahan, napas pendek saat latihan fisik.

Tanda-tanda dan gejala lain diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan sel-sel darah putih. Defisiensi
trombosit dapat menyebabkan ekimosis dan petekie (perdarahan di dalam kulit), epistaksis
(perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan
sistem saraf pusat. Defisiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan infeksi,
termasuk infeksi bakteri, virus, dan jamur. Aplasia berat disertai penurunan atau tidak adanya
retikulosit, jumlah granulosit kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit kurang dari 20.000
menyebabkan kematian akibat infeksi.

Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :

a. Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan dapat diduga sebelumnya (obat-obat anti
tumor)

b. Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi tidak dapat diduga sebelumnya.

c. Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi)

Microenvironment :

Kelainan microenvironmet memegang peranan terjadinya anemia aplastik. Akibat radiasi, pemakaian
kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat menyebabkan microarchitecture mengalami sembab
yang fibrinus dan infiltrasi sel. Faktor humoral misalnya eritropoitin, ternyata tidak mengalami
penurunan.

Cell Inhibitors :
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan adanya T-limfosit yang menghambat
pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.

Gejala Klinis

Gejala-gejala timbul sebagai akibat dari :

a. Anemia : pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.

b. Leukopenia ataupun granulositopenia : infeksi bakteri, virus, jamur, dan kuman patogen lain.

c. Trombositopenia : perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lain-lain.

Hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik.

Pemeriksaan dan Diagnosis

Kriteria anemia aplastik yang berat

Darah tepi :

Granulosit < 500/mm3

Trombosit < 20.000/mm3

Retikulosit < 1,0%

Sumsum tulang :

Hiposeluler < 25%

Diagnosis Banding

a. Leukemia akut

b. Sindroma Fanconi : anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital.

c. Anemia Ekstren-Damashek : anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital

d. Anemia aplastik konstitusional tipe II

e. Diskeratosis kongenital

Penatalaksanaan

1. Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti :

a. Pemeriksaan rektal

b. Pengukuran suhu rektal


c. Tindakan dokter gigi

Pada tindakan-tindakan di atas, resiko infeksi bakteri meningkat

i. Simtomatik

ii. Anemia : transfusi sel darah merah padat (PRC)

iii. Perdarahan profus atau trombosit < 10.000/mm3 : transfusi trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat
meningkatkan jumlah trombosit 50.000/mm3)

iv. Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.

v. Transfusi leukosit (PMN)

vi. Efek samping : panas badan, takipnea, hipoksia, sembab paru (karena timbul anti PMN
leukoaglutinin)

vii. Kortikosteroid

Prednison 2 mg/kgBB/24 jam, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler, diberikan selama 4-6
minggu.

viii. Steroid anabolik

ix. Nandrolon dekanoat : 1-2 mg/kg/minggu IM (diberikan selama 8 -12 minggu)

x. Oksimetolon : 3-5 mg/kg/hari per oral

xi. Testosteron enantat : 4-7 mg/kg/minggu IM

xii. Testosteron propionat : ½ -2 mg/kg/hari sublingual

d. Efek samping :

i. Virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (revesibel sebagian bila obat dihentikan).

ii. Pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati, kolestasis.

iii. Hepatotoksik pada pemberian sublingual

iv. Transplantasi sumsum tulang :

Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama bagi anak-anak dan dewasa muda dengan
anemia aplastik berat. Hindari transfusi darah yang berasal dari donor keluarga sendiri pada calon
transplantasi sumsum tulang.

Komplikasi

a. Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang)


b. Infeksi

c. Perdarahan

prognosis

a. Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena perdarahan atas infeksi). Separuhnya meninggal dalam
waktu 3-4 bulan setelah diagnosis.

b. Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna atau parsial. Kematian terjadi dalam waktu yang
lama.

Manifestasi Klinis

Beberapa faktor dalam manifestasi klinis ini dipengaruhi oleh hal-hal berikut:

1. Penurunan kapasitas daya angkut oksigen dari darah serta kecepatan dari penurunannya

2. Derajat serta kecepatan perubahan dari volume darah;

3. Penyakit dasar penyebab anemianya;

4. Kapasitas kompensasi sistem kardiopulmonal.

Rendahnya kadar hemoglobin dari seorang penderita anemia bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan ada atau tidaknya keluhan dan gejala anemia. Ketika kadar hemoglobin cukup rendah
namun tidak terdapatnya penyakit lain dari sistem kardiopulmonal maka biasanya tidak akan ada
keluhan tetapi apabila ada kelainan koroner maka akan timbul keluhan angina pectoris akibat
hipoksianya.

Apabila turunnya kadar hemoglobin terjadi secara lambat-laun lalu akan terjadi kompensasi dari
sistem kardiopulmonal sehingga kadar hemoglobin yang tidak terlalu rendah biasanya tidak
menimbulkan keluhan.

Apabila penurunan kadar hemoglobin terjadi secara cepat seperti yang terjadi akibat suatu
perdarahan masif, keluhan bisa terjadi mendadak berupa suatu renjatan apabila perdarahannya
masif, atau hanya berupa hipotensi bahkan bisa tanpa gejala tergantung berat ringannya perdarahan
yang terjadi.

Penurunan kadar hemoglobin secara cepat akibat destruksi eritrosit (hemolisis) tentu disamping
keluhan kardiopulmonal akan disertai dengan tanda-tanda hemolisis seperti ikterus, hemoglobinemi,
hemoglobinuria dan lain-lain.

Anemia jenis apapun yang diderita, gejala yang menandainya sama, yaitu keletihan. Gejala lain yang
mungkin juga muncul adalah warna kekuning-kuningan pada kulit dan bagian putih mata, atau rasa
sakit pada tulang.

Kekurangan zat besi menimbulkan beberapa gejala yang tidak terlalu kelihatan jelas, seperti mudah
lelah, cepat capai bila berolahraga, sulit konsentrasi atau mudah lupa. Mengingat hal ini juga biasa
dialami oleh orang sibuk yang sehat dan tidak kekurangan zat besi sekalipun, maka gejala-gejala
seperti ini sering luput dari perhatian. Pada umumnya orang mulai curiga akan adanya anemia bila
keadaan sudah makin parah sehingga kelihatannya lebih jelas, seperti kulit pucat, jantung berdebar-
debar, pusing, mudah kehabisan nafas ketika naik tangga atau olahraga (karena jantung harus
bekerja lebih keras untuk memompa oksigen ke seluruh tubuh).

Anemia tidak menular, tetapi tetap berbahaya. Remaja berisiko tinggi menderita anemia, khususnya
kurang zat besi karena remaja mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam pertumbuhan,
tubuh membutuhkan nutrisi dalam jumlah banyak, dan di antaranya adalah zat besi. Bila zat besi
yang dipakai untuk pertumbuhan kurang dari yang diproduksi tubuh, maka terjadilah anemia.

Penderita mengeluh lemah, sakit kepala, telinga mendenging, penglihatan berkunang-kunang,


merasa cepat letih, sempoyongan, mudah tersinggung, menstruasi berhenti, libido berkurang,
gangguan saluran cerna, sclera ikterik, organ limpa membesar, sesak nafas (mula-mula nafas dalam,
lama-kelamaan nafas menjadi dangkal akhirnya payah jantung sampai syok), nadi lemah dan cepat,
hipotensi ortostatik serta tekanan darah sedikit naik sebagai akibat refleks penyempitan pembuluh
darah arteriola. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.

Komplikasi

Biasanya jarang terjadi komplikasi, tetapi anemia kekurangan besi sering kambuh kembali, sehingga
pemantauan yang teratur diperlukan. Anak dengan anemia kekurangan besi lebih mudah mengalami
penyakit infeksi

1. Merasa cepat lelah saat bekerja se1 hingga produktivitas juga menurun.

2. Karena jantung harus bekerja lebih keras untuk mengkompensasi kekurangan oksigen di dalam
darah akibat anemia, pada akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung.

3. Jika anemia terjadi akibat defisiensi B12, secara bersamaan juga bias terjadi kerusakan syaraf dan
gangguan fungsi otak. Karena vitamin B12 juga dibutuhkan untuk kesehatan saraf dan fungsi otak.

4. Bisa terjadi gangguan kosentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan
kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan perilaku.

5. Anemia dapat juga menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga terjadi penebalan
jantung sebelah kiri (LVH atau left ventricular hypertrophy) yang dapat berlanjut menjadi gagal
jantung.

Tatalaksana

Penderita baru dengan anemia tidak perlu dirawat inap bilamana tidak ada indikasi antara lain :

a. Keadaan umum jelek, gagal jantung (mengancam), dan ada perdarahan

b. Anemia berat : Hb < 7 gr %

c. Ada tanda-tanda keganasan atau penyakit lain dengan indikasi perlu perawatan

d. Diagnosis belum jelas dan perlu pemeriksaan intensif, khususnya untuk menemukan etiologi atau
penyakit primer

e. Perlu pemeriksaan dengan persiapan khusus


Tatalaksana penderita rawat inap tergantung pada jenis anemia dan etiologinya. Pasien dengan
anemia harus ditransfusi yaitu pada keadaan :

1. Sebelum operasi segera, jika Hb < 10 gr%

2. Pendarahan aktif

3. Tampaknya tidak ada terapi spesifik yang efektif

4. Selama terapi supresif sumsum tulang (missal kemoterapi)

5. Jika ada defek yang berkaitan dalam transfer oksigen (missal dekompensasi jantung atau
dekompensasi pernafasan)

6. Jika ada peningkatan kebutuhan oksigen

Pasien dengan anemia tidak boleh ditransfusi pada keadaan :

1. Anemia ringan pada pasien muda

2. Jika anemia dapat pulih kembali dalam waktu singkat

3. Sebagai “persiapan utama” preoperatif untuk operasi efektif, jika tersedia terapi definitive
(misalnya defisiensi besi)

4. Jika efek hemodilusi dari anemia mungkin menguntungkan (misalnya kehamilan anemia pada
penyakit kronis, penyakit vaskular).

Tatalaksana penderita rawat jalan pada prinsipnya serupa dengan penderita rawat inap, yaitu :

1. Medikamentosa tergantung dari jenis anemianya

2. Pengawasan keadaan klinis dan laboratories, dengan kemungkinan perlu dirawat inap atas
berbagai indikasi.

Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Anemia

Pengkajian Keperawatan

Pada pengkajian anak dengan anemia pada umumnya didapati tanda dan gejala seperti adanya
kelemahan otot, mudah lelah seperti sering beristirahat, napas pendek, kulit pucat, pika, kemudian
adanya gangguan pada system saraf seperti adanya sakit kepala, pusing, kunang-kunang, peka
terhadap rangsang, menurunnya lapang pandang (kabur), apatis, apabila sudah berat terjadi perfusi
perifer yang buruk, kulit lembab dan dingin, menurunnya tekanan darah serta adanya peningkatan
frekuensi jantung.

Pengkajian terhadap faktor penyebab didapati adanya riwayat diet yang salah (kurang kadar Fe),
makan pasta, makan tanah, dan lain-lain atau kurangnya komposisi makanan seperti banyak
makanan sayuran akan tetapi kurang daging; adanya faktor pertumbuhan yang cepat tidak diimbangi
dengan kebutuhan Fe yang banyak, adanya gangguan penyerapan Fe akibat berbagai penyakit
seperti penyakit usus; kemudian akibat pendarahan yang hebat yang menyebabkan kehilangan sel
darah merah atau kadar Hb akan menurun; dan lain hal sehingga memicu terganggunya kadar Fe
dalam darah.

Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya penurunan perfusi perifer, penurunan tekanan darah, dan
frekuensi jantung. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb dan jumlah eritrosit
menurun, kadar MCV, MCH dan MCHC menurun, kadar besi serum menurun, feritin serum darah
menurun atau rendah kurag dari 10-12 µg/L dan free erythroce porphyrin meningkat.

Diagnosa/Masalah Keperawatan

Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan anemia kurang besi adalah
sebagai berikut:

1. Intoleransi aktivitas

2. Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan)

3. Ansietas/cemas

Rencana Tindakan Keperawatan

a. Intoleransi Aktivitas

Masalah intoleransi aktivitas disebabkan oleh adanya kelemahan secara umum dan adanya
penurunan pengiriman kadar oksigen ke dalam jaringan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka
rencana yang yang dilakukan adalah mempertahankan aktivitas atau memberikan istirahat yang
cukup dan memperlancar pengiriman oksigen ke jaringan sehingga aktivitas dapat ditoleransi,
sehingga harapannya kondisi pernapasan cukup normal.

Tindakan:

a. Monitor tanda fisik seperti adanya takikardi, palpitasi, takipneu, dispneu, pusing, perubahan
warna kulit, dan lain-lain.

b. Bantu aktivitas dalam batas toleransi.

c. Berikan aktivitas bermain, pengalihan untuk mencegah kebosanan dan meningkatkan istirahat.

d. Pertahankan posisi fowler dan berikan oksigen suplemen.

e. Monitor tanda vital dalm keadaan istirahat.


b. Kurang Nutrisi (Kurang dari Kebutuhan)

Masalah kekurangan nutrisi dapat disebabkan karena adanya ketidakadekuatan masukan kadar Fe
atau kurang pengetahuan keluarga tentang pentingnya kebuthan kadar Fe dan juga dapat
disebabkan karena gangguan penyakit atau pertumbuhan.

Tindakan:

a. Berikan nutrisi yang kaya zat besi (Fe) seperti makanan daging, kacang, gandum, sereal kering
yang diperkaya besi.

b. Berikan susu suplemen setelah makan padat.

c. Berikan preparat bei peroral seperti fero sulfat, fero fumarat, fero sukinat, fero glukonat, dan
berikan antara waktu makan untuk meningkatkan absorpsi berikan bersama jus buah.

d. Ajarkan cara mencegah perubahan warna gigi akibat minum atau makan zat besi dengan cara
berkumur setelah minum obat, minum preparat dengan air atau jus jeruk.

e. Berikan multivitamin.

f. Jangan berikan preparat Fe bersama susu.

g. Kaji feses karena pemberian yang cukup akan mengubah fese menjadi hijau gelap.

h. monitor kadar Hb atau tanda klinis lain.

i. Anjurkan malanan beserta air untuk mengurangi konstipasi.

j. Tingkatkan asupan daging dan tambahkan padi-padian serta sayuran hijau dalam diet.

c. Ansietas/Cemas

Masalah ansietas atau kecemasan pada anak sering terjadi akibat kondisi tubuhnya, karena adanya
prosedur diagnosis atau juga tindakan transfusi, untuk itu diperlukan keterlibatan keluarga dalam
menurunkan stress emosional.

Tindakan:

1. Libatkan orang tua bersama anak dalam persiapan prosedur diagnosis.

2. Jelaskan tujuan pemberian komponen darah.

3. Antisipasi peka rangsang anak, kerewelan dengan membantu aktivitas anak.

4. Dorong anak untuk mengekspresikan perasaan.

5. Berikan darah, sel darah atau trombosit sesuai dengan ketentuan, dengan harapan anak mau
menerima.
REFERENSI

Anna.2007.Jangan Remehkan Anemia pada Anak.Terdapat dalam:


kompas.com/ver1/Kesehatan/0705/01/145600.htm

Anonim. 2007. Anemia Pada Anak (On-Line).Terdapat pada:


medlinux.blogspot.com/2007/09/anemia-pada-anak.html

Anonim. 2006. Anemia (On-Line). Terdapat pada: library.usu.ac.id/download/fk/ penydalam-


ida%20nensi.pdf

Anonim.2007.Atasi Anemia.Terdapat dalam://familiedyka.multiply.com/journal/ item/ 96/Tulisan.

Drosalina.2007.Oral Health is Key Through Body Health.Terdapat dalam:


drosalina.blogspot.com/2006/11/oral-health-is-key-through-body-health.

Drupadi, 2007. Anemia defisiensi besi.Terdapat dalam: 202.155.15.208/koran_


detail.asp?id=288725&kat_id=123

Hidayat, Aziz A.2006. Pengantar ilmu keperawatan anak. Penerbit Salemba Medika: Jakarta.

Price, Syilvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC.

Salma.2007.Anemia.Terdapat dalam: ummusalma.wordpress.com/2007/01/24/ anemia-defisiensi-


besi/

Sari,Arlinda Wahyuni.2004. Anemia Defisien Besi pada Balita. USU digital libraryLSumatra Utara.

Stoppard, Miriam. Panduan Penjagaan Kanak-kanak. Tropical Press, 1998. ms 52.Terdapat dalam:
ww.sabah.org.my/bm/nasihat/artikel_kesihatan/an…

Wikipedia.2007. Anemia. terdapat dalam: http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia

Lampiran
THALASEMIA

Disusun oleh :

KELOMPOK II

Agnes Fitria NIA005001

Ima Sukmawati N1A005012

Denty Budiarty N1A005013

Titis Aprilia N1A005014

Agus Aji P N1A005017

Bambang Aditya N1A005026

Elfira Wahyuni N1A005048


Maritha Widy P N1A005049

Yulia Rahmi N1A005059

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007

THALASEMIA

A. PENGERTIAN

Thalasemia atau yang disebut juga Anemia Cooley adalah suatu gangguan darah yang diturunkan,
ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin.

Terdapat dua tipe thalasemia utama yaitu:

1. Thalasemia Mayor ( Thalasemia homozigot ) adalah thalasemia yang menyebabkan seorang


anak tidak dapat menghasilkan hemoglobin normal.

• Gejala tidak tampak sampai hemoglobin janin pada anak sebagian besar diganti oleh hemoglobin
dewasa selama setengah tahun pertama.
• Mengakibatkan hipertrofi sumsum tulang, hemosiderosis ( deposit besi yang berlebihan pada
jaringan tubuh) , dan dekompensasi jantung yang dapat menyebabkan masalah serius

• Prognosis untuk penyakit tingkat sedang biasanya membaik, tetapi kebanyakan anak dengan
penyakit ini meninggal karena gagal jantung pada masa remaja atau masa dewasa muda.

2. Thalasemia Minor ( Thalasemia heterozigot) adalah anemia yang menyebabkan anak


menghasilkan baik hemoglobin beta defektif maupun hemoglobin normal.

• Gangguan ini adalah bentuk anemia minor dan tidak memerlukan penanganan.

B. ETIOLOGI

Kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh:

1. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS, HbF,
HbD dan sebagainya

2. Gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai globin seperti pada talasemia.

C. TANDA DAN GEJALA

Temuan pengkajian dari penyakit ini (Pillitery, 2002).

1. Thalasemia Mayor:

Pucat

Lemah

Anoreksia

Sesak napas

Peka rangsang

Tebalnya tulang kranial

Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali

Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang

Disritmia

Epistaksis
Sel darah merah mikrositik dan hipokromik

Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml

Kadar besi serum tinggi

Ikterik

Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan datar.

2. Thalasemia Minor

Pucat

Hitung sel darah merah normal

Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar normal

Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang

Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:

Gizi buruk

Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba

Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati. Limpa yang besar ini mudah ruptur karena
trauma ringan saja

Gejala khas adalah:

Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata lebar
dan tulang dahi juga lebar.

Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena
penimbunan besi.

D. PATOFISIOLOGI

a. Hemoglobin normal adalah terdiri dari dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpha dan dua
rantai beta.

b. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta dalam molekull hemoglobin,
sehingga ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen

c. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai beta memproduksi
secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektif. Ketidakseimbangan polipeptida
ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ni menyebabkan sel darah merah menjadi
hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
d. Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta dan gama
ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel
eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida
alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis.

e. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam
stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar
kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah
atau rapuh.

E. KOMPLIKASI

Akibat dari anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-
ulang dan hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun di
berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal ini dapat mengganggu
fungsi organ-organ tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah rupture akibat trauma
yang ringan. Kadang thalasemia disertai tanda hipersplenime seperti leukopenia dan trombopenia.
Komplikasi yang lain yaitu terganggunya pertumbuhan dan pubertas yang lambat. Kematian
terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Pillitery ( 2002) pemeriksaan diagnostic untuk thalasemia diantaranya:

• Hitung darah lengkap

• Angka retikulosit

• Fe serum dan TIBC (total iron-binding capacity)

• Aspirasi bone marrow (BMP)

G. MANAJEMEN TERAPI

Penatalaksanaan medis antaralain :

Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena,
namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu
lebih dari 12 jam.
Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang
hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi)

RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan

Tujuan & Kriteria Rencana Intervensi

1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen ke sel Setelah tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi jaringan
baik

Kriteria hasil:

- Tidak terjadi palpitasi

- Kulit tidak pucat

- Membran mukosa lembab

- Keluaran urine adekuat

- Tidak terjadi mual/muntah dan distensi abdomen

- Tidak terjadi perubahan tekanan darah

- Orientasi klien baik 1. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran
mukosa, dasar kuku.

2. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan hipotensi.

3. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi

4. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi gangguan memori, bingung.

5. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi.

6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium Hb, Hmt, AGD dll

7. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.

8. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam toleransi terhadap aktivitas meningkat
Kriteria hasil:

Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah
masihd alam rentang normal pasien. 1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat
kelelahan dan kesulitan dalam beraktivitas.

2. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.

3. Catat respon terhadap tingkat aktivitas.

4. berikan lingkungan yang tenang

5. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan

6. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.

7. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.

8. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.

9. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.

10. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi

11. Gunakan teknik penghematan energi misalnya mandi dengan duduk.

3 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna
atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan
sel darah merah normal. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5x24 jam masukan nutrisi
adekuat

Kriteria hasil:

- Menunjukkan peningkatan berat badan atau BB stabil

- Tidak ada tanda malnutrisi

1. kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.

2. Observasi dan catat masukan makanan pasien

3. Timbang BB tiap hari

4. Beri makanan sedikit tapi sering

5. Onservasi dan catat kejadian mual, muntah, flatus dan gejala lain yang berhubungan
6. Pertahankan higiene mulut yang baik

7. Kolaborasi dengan ahli gizi.

8. Kolaborasi pemeriksaan lab: Hb, Hmt, BUN, Albumin, transferin, protein, dll.

9. Berikan obat sesuai indikasi yaitu \vitamin dan suplemen mineral, pemberian Fe tidak dianjurkan

4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologis.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil:

Kulit utuh 1. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, eritema dan
ekskoriasi.

2. Ubah posisi secara periodik

3. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

5 Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb,
leukopenia atau penurunan granulosit Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 524 jam tidak
terjadi infeksi

Kriteria hasil:

- Tidak ada demam

- Tidak ada drainage purulen atau erotema

- Ada peningkatan penyembuhan luka

1. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan

2. Dorong perubahan ambulasi yang sering.

3. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat

4. Pantau dan batasi pengunjung.

5. Pantau tanda-tanda vital

6. Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik

6 Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah
interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 2x30 menit pengetahuan meningkat
Kriteria hasil:

- Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostik dan rencana pengobatan.

- Mengidentifikasi faktor penyebab

- Melakukan tindakan yang perlu/perubahan pola hidup. 1. berikan informasi tentang talasemia
secara spesifik

2. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya talassemia.

3. Rujuk ke sumber komunitas untuk mendapat dukungan secara psikologis.

4. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/deteksi dini keadaan janin melalui air
ketuban dan konseling pernikahan ; menganjurkan untuk tidak menikah dg sesama penderita
thalasemia, baik mayor ataupun minor

Daftar Pustaka

Ngastiyah ; 1997 ; Perawatan Anak Sakit; EGC ; Jakarta

Tucker, Susan Martin et al : 1998 ; Standar Perawatan Pasien-Proses Keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi ; Edisi V ; Volume 4 ; EGC ; Jakarta

Nelson ; 1995 ; Ilmu Kesehatan Anak ; Edisi 15 ; Volume 2 ; EGC ; Jakarta

Doenges, Marilynn E et al ; 1999 ; Rencana Asuhan Keperawatan ; Edisi 3 ; Jakarta


LEUKEMIA
Disusun Oleh :

Kelompok 3

Agung Ari. S N1A005005

Fendi Budi N1A005009

Ida Rahayu N1A005010

Eris Rimayanto N1A005023

Cecep Triwibowo N1A005025

Rahayu Nugrainai N1A005035

Marissa Wigianti N1A005040

Bejo Wahyu N1A005041

Itasari N1A005044

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO
2007

LEUKEMIA

1. Definisi

Leukemia adalah poliferasi sel lekosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain
dari pada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombisitopeni dan
diakhiri dengan kematian.

Leukemia adalah penyakit neoplasmik yang ditandai oleh poliferasi abnormal dari sel-sel
hematopoietik. (Virchow, 1847)

2. Etiologi

Walaupun sebagian besar penderita leukemia faktor-faktor penyebabnya tidak dapat diidentifikasi,
tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah:

a. Faktor genetik

Insiden leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom Down adalah 20 kali lipat lebih banyak dari
pada normal. Dari data ini, ditambah kenyataan bahwa saudara kandung penderita leukemia
mempuyai resiko lebih tinggi untuk menderita sindrom Down, dapat diambil kesimpulan pula bahwa
kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia akut. Dugaan ini diperkuat lagi oleh data
bahwa penderita leukemia garanulositik kronik dengan kromosom Philadelphia translokasi
kromosom 21, biasanya meninggal setelah memasuki fase leukemia akut.

b. Faktor lingkungan

Faktor-faktor lingkungan berupa kontak dengan radiasi ionisasi desertai manifestasi leukemia yang
timbul bertahun-tahun kemudian. Zat-zat kimia (misalnya, benzen, arsen, klorampenikol,
fenilbutazon, dan agen antineoplastik) dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat, khususnya agen-
agen akil. Leukemia juga meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau
kemoterapi.

c. Virus

Ada beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa virus sebagai penyebab leukemia
antaralain: enzyme reverse transcriptase ditenukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui, ensim ini ditemukan didalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe – C, yaitu jenis virus
RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.
3. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinik berkaitan dengan berkurangnya atau tidak adanya sel hematopoietik.

a. Peningkatan produksi seri granulosit yang relatif matang.

b. Rasa leleh, penurunan berat badan, anemia, rasa penuh dan sakit di perut dan mudah berdarah

c. Pada pemeriksaan fisis hampir 90% ditemukan splenomegali.

d. Nyeri tekan pada tulang dada dan hematomegali.

e. Poliferasi limfoblas abnormal alam susum tulang dan tempat-tempat ekstramedular.

f. Pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan kelenjar mediastinum.

g. Infiltrasi alat tubuh lain (paru, pleura, tulang, kulit)

4. Klasifikasi dan patofisiologi

Klasifikasi leukemia terdiri dari akut dan kronik, Klasifikasi kronik didasarkan pada ditemukannya sel
darah putih matang yang mencolok – granulosit (leukemia granulositik/mielositik) atau limfosit
(leukememia limfositik).

Klasifikasi leukemia akut menurut the French-American-British (FAB) Sbb:

Leukemia limfoblastik akut :

L-1 Leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak : pospulasi sel homogen

L-2 Leukemia limfositik akut tampak pada orang dewasa : populasi sel heterogen

L-3 Limfoma Burkitt-tipe leukemia : sel-sel besar, populasi sel homogen

Leukemia mieloblastik akut :

M-1 Deferensiasi granulisitik tanpa pematangan

M-2 Deferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium promielositik

M-3 Deferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan pembekuan
intravaskular tersebar (Disseminated intavascular coagulation)

M-4 Leukemia mielomonositik akut : kedua garis sel granulosit dan monosit

M-5a Leukemia monositik akut : kurang berdeferensiasi


M-5b Leukemia monositik akut : berdeferensiasi baik

M-6 Eritroblas predominan disertai diseritropoesis berat

M-7 Leukemia megakariosit

Leukemia dibagi menurut jenisnya kedalam limfoid dan mieloid. Masing-masing ada yang akut dan
kronik. Pada garis besarnya pembagian leukemia adalah sebagai berikut:

I. Leukemia mieloid

a. Leukemia granulositik kronik/LGK(leukemia mieloid/mielositik/ mielogenus kronik)

Adalah suatu penyakit mieloproliferatif karena sumsum tulang penderita ini menujukan gambaran
hiperselular disertai adanya proliferasi pada semua garis diferensiasi sel, yang ditandai dengan
produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang, jumlah garanulosit umumnya lebih dari
30.000/mm3 dan paling sering terlihat pada orang dewasa usia pertengahan tetapi juga dapat
timbul pada setiap kelompok umur lainnya.

Tamda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik yaitu kelelahan, kehilangan berat
badan, diaforesis meningkat dan tidak tahan panas, limpa membesar pada 90 % kasus yang
mengakibatkan penuh pda abdomen dan mudah merasa kenyang. Angka harapan hidup mediannya
sekitar 3 tahun, baik dengan pengobatan maupun tanpa pengobatan. Pengobatan dengan
kemoterapi intermiten ditujukan pada penekanan hematopoesis yang berlebihan dan mengurangi
ukuran limpa, berbagai penderita berkembang menjadi lebih progresif, fase resisten diseertai
dengan pembentukan mieloblas yang berlebihan (tansformasi blas). Kematian terjadi dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan setelah transformasi blas, transplantasi sumsum tulang dari
individu lain (allogenik) yang dilakukan pada fase kronik stabil penderita LGK memberikan suatu
harapan kesembuhan , walaupun morbiditas dan mortalitas selama transplantasi tetap tinggi.

b. Leukemia mielositik akut atau leukemia granulositik akut/ LGA (leukemia


mieloid/mielositik/granulositik/ mielogenus akut)

Merupakan neoplasma uniklonal yang berasal dari trasformasi suatu atau beberapa sel
hematopoietik. Sifat sebenarnya dari lesi molekular yang bertanggung jawab atas sifat-sifat
neoplasmik dari sel yang berubah bentuknya tidak jelas, tapi defek kritis adanya intrisik dan dapat
diturunkan oleh keturunan sel tersebut (Clarkson, 1988). Tanda dan gekala leukemia akut berkaitan
dengan netropenia dan trombositopenia, ini adalah infeksi berat yang rekuren disertai dengan
timbulnya tukak pada membren mukosa, abses perirektal, pneumonia, septikemia disertai
menggigil, demam, takikardia, dan takipnea. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang
dinyatakan dengan petekie dan ekimosis, epistaksis, hematoma pada membran mukosa, serta
perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kemih, tulang mungkin sakit dan lunak yang
disebabkan oleh infark tulang atau infiltrat periosteal. Anemia bukan merupakan manifestasi awal
disebabkan oleh karena umur eritrosit yang panjang (120 hari), jika terdapat anemia maka akan
terdapat gejala kelelahan, pusing dan dispnea waktu kerja fisik serta pucat yang nyata.

Diagnosis LGA ditegakan dengan melalui hitung jenis darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang
serta pemeriksaan kromosom. Hitung sel darah tepi dapat meninggi, normal atau menurun disertai
mieloblas dalam sirkulasi. Sumsum tulang hiperseluler disertai adanya kelebihan (50%) mieloblas
yang mengandung badan Auer. Perubahan metabolik juga terlihat disertai peningkatan asam urat
yang disebabkan oleh tingginya pergantian sel darah putih

II. Leukemia limfoid

a. Leukemia limfositik kronik

Merupakan suatu gangguan limfoproliferatifyang ditemukan pada kelompok umur tua (sekitar 60
tahun) yang dimanifestasikan oleh poliferasi dan akmulasi limfosit matang kecil dalam sumsum
tulang, darah perifer,dan tempat-tempat ekstramedular dengan kadar yang mencapai 100.000/mm3
atau lebih, limposit abnormal umumnya adalah limposit B.

b. Leukemia limfoblastik akut

Penyakit ini terdapat pada 20% orang dewasa yang menderita leukemia, keadaan ini merupakan
kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun denga puncak insidens
antara umur 3 dan 4 tahun. Manifestasi berupa poliferasi limfoblas abnormal dalam sumsum tulamg
dan tempat-tempat ekstramedular.

5. Pemeriksaan diagnostik

• Pemeriksaan Laboratorium

Gejala yang terlihat pada darah tepi berdasarkan pada kelainan sumsum tulang belakang berupa
adanya pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton
dan terdapat sel blast. Terdapatnya sel blast dalam tepi merupakan gejala patognomik untuk
leukemia. Kolesterol mungkin rendah, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobinemia. Dari
pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya akan ditemukan
sel limfopoietik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder). Pada LMA selain
gambaran yang monoton, terlihat pila adanaya hiatus leukemia ialah keadaan yang memperlihatkan
banyak sel blast (mieloblast), beberapa sel tua (segmen) dan sangat kurang bentuk pematangan sel
yang berada di antaranya (promielosit, mielosit, metamielosit, dan sel batang).

• Biopsi Limfa

Pemeriksaan ini memperlihatkan proloferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limfa
yang terdesak, seperti limfosit normal, RES, granulosit, dan pulp cell.

• Cairan Serebrospinalis

Bila terdapat peninggian jumlah sel patologis dan protein berarti suatu leukemia meningel. Kelainan
ini dapat terjadi setiap saat pada perjalanan penyakit baik dalam keadaan remisi maupun keadaan
kambuh. Untuk mencegahnya diberikan metotreksat (MTX) secara intratecal secara rutin pada
setiap pasien baru atau pasien yang menunjukan gejala tekanan intrakranial meninggi.

• Sitogenik

Pada kasus LMK 70-90% menunjukan kelaianan kromosom yaitu kromosom 21 (kromosom
Philadelphia atau ph 1). 50-70% dari pasien LLA dan LMA mempunyai kelaian berupa:
• Kelaianan jumlah kromosom seperti diploid (2n), hiploid (2n-a), hiperploid (2n+a)

• Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid

• Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)

• Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan kromosom
normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil

Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang ditemukan. Pada Leukemia
biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa limfositosis > 80% atau terdapat sel blast juga
diperlukan pemeriksaan darah sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan
terlihat adanya sel patologis.

6. Penatalaksanaan Medis

1. Transfusi darah, biasanya diberikan jika kadar Hb < 6 gr%. Pada trombositopenia yang berat dan
peradangan masif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat
diberikan heparin.

2. Kortikosteroid, setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan

3. Sitotatika, selain sitotstika yang lama pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten
seperti vincristin, rubidomosin, dan berbagai nama obat lainnya. Umumnya sititatika diberika dalam
kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberisn obst0obstsn in sering terdapat efek
samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, dan infeksi sekunder. Bila jumlah leukosit < 2000
mm3 pemberiannya harus hati-hati

4. Infeksi sekunder dihilangkan (lebih baik pasien dirawat dikamar suci hama)

5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah, imunoterapi mulai diberikan.

7. Pengobatan

a. Protokol pengobatan leukemia limfoblatik akut (LLA)

INDUKSI

Protokol Nasional Prancis LALA’ 87

Syarat : belum mendapatkan pengobatan sebelumnya, usia 60 tahun

Prednison : 60 mg/m²/oral (hari 1 s/d 22, tapp.of 22 s/d 28)

Vinkristin : 1,5 mg/ m²/IV, ( hari 1,8,15,22), dosis total tidak boleh lebih dari 2,5 mg/1x.

Cyclophosphanamide : 600 mg/ m²/IV, (hr 1,8)


Daunorubicin : 50 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)

Profilaksis CNS : Methotrexante: 12 mg/total/intratekal, (hr 1 atau 3,8,15,22,125,150)

b. Protokol pengobatan leukemia mieloblastik akut (LMA)

1) CHA (tidak termasuk Lam tipe M-3,FAB/progranulostik akut)

INDUKSI :

CCNU : 70 mg/ m²/oral, (hr 1)

Adriamycin : 35 mg/ m²/IV (hr 1,2,3 = 3 hari)

ARA-C : 100 mg/ m²/IV-continous, (hr 1s/d 10 = 10 hari)

2) LAM-VIII

INDUKSI : = LAM IV modified

3) LAM-IV modified

INDUKSI :

Daunorubicin : 45 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)

Cystosine arabinoside : 200 mg/ m²/IV-continous drip, (hr 1s/d 7)

MAINTENANCE :

kapsul

c. Protokol pengobatan leukemia granulosit kronik (LGK)

1) INDUKSI : bila leukosit 50.000/ml → myleran 6 mg/hr s/d leukosit 5 – 15.000 mg, kemudian
istirahat 3 minggu, selanjutnya teruskan dengan “maintenance”

2) Maintenance : Myleran

15.000 :

15-25.000 : 2 mg/hari (7 hari)

25-35.000 : 4 mg/hari (7 hari)

35.000 : 6 mg/hari (7 hari)

3) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) 500 mg (menurut AZL)

Dosis : 15-25 mg/kg BB dalam 2 jam dosis peroral


4) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) menurut “anjuran pembuat obat”

BB (kg) Terapi INTERMITEN

(80 mg/kg BB, setiap 3 hari

sebagai dosis tunggal) Terapi CONTINUOUS

(20-30 mg/kg BB, setiap hari dosis tunggal)

10 1 ½ kapsul ½ kapsul

15 2 kapsul 1 kapsul

10 3 kapsul 1 kapsul

10 5 kapsul 2 kapsul

10 6 kapsul 2 kapsul

10 8 kapsul 3 kapsul

10 10 kapsul 3 kapsul

10 11 kapsul 4 kapsul

10 13 kapsul 4 kapsul

10 14 kapsul 5 kapsul

100 16 kapsul 6 kapsul

Efek samping :

supresi sumsum tulang : leukopenia, terombositopenia, anemia.

Anoreksia, nausea, vomiting, nyeri kepala, pusing, stomatitis,alopesia, skin rash, melena, nyeri
perut, diorientasi, edema paru.

8. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

a. PK : Depresi sumsum tulang

b. PK : Leukositosis

c. PK : Keterlibatan SP

d. Risiko Infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan sekunder


e. Risiko terhadap cedera b.d bentuk darah abnormal, kecenderungan perdarahan sekunder
terhadap leukemia dan efek samping kemoterapi

f. Ketidakberdayaan b.d ketidakmampuan untuk mengontrol situasi, ketidakberdayaan gaya hidup

Daftar Pustaka

Behrman, Kliegman&Arvin, Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak vol.3 ed.15. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC.

NN. 4 Oktober 2007. Leukemia Mengintai Anak http://www.seputar-


indonesia.com/edisicetak/kesehatan/leukemia-mengintai-anak-3.html

NN. Desember 2007. leukemia limfositik akut. http://www.medicastore.com

Systemic Lupus Erythematosus

Oleh:

Kelompok V
Farida N N1A005004

Atika Dhiah N1A005011

Syafirial Uzaldy N1A005019

Meisa Agustin N1A005020

Ryan Hara. P N1A005029

M. Ghofur Feizal N1A005038

Eka Rehatiningrum N1A005045

Cicilia Rosqi’ah N1A005054

Ari Nurlaeli N1A005057

Sulastini N1A005062

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007

Systemic Lupus Erythematosus

A. Pengertian
Lupus adalah bahasa Latin yang berarti "anjing hutan." Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu.
Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit karena digigit anjing hutan tersebut,
yakni, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi. Inilah yang dikenal istilah Eritomatosus berarti
kemerahan. Sehingga istilah lupus ini didiagnosa menjadi Lupus Eritomatosus Sistemik (LES).
Penyakit lupus yang dalam bahasa kedokterannya dikenal sebagai systemic lupus erythematosus
(SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan
penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan
puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan
laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga. Lupus
eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai
sitem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara
dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh
penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada
laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika
Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada
perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih
mudah untuk diatasi.

Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama
lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada
kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bhasa Latin yang berarti
serigala). Lupus diskoid adalah nama yang sekarangdiberikan pada penyakit ini apabila kelainannya
hanya terbatas pada gangguan kulit.

SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui.
Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren.
Gangguan-gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan lainnya
dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan
secara akurat. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat
fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan
eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Identifikasi dan
penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

B. Penyebab

Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga
mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem
kekebalan humoral. Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan
menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang
sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas,
namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian
kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik. Penyebab Lupus diketahui adalah otoimun, penyakit
yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu
kesehatan tubuh. Artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ
tubuh kita sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, eritrosit, leukosit, atau trombosit.
SLE karena obat

Ada sejumlah obat yang dapat menginduksi penyakit SLE pada orang-orang yang peka, suatu
sindrom yang menyerupai SLE. Sindrom ini memiliki hampir semua gejala SLE, termasuk uji ANA yang
positif, tetapi jarang menyerang ginjal dan SSP. Gejala-gejala SLE yang timbul akan memghilang
dalam waktu beberapa minggu setelah obat yang menyebabkannya dihentikan. Hasil pemeriksaan
ANA akan kembali menjadi negatif dalam waktu beberapa bulan kemudian. Hidralazin dan
prokainamid adalah dua dari kelompok obat-obatan yang peling sering menimbulkan gangguan ini.
Selain itu juga beberapa obat yang mampu menimbulkan ANA positif, misalnya penisilamin,
isoniazid, klorpromazin, dan obat-obatan anti-konvulsan seperti barbiturat, fenitonin, etosuksimid,
metsuksimid, dan primidon. Beberapa obat dapat menyebabkan eksaserbasi SLE pada pasien yang
sebelumnya berada dalam keadaan remisi. Kelompok ini mencakup sulfonamid, penisilin dan
kontraseptiforal

Gambar.1. Penderita lupus

C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis LES pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiatrik psikosis, kejang, stroke,
kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati2α. Angka kejadian mielopati transversa pada LES
sekitar 1--2 %, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta.
Prevalensi LES di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1: 250, wanita kulit putih 1: 4300, dan wanita
cina 1 : 10001,2α.

Manifestasi klinis LES pada sistem saraf lebih sering terjadi di serebral dibanding medula spinalis.
Serebral lupus dengan gejala neuropsikiatrik psikosis 50–67 %, kejang 15–20%, stroke 3–5%, serta
paresis saraf kranial dan gangguan pergerakan. Mielopati yang terjadi pada medula spinalis sehingga
menimbulkan defisit neurologis dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau beberapa
minggu. Sebagian besar gejala klinik yang muncul berupa paraparesis atau paraplegia pada sekitar
85% kasus, sedangkan quadriparesis atau quadriplegia yang terjadi pada lesi daerah medula spinalis
servikalis sebanyak 15%. Refleks fisiologis dapat menurun atau menghilang karena terjadi syok
spinal. Gangguan sensibilitas bisa komplit atau tidak komplit yang dapat terjadi secara asending,
daerah yang terlibat sering pada torakal 3–-11, serta inkontinensia urin dan alvi1,3,5,6,7,8,9α. Pada
pasien ini proses mielopati yang terjadi dari paraparesis sampai paraplegia sekitar 4 minggu
merupakan kasus yang jarang terjadi. Lokasi kelainan di torakal 5--8 lebih sering karena pembuluh
darah dan kolateral lebih terbatas, sehingga lebih mudah mengalami gangguan. Gejala yang paling
sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit,
seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling terserang adalah sendi-sendi proksimal
tangan, siku, bahu, lutut dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena
jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan pada
penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah dan berkurangnya berat
badan yang biasanya timbul pada awal penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai
gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada wajah, leher, ekstremitas,
atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar
matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-
kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga, dapat
terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.

Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat
menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium atau perikardium.

Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus dapat sangat berat
sehingga dapat terjadi ganggren pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria dan
vena.

Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi antinuklear (anti-DNA) melekat pada antigennya (DNA)
dan diendapkan pada glomerolus ginjal. Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal
tetapi dapat menjadi antigenik pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan
proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal, kerusakan jaringan dan
pembentukan jaringan perut.

Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gengguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang
menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein eritrosit
(RBC) atau silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu
dilakukan biopsi ginjal.

SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya
meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan
neuropati perifer. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk
penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal.

Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat
(RNA) yang disebut Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat
menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNA dan anti-Sm jarang
ditemukan kecuali pada SLE.

Penyakit dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh
terkenanya sistem yang lain. Pada tipe menahun terdapat masa bebas gejala dan masa kambuh
kembali. Masa bebas gejala dapat berlangsung bertahun-tahun. Munculnya penyakit dapat spontan
atau didahului faktor pemicu. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum, seperti demam, badan
lemah, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.

D. Patofisiologi

Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga
mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem
kekebalan humoral.

Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan
lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen
abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari,
infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik.

Lupus diketahui sebagai penyakit otoimun, penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh
bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu kesehatan tubuh. Di dalam tubuh manusia selalu ada
sistem kekebalan tubuh, yang terdiri atas zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas
melindungi tubuh manusia dari serangan antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain). Pada
lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti dan sel darah putih tadi justru menjadi liar dan
menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya, organ-organ tubuh menjadi rusak dan
gejala lupus pun muncul.

Perusakan jaringan tadi terjadi dengan dua cara. Zat anti langsung menyerang sel jaringan tubuh.
Atau, zat itu masuk aliran darah dan bertemu antigen, lalu berkoalisi membentuk kompleks imun.
Kompleks ini tetap ikut aliran darah sebelum tersangkut di pembuluh darah kapiler organ tertentu.
Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dieliminasi oleh sel-sel radang.

Sebaliknya, dalam keadaan tidak normal kompleks itu tidak dapat dihilangkan dengan baik dan sel-
sel radang sebaliknya malah bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim yang menimbulkan
peradangan. Bila peradangan berlanjut, organ tubuh akan rusak, fungsinya terganggu sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Diduga, sinar matahari maupun hormon estrogen mempermudah
terjadinya reaksi otoimun.

E. Komplikasi

Pada wanita dgn kehamilan dpt menyebabkan keguguran. Odapus dianjurkan menghindari
kontrasepsi yang mengandung estrogen.

Setelah penyakitnya teratasi, barulah merencanakan kehamilan.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang antibody anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang terbaik untuk
menegakkan diagnosis LES.

ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien LES dan pemeriksaan ANA harus selalu
dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai LES. ANA tidak selalu spesifik untuk LES karena ANA
dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced LE
seperti isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk LES adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM,
walaupun sensitivitasnya pada LES masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti
SM)3,4,12a. Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA (
positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit
pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat
proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi4,5a.

Analisa cairan otak pada mielopati LES harus dilakukan dalam 24 jam sejak gejala timbul. Pada 70–
85% kasus yang melibatkan sistem saraf, ditemukan peningkatan protein sampai 639 mg/dl, jumlah
sel lebih dari 20. Selain itu, juga bermanfaat untuk menyingkirkan proses infeksi yang terjadi5,7,8,9a.
Pada kasus ini, didapatkan likuor sel 16/3, protein 244mg/dl, dan perbandingan glukosa likuor –
darah 36/93 mg/dl adalah 0,38. Nilai perubahan likuor dapat terjadi pada LES dan disertai gejala
klinis seperti sakit kepala dan kaku kuduk yang diagnosis sebagai meningitis aseptik.

Pemeriksan imajing mielografi dan CT mielografi sensitif, tapi tidak spesifik untuk mendiagnosis
mielopati yang berhubungan dengan LES. Sebagian besar kasus yang dilaporkan, hasil mielogramnya
normal. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan
tidak invasif dan sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula spinalis2,13a. Pembesaran
medula spinalis selalu terlihat pada fase akut, sedangkan fase remisi akan kembali normal atau
atrofi. Pada pasien ini, imajing seharusnya dilakukan untuk melihat proses kelainan anatomi
seberapa luas dan berat serta untuk menyingkirkan kemungkinan proses lain yang dapat
menyebabkan mielopati5,13,14a. Pada pasien ini, CT scan otak dilakukan atas pertimbangan saat itu
terjadinya perburukan dalam perawatan yang diduga akibat stroke. Hasil yang didapatkan
merupakan gambaran hiperdens berupa garis multipel kecil-kecil di lobus parital kanan (vaskulitis).
Vaskulitis dapat terjadi pada serebral lupus meskipun sangat jarang15a. Infark luas, atrofi kortikal,
lesi multifokal pada substansia alba, dan grisea sering terlihat pada imajing serebral LES14,16a.

Hasil SSEP yang menunjukkan hambatan total antara C7a - Th12a kiri dan kanan menunjukkan
kelainan yang menetap karena medula spinalis tidak dapat beregenerasi kembali.

G. Pemeriksaan Penunjang

ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya
antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA,
juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari
pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untuk
mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk
membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik
untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tetapi antibodi anti-
DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE.

Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur
peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.

Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai sampai sekarang
adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel
tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini
difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah dikenali. Factor ini biasanya dapat
ditunjukkan dalam perjalanan penyakit apabila pemeriksaan cukup sering dilakukan. Sel LE dapat
juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golingan reumatik yang juga diperantarai
oleh imunitas.

Urine diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan
untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit ini.

H. Penetalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang
kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini tersering adalah pada
akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan. Karena masa ini adalah tahun-
tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan penyuluhan serius dalam mengambil
keputusan akan memiliki anak atau tidak. Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat
yang dapat berbahaya bagi perempuan yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik
mungkin diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk
mencelakakan fetus. Metode kontrasepsi oral tidak diperbolehkan, karena kontrasepsi oral dapat
memperberat SLE. IUD dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapatkan
pengobatan dengan kortikosteroid sistemik, karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.

Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan obat yang sesuai
bergantung pada organ-orga yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk mengatasi
arthritis dan antralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insidens hematotoksik
tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada
kulit, hepar dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.

Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-
gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh
keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. Tetapi
penekan imun (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun
SLE.

Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :

1. Diagnosis pasti sudah ditegakkan

2. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa

3. Kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak


memberikan respons atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping

4. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma.

Serangan akut SLE, terutama pada orang yang juga memiliki nefritis interstisial, diobati dengan
kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi
setelah beberapa minggu. Baik SLE dan kortokosteroid istemik dapat menimbulkan perubahan
tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.

Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV).
Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara normal akan
bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE harus
dianjurkan untuk memakai payung, topi dan baju lengan panjang apabila ke luar rumah. Untuk anak
remaj, megikuti nasehat ini mungkin akan sulit. Tabir surya dengan proteksi 15 harus dipakai untuk
penahan sinar ultraviolet. Tabir surya ini harus dipakai setelah berenang atau setelah berolah raga
berat. Pasien juga harus diberi daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan serangan penyakit, agar
timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obat ini dapat dicegah.

Diagnosa Keperawatan

Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam.
Untuk menegakkan diagnosis SLE umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama,
menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang
memiliki nilai diagnosis tinggi untuk SLE. Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology
(ACR) 1982, diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari
11 kriteria, yaitu bercak-bercak merah pada hidung dan kedua pipi yang memberi gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash), kulit sangat sensitif terhadap sinar matahari (photohypersensitivity), luka
di langit-langit mulut yang tidak nyeri, radang sendi ditandai adanya pembengkakan serta nyeri
tekan sendi, kelainan paru, kelainan jantung, kelainan ginjal, kejang tanpa adanya pengaruh obat
atau kelainan metabolik, kelainan darah (berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
keping darah), kelainan sistem kekebalan (sel LE positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau
antibodi anti SM positif atau uji serologis positif palsu sifilis) dan antibodi antinuklear (ANA) positif.

Kelainan yang paling sering pada SLE adalah kelainan sendi dan kelainan kulit. Sendi yang sering
terkena adalah sendi jari-jari tangan, sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan
kaki. Kelainan kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE.

Daftar Pustaka

Tonam dkk. 2002. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. www.tempo.co.id.

Suyono, Slamet. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.

http://www.geocities.com/alam_penyakit/PenyakitSistemikLupusErythematosus.htm

www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/abstrak/Freddy200401.pdf -

http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=63

http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/12/7/ink1.html

www.warmasif.co.id/kesehatan/

http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/mb11napza03.html

William C. Shiel Jr. 2007. http://www.medicinet.com. Diakses pada tanggal: 30/11/2007

HEMOFILIA
Oleh :

Gina Meirawaty NIA005007

Nur Afip Alfian N1A005015

Rini Astuti N1A005021

Pandu Prabowo N1A005024

Ima Setya Ningrum N1A005031

Dyah Rofi P N1A005032

Yulia Fauziyah N1A005033

Yusep Abdul Latief N1A005034

Romantika Vesdita N1A005037

Rofiyana N1A005056

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2007

HEMOFILI
A. Pengertian

Hemofilia adalah gangguan atau kelainan turunan akibat terjadinya mutasi atau cacat genetik pada
kromosom X. Kerusakan kromosom ini menyebabkan penderitakekurangan faktor pembeku darah
sehingga mengalami gangguan pembekuan darah.Dengan kata lain, darah pada penderita hemofilia
tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal.

Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah
dan philia yang berarti cinta atau kasih sayang. Hemofilia adalah suatu penyakit yang diturunkan,
yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan.

Hemofilia adalah penyakit berupa kelainan pembekuan darah akibat defisiensi (kekurangan) salah
satu protein yang sangat diperlukan dalam proses pembekuan darah.

B. Sejarah

Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik tertua yang pernah dicatat. kelainan perdarahan yang
diturunkan yang terjadi pada seorang laki-laki tercatat dalam berkas Talmud pada Abad Kedua.
Sejarah modern dari hemofilia dimulai pada tahun 1803 oleh John Otto yang menerangkan adanya
anak yang menderita hemofilia, diikuti oleh Nasse pada tahun 1820 yang pertamakali mereview
hemofilia. Wright pertama kali mendemonstrasikan adanya bukti suatu defek pada proses
pembekuan darah pada hemofilia tahun 1893, namun faktor VIII (FVIII) belum teridentifikasi sampai
pada tahun 1937 ketika Patek dan Taylor berhasil mengisolasi faktor pembekuan dari darah, yang
saat itu mereka sebut sebagai faktor antihemofilia (AHF).

Suatu bioassay dari faktor VIII diperkenalkan pada tahun 1950. alaupun hubungan antara FVIII dan
faktor von Willbrad (vWF) saat ini telah diketahui, namun hal ini tidak disadari saat itu. Pada tahun
1953, kurangnya faktor VIII pada pasien dengan defisiensi vWF pertama kali diterangkan. lalu
penelitian berikutnya oleh Nilson dan kawan-kawan mengindikasikan adanya interaksi antara 2
faktor pembekuan tadi.

Pada tahun 1952, penyakit christmas pertama kali dideskripsikan dan nama penyakit tersebut
diambil dari nama keluarga pasien pertama yang diteliti secara menyeluruh. penyakit ini sangat
berbeda dari hemofilia karena pencampuran plasma pasien penyakit christmas dengan plasma
pasien hemofilia menormalkan masa pembekuan (clotting time/CT) karena itu hemofilia A dan B
kemudian dibedakan.

Pada awal tahun 1960an, kriopresipitat adalah konsentrat yang pertama kali ada untuk terapi
hemofilia. pada tahun 1970an, lyophilized intermediate-purity concentrates atau konsentrat murni
liofil menengah pertama kali dibuat dari kumpulan darah donor. Sejak saat itu terapi hemofilia
secara dramatis berhasil meningkatkan harapan hidup penderitanya dan dapat memfasilitasi mereka
untuk pembedahan dan perawatan di rumah.

Pada tahun 1980an, resiko tertular penyakit yang berasal dari konsentrat FVII pertamakali diketahui.
kebanyakan pasien dengan hemofilia berat terinfeksi oleh penyakit hepatitis B dan hepatitis C. pada
akhir tahun 1980an hampir semua pasien hemofilia berat terinfeksi hepatitis A, hepatitis B, hepatitis
C dan HIV. Teknik virisidal terbaru kemudian ditemukan dan efektif membunuh virus-virus tersebut.
Standar terbaru tatalaksana hemofilia sekarang menggunakan konsentrat FVIII rekombinan sehingga
dapat menghilangkan resiko tertular virus
C. Prevalensi

Menurut World Federation of Hemophilia, peluang kelahiran penderita Hemofilia di dunia adalah 1:
10.000 kelahiran bayi. Dengan asumsi terebut maka untuk wilayah Jawa Barat dan Banten akan
terdapat sekira 3.800 orang penderita. Sejauh ini data yang tercatat di RS Hasan Sadikin per
Desember 2002 ada 14 orang penderita (belum terdaftar di perhimpunan), dan data yang terdaftar
di Perhimpunan Hemofilia Jawa Barat ada 28 orang penderita. Jadi jumlah total baru 42 orang
penderita hemofilia.

Saat ini diperkirakan terdapat 350.000 penduduk dunia yang mengidap hemofilia. Di Indonesia,
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) memperkirakan terdapat sekitar 200 ribu
penderita. Namun, yang ada dalam catatan HMHI hanya 895 penderita

D. Etiologi

Penyakit genetis (bersifat menurun) ditandai adanya gangguan dalam proses pembekuan darah.
Pasien yang mengidap Hemofilia tidak bisa menghasilkan protein plasma yang diperlukan untuk
pembekuan darah. Gejala yang mudah dikenali adalah bila terjadi luka yang menyebabkan sobek di
permukaan tubuh, maka darah akan terus mengalir dan memerlukan waktu berhari-hari untuk
membeku, bahkan gumpalan darah itu menjadi lunak dan tidak efektif menyumbat pembuluh darah
yang terluka. Tetapi bila luka terjadi di bawah kulit karena terbentur, maka akan timbul
memar/lebam kebiruan disertai rasa nyeri yang hebat pada bagian tersebut. Perdarahan yang
berulang-ulang pada persendian akan menyebabkan kerusakan pada sendi sehingga pergerakan jadi
terbatas (kaku), selain itu terjadi pula kelemahan pada otot di sekitar sendi tersebut.

Hemofilia diturunkan oleh ibu sebagai pembawa sifat yang mempunyai 1 kromosom X normal dan 1
kromosom X hemofilia. Penderita hemofilia, mempunyai kromosom Y dan 1 kromosom X hemofilia.
Seorang wanita diduga membawa sifat jika:

1. ayahnya pengidap hemofilia

2. mempunyai saudara laki-laki dan 1 anak laki-laki hemofilia, dan

3. mempunyai lebih dari 1 anak laki-laki hemofilia

Karena sifatnya menurun, gejala klinis hemofilia A atau B dapat timbul sejak bayi, tergantung
beratnya penyakit. Hemofilia A atau B dibagi tiga kelompok:

1. Berat (kadar faktor VIII atau IX kurang dari 1%)

2. Sedang (faktor VIII/IX antara 1%-5%) dan

3. Ringan (faktor VIII/X antara 5%-30%).

Gejala bisa berupa perdarahan abnormal dan biasanya terletak didalam, seperti sendi otot atau
jaringan lunak lain, dan kulit, ini biasanya ditemukan pada bayi yang mulai merangkak, atau bisa
terjadi perdarahan hidung, saluran kemih, bahkan perdarahan otak.

Pada hemofilia berat, perdarahan dapat terjadi spontan tanpa trauma. Hemofilia sedang, biasanya
perdarahan didahului trauma ringan. Hemofilia ringan umumnya tanpa gejala atau dapat terjadi
perdarahan akibat trauma lebih berat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat perdarahan, gejala klinik yang ditemukan, dan
pemeriksaan laboratorium secara khusus. Gejala penyakit dikenali sejak bayi. Ketika bayi mulai
merangkak, mulai timbul memar biru di bawah kulitnya yang diakibatkan gesekan, benturan atau
terjatuh. Bayi jadi sering menangis menahan sakit akibat adanya pembengkakan dan sering pula
disertai demam. Atau bisa juga terjadi perdarahan yang sulit berhenti misalnya akibat menggunting
kuku yang terlalu dalam.

E. Klasifikasi

Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :

1. Hemofilia A; yang dikenal juga dengan nama :

a. Hemofilia Klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor
pembekuan pada darah.

b. Hemofilia kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII) protein pada
darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.

2. Hemofilia B; yang dikenal juga dengan nama :

a. Christmas Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven
Christmas asal Kanada.

b. Hemofilia kekurangan Factor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein pada darah
yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.

Pengelompokan hemofilia berdasarkan kadar faktor VIII atau faktor IX dalam darah.

1. Hemofilia berat, penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau faktor
IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat mengalami beberapa kali perdarahan
dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas (spontan) dan
frekuensi perdarahan sering.

2. Hemofilia sedang, frekuensi timbulnya perdarahan tidak sesering Hemofilia berat. Mempunyai
kadar faktor pembeku darah 1-5%. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu
berat, seperti olah raga yang berlebihan

3. Hemofilia ringan, jarang terjadi perdarahan kecuali jika terjadi luka besar seperti tindakan
pencabutan gigi, operasi atau khitan. Wanita hemofilia ringan mungkin akan pengalami perdarahan
lebih pada saat mengalami menstruasi Mempunyai kadar faktor pembeku darah 5-30%.

F. Faktor Resiko

Hemofilia tidak mengenal ras, perbedaan warna kulit atau suku bangsa. Hemofilia paling banyak di
derita hanya pada pria. Wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika ayahnya adalah seorang
hemofilia dan ibunya adalah pemabawa sifat (carrier). Dan ini sangat jarang terjadi. Sebagai penyakit
yang di turunkan, orang akan terkena hemofilia sejak ia dilahirkan, akan tetapi pada kenyataannya
hemofilia selalu terditeksi di tahun pertama kelahirannya.
G. Patofisiologi

Hemofilia merupakan kelainan bawaan sejak lahir yang diturunkan oleh kromosom X. Wanita
berperan sebagai pembawa sifat hemofilia (carrier) yang diturunkan kepada anak lelakinya.
Walaupun terdapat pula kasus yang sangat jarang, penderita hemofilia adalah seorang wanita. Ini
dapat terjadi jika pria hemofilia menikah dengan wanita carrier hemofilia. Kebanyakan keluarga yang
mempunyai riwayat perkawinan antar keluarga mengidap penyakit ini. Sebaiknya ditelusuri apakah
ada anggota keluarga lain yang mengalami penyakit yang sama; ayah, kakek, paman, sepupu atau
keponakan laki-laki. Gen yang cacat mungkin saja baru muncul pada beberapa generasi kemudian.
Jika setelah dirunut dalam riwayat keluarga tidak ada yang mempunyai kelainan ini, maka pasien
kemungkinan mengalami mutasi gen spontan (mutasi: perubahan struktur atau susunan; gen:
pembawa sifat menurun).

Secara genetik, penurunan hemofilia bisa dijelaskan sebagai berikut. Pria penderita hemofilia dapat
terjadi jika ada perkawinan antara wanita pembawa sifat hemofilia (carrier hermofilia) dengan pria
normal. Gen hemofilia teletak pada kromosom X. Seorang pria mempunyai kode genetik XY, jika
kromosom X-nya itu memiliki gen hemofilia yang resesif maka pria itu menjadi penderita hemofilia.
Sedangkan wanita mempunyai kode genetik XX, jadi walau salah satu kromosom X-nya mempunyai
gen hemofilia resesif, ia masih punya satu lagi kromosom X yang normal, sehingga ia tetap bisa hidup
normal namun bersifat carrier hemofilia.

Skema Penurunan Hemofilia

Keterangan :

- Huruf H (besar) melambangkan kode genetika hemofilia dominan (kuat) bersifat normal.

- Huruf h (kecil) melambangkan kode genetika hemofilia resesif (lemah) bersifat tidak normal (carrier
hemofilia/penderita hemofilia).

Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa penyakit hemofilia bisa terulang lagi. Ada empat
kemungkinan dari setiap kehamilan, yaitu: seorang anak wanita normal (D), seorang anak wanita
yang normal bagi dirinya sendiri namun akan menjadi pembawa/carrier kelainan tersebut (C),
seorang anak pria normal (B) atau seorang anak pria penderita hemofilia (A). Risiko mempunyai anak
hemofilia adalah 25% pada setiap kehamilan. Belum ada metode akurat yang dapat meramalkan
bahwa anaknya akan mengidap penyakit tersebut.

Dasar abnormalitas pada hemofilia A adalah defisiensi/abnormalitas protein plasma yaitu faktor anti
hemofili (AHF = anti hemophilic factor/VIII). Dalam keadaan normal, dalam plasma F.VIII bersirkulasi
dalam bentuk ikatan dengan faktor von Willebrand (vWF). FaktorvWF disebut juga F.VIII Antigen
(F.VIIIAg) berfungsi sebagai pembawa F.VIII. Fungsi F.VIII dalam proses koagulasi dinamakan F.VIII C.
Produksi vWF dikode oleh gen otosomal. Pada hemofilia A, vWF diproduksi dalam kualitas normal
dengan jumlah normal atau meningkat. Pada hemofilia A didapatkan gangguan pada proses
stabilisasi sumbat trombosit oleh fibrin. Mutasi genetik yang ditemukan pada hemofilia A :

- Transposisi basa tunggal : codon arginin menjadi stop codon yang menghentikan sintesis F.VIII yang
menyebabkan hemofilia berat.

- Substitusi sam amino tunggal : menyebabkan hemofilia ringan.

- Delesi beberapa ribu nukleotida : menyebabkan hemofilia berat


Gangguan itu dapat terjadi karena jumlah pembeku darah jenis tertentu kurang dari jumlah normal,
bahkan hampir tidak ada. Perbedaan proses pembekuan darah yang terjadi antara orang normal
(Gambar 1) dengan penderita hemofilia (Gambar 2). Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan
pembuluh darah yang terluka di dalam darah tersebut terdapat faktor-faktor pembeku yaitu zat
yang berperan dalam menghentukan perdarahan.

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat
darah mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.

b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.

c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.

d. Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat anyaman (benang - benang fibrin) yang akan
menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh.

(Gambar 1. Proses pembekuan darah orang normal)

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat
darah mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.

b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.

c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.

d. Kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak
terbentuk sempurna, sehingga darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh.

(Gambar 2. Proses pembekuan darah orang hemofili)

H. Manifestasi Klinis

Seseorang diduga menderita hemofilia bila terjadi benturan pada tubuhnya akan selalu
mengakibatkan kebiru-biruan (perdarahan di bawah kulit) sebagai gejalanya. Bahkan luka memar
juga bisa terjadi dengan sendirinya alias spontan jika penderita melakukan aktivitas fisik yang
tergolong berat. Perdarahan di bawah kulit ini sering terjadi pada persendian atau otot seperti siku
tangan maupun pergelangan kaki atau lutut kaki yang disebut sebagai hemartrosis. Akibatnya,
muncul rasa nyeri yang hebat, bengkak, sendi tidah dapat digerakkan, bahkan kelumpuhan. Bila
perdarahan tak segera berhenti atau perdarahan terjadi pada otak, akibatnya bisa fatal karena bisa
berakhir dengan kematian.

I. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosa hemofilia ditegakkan berdasarkan riwayat biru pada kulit, perdarahan kulit dan sendi.
Seringkali ditemukan saat anak khitan, dan perdarahan tak kunjung berhenti (minimal usia 5 tahun),
saat anak imunisasi atau anak periksa darah. Baru sesudah itu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengukur kadar faktor VIII dan IX. Dilanjutkan dengan pemeriksaan PT dan APPT. Anak yang
kekurangan faktor pembekuan VIII disebut hemofilia A, sedangkan kekurangan faktor 9
dikelompokkan dalam hemofilia B. hemofilia A merupakan jenis hemofilia terbanyak di dunia saat
ini.

J. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan hemofili klasik

a. Pengobatan dasar

Pengobatan yang dimaksud adalah pemberian faktor pembekuan yang kurang/defisiensi kepada
individu secara langsung lewat vena, berarti mencegah perdarahan atau mengurangi perdarahan
serta efek samping. Macam dari pengobatan dasar yaitu :

o Tindakan saat terjadi perdarahan

Mencegah timbulnya hemartrosis adalah merupakan tantangan terbesar dalam penanganan


penderita ini lebih lebih pada hemofilia berat. Artropati hemofilia yang terjadi disebabkan karena
terjadi perdarahan berulang pada sendi. Kelainan ini bisa menetap bila pengobatan tidak efektif.
Pada keadaan ini perlu tindakan dini. Perdarahan sendi yang dini pada anak yang besar dapat
dirasakan sebagai ”aura”/ different feeling. Beberapa penulis menggunakan aura perdarahan sendi
sebagai suatu indikasi pengobatan dini.

Jika terjadi perdarahan pada otot dan sendi, langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan
adalah:

- Rest, yaitu istirahatkan anggota tubuh yang mengalami perdarahan.

- Ice, yaitu kompreslah bagian yang terluka dengan es.

- Compress, yaitu tekan dan ikat tidak terlalu keras dengan perban elastis.

- Elevation, yaitu letakan bagian yang sakit dalam posisi lebih tinggi dari dada dengan menggunakan
bantal.

Perdarahan pada susunan saraf pusat dapat terjadi pada 20% kasus sehingga merupakan salah satu
penyebab utama kematian penderita hemofilia. Pemeriksaan lain yang penting untuk diagnostik
adalah CT Scan. Pengobatannya adalah pemberian faktor VIII hingga 80%, dosis adalah 50 U FVIII/kg
bb. Pengobatan pencegahan pada kasus yang pernah mengalami perdarahan susunan saraf pusat
adalah penting.
Hematuria spontan sering terjadi pada hemofilia berat. Dosis FVIII adalah 15-25 U/kgbb. Terapi lain
yang dianjurkan adalah pemberian prednison oral 2mg/ kgbb/ hari selama 2hari, diikuti 1
mg/kgbb/hari selama 3 hari.

Perdarahan hidung dapat diatasi dengan penekanan lokal atau ditutup dengan hemostat. Bila
perdarahan hebat dapat diberikan FVIII 15-25 U/kgbb dan E-amino caproic acid 200mg/kgbb tiap 4-6
jam.

Perdarahan dalam abdomen atau retroperitoneal sering merupakan keadaan darurat.Dapat diatasi
dengan pemberian FVIII setiap 12-24 jam dengan dosis 50 U/kgbb.

Keluhan penekanan saraf akibat perdarahan pada tangan, pergelangan tangan, kaki atau betis
merupakan kedaan darurat. Saraf yang paling sering kena adalah N. femoralis, medianus dan ulnaris
dan memberikan gejala parestesi serta kelumpuhan. Tindakan operatif disertai FVIII dengan dosis 50
μ/kgbb dianjurkan agar terhindar dari kelainan yang pemberian menetap.

Kista hemofilik atau pseudotumor adalah suatu hematom yang berkembang dalam beberapa
bulan/tahun akibat perdarahan yang berulang pada jaringan lunak hingga ke subperios dan dalam
tulang sehingga dapat terjadi kerusakan tulang. Pengobatannya adalah pemberian FVIII hingga 25%
selama 6-8 minggu dan tidak boleh dilakukan aspirasi atau biopsi. Bila pengobatan konservatif gagal,
dianjurkan bedah eksisi.

o Tindakan saat perdarahan artifisial

Pada saat pencabutan gigi susu cukup dengan penekanan lokal, sedangkan gigi permanen diberikan
FVIII 30-50% dan akhir-akhir ini digunakan lem fibrin (fibrin glue). Pencabutan gigi tidak boleh lebih
dari 2 buah pada saat bersamaan, walaupun pada topical.

Hemofilia ringan. Kemungkinan terjadi perdarahan akibat imunisasi dapat diatasi dengan penekanan
lokal selama 5 menit pada tempat suntikan. Pada tindakan bedah elektif maupun darurat, FVIII
diberikan sebelum, selama dan sesudah operasi. Kemudian dilanjutkan 10 hari sampai luka sembuh.
Dosis total adalah 4.000-6.000 Unit. Pemberiannya sampai 80-100% sebelum tindakan operasi. Lebih
baik diberikan melalui infus kontinyu dibanding pemberian injeksi bolus.

o Pengobatan pencegahan

Tujuan pengobatan pencegahan ini adalah untuk mempertahankan FVIIIC dalam darah pada kadar
hemostatik. Pengobatan pencegahan ada 2 yaitu :

Pencegahan primer, pemberian FVIII secara regular, kontinyu dimulai saat sebelum anak berusia 2
tahun atau setelah anak menderita perdarahan sendi yang pertama kalinya.

Pencegahan sekunder, pemberian FVIII bisa secara regular atau kontinyu dimulai saat anak berusia
lebih dari 2 tahun atau setelah terjadi perdarahan pada 2 atau lebih sendi.

Pencegahan ditujukan terutama pada hemofilia berat untuk mencegah terjadinya artropati. Dosis
yang diberikan adalah 25-50 unit/kgbb FVIII dengan interval 2-3 hari atau 3 kali dalam seminggu.
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menganjurkan pengobatan pencegahan sebaiknya dimulai
sejak usia 1-2 tahun dan berlanjut terus. Biaya pengobatan pencegahan ini sangat mahal di Swedia
(Nilsson dkk 1992) penderita hemofilia membutuhkan FVIII setiap tahunnya hingga 9000 Unit/kgbb
(rata-rata 4000 Unit). Demikian juga seperti yang dilaporkan Manco-Johnson dkk 1994 untuk
profilaksis membutuhkan dosis 4000 Unit/kgbb atau 75.000 dolar US. Bilamana pengobatan
profilaksis ini tidak bisa dilakukan maka pengobatan dapat diberikan secara ”on demand”.

o Pengobatan di rumah

Orang tua/keluarga diajarkan cara pemberian pengobatan dibawah pengawasan Pusat Hemofilia
disertai membuat laporan. Pengobatan di rumah yang terbaik adalah pemberian FVIII konsentrat.
Pengobatan dirumah merupakan bagian dari perawatan komprehensif. American National
Hemophilia Foundation mempunyai persyaratan perawatan dirumah yaitu :

- Diagnosis hemofilia klasik harus benar

- Frekuensi perdarahan, bila perdarahan terjadi 2-3 bulan sekali tidak perlu dilakukan

- pengobatan dirumah

- Penderita dengan inhibitor FVIII diawal terapi tidak dilakukan pengobatan dirumah

- Kedaan psikososial penderita harus baik

- Minimal berusia 4 tahun

- Catatan Kesehatan/penggunaan FVIII harus baik

- Berkunjung rutin setiap 6-12 bulan ke klinik untuk meyakinkan bahwa penderita sehat

- fisik dan jasmani

b. Perawatan komprehensif

Penanganan penderita hemofilia banyak melibatkan personil seperti dokter hematology anak dan
dewasa, ahli patologi klinik, ahli bedah tulang, ahli rehabilitasi medik, dokter gigi, ahli jiwa, perawat
dan pekerja sosial yang terampil. Perawatan kesehatan secara umum merupakan hal yang penting
pula dalam perawatan penderita hemofilia. Agar kondisi terjaga dengan baik beberapa hal perlu
mendapat perhatian yaitu :

- Senantiasa menjaga berat tubuh tidak berlebihan serta mengkonsumsi makanan dan minuman
yang sehat. Karena berat badan berlebihan dapat mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di
bagian kaki (terutama hemofilia berat).

- Melakukan kegiatan olah raga teratur. Olah raga akan membentuk kondisi otot yang kuat, sehingga
bila berbentuk otot tidak mudah terluka, perdarahan dapat dihindari. Olah raga yang dipilih
hendaknya jangan yang beresiko kontak fisik seperti sepak bola, karate, gulat. Olahraga yang paling
dianjurkan adalah renang dan bersepeda.

Peran seorang ahli rehabilitasi medik adalah melatih otot-otot terutama melatih otot pasca
perdarahan. Melakukan pemeriksaan kesehatan gigi secara rutin sangat membantu mengurangi
perdarahan yang terjadi. Menghindari penggunaan obat aspirin merupakan salah satu perawatan
umum penderita hemofilia karena obat ini dapat meningkatkan perdarahan. Perawatan umum yang
tak kalah pentingnya adalah memberi informasi kepada pihak tertentu seperti: sekolah, dokter di
mana penderita berobat dan teman-teman lingkungan terdekat sekaligus mendapat suasana
lingkungan yang mendukung timbulnya kepribadian yang sehat agar tetap optimis menyongsong
masa depan

c. Inhibitor terhadap faktor VIII.

Sebanyak 20-40% penderita hemofilia klasik setelah mendapat beberapa kali pemberian FVIII, antara
10-20 hari pengobatan timbul antibodi terhadap Faktor VIII. Hal ini merupakan suatu masalah dalam
penanganan hemofilia karena pengobatan menjadi lebih sulit dan mahal. Faktor VIII bukanlah
bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau eritrosit. Tapi pemberian berulang
dapat menimbulkan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap FVIII. Inhibitor pada sebagian kecil
penderita dapat hilang secara spontan. Timbulnya inhibitor diduga ada korelasi antara terjadinya
mutasi pada gen FVIII, respon imun dan epitop antibodi FVIII.

Ciri-ciri secara klinis terbentuknya inhibitor :

- Timbul perdarahan pada penderita yang sedang dalam pengobatan profilaksis

- Penderita dengan terapi ”on demand “ kemudian tidak berespon lagi

Setelah inhibitor terdeteksi, dilakukan pemeriksaan titer inhibitor kemudian penderita dapat
digolongkan kedalam 3 katagori yaitu :

- Low titer inhibitor, low responder : titer inhibitor tidak lebih dari 5 BU setelah diberikan terapi
pengganti.

- Low titer inhibitor, high responder : titer inhibitor meningkat lebih dari 5BU setelah pemberian
terapi pengganti.

- High titer inhibitor, high responder : titer inhibitor lebih dari 5 BU dan kemudian meningkat setelah
diberikan terapi pengganti.

Untuk mencegah terjadinya komplikasi ini, dilakukan imunisasi hepatitis dan pemberian konsentrat
FVIII heat treatment , sedangkan bila sudah terbentuk inhibitor maka penanganannya adalah dengan
pemberian konsentrat kompleks protrombin, recombinat atau forcine FVIII untuk mem”bypass”
terbentuknya inhibitor. Activated FVII Penggunaan munosupresan, immunoglobulin intravena,
pemberian FVIII dosis tinggi berulang untuk menginduksi imun yang tak renponsif secara selektif.
Akhir-akhir dikembangkan suatu vaksin (dalam taraf percobaan binatang) idiotypic vaccinve yang
berfungsi mensupresi dan mencegah dan menetralisir inhibitor FVIII.

d. Deteksi karier dan diagnosis prenatal

Deteksi karier dan diagnosis prenatal merupakan implementasi strategi dari pencegahan yang akan
dapat mengurangi jumlah penderita dengan hemofilia berat. Dalam keluarga hemofilia seorang
perempuan dikatakan sebagai karier obligat dapat ditelusuri lewat silsilah. Obligat karier adalah
seorang perempuan yang menampakkan satu atau lebih gejala berikut :

- ayahnya seorang penderita hemofilia


- perempuan yang mempunyai dua atau lebih anak laki-laki menderita hemofilia (bukan kembar
identik)

- perempuan dengan satu anak laki menderita hemofilia dan saudara perempuannya mempunyai
anak hemofilia

- melahirkan anak hemofilia dan ada riwayat melahirkan anak hemofilia pada garis keturunan ibu
25,26

Bila kadar FVIII perempuan sangat rendah kemungkinan besar dia karier. Rasio aktifitas FVIII lebih
rendah dari antigen FVIII dalam plasma maka dapat dikatakan karier. Tes ini hanya dapat
menunjukkan probabilitas karier, sedangkan 10-15% tidak membantu diagnosis karier.

Diagnosis prenatal dilakukan dengan melakukan biopsi villi chrorionik pada trimester pertama
kemudian dilakukan analisis genetik. Pemeriksaan cairan amnion, darah janin, dan diagnosis genetik
pre implantasi dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu. Diagnosis prenatal harus didahului
dengan konseling genetik yang adekuat dan penilaian tentang kemungkinan menderita karier dan
dukungan selama proses diagnosis

2. Pengobatan Pengganti

a. Darah segar

Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian
FVIII hingga mencapai kadar hemostatik.

b. Plasma segar beku

c. Kriopresipitat

d. Konsentrat FVIII

3. Pengobatan Masa Mendatang

Selain itu, perdarahan pada hemofilia seringkali membutuhkan Replacement Therapy, yaitu
pemberian faktor pembeku darah sesuai kebutuhan. Ini dapat dilakukan melalui transfusi plasma
atau pemberian suntikan konsentrat faktor VIII (untuk Hermofilia A) atau faktor IX (untuk Hermofilia
B). Ada dua jenis transfusi plasma yaitu:

1. Cryoprecipitate untuk plasma yang mengandung faktor VIII diberikan pada penderita Hemofilia A.

2. Fresh Frozen Plasma (plasma beku segar) yang mengandung faktor IX diberikan pada penderita
hemofilia B.

Kedua plasma tersebut bisa diperoleh di PMI. Pemberian dosis dan jadwal Replacement Therapy
berdasarkan analisis dokter Hermatologi. Pemberian transfusi plasma atau suntikan konsentrat
hanya bersifat perawatan sampai perdarahan berhenti dan tidak menyembuhkan penderitanya dari
hemofilia. Untuk bisa hidup seperti orang normal, penderitanya sangat bergantung pada perawatan
ini seumur hidupnya.

Jenis Faktor Pembekuan Komentar


Plasma segar dibekukan Seluruh Sebelum diberikan, dihangatkan dahulu pada suhu 37 C, reaksi
alergi adalah biasa, kemungkinan kelebihan cairan trutama pada usia lanjut.

Cryoprecipitate VIII, Fibrinogen Sebelum diberikan, dihangatkan dahulu pada suhu 37 C, reaksi alergi
seketika, trasmisi hepatitis resikonya rendah atur setiap 12 jam.

Konsentrasi faktor VIII Lyophilized VIII Stabil pada suhu ruang, kemungkian reaksi hemolytic bagi
pasien dengan jenis darah A, B dan AB lebih diberikan pada jangka panjang. Jarang terjadi reaksi
alergi.

Vitamin K dependent Complex VII, IX, X Prothrombin Jangka tetap beku, resiko transmisi hepatitis
dan farmasi thrombus lebih tinggi (biasanya diberikan bersama)

Perawatan kesehatan secara umum pada penderita hemofili, yaitu :

1. Mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh supaya tidak
berlebihan karena kegemukan akan sangat membebani persendian kaki.

2. Melakukan kegiatan olah raga terukur. Olah raga akan memperkuat otot sehingga tidak mudah
luka. Sebaiknya hindari olah raga adu fisik seperti sepak bola. Sangat dianjurkan bersepeda dan
berenang. Ada baiknya dikonsultasikan dengan ahlifisio terapi yang memahami hemofilia.

3. Merawat dan memeriksakan gigi secara teratur ke dokter gigi untuk menghindari perdarahan gusi.
Sedikitnya 6 bulan sekali.

4. Mengikuti program imunisasi. Catatan bagi petugas medis: suntikan imunisasi harus dilakukan di
bawah kulit (subkutan) dan tidak ke dalam otot, diikuti penekanan lubang bekas suntikan setidaknya
5 menit.

5. Hindari penggunaan obat yang mengandung aspirin, karena aspirin dapat meningkatkan
perdarahan. Jangan sembarangan mengonsumsi obat-obatan. Sebaiknya dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada dokter.

6. Memberikan informasi secara jelas tentang kondisi hemofilia yang diderita kepada pihak-pihak
tertentu seperti pihak sekolah agar diberi keringanan jika sering absen sekolah. Selain itu penjelasan
juga diperlukan bagi dokter tempat penderita berobat, dan teman-teman di sekitarnya.

7. Memberi dukungan, jangan terlalu over protective, biarkan penderita hemofilia tumbuh dengan
pribadi yang sehat agar tetap optimis bersama.

K. Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Dalam pengkajian pasien hemofili harus diketahui riwayat penyakit terlebih dahulu. Hemofilia dapat
timbul saat lahir dimana terjadi pemanjangan waktu perdarahan dari tali pusat atau perdarahan
intra kranial, sefalhematom, perdarahan saat sirkumsisi. Pada anak yang lebih besar biasanya
didapat riwayat adanya salah seorang laki-laki anggota keluarga yang menderita penyakit yang
sama/gangguan perdarahan. Namun 30% kasus tidak menunjukkan ada riwayat perdarahan yang
sama. Beratnya perdarahan bervariasi namun biasanya berat ringannya perdarahan adalah sama
pada satu keluarga. Seorang penderita hemofilia ringan diagnosis baru dapat ditegakkan bila
penderita mengalami suatu

tindakan pembedahan atau tindakan lain yang menyebabkan perdarahan.

Karena kelainan perdarahan dimulai sejak kecil/lahir sehingga perdarahan sendi (hemarthrosis)
sebagai akibat jatuh saat mulai belajar berjalan merupakan gejala. Laserasi lidah, bibir sering
dijumpai pada usia 11-12 bulan. Dalam anamnesis mungkin diperoleh keterangan tentang
pernah/seringnya transfusi darah dalam mengatasi perdarahan. Riwayat keluarga sangat penting
untuk kelainan yang diwariskan secara sex linked ini. Selalu harus mencurigai kemungkinan adanya
hemofilia A pada anak laki-laki yang disertai perdarahan abnormal disamping kemungkinan hemofilia
B karena defisiensi faktor IX memang lebih jarang ditemukan.

Pemeriksaan fisik

Derajat berat hemofilia secara klinis ditentukan oleh derajat berat defisiensi faktor pembekuannya,
bila kurang dari 1% disebut hemofilia berat, kadar Faktor VIII (FVIII) 1-5% disebut hemofilia sedang
dan bila kadar FVIII 5-25 % disebut hemofilia ringan. Tanda klinis dari hemofilia berat yang khas
adalah terjadinya perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai nyeri dan gejala ini
mulai nampak ketika anak mulai belajar merangkak. Perdarahan gastrointestinal, hematuria dan
perdarahan otak.

Diagnosis

Laki-laki dengan riwayat perdarahan spontan atau setelah trauma, ada riwayat keluarga. Pada
pemeriksaan faal hemostasis APTT memanjang, kadar Faktor VIII menurun. Dapat juga dipastikan
dengan pemerksaan TGT (thromboplastin generation time).

Diposkan oleh Edi young enterpreneur

di Sabtu, Juni 27, 2009

Anda mungkin juga menyukai