Oleh
Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan.
Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa
Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti, baik dari mereka
ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi,
kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book Encyclopedia
menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar, karena pengertian dan
individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi
Secara umum asas liberalisme ada tiga. Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani,
mendewakan akal).
Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap individu bebas melakukan
perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang
yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme
merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari
ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat,
berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia
menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan
tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َب ْالعَالَمِ ينَ ََل ش َِريكَ لَهُ ۖ َوبِ َٰذَلِكَ أُمِ ْرتُ َوأَنَا أ َ َّو ُل ْال ُم ْسلِمِ ين َ قُ ْل إِ َّن
َ َص ََلتِي َونُسُكِي َو َمحْ ي
ِ َّ ِ اي َو َم َماتِي
ِ ِّ ّلِل َر
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-
Jâtsiyah/45:18].[4]
Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah) : Dalam hal ini meliputi dua pengertian.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang
menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi.
Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama
Asas ketiga, yaitu rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam
mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.
1. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang
dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan
percobaan.
2. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan
menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu
kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga –enurut mereka- manusia
sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan
sesuatu. Ini dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya adalah
semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid
(menentang Allah dan RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab
negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara
terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. (Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil
dari Hakekat Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat
mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu.
Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran (Maha Tinggi Allah dari yang mereka ucapkan).
3. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh
kelompok liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang
merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu
adalah akal.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun
di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran dan petunjuk
Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga
memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran
dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial. Kemudian
disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu. Muncullah dalam
tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah at-tajdîd (aliran
pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha menggandengkan Islam dengan
liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis di negara-negara
Eropa.
Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan
Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan
pembaru (madrasah attajdid) dengan tokoh seperti Rifa’ah ath-Thahthawi dan Khairuddîn at-Tunîsi.
Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun mereka menggabungkan ajaran Islam dengan
modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-
orang kafir). Oleh karena itu, pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka
terhadap modernisasi di Barat dan kemajuannya yang terus berkembang. Demikian juga, mereka
sepakat menjadikan akal sebagai sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum
dalam ajaran Liberal. Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan
latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda. Meskipun mereka sepakat untuk
mengedepankan logika akal daripada al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.
Ada di antara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan Islam
karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang berusaha
memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah yang sulit
dicerna pengertiannya. Atau dengan cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran Islam sejati
dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang sebagai
pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama Islam ditempatkan sebagai
kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.[7]
Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali
merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi Huwaidi dalam
artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu adalah mereka yang
menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai paganism baru (Watsaniyah
jadîdah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata.
Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman ini telah berubah menjadi
bentuk penyembahan symbol dan rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-
Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran dan
pola pemikiran Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum muslimin
serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kaum
muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi adalah perkara mendesak
dan sangat cocok dengan hakekat Islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali
ajaran Islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam dan
aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi adalah
program utama dari liberalisme Barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari
kalangan reformis bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai liberalisme
Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita
berlindung kepada Allah l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.
Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan adanya
hubungan kehidupan dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama sebagai rantai
pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir liberal yang
menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal berada diluar garis seluruh agama yang ada
dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu
Sehingga Liberalisme sangat bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-
Islaman yang terkandung dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
1. Kekufuran
Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana tertuang dalam fatwa
Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa tanggal 11 Jumada
Sungguh amat mengherankan masih juga ada orang yang ingin menggabungkan antara liberal
dengan Islam padahal jelastidak mungkin. Sehingga bila ada yang menyatakan, saya adalah muslim
liberal atau istilah Jaringan Islam Liberal ini adalah satu perkara yang kontradiktif. Ironisnya orang
yang disebut profesor atau intelektual tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang hal ini.
Maraji‘:
1. ‘Al-’Aqlâniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamîd , cetakan
3. Dalîl al-‘Uquul al-Hâ`irah Fi Kasyfi al-Mazhâhib al-Mu’âshirah, Hâmid bin ‘Abdillah al-‘Al.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-