Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri kepala atau Cephalgia adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala
atau merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala.
Nyeri kepala merupakan salah satu gangguan sistem saraf yang paling umum
dialami oleh masyarakat. Menurut WHO pada sebagian besar kasus nyeri kepala
dirasakan berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya.1 Berdasarkan
penyebabnya nyeri kepala digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat
kelainan anatomi atau kelainan struktur atau sejenisnya. Nyeri kepala sekunder
adalah nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan struktur
atau sejenisnya dan bersifat kronis progresif, antara lain meliputi kelainan non
vaskuler.2 Nyeri kepala primer antara lain adalah nyeri kepala Tipe Tegang
(Tension Type Headache), nyeri kepala Migrain (Migraine), dan nyeri kepala
Klaster (Cluster).1 Menurut Stovnerr dkk pada tahun 2007, secara global
presentasi populasi orang dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46%, 11%
Migrain, 42% Tension Type Headache, dan 3% untuk Chronic Type Headache.3
Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi nyeri kepala primer
di Jerman.4 Nyeri kepala primer yang tidak terdiagnosa dan tidak terobati dapat
mempengaruhi aktivitas sosial dan pekerjaan secara signifikan. Hal ini dapat
berdampak pada efisiensi dan kualitas hidup seseorang.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NYERI KEPALA PRIMER


A. Migrain

Migrain adalah gangguan periodik yang ditandai oleh nyeri kepala


unilateral dan kadang kadang bilateral yang dapat disertai muntah dan gangguan
visual. Lebih dari 10% populasi mengalami setidaknya satu serangan migrain
dalam hidupnya. Migrain dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya onset
terjadi saat remaja atau usia dua puluhan dengan wanita lebih sering serta riwayat
Migrain dalam keluarga pada sebagian besar pasien.14

B. Epidemiologi
Prevalensi migrain adalah sebesar 12-18%. Prevalensi migrain di Turki
dilaporkan sebesar 10,9% pada pria dan 21,8% pada wanita dalam suatu survei
epidemiologi nasional. Prevalensi paling tinggi terdapat pada usia produktif yaitu
antara 25-55 tahun.15

C. Klasifikasi
Menurut the International Headache Society, klasifikasi migrain adalah:
1) Migrain tanpa aura
2) Migrain dengan aura
a) Aura yang tipikal dengan sakit kepala migrain
b) Aura yang tipikal dengan sakit kepala selain migrain
c) Aura yang tipikal tanpa sakit kepala
d) Migrain hemiplegi familial
e) Migrain hemiplegi sporadik
f) Migrain basilaris
3) Sindrom periodik masa kecil yang biasanya prekursor migrain
a) Cyclical vomiting

2
b) Migrain abdominal
c) Vertigo paroksismal benigna masa kanak-kanak
4) Migrain retinal
5) Komplikasi migrain
a) Migrain kronik
b) Status migrainosus
c) Aura persisten tanpa infark
d) Infark migrain
e) Migrain-triggered seizures
6) Probable migraine.15

D. Migren tanpa aura (Sederhana)


1. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan nyeri kepala berulang dengan
manifestasi serangan berlangsung 4-72 jam, yang mempunyai. sedikitnya 2
karakteristik berikut : unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik.
2. Selama nyeri kepala disertai salah satu berikut : nausea dan atau muntah,
fotofobia dan fonofobia.
3. Serangan nyeri kepala tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.16

E. Migren dengan aura (Klasik)


Aura merupakan gejala fokal neurologi yang kompleks mendahului atau
bersamaan dengan serangan nyeri kepala.

1. Aura visual: Garis zigzag, skotoma, silau, perubahan dalam ukuran atau
bentuk objek dalam bidang visual.
2. Lainnya: Parestesia, afasia, kelemahan motorik (unilateral), disartria.13

1. Secara klinis :

3
a. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan nyeri kepala berulang yang didahului
gejala neurologi fokal yang reversibel secara bertahap 5-20 menit dan
berlangsung kurang dari 60 menit.

b. Terdapat sedikitnya satu aura berikut ini yang reversibel seperti : gangguan
visual, gangguan sensoris, gangguan bicara disfasia.
c. Paling sedikit dua dari karakteristik berikut :
1. Gejala visual homonim dan / atau gejala sensoris unilateral.
2. Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan / atau jenis
aura yang lainnya > 5 menit.
3. Tiap gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit
d. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.16

Gambar 5. Migrain dengan aura


Sumber : Deborah L. Upton Ilustration. Available at:
(http///:www.debbieupton.comproducts-pagemigraine-with-aura).
2. Status Migrenous
a. Serangan migren dengan intensitas berat yang berlangsung > 72 jam (tidak
hilang dalam 72 jam).
b. Tidak berkaitan dengan gangguan lain.

3. Patofisiologi

4
Migrain merupakan bentuk nyeri kepala neurovaskuler dengan adanya
perubahan pada saraf sehingga menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang
kemudian menimbulkan nyeri dan mengaktivasi saraf lainnya. Manifestasi yang
muncul berbeda tiap individu karena adanya variabilitas kelainan biologis dasar
dalam migrain. Variabilitas ini mungkin dihubungkan dengan adanya mutasi gen
yang berbeda. Pada pasien dengan migrain hemiplegi familial, ditemukan mutasi
dalam kanal kalsium. Diduga juga terjadi mutasi gen lainnya yang berhubungan
dengan migrain aura atau tanpa aura juga nyeri dan manifestasi lainnya.9
Dikenal dua teori mengenai patofisiologi Migrain, yaitu teori vasogenik
dan neurogenik. Dalam teori vasogenik dihipotesiskan bahwa terjadi
vasokonstriksi intrakranial yang dapat menimbulkan aura dan vasodilatasi reaktif
yang akan menyebabkan nyeri kepala. Hal ini diperkuat oleh adanya bukti bahwa
aura visual dapat diatasi sementara dengan menggunakan vasodilator amyl nitrate.
Peningkatan amplitudo pulsasi arteri temporal superfisial memperburuk nyeri
kepala dan melalui pemberian vasokonstriktor ergotamin akan memperkecil
amplitudo pulsasinya serta memperingan nyeri kepala.15
Vasokonstriksi terjadi saat fase prodormal. Hal ini dapat menimbulkan
aura atau tidak. Karena terjadi vasokonstriksi maka otak akan memunculkan
sinyal bahwa otak kekurangan oksigen. Selanjutnya terjadi vasodilatasi.
Vasodilatasi yang terjadi terlalu besar sehingga pembuluh darah menjadi
permeabel dan menyebabkan kebocoran plasma juga produksi neuropeptida
seperti substansi P dan calcitonin generelated peptide (cGRP). Neuropeptida ini
merangsang nosiseptor kranial sehingga menimbulkan rasa nyeri dan berdenyut.15
Inflamasi neurogenik yang terjadi berulang akan merangsang nosiseptor
kranial secara berulang juga dan kemudian menurunkan ambang aktivasinya dan
memperluas jarak reseptifnya. Serangan nyeri berulang menghasilkan hiperalgesia
atau penurunan ambang nyeri. Adanya inflamasi ditandai dengan pelepasan
kaskade zat substansi dari berbagai sel di sekitar daerah injury. Makrofag
melepaskan sitokin (IL1, IL6, TNFα dan Nerve Growth Factor atau NGF). Sel
yang rusak melepaskan ATP dan proton. Mast cell melepaskan metabolit histamin,
serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan

5
sensitisasi terminal sel saraf. Inflamasi neurogenik steril mengakibatkan proses
vasodilatasi dan kebocoran plasma yang mengikuti pelepasan neuropeptida cGRP
dan subtstansi P.9
Calcitonin generelated peptide (cGRP) dan substansi P didapati dalam
jumlah banyak di serabut sensoris trigeminal perivaskuler. Fungsi cGRP diduga
sebagai vasodilator atau anti vasokonstriktor. cGRP juga berperan sebagai
mediator dalam proses inflamasi neurogenik dan berperan sebagai penyebab
timbulnya nyeri. Begitu pula dengan substansi P, suatu neuropeptide pain
transmitter yang berfungsi sebagai modulator nosisepsi, inflamasi neurogenik dan
juga vasodilator.15
Neurotransmiter serotonin berperan dalam pengaturan vasokonstriksi dan
vasodilatasi pembuluh darah intrakranial. Serotonin dalam darah disimpan dalam
platelet dan akan dilepaskan oleh agregasi platelet. Desmukh dkk menemukan
peningkatan agregasi platelet selama fase prodormal dan penurunan agregasi
platelet selama fase sakit kepala migrain. Hal ini paralel dengan meningkatnya
serotonin plasma selama fase prodormal dan penurunan serotonin plasma selama
fase sakit kepala. Jadi vasokonstriksi dan vasodilatasi dalam migrain secara tidak
langsung berhubungan dengan agregasi platelet. Teori neurogenik Migrain
dihipotesiskan merupakan akibat dari disfungsi neuronal.15
Saat sakit kepala mulai muncul, terjadi oligemia. Oligemia adalah
penurunan aliran darah tanpa kerusakan jaringan akut, yang terjadi pada shock,
Migrain dan stroke penumbra. Oligemia ini yang bertanggung jawab terhadap
penekanan fungsi neuronal. Penurunan aliran darah atau Cerebral Blood Flow
(CBF) dimulai di daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan seperti suatu
gelombang.15
Berdasarkan konsep penjalaran depresi kortikal atau Cortical Spreading
Depression (CSD) menurut Leao, aura pada migrain dicirikan oleh terjadinya
gelombang depresi yang menyebar melintasi korteks serebral dengan kecepatan 2-
6 mm per menit. Kejadian depolarisasi sel saraf menghasilkan scintilating aura,
kemudian aktivitas sel saraf menurun menimbulkan gejala skotoma. Timbulnya

6
CSD dan aura memiliki kontribusi pada aktivasi neuron trigeminal, yang akan
mencetuskan timbulnya nyeri kepala.15
Fenomena sensitisasi sentral juga berperan dalam patogenesis migrain.
Sensitisasi sentral bertempat di neuron trigeminal batang otak. Mekanismenya
adalah karena perubahan fisiologi neuronal menyebabkan peningkatan sensitivitas
terhadap sensasi normal. Suatu keadaan yang dianggap sebagai marker dari
sensitisasi sentral adalah alodinia kutaneus. Alodinia menggambarkan suatu
kejadian nyeri oleh suatu stimulus yang biasanya tidak menyebabkan nyeri.
Sensasi normal tersebut contohnya adalah aktivitas sehari-hari seperti memegang
rambut, menyisir rambut, dan menolehkan kepala.15
Alodinia kutaneus memiliki daerah reseptif di daerah kepala ipsilateral
yang kemudian dapat menyebar ke daerah kontralateral dan kedua lengan.
Sehingga patofisiologi migrain diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber yang
terdapat di pembuluh darah intrakranial, namun juga terjadi kenaikan sensitisasi
sel saraf sentral terutama pada sistem trigeminal yang memproses informasi yang
berasal dari struktur intrakranial dan kulit. Induksi sensitisasi sentral ini
ditimbulkan oleh komponen inflamasi seperti potasium, proton, serotonin,
bradikinin dan prostaglandin.15
Observasi terhadap berbagai gangguan seperti hipomagnesemia,
peningkatan konsentrasi asam amino eksitatori (aspartat, glutamat) dan
peningkatan reaktivitas pembuluh darah kranial telah dilakukan saat periode di
antara dua serangan Migrain. Akumulasi dari gangguan ini akan meningkatkan
sensitivitas stimulasi nosiseptif.15

4. Manifestasi klinis
Serangan nyeri kepala yang timbul secara tiba-tiba dan biasanya unilateral
(80%), paroksismal dan rekuren. Nyeri kepala dirasakan sebagai nyeri kepala
yang berdenyut, menusuk-nusuk, rasa kepala mau pecah. Gejala prodormal atau
aura dapat terjadi bersamaan atau mendahului serangan Migrain, di antaranya:

7
1) Fenomena visual positif (penglihatan berkunang-kunang seperti melihat
kembang api, bulatan-bulatan terang kecil yang melebar sampai gejala fortifikasi
yang berupa gambaran benteng dari atas).
2) Fenomena visual negatif (penglihatan semakin kabur, seperti berawan sampai
semuanya tampak gelap).
3) Anoreksia, mual, muntah, diare, takut cahaya dan/atau kelainan otonom
lainnya.
Kadang-kadang terdapat kelainan neurologik (mialnya gangguan motorik,
sensorik, kejiwaan) yang menyertai, timbul kemudian atau mendahului serangan
migrain dan biasanya berlangsung sepintas/reversibel. Beberapa hal dapat menjadi
pemicu migrain di antaranya makanan tertentu (seperti coklat, keju, jeruk, tomat,
bawang, monosodium glutamate atau MSG, aspartam, alkohol), perubahan
hormonal (seperti menstruasi, ovulasi, kontrasepsi oral, terapi hormon), trauma
kepala, kelelahan fisik, medikasi (seperti histamin, reserpin, ranitidin) dan stress.15

5. Diagnosis
Kriteria diagnosis Migrain menurut International Headache Society (IHS)
adalah lima atau lebih episode sakit kepala dengan minimal dua gejala:

1) Nyeri unilateral
2) Nyeri berdenyut
3) Diperparah dengan gerakan
4) Kualitasnya sedang hingga berat
Dan ditambah setidaknya satu gejala:
1) Mual atau muntah
2) Fotofobia
3) Fonofobia.9,17

6. Terapi
 Edukasi : Hindari faktor pencetus
 Terapi abortif :

8
- Nonspesifik : analgetik I NSAIDs, Narkotik analgetik, adjunctive
therapy (mis : metoklopramide)
- Obat spesifik : Triptan, DHE (dihydroergotamine),obat kombinasi (mis :
aspirin dengan asetaminophen dan kafein), obat gol.ergotami.
- Bila tidak respon : Opiat dan analgetik yang mengandung butalbital.16

B. Nyeri Kepala Tipe-Tegang


1. Definisi
Tension-type Headache (TTH) adalah nyeri kepala bilateral yang menekan
(pressing/squeezing), mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak
diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau
minimal) mual atau muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.18,19
Nyeri kepala ini merupakan kondisi yang sering terjadi dengan penyebab
belum diketahui, walaupun telah diterima bahwa kontraksi otot kepala dan leher
merupakan mekanisme penyebab nyeri. Kontraksi otot dapat dipicu oleh faktor-
faktor psikogenik yaitu ansietas atau depresi atau oleh penyakit lokal pada kepala
dan leher.15

2. Epidemiologi

Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala.
TTH dan nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling
sering dijumpai. TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang
mempengaruhi hingga dua pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah
mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya.20 TTH episodik adalah nyeri
kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi satu tahun sekitar
38–74%.7 Rata-rata prevalensi TTH 11-93%. 21
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun,
namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita
TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH, 25% penderita TTH juga menderita
Migrain. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%, sedangkan
pada laki-laki hanya 69%. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia

9
penderita TTH adalah dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara 25 hingga 30
tahun.22 Meskipun jarang, TTH dapat dialami setelah berusia 50-65 tahun.23

3. Patogenesis
Secara umum diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus, dan sifilis
b. Gangguan fungsional, misalnya: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, obesitas, intoksikasi, dan nyeri yang direfleksikan.21
Buruknya upaya kesehatan diri sendiri (poor self-related health), tidak
mampu relaks setelah bekerja, gangguan tidur, tidur beberapa jam setiap malam,
dan usia muda adalah faktor risiko TTH.24 Pencetus TTH antara lain: kelaparan,
dehidrasi, pekerjaan/ beban yang terlalu berat (overexertion), perubahan pola
tidur, caffeine withdrawal, dan fluktuasi hormonal wanita. Stres dan konflik
emosional adalah pemicu tersering TTH. Gangguan emosional berimplikasi
sebagai faktor risiko TTH, sedangkan ketegangan mental dan stres adalah
faktorfaktor tersering penyebab TTH. Asosiasi positif antara nyeri kepala dan stres
terbukti nyata pada penderita TTH.21
Iskemik dan meningkatnya kontraksi otot-otot di kepala dan leher diduga
penyebab TTH, tetapi kadar laktat otot penderita TTH kronis normal selama
berolahraga (static muscle exercise). Aktivitas EMG (electromyography)
menunjukkan peningkatan titik-titik pemicu di otot wajah (myofascial trigger
points). Riset terbaru membuktikan peningkatan substansi endogen di otot
trapezius penderita tipe frequent episodic TTH. Juga ditemukan nitric oxide
sebagai perantara (local mediator) TTH. Menghambat produksi nitric oxide
dengan agen investigatif (L-NMMA) mengurangi ketegangan otot dan nyeri yang
berkaitan dengan TTH.21
Mekanisme myofascial perifer berperan penting pada TTH episodik,
sedangkan pada TTH kronis terjadi sensitisasi central nociceptive pathways dan
inadequate endogenous antinociceptive circuitry. Jadi mekanisme sentral berperan
utama pada TTH kronis. Sensitisasi jalur nyeri (pain pathways) di sistem saraf
pusat karena perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged nociceptive stimuli)

10
dari jaringan-jaringan miofasial perikranial tampaknya bertanggung-jawab untuk
konversi TTH episodik menjadi TTH kronis.21
TTH episodik dapat berevolusi menjadi TTH kronis:21
a. Pada individu yang rentan secara genetis, stres kronis menyebabkan
elevasi glutamat yang persisten. Stimulasi reseptor NMDA
mengaktivasi NFκB, yang memicu transkripsi iNOS dan COX-2, di
antara enzim-enzim lainnya. Tingginya kadar nitric oxide
menyebabkan vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis
superior, dan kerusakan nitrosative memicu terjadinya nyeri dari
beragam struktur lainnya seperti dura.
b. Nyeri kemudian ditransmisikan melalui serabut-serabut C dan neuron-
neuron nociceptive Aδ menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di
TCC (trigeminocervical complex.), tempat mereka bersinap dengan
second-order neurons.
c. Pada beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan
neuron-neuron mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi
homosinaptik dan heterosinaptik sebagai bagian dari plastisitas
sinaptik yang memicu terjadinya sensitisasi sentral.
d. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan
pelepasan beragam neuropeptida dan neurotransmiter (misalnya:
substansi P dan glutamat) yang mengaktivasi reseptor-reseptor di
membran postsynaptic, membangkitkan potensial-potensial aksi dan
berkulminasi pada plastisitas sinaptik serta menurunkan ambang nyeri
(pain thresholds).
e. Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostroventral medulla)
secara normal melalui sinyal-sinyal fi ne-tunes pain yang bermula dari
perifer, namun pada individu yang rentan, disfungsi dapat
memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan terjadinya
sensitisasi sentral.

11
f. Pericranial tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment
serabut-serabut C dan mekanoreseptor Aβ di sinap-sinap TCC,
membiarkan perkembangan allodynia dan hiperalgesia.
g. Intensitas, frekuensi, dan pericranial tenderness berkembang seiring
waktu, berbagai perubahan molekuler di pusat lebih tinggi seperti
thalamus memicu terjadinya sensitisasi sentral dari neuronneuron
tersier dan perubahan-perubahan selanjutnya pada persepsi nyeri.
Konsentrasi platelet factor 4, betathromboglobulin, thromboxane B2, dan
11-dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH
episodik dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan kelompok kontrol
(sehat).33 Pada penderita TTHepisodik, peningkatankonsentrasisubstansi P jelas
terlihat di platelet dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di selsel
mononuklear darah perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada
CSF (cairan serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis
ketidakseimbangan mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa TTHadalah proses multifaktorial yang
melibatkan baik faktor-faktor miofasial perifer dan komponen-komponen sistim
saraf pusat.21
4. Manifestasi Klinik
TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul yang menetap atau
konstan, dengan intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala
ini terkadang dideskripsikan sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala
dengan intensitas ringan–sedang (nonprohibitive) dan kepala terasa kencang.
Kualitas nyerinya khas, yaitu: menekan (pressing), mengikat (tightening), tidak
berdenyut (nonpulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di
kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa
kaku.21,24
TTH tidak dipengaruhi aktivitas fisik rutin. Dapat disertai anorexia, tanpa
mual dan muntah. Dapat disertai photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata
saat terpapar cahaya) atau phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang
suara). TTH terjadi dalam waktu relatif singkat, dengan durasi berubah-ubah

12
(TTH episodik) atau terus-menerus (TTH kronis). TTH episodik terjadi bila nyeri
kepala berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari, minimal 10 kali, dan kurang
dari 180 kali dalam setahun.21,24
TTH kronis bila nyeri kepala 15 hari dalam sebulan (atau 180 hari dalam
satu tahun), selama 6 bulan. Penderita TTH kronis sangat sensitif terhadap
rangsang. Berdasarkan analisis multivariat karakteristik klinis, kriteria diagnostik
TTH yang memiliki nilai sensitivitas tinggi adalah tidak disertai muntah (99%),
tidak disertai mual (96%), lokasi bilateral (95%), tidak disertai fotofobia (94%).
Sedangkan yang memiliki nilai spesifisitas tinggi adalah intensitas ringan (93%),
kualitas menekan atau mengikat (86%), tidak disertai fonofobia (63%), kualitas
tidak berdenyut (57%). Pengaruh nyeri kepala pada kehidupan penderita dapat
diketahui dengan kuesioner Headache Impact Test-6 (HIT-6). Pada individu dan
masyarakat, TTH berdampak pada penurunan produktivitas, ketidakhadiran dari
sekolah dan pekerjaan, dan penggunaan jasa medis (konsultasi/berobat ke
dokter).21

5. Diagnosis
Kriteria Diagnosis Klinis :
a) Sekurang-kurangnya terdapat 10 episode serangan nyeri kepala
b) Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
c) Sedikitnya memiliki 2 karakteristik nyeri kepala berikut :
1. Lokasi bilateral
2. Menekan / mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan atau sedang
4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.
d) Tidak dijumpai :
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia)
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.
e) Tidak berkaitan dengan kelainan lain.16
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis
komprehensif adalah kunci evaluasi klinis TTH dan dapat menyediakan petunjuk

13
potensial terhadap penyebab penyakit (organik, dsb) yang mendasari terjadinya
TTH. Pada palpasi manual gerakan memutar kecil dan tekanan kuat dengan jari ke
dua dan ke tiga di daerah frontal, temporal, masseter, pterygoid,
sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot trapezius, dijumpai pericranial
muscle tenderness, dapat dibantu dengan palpometer. Pericranial tenderness
dicatat dengan Total Tenderness Score. Menurut referensi lain, prosedurnya
sederhana, yaitu: delapan pasang otot dan insersi tendon (yaitu: otot-otot masseter,
temporal, frontal, sternocleidomastoid, trapezius, suboccipital, processus
coronoid dan mastoid) dipalpasi. Palpasi dilakukan dengan gerakan rotasi kecil
jari kedua dan ketiga selama 4-5 detik. Tenderness dinilai dengan empat poin
(0,1,2, dan 3) di tiap lokasi (local tenderness score); nilai dari kedua sisi kiri dan
kanan dijumlah menjadi skor tenderness total (maksimum skor 48 poin).
Penderita TTH diklasifikasikan sebagai terkait (associated) (skor tenderness total
lebih besar dari 8 poin) atau tidak terkait (not associated) (skor tenderness total
kurang dari 8 poin) dengan pericranial tenderness. Pada TTH juga dijumpai
variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri otot (muscle trigger points). Baik TrPs aktif
maupun laten dijumpai di otot-otot leher dan bahu penderita TTH. TrPs berlokasi
di otot-otot splenius capitis,splenius cervicis, semispinalis cervicis, semispinalis
capitis, levator scapulae, upper trapezius, atau suboccipital. TrPs di otot-otot
superior oblique, upper trapezius, temporalis, sub occipital, dan
sternocleidomastoid secara klinis relevan untuk diagnosis TTH episodik dan
kronis.21
Diagnostik penunjang TTH adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau
cervical spine, analisis CSF, atau pemeriksaan serum dengan laju endap darah
(erythrocyte sedimentation rate), atau uji fungsi tiroid.Neuroimaging terutama
direkomendasikan untuk: nyeri kepala dengan pola atipikal, riwayat kejang,
dijumpai tanda/gejala neurologis, penyakit simtomatis seperti: AIDS (acquired
immunodefi ciency syndrome), tumor, atau neurofi bromatosis. Pemeriksaan
funduskopi untuk papilloedema atau abnormalitas lainnya penting untuk evaluasi
nyeri kepala sekunder.21

6. Terapi

14
Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan intensitas nyeri kepala
(terutama TTH) dan menyempurnakan respon terhadap terapi abortive. Terapi
dapat dimulai lagi bila nyeri kepala berulang. Masyarakat sering mengobati
sendiri TTH dengan obat analgesik yang dijual bebas, produk berkafein, pijat,
atau terapi chiropractic. Terapi TTH episodik pada anak: parasetamol, aspirin, dan
kombinasi analgesik. Parasetamol aman untuk anak.46 Asam asetilsalisilat tidak
direkomendasikan pada anak berusia kurang dari 15 tahun, karena kewaspadaan
terhadap sindrom Reye. Pada dewasa, obat golongan anti-inflamasi non steroid
efektif untuk terapi TTH episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat (misal:
butorphanol). Pemakaian analgesik berulang tanpa pengawasan dokter, terutama
yang mengandung kafein atau butalbital, dapat
memicu rebound headaches. Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400
mg), parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif daripada
parasetamol. Kafein dapat meningkatkan efek analgesik. Analgesik sederhana,
nonsteroidal anti-infl ammatory drugs (NSAIDs), dan agen kombinasi adalah
yang paling umum direkomendasikan.21
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif,
terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural therapy, atau
kombinasinya. Solusi lain adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup. Misalnya:
istirahat di tempat tenang atau ruangan gelap. Peregangan leher dan otot bahu 20-
30 menit, idealnya setiap pagi hari, selama minimal seminggu. Hindari terlalu
lama bekerja di depan komputer, beristirahat 15 menit setiap 1 jam bekerja,
berselang-seling, iringi dengan instrumen musik alam/klasik. Saat tidur, upayakan
dengan posisi benar, hindari suhu dingin. Bekerja, membaca, menonton TV
dengan pencahayaan yang tepat. Menuliskan pengalaman bahagia. Terapi tawa,
berdoa. Pendekatan multidisiplin adalah strategi efektif mengatasi TTH. Edukasi
baik untuk anak dan dewasa, disertai intervensi nonfarmakologis dan dukungan
psikososial amat diperlukan.21,24

C. Nyeri Kepala Klaster

15
1. Definisi
Nyeri kepala Klaster adalah suatu sindrom nyeri kepala neurovaskular
yang khas dan dapat disembuhkan. Berbagai istilah lain pernah digunakan seperti
nyeri kepala Histamin, nyeri kepala Horton, nyeri kepala Migrenosa dan
Neuralgia Nokturnal Paroksimal.25
Sindrom ini berbeda dengan Migrain, walaupun sama-sama ditandai oleh
nyeri kepala unilateral, dan dapat terjadi bersamaan. Mekanisme histaminergik
dan humoral diperkirakan mendasari gejala otonom yang terjadi bersamaan
dengan nyeri kepala ini.14

2. Epidemiologi
Insidensi jauh lebih jarang dibandingkan Migrain. Lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan onset usia 20 hingga 60 tahun.
Alkohol dan merokok sering disebutkan sebagai faktor pemicu. Faktor lainnya
seperti stres, perubahan cuaca, dan serangan hay fever.25

3. Patogenesis
Patogenesis nyeri kepala Klaster belum diketahui. 14,25 Tidak ada perubahan
aliran darah, serebrum yang konsisten yang dibuktikan menyertai serangan nyeri.
Pada salah satu teori, patofisiologi dasar diperkirakan adalah sistem vaskular
trigeminus jalur akhir terutama dengan nyeri dipicu secara siklis oleh suatu
pemacu (pacemaker) sentral yang mengganggu. Pada mamalia, hipotalamus
anterior mengandung sel-sel yang membentuk pemacu sirkardian utama dan
hipotalamus posterior mengandung sel-sel yang mengendalikan fungsi otonom.
Keduanya harus diaktifkan agar timbul gejala-gejala (autonom dan periodik) nyeri
kepala cluster. Pemacu mengalami modulasi oleh proyeksi rafe dorsal
serotonergik. Dugaan bahwa nyeri kepala cluster disebabkan oleh kelainan
neurotransmisi serotonergik seperti migrain namun lokasinya berbeda.25
Dilatasi pembuluh darah arteri oftalmika dan ekstrakranium serta kapiler
wajah dan kulit kepala biasanya berdilatasi dan arteri karotis interna menyempit

16
sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa nyeri kepala hebat serta gejala
penyerta lainnya.25

4. Manifestasi Klinis
Pola episodik adalah tipe tersering yang ditandai dengan satu sampai tiga kali
serangan singkat nyeri di daerah periorbita per hari selama periode 4 sampai 8
minggu diikuti oleh interval bebas nyeri yang lamanya rata-rata satu tahun. Nyeri
berlangsung konstan, parah, tidak berdenyut dan unilateral serta sering terbatas
pada mata atau sisi wajah. Awitan biasanya 2 sampai 3 jam setelah tidur dan
tampaknya berkaitan dengan tidur rapid eye movement.25 Pasien merasakan
serangan nyeri hebat di sekitar satu mata(selalu pada sisi yang sama) selama 20
hingga 120 menit, dapat berulang beberapa kali dalam sehari, dan sering
membangunkan pasien lebih dari satu kali dalam semalam. Gejala penyerta antara
lain adalah injeksi konjungtiva, lakrimasi, hidung tersumbat dan kadang
kemerahan (flushing) di sisi yang terkena. Berbeda dengan Migrain, pengidap
nyeri Cluster berjalan bolak-balik dengan gelisah dan tidak mampu berbaring atau
duduk diam.14,25

5. Diagnosis
Kriteria Diagnosis :
Secara klinis :
a. Sekurang-kurangnya terdapat 5 serangan nyeri kepala hebat atau sangat hebat
sekali di orbita, supraorbita dan/ atau temporal yang unilateral, berlangsung 15-
180 menit bila tak diobati.
b. Nyeri kepala disertai setidak-tidaknya satu dari berikut :
1. Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral
2. Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea ipsilateral
3. Oedema palpebra ipsilateral
4. Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral
5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6. Perasaan kegelisahan atau agitasi.
c. Frekuensi serangan :

17
dari 1 kali setiap dua hari sampai 8 kali per hari
d. Tidak berkaitan dengan gangguan lain.16

6. Terapi
Diagnosis nyeri kepala tipe Cluster berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang khas seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sasaran terapi yaitu
menghilangkan nyeri serta mencegah serangan. Terapi farmakologi yang sering
digunakan adalah obat yang dapat menyebabkan vasokonstriktor seperti
ergotamin tartat, sumatriptan. Inhalasi oksigen 100% selama serangan efektif bagi
sebagian pasien. Diduga karena terjadi pengurangan darah aliran darah pada
serebrum. Sumatriptan (6 mg secara subkutis) sering dapat mempersingkat
serangan.25
Antagonis serotonin metisergid, litium, verapamil, ergotamin dan
prednison digunakan sebagai profilaksis. Pemberian obat harus diberikan satu
sampai dua jam sebelum perkiraan serangan.25
Tabel 1. Perbedaan Setiap Nyeri Kepala Primer

Tabel 1. Perbedaan setiap nyeri kepala primer.


Sumber: IDI.ANLS.2013.

18
Tabel 2. Perbedaan setiap nyeri kepala primer.
Sumber: IDI.ANLS.2013.

19
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri kepala atau Cephalgia adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala
atau merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala.
Nyeri kepala merupakan salah satu gangguan sistem saraf yang paling umum
dialami oleh masyarakat. Menurut WHO pada sebagian besar kasus nyeri kepala
dirasakan berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya.1

Berdasarkan penyebabnya nyeri kepala digolongkan nyeri kepala primer


dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak
jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan struktur atau sejenisnya. Nyeri
kepala sekunder adalah nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi atau
kelainan struktur atau sejenisnya dan bersifat kronis progresif, antara lain meliputi
kelainan non vaskuler.2 Nyeri kepala primer antara lain adalah nyeri kepala Tipe
Tegang (Tension Type Headache), nyeri kepala Migrain (Migraine), dan nyeri
kepala Klaster (Cluster).1

Migrain lebih banyak dialami oleh perempuan dari pada laki-laki, sifat
nyeri pada migrain berdenyut, derajat nyeri sedang sampai dengan berat, dengan
durasi 4 -72 jam. Pada TTH persentase kejadian banyalk dialami oleh perempuan
dari pada laki-laki, sifat nyeri bersifat tumpul, derajat nyeri ringan sampai sedang
dengan durasi nyeri bervariasi. Sedangkan pada Cluster type headache lebih
banyak dialami oleh laki-laki dari pada perempuan, nyeri bersifat tajam, derajat
neri sangat berat, dengan durasi neri 15 menit – 3 jam.
Untuk terapi yang diberikan pada migrain adalah hindari faktor pencetus
timbulna migrain, untuk terapi farmakologi berikan analgetik, obat spesifik:
Triptan, bila tidak respon : Opiat dan analgetik. Terapi TTH beberapa obat yang
terbukti efektif: ibuprofen (400 mg), parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg).
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif, terapi
kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural therapy, atau kombinasinya.
Untuk terapi Cluster type headache . Inhalasi oksigen 100% selama serangan

20
efektif bagi sebagian pasien. Diduga karena terjadi pengurangan darah aliran
darah pada serebrum. Sumatriptan (6 mg secara subkutis) sering dapat
mempersingkat serangan. Inhalasi oksigen 100% selama serangan efektif bagi
sebagian pasien. Diduga karena terjadi pengurangan darah aliran darah pada
serebrum. Sumatriptan (6 mg secara subkutis) sering dapat mempersingkat
serangan. Pemberian obat harus diberikan satu sampai dua jam sebelum perkiraan
serangan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Bonica JJ ., 1989. International for the Study of Pain: Pain Definition. The
need of a taxonomy. Pain ; 6(3):247-8.
2. Lindsay, Kenneth W,dkk. 2004. Headache.Neurology and Neurosurgery
Illustrated. London: Churchill Livingstone.66-72.

3. Funaidi S. 2013. Sakit Kepala, Migrain dan Vertigo. Jakarta: Gramedia


4. Sjahrir, Hasan. 2004. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri
Kepala. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
5. Price, Sylvia dan Lorraine M.Wilson. Patofisiologi edisi 6.Jakarta :
EGC.2003.
6. Dowson A, Mullen MJ, Peatfield R, et al. Migraine Intervention With
STARFlex Technology (MIST) trial: a prospective, multicenter, double-
blind, sham-controlled trial to evaluate the effectiveness of paten foramen
ovale closure with STARFlex sepal repair implant to resolve refractory
migraineheadache. Circulation 2008;117(11):1397Y1404.
7. Simon, Roger P, David A.Greenberg, dan Michael J.Aminoff.Headaches
and facial pain.Clinical Neurology. United states of Amerika :
Lange.2009.69-93.

8. Davis, LE., King M.L.,Schulz JL. Disoerder of pain and headache. In:
Fundametals of Neurologic Disease Demos Medical Publishing,New York,
2004:201-7
9. Headache Classification Subcommitee of the International Headache
nd
Society. The International Headache Classification Disorder: 2
Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:1-160
10. Sjahrir, H. 2008. Patofisiologi nyeri kepala in : Nyeri kepala dan vertigo.
Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press

11. Horev, A., Wirguin, I., Lantsberg, L., Ifergane, G. A High Incidence of
Migraine with Aura among Morbidly Obese Women. Headache, 45: 936-8
George, K.O. 2006. Migraine Headache. National Institute of.

22
12. Stewart WF, Wood C, Reed ML, et al. Cumulative lifetime migraine
incidence Ni women and men. Cephalalgia 2008;28(11):1170Y1178.
13. Valenti S, Fazzuoli L, Giusti M. Circulating nitric oxide levels increase
after anti-androgenic treatment in male-to-female transsexuals. J
Endocrinol Invest 2003;26(6):522Y526.
14. HealthSelby G, Lance JW. Observations on 500 cases of migraine and
allied vascular headaches. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1960;23:23Y32
15. Reuter, Uwe et al. Delayed Inflamation in rat meninges : implication for
migraine pathofisiology. Oxford university press, 2001; 124 : 2490 - 2502.
16. Suharjanti, Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. 2013.

23

Anda mungkin juga menyukai