Anda di halaman 1dari 3

NAMA : KHAIRUNNISA

NIM : 151308800
PRODI : HES
UNIT : II
SEMESTER : 6

EKSISTENSI HUKUM JINAYAT DALAM QANUM DI ACEH SAAT INI


Masyarakat Aceh boleh berbangga, pasalnya pada Oktober 2015 mendatang Qanun Nomor 6
Tahun 2014 akan diberlakukan efektif. Qanun yang dinilai sebagai hukum materiil jinayat itu,
sejak 22 Oktober 2014 telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bersama
pemerintah daerah dan telah diundangkan dalam lembaga Aceh Nomor 7 di tahun yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 bahwa qanun jinayat secara
otomatis berlaku efektif setahun sejak diundangkan yaitu pada tanggal 23 Oktober 2015 yang
akan datang.

Dalam acara seminar sehari yang diadakan Mahkamah Syar’iyah Aceh pada tanggal 4
Agustus 2015, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Dr. H. Jufri Gholib., S.H., M.H. ingin
meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa aparat penegak hukum di Aceh siap melakukan
Qanun tersebut. Keinginan Mahkamah Syar’iyah direspon positif oleh Dinas Syariat Islam
Aceh, Kepolisian Daerah, dan Kejaksaan di Aceh. Empat instansi hukum itu, satu suara
dalam menyikapi efektifitas pemberlakuan Qanun Jinayat sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing. Direktur pusat mediasi dan konsultasi hukum Al-Hikmah Aceh
sekaligus inisiator seminar sehari bertajuk “Evaluasi Kritis Implementasi Qanun Nomor : 6
Tahun 2014 tentang Jinayat dan Kesiapan Penegak Hukum di Aceh” Drs. H. Soufyen M.
Saleh., S.H., M.M meyakini, nahwa baik masyarakat maupun penegak hukum mampu
melaksanakan isi materi dalam qanun jinayat yang akan berlaku. Menurut mantan Ketua PTA
Medan tersebut, kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 adalah sebagai hukum materi
jinayat, sedangkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 adalah hukum acara jinayat.

Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh pun sependapat, menurut Drs. H. Jufri Ghalib., S.H., M.H,
kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyah dalam mengadili perkara jinayat sudah diatur
dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta telkah dirincikan
dalam beberapa qanun yang telah terbit. “Hal-hal yang bersifat teknis yustisial atau hukum
accara jinayat yang tidak diatur dalam qanun acara jinayat, para hakim tetap merujuk pada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), caranya dengan
mengharmonisasikan pelaksanaannya esuai dengan asas-asas syariat Islam”, tulis Ketua
mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rumusan hasil seminar.

Perkara Maisir Mendominasi Mahkamah

Berdasarkan data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh, sepanjang tahun 2014 lalu perkara maisir
(perjudian) mendominasi meja hijau Mahkmah Syar’iyah di Aceh sebanyak 87 kasus,
menyusul perkara khalwat sebanyak 8 perkara, dan khamar hanay satu perkara.
Dari jumlah 87 kasus maisir tersebut, Mahkamah Syar’iyah Sigli paling banyak menangani
dan menyelesaikan sebanyak 21 kasus, menyusul Mahkamah Syar’iyah Langsa 9 kasus,
Mahkamah Syar’iyah Meureudu 8 kasus, Mahkamah Syar’iyah Bireuen dan Mahkamah
Syar’iyah Idi masing-masing 7 kasus, Mahkamah Syar’iyah Kutacane 6 kasus, Mahkamah
Syar’iyah Singkil 5 kasus, Mahkamah Syar’iyah banda Aceh dan mahkamah Syar’iyah
Takengon masing-masing 4 kasus, Mahkamah Syar’iyah Jantho, Sinabang, dan Simpang
Tiga Radelong masing-masing dua kasus, dan Mahkamah Syar’iyah Sabang hnaya
menangani satu kasus maisir, sedangkan Mahkamah syar’iyah Tapaktuan, Lhokseumawe,
Blangkeujeren, dan Mahkamaha Syar’iayh Calang tidak mendapatkan perkara apapun bidang
jinayat.
Masih sama dengan tahun lalu, sejak Januari hingga Juni tahun 2015, perkara maisir
mendominasi sebanyak 28 kasus, menyusul perkara khalwat sebanyak 6 kasus, dan satu kasus
untuk khamar. Mahkamah Syar’iyah Sigli masih menduduki peringkat atas sebanyak 9
perkara maisir yang diteima dan diputuskan, disusul Mahkamah Syar’iyah Meulaboh da
Mahkamah Syar’iyah Jantho sebanyak 4 kasus maisir, sedangkan Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh sebanyak 4 perkara khalwat telah diputuskan. Menurut Ketua Mahkamah
Syar’iyah Langsa, kebanyakan masyarakat Aceh menyangsikan pelaksanaan qanun tersebut
akan efektif, karena selama ini qanun yang telah terbit seperti qanun khomar, maisir dan
khalwat dibeberapa daerah tidak berjalan efektif.

“Sebagai contoh qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam hamper
dapat dikatakan tidak berjalan sama sekali. Di dalam qanun tersebut dinyatakan bahwa bagi
seorang muslim yang tidak sholat jum’at 3 kali berturut-turut dapat dihukum cambuk. Sifat
tebang pilih atau hokum yang tajam ke bawah terasa sekali karena hampir 99% terpidana
yang terkena hukuman cambuk adalah masyarakat kalnagn bawah”, tulis Drs. Zulkarnain
Lubis., M.H. dalam surat elektronik kepada redaktur pada Sabtu 15 Agustus 2015.
Mengamati data perkara jinayat yang masuk Mahkamah Syar’iyah Aceh sepanjang tahun
2014, para terpidana dari kalangan berpenghasilan rendah, seperti tukang becak, mocok-
mocok, pekerjaan tidak tetap bahkan ada yang hanya ibu rumah tangga biasa. Perbuatan
maisir tersebut adalah maisir kelas bawah dengan jumlah taruhan minimal Rp.54.000,- (lima
puluh empat ribu rupiah) dan maksimal Rp.700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) sampai
Rp.1.400.000,- (satu juta empat ratus ribu rupiah). Menurut Zulkarnain Lubis, fenomena
Eksekusi pencambukan khususnya di daerah Langsa masih perlu banyak penambahan,
terutama masalah eksekusi di lapangan yang terkesan tidak dikelola secara professional.
“Sebagai contoh yang terjadi di lapangan, eksekusi cambuk dihadiri oleh masyarakat yang
belum berumur 18 tahun, tidak dihadiri oleh hakim Pengawas dari Mahkamah Syar’iayh,
jarak antara pengujung dan tempat pencambukan yang terlalu dekat sehingga terkesan
semrawut, terpidana tidak dapat dieksekusi karena sudah tidak berada di tempat dan lain
sebagainya”, tulis mantan wakil ketua PA Sibolaga.

Meskipun demikian, secara keseluruhan upaya penegakan hokum Jinayat di seluruh Aceh dan
khususnya Kota Langsa telah mempersempit ruang gerak pelaku tindakan jarimah.
Masyarakat kalangan terdidik dapat dipastikan sangat takut dicambuk di tempat terbuka
akibat tindakan pelanggaran hokum jinayat. Hal itu disebabkan praktik hukuman cambuk di
Aceh memang berbeda dengan di Malaysia atau Pakistan. Menurut Zulkarnain Lubis,
cambuk di Malysia benar-benar melukai, seorang yang kena cambuk akan mengalami proses
penyembuhan cukup lama bahkan bebulan-bulan, sedangkan hukuman cambuk di Aceh
hanya memberikan efek malu.

“Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2005 tentang petunjuk
teknis pelaksanaan Uqubat cambuk Aceh lebih syar’I disbanding praktik cambuk di negara
lain. Karena memang praktik hokum cambuk di zaman Rasulullah dan sahabat tidak terlalu
keras dan tidak pula terlalu lembut”, tulisnya di akhir surat elektronik.

Anda mungkin juga menyukai