Anda di halaman 1dari 21

PORTOFOLIO

THYPOID FEVER

Disusun Oleh :

dr. Martinus Satya Gani

Pendamping :

dr.Muhammad Al Asyhar

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR


BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Nama : dr. Martinus Satya Gani


Judul/Topik : Thyfoid Fever
Nama Pendamping : dr. Muhammad Al Asyhar
Nama Wahana : Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Dokter Pendamping

dr. Muhammad Al Asyhar


Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini hari Kamis tanggal 20 April 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama : dr Martinus Satya Gani

Judul/ topik : Thyfoid Fever

No. ID dan Nama Pendamping : dr. Muhammad Al. Asyhar

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Karanganyar

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

9. 9.

10. 10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Muhammad Al Asyhar

NIP. 19711016200501 1 008


Nama Peserta Dr. Martinus Satya Gani
Nama Wahana RSUD KARANGANYAR
Topik Demam Tifoid
Tanggal (Kasus) 20 Maret 2017
Nama Pasien An. WS No RM 1316xx
Tanggal Presentasi Nama dr. Muhammad Al
Pendamping Asyhar
Tempat Presentasi
Obyektif Presentasi
 Deskripsi Anak laki-laki, usia 2 tahun, Demam Tifoid
 Tujuan Menentukan diagnosis dan klasifikasi serta melakukan tatalaksana awal
dan juga lanjutan dari demam Tifoid
Bahan Bahasan Kasus
Cara Membahas Presentasi dan Diskusi

Data utama untuk bahan diskusi


1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Anak laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan utama demam. Demam dirasakan sejak 1
minggu yang lalu. Demam dirasakan naik turun, puncak demam dirasakan saat malam hari.
Demam tidak pernah turun mencapai normal. 3 hari SMRS, orang tua pasien membawa pasien
berobat ke dokter praktik dan diberi obat penurun panas. Setelah minum obat penurun panas,
untuk beberapa hari demam mereda tetapi kembali demam lagi. Selain demam, pasien juga
mengeluhkan sakit perut, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemas.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai mencret sekitar 3x kali dengan warna
kecoklatan, ampas (+), lendir (-), darah (-). Perut pasien dirasakan nyeri yang hilang timbul.
Ibu pasien juga mengeluhkan pasien sering merasakan mual tetapi tidak muntah. BAK pasien
lancar, dengan warna kuning bening, frekuensi 4-5 x sehari sebanyak kira-kira 1 cangkir. Ibu
pasien menyangkal adanya kejang dan mimisan pada pasien.

2. Riwayat Pengobatan
Minum Obat Sanmol syrup 3x1 cth, zinc 1x20 mg, L-bio 1x1 sachet

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit
Tidak pernah menderita penyakit berat sebelumnya. Pasien hanya sering menderita batuk
pilek, kadang disertai dengan demam.

4. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Pasien lahir normal di RSUD Soe dan
ditolong oleh bidan. Setelah lahir pasien langsung menangis. Pertumbuhan dan perkembangan
pasien dirasakan normal oleh keluarganya. Berat badan serta panjang badan sewaktu lahir tidak
ingat.
5. Riwayat Pekerjaan
Pasien belum bekerja
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik
Pasien tinggal di sebuah rumah yang berisi 6 orang, yaitu ayah, ibu, adik, dan 2 orang sepupu
pasien. Pasien tidur di 1 kamar bersama dengan ayah, ibu, dan adiknya di kamar tidur dengan 1
buah jendela.
7. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi lengkap

8. Lain – lain

Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum: tampak sakit sedang
 Berat Badan :8,3 kg, TB: 110 cm
 Kesadaran: compos mentis, GCS E4V5M6
 Tekanan darah : 92/67, Nadi: 90 kali per menit, Laju pernapasan: 20 kali per menit, Suhu: 39oC
 Kepala: konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-, sianosis -, sesak -, pupil isokor 3 mm/3 mm,
refleks cahaya +/+, lidah kotor (+), petekiae (-)
 Leher: kelenjar getah bening tidak teraba, kaku kuduk (-)
 Jantung: S1 dan S2 reguler, gallop -, murmur –
 Paru: simetris, retraksi -, sonor, ronki -/-, wheezing -/-
 Abdomen: datar, supel, bising usus (+), hipertimpani (+), nyeri tekan hampir di seluruh regio
abdomen
 Ekstremitas: edema -/-, akral hangat, CRT < 2 detik, Rumple Leed (-)

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap Tes Widal


Hb = 8,7 gr/dL S. Typy O = 1/80
Eritrosit = 4,84 jt/mm3 S. Typy H = 1/80
Leukosit =19.700 /ul S. Paratypy A = 1/320
Trombosit = 432.000/ul S. Paratypy B = 1/80
Hematokrit = 42,5%

Tatalaksana:
- Rawat bangsal
- IVFD Asering 850 cc/ 24 jam.
- Inj.Ranitidin 2 x 10 mg IV
- Inj.Antrain 3 x 100 mg IV
- Inj.Ceftriaxon 2 x 400 mg IV
- Observasi tanda vital
- Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah serat
Daftar Pustaka
1. Zulkarnain, Iskandar, prof, dr. Perkembangan Diagnosis dan Penatalaksaan Beberapa Penyakit
Infeksi Khususnya Tifoid. FKUI. Jakarta. September 2004
2. Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2: Ilmu Kesehatan Anak. Media
Aesculapius FKUI, 2000
3. Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak: Nelson. Volume 2. 2000
4. Zulkarnain, Iskandar, prof, dr. Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid. FKUI. Jakarta, 2000.

5. Arwin, dr, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta.
Februari, 2005.

Hasil Pembelajaran
1. Menentukan diagnosis Demam Tifoid
2. Tatalaksana awal dan lanjut Demam Tifoid

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

Subyektif
Anak laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan utama demam. Demam dirasakan sejak 1 minggu
yang lalu. Demam dirasakan naik turun, puncak demam dirasakan saat malam hari.
Demam tidak pernah turun mencapai normal. 3 hari SMRS, orang tua pasien membawa pasien
berobat ke dokter praktik dan diberi obat penurun panas. Setelah minum obat penurun panas, untuk
beberapa hari demam mereda tetapi kembali demam lagi. Selain demam, pasien juga mengeluhkan
sakit perut, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemas.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai mencret sekitar 3x kali dengan warna kecoklatan,
ampas (+), lendir (-), darah (-). Perut pasien dirasakan nyeri yang hilang timbul. Ibu pasien juga
mengeluhkan pasien sering merasakan mual tetapi tidak muntah. BAK pasien lancar, dengan warna
kuning bening, frekuensi 4-5 x sehari sebanyak kira-kira 1 cangkir. Ibu pasien menyangkal adanya
kejang dan mimisan pada pasien.

Obyekif

Hasil pemeriksaan fisik dan observasi yang dilakukan selama di Bangsal Anak Melati RSUD Soe
mendukung diagnosis demam Tifoid
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan :
 Tanda vital : Tekanan darah : 92/67, Nadi: 90 kali per menit, Laju pernapasan: 20 kali per
menit, Suhu: 39oC
 Lidah bagian tengah tampak kotor , di pinggir lidah tampak kemerahan
 Gejala klinis : Demam dengan suhu : 39 oC mulai malam hari, perut terasa nyeri dan BAB
mencret, nafsu makan berkurang, badan terasa lemas.
 Hasil Darah Tepi:
Leukosit: 19.700 /uL
Widal: S. Typy O = 1/80
S. Typy H = 1/80
S. Paratypy A = 1/320
S. Paratypy B = 1/80

Assessment (Penalaran)

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi
yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah
tropis dan subtropis. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada
S. typhi. Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar,
dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai
dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain,
ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan
Dalam kasus ini, pasien usia 2 tahun mengeluhkan demam 1 minggu lalu terutama tinggi saat
malam hari, disertai dengan mual, nyeri hilang timbul di perut dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan lidah kotor di tengah dan kemerahan di tengah (+), kemudian didapatkan leukositosis
dari hasil pemeriksaan laboratorium darah. Dengan penemuan ini maka pasien ini terkena Demam
Tifoid

Plan

Diagnosis : Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium darah.

Penanganan : Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.

Pendidikan : Melakukan edukasi terhadap keluarga yang menjaga pasien untuk istirahat total,
menghabiskan obat antibiotik, Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah serat

Konsultasi : Konsultasi dengan dokter spesialis bagian anak perlu dilakukan apabila didapatkan
tanda-tanda komplikasi intestinal, komplikasi ekstraintestinal.

TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

I. PENDAHULUAN

Demam tifoid memiliki beberapa nama lain yaitu demam enterik dan tifus abdominalis.
Demam tifoid terus menjadi penyakit yang banyak diderita dibanyak tempat di dunia terutama di
negara berkembang yang tidak hanya mengenai penduduknya tetapi juga mengenai pengunjung ke
daerah atau negara tersebut. Diperkirakan ada 20 juta kasus tiap tahunnya di dunia dengan lebih dari
200.000 kematian.

Banyaknya angka kejadian di negara berkembang berkaitan erat dengan masih rendahnya
tingkat kesadaran manusia di negara-negara tersebut untuk memperhatikan kebersihan suatu
makanan atau minuman dengan mengingat penularan penyakit ini adalah melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh kuman penyebabnya.

Demam tifoid mempunyai variasi klinis yang luas dari sub klinis, ringan, sedang dan berat.
Seperti halnya penyakit infeksi lain, ringan beratnya tergantung pada interaksi kuman dan pasien,
obat atau cara pengobatan yang semuanya dilingkupi oleh faktor lingkungan.

II. ETIOLOGI (1), (2)

Kuman penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, C.
Kecuali kuman Salmonella typhi C yang bisa terdapat pada hewan, penyakit ini adalah penyakit yang
khusus menjangkiti manusia.

Salmonella typhi adalah penyebab penyakit demam tifoid yang paling sering. Sedangkan
yang disebabkan salmonella paratyphi jarang didapat, hanya sekitar 10-15% namun gejala kliniknya
sulit dibedakan dari yang disebabkan oleh salmonella typhii.

Salmonella typhii adalah genus dari famili Enterobakteriae yang memiliki lebih dari 2300
serotip. Genus ini diberi nama berdasarkan seorang patologis yang bernama Salmon yang pertama
kali mengisolasi basil Salmonella tersebut.

Salmonella dibagi :

- somatik antigen O (Ohne Hauch) yang tidak menyebar

- flagela H antigen (Hauch) yang menyebar dan bersifat termolabil

- permukaan Vi (virulensi) antigen, yaitu kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
antigen O terhadap fagositosis

Ketiga antigen ini merangsang pembentukan antibodi dan menyebabkan aglutinasi.

Salmonella typhii sama dengan jenis salmonella lain yaitu merupakan gram negatif, memiliki
flagel, tidak berkapsul, tidak berspora. Salmonella typhii juga merupakan basil anaerob fakultatif
yang memfermentasikan glukosa, merubah nitrat menjadi nitrit dan motil.
III. EPIDEMIOLOGI (3), (4)

Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam tifoid berbeda antara di negara maju
dengan di negara berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Di Amerika Serikat, 65%
kasus akibat dari perjalanan internasional yaitu perjalanan ke Asia, terutama India. WHO telah
memperkirakan bahwa 12,5 juta terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia (tidak termasuk Cina).

Di Indonesia, demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang hingga dapat menimbulkan wabah.

Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukkan proporsi penderita demam tifoid yang dirawat
di rumah sakit meningkat dari 11,4-18,9% pada tahun 1983-1990 menjadi 22-36,5% pada tahun
1991-1996. Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit dan pusat kesehatan juga meningkat
dari 92 kasus pada tahun 1994 menjadi 125 kasus per 100.000 orang pertahun pada tahun 1996. Akan
tetapi demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembungan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.

Penyebaran demam tifoid kongenital dapat terjadi melalui infeksi transplasenta dari ibu
bakteremia pada janinnya. Penyebaran intrapartum juga mungkin terjadi dengan jalan fekal oral dari
ibu pengidap.

IV. PATOGENESIS (2), (3), (4)

Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah yang dapat menularkan demam tifoid
melalui kontak langsung ataupun tidak langsung dengan orang yang terinfeksi. Penelanan makanan
atau air yang terkontaminasi adalah cara penularan yang paling sering. Untuk menghasilkan sindrom
demam tifoid dibutuhkan invasi aliran darah oleh Salmonella typhii. Ukuran inokulum yang
diperlukan untuk menyebabkan penyakit adalah 10 – 10 organisme salmonella typhi.

Sebagian besar bakteri yang masuk melalui saluran cerna dimusnahkan oleh asam lambung di
dalam lambung. Kuman yang dapat melewati lambung selanjutkan masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-selepitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagositosis oleh makrofag.

Selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal kemudian ke kelejar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk
ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan baktemia pertama yang asimtomatik. Kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel dan masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak. Dan keluar
ke dalam lumen usus melalui cairan empedu.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi menembus usus kembali. Proses
yang sama kemudian berulang kembali. Kuman salmonella yang sudah teraktivasi ini akan
merangsang makrofag menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator yang menimbulkan
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut instabilitas
vaskular, gangguan mental dan koagulasi. Sepsis dan syok septik dapat terjadi pada stadium ini.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plak peyeri yang mengalami
hiperplasia dan nekrosis.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi.

V. MANIFESTASI KLINIS (3), (4), (5), (6)

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari tetapi dapat berkisar antara 3-30 hari,
tergantung terutama pada besar inokulum yang tertelan. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi hingga kematian.Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu
pertama ditemukan gejala yang serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu:

- demam yang naik turun, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam
harinya.
- malaise

- anoreksi
- mialgia

- perasaan tidak enak di perut

- nyeri kepala

- pusing

- mual dan muntah mungkin terjadi

- dapat ditemukan diare atau konstipasi

- dapat disertai batuk

- epistaxis

Dalam minggu kedua gejala menjadi lebih jelas yaitu berupa:

- demam terus meninggi


- bradikardi relatif (peningkatan suhu 1 derajat,tidak diikuti dengan peningkatan denyut 10 kali
per menit)

- lidah tifoid (lidah dengan selaput putih kecoklataan dengan tepi dan ujung hiperemis dan
tremor)

- hepatomegali dan splenomegali

- nyeri perut, perut kembung dan diare bertambah parah

- meteorismus

- anak biasanya sering mengigau dan bisa disertai gangguan kesadaran berupa somnolen,
stupor, koma atau psikosis

- pada sekitar 50% pasien ditemukan eritemarisus makulopapul atau roseola spot yang
berbentuk papul berwarna merah muda dengan diameter 2-4mm, biasanya ditemukan pada
dada bawah dan abdomen. Roseola spot ini biasanya menghilang setelah 3-4 hari

- ronki dan rales juga dapat terdengar pada auskultasi

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG (4), (5)


1. Darah Perifer Lengkap
a. Ditemukan anemia ringan, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe atau perdarahan usus

b. Leukopenia namun jarang kurang dari 3000/ul, dapat juga terjadi leukositosis yang
dapat terjadi dengan ataupun tanpa infeksi sekunder.

c. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat ditemukan aneosinofilia maupun


limfopenia dan dapat juga ditemukan limfositosis relatif

d. Peningkatan Laju Endap Darah (LED) juga dapat ditemukan

e. Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

2. Pemeriksaan serologis

a. Serologi Widal:

Dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman salmonella typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman salmonella dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboraturium. Akibat infeksi oleh salmonella
typhi pasien membuat antobodi (aglutinin) yaitu:

i. Aglutinin O yang dibuat karena rangsangan antigen O, yang berasal dari tubuh
kuman
ii. Aglutinin H karena rangsangan antigen H yang berasal daru flagela kuman

iii. Aglutinin Vi karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai kuman

Yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid adalah hanya aglutinin H dan aglutinin
O. Batas titer yang bermakna adalah kenaikan Salmonella typhi titer O lebih atau
sama dengan 1/200, titer H 1/400 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke masa
konvalesens.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O kemudian
diikuti aglutinin H. Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal:

 faktor yang berhubungan dengan penderita:


o pengobatan dini dengan antibiotik

o gangguan pembentukan antibodi

o saat pengambilan darah

o daerah endemik atau non endemik

o riwayat vaksinasi

o reaksi anamnestik yaitu peningkatan titer pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi

 faktor teknik:

o akibat aglutinasi silang

o strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

o teknik pemeriksaan antar laboraturium

b. Kadar IgM atau IgG (typhi dot)

3. Pemeriksaan bakteriologis

a. Menemukan adanya salmonella typhi pada kultur kandung empedu

b. Biakan darah terutama pada 1-2 minggu dari perjalanan penyakit

c. Biakan pada urin dan feses biasanya pada minggu kedua atau ketiga

d. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke 4

4. Pemeriksaan radiologis

a. Foto thorax apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia


b. Foto abdomen apabila diduga terjai komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi didapatkan gambaran distribusi udara
yang tidak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar dan
udara bebas pada abdomen.

VII. KOMPLIKASI (3), (4), (5)

Demam tifoid sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
terserang dan berbagai komplikasi dapat terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi dari demam tifoid
adalah:

1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan intestinal

Pada plak peyeri yang terinfeksi dapat terbentuk tukak. Bila tukak menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain faktor luka perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koaguloasi darah.

Penderita demam tifoid juga dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Tetapi pada perdarahan yang hebat dapat terjadi dan
dapat menyebabkan syok

b. Perforasi usus

Dapat timbul pada minggu pertama maupun pada minggu ketiga. Penderita tifoid
dengan perforasi biasanya mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda
ileus.

Ditemukan juga bising usus yang melemah, pekak hati yang menurun atau
menghilang karena adanya udara bebas di abdomen, defans muskular (perut papan),
nadi cepat, tekanan darah turun dan sampai dapat terjadi syok.

c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Komplikasi ekstraintestinal

a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

 Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid. Penderita dengan


miokarditis biasanya tanpa simtom kardiovaskular. Kelainan ini
disebabkan oleh kerusakan miokardium oleh kuman salmonella typhi
dan miokarditis dapat menyebabkan kematian.

b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia

c. Paru: pneumonia, empiema, pleuritis

d. Hepatobilier: hepatitis tifosa

i. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dapat dijumpai pada 50% pasien.
Untuk membedakan apakah hepatitis karena tifoid, virus, malaria atau amuba
maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter lab dan bila perlu
histopatologik hati.

ii. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin.

iii. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada penderita dengan malnutrisi dan sistem
imun yang kurang.

e. Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis

f. Neurologi: ensefalopati tifosa (7)

i. Disertai dengan syok yang dapat meningkatkan angka kematian.

ii. Timbul facies tifoid yaitu kurus, muka merah dan ekspresi apatis.

iii. Muncul juga mental apatis sampai dengan delirium yang biasanya disertai
dengan tangan yang tremor, ataxia, agitasi dan bahkan dapat terjadi stupor.

3. Lain-lain: parotitis, orkitis, limfadenitis supuratif

VIII. DIAGNOSA BANDING (6)


- DHF

 demam 5-7 hari, manifestasi perdarahan, trombositopenia, peningkatan hematokrit

- ISK

 demam, nyeri BAK, nyeri pinggang

- TBC

 BB menurun, keringat malam, kontak dengan penderita batuk lama

- Malaria

 menggigil saat panas, keringat banyak, riwayat ke daerah endemic malaria

IX. PENATALAKSAAN (2), (4), (5), (6)

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama.

Pengobatan yang diberikan yaitu:

1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Perawatan yang baik untuk hindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah dan
anoreksia.

3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu istirahat mutlak,
berbaring terus ditempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh
berdiri dan berjalan.

4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan banyak gas. Susu 2x satu gelas sehari perlu diberikan.

5. Antibiotika:

Kloramfenikol; masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam


tifoid. Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4x pemberian selama 10-14
hari. Dosis maksimal 2 g/hari. Hari pertama setengah dosis dulu, selanjutnya
diberikan sesuai dosis diatas, karena kalau diberi dalam dosis yang penuh maka
kuman akan banyak yang mati dan sebagai akibatnya endotoksin meningkat dan
demam akan bertambah tinggi. Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila jumlah
leukosit < 2000/ ul.

Selain itu dapat juga diberikan:

Ampislin; dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 x pemberian secara oral atau
suntikan IV selama 14 hari.

Amoksilin; dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 x yang memberikan hasil yang
setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam yang lebih lama.

Kotrimoxazol (trimethoprim 80 mg +sulphametoxazole 400 mg); dengan dosis 10


mg/kgBB/hari dibagi 2 x pemberian

Pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap
berbagai obat diatas (MDR= multidrug resistance), terdiri atas:

Seftriakson; dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari.

Sefiksim; dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14
hari.

Gol.quinolon; Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis atau ofloksasin, 10-15


mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya
turun dalam 5 hari. Lama pengobatan 2-10 hari.

6. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian cairan
intravena untuk penderita dehidrasi dan asidosis. Pemberian antipiretik masih
kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun dan
pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya
kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan antipiretik. Dianjurkan
pemberian bila suhu di atas 38,5’C. Pemberian kortikosteroid dianjurkan pada demam
tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok.
Deksamethason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB
setiap 6 jam selama 2 hari.
X. PENCEGAHAN (3), (4), 5)

Program pemberantasan penyakit menular telah lama dilaksanakan secara nasional di


Indonesia. Banyak cara yang telah dilakukan yaitu dengan perbaikan sanitasi lingkungan, program
imunisasi dan masih banyak lagi. Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan
peledakan kasus demam tifoid mencakup banyak aspek. Mulai dari segi kuman, faktor host dan
faktor lingkungan.

Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki, menjaga kebersihan dan air mengalir sangat
penting untuk mengendalikan demam enterik. Untuk meminimalkan penularan, cuci tangan sebelum
makan, kebersihan perorangan diperhatikan. Selain itu diperlukan juga pemasyarakatan pengelolahan
bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar kesehatan yaitu perebusan dengan suhu lebih
dari 57 C, iodisasi dan klorinisasi.

Pada daerah yang non endemik tanpa ada kejadian dapat dilakukan pencegahan dengan cara
sanitasi air, kebersihan lingkungan, penyaringan pengelolaan pembuatan makanan minuman dan
pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier. Sedangkan pada daerah non endemi bila ada kejadian
endemi tifoid makanya tindakan yang dilakukan adalah pencarian dan eliminasi sumber penularan,
pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus serta penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi
umum daerah tersebut.

Vaksinisasi

- Indikasi vaksinisasi apabila:


o Hendak mengunjungi daerah endemik

o Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid

o Petugas lab atau mikrobiologi kesehatan

- Jenis vaksin:

o Vaksin oral: Ty21a

 terbukti lebih manjur. Diberikan dengan interval sehari, ulangan setiap 3-5
tahun. Vaksin oral tidak pada anak sebelum 6 tahun

o Vaksin parenteral: ViCPS


 merupakan vaksin kapsul polisakarida yang di nonaktifkan

 memberikan proteksi terbatas, kemanjuran 51-76%

- Efektifitas

o Serokonversi atau peningkatan titer antibodi 4 kali setelah vaksinisasi dengan ViCPS
menjadi lebih cepat yaitu sekitar 15 hari sampai dengan 3 minggu

o 90% bertahan selama 3 tahun

XI. PROGNOSIS (2)

Umumnya baik bila pasien cepat berobat. Prognosis kurang baik bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti hiperpirexia atau febris kontinua, penurunan kesadaran, komplikasi yang berat
seperti dehidrasi, asidosis, perforasi usus dan gizi buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harjono H. Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta. Dalam Simposium demam tifoid;
Jakarta, 1980: 1-10.
2. Indro H. Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid. Surabaya: Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga, 1995.
3. Hadinegoro SR. Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak. Cermin Dunia Kedokteran 1999; 124:
5-10.
4. Lolekha S. Salmonella carrier: Its evolution and treatment. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public Health 1995; 23: 77-79.
5. Bhuta AZ. Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal salmonellosis in childhood: The
karachi experience. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995; 23: 88-89.
6. Girgis NI, Sultan Y, Hammad O, Farid ZH. Comparison of the efficacy, safety, and cost of cefixime, ceftriaxone
and aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia in children. Pediatric Infect Dis
Journal 1995; 14: 603-605.
7. Sibuea WH. Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason, kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji
resistensi guna mempercepat penyembuhan. Majalah Kedokteran Indonesia 1992; 42 (8): 438-443.
8. Hadisaputro S. Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian perdarahan dan atau perforasi usus
pada demam tifoid. Jakarta: Direktorat Pembinaan. Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1990.
9. Christie AB. Typhoid and paratyphoid fevers. Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice. New
York: Churchill Livingstone, 1980.
10. Smith MC, Wertheimer AI. Social and Behavioral Aspects of Pharmaceutical Care. New York: Pharmaceutical
Products Press, 1996.

Anda mungkin juga menyukai