Anda di halaman 1dari 120

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN

(KUP)

DASAR HUKUM:

1 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Lembaran Negara RI
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3262);
2 UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP
(Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3566);
3 UU Nomor 16 Th 2000 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
KUP(Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3984),
4 UU No. 28 Thn 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP,
Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4740
5 UU No. 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan PERPU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang KUP menjadi Undang-Undang.
Perubahan keempat UU KUP lebih dikarenakan adanya ketentuan khusus Pasal 37A ayat (1) UU
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP
yang memberikan kesempatan kepada WP untuk lebih terbuka dan jujur dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya yang telah lalu.

PENGERTIAN PAJAK

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa, berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

CIRI-CIRI YANG MELEKAT PADA PENGERTIAN PAJAK:

1. Kontribusi Wajib Kepada Negara adalah sumbangan atau iuran wajib yang merupakan perwujudan
dar pengabdian setiap warga negara untuk ikut berperan serta secara langsung dalam pembiayaan
negara maupun pembangunan, masyarakat harus mau dan sadar untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya.
2. Bersifat Memaksa adalah bahwa pungutan pajak dapat dipaksakan kepada mereka yang wajib
membayarnya, apabila tidak membayarnya atau tidak memenuhi kewajibannya maka paksaan dapat
langsung dilakukan tanpa proses pengadilan.
3. Berdasarkan Undang-Undang adalah bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada
negara, maka supaya peralihan kekayaan tidak disebut perampokan, perampasan, pencurian atau
pemberian hadiah, maka harus dilandasi denganundang-undang dan disyaratkan sbelum diberlakukan
harus mendapat persetujuan dari rakyat terlebih dahulu.
Peraturan mengenai pemungutan pajak lazim disebut sebagai Hukum Pajak yang harus dilandasi
dengan hukum dasar. Hukum Dasar di Indonesia adalah UUD 1945.

Undang-Undang Perpajakan di Indonesia, antara lain :


a. UU No.6 th.1983 tentang KUP, perubahan terakhir dengan UU No.16 th. 2009;
b. UU No.7 th.1983 tentang PPh, perubahan terakhir dengan UU No.36 th. 2008;
c. UU No.8 th.1983 tentang PPN & PPnBM, perubahan terakhir dengan UU No.42 th. 2009;
d. UU No.12 th.1985 tentang PBB, perubahan terakhir dengan UU No. th. 2009;
e. UU No.13 th.1985 tentang Bea Meterai;
f. UU No.21 th 1997 tentang BPHTB, perubahan terakhir dengan UU No.20 th.2000;
g. UU No.28 th.2009 tentang PDRD
4. Tidak mendapat imbalan secara langsung adalah bahwa negara tidak langsung memberi imbalan
kepada mereka yang membayarnya, tetapi diberikan secara tidak langsung berupa jasa atau fasilitas
untuk seluruh masyarakat.
5. Dipergunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah bahwa
pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting dan utama, digunakan untuk membiayai
pengeluaran rutin maupun pembangunan dengan tujuan memberikan kemakmuran bagi rakyat.

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

1. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-ciri:
a. Wewenang menentukan besarnya pajak terhutang adalah fiskus;
b. WP bersifat pasif;
c. Timbulnya hutang pajak setelah dikeluarkan SKP oleh Fiskus.
2. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya
sendiri dengan cara menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
jumlah pajak yang terhutang dan harus dibayar.
Ciri-ciri:
a. Wewenang menentukan besarnya pajak terhutang, ada pada WP;
b. WP yang aktif melakukan penghitungan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terhutang;
c. Fiskus hanya melakukan pengawasan.
3. With Holding System adalah adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pihak
ketiga, untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak dengan cara memotong,
memungut besarnya pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak.
4. Ciri-ciri:
Adanya wewenang pihak ketiga (bukan Wajib Pajak atau Fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK

1. Hukum Pajak Formal;


2. Hukum Pajak Material.
1. Hukum pajak formal (Formal tax law) adalah Hukum Pajak yang memuat tentang ketentuan-
ketentuan untuk mewujudkan Hukum Pajak Material menjadi kenyatan.
Memuat ketentuan tentang :
• Pendaftaran;
• Pembayaran;
• Pelaporan;
• Sanksi;
• Penagihan;
• Keberatan & Banding.
Contoh:
1. UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
2. UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP);
3. UU tentang Pengadilan Pajak (UU PP).

2. Hukum pajak material (Material tax law) adalah Hukum Pajak yang memuat ketentuan tentang
siapa-siapa yg dikenakan pajak (subjek pajak), apa saja yang dikenakan pajak (objek pajak), tarif
pajak & berapa pajak yang harus dibayar.
Memuat ketentuan tentang :
• Subjek Pajak
• Objek Pajak
• Tarif Pajak
Contoh :
1. UU PPh;
2. UU PPN DAN PPn BM;
3. UU PBB;
4. UU BPHTB;
5. UU BM;
6. UU PDRD.

PENDAFTARAN & PENGUKUHAN

1. Kewajiban Mendaftarkan Diri

Sesuai sistem Self Assesment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan NPWP atau
Pengukuhan PKP.
Selain itu pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register yaitu cara pendaftaran NPWP
melalui media elektronik on line (internet);

• KPP adalah singkatan dari Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak.
• KP2KP adalah singkatan dari Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan adalah
instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Kepala KPP Pratama.

PENDAFTARAN WAJIB PAJAK

1. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP {Pasal 2 ayat (2) UU KUP}.
a. Persyaratan Subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek
pajak dalam UU PPh 1984 dan perubahannya.
Subyek pajak PPh : Orang Pribadi/Perseorangan, Warisan yang belum dibagi sebagai satu
kesatuan, Badan dan BUT;
b. Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan
ketentuan UU PPh 1984 dan perubahannya.
2. Pendaftaran pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi:
a. tempat tinggal Wajib Pajak;
b. tempat kedudukan Wajib Pajak; atau
c. tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan:
a. tempat tinggal orang pribadi, tempat kedudukan Badan, atau tempat kegiatan usaha, dalam
hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat
kegiatan usaha;
b. tempat terdaftar bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu pada KPP tertentu; dan
c. tempat pendaftaran tertentu sebagai tempat pendaftaran Wajib Pajak.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.

PENDAFTARAN WP SERTA PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PMK-


No.147/PMK.03/2017).

Yang wajib mendaftarkan diri adalah :

1. Wajib Pajak orang pribadi wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, meliputi:
a. Wajib Pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh
penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, termasuk wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh
penghasilan di atas PTKP  wajib mendaftarkan diri paling lama pada akhir bulan
berikutnya setelah penghasilan WP tersebut pada suatu bulan yang disetahunkan telah
melebihi PTKP;
Wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah, adalah karena:
1) hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
2) menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
atau
3) memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari
suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.
b. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu  wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha, atau
pekerjaan bebas nyata-nyata mulai dilakukan.
2. Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong
dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi
 wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat pendirian.
3. Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau
pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk
kerja sama operasi (Joint Operation) bumi  wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu)
bulan setelah saat pendirian.
4. Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan  wajib mendaftarkan diri paling lambat sebelum melakukan
pemotongan dan/atau pemungutan pajak.

Yang dimaksud dengan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai 1 (satu) tempat usaha yang berbeda dengan alamat tempat tinggal atau lebih
dari 1 (satu) tempat usaha (Ps.2 PER-44/PJ/2008).

Wanita kawin yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakan terpisah dari suaminya dan anak yang belum dewasa, harus melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga.

Wajib Pajak orang pribadi selain yang disebutkan di atas yang memerlukan NPWP dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh NPWP.

PERMOHONAN PENDAFTARAN NPWP

1. Permohonan Pendaftaran secara elektronik;


a. Wajib Pajak yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, wajib mengajukan permohonan
pendaftaran NPWP dengan menggunakan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.
b. Permohonan pendaftaran dilakukan secara elektronik dengan mengisi Formulir Pendaftaran
Wajib Pajak pada Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak
di www.pajak.go.id.
c. Permohonan pendaftaran yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak melalui Aplikasi e-
Registration dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai
kekuatan hukum.
d. Wajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak melalui Aplikasi e-
Registration harus mengirimkan dokumen yang disyaratkan ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
e. Pengiriman dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah (upload)
salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkan dengan
menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani.
f. Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja setelah penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik,
permohonan tersebut dianggap tidak diajukan.
g. Apabila dokumen yang disyaratkan telah diterima secara lengkap, KPP menerbitkan Bukti
Penerimaan Surat (BPS)secara elektronik.

2. Permohonan Pendaftaran secara tertulis


a. Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pendaftaran secara elektronik,
permohonan pendaftaran dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis.
b. Permohonan secara tertulis dilakukan dengan mengisi dan menandatangani Formulir
Pendaftaran Wajib Pajak.
c. Wajib Pajak yang telah mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak,
harus melengkapi formulir pendaftaran tersebut dengan dokumen yang disyaratkan.
d. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
e. Penyampaian permohonan secara tertulis dilakukan:
1) secara langsung;
2) melalui pos;
3) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
f. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis, KPP atau KP2KP memberikan Bukti
Penerimaan Surat (BPS), apabila permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap.
g. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis yang diterima secara tidak lengkap
berlaku ketentuan:
1) dalam hal permohonan disampaikan secara langsung, permohonan dikembalikan kepada
Wajib Pajak; atau
2) dalam hal permohonan disampaikan melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi
atau jasa kurir, KPP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai ketidak
lengkapan tersebut.

DOKUMEN YANG DISYARATKAN:

Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran NPWP, meliputi:


1. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
a. fotokopi KTP  bagi WNI;
b. fotocopi paspor, KITAS/KITAP  bagi WNA.
2. WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas:
a. fotokopi KTP  bagi WNI fotokopi atau fotokopi paspor, KITAS/KITAP  bagi WNA;
b. dokumen izin kegiatan usaha/surat keteterangan tempat kegiatan usaha/pekerjaan bebas dari
Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
3. WP Badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau
pemungut pajak:
a. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi BUT;
b. fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat
tinggal dari Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal
penanggung jawab adalah WNA;
c. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau
surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau
Kepala Desa.
4. WP badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut
pajak, termasuk bentuk kerja sama operasi (Joint Operation):
a. fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (Joint
Operation);
b. fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk KSO (Joint Operation) yang
diwajibkan untuk memiliki NPWP;
c. fotokopi Kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk KSO
(Joint Operation), atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat
PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah
WNA;
d. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau
surat keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa.
5. Bendaharawan sebagai WP Pemungut/Pemotong:
a. Fotokopi surat penunjukan sebagai bendaharawan;
b. Fotokopi KTP bendaharawan.
6. Bagi permohonan berstatus cabang dan Orang Pribadi pengusaha tertentu:
a. fotokopi Kartu NPWP pusat atau induk;
b. surat keterangan sebagai cabang untuk Wajib Pajak Badan; dan
c. dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat
keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat PEMDA sekurang-
kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
7. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah
karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan
wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah,
permohonan juga harus dilampiri dengan:
a. fotokopi Kartu NPWP suami;
b. fotokopi Kartu Keluarga; dan
c. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan
menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan
kewajiban perpajakan suami.

PENERBITAN KARTU NPWP

1. Terhadap permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat (BPS),
KPP atau KP2KP menerbitkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT )paling lambat
1 (satu) hari kerja setelah BPS diterbitkan.
2. Kartu NPWP dan SKT disampaikan kepada Wajib Pajak melalui pos tercatat.

FORMULIR PENDAFTARAN NPWP

Terdapat dua formulir pendaftaran NPWP:


1. Formulir Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi;
2. Formulir Pendaftaran Wajib Pajak Badan (termasuk untuk Bendahara).

PENDAFTARAN NPWP SECARA JABATAN

1. Dalam hal Wajib Pajak yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, tidak melaksanakan kewajiban
untuk mendaftarkan diri, KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.
2. Penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur
mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
3. Pemeriksaan atau Verifikasi dalam rangka penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan
berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal
Pajak.
4. Tanggal terdaftar yang tercantum dalam Kartu NPWP dan SKT yang diterbitkan secara jabatan
sesuai dengan tanggal penerbitan Kartu NPWP dan SKT.

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang merupakan tanda
pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak & kewajibannya di bidang
perpajakan (Pasal 1 angka 6 UU KUP).
NPWP terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan kode WP, dan 6
(enam) digit berikutnya merupakan kode administrasi perpajakan.
Contoh :
01 . 234 . 567 . 8 . 009 . 000

Kode WP Kode KPP Kode Cabang

II. PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan
perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan
perubahannya.

Pasal 3 Ayat (1) UU PPN, menyatakan: Pengusaha yang melakukan penyerahan, kecuali pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan (PMK Nomor
197/PMK.03/2013);
Batasan Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000;
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila
sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp4.800.000.000,00.
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp4.800.000.000,00.
Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN & PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dilakukannya.
Ketentuan tidak berlaku apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

PMK- No.147/PMK.03/2017, mengenai Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang
PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
2. Pengusaha kecil dapat memilih untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP.
3. Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak
sesuai Undang-Undang PPN dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
4. Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan oleh Pengusaha dengan
menyampaikan permohonan pada:
a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan,
dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha;
b. KPP tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
5. Selain melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP atau KP2KP, Pengusaha
dapat melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP pada tempat tertentu yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.

YANG WAJIB MELAPORKAN USAHA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PKP :

1. Orang pribadi sebagai Usahawan dan Badan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak bagi
yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kecil (yaitu pengusaha yang jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam UU PPN tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir UU PPN
tahun 2009:
a. memilih sebagai PKP, wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP;
b. tidak memilih sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku
seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha
Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa
pajak berikutnya.
KETENTUAN MENGENAI TEMPAT PENDAFTARAN & PELAPORAN USAHA (Pasal 2 Ayat (3)
UU KUP:

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:


1. Tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha, selain yang ditetapkan Pasal 2 ayat (2) ->
yaitu wajib melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
PKP.
2. Tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan, bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu.

TEMPAT PELAPORAN USAHA (PMK- No.147/PMK.03/2017)

1. Tempat pelaporan usaha bagi Pengusaha orang pribadi yaitu:


a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, dalam hal tempat kegiatan
usaha untuk melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang
PPN berada di tempat tinggalnya; dan/atau
b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk melakukan
penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN, dalam hal tempat
kegiatan usaha tersebut berada di tempat yang berbeda dengan tempat tinggalnya
2. Tempat pelaporan usaha bagi Pengusaha berbentuk Badan yaitu:
a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan menurut keadaan yang
sebenarnya; dan
b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk melakukan
penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN.
3. Dalam hal tempat kegiatan usaha menggunakan jasa Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat
digunakan sebagai tempat PKP dikukuhkan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. terpenuhinya kondisi pengelola Kantor Virtual sebagai berikut:
1) telah dikukuhkan sebagai PKP;
2) menyediakan ruangan fisik untuk tempat kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan
dikukuhkan sebagai PKP;
3) secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor.
b. Pengusaha pengguna jasa Kantor Virtual dimaksud memiliki izin usaha atau dokumen sejenis
lainnya yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co-working space), yang selanjutnya disebut
Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan
pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai
tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau
lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun,
tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office)..
PENDAFTARAN NPWP DAN PENGUKUHAN PKP SECARA JABATAN

Dalam hal WP yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, tidak melaksanakan kewajiban untuk
mendaftarkan diri, KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan
Dalam hal Pengusaha yang diwajibkan untuk melaporkan usahanya, tidak melaksanakan kewajiban
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, KPP dapat mengukuhkan PKP secara jabatan.

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau
PKP tidak melaksanakan kewajibannya (Pasal 2 Ayat (4) UU KUP

Peraturan Dirjen Pajak NO.PER-20/PJ/2013, menyatakan:


1. Dalam hal WP yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, tidak melaksanakan kewajiban untuk
mendaftarkan diri, KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.
2. Penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur
mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
3. Pemeriksaan atau Verifikasi dalam rangka penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan
data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
4. Tanggal terdaftar yang tercantum dalam Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar yang
diterbitkan secara jabatan sesuai dengan tanggal penerbitan Kartu NPWP dan Surat Keterangan
Terdaftar.

PERMOHONAN PENGUKUHAN SEBAGAI PKP:

1. Permohonan Pengukuhan secara elektronik;


a. Wajib Pajak sebagai Pengusaha wajib melaporkan usahanya dan mengajukan permohonan untuk
dikukuhkan sebagai PKP dengan menggunakan Formulir Pengukuhan PKP.
b. Permohonan pengukuhan dilakukan secara elektronik dengan mengisi Formulir Pengukuhan PKP
pada Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di www.
pajak.go.id.
c. Permohonan pengukuhan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak melalui Aplikasi e-
Registration dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai
kekuatan hukum.
d. Wajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pengukuhan PKP melalui Aplikasi e-
Registration harus mengirimkan dokumen yang disyaratkan ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
e. Pengiriman dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah (upload)
salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkannya dengan
menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani.
f. Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari kerja setelah penyampaian permohonan pengukuhan secara elektronik, permohonan tersebut
dianggap tidak diajukan.
g. Apabila dokumen yang disyaratkan telah diterima secara lengkap, KPP menerbitkan Bukti
Penerimaan Surat (BPS) secara elektronik.
2. Permohonan Pengukuhan secara tertulis
a. Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengukuhan secara elektronik,
permohonan pengukuhan dapat dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis.
b. Permohonan secara tertulis dilakukan dengan mengisi dan menandatangani Formulir Pengukuhan
PKP.
c. Wajib Pajak yang telah mengisi dan menandatangani Formulir Pengukuhan PKP harus
melengkapi formulir pengukuhan tersebut dengan dokumen yang disyaratkan.
d. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
e. Penyampaian permohonan secara tertulis dilakukan:
1) secara langsung;
2) melalui pos;
3) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
f. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis, KPP atau KP2KP memberikan Bukti
Penerimaan Surat (BPS) apabila permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap.
g. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis yang diterima secara tidak lengkap berlaku
ketentuan:
1) dalam hal permohonan disampaikan secara langsung, permohonan dikembalikan kepada
Wajib Pajak;
2) dalam hal permohonan disampaikan melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau
jasa kurir, KPP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai ketidaklengkapan
tersebut.

DOKUMEN YANG DISYARATKAN:

Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pengukuhan PKP, meliputi:


1. Wajib Pajak orang pribadi:
a. fotokopi KTP bagi WNI, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas
(KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)  bagi WNA, yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang;
b. dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
c. surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat PEMDA sekurang-
kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
2. Wajib Pajak badan:
a. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi BUT, yang dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang;
b. fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat
tinggal dari Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal
penanggung jawab adalah WNA;
c. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
d. surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau
Kepala Desa.
3. Wajib Pajak badan bentuk kerja sama operasi (Joint Operation):
a. fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akta Pendirian sebagai bentuk KSO (Joint Operation), yang
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;
b. fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk KSO (Joint Operation) yang
diwajibkan untuk memiliki NPWP;
c. fotokopi Kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk KSO
(Joint Operation), atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah orang WNA;
d. dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
e. surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat PEMDA sekurang-kurangnya Lurah atau
Kepala Desa bagi Wajib Pajak badan dalam negeri maupun Wajib Pajak badan asing.

SURAT PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

1. Terhadap permohonan pengukuhan PKP yang telah diberikan BPS, KPP atau KP2KP harus
memberikan keputusan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah BPS diterbitkan.
2. Keputusan diberikan setelah KPP atau KP2KP melakukan Verifikasi dalam rangka pengukuhan
PKP;
3. Dalam hal keputusan mengabulkan permohonan Wajib Pajak, KPP atau KP2KP menerbitkan
Surat Pengukuhan PKP.
4. Dalam hal keputusan tidak mengabulkan permohonan Wajib Pajak, KPP atau KP2KP
menerbitkan Surat Penolakan Pengukuhan PKP.
5. Apabila jangka waktu telah terlampaui dan KPP atau KP2KP tidak memberi suatu keputusan,
permohonan pengukuhan PKP dianggap dikabulkan.
6. Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan, KPP atau KP2KP harus menerbitkan
Surat Pengukuhan PKP dengan tanggal pengukuhan adalah hari kerja ke-5 (lima) setelah tanggal
BPS.

PENDAFTARAN NPWP DAN PENGUKUHAN PKP SECARA JABATAN

Dalam hal WP yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, tidak melaksanakan kewajiban untuk
mendaftarkan diri, KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan
Dalam hal Pengusaha yang diwajibkan untuk melaporkan usahanya, tidak melaksanakan kewajiban
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, KPP dapat mengukuhkan PKP secara jabatan.

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau
PKP tidak melaksanakan kewajibannya (Pasal 2 Ayat (4) UU KUP

Peraturan Dirjen Pajak NO.PER-20/PJ/2013, menyatakan:


1. Dalam hal WP yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, tidak melaksanakan kewajiban untuk
mendaftarkan diri, KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.
2. Penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur
mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
3. Pemeriksaan atau Verifikasi dalam rangka penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan
data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
4. Tanggal terdaftar yang tercantum dalam Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar yang
diterbitkan secara jabatan sesuai dengan tanggal penerbitan Kartu NPWP dan Surat Keterangan
Terdaftar.

PENGHAPUSAN NPWP DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP

1. PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

Penghapusan NPWP dilakukan terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan, dilakukan atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan berdasarkan hasil
pemeriksaan atau hasil verifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil
Verifikasi, apabila penghapusan tersebut dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak bendahara pemerintah yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena
yang bersangkutan sudah tidak lagi melakukan pembayaran;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
d. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP untuk menentukan NPWP yang dapat
digunakan sebagai sarana administratif dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban
perpajakan;
e. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik
dan pegawai yang telah diberikan NPWP melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah dan
penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
f. Wajib Pajak badan kantor perwakilan perusahaan asing yang tidak mempunyai kewajiban Pajak
Penghasilan badan dan telah menghentikan kegiatan usahanya;
g. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi;
h. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya terpisah dari suaminya;
i. Wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan
kewajiban perpajakan suami;
j. Anak belum dewasa yang telah memiliki NPWP;
k. Wajib Pajak BUT yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
l. Wajib Pajak badan tertentu selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non efektif) yang
tidak mempunyai kewajiban PPh dan secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.

Penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak selain tersebut diatas dilakukan berdasarkan hasil
Pemeriksaan.

PERMOHONAN PENGHAPUSAN NPWP

Permohonan penghapusan NPWP dilakukan dengan menggunakan Formulir Penghapusan NPWP.


Seperti halnya dalam permohonan pendaftaran NPWP, maka permohonan pendaftaran NPWP juga
dapat dilakukan dengan secara elektronik atau dengan menyampaikan permohonan secara tertulis.
DOKUMEN YANG DISYARATKAN

Dokumen yang disyaratkan, meliputi:

1) surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang berwenang dan surat
pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi
dengan menyebutkan ahli waris, untuk orang pribadi yang meninggal dunia;
2) dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya, untuk orang pribadi yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya;
3) dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak sudah tidak ada lagi kewajiban sebagai
bendahara, untuk bendahara pemerintah;
4) surat pernyataan mengenai kepemilikan NPWP ganda dan fotokopi semua kartu NPWP yang
dimiliki, untuk Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu NPWP;
5) fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis dan surat pernyataan tidak membuat, perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan atau surat pernyataan tidak ingin melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami, untuk Wanita kawin yang sebelumnya
telah memiliki NPWP;
6) dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak badan termasuk BUT telah dibubarkan sehingga
tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, seperti akta pembubaran badan yang telah
disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk
Wajib Pajak badan.
a. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dengan cara:
1) secara langsung;
2) melalui pos;
3) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
f. Dalam hal permohonan secara tertulis disampaikan melalui KP2KP sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf a, KP2KP meneruskan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak ke KPP.
g. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
KPP memberikan Bukti Penerimaan Surat apabila permohonan dinyatakan telah diterima
secara lengkap.
h. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang
diterima secara tidak lengkap, berlaku ketentuan:
1) dalam hal permohonan disampaikan secara langsung, permohonan dikembalikan kepada
Wajib Pajak; atau
2) dalam hal permohonan disampaikan melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi
atau jasa kurir, KPP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
ketidaklengkapan tersebut.

PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SECARA JABATAN

1. Penghapusan NPWP Pajak secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil
Verifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
2. Pemeriksaan atau Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP secara jabatan, dilakukan apabila:
a. terdapat data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak
yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif;
b. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan penghapusan NPWP.
KEPUTUSAN ATAS PERMOHONAN PENGHAPUSAN NPWP

1. Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP, KPP
memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP yang disampaikan oleh Wajib
Pajak.
2. Dalam memberikan keputusan, KPP juga mempertimbangkan:
a. utang pajak; dan
b. proses hukum atau proses administrasi berupa: pembetulan (Ps.16 UU KUP), gugatan (Ps.23
UU KUP), keberatan (Ps.25 UU KUP), banding (Ps.27 UU KUP), pengurangan sanksi
administrasi, pengurangan/pembatalan SKP, pengurangan/pembatalan STP (Ps.36 UU KUP),
peninjauan kembali (Ps. 40 UU Pengadilan Pajak).
c. Status seluruh NPWP cabang Wajib Pajak, dalam hal penghapusan NPWP dilakukan
terhadap NPWP pusat.
3. Keputusan dapat berupa penerbitan SK Penghapusan NPWP atau penerbitan Surat Penolakan
Penghapusan NPWP.
4. Surat Keputusan Penghapusan NPWP diterbitkan dalam hal:
a. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terdapat rekomendasi penghapusan
NPWP;
b. tidak terdapat utang pajak, atau terdapat utang pajak tetapi:
1) penagihannya sudah daluwarsa;
2) Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan
tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau
3) Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan;
c. tidak terdapat proses hukum atau proses administrasi; dan
d. seluruh NPWP cabang Wajib Pajak telah dihapus, dalam hal penghapusan NPWP dilakukan
terhadap NPWP pusat.
5. Surat Penolakan Penghapusan NPWP diterbitkan dalam hal:
a. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terdapat rekomendasi untuk tidak
melakukan penghapusan NPWP; atau
b. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terdapat rekomendasi penghapusan
NPWP, namun:
1) terdapat utang pajak;
2) terdapat proses hukum atau proses administrasi ; dan/atau
3) terdapat NPWP cabang yang belum dihapus, dalam hal penghapusan NPWP dilakukan
terhadap NPWP pusat.
6. Dalam hal penghapusan NPWP dilakukan terkait penggabungan usaha, ketentuan yang menjadi
pertimbangan keputusan tidak dipertimbangkan.
7. Penerbitan keputusan dilakukan dalam jangka waktu paling lama:
a. 6 (enam) bulan sejak tanggal BPS, dalam hal permohonan diajukan oleh WP orang pribadi;
b. 12 (dua belas) bulan sejak tanggal BPS, dalam hal permohonan diajukan oleh Wajib Pajak
badan.
c. Apabila jangka waktu telah terlampaui dan KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan
WP dianggap dikabulkan dan KPP menerbitkan SK Penghapusan NPWP dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal BPS berakhir.

2. PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

a. Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap:
1) Pengusaha Kena Pajak dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
2) Pengusaha Kena Pajak yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan usahanya;
3) Pengusaha Kena Pajak menyalahgunakan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4) Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;
5) Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
6) Pengusaha Kena Pajak telah dipusatkan tempat terutangnya PPN di tempat lain; atau
7) Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Pencabutan Pengukuhan PKP dapat dilakukan :
1) atas permohonan Pengusaha Kena Pajak; atau
2) secara jabatan.
c. Pencabutan pengukuhan PKP atas permohonan PKP atau secara jabatan dilakukan berdasarkan
hasil Verifikasi atau hasil Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi.
d. Pencabutan pengukuhan PKP atas permohonan PKP atau secara jabatan, dilakukan berdasarkan
hasil Verifikasi apabila pencabutan pengukuhan tersebut dilakukan terhadap:
1) Pengusaha Kena Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2) Pengusaha Kena Pajak telah dipusatkan tempat terutangnya PPN di tempat lain;
3) Pengusaha Kena Pajak yang pindah alamat tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lainnya;
4) Pengusaha Kena Pajak yang jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan brutonya untuk 1
(satu) tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan bruto
untuk pengusaha kecil dan tidak memilih untuk menjadi PKP;
5) Pengusaha Kena Pajak selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non efektif) dan
secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha; atau
6) Pengusaha Kena Pajak BUT yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
5. Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan juga dapat dilakukan berdasarkan hasil Verifikasi
dalam hal pencabutan tersebut terkait dengan:
1) hasil sensus pajak nasional;
2) hasil konfirmasi lapangan atau pengawasan setelah pengukuhan PKP; atau
3) hasil kegiatan lain yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
6. Pencabutan pengukuhan PKP terhadap PKP selain yang dilakukan verifikasi dilakukan
berdasarkan hasil Pemeriksaan.

PERMOHONAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP

Permohonan pencabutan pengukuhan PKP, dilakukan dengan menggunakan Formulir Pencabutan


Pengukuhan PKP. Seperti halnya dalam permohonan pengukuhan PKP, maka permohonan
pencabutan pengukuhan PKP juga dapat dilakukan dengan secara elektronik atau menyampaikan
permohonan secara tertulis.

KEPUTUSAN ATAS PERMOHONAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP

a. Keputusan dapat berupa:


1) Penerbitan Surat Pencabutan Pengukuhan PKP dalam hal berdasarkan hasil Verifikasi atau
hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi pencabutan pengukuhan PKP; atau
2) Penerbitan Surat Penolakan Pencabutan Pengukuhan PKP dalam hal berdasarkan hasil
Verifikasi atau hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi untuk tidak melakukan pencabutan
pengukuhan PKP.
b. Penerbitan keputusan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
BPS.
c. Apabila jangka waktu terlampaui dan KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Pengusaha
Kena Pajak dianggap dikabulkan dan KPP menerbitkan surat pencabutan pengukuhan PKP dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal BPS berakhir.

KETENTUAN MENGENAI TEMPAT PENDAFTARAN & PELAPORAN USAHA

Pasal 2 ayat (3) UU KUP, menyatakan: Direktur Jenderala Pajak menetapkan:


a. Tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha, selain yang ditetapkan Pasal 2 ayat (2) ->
(yaitu wajib melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi PKP).
Bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu WP orang pribadi yang mempunyai tempat
usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di
beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
b. Tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan, bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu.

Penjelasan:

a. Bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu WP orang pribadi yang mempunyai tempat
usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di
beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
b. Terhadap WP maupun PKP tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat
Jenderal Pajak Lain, sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh NPWP dan/atau Pengukuhan
PKP.

PEMBAYARAN PAJAK

KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK

Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan”.

Pembayaran dimaksud dapat meliputi pembayaran :


1. Pembayaran Pajak Penghasilan;
2. Pemungutan PPN dan PPn BM oleh Pihak Penjual atau oleh pihak yang ditunjuk Pemerintah.
3. Pembayaran Pajak-pajak lain seperti PBB, BM.
4. Pembayaran atas Ketetapan Pajak : SKPKB, SKPKBT, STP Tambahan pajak dalam SK Keberatan,
SK Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali.

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN

1. Membayar sendiri Pajak yang terutang :


a. Pembayaran angsuran masa/ bulanan;
b. Pembayaran setelah akhir tahun.

2. Melalui Pemotongan/Pemungutan Pihak Lain: PPh Ps.4 (2), PPh Ps.15, PPh Ps.21/22/23 dan PPh
Ps.26.
Pihak Lain adalah Pemberi Penghasilan, Pemberi kerja, atau Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan
oleh Pemerintah.

DOKUMEN PEMBAYARAN PAJAK

Pembayaran Pajak dilakukan dengan : “Surat Setoran Pajak”.

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah “bukti pembayaran atau penyetoran pajak yg telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Menkeu” (Ps 1 angka 14 UU KUP) Ps.1 angka 26 PMK No.242/PMK.03 /2014).

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui:


1. layanan pada loket/teller (over the counter);
2. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya, pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank
Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing.

Surat Setoran Pajak berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor
penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No.184/PMK.03/ 2007.

Berdasarkan PMK No.242/PMK.03/2014

1. Pembayaran atau penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP);
2. Pembayaran dan penyetoran pajak meliputi pembayaran dan penyetoran PPh, PPN, PPnBM, Bea
Meterai, dan PBB.
3. Sarana administrasi lain, dapat berupa:
a. BPN (Bukti Penerimaan Negara) atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem
pembayaran pajak secara elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi.
b. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam rangka impor) atas pembayaran dan
penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri;
c. Bukti Pbk (Pemindahbukuan) atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan;
d. bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. SSP atau sarana administrasi lain dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan NTPN (Nomor
Transaksi Penerimaan Negara).
5. Dikecualikan terhadap Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh Pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk.
6. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan
tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN (Modul
Penerimaan Negara), pada SSP atau sarana administrasi lain.

Pemindahbukuan (Pbk) dalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada
penerimaan pajak yang sesuai. Bukti Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti
yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.
SURAT SETORAN PAJAK (SSP)

1. Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran:


a. 1 (satu) jenis pajak,
b. 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, dan
c. 1 (satu) surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat
Tagihan Pajak PBB,
dengan menggunakan 1 (satu) kode akun pajak dan 1 (satu) kode jenis setoran.
2. Dikecualikan dari ketentuan adalah WP dengan kriteria tertentu {Pasal 3 ayat (3a) UU KUP} yang
dapat membayar PPh Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau
lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Ketentuan mengenai bentuk, isi, dan tata cara pengisian formulir SSP diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
4. WP melakukan pembayaran dan penyetoran pajak dalam rangka impor dan PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri, termasuk penyetoran kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang
ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak, dengan menggunakan formulir
SSPCP.
5. Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dalam mata uang Rupiah.
6. Dikecualikan dari ketentuan, bagi WP yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan
dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar AS, melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29,
dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh WP serta SKP & STP yang diterbitkan dalam mata uang
Dollar AS, dengan menggunakan mata uang Dollar AS.
7. Pembayaran pajak dalam mata uang Dollar AS, dilakukan ke kas negara melalui Bank Persepsi Mata
Uang Asing.
8. WP dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29 dan PPh Final yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak dalam mata uang Rupiah.
9. Dalam hal pembayaran pajak dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah, WP harus mengkonversikan
pembayaran dalam satuan mata uang Rupiah tersebut ke satuan mata uang Dollar AS, dengan
menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran.

TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK – PP- No.74 Tahun 2011

1. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran.
2. Pembayaran dan penyetoran pajak juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi
lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN

Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak
bagi masing-masing jenis pajak ditentukan oleh Menteri Keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak {Pasal 9 ayat (1) UU KUP}.
Diatur lebih lanjut dalam PMK-No.242/PMK.03/2014  (Pasal 9)

1. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur,
pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
2. Hari libur, yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.

TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN

1. Pasal 9 ayat (1) UU KUP, menyatakan: Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak ditentukan oleh Menteri
Keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak (PMK-80/PMK.03/2010, yo. PMK-No.184/PMK.03/2007).
2. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Termasuk hari libur nasional adalah hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
3. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan (Pasal
9 ayat (2) UU KUP).
4. STP, SKP KB, serta SKP KBT, dan SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan (Pasal 9 ayat (3) UU KUP).
5. Bagi WP usaha kecil dan WP di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang paling
lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan - Pasal 9 ayat (3a) UU KUP

WP USAHA KECIL DAN WP DI DAERAH TERTENTU

1. WP usaha kecil terdiri dari WP orang pribadi dan WP badan.


2. WP orang pribadi usaha kecil harus memenuhi kriteri, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
3. WP badan usaha kecil harus memenuhi kriteria, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak badan tidak termasuk BUT; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
4. Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan, WP usaha kecil atau WP di daerah
tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Dirjen Pajak,
paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran.
6. Atas permohonan WP, Dirjen Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal diterimanya permohonan.
7. Keputusan, dapat berupa: menyetujui atau menolak permohonan WP.
8. Dalam hal permohonan WP disetujui, Dirjen Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan
jangka waktu pelunasan pajak, dalam hal permohonan WP ditolak, Dirjen Pajak menerbitkan
keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
9. Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima

Berdasarkan PMK-242/PMK.03/2014, ditentukan sbb.:

No Jenis pajak Jatuh tempo

1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
dipotong oleh Pemotong Pajak Pajak berakhir
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa
dibayar sendiri oleh WP Pajak berakhir
3. PPh Pasal 4(2) atas Harus disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian,
penghasilan dari pengalihan kesepakatan/risalah lelang atas pengalihan hak atas
hak atas tanah dan/atau tanah/ bangunan ditandatangani oleh pejabat yang
bangunan yang dipotong/ berwenang
dipungut atau yang harus
dibayar sendiri oleh WP
4. PPh Pasal 15 yang dipotong Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
oleh Pemotong Pajak Pajak berakhir
5. PPh Pasal 15 yang harus Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa
dibayar sendiri Pajak berakhir
6. PPh Pasal 21 yang dipotong Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
oleh Pemotong PPh Pajak berakhir
7. PPh Pasal 23 & Pasal 26 yang Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
dipotong oleh Pemotong PPh Pajak berakhir
8. PPh Pasal 25 Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir

9. PPh Pasal 22, PPN dan Dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
PPnBM atas impor Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen PIB
10 PPh Pasal 22, PPN dan Jangka waktu 1 (satu hari kerja) setelah dilakukan
PPnBM atas impor yang pemungutan pajak
dipungut Ditjen Bea & Cukai
11 PPh Pasal 22 yang dipungut Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
oleh bendahara atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja
Negara atau belanja Daerah, dengan SSP a.n. rekanan
dan ditandatangani oleh bendahara
12. PPh Pasal 22 atas penyerahan Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
bahan bakar minyak, gas & Pajak berakhir
pelumas kepada penyalur/agen
atau industri yg dipungut oleh
WP badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan
bakar minyak,gas & pelumas
13. PPh Pasal 22 yang Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
pemungutannya dilakukan oleh Pajak berakhir
WP badan tertentu sebagai
Pemungut Pajak
14. PPN dan PPnBM yang terutang Paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
dalam satu Masa Pajak berakhir
15. PPN yang terutang atas harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang
pemanfaatan Barang Kena memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari
Pajak tidak berwujud dan/atau luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima
Jasa Kena Pajak dari luar belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak
Daerah Pabean
16. PPN yang terutang atas Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa
kegiatan membangun sendiri Pajak berakhir
harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan
membangun sendiri.
17. PPN atau PPN dan PPnBM Harus disetor pada hari yang sama dengan
yang pemungutannya pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan
dilakukan oleh Pejabat Pemerintah melalui KPPN.
Penandatangan Surat Perintah
Membayar sebagai Pemungut
PPN
18. PPN atau PPN dan PPnBM Paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan
yang dipungut oleh Bendahara pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pengeluaran sebagai Pemungut Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan
PPN Negara
19. PPN atau PPN dan PPnBM paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
yang pemungutannya setelah Masa Pajak berakhir
dilakukan oleh Pemungut PPN
yang ditunjuk selain Bendahara
Pemerintah
20. PPh Pasal 25 bagi WP dengan Paling lama pada akhir Masa Pajak berakhir
kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3b) UU KUP yang
melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa
21. Pembayaran masa selain PPh Paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-
Pasal 25 bagi Wajib Pajak masing jenis pajak.
dengan kriteria tertentu.

SANKSI ADMINISTRASI BUNGA

1. Pembayaran atau penyetoran pajak, yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau
penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan - Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.
2. Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian
SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan - Pasal 9 ayat (2b)
UU KUP.

PEMBAYARAN SECARA ELEKTRONIK

1. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak
secara elektronik diberikan Bukti Penerimaan Negara (BPN).
2. BPN berupa dokumen bukti pembayaran yang diberikan oleh tempat pembayaran, termasuk dokumen
bukti pembayaran dalam format elektronik atau dokumen lain yang dipersamakan dengan BPN.
3. Ketentuan mengenai tata cara penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak (No.PER-05/PJ/2017)

PERATURAN DIRJEN PAJAK - No.PER-05/PJ/2017

1. Pembayaran atau penyetoran pajak secara elektronik melalui Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak
meliputi seluruh jenis pajak, kecuali:
a. pajak dalam rangka impor yang diadministrasikan pembayarannya oleh DJBC.
b. pajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus.
2. Pembayaran atau penyetoran pajak meliputi: pembayaran dalam mata uang Rupiah dan Dollar
Amerika Serikat.
3. Pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat hanya dapat dilakukan untuk:
a. PPh Ps.25, PPh Ps.29, PPh bersifat Final yang dibayar sendiri oleh WP, PPh Minyak Bumi, dan
PPh Gas Bumi, dari WP yang memperoleh izin atau telah menyampaikan pemberitahuan untuk
menyelenggarakan pembukuan menggunakan bahasa Inggris & mata uang Dollar AS.
b. SKP dan STP yang diterbitkan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat.
4. Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan melalui Bank/Pos Persepsi dengan
menggunakan Kode Billing.
5. Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui:
a. teller Bank/Pos Persepsi;
b. Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
c. internet banking;
d. mobile banking;
e. EDC; atau
f. sarana lainnya.
6. Atas pembayaran atau penyetoran pajak, WP menerima BPN sebagai bukti setoran.
7. Bukti Penerimaan Negara (BPN), diterbitkan dalam bentuk:
a. dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk pembayaran atau
penyetoran melalui teller dengan Kode Billing;
b. struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM atau EDC;
c. dokumen elektronik, untuk pembayaran atau penyetoran melalui internet banking atau mobile
banking; atau
d. teraan elemen data BPN pada SSP untuk pembayaran melalui teller Bank/Pos Persepsi dengan
menggunakan SSP.
8. Bukti Penerimaan Negara (BPN), termasuk cetakan, salinan, dan fotokopinya, kedudukannya
disamakan dengan SSP dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
9. Dalam hal terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data
pembayaran menurut sistem Penerimaan Negara secara elektronik, maka yang dianggap sah adalah
data sistem penerimaan Negara secara elektronik.

• Pembayaran Pajak secara Elektronik adalah pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan
melalui sistem elektronik.
• Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
• Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak adalah sistem elektronik yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak dalam rangka menerbitkan dan mengelola Kode Billing yang merupakan bagian dari
sistem penerimaan negara secara elektronik.

KODE BILLING

1. Kode Billing, dapat diperoleh WP, melalui:


a. layanan mandiri (self-service),
b. penerbitan secara jabatan (official-service) oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terbit surat
ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, SPPT PBB, STP PBB, atau SKP PBB yang mengakibatkan
kurang bayar.
2. Pembuatan Kode Billing melalui layanan mandiri, dilakukan oleh WP dengan mengakses:
a. Aplikasi Billing DJP; atau
b. layanan, produk, aplikasi, atau sistem penerbitan Kode Billing yang terhubung dengan Sistem
Billing Ditjen Pajak yang disediakan, oleh Bank/Pos Persepsi dan pihak lain yang ditunjuk oleh
Dirjen Pajak, meliputi perusahaan Application Service Provider dan Perusahaan Telekomunikasi.
3. Pembuatan Kode Billing melalui layanan mandiri, dapat diberikan melalui asistensi oleh:
a. pegawai Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan penugasannya,
b. petugas Bank/Pos Persepsi, atau
c. pengguna (user) tertentu yang mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
4. WP dapat memperoleh Kode Billing melalui layanan mandiri dengan melakukan input data setoran
pajak yang akan dibayarkan.
5. Input dilakukan:
a. atas nama dan NPWP milik WP sendiri, atau
b. atas nama dan NPWP milik WP lain atau atas nama Subjek Pajak yang belum atau tidak memiliki
NPWP, dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai Wajib Pungut.
6. Dalam hal input data dilakukan atas nama Subjek Pajak yang belum atau tidak memiliki NPWP,
kolom isian NPWP diisi dengan 00.000.000.0-XXX.000, dengan XXX Kode KPP tempat transaksi
atau objek pajak diadministrasikan.

• Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui Sistem Billing Direktorat Jenderal
Pajak atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak.
• Aplikasi Billing Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Aplikasi Billing DJP adalah
bagian dari Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak yang menyediakan antarmuka berupa aplikasi
berbasis web bagi Wajib Pajak untuk menerbitkan Kode Billing dan dapat diakses melalui jaringan
internet atau intranet
JANGKA WAKTU BERLAKU KODE BILLING

1. Kode Billing melalui layanan mandiri (self-service), berlaku selama 720 (tujuh ratus dua puluh) jam
atau 30 x 24 (tiga puluh kali dua puluh empat) jam sejak Kode Billing diterbitkan.
2. Kode Billing penerbitan secara jabatan (official-service) oleh Direktorat Jenderal Pajak berlaku
sampai dengan:
a. 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan SKP;
b. 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan STP;
c. 7 (tujuh) bulan sejak tanggal diterbitkan SPPT PBB;
d. 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan STP PBB; dan
e. 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan SKP PBB
3. Kode Billing yang tidak dipergunakan untuk pembayaran pajak sampai dengan jangka waktu tersebut
diatas, akan menjadi kadaluarsa.
4. Dalam hal Kode Billing telah kadaluarsa WP dapat memperoleh kembali Kode Billing yang lain
melalui layanan mandiri (self-service).

Dalam hal terjadi Keadaan Kahar yang menyebabkan gangguan pada Sistem Billing Direktorat Jenderal
Pajak, Direktorat Jenderal Pajak berwenang memutuskan kebijakan khusus yang diperlukan untuk
mendukung pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.

PELAPORAN PAJAK

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SPT

Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan adalah Surat Pemberitahuan (SPT).

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah: Surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan /atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 angka 11 UU KUP).

Pasal 3 ayat (1) UU KUP menyatakan : Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan
benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah: mengisi formulir Surat Pemberitahuan,
dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan
petunjuk pengisian yg diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Yang dimaksud benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah :
‐ benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan UU
Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
‐ lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain
yang harus dilaporkan dalam SPT;
‐ jelas melaporkan asal-usul sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan dlm SPT.

Penandatanganan dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan
elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [Pasal 3 ayat (1b) UU
KUP].
Tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki
hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain termasuk sarana administrasi
perpajakan yang ditujukan oleh WP atau kuasanya untuk menunjukan identitas dan status yang
bersangkutan. (PMK No. 181/PMK.03/2007).

JENIS SURAT PEMBERITAHUAN (SPT):

1. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa);


2. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan).

1. Surat Pemberitahuan Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.


SPT Masa, terdiri dari:
a. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26;
b. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 22;
c. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pasal 26;
d. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25;
e. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
f. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 15;
g. SPT masa Pajak Pertambahan Nilai;
h. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut PPN.
2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.
SPT Tahunan terdiri dari :
a. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi,;
b. SPT Tahunan PPh WP Badan.
c. SPT Tahunan PPh WP Badan bagi WP yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam
mata uang Dollar Amerika Serikat;

TEMPAT DAN CARA PENGAMBILAN SPT

Wajib Pajak mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak (pada kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain yang diperkirakan mudah terjangkau oleh
WP) atau mengambil atau dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 181/PMK.03/2007 tgl 28-12- 2007), diatur:
1. SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di tempat yang ditetapkan
oleh Dirjen Pajak.
2. SPT berbentuk e-SPT dapat diambil secara langsung oleh WP dengan cara mengunduh format SPT
atau aplikasi e-SPT dari situs DJP.

BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT :

1. SPT masa paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak, kecuali SPT masa PPh Ps.22, PPN & PPnBM
yang dipungut DJBC yaitu secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya;
SPT masa PPh Ps.22, PPN & PPnBM yang dipungut oleh Bendahara paling lama 14 hari setelah
masa pajak berakhir;
SPT masa PPN & PPnBM paling lama akhir bulan berikutnya.
2. SPT Tahunan PPh WP OP paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak;
3. SPT Tahunan PPh WP Badan paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
4. Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu (Pasal 3 ayat 3a UU KUP) :dapat melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.

WP dengan kriteria tertentu, antara lain WP usaha kecil, dapat:


1. menyampaikan SPT Masa Pajak PPh Ps. 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat
pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut SPT Masa tersebut, dilakukan sekaligus
paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir;
2. menyampaikan SPT Masa untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran
untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang
bersangkutan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2007 diatur sebagai berikut : WP dengan kriteria
tertentu dapat menyampaikan 1 (satu) SPT Masa untuk beberapa Masa Pajak sekaligus, yang
meliputi:
1. WP usaha kecil, terdiri dari:
a) WP Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas, yang
harus memenuhi kriteria sbb:
1) WP Orang Pribadi dalam negeri; dan
2) menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau penerimaan bruto
dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp.600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah);
b) WP Badan yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) modal WP 100% (seratus persen) dimiliki oleh WNI;
2) menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih
dari Rp.900.000.000,-; atau
2. WP di daerah tertentu, adalah WP yang tempat tinggal/ kedudukan/kegiatan usahanya berlokasi
di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh
bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
1. SPT masa PPh Ps.22, PPN & PPnBM yang dipungut DJBC yaitu secara mingguan paling lama
pada hari kerja terakhir minggu berikutnya;
2. SPT masa PPh Ps.22, PPN & PPnBM yang dipungut oleh Bendahara paling lama 14 hari
setelah masa pajak berakhir;
3. SPT masa PPN & PPnBM paling lama akhir bulan berikutnya.

E-FILING

E SPT DAN PENYAMPAIAN SPT SECARA ELEKTRONIK (E-FILING)

Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik
(e-Filing) melalui satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh
DirekturJenderal Pajak.

Perusahaan penyedia jasa aplikasi (ASP) sebagaimana dimaksud diatas harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. berbentuk badan;
2. memiliki izin usaha penyedia jasa aplikasi (ASP);
3. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; dan
4. menandatangani perjanjian dengan Direktorat Jenderal Pajak.

TaTA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN SECARA ELEKTRONIK (E-FILING)

1. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan contoh surat permohonan sebagaimana terlampir dalam
PER - 47/PJ/2008
2. Permohonan sebagaimana dimaksud diatas dapat disetujui apabila:
a. Alamat yang tercantum pada permohonan sama dengan alamat dalam database (master file)
Wajib Pajak di Direktorat Jenderal Pajak.
b. Bagi Wajib Pajak yang telah mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, telah
menyampaikan :
1) SPT PPh Orang Pribadi atau Badan untuk Tahun Pajak terakhir;
2) SPT PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak terakhir;
3) SPT Masa PPN untuk 6 (enam) Masa Pajak terakhir.
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan oleh
Wajib Pajak untuk memperoleh Electronic Filing Identification Number (e-FIN) paling lama 2 (dua)
hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
4. Wajib Pajak yang sudah mendapatkan Electronic Filing Identification Number (eFIN) dari KPP
mendaftarkan diri melalui website ASP.
5. Setelah Wajib Pajak mendaftarkan diri, Pihak ASP akan msemberikan :
a. User ID dan Password;
b. Aplikasi e-SPT beserta petunjuk penggunaan dan informasi lainnya, sesuai dengan jenis-jenis
pajak yang diperlukan;
c. Sertifikat digital (digital certificate) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan
Electronic Filing Identification Number (e-FIN) yang didaftarkan oleh Wajib Pajak yang
berfungsi untuk :
1) Keamanan dengan melakukan pengacakan data e-SPT (encryption);
2) Otentifikasi pengirim data e-SPT;
3) Menjamin integritas data e-SPT;
4) Mencegah penyangkalan (non-repudiation)
6. Wajib Pajak dapat mempersiapkan dan melakukan pengisian SPT secara off-line melalui aplikasi e-
SPT yang telah diberikan.
7. Setelah data terisi lengkap, penyampaian laporan (e-Filing) dilakukan secara on-line melalui Website
ASP yang dipilih Wajib Pajak.
8. Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukan selama 24 (dua puluh empat)
jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia.
9. Jika sistem di yang ada di KPP telah menerima data elektronik SPT dan sistem itu menyatakan bahwa
SPT telah diterima secara lengkap, maka sistem ini akan membubuhkan Bukti Penerimaan SPT
elektronik di bagian bawah Induk SPT.
10. Setelah bukti penerimaan SPT elektronik diterima, Wajib Pajak dapat segera melakukan pencetakan
formulir induk SPT yang bagian bawahnya telah dibubuhi bukti penerimaan elektronik. Kemudian,
Wajib Pajak menandatangani induk SPT dan mengirimkannya seperti biasa ke KPP. Print out SPT
elektronik dan bukti penerimaan elektronik disampaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
batas terakhir pelaporan SPT dalam hal SPT disampaikan sebelum batas akhir penyampaian. Apabila
SPT disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian, maka batas waktu penyampaian print out
SPT elektronik dan bukti penerimaan elektronik adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penyampaian SPT secara elektronik.

HAK WP BERKAITAN DENGAN PELAPORAN PAJAK

1. Perpanjangan/Penundaan Penyampaian SPT Tahunan (Ps.3 ayat 4 UU KUP);


2. Pembetulan SPT (Ps.8 Ayat 1 UU KUP);
3. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT (Ps.8 Ayat (3) & (4) UU KUP);

PERPANJANGAN WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN

Apabila WP OP maupun WP Badan ternyata tidak dapat menyampaikan SPT tahunan PPh dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan, karena luasnya kegiatan dan masalah teknis penyusunan laporan keuangan
atau karena masalah lainnya, Wajib Pajak dapat memperpanjang waktu penyampaian untuk paling lama 2
(dua) bulan, dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis dan harus dilampiri dengan
penghitungan sementara pajak yang terhutang dalam 1 tahun pajak dan surat setoran pajak (SSP) sebagai
bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terhutang dan disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian berakhir.

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu atau batas waktu perpanjangan
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dapat diterbitkan Surat Teguran.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 181/PMK.03/2007, antara lain menyatakan :

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
1. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang;
2. laporan keuangan sementara;
3. SSP sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

Sanksi administratif akibat penundaan penyampaian SPT Tahunan [Pasal 19 ayat (3) UU KUP
menyebutkan: Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata
penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung
dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

LAMPIRAN SPT :

Dinyatakan bahwa :
1. SPT terdiri dari SPT Induk dan Lampiran, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan;
2. SPT harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan UU Pajak;
3. Ketentuan mengenai dokumen yang harus dilampirkan dlm SPT diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak;
DALAM UU KUP YANG HARUS DILAMPIRKAN DALAM SPT

1. SPT Tahunan PPh WP yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. {Ps. 4 ayat (4)};
2. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada SPT, SPT
dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga SPT dianggap tidak disampaikan. {Pasal 4 ayat
(4b) UU KUP};
3. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
menandatangani SPT, surat kuasa khusus harus dilampirkan pada SPT (Ps. 4 angka 3 UU KUP)

SURAT PEMBERITAHUAN DIANGGAP TIDAK DISAMPAIKAN, apabila:

a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;


b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan;
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara
tertulis; atau
d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau
menerbitkan surat ketetapan pajak.

Ps.3 ayat 8 UU KUP: Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT adalah WP PPh tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan - PMK No. 183/PMK.03/2007.

DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN SPT :

1. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi yaitu WP Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh
penghasilan neto tidak melebihi PTKP sebagaimana dimaksud dalam UU PPh.
2. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 yaitu WP Orang Pribadi yang
tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.

PEMBETULAN SPT

1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat
Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
2. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat
Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) buian [Pasal 8 ayat (2) UU KUP];
Contoh: PT ABC setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis menunda jangka waktu penyampaian
SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 (Tahun Takwim) sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 dengan
perhitungan sementara pajak terutang sebesar Rp 200.000.000,00 dan kredit pajak Rp
180.000.000,00. Kekurangan pajak (PPh Pasal 29) sebesar Rp 20.000.000,00 dilunasi pada tanggal 25
April 2010. PT ABC menyampaikan SPT sesungguhnya pada tanggal 30 Juni 2010 dengan jumlah
pajak yang terutang Rp 120.000.000,00. Kekurangan pembayaran dilunasi tanggal 28 Juni 2010.
Dari kasus ini PT ABC dikenakan sanksi adm. bunga selama 2 bulan atau sebesar : 2% x 2 x
Rp.20.000.000,00 = Rp.800.000,00.
3. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan [Pasal 8 ayat
(2A) UU KUP];
Contoh: PT ABC membetulkan sendiri SPT Masa PPN Masa Januari 2010 pada tanggal 25
November 2010, semula menyatakan jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sendiri sebesar Rp
100.000.000,00 dan kredit pajak Rp 80.000.000,00, dibetulkan menjadi jumlah Pajak Keluaran yang
seharusnya dipungut sebesar Rp 130.000.000,00 dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran
pajak Rp 30.000.000,00 dibayar pada tanggal 26 November 2008.
Akibatnya PT ABC dikenai Sanksi administrasi bunga : 2% x 10 x Rp30.000.000,00 =
Rp6.000.000,00.

PERATURAN PEMERINTAH NO. 80 TAHUN 2007, antara lain menyatakan :

Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima
surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiscal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan

MENGUNGKAPKAN KETIDAKBENARAN PENGISIAN SPT

Tujuan: Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT adalah hak WP, untuk menghindar dari
kemungkinan dikenai sanksi/hukuman pidana pajak.

1. Mengungkapkan Ketidakbenaran Pengisian SPT karena Kealpaan

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan WP, terhadap ketidak benaran perbuatan WP
tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah
pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

2. Mengungkapkan kesalahan pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan

Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan
SKP, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidak
benaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil;
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan [Ps.8 ayat (4) UU KUP].
PP No. 80 Tahun 2007, antara lain menyatakan :

• Terhadap WP yang telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dan sekaligus melunasi


kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya tidak
akan dilakukan penyidikan, sepanjang tidak ditemukan data yang menyatakan lain dari
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut.
• Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan
kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi WP yang
bersangkutan
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian
SPT beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

FORMULIR SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN

1. Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
(Formulir 1770 dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
a. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
b. dari satu atau lebih pemberi kerja;
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat Final; dan/atau
d. penghasilan lain.
2. Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir
1770 S dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
a. dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. dari dalam negeri lainnya; dan/atau
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final.
3. Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana
(Formulir 1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja
dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan berupa bunga bank
dan/atau bunga koperasi.
Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan menggunakan
Formulir 1770 SS maka Lampiran Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berupa Bukti
Pemotongan 1721 A1 dan/atau 1721 A2 merupakan bagia tidak terpisahkan dari Formulir 1770 SS.
4. Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Formulir 1771 dan Lampiran-
Lampirannya);
5. Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang
diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (Formulir 1771/$
dan Lampiran-Lampirannya)

SURAT PEMBERITAHUN PALING SEDIKIT BERISI :

a. Nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat Wajib Pajak;
b. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
c. Tanda tangan Wajib Pajak atau kuasanya.

UNTUK SPT MASA PAJAK PENGHASILAN harus dilengkapi data mengenai :


a. jumlah objek pajak (kecuali untuk SPT Masa PPh Pasal 25), jumlah pajak yang terutang, dan/atau
jumlah pajak dibayar;
b. tanggal pembayaran atau penyetoran; dan
c. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak (kecuali untuk SPT Masa PPh Pasal 25).

UNTUK SPT MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI harus dilengkapi data mengenai :
a. jumlah penyerahan;
b. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
c. jumlah Pajak Keluaran;
d. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
e. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
f. tanggal penyetoran; dan
g. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

UNTUK SPT MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BAGI PEMUNGUT harus dilengkapi data
mengenai :
a. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
b. jumlah Pajak yang dipungut;
c. jumlah pajak yang disetor;
d. tanggal pemungutan;
e. tanggal penyetoran; dan
f. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

UNTUK SPT MASA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH harus dilengkapi data mengenai
: (Ps.2 ayat (6) PMK-No.534/KMK.04/2000 Pasal 2 (6))
a. jumlah penyerahan;
b. tarif;
c. jumlah pajak yang terutang;
d. jumlah pajak yang disetor;
e. tanggal penyetoran.

UNTUK SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN harus dilengkapi data mengenai :


a. jumlah peredaran usaha;
b. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
c. jumlah Penghasilan Kena Pajak;
d. jumlah pajak yang terutang;
e. jumlah kredit pajak;
f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
g. jumlah harta dan kewajiban;
h. tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
i. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

DOKUMEN YANG HARUS DILAMPIRKAN DALAM SPT:

1. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan :


a. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri
(bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.
b. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.
c. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan.
d. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan
pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29.
e. Surat Kuasa Khusus, dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak.
f. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya
penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.

2. SPT Tahunan PPh wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan :
a. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri
berserta rekonsiliasi fiskalnya.
b. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.
c. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan.
d. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan
pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29.
e. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani
oleh Ahli Waris.
f. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya oleh pemberi kerja.
g. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang
kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri.
h. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.
i. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh
Pemerintah.
j. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya
penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.

3. SPT Tahunan PPh wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pencatatan :
a. Jumlah peredaran atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun
b. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan
pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29.
c. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani
oleh Ahli Waris.
d. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya oleh pemberi kerja.
e. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang
kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri.
f. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.
g. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh
Pemerintah.
h. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya
penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.

4. SPT Tahunan PPh wajib Pajak Orang Pribadi tidak melakukan kegiatan usaha / pekerjaan bebas :
a. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan
pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29.
b. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani
oleh Ahli Waris.
c. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2 dan atau bukti potong PPh Pasal 21, dalam hal
Wajib Pajak menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya
oleh pemberi kerja.
d. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang
kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri.
e. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh
Pemerintah.
f. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya
penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.

PEMBUKUAN/PENCATATAN

TUJUAN PEMBUKUAN/PENCATATAN

1. Mempermudah pengisian SPT;


2. Mempermudah Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Mempermudah Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang d itutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Pasal 28 Ayat (1) UU KUP, menyatakan bahwa WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Pasal 28 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa WP yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi
wajib melakukan pencatatan adalah :
1. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
2. WP Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

SYARAT-SYARAT MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN/PENCATATAN

1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya {Ps.28 (3) UU KUP}.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan {Ps.28 (4) UU KUP}.
3. Diselenggarakan taat asas dengan stelsel akrual atau stelsel kas {Ps.28 ayat (5) UU KUP}.
4. Perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak
{Ps.28 (6) UU KUP}.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya serta penjualan & pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang {Ps.28
(7) UU KUP}.
Pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah
mendapat izin Menteri Keuangan.
a. WP dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang
selain rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang dollar Amerika Serikat.
Wajib Pajak dimaksud meliputi :
1) WP dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang beroperasi berdasarkan ketentuan UU
PMA;
2) WP dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI,
sebgaimana dimaksud dalam ketentuan UU Pertambangan selain minyak dan gas bumi;
3) WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) yang beroperasi berdasarkan ketentuan UU
Pertambangan Minyak & Gas Bumi;
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT);
5) WP yang mendaftarkan Emisi Sahamnya, baik sebagian maupun seluruhnya di Bursa Efek Luar
Negeri;
6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang memerlukan Reksadana dalam denominasi satuan mata
uang dollar AS dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari
Badan Pengawas Pasar Modal – Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan UU Pasar Modal;
7) WP yang berafiliasi langsung dengan induk di LN, yaitu perusahaan anak (Subsidiary company),
di LN yang mempunyai hubungan istimewa.
8) WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan pertambangan migas
b. Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dollar AS
oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis Menteri Keuangan, kecuali bagi WP dalam
rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
c. Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan Surat Permohonan kepada Kepala Kantor
Wilayah (Kakanwil), paling lambat 3 (tiga) bulan :
1) Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uang dollar AS tersebut dimulai;
2) Sejak tanggal pendirian bagi WP Baru untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak pertama.

PENCATATAN BAGI WP ORANG PRIBADI – (PMK-No.197/PMK.03/2007)

Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenakan pajak bersifat final.

1. WP orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
menyelenggarakan pencatatan adalah :
2. WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
3. WP orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
4. Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur & mencerminkan keadaan yang sebenarnya
dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah disusun dalam bahasa
Indonesia.
5. Pencatatan dalam 1 (satu) tahun harus diselenggarakan secara kronologis.
6. Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal WP atau
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun

Ketentuan tentang pencatatan :

1. Pencatatan harus dapat menggambarkan antara lain:


a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau
diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus
dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang
bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP Orang pribadi harus menyelenggarakan
pencatatan atas harta dan kewajiban.

PENYIMPANAN DOKUMEN

Buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secata elektronik atau secara program
aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal WP OP atau di tempat kedudukan WP Badan. {Ps.28 (11) UU KUP}.

Peyimpanan selama 10 (sepuluh) tahun dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada
dan dapat segera disediakan.

Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

PEMERIKSAAN PAJAK

Pengertian:

a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga
ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab
untuk melaksanakan Pemeriksaan.
Wewenang Pemeriksaan Pajak

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan WP dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat WP (Pemeriksaan


Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau
seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.

Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap WP, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain
sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.

Tujuan Pemeriksaan
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

a. Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan


1) SPT Lebih Bayar termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan pajak;
2) SPT Rugi;
3) SPT tidak atau terlambat disampaikan setelah Teguran;
4) Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
5) Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis (risk based
selection) mengindifikasikan adanya kewajiban perpajakan WP yang tidak dipenuhi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Tujuan Lain
1) Pemberian NPWP secara jabatan;
2) Penghapusan NPWP;
3) Pengukuhan PKP dan Pencabutan PKP;
4) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5) Pengumpulan Bahan Penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6) Pencocokan data dan/atau Alat keterangan;
7) Penentuan WP berlokasi didaerah terpencil;
8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
9) Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10) Penentuan saat mulai berproduksi (adanya fasilitas perpajakan);
11) Pemenuhan permintaan Informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Kewajiban Wajib Pajak Dalam Hal Diperiksa

WP yang diperiksa wajib:


a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
WP, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh WP
paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh WP yang diperiksa disesuaikan dengan tujuan dilakukannya
pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, WP
harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.

Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh WP paling
lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan
jenis Pemeriksaan Lapangan, WP wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang,barang bergerak
dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau
barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas WP atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya WP apabila dalam mengakses data yang
dikelola secara elektronik memerlukan peralatan/keahlian khusus;
2) memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak
bergerak; dan/atau
3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal jumlah
buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak.
e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan
jenis Pemeriksaan Kantor, WP wajib :
a. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;
b. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang
pajak;
c. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
e. meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik;
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, WP wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
b. memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang
berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
d. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang
diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau
b. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang
diperlukan.

Penghitungan Secara Jabatan Dan Kewajiban Merahasiakan


a. Dalam hal WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi
ketentuan, yaitu kewajiban WP yang diperiksa, sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan
kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, WP terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk
merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Hal ini untuk mencegah adanya dalih bahwa WP yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan
sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat
diberikan oleh WP.

Tata Cara Pemeriksaan


a. Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
b. Tata cara pemeriksaan di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan,
kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada WP, dan hak WP untuk
hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
c. Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan WP tidak memenuhi kewajiban, yaitu kewajiban WP yang
diperiksa sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada WP dan memberikan hak
kepada WP untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
Pemeriksaan Ulang

Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP yang telah diterbitkan SKP dari
hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
yang sama.
a. Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi/persetujuan Dirjen Pajak.
b. Instruksi atau persetujuan Dirjen Pajak untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang dapat diberikan
apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap.
c. Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang, mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPKBT
d. Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang, tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dihentikan dengan
membuat LHP Sumir dan kepada WP diberitahukan mengenai penghentian tersebut.
e. Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang, tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan dalam SKP sebelumnya tetapi terdapat perubahan jumlah rugi fiskal, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai rugi fiskal.
f. Keputusan mengenai rugi fiskal digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan rugi fiskal ke tahun
pajak berikut.

Jangka Waktu Pemeriksaan

a. Jangka Waktu Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:


1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dlm jangka
waktu Pemeriksaan yg meliputi:
a) jangka waktu pengujian;
b) jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian
paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan
disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
WP, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari WP.
3) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian
paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal WP, wakil, kuasa dari WP, pegawai,
atau anggota keluarga yang telah dewasa dari WP datang memenuhi Surat Panggilan dalam
Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil,
kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari WP.
4) Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan,
yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota
yang telah dewasa dari WP sampai tanggal LHP.

Jangka Waktu Pengujian

1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan.
2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam hal:
a) Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
lainnya;
b) terdapat konfirmasi/permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
c) ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak;
d) berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
3) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan, yang terkait dengan:
a) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
b) Wajib Pajak dalam satu grup;
c) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus
lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling
banyak 3 (tiga) kali sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.
4) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan.
5) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam hal:
a) Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
lainnya;
b) terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada Pihak III; ruang
lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak;
c) berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP, jangka
waktu Pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pencabutan
pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (9) UU KUP, yaitu Direktur Jenderal Pajak
setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan
pengukuhan PKP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara
lengkap

b. Jangka Waktu Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain

1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 4 bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah
dewasa dari WP, sampai dengan tanggal LHP.
2) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 14 hari yang dihitung sejak tanggal WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari WP, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka
Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal dalam LHP.
3) Dalam hal jangka waktu Pemeriksaan berakhir, Pemeriksaan harus diselesaikan.
4) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka permohonan penghapusan NPWP,
jangka waktu Pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan
penghapusan NPWP yaitu dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk WP orang pribadi atau 12
(dua belas) bulan untuk WP badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap {Pasal 2
ayat (7) UU KUP}.
5) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP, jangka
waktu Pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pencabutan
pengukuhan PKP yaitu dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap {Pasal 2 ayat (9) UU KUP}.

Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)

Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa
Pajak wajib: menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak.

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan

a. Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan
kepada WP melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP, yang dilampiri
dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan.
b. SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan disampaikan oleh Pemeriksa Pajak secara langsung atau
melalui faksimili.
c. Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan WP, wakil, atau kuasa dari WP menolak untuk
menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari WP harus menandatangani surat penolakan
menerima SPHP.
d. Dalam hal WP, wakil, atau kuasa dari WP menolak menandatangani surat penolakan menerima
SPHP, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh
tim Pemeriksa Pajak.

Hak Wajib Pajak Dalam Hal Diperiksa

a. Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib
Pajak berhak:
1) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan
SP2;
2) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
3) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim
Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
4) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan
Pemeriksaan;
5) menerima SPHP;
6) menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
7) mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance
Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara
Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
8) memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui
pengisian Kuesioner Pemeriksaan.
b. Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, WP berhak:
1) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan
SP2 kepada WP pada waktu Pemeriksaan;
2) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan, dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
3) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan
Pemeriksaan;
4) meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim
Pemeriksa Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
5) memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui
pengisian Kuesioner Pemeriksaan.

Hak Wajib Pajak Untuk Hadir Dalam Pembahasan Akhir

a. Dalam rangka melaksanakan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP
dan daftar temuan hasil Pemeriksaan kepada WP harus diberikan hak hadir dalam Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan.
b. Hak hadir, diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada WP dengan
mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
c. Undangan harus disampaikan kepada WP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak:
1) diterimanya tanggapan tertulis atas SPHP dari WP.
2) berakhirnya jangka waktu dalm hal WP mengajukan perpanjangan jangka waktu
penyampaian tanggapan tertulis.
d. Undangan dapat disampaikan oleh Pemeriksa Pajak secara langsung atau melalui faksimili.

SURAT TAGIHAN PAJAK (STP) DAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

1. SURAT TAGIHAN PAJAK

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda.

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:


a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau
salah hitung;
c. WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat
faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap,
selain:
1) identitas pembeli (nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP);
2) identitas pembeli (nama, alamat dan NPWP pembeli barang kena pajak atau penerima jasa
kena pajak) serta nama dan tandatangan (nama, jabatan dan tandatangan yang berhak
menandatangani faktur pajak) dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran;
f. PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak;
g. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
“Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak”( Ps.
14 (2) UU KUP).

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak apabila Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar dan dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak ( Ps. 14 (3) UU KUP).

Contoh :
1) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
PPh Pasal 25 tahun 2011 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh tempo tanggal 15 bulan
berikutnya. PPh Pasal 25 bulan Juni 2011 dibayar tepat waktu Tanggal 15 Juni 2011
Rp40.000.000,00.

Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan STP pada tanggal 20 September
2011 dengan penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2011
(Rp100.000.000,00 – Rp40.000.000,00) = Rp60.000.000,00
- Bunga = 3 x 2% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp63.600.000,00

2) Hasil penelitian Surat Pemberitahuan


SPT Tahunan PPh tahun 2009 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2010 setelah dilakukan
penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar
sebesar Rp1.000.000,00.

Atas kekurangan PPh tersebut diterbitkan STP pada tanggal 15 Juni 2010 dengan penghitungan
sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan = Rp1.000.000,00
- Bunga = 3 x 2% x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp1.060.000,00

Surat Tagihan Pajak Terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP)

a. Terhadap pengusaha atau PKP, yang telah dikukuhkan sebagai PKP, pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, selain identitas
pembeli, nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP, nama dan tanda tangan
yang berhak menandatangani Faktur Pajak, PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak,
tetapi tidak tepat waktu, masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai
sanksi administrasi berupa denda 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
b. Terhadap pengusaha atau PKP yaitu pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu, pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap) atau PKP melaporkan
faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak, masing-masing, selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua
persen) dari Dasar Pengenaan Pajak
c. Terhadap PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan),
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak
yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan SK Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 bulan.
d. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak 2008 dan setelahnya dalam hal:
1) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2) dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
3) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tidak membuat Faktur Pajak atau membuat
Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu;
5) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap
{Ps.13(5) UU PPN}, selain:
a) identitas pembeli {Ps.13(5) huruf b UU PPN}; atau
b) identitas pembeli serta nama dan tanda tangan {Ps.13 ayat (5) huruf b dan g} UU PPN,
dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran;
6) PKP melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak;
7) PKP yang mengalami gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan
{Ps.9 ayat (6a) UU PPN}.
e. Dirjen Pajak dapat menerbitkan STP setelah meneliti data administrasi perpajakan atau setelah
melakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan
dalam rangka penerbitan SKP.
f. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP yaitu PPh dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar dan dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
g. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP, ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
h. Sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga yang ditagih berdasarkan STP termasuk sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, dan dalam hal permohonan
banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
i. Terhadap pengusaha atau PKP, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tidak membuat
Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu dan pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai PKP tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, selain: identitas pembeli
atau identitas pembeli serta nama dan tanda tangan UU PPN, serta dalam hal penyerahan
dilakukan oleh PKP pedagang eceran, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
j. Terhadap PKP yang mengalami gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah
pajak yang ditagih kembali, yang dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.

2. SURAT KETETAPAN PAJAK

Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan pajak kurang bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat ketetapan
pajak Lebih Bayar.

Surat Ketetapan Pajak berfungsi :


a. Sarana untuk melkukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material dalam
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. Sarana untuk mengenakan sanksi perpajakan;
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak;
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar;
e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB)

a. SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan
jumlah pajak yang harus dibayar.
b. Dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak atau tahun pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal :
1) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau
kurang dibayar.
2) apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat
Teguran;
3) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN & PPnBM
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen);
4) apabila kewajiban pembukuan dan kewajiban dalam hal WP diperiksa tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
5) apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
c. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh
Dirjen Pajak dibebankan kepada WP.
Contoh:
1) pembukuan tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas;
2) dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak
dapat diuji; atau
3) dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari
sikap demikian jelas WP telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu
kelancaran jalannya pemeriksaan.
d. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB hasil pemeriksaan atau keterangan lain,
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dan apabila kepada WP diterbitkan NPWP
dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empa)t bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
e. Walaupun SKPKB tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak,
bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.

Contoh: SKPKB Pajak Penghasilan.


WP PT.A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2010 sebesar
Rp100.000.000,00 dan menyampaikan SPT tepat waktu.

Pada bulan April 2013 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB.


Sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
₋ Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
₋ Pajak terutang (25% x Rp100.000.000,00) =Rp 25.000.000,00
₋ Kredit pajak =Rp 5.000.000,00(-)
₋ Pajak yang kurang dibayar =Rp 20.000.000,00
₋ Bunga 24 Bln (24x2%xRp20.000.000,00) =Rp 9.600.000,00(+)
₋ Jumlah pajak yang masih harus dibayar =Rp 29.600.000,00
f. Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, selain
harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya
Masa Pajak untuk paling lama 24 bulan.
g. Jumlah pajak dalam SKPKB dalm hal Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya, berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikomp ensasikan selisih lebih pajak
atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen) dan kewajiban Pasal 28 atau Pasal 29 UU
KUP tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
1) 50% (lima puluh persen) dari PPh yang tidak/kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
2) 100% (seratus persen) dari PPh yang tidak atau kurang dipotong/dipungut, tidak atau kurang
disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor;
3) 100% (seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
h. Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh WP dalam SPT menjadi pasti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5
tahun, setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak tidak diterbitkan
i. Walaupun jangka waktu 5 tahun telah lewat, SKPKB tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila
WP setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
j. WP yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila
kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh WP dan WP tersebut wajib melunasi kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui
penerbitan SKPKB.

PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN SKPKBT

a. SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
b. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan.
c. SKPKBT tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan SKP. Penerbitan
SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam SKP sebelumnya. Sejalan dengan itu,
setelah SKPLB diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 bulan, SKPKBT diterbitkan hanya
dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap.
d. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya SKPKBT, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
diketahui kemudian oleh Dirjen Pajak, SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
Contoh:
Dalam SPT dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan
sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan
Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Apabila pada saat penetapan semula WP tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus
tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.

PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKPN)

a. SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
b. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKPN apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
1) PPh, apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;
2) PPN, apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN,
jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah PK dikurangi dengan pajak yang
dipungut oleh Pemungut PPN tsb.;
3) PPn BM, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK LEBIH BAYAR (SKPLB)

a. SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
b. Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKPLB apabila jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
c. SKPLB diterbitkan untuk:
1) Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
2) Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN, jumlah pajak yang terutang
dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
Pemungut PPN tersebut;
3) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang.
d. SKPLB diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT tahunan yang disampaikan WP yang
menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
e. Apabila WP setelah menerima SKPLB dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis.
PENAGIHAN PAJAK

1. Pengertian
a. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan Penyitaan,
melaksanakan Penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
b. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Utang Pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda,
atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Dasar Penagihan:
a. STP;
b. SKPKB;
c. SKPKBT;
d. SK Pembetulan;
e. SK Keberatan;
f. Putusan Banding;
g. Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

3. Bunga Penagihan
a. Apabila SKPKB,SKPKBT serta SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada
saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk seluruh masa,
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
b. Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak
yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
c. Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya
terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

4. Pelaksanaan Penagihan
a. Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKP, SKPKBT dan SK
Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yaitu dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan atau bagi WP usaha kecil dan WP di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan, dilaksanakan penagihan pajak
dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Dikecualikan dari ketentuan, apabila dilakukan penagihan seketika dan sekaligus:
1) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk
itu;
2) Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
3) terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau
menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindah tangankan perusahaan yang
dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
4) badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
5) terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
kepailitan.

Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita
Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

5. Tindakan Penagihan :
Apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi oleh penanggung
pajak, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak, berupa :
a. Surat Teguran;
b. Surat Paksa;
c. Penyitaan;
d. Lelang;
e. Pencegahan;
f. Penyanderaan.

a. SURAT TEGURAN

1) Pengertian Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang
diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada WP untuk melunasi
utang pajaknya;
2) Saat Jatuh Tempo & Penyampaian Surat Teguran
a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak nengajukan permohonan
banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar dilakukan paling lama 1(satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Kebereaan.
b) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak
yang belum dilakukan paling lama 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.
c) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus
dibayar dilakukan paling lama 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat Ketetapan
Pajak.
d) Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui
seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling
lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.
e) Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih dibayar dalam jangka
waktu, pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu
menerbitkan Surat Teguran.
f) Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
dimaksud pada angka 1), 2), 3), dan 4) tersebut diatas.
g) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak
mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada angka 5)
disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
h) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana
dimaksud pada angka 5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo
pengajuan permohonan banding.
i) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding atas keputusan keberatan,
j) Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak
yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.

b. SURAT PAKSA

1) Pengertian Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak.
2) Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, SKPKBT dan
SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, dilaksanakan penagihan
pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
3) Penerbitan Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila :
a) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat
teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
b) Terhadap Penangung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.
c) Penangung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
4) Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial & kedudukan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
5) Surat Paksa diterbitkan oleh jurusita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak setelah
hutang pajak lewat 21 hari dari tanggal surat teguran, tidak dilunasi;
6) Utang pajak harus dilunasi 2 x 24 jam setelah surat paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
7) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat
Paksa.

c. PENYITAAN

1) Pengertian: Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penangung
Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan.
2) Jangka Waktu Penyitaan: Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka
waktu yang telah ditentukan Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
3) Pelaksanaan Penyitaan
a) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya
2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan
dapat dipercaya.
b) Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
c) Dalam hal Penanggung Pajak adalah Badan maka Berita Acara Pelaksanaan Sita
ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan.
d) Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan
syarat salah seorang saksi, berasal dari Pemerintah Daerah setempat.
e) Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara
Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak dan saksi-saksi.
f) Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan mengikat, meskipun
Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita.
g) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau
barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak atau barang tidak
bergerak yang disita berada, dan atau di tempat-tempat umum.
h) Atas barang yang disita dapat ditempel atau diberi “segel sita."
4) Barang Yang Dapat Disita :
a) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat
tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan
utang tertentu yang dapat berupa :
(1) barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada
perusahaan lain; dan atau
(2) barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
b) Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik
perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun
di tempat lain.
c) Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh
Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
5) Barang Yang Tidak Dapat Disita
a) Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan:
(1) pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung
Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
(2) persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang berada di rumah;
(3) perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
(4) buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-
alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
(5) peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah); atau
(6) peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungannya.
Perubahan besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan
Kepala Daerah.
b) Dalam hal barang yang disita mudah rusak atau cepat busuk, dikecualikan dari penjualan
secara lelang.
c) Penambahan jenis barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
6) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut
Jurusita Pajak barang dimaksud perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
7) Penyitaan Terhadap Barang Yang Telah Disita Oleh Pengadilan Negeri Atau Instansi Lain
Yang Berwenang
a) Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan
Negeri atau instansi lain yang berwenang.
b) Terhadap barang yang telah disita, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
c) Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang yang telah disita
dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
d) Instansi lain yang berwenang, setelah menerima Surat Paksa menjadikan barang yang
telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
e) Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil
penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan
pajak.
8) Penyitaan tambahan, dapat dilaksanakan apabila:
a) nilai barang yang disita) nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak; atau
b) hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan.
9) Pencabutan Sita
a) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan
pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
b) Pencabutan sita dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh
Pejabat.
c) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar,
tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut
terdaftar."
10) Larangan teradap Penanggung Pajak
Penanggung Pajak dilarang :
a) memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
b) membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;
c) membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu; dan atau
d) merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan
Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.

d. LELANG

1) Pengertian Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran
harga secara lisan dan/atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
2) Pelaksanaan Lelang:
a) Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan
penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang
yang disita melalui Kantor Lelang.
b) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang;
c) Barang yang disita digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak
dengan cara :
(1) uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
(2) deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas
permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
(3) obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual
di bursa efek atas permintaan Pejabat;
(4) obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek
segera dijual oleh Pejabat;
(5) piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari
Penanggung Pajak kepada Pejabat;
(6) penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak
menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
d) Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1%
(satu persen) dari hasil penjualan.
e) Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara
lelang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3) Penjualan lelang
a) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari
setelah pengumuman lelang melalui media massa.
b) Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan.
c) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali dan untuk barang tidak
bergerak dilakukan 2 kali.
d) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 tidak
harus diumumkan melalui media massa.
e) Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang
kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
f) Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan
dilepas/tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang.
g) Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
h) Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk membeli barang sitaan yang dilelang,
berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus,
serta anak angkat.
i) Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
j) Perubahan besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa
ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
k) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh WP belum
memperoleh keputusan keberatan.
l) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
m) Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan
peradilan pajak, atau objek lelang musnah."
n) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang
belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
o) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen)
dari pokok lelang.
p) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun
barang yang akan dilelang masih ada.
q) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada
Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
r) Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan
kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar
pendaftaran dan pengalihan hak."
s) Apabila setelah pelaksanaan lelang WP memperoleh keputusan keberatan atau putusan
banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga
menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, WP tidak dapat meminta atau tidak berhak
menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.
t) Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam bentuk uang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

e. PENCEGAHAN

1) Pencegahan adalah larangan yng bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu
untuk keluar dari wilayah Negara RI berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2) Pencegahan hanya dapat dilaksanakan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang
pajak sekurang-kurangnya Rp 100,000,000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi
utang pajak.
3) Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh
Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
4) Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :
a) identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
b) alasan untuk melakukan pencegahan; dan
c) jangka waktu pencegahan.
5) Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-
lamanya 6 (enam) bulan.
6) Keputusan pencegahan disampaikan kepada Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan,
Menteri Kehakiman, Pejabat yang memohon pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan,
dan Kepala Daerah setempat.
7) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib
Pajak badan atau ahli waris.
8) Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

f. PENYANDERAAN

1) Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan


menempatkannya ditempat tertentu (Ps.1 angka 21 UU PPSP).
2) Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang
pajak sekurang-kurangnya Rp 100,000,000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi
utang pajak;
3) Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang
diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.
Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :
a) identitas Penanggung Pajak;
b) alasan penyanderaan;
c) izin penyanderaan;
d) lamanya penyanderaan; dan
e) tempat penyanderaan.
4) Masa penyanderaan paling lama 6 bulan & dapat diperpanjang selama-lamanya 6 bulan;
5) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah atau
sedang mengikuti sidang resmi atau sedang mengikuti Pemilu;
6) Penanggung Pajak yang disandera dilepas:
a) Apabila utang pajak dan biaya penagihan telah dibayar lunas;
b) Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah
terpenuhi;
c) Berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap;
d) Berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri atau Gubernur KDH Tk.I.
7) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
8) Dalam hal gugatan dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Penanggung Pajak dapat memohon Rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa
penyanderaan yang telah dijalaninya;
9) Besarnya ganti rugi adalah RP 100,000,00 setiap hari.
10) Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
setelah masa penyanderaan berakhir.
11) Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

HAK MENDAHULU

1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
2. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
a. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
b. Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap :
1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang barang
bergerak/tidak bergerak;
2) Biaya yang dikeluarkan untuk meyelamatkan barang tersebut;
3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
3. Dalam hal WP dinyatakan pailit, bubar/dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau
badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarangmembagikan harta Wajib Pajak
dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum
menggunakan harta tersebut untuk membayar utang Pajak Wajib Pajak tersebut.
4. Hak Mendahulu Hilang
a. Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan STP,
SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
b. Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
1) dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5
(lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
2) dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

DALUWARSA PENAGIHAN PAJAK

1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan STP, SKPKB, SKPKB
dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
2. Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam undang-
undang dan peraturan daerah;
3. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari WP baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan SKPKB atau SKPKBT;
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

GUGATAN WAJIB PAJAK ATAU PENANGGUNG PAJAK

1. Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:


a) pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b) keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c) keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d) penerbitan SKP atau SK Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau
tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

1. Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak
mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya,
atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan
penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo
piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat
ditagih atau dicairkan.
2. Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluwarsa dapat dihapuskan.
3. Piutang Pajak yang dapat dihapuskan adalah:
a. piutang pajak yang tercantum dalam:
1) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
2) Surat Ketetapan Pajak (SKP);
3) Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);
4) Surat Tagihan Pajak (STP);
5) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
6) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
7) Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB);
8) Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT);
9) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (STB);
10) SK Pembetulan, SK Keberatan, dan Putusan Banding.
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau
b. piutang pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang menurut data administrasi Kantor Pelayanan Pajak
yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
1) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan
tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat
ditemukan;
2) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
3) penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa
kepada Penanggung Pajak melalui Pemerintah Daerah setempat;
4) hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
5) sebab lain sesuai hasil penelitian.
4. Pajak tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham,
pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau
kurator tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
c. penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada
pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, atau Pemerintah
Daerah setempat, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman
atau media massa;
d. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
e. sebab lain sesuai hasil penelitian.

KEBERATAN, BANDING DAN PENINJAUAN KEMBALI

1. KEBERATAN

a. Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kemungkinan terjadi


bahwa Wajib Pajak merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/oleh pihak ketiga.
Dalam hal ini Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan.
b. Hal-hal yang dapat diajukan keberatan :
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3) Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Kecuali: SKPKB yang diterbitkan berdasarkan Pasal 13A UU KUP (Pelanggaran Kealpaan
Penyampaian SPT pertama kali).
c. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan
Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
d. Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau
pemotongan atau pemungutan pajak.
e. Yang dimaksud dengan "suatu" adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis
pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus
diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak
tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
f. Persyaratan Formal (Bersifat kumulatif):
1) Secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2) Menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang menjadi
dasar penghitungan;
3) 1(satu) keberatan untuk 1(satu) SKP/ pemotongan pajak/ pemungutan pajak;
4) WP melunasi pajak yang masih harus dibayar minimal sejumlah yang disetujui WP dalam
closing conference;
5) Dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim SKP atau sejak tanggal
pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali force majeur;
6) Ditandatangani oleh WP. Jika kuasa WP, harus dilampiri surat kuasa khusus.
Yang dimaksud dengan “alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan” dimaksud adalah
alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan,
atau bukti pemotongan.
g. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan
pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya
h. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak
karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga)
bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
i. Surat Keberatan yang disampaikan melalui pos (harus Pos Tercatat), batas waktu 3 (tiga) bulan
dihitung sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman Pos.
j. Permohonan yang tidak memenuhi syarat tersebut, bukan merupakan keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
k. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
l. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
m. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos
dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
n. Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan keberatan, Dirjen Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau
pemotongan atau pemungutan pajak.
o. Dalam hal WP mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak, atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan SK Keberatan.
p. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan dimaksud pada
Ps.25 ayat (7) UU KUP tidak termasuk sebagai utang pajak.
q. Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagianWP dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
r. Dalam hal WP mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%
(lima puluh persen) tidak dikenakan.

Keputusan Keberatan

a. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
b. Sebelum surat keputusan diterbitkan, WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
d. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak yaitu apabila SPT tidak
disampaikan setelah ditegur dan apabila kewajiban Pembukuan dan Pemeriksaan tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, Wajib Pajak yang bersangkutan
harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
e. Apabila jangka waktu telah terlampaui (paling lama dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat
keberatan diterima) dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
f. Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian kebaratan Tata
1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan antara lain, mengatur tentang pemberian hak
kepada WP untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai
keberatannya.
3) Apabila WP tidak menggunakan hak, proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
4) WP yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam
proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang
pada saat pemeriksaan belum diperoleh WP dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian
keberatannya. Pen

Hal-Hal Sehubungan Dengan Pengajuan Keberatan

a. WP dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak,
penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
b. Jumlah pajak yang belum dibayar tertangguh hingga 1 bulan sejak tanggal penerbitan SK-
Keberatan
c. Bila diajukan Banding, denda 50% tidak dikenakan.
d. pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh
penjelasan mengenai keberatannya dan apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak tersebut,
proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
e. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, Kecuali pembukuan, catatan,
data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak III dan belum diperoleh WP pada
saat pemeriksaan

2. BANDING

a. Pengertian Banding adalah Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau penanggung Pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
b. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas
Surat Keputusan Keberatan.
c. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata
usaha Negara.
d. Persyaratan Formal :
1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2) dengan disertai alasan yang jelas;
3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan
salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
e. Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan
Keberatan yang diterbitkan.
f. Dalam hal WP mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding diterbitkan.
g. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan dimaksud pada
ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak.
h. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan
pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
i. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BADAN PERADILAN PAJAK

1. Badan Peradilan Pajak di Indonesia adalah Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-
Undang No.14 tahun 22 tentang Pengadilan Pajak.
2. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib
Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
3. Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
4. Kekuasaan pengadilan pajak:
a. Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
b. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan
keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam UU KUP dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
d. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-
pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak
e. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.
f. Untuk keperluan pemeriksaan Sengketa Pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil atau
meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. PENINJAUAN KEMBALI

a. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
b. Apabila Permohonan Banding WP ditolak oleh Pengadilan Pajak, WP dapat mengajukan
Peninjauan Kembali sebanyak 1(satu) kali, melalui Pengadilan Pajak, dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti
tertulis baru atau paling lambat 3 (tiga) bulan sejak dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih
dari yang dituntut atau ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya atau putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
kepada Mahkamah Agung.
c. Alasan-alasan yang harus dipenuhi:
1) Putusan PP didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu;
2) Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui
pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
3) Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
4) Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5) Terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

IMBALAN BUNGA

1. Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali


dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud
dalam SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk SKPKB dan SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali;
b. untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
2. Imbalan bunga juga diberikan atas SK Pembetulan, SK Pengurangan Ketetapan Pajak, atau SK
Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk SKPKB & SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya SK Pembetulan/Pengurangan/Pembatalan
Ketetapan Pajak;
b. untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
diterbitkannya SK Pembetulan/Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya SK Pembetulan/Pengurangan/Pembatalan
Ketetapan Pajak.

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
berdasarkan SK Pengurangan Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai
akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan
sebagian atau seluruh permohonan WP
PAJAK PENGHASILAN

1. PENGERTIAN

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak - (Pasal 1 UU No.36 Tahun
2008 Tentang PPh).

2. SUBYEK PAJAK

Subyek Pajak PPh diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh.

Yang menjadi subjek pajak adalah :


a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. Badan
c. Bentuk Usaha Tetap.
a. Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum
terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
c. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
d. Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
Melakukan kegiatan di Indonesia.

Subjek pajak dibedakan :

a. Subjek pajak dalam negeri; dan


b. Subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.

Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak
karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.

Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif.

Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tarif pajak sepadan;
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang bersifat final.

Kewajiban Pajak Subyektif (Pasal 2A UU PPh)

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan, atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri (yaitu orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia), yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia,
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan, dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT.
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih 183 hari,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, melalui suatu BUT, kewajiban
pajak subjektifnya dimulai pada saat BUT tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada
saat BUT tersebut tidak lagi berada di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri yang bukan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan kegiatan melalui BUT di Indonesi), dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan.
Subyek pajak luar negeri, dan tidak menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, adalah
subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan
ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada, apabila
orang pribadi dan badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tadi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau
memperoleh penghasilan dari sumber-sumber dari Indonesia, dan berakir pada saat orang
pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Badan

Pengecualian sebagai subjek pajak badan diatur dalam Psl 3 UU No. 36 Thn 2008
dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak badan adalah :
a. Kantor Perwakilan Negara Asing ;
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-
pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan
sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;
c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. Organisasi Internasional yang berbentuk kerjasama tehnik dan atau kebudayaan bukan
merupakan subjek pajak PPh apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Kerjasama tehnik tsb memberi manfaat pada negara/Pemerintah Indonesia;
2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Organisasi Internasional ditetapkan dengan dengan Peraturan Menteri Keuangan terakhir
dengan PMK No.215/PMK.03/2008 & NO.15/PMK.03/2010.
1) Badan-Badan Internasional dari PBB , misal : ILO, ADB, FAO dll.
2) Kerjasama Tehnik, misal : dengan AS, Inggris, Rusia, Belanda dll.
3) Kerjasama Kebudayaan dengan Belanda, Jepang, Mesir, Austria.O
4) Organisasi–Organisasi Internasional lain, misal : Intelsat, Sekretariat Asean, World
Relief Cooperation dll.
Apabila ada organisasi internasional, tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka
organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak.
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia

Undang-Undang PPh mengatur pengenaan PPh terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima/diperoleh dalam tahun pajak.

Subjek pajak dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek
pajak yang menerima/memperoleh penghasilan, dalam UU PPh disebut Wajib Pajak

3. OBJEK PAJAK

Pasal 4 UU PPh, mengatur:

1. Objek Pajak - Ps. 4 ayat 1 UU PPh


2. Objek PPh Final - Ps. 4 ayat 2 UU PPh
3. Bukan Objek Pajak - Ps. 4 ayat 3 UU PPh

a. OBYEK PAJAK PENGHASILAN

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk:
1) Penggantian/imbalan berkenaan dengan pekerjaan/jasayang diterima atau diperoleh;
2) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3) laba usaha;
4) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama & dalam bentuk apa pun;
d) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
5) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6) bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
8) royalti;
9) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12) keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14) premi asuransi;
15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak;
17) penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
18) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
19) surplus Bank Indonesia.
b. OBYEK PPH FINAL

1) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2) penghasilan berupa hadiah undian;
3) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
5) penghasilan tertentu lainnya;
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

c. BUKAN OBYEK PAJAK (dikecualikan dari obyek pajak)

1) a). bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
b). harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2) Warisan;
3) harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
4) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU PPh;
5) pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
6) dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor.
7) iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8) Penghasilan dari modal yg ditanamkan oleh Dapen di bidang tertentu
9) bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10) penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
11) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12) Surplus Bank Indonesia selama jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya ketentuan ini;
13) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
14) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan formal, yang ditanamkan kembali paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

DASAR PENGENAAN PAJAK

Dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak :

1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:
1) biaya pembelian bahan;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga, sewa, dan royalti;
4) biaya perjalanan;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi;
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 tahun.
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu;
4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
{Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

Pengurangan Penghasilan Bruto dalam Pasal 9 UU PPh:


a. Ps. 9 ayat (1) hrf c: pembentukan/pemupukan dana cadangan, cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna
usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang, cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh BPJS, cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan, cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
b. Ps. 9 ayat (1) hrf d: premi asuransi dibayar/ditanggung olehpemberi kerja;
c. Ps. 9 ayat (1) hrf e: penyediaan makanan & minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
d. Ps. 9 ayat (1) hrf g: sumbangan dalam Ps.6 ayat (1) huruf i (sumbangan
penanggulangan bencana nasional), huruf j (sumbangan penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia, huruf k (biaya pembangunan infrastruktur sosial), huruf l
(sumbangan fasilitas pendidikan, dan huruf m (sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga), serta zakat yang diterima badan amil zakat/lembaga amil zakat yang
dibentuk/disahkan pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan yang
dibentuk/disahkan oleh pemerintah.
2. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Ps.6 ayat (1) UU PPh didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatur dalam Pasal 7 UU PPh,
Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan PMK-N0.101/PMK.010/2016, dilakukan penyesuaian PTKP (berlaku Sejak 1
Januari 2016) sebagai berikut:
Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dapat dikurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak per
tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp 54.000.000 untuk Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 54.000.000 tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimanadimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp 4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus sertaanak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3(tiga) orang untuk setiap keluarga.
4. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
menyelenggarakan pencatatan adalah:
a. WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan
b. WP orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
a. penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak
bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
b. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.
e. Bagi WP luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada
dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi WP badan dalam
negeri.

MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN

Menghitung pajak penghasilan terutang, diperoleh dari penerapan tarif (Pasal 17) dikalikan
Penghasilan Neto atau Penghasilan Kena Pajak.
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan yang terutang.

Bagi WP dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa, dan penghitungan dengan menggunakan
Norma Penghitungan.
Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus,
yang diperuntukan bagi WP tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :

1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia;
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK - (Pasal 16 UU PPh), dengan


berbagai cara, sbb :

1. Menggunakan cara penghitungan biasa


Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarip bagi WP orang pribadi dan badan
dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
dimaksud dalam Ps.4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Ps.6 ayat
(1) dan ayat (2), Ps.7 ayat (1), serta Ps. 9 ayat (1) hrf c, hrf d, hrf e, dan hrf g UU PPh, dan
untuk WP orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak [Pasal 7 ayat (1)].
:Bagi WP dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan mengggunakan cara penghitungan biasa.

Contoh :
Peredaran bruto Rp 6.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan,menagih & memelihara penghasilan Rp 5.400.000.000
Laba usaha (penghasilan neto usaha ) Rp 600.000.000
Penghasilan lainnya Rp 50.000.000
Biaya atas penghasilan lain . Rp 30.000.000
Penghasilan neto dari usaha lainnya Rp 20.000.000
Jumlah seluruh penghasilan neto(usaha pokok + usaha lainnya) Rp 620.000.000
Kompensasi kerugian Rp 10.000.000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan ) Rp 610.000.000
Pengurangan PTKP Th.2016 (bagi WP Orang Pribadi
dengan status K/2 (isteri + 2 anak) *) Rp 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 542.500.000
*) PTKP (K/2) :
- Untuk diri WP OP = Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP Kawin = Rp 4.500.000,00
- Tambahan tanggungan (2 x Rp 4.500.000)= Rp 9.000.000,00
Jumlah = Rp 67.500.000,00
2. Menggunakan norma penghitungan

Penghasilan Kena Pajak bagi WP orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 UU PPh, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan dan untuk WP orang
pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak [Pasal 7 ayat (1)].
:
Bagi WP orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan Penghasilan
netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Neto (Misal Norma
Penghitungan 20%)

Contoh :
- Peredaran bruto Rp. 4.000.000.000
- Penghasilan neto dng Norma Penghitungan (misalnya 20%) Rp 800.000.000
- Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000 (+)
- Jumlah seluruh pengh.neto (usaha pokok + usaha lainnya) Rp 805.000.000
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) - K/3 *) Rp 72.000.000 (-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 733.000.000
*) PTKP (K/3) :
- Untuk diri WP OP = Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP Kawin = Rp 4.500.000,00
- Tambahan tanggungan (3 x Rp 4.500.000)= Rp 13.500.000,00
Jumlah = Rp 72.000.000,00

3. Menghitung Penhasilan Kena Pajak BUT

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
dihitung dng cara mengurangkan dari penghasilan [Pasal 5 ayat(1)] dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g UU PPh.
Suatu BUT di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama
dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi WP badan dalam negeri. Karena
BUT berkewajiban menyelenggarakan pembukuan Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
dengan cara penghitungan biasa.

Contoh :
- Peredaran bruto Rp 10.000.000.000
- Biaya mendapatkan, menagih & memelihara Penghasilan Rp 8.000.000.000
- Penghasilan neto usaha Rp 2.000.000.000
- Penghasilan Bunga Rp 50.000.000
- Penjualan langsung barang yang sejenis
yang dijual BUT oleh Kantor Pusat Rp 2.000.000.000
- Biaya mendapatkan penghasilannya Rp 1.500.000.000
- Penghasilan netonya Rp 500.000.000
- Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang
mempunyai efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000
- Jumlah Rp 3.550.000.000
- Biaya- biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000
₋ Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000

4. Menghitung Penghasilan Kena Pajak WP Orang Pribadi Terutang Pajak Dalam Satu Bagian
Tahun Pajak

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.

Contoh :
Orang pribadi (TK/0) yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri
adalah 3(tiga) bulan dalam tahun 2016 dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
penghasilan sebesar Rp150.000.000, maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah
sebagai berikut:
- Penghasilan selama 3(tiga) bulan Rp 150.000.000.
- Penghasilan setahun (360 : (3 x 30) x Rp 150.000.000= Rp 600.000.000.
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) Rp 54.000.000.
Penghasilan Kena Pajak Rp 546.000.000.

Catatan: Untuk menghitung kewajiban pajak subjektifnya dalam 3 (tiga) bulan, maka
Penghasilan lebih dahulu disetahunkan, dikurangi PTKP setahun kemudian dihitung
pajaknya, selanjutnya besarnya kewajiban pajaknya dalam 3 (tiga) bulan dihitung dari pajak
setahun dibagi dengan berapa bulan kewajiban pajaknya.

TARIF PAJAK – Pasal 17 UU PPh

1. Tarif Pajak WP Orang Pribadi Dalam Negeri


a. Tarif Pasal 17 Ayat (1) hrf.a UU PPh
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
s/d Rp 50 juta 5%
> Rp 50 juta - Rp 250 juta 15 %
> Rp 250 juta - Rp 500 Juta 25 %
> Rp 500 Juta 30 %
Contoh :
Penghitungan Pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000.
- Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000.
15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000.
25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000.
30% x Rp 100.000.000. = Rp 30.000.000.
Jumlah = Rp125.000.000

Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan tarif untuk WP orang Pribadi
pada Ps.17 ayat (1) huruf a UU PPh, dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan
kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,- untuk penerapan tarif dibulatkan
kebawah menjadi Rp 5.050.000.-

Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang
pajak dalam bagian tahun pajak [Pasal 16 ayat (4)], dihitung sebanyak jumlah hari dalam
bagian tahun pajak yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak. Untuk keperluan
penghitungan pajak, setiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

Contoh :
- Penghasilan selama 3(tiga) bulan = Rp 150.000.000,00
- Penghasilan setahun (360 : (3 x 30) x Rp 150.000.000,00= Rp 600.000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) *) = Rp 54.000.000,00 -
- Penghasilan Kena Pajak = Rp 546.000.000,00
- PPh terutang : 5% x Rp 50 juta = Rp 2.500.000,00
15% x Rp200 juta = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250 juta = Rp 62.500.000,00
30% x Rp 46 juta = Rp 13.800.000,00
Jumlah = Rp 108.800.000,00
- Pajak penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 3 bulan :
3 x 30/360 x Rp 108.800.000,00 = Rp 27.200.000.00

*) PTKP tahun 2016

b. Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri, adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan
bersifat final, diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP No.19 Tahun 2009).
2. Tarif Pajak WP PPh Badan

a. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25% (dua puluh
delapan persen) sejak tahun 2010 - Pasal 17 ayat (2a) – UU PPh.
Contoh :
Jumlah peredaran bruto Tahun 2010 = Rp5.000.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Tahun 2010 = Rp 400.400.100,00 dibulatkan Rp 400.400.000,00
PPh terutang= 25 % x Rp 400.400.000= Rp 100.100.000,00

b. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan
di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada
Pasal 17 ayat (2a) UU PPh yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah -
Pasal 17 ayat (2b) UU PPh.
Persyaratan Tertentu
1) paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia;
2) Saham dimiliki oleh paling sedikit oleh 300 pihak;
3) Masing-masing pihak hanya boleh memiliki 5% dari keseluruhan saham disetor;
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak Tahun2010 = Rp 400.400.000,00
PPh terutang (25%-5%)= 20% x Rp400.400.000,00 = Rp 80.080.000,00

c. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pasal 17 ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) - Pasal 31e UU PPh.

Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2016 sebesar Rp4.500.000.000,00 dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00.
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenakan
tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah
peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang= 50% x 25% x Rp500.000.000,00 = Rp62.500.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2016 Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan
Kena Pajak (pkp) Rp3.000.000.000,00.
Penghitungan pajak yang terutang:
Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000 : Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000=Rp480.000.000,00
Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000 – Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- 50%x 25% x Rp480.000.000= Rp 60.000.000,00
- 25% x Rp2.520.000.000 = Rp 630.000.000,00
Jumlah PPh yang terutang = Rp 690.000.000,00

3. Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif tersendiri atas penghasilan yang dikenai
pajak bersifat final [Pasal 4 ayat (2)], sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi (30%) –
Pasal 17 ayat (1) UU PPh.
Penentuan tarif pajak tersendiri didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan,
pemerataan dalam pengenaan pajak

MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN

1. WP Orang Pribadi dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,


Contoh:
a. WP PPh Orang Pribadi dengan tanggungan K/0 (tahun 2016):
Peredaran Usaha/Omzet = Rp 5.000.000.000,00
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Rp 4.200.000.000,00
Laba Kotor = Rp 800.000.000,00
Biaya Usaha = Rp 358.500.000,00
Laba Neto = Rp 441.500.000,00
PTKP (K/0) = Rp 58.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp 383.000.000,00
PPh terutang :
- 5% x Rp 50 juta = Rp 2.500.000,00
- 15% x Rp200 juta = Rp 30.000.000,00
- 25% x Rp133 juta = Rp 33.250.000,00
Jumlah = Rp 65.750.000,00

b. WP PPh Badan dalam negeri:


Peredaran Usaha/Omzet th.2016= Rp5.000.000.000,00
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Rp4.200.000.000,00
Laba Kotor = Rp 800.000.000,00
Biaya Usaha = Rp 300.000.000,00
Laba Neto = Rp 500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp 500.000.000,00
PPh terutang = 25% x Rp 500.000.000= Rp 125.000.000,00

c. WP orang pribadi (Ps.14 UU PPh), dihitung dengan menggunakan norma penghitungan,


Contoh :
Peredaran bruto Rp. 4.000.000.000
Penghasilan neto dng Norma Penghitungan (misalnya 20%) Rp 800.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) - K/3 *) Rp 72.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 728.000.000
- PPh terutang : 5% x Rp 50 juta = Rp 2.500.000,00
15% x Rp200 juta = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250 juta = Rp 62.500.000,00
30% x Rp228 juta = Rp 68.400.000,00
Jumlah = Rp 163.400.000,00

d. Norma Penghitungan Khusus (Ps.15 UU PPh), untuk menghitung penghasilan netto dari
WP tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 (1) atau (3)
ditetapkan Menteri Keuangan.
Norma Penghitungan Khusus untuk golongan WP tertentu, antara lain perusahaan
pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build, operate, and transfer").

Contoh:
Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan
sebesar 4% (empat Persen) dari peredaran bruto;
Besarnya PPh atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib
Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen)
dari peredaran bruto dan bersifat final.
Penghitungan PPh Badan:
Misal Peredaran bruto (omzet) setahun Rp 3.000.000.000,00
PPh terutang : 1,2% x Rp 3.000.000.000= Rp 36.000.000,00
KEWAJIBAN PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK

PPH PASAL 21 :

1. PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan
oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaanyang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasatermasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.

 Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun
badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar
kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai.
Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak
dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.

 Bendahara pemerintah termasukbendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,


instansi atau lembaga pemerintah, lembaga¬lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar
RI di luar negeri.
Termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang
menjalankan fungsi yang sama.
 Dana pensiun atau badan lainseperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)yang
membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain
yang sejenis dengan nama apa pun.
 Badan termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Subjek Pajak.
Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang
melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk
dan atas nama persekutuannya.
 Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajakatas pembayaran hadiah atau penghargaan
dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah,
organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga
lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya
kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.

2. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah :
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.

Pihak-pihak yang dibebaskan dari kewajiban memotong PPh pasal 21 karena bukan sebagai
subjek pajak sesuai dengan kelaziman internasional.
Karena tidak memotong PPh Pasal 21, maka warga negara Indonesia yang menerima
penghasilan dari kedutaan besar asing atau organisasi internasional harus membayar sendiri
pajaknya dengan cara mengangsur PPh pasal 25 dan melunasinya pada akhir tahun dengan
membayar PPh Pasal 29.
Organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota.

Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan


tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah Indonesia;
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

Pejabat-pejabat perwakilan dari organisasi internasional tidak termasuk subjek Pajak


Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bukan Warga Negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

3. Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi denganbiaya jabatan atau biaya pensiun yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
4. Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong
pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak
dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Tarif pemotongan atas penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
6. Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN & PELAPORAN


PPH PASAL 21/PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN
KEGIATAN ORANG PRIBADI

(Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-16/PJ/2016, mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
tanggal 29 September 2016)

1. PEMOTONG PPh PS.21 DAN/ATAU PPh PS.26

a. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:


1) pemberi kerja yang terdiri dari:
a) orang pribadi;
b) badan; atau
c) cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut;
2) bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas
pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
3) dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua;
4) orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
a) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam
negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak
untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
b) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri; dan/atau
c) honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan
pelatihan, serta pegawai magang; atau
5) penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu
kegiatan.

b. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak huruf a adalah:
1) kantor perwakilan negara asing;
2) organisasi-organisasi internasional UU PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan; atau
3) pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan
rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
c. Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan, organisasi internasional
dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.

2. PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONGPPh PS. 21 DAN/ATAU PPh PS. 26

a. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang
pribadi yang merupakan:
1) Pegawai;
2) penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3) Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:
a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c) olahragawan;
d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g) agen iklan;
h) pengawas atau pengelola proyek;
i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j) petugas penjaja barang dagangan;
k) petugas dinas luar asuransi; dan/atau
l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
4) anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
5) mantan pegawai; dan/atau
6) peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
a) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
d) peserta pendidikan dan pelatihan; atau
e) peserta kegiatan lainnya.

b. Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26, adalah:
1) pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik; atau
2) pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
UU PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan Warga
Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PS. 21 DAN/ATAU PPh PS. 26

a. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, adalah:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan
yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3) penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
4) penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5) imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
6) imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
7) penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
8) penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
9) penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.

₋ Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
1) Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final; atau
2) Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit).

₋ Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.

₋ Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.

b. Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1) pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa;
2) penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final; atauWajib Pajak yang
dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
3) iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua
kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4) zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh
orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
5) beasiswa dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh.

c. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh
Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.

4. DASAR PENGENAAN & PEMOTONGAN PPh PS. 21 DAN/ATAU PPh PS. 26

a. Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:


1) Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
a. Pegawai Tetap;
b. penerima pensiun berkala;
c. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah); dan
d. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan;
2) jumlah penghasilan yang melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah)
sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang
menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah;
3) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan
Pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan; atau
4) jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan dimaksud pada angka 1), 2) dan 3).
b. Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
c. Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan yang
dipotong PPh Ps.21 dan/atau PPh Ps.26 adalah seluruh jumlah penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
d. Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
1) bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan
netodikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
2) bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP; dan
3) bagi Bukan Pegawai, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP per bulan.
e. Besarnya penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
1) biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) setahun; dan
2) iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
f. Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21
adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu
rupiah) sebulan atau Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
g. Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26:
1) mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan; atau
2) melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan
brutohanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian
tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka
besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau
barang.
h. Dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik
di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar
jasa dokter yang dibayar oleh pasienmelalui rumah sakit dan/atau kliniksebelum
dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), berlaku sejak tahun 2016

a. Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:


1) Rp 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri WP orang pribadi;
2) Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk WP yang kawin;
dan
3) Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah empat juta lima ratus ribu rupiah)
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

b. PTKP per bulan adalah PTKP per tahun dibagi 12 (dua belas), sebesar:
1) Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) untuk diri WP orang pribadi;
2) Rp375.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk WP yang
kawin; dan
3) Rp375.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
c. Besarnya PTKP bagi karyawati, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; dan
2) bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
d. Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah
Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya
tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk
dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya.
e. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
f. Dikecualikan dari ketentuan, besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada
awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

PTKP Bagi Pegawai Tidak Tetap Atau Tenaga Kerja Lepas Yang Tidak Dibayar Secara
Bulanan

a. Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar
secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi
Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) tidak dilakukan pemotongan PPh Ps.21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari belum melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu
rupiah).
2) dilakukan pemotongan PPh Ps.21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari melebihi Rp 450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah), dan
jumlah sebesar Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) tersebut
merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
c. Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu)
bulan kalender melebihi Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah).maka
jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang
sebenarnya.
d. PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
e. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar
PTKP per tahun dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
f. Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk
mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program
jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran
tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai Tidak Tetap kepada badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua,
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

PTKP Untuk Penghasilan Bukan Pegawai

a. Penerima penghasilan Bukan Pegawai dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP


sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh
penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Ps. 21 dan/atau PPh Ps.26
serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
b. Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP penerima penghasilan Bukan
Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan bagi wanita kawin harus
menyerahkan fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.

5. TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA

a. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak dari:
₋ Pegawai Tetap;
₋ penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan; dan
₋ Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan.
1) Untuk perhitungan PPh Ps. 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa
Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh
selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan
teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); dan
b) dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar
jumlah penghasilan tertaur ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat
tidak teratur.
2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak adalah:
a) atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar PPh terutang atas jumlah
penghasilan teratur dibagi 12 (dua belas);
b) atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara PPh
yang terutang atas jumlah jumlah penghasilan teratur ditambah dengan jumlah
penghasilan yang bersifat tidak teratur dengan PPh yang terutang atas jumlah
penghasilan teratur..
3) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun
kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang
sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali atau faktor pembagiadalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak
yang bersangkutan mulai bekerja.
4) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih
antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama
1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah
dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
5) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun
pajak maka perhitungan PPh Ps.21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut
dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan
jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
6) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh
Ps. 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari
PPh Ps.21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21
yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan
bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
7) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a UU PPh,dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas
1) berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku
harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, diterapkan atas: jumlah penghasilan bruto
sehari yang melebihi Rp 450.000,00 empat ratus limapuluh ribu rupiah);
2) jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah
penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah). Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam
satu bulan kalender telah melebihi Rp 10.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu
rupiah), PPh Ps.21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU
PPh atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.

c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh bukan Pegawai


1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif
dari:
a) Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh
Bukan PegawaiBukan Pegawai yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambunganyang memenuhi ketentuan yaitu mempunyai Nomor Pokok
Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan
satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya
b) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak
memenuhi ketentuanyaitu mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya
c) jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang
sama;
d) jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai; atau
e) jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas:
a) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
imbalan kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan; dan
b) jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

d. Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta para
pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.

e. Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus, diatur
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.

f. Tarif PPh Pasal 26


1) Tarif PPh Ps.26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar
negeri tersebut.
2) PPh Pasal 26 tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.

6. TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN


YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

a. Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki
NPWP.
b. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% (seratus dua puluh
persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan
memiliki NPWP..
c. Pemotongan PPh Pasal 21 hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat
tidak final.
d. Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan
yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum
pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah
dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya
setelah memiliki NPWP.

7. SAAT TERUTANG PPh PS.21 DAN/ATAU PPh PS. 26

a. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat
dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
b. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak.
c. Saat terutang untuk setiap Masa Pajak adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

8. HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PS.21 DAN/ATAU PS.26


SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

a. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
b. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang
bersifat berkesinambungan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah
tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek
Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada
pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai
pensiun.
c. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun
berkala, dan Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan
wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
d. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk
setiap bulan kalender.
e. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja
perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima
penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang untuk setiap Masa Pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja
perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap
berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
g. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang oleh pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26,
kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 yang terutang.

Kredit Pajak Bagi Penerima Penghasilan

a. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan
yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21
yang bersifat final.
b. Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh
persen) lebih tinggi bagi Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebelum
memiliki NPWP yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-
bulan selanjutnya pada tahun kalender berikutnya tidak termasuk kredit pajak..
c. Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong
tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk
tahun pajak yang bersangkutan.
d. Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan jumlah lebih
bayar maka penyampaiannya harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
e. Dalam hal SPT Tahunan PPh yang menyatakan jumlah lebih bayar disampaikan setelah
3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah
ditegur secara tertulis, tidak dianggap sebagai SPT Tahunan PPh.

Premi Asuransi Yang Dibayar Pemberi Kerja Yang Merupakan Objek PPh Ps.21

a. Program BPJS Ketenagakerjaan (Eks. Jamsostek) - ( PP No. 53 Tahun 2012 )


1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja, yaitu :
a) Kelompok I : Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan
b) Kelompok II : Premi sebesar 0,54% x Gaji sebulan
c) Kelompok III : Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan
d) Kelompok IV : Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan
e) Kelompok V : Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan
2) Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Gaji sebulan
Atas premi JKK, dan JKM yang dibayar olehpemberi kerja dimasukkan sebagai
penghasilan karyawan (menambah penghasilan bruto).

b. Program BPJS Kesehatan (Perpres No. 111 Tahun 2013)


1) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas PNS,
Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai
Negeri sebesar 5% dari Gaji/Upah per bulan yang terdiri dari :
a) 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
b) 2% (dua persen) dibayar oleh Peserta. ..................... (Pasal 16B)
2) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain Peserta
dimaksud dalam Pasal 16B ayat (1) yang dibayarkan mulai tanggal 1 Januari 2014
sampai dengan 30 Juni 2015 sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau
Upah per bulanyang terdiri dari :
a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja;
b. 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
Mulai tanggal 1 Juli 2015 sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan
dengan ketentuan:
a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
b. 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
Contoh :
Upah yang diterima Rp 2.000.000,- per bulan pada tanggal 25 September 2015
Iuran Jaminan Kesehatan :
₋ Dibayar pemberi kerja = 4% x Rp2.000.000 = Rp 80.000,-
₋ Dibayar peserta = 1% x Rp2.000.000 = Rp 20.000,-
3) Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar
Penghitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B ayat (1), sebesar 2 (dua) kali Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 (satu) orang anak.
Ilustrasi (sejak Januari 2016):
PTKP Setahun K1= Rp.54.000.000+Rp4.500.000+Rp4.500.000= Rp63.000.000,-
PTKP Sebulan K1 = Rp63.000.000 / 12 = Rp 5.250.000,-
Dasar Penghitungan iuran JPK dari upah sebulan paling tinggi sebesar 2 kali PTKP
sebulan K/1 = Rp 5.250.000 x 2 = Rp 10.500.000,-

Atas Iuran Jaminan Kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja dimasukkan sebagai
penghasilan karyawan (menambah penghasilan bruto).

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 94 TAHUN 2010

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU
PPh dilakukan pada akhir bulan:

a. terjadinya pembayaran; atau


b. terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
PENGHASILAN PEGAWAI TETAP

Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan
periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri.

Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta
pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima
atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.

1. Penghitungan PPh Ps.21 bagi Pegawai Tetap

Bagi pegawai Tetap,besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari
tua yang dibayar oleh pegawai.
Contoh :
Andi, status bujangan dan tidak ada tanggungan keluarga, bekerja pada PT. XYZ sejak 1
Januari 2010, Bulan Agustus 2016 Andi memperoleh penghasilan sebagai berikut :
₋ Gaji Pokok Rp 4.200.000,-
₋ Tunjangan Transport Rp 1.500.000,-
₋ Premi Asuransi Kecelakaan Kerja dibayar pemberi kerja Rp. 300.000,-
₋ Iuran Pensiun yang dibayar pemberi kerja Rp. 30.000,-
₋ Bonus Rp.3.500.000,-
Andi, membayar sendiri :
₋ Iuran THT Rp. 15.000,-
₋ Iuran Pensiun Rp. 10.000,-
Hitung penghasilan bruto yang merupakan Objek PPh Pasal 21 dan berapa PPh Ps.21
terutang?

Jawab :
Objek PPh Pasal 21 sbb :
₋ Gaji Pokok Rp 4.200.000,-
₋ Tunjangan Transport Rp 1.500.000,-
₋ Premi Asuransi Kecelakaan Kerja dibayar pemberi kerja Rp 300.000,-
₋ Bonus Rp 3.500.000,-
Jumlah penghasilan Rp 9.500.000,-
Pengurangan :
a. Biaya Jabatan: 5% x Rp9.500.000,- = Rp475.000,-
b. Iuran THT = Rp 15.000,-
c. luran pensiun = Rp 10.000,-
Jumlah Pengurang Rp 500.000,-
Penghasilan neto Rp 9.000.000,-
Penghasilan Neto disetahunkan : 12 x Rp 9.000.000 = Rp108.000.000,-
PTKP (TK/0) = Rp 54.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 54.000.000,-
PPh Ps.21 terutang setahun :
a. 5% x Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
b. 15% x Rp 4.000.000,- = Rp 600.000,-
Jumlah PPh Ps.21 terutang = Rp 3.100.000,-
PPh Ps.21 terutang Agustus 2016 : Rp.3.100.000 : 12 = Rp 258.333,-

Penghasilan Tidak Teratur

Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi,
tunjangan hari raya&penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap &biasanya
dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sbb.:

a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa
produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal
21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.

Contoh:
Teguh (TK/0, ber-NPWP) bekerja pada PT A dengan memperoleh gaji sebesar
Rp.5.000.000,- sebulan. Bulan September 2016 Teguh menerima bonus sebesar
Rp.10.000.000,- Teguh membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulannya sebesar Rp 60.000,-
Berapa PPh Pasal 21 terutang bulan September 2016?

Jawab :
PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):
Gaji sebulan 12 x Rp.5.000.000,- Rp 60.000.000,-
Bonus Rp 10..000.000,-
Penghasilan bruto setahun Rp 70.000.000,-
Pengurang :
Biaya jabatan : 5% x Rp 70.000.000,- = Rp.3.500.000,-
Iuran Pensiun setahun : 12 x Rp.60.000,- = Rp. 720.000,-
Jumlah Rp 4.220.000,-
Penghasilan Neto setahun Rp 65.780.000,-
PTKP (TK/0) Rp 54.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 11.780.000,-
PPh Pasal 21 / tahun : 5% x Rp.11.780.000 =Rp. 589.000,-

PPh Pasal 21 atas Gaji setahun :


Gaji sebulan 12 x Rp.5.000.000,- Rp 60.000.000,-
Pengurang :
Biaya jabatan : 5%x Rp.60.000.0000 Rp 3.000.000,-
Iuran Pensiun setahun : 12 x Rp.60.000 Rp. 720.000,-
Rp 3.720.000,-
Penghasilan Neto setahun Rp.56.280.000,-
PTKP (TK/0) Rp.54.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 2.280.000,-
PPh Pasal 21 / tahun : 5% x Rp.2.280.000,-=Rp 114.000,-

PPh Pasal 21 atas Bonus: Rp.589.000 – Rp.114.000 = Rp.475.000,-

2. Penghasilan Pegawai Harian, Mingguan, Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya

Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit
hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja.

Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang
atau dibayarkan secara harian.

Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau dibayarkan secara mingguan.

Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang
atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.

Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
a. Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong
pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak
dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Per-Menkeu (PMK-
No.102/PMK.010/2016 berlaku sejak 27 Juni 2016, perubahan PMK-No.
152/PMK.010/2015)
b. Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta
pegawai tidak tetap lainnya sampai dengan jumlah Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh
ribu rupiah) sehari sebelumnya Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), tidak dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan.
c. Tidak berlaku dalam hal :
1) Penghasilan bruto kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah)); atau
2) Penghasilan dibayar secara bulanan.
d. Tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada
penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
e. Tarif pemotongan atas penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
f. Besarnya tarif yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi
20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP.

Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang
Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian
atau Mingguan. (PMK-102/PMK.010/2016)

1) Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau
diperoleh dalam sehari:
a) upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
b) upah satuan dikalikan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
c) upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
2) Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi
Rp450.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong.
3) Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi
Rp450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi Rp450.000,00, dikalikan 5%.
4) Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan telah melebihi Rp4.500.000,00 dan kurang dari Rp10.200.000,00,
maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-
rata upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
5) Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil Penghitungan dibagi 12.

Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang
Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan:

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil Penghitungandibagi 12.

Contoh 1 :
Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan September 2016 bekerja sebagai buruh
harian PT C, bekerja selama 10 hari & menerima upah harian sebesar Rp450.000,-.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari = Rp 450.000,-
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukanpemotongan PPh = Rp 450.000,-
Penghasilan Kena Pajak sehari = Rp 0
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari: Rp 0,-
Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp4.500.000,- maka tidak ada PPh Ps. 21 yang dipotong.
Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 4.500.000,-, maka PPh
Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d. hari ke-11= Rp 450.000,00 x 11 = Rp 4.950.000,-
PTKP sebenarnya:11 x (Rp.54.000.000/360) = Rp 1.650.000,-
Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-11 = Rp 3.300.000,-
PPh Ps.21 terutang s.d hari ke-11= 5% x Rp 3.300.000= Rp 165.000,-
PPh Ps. 21 yang telah dipotong s.d hari ke-10 = Rp 0,-
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 = Rp 165.000,-
Pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Rp 450.000 – Rp 165.000 = Rp 285.000,-

Contoh 2:
Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV
pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan
yang diselesaikan yaitu Rp200.000,- per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu
1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp 4.800.000,-
Penghitungan PPh Pasal 21 :
Upah sehari adalah = Rp 4.800.000 : 6 = Rp 800.000,-
Upah diatas Rp 450.000,- sehari: Rp 800.000 – Rp 450.000 = Rp 350.000,-
Upah seminggu terutang pajak : 6 x Rp 350.000,- = Rp 2.100.000,-
PPh Pasal 21: 5% x Rp 2.100.000,- = Rp 105.000,- (Mingguan)

Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang
Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil Penghitungan tersebut dibagi 12.

Contoh :
Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan September 2016 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari
kerja dan upah sehari adalah Rp 300.000,-. Bagus Hermanto menikah tetapi belum memiliki
anak.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah September 2016 = 20 x Rp 300.000,- = Rp 6.000.000,-
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 6.000.000 = Rp 72.000.000,-
PTKP (K/-) adalah sebesar:
- Untuk WP sendiri = Rp 54.000.000,-
- tambahan karena menikah = Rp 4.500.000,-
= Rp 58.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 13.500.000,-
PPh Pasal 21 setahun sebesar: 5% x Rp 13.500.000 = Rp 675.000,-
PPh Pasal 21 sebulan sebesar:Rp 675.000 : 12 = Rp 56.250,-

3. Penghitungan PPh Ps.21 Bukan Pegawai

Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap& Pegawai Tidak Tetap/Tenaga
Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan
sejenis lainnya.
Imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada
Bukan Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya,telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa
kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing/direct selling & kegiatan sejenis lainnya;

Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan
yang bersifat berkesinambungan

1. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, tidak memperoleh
penghasilan lainnya dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP (bagi wanita kawin
ditambah surat nikah dan Kartu Keluarga)
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.
Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
2. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari
hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh
penghasilan lainnya
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun
kalender yang bersangkutan.
Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan
yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.

1. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
2. Dalam hal bukan pegawai adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau
klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang
dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau
bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
a. Dalam hal bukan pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21,
mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan

Contoh :
Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabaru Life. Suami Hasanah telah
terdaftar sebagai WP dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Kerja
Sama. Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan
fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Hasanah hanya memperoleh penghasilan
dari kegiatannya sebagai PDL asuransi, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang
menerangkan hal tersebut kepada PT Tabarru Life. Tahun 2016, penghasilan yang diterima
oleh Hasanah sebagai PDL dari PT. Tabarru Life sbb.:

Bulan Komisi agen (Rupiah)


Januari 38.000.000
Februari 38.000.000
Maret 42.000.000
April 42.000.000
Mei 44.000.000
Juni 45.000.000
Juli 45.000.000
Agustus 48.000.000
Bulan Komisi agen (Rupiah)
September 50.000.000
Oktober 52.000.000
November 100.000.000
Desember 80.000.000
Jumlah 624.000.000

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016 adalah:
Penghasilan 50% dari PTKP PKP PKP Tarif Ps. PPhPs 21
Bulan Bruto Penghasilan (Rupiah) (Rupiah) Kumulatif 17(1)Hrf a terutang
(Rupiah) Bruto (Rupiah) UUPPh (Rupiah)
(1) (2) (3)=50%x(2) (4) (5) (6) (7) (8)=(5)x(7)
Januari 38.000.000 19.000.000 4.500.000 14.500.000 14.500.000 5% 725.000

Februari 38.000.000 19.000.000 4.500.000 14.500.000 29.000.000 5% 725.000

Maret 42.000.000 21.000.000 4.500.000 16.500.000 45.500.000 5% 825.000

April 42.000.000 21.000.000 4.500.000 4.500.000 50.000.000 5% 225.000


12.000.000 62.000.000 15% 1.800.000
Mei 44.000.000 22.000.000 4.500.000 17.500.000 79.500.000 15% 2.625.000

Juni 45.000.000 22.500.000 4.500.000 18.000.000 97.500.000 15% 2.700.000

Juli 45.000.000 22.500.000 4.500.000 18.000.000 115.500.000 15% 2.700.000

Agustus 48.000.000 24.000.000 4.500.000 19.500.000 135.000.000 15% 2.925.000

Septemb. 50.000.000 25.000.000 4.500.000 20.500.000 155.500.000 15% 3.075.000

Oktober 52.000.000 26.000.000 4.500.000 21.500.000 177.000.000 15% 3.225.000

Novemb. 100.000.000 50.000.000 4.500.000 45.500.000 222.500.000 15% 6.825.000

Desemb. 80.000.000 40.000.000 4.500.000 27.500.000 250.000.000 15% 4.125.000


8.000..000 251.500.000 25% 2.000.000
Dalam hal Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat
nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka
Penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak
memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki
NPWP.

Dalam hal suami Hasanah atau Hasanah sendiri telah memiliki NPWP, tetapi Neneng
Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas dinas luar
asuransi, maka Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas,
namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya
telah memiliki NPWP

Penghitungan Pph Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Bukan Pegawai Yang
Menerima Penghasilan Yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.

Contoh :
Nashrun melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT.Kurnia Jaya dengan fee
Rp5.000.000,-
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% Rp5.000.000 = Rp125.000,-

Dalam hal Nashrun tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang
menjadi sebesar: 120% x 5% x 50% x Rp5.000.000 = Rp150.000,-

PPH PASAL 22

Pemungutan Pajak Penghasilan

1. Menteri Keuangan dapat menetapkan :


a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara
adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi
barang tertentu antara lain otomotif dan semen.
c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini
akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai
barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya,
seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.
2. Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
16/PMK.010/2016)
3. Besarnya pungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak NPWPlebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP.
4. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1) UU PPh, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.

PMK-No.16/PMK.010/2016 Tentang Penunjukan Pemungut PPh Pasal 22, Sifat & Besarnya
Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya

1. Pemungut Pajak, adalah :


a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1) impor barang; dan
2) ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang
dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya;
b. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS);
e. badan usaha tertentu meliputi:
1) Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan;
2) Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3) Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN, meliputi PT Pupuk
Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk
Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT
Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa,
PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya
Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT
Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas
Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI
Syariah, dan PT Bank BNI Syariah, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
4) badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
5) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri; Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM) &
importir umum kendaraan bermotor,atas penjualan kendaraan bermotor dalam negeri;
6) Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
7) Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya;
8) Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang
izin usaha pertambangan; atau
9) Badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk badan usaha yang
memproduksi emas batangan melalui pihak ketiga, atas penjualan emas batangan di
dalam negeri.

2. BESARNYA PEMUNGUTAN PPh PS.22

Atas pemungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:


a. Impor:
1) barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai
impor;
2) barang barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, sebesar 7,5% (tujuh
koma lima persen) dari nilai impor;
3) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf
1) dan huruf 2), yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua
koma lima persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung
terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor;
4) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf
a) dan huruf b), yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5%
(tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan/atau
5) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga jual
lelang;
b. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai
uraian barang dan pos tarif /Harmonized System (HS) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, oleh
eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya, sebesar 1,5% (satu koma lima
persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang.

Atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
bendahara pengeluaran, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat
Perintah Membayar dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usaha, yaitu badan usaha tertentu, dilakukan pungutan PPh Pasal 22, sebesar 1,5% (satu
koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
a. bahan bakar minyak sebesar:
1) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk PPN untuk
penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina;
2) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina;
3) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
untuk penjualan kepada pihak selain stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina
dan bukan Pertamina;
b. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk PPN;
c. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk PPN.
Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif,
dan industri farmasi:
a. penjualan semua jenis semen 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
b. penjualan kertas 0,1% (nol koma satu persen);
c. penjualan baja 0,3% (nol koma tiga persen);
d. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih 0,45% (nol koma
empat puluh lima persen);
e. penjualan semua jenis obat 0,3% (nol koma tiga persen),
dari dasar pengenaan PPN.

Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar
0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan PPN.

Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau
eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk
PPN.

Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar 1,5% (satu
koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk
badan usaha yang memproduksi emas batangan melalui pihak ketiga, sebesar 0,45% (nol koma
empat puluh lima persen) dari harga jual emas batangan.

₋ Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu
Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang
impor.
₋ Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang adalah nilai Free
on Board (FOB).
₋ Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih
tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap WPyang dapat
menunjukkan NPWP.
₋ Ketentuan berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final
₋ Besarnya pungutan PPh Ps. 22 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur oleh badan usaha tertentu yang merupakan industri atau eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan adalah sebesar
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
3. Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 yaitu atas:

a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang PPh;
Dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, yaitu:
1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di
Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan
bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta
para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;
3) barang kirirnan hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4) barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
5) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6) barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7) peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8) barang pindahan;
9) barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
kepabeanan
10) barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
11) persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara.
13) vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan lmunisasi Nasional (PIN);
14) buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku
pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
15) kapal laut, kapal angkutan sungai, danau, penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda,
kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan lkan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai
dengan kegiatan usahanya;
16) pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku
cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara
kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17) Kereta api dan suku cadang serta peralatan unluk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan
komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api
Indonesia (Persero), yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemelibaraan, serta prasarana yang akan digunakan
oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero);
18) peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau
TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik
Indonesia yang dilakukan untuk rnendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh
Kernenterian Pertahanan, TNl atau pihak yang ditunjuk oleh Kernenterian Pertahanan
atau TNT;
19) barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
20) barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
c. impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali. Dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yg telah memenuhi syarat yg ditentukan
oleh DJBC. Dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
e. Pembayaran yang dilakukan oleh:
1) pemungut pajak: bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
bendahara pengeluaran Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat
Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
2) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak badan usaha tertentu yang
jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak
merupakan pembelian yang terpecah-pecah.;
3) pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
4) pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan
dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di
Indonesia dari:
a) kontraktor yg melakukan eksplorasi, dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja
sama; atau
b) kantor pusat kontraktor yg melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan
kontrak kerja sama;
5) pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan
kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
6) pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan
industri/ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang jumlahnya paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk PPN dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
7) pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan yang telah dipungut PPh Pasal 22 atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan
usaha tertentu.
f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor.
g. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
h. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif,
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan PPh berdasarkan ketentuan
Pasal 22 ayat (1) huruf c UU PPh yaitu WP badan tertentu untuk memungut pajak dari
pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, dan peraturan
pelaksanaannya.
i. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan aitu
badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk badan usaha yang
memproduksi emas batangan melalui pihak ketiga kepada Bank Indonesia.
j. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna
Anggaran, pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa
Pengguna Anggaran, atau bendahara pengeluaran);
k. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG).
Pengecualian dari pemungutan PPh Ps.22 atas barang impor yaitu yang dibebaskan dari
pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai tetap berlaku dalam hal barang
impor tersebut:
a. dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen);
b. tidak dipungut PPN.

Fasilitas Pembebasan PPh Pasal 22 :

a. Wajib Pajak yang mengalami kerugian dapat mengajukan pembebasan PPh Pasal 22 atas
Impor ke KPP tempat WP tersebut terdaftar dengan syarat:
1) WP dalam tahun berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang PPh karena mengalami
kerugian fiskal;
2) WP berhak atas kompensasi kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya sepanjang
jumlah kerugiannya > perkiraan penghasilan neto tahun pajak bersangkutan; atau
3) Dapat menunjukkan bahwa dalam satu tahun pajak tidak akan terutang PPh
PPh yang telah dibayar > PPh yang akan terutang.

b. Impor barang untuk Kegiatan /Jasa yang dikenakan PPh Final

Impor barang yang digunakan untuk kegiatan/jasa yang imbalannya semata-mata dikenakan
PPh Final tidak dikenakan PPh Pasal 22 Impor.

Untuk mendapat pembebasan PPh Pasal 22 impor tersebut, Wajib Pajak bersangkutan dapat
menghubungi Kepala KPP tempatnya terdaftar untuk diberikan SKB PPh Pasal 22.

Penghitungan PPh Pasal 22

1. Pemungutan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD


yang berasal dari APBN/APBD, Bank Indonesia, BPPN, Bulog, PT Telkom, PT PLN, PT
Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT.Krakatau Steel, Pertamina dan Bank-Bank BUMN baik
berasal dari APBN maupun non APBN

a. Pembelian barang yang meliputi jumlah Rp 10.000.000,00 (bukan jumlah yang dipecah-
pecah) dikenakan PPh Pasal 22 dengan tariff efektif 1,5% dari pembayaran.

Contoh 1 :
Bendaharawan Kantor Pemerintah melakukan pembelian computer yang dananya berasal
dari APBN dengan harga Rp10.000.000,00 termasuk PPN.

Jawab :
Harga pembelian (inclusive PPN) = Rp 10.000.000,00
Harga pembelian = 100/110 x Rp 10.000.000 = Rp 9.090.909,00
PPN dipungut = Rp 909.091,00
PPh Ps 22 = 1,5% x Rp 9.090.909 = Rp 136.363,00
Jumlah pungutan = Rp 1.045.454,00

Contoh 2 :
Bendaharawan Kantor Pemerintah melakukan pembelian computer yang dananya berasal
dari APBN dengan harga Rp10.000.000 tidak termasuk PPN.

Jawab :
Harga pembelian (exclusive PPN) = Rp 10.000.000
PPN = 10% x Rp 10.000.000 = Rp 1.000.000
Harga pembelian (inclusive PPN) = Rp 11.000.000
PPh Ps 22 = 1,5% x Rp 10.000.000 = Rp 150.000
Jumlah pungutan : Rp1.000.000 + Rp150.000 = Rp 1.150.000

b. Penjualan Premium, Premix/Super TT, Solar, Minyak Tanah, Oli/Pelumas, Gas LPG dari
Pertamina dan Badan Usaha Sejenis.

Contoh :
Pertamina menjual solar ke pabrik PT. Indonusa Rp100.000.000,00 (exclusive PPN)

Jawab :
Harga jual = Rp 100.000.000,00
PPN dipungut = 10% x Rp 100.000.000 = Rp 10.000.000,00
Penjualan inclusive PPN = Rp 110.000.000,00
PPh Pasal 22 = 0,3% x Rp 100.000.000 = Rp 300.000,00
Jumlah Pungutan = Rp10.000.000 + Rp300.000 = Rp 10.300.000,00

2. Impor Barang

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal impor barang oleh importer (memiliki API),
wajib melakukan pungutan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari Nilai Impor Barang.

Contoh :
Impor barang nilai CIF = US $1,000 Bea Masuk 20%, NIlai Kurs (KMK)= Rp 10.000,00 per
1 US dolar.

Jawab :
CIF = US $ 1.000 x Rp 10.000 = Rp 10.000.000,00
Bea Masuk = 20% x Rp10.000.000 = Rp 2.000.000,00
Nilai Impor = Rp 12.000.000,00
PPh Pasal 22 = 2,5% x Rp12.000.000 = Rp 300.000,00
Selain itu harus dipungut PPN 10%.
3. Industri Tertentu

Penjualan Hasil Produksi Industri Semen, Kertas, Baja, Otomotif wajib dipungut PPh Ps.22.

Contoh :
PT XYZ membeli baja dari PT Krakatau Steel dengan harga Rp 100.000.000,00

Jawab :
Penjualan=Rp 100.000.000,00
PPh Ps 22 = 0,3% x Rp 100.000.000 = Rp 300.000,00
Selain itu harus dipungut PPN (10%)

Catatan :
PPh Pasal 22 yang dipungut atas penjualan Rokok dan kertas bersifat final.

4. Industri dan Eksportir yang bergerak dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian dan
Perikanan

Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan Industri atau ekspor dari pedagang pengumpul
dlakukan pungutan PPh Pasal 22

Contoh :
PT XYZ adalah pabrik yang memproduksi kayu lapis, membeli kayu dari pedagang
pengumpul dengan harga Rp 100.000.000,00

Jawab :
Pembelian = Rp 100.000.000,00
PPh Pasal 22 = 0,25% x Rp 100.000.000 = Rp 250.000,00
1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4%
(empat Persen) dari peredaran bruto;
Besarnya PPh atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran
bruto dan bersifat final.

Anda mungkin juga menyukai