HALAMAN JUDUL
Karsinoma Laring
Oleh:
Ha Sakinah Se, S.Ked 04054821719029
Ma’rifahtul Khasanah, S. Ked 04054821820074
Pembimbing:
dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL, M.Si, Med, FICS
Referat
Judul
Karsinoma Laring
Oleh
Ha Sakinah Se, S.Ked (04054821719029)
Ma’rifahtul Khasanah, S.Ked (04054821820074)
Pembimbing
dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL, M.Si, Med, FICS
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan THT-
KLFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad
Hoesin Palembang periode 04 Juni – 08 Juli2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Karsinoma Laring”.Referat ini disusun
sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan
THT-KL RSMH Palembang.Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
banyakterima kasih kepada dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL, M.Si, Med,
FICSselaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
referat ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
referat ini.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari seluruh pihak agar referat ini menjadi lebih baik.Semoga referat
ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa ............ Error! Bookmark not defined.
2.2 Diabetes Melitus ............................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Katarak Diabetik .............................................................................. 13
2.3.1 Definisi ................................................................................... 13
2.3.2 Epidemiologi .......................................................................... 13
2.3.3 Etiologi dan Patogenesis ........................................................ 13
2.3.4 Diagnosis dan Gejala Klinis .... Error! Bookmark not defined.
2.3.4.1Pemeriksaan.................. Error! Bookmark not defined.
2.3.5 Penatalaksanaan...................................................................... 23
2.3.5.1Pembedahan.................. Error! Bookmark not defined.
2.3.6 Komplikasi ............................................................................. 25
2.3.7 Prognosis ................................................................................ 26
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis tumor ganas laring primer yang
paling sering ditemukan, yaitu lebih dari 95% kasus. Sisanya tumor yang berasal
dari kelenjar ludah minor, neuroepithelial, tumor jaringan lunak dan jarang timbul
dari tulang kartilaginosa laring.1,5 Karsinoma sel skuamosa laring merupakan hasil
dari interaksi banyak faktor etiologi seperti konsumsi tembakau dan atau alkohol
yang lama, bahan karsinogen lingkungan, status sosial ekonomi, pekerjaan yang
berbahaya, faktor makanan dan kerentanan genetik.5 Terdapat beberapa modalitas
terapi untuk menatalaksana kasus tumor ganas laring tergantung stadiumnya yaitu
laringektomi parsial/total, kemo-radiasi atau terapi kombinasi.1,6,7
6
Tiap kartilago aritenoidea memiliki dua prosesus, prosesus vokalis anterior
dan prosesus muskularis lateralis. Ligamentum vokalis meluas ke anterior
dari masing-masing prosesus vokalis dan berinsersi ke dalam kartilago
tiroidea di garis tengah. Prosesus vokalis membentuk dua perlima bagian
belakang dari korda vokalis, sementara ligamentum vokalis membentuk
bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas
dan permukaan superio korda vokalis membentuk glotis. Bagian laring di
atasnya disebut supraglotis dan di bawahnya disebut subglotis. Terdapat dua
macam kartilago kecil dalam laring yang tidak memiliki fungsi. Kartilago
kornikulata terletak di dalam jaringan di atas menutupi aritenoid. Di
sebealah lateralnya, yaitu di dalam plika ariepigloitika terletak kartilago
kuneiformis.
Kartilago epigloitika merupakan struktur garis tengah tunggal yang
berbentuk seperti bat pingpong. Pegangan atau petiolus melekat melalui
suatu ligamentum pendek pada kartilago tiroidea tepat di atas korda vokalis.
Sementara bagian racquet meluas ke atas di belakang korpus hioideum ke
dalam lumen faring, memisahkan pangkal lidah dari faring. Epiglotis
dewasa umumnya sedikit cekung pada bagian posterior. Namun pada anak
dan sebagian orang dewasa, epiglotis jelas melengkung dan disebut epiglotis
omega atau juvenilis. Fungsi epiglotis mendorong makanan yang ditelan
agar tidak masuk ke jalan napas.
Selain itu, laring juga disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah
superior, pada kedua sisi laring terdapat membran kuadrangularis yang
meluas ke belakang dari tepi lateral epiglotis hingga tepi lateral kartilego
aritenoidea. Dengan demikian, membran ini membagi dinding antara laring
dan sinus piriformis, dan batas superiornya disebut plika ariepigloitika.
Pasangan jaringan elastin penting lainnya adalah konus elastikus ( membran
krikovokalis). Jaringan ini jauh lebih kuat dari membran kuadrangularis.
Dan meluas ke atas dan medial dari arkus kartilagenis krikoidea untuk
bergabung dengan ligamnetum vokalis pada masing-masing sisi. Konus
elastikus terletak di bawah mukosa di bawah permukaan korda vokalis.
7
2.1.2 Otot-Otot Laring
Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok besar, otot ekstrinsik
dan otot intrinsik. Otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sementara otot instriksik menyebabkan gerakan antara
berbagai struktur laring sendiri. Otot ekstrinsik dapat digolongkan menurut
fungsinya. Otot depresor atau otot-otot leher (omohioideus, sternotiroideus,
sternohiodeus) berasal dari bagian inferior, berfungsi menarik laring ke
bawah. Otot elevator (milohioideus, geniohioideus, genioglsus, hioglosus,
digastrikus, dan stilohioideus) meluas dari os hioideum ke mandibula, lidah,
dan prosesus stilohioideus pada kranium, berfungsi menarik laring ke atas.
Otot tirohioideus walaupun digolongkan sebagai otot-otot leher, teriutama
berfungsi sebagai elevator. Otot konstriktor medius dan inferior melekat
pada os hioideum dan ujung posterior alae kartilago tiroidea, melingkari
faring di sebelah posterior dan berfungsi pada saat menelan. Serat-serat
paling bawah dari otot konstritor inferior berasal dari krikoid, membentuk
krikofaringeus yang kuat, yang berfungsi sebagi spfinkter esofagus superior.
Anatomi otot intrinsik laring paling baik dimengerti dengan
memperhatikan fungsinya. Serat-serat otot interaritenoideus (aritenoideus)
transfersus dan obligus meluas di antara kedua kartilago aritenoidea. Bila
berkontraksi, kartilago aritenoidea akan bergeser ke arah garis tengah,
mengaduksi korda vokalis. Otot krikoaritenoideus posterior meluas dari
permukaan posterior lamina krikoidea untuk berinsersi ke dalam prosesus
muskulari aritenoidea; otot ini menyebabkan rotasi aritenoidea ke arah luar
dan mengabduksi korda vokalis. Antagonis utama otot ini yaitu otot
krikoaritenoideus lateralis yang berorigo pada arkus krikoidea lateralis;
insersinya juga pada prosesus muskularis dan menyebabkan rotasi
aritenoideus ke media, menyebabkan aduksi korda vokalis. Otot vokalis dan
tiroaritenoideus membentuk tonjolan korda vokalis. Kedua otot ini tidak
dapat dipisahkan dan berperan dalam membentuk tegangan korda vokalis.
Pada orang lanjut usia, tonus otot vokalis dan tiroarienoideus agak
8
berkurang; korda vokalis tampak membusur keluar dan suara menjadi lemah
dan serak.
Otot-otot laring utama lainnya adalah pasangan otot krikotiroideus,
yaiutu otot yang berbentuk kipas, berasal dari arkus krikoidea bagian
anterior, dan berinsersi pada permukaan lateral alae tiroid yang luas.
Kontraksi otot ini menarik kartilago tirodea ke depan, meregang, dan
menegangkan korda vokalis. Kontraksi ini juga secara pasti memutar
aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroideus juga dianggap sebagai otot
adduktor. Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat satu otot abduktor (
krikotiroideus posterior ), tiga adduktor (interaritenoideus, krikotiroideus
lateralis, krikotiroideus), dan tiga otot tensor (krikotiroideus, vokalis, dan
tiroaritenoideus).
2.1.3 Persarafan
Dua pasang nervus mengurus laring dengan persarafan motorik dan
sensoris.Dua nervus laringeus superior dan dua nervus inferior
(rekuren).Nervus laringeus merupakan cabang-cabang dari nervus
vagus.Nervus laringeus superior mmeninggalkan trunkus vagalis tepat di
bawah ganglion nodusum, melengkung ke anterior dan medial di bawah
arteri karotis eksterna dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang
sensorik interna dan motorik eksterna.Cabang interna menembus membran
tirohioidea untuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus
piriformis, dan seluruh mukosa laring superior interna tepi bebas korda
vokalis sejati.Masing-masing cabang eksterna merupakan suplai motorik
untuk satu otot saja, yaitu otot krikotiroideus.
9
dengan aorta, maka nervus ini lebih rentan cedera dibadingkan dengan
nervus yang kanan.
2.1.4 Vaskularisasi
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya.Arteri dan vena laringeal superior merupakan cabang-cabang arteri
dan vena tiroidea superior.Keduanya bergabung dengan cabang interne
nervus laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskular
superior. Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea
inferior dan masuk ke laring bersama nervus laringeus rekuren
10
Sumber: Diunduh dari http://vibrantvoicetechnique.com/2015/12/10/spotlight-on-
anatomy-the-larynx/ pada tanggal 4 Desember 2016 Pukul 11.00 WIB
11
selanjutnya ke introitus esofagi.Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi
bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak
masuk ke laring. Respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui
suatu refleks yang diperantarai oleh reseptor pada mukosa daerah
supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva. Pada bayi,
posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglotis dan
permukaan posterior palatum mole, sehingga bayi dapat bernapas selama
laktasi tanpa kemasukan makanan ke jalan napas.
2.2.2 Respirasi
Selama respirasi, tekanan intratorakal dikendalikan oleh berbagai
derajat penutupan korda vokalis sejati.Perubahan tekanan ini membantu
sistem jantung seperti juga mempengaruhi pengisisan dan pengosongan
jantung dan paru.Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati
memungkinkan laring berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup.Hal ini
memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk
tindakan-tindakan mengejan misalnya mengangkat beban berat atau
defekasi.Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang
berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoili terminal dari paru dan
membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus
laringis.
12
faring, disamping rongga hidung dan sinus paranasalis dapat dimanfaatkan
untuk mengubah nada yang dihasilkan laring.Kekerasan suara sebanding
dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda
vokalis sejati.Sedangkan berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara
melalui komisura posterior diantara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran
korda vokalis sejati.
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi kanker laring di beberapa tempat di dunia ini berbeda-
beda. Di Amerika Serikat dilaporkan 8,5 kasus kanker laring per 100.000
penduduk laki-laki dan 1.3 kasus kanker laring per 100.000 penduduk
perempuan. Pada akhir-akhir ini tercatat insiden kanker laring pada wanita
meningkat. Ini dihubungkan dengan meningkatnya jumlah wanita yang
merokok.
Kebanyakan (70 – 90 %) kanker laring ditemukan pada pria usia
lanjut. Tipe glotik merupakan 60 – 65 %, supraglotik 30 – 35 %, dan
infraglotik hanya 5 %.
2.3.3 Etiologi
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Laringitis kronik
menjadi faktor predisposisi terjadina tumor ganas laring. Adapun faktor
resiko lainnya sebagai berikut:
13
a. Merokok (faktor risiko yang utama). Resiko karsinoma laring
meningkat seiring dengan jangka waktu lama merokok dan kenaikan
jumlah rokok yang dihisap setiap harinya;
b. Konsumsi alkohol berlebihan;
c. Jenis kelamin laki-laki;
d. Terinfeksi HPV;
e. Bertambahnya usia;
f. Diet rendah sayuran hijau;
g. Tingginya konsumsi daging yang diawetkan;
h. Pekerja di pabrik plastik;
i. Pajanan terhadap cat, radiasi, asbestos, diesel.
j. Refluks gastroesofageal.
2.3.4 Patofisiologi
Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well
differentiated) sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma
ganas yang terdiri atas sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik.
Berdasarkan Kumar et al, 2007, pada awalnya kerusakan genetik
nonletal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan genetik
ini mungkin dapat dipengaruhi oleh lingkungan seperti zat kimia, radiasi,
virus atau diwariskan dalam sel germinativum. Terdapat suatu hipotesis
genetik pada kanker bahwa massa tumor terjadi akibat adanya ekspansi
klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetik.
Sasaran utama kerusakan genetik tersebut adalah tiga kelas gen regulatorik
yang normal yaitu protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen
penekan kanker (tumor supresor gen) yang menghambat pertumbuhan
(antionkogen), dan gen yang mengatur kematian sel yang terencana
(programmed cell death), atau apoptosis.
14
Selain gen-gen tersebut terdapat juga gen yang mengatur perbaikan
DNA yang rusak, berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang
memperbaiki DNA mempengaruhi proliferasi atau kelangsungan hidup sel
secara tidak langsung dengan mempengaruhi kemampuan organisme
memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk protoonkogen, gen
penekan tumor dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan pada
gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas
digenom dan transformasi neoplastik.
Karsinogenesis memiliki beberapa proses baik pada tingkat fenotipe
maupun genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat
fenotipik, misalnya pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal dan
kemampuan metastasis jauh.Sifat ini diperoleh secara bertahap yang
disebut sebagai tumor progression.Pada tingkat molekular, progresi ini
terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian kasus
dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA.Perubahan
genetik tersebut melibatkan terjadinya angiogenesis, invasi dan
metastasis.Sel kanker juga akan melewatkan proses penuaan normal yang
membatasi pembelahan sel. Tiap gen kanker memiliki fungsi spesifik,
yang disregulasinya ikut berperan dalam asal muasal atau perkembangan
keganasan.
Gen yang terkait dengan kanker perlu dipertimbangkan dalam konteks
enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang menentukan fenotipe
ganas, diantaranya:
a. Self-sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan.
Gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker adalah
onkogen. Gen ini berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan
kemampuan mendorong pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal
pendorong pertumbuhan yang normal. Produk gen ini disebut onkoprotein.
Pada keadaan fisiologik, proliferasi sel awalnya terjadi karena terikatnya
suatu faktor pertumbuhan ke reseptor spesifiknya di membran sel. Aktivasi
reseptor pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang kemudian
15
mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di lembar dalam
plasma.Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel
melalui perantara kedua.Induksi dan aktivasi faktor regulatorik inti sel
yang memicu transkrip DNA.Selanjutnya sel masuk kedalam dan
mengikuti siklus sel yang akkhirnya menyebabkan sel membelah.Dengan
latar belakang ini, kita dapat mengidentifikasi berbagai strategi yang
digunakan sel kanker untuk memperoleh self-sufficiency dalam sinyal
pertumbuhan.
b. Insensitivitas Terhadap Sinyal yang Menghambat Pertumbuhan.
Salah satu gen yang paling sering mengalami mutasi adalah gen
penekan tumor TP53 (dahulu p53).TP53 ini dapat menimbulkan efek
antiproliferatif, tetapi yang tidak kalah penting gen ini juga dapat
mengendalikan apoptosis.Secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai
suatu monitor sentral untuk stres, mengarahkan sel untuk memberikan
tanggapan yang sesuai, baik berupa penghentian siklus sel maupun
apoptosis.
Berbagai stres yang dapat memicu jalur respon TP53, termasuk anoksia,
ekspresi onkogen yang tidak sesuai (misalnya MYC) dan kerusakan pada
integritas DNA.Dengan mengendalikan respon kerusakan DNA, TP53
berperan penting dalam mempertahankan integritas genom.
Apabila terjadi kerusakan TP53 secara homozigot, maka kerusakan
DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi disel yang
membelah sehingga sel akan masuk jalan satu-satunya menuju
transformasi keganasan.
c. Menghindar dari Apoptosis
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu sel dipengaruhi oleh gen
yang mendorong dan menghambat apoptosis. Rangkaian kejadian yang
menyebabkan apoptosis yaitu melalui reseptor kematian CD95 dan
kerusakan DNA.Saat berikatan dengan ligannya, CD95L, CD95
mengalami trimerisasi, dan domain kematian sitoplasmanya menarik
protein adaptor intrasel FADD.Protein ini merekrut prokaspase
16
(prokaspase) 8 untuk membentuk kompleks sinyal penginduksi kematian.
Kaspase 8 mengaktifkan kaspase di hilir sepersi kaspase 3, suatu kaspase
eksekutor tipikan yang memecah DNA dan substrat lain yang
menyebabkan kematian. Jalur lain dipicu oleh kerusakan DNA akibat
paparan radiasi, bahan kimia dan stres . Mitokondria berperan penting
dijalur ini dengan membebaskan sitokrom c. Pembebasan sitokrom c ini
diperkirakan merupakan kejadian kunci dalam apoptosis, dan hal ini
dikendalikan oleh gen famili BCL2. Dengan kata lain bahwa peran BCL2
dapat melindungi sel tumor dari apoptosis.
d. Kemampuan Replikasi Tanpa Batas
Secara normal, sel manusia memiliki kapasitas replikasi 60 sampai 70
kali dan setelah itu sel akan kehilangan kemampuan membelah diri dan
masuk masa nonreplikatif. Hal ini terjadi karena pemendekan progresif
telomer di ujung kromosom. Namun pada sel tumor akan menciptakan
cara untuk menghindar dari proses penuaan yaitu dengan mengaktifkan
enzim telomerase sehingga telomer tetap panjang. Hal inilah yang
menyebabkan replikasi sel tanpa batas.
e. Terjadinya Angiogenesis Berkelanjutan
Angiogenesis merupakan aspek biologik yang sangat penting pada
keganasan.Angiogenesis tidak hanya untuk kelangsungan pertumbuhan
tumor, tetapi juga untuk bermetastasis.
Faktor angiogenetik terkait tumor (tumor associated angiogenic factor)
mungkin dihasilkan oleh sel tumor atau mungkin berasal dari sel radang
(misal, makrofag).Terdapat dua faktor angiogenik terkait tumor yang
palling penting yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF, faktor
pertumbuhan endotel vaskular) dan basic fibroblast growth
factor.Paradigma menyatakan bahwa pertumbuhan tumor dikendalikan
oleh keseimbangan antara faktor angiogenik dengan faktor yang
menghambat angiogenesis (antiangiogenesis). Faktor antiangiogenesis
tersebut diantaranya trombospondin-1 yang diinduksi oleh adanya gen
TP53 wild-type, angiostatin, endostatin dan vaskulostatin. Mutasi gen
17
TP53 wild-type ini menyebabkan penurunan kadar trombospondin-1
sehingga keseimbangan condong ke faktor angiogenik.
g. Kemampuan Melakukan Invasi dan Metastasis.
Pada awalnya invasi terjadi karena peregangan dari sel tumor.
Peregangan ini dapat terjadi oleh karena mutasi inaktivasi gen E-kaderin.
Secara fisiologis gen E-kaderin bekerja sebagai lem antarsel agarsel tetap
menyatu. Proses selanjutnya adalah degradasi lokal membran basal dan
jaringan interstitium. Invasi ini mendorong sel tumor berjalan menembus
membmembran basal yang telah rusak dan matriks yang telah lisis
2.3.5 Histopatologi
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas
laring, dengan derajat differensiasi yang berbeda-beda. Karsinoma sel
skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi, yaitu:
2.3.6 Klasifikasi
Berdasarkan letaknya, karsinoma laring dapat dibagi menjadi berikut:
a. Tumor supraglotis. Terbatas dari tepi atas epiglotis sampai batas atas
glotis, termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring;
b. Tumor glotis. Mengenai pita suara asli yakni 1-10 mm di bawah tepi
bebaspita suara. Tumor glotis dapat mengenai 1 atau kedua pita suara,
dapat meluas ke subglotis, hingga komisura naterior dan posterior atau
18
prosesus vokalis kartilago aritenoid (> 10 mm dari batas bebas tepi
pita suara);
c. Tumor subglotis. Bila terletak di subglotis (10mm di bawah tepi bebas
pita suara asli sampai inferior krikoid);
d. Tumor transglotik. Tumor berasal dari glotis yang menyeberangi
daerah supraglotis, dan menyebar ke subglotis. Menyeberangi
ventrikel, atau meluas ke subglotis lebih dari 10 mm.
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2002
menetapkan klasifikasi tumor laring ditentukan oleh jumlah situs yang
terlibat, mobilitas pita suara dan keberadaan metastasis jauh atau
metastasis ke servikal.
Tabel. Stadium Kanker Laring (AJCC, 2002)
Stadium T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
II T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
IVA T4 N0-1 M0
T1-4 N2 M0
IVB T1-4 N3 M0
IVC T1-4 N0-3 M1
19
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara dan
atau invasi area postkrikoid, celah preepiglotis, paraglotis
dan atau erosi kartilago minor tiroid.
T4a Tumor menginvasi melalui kartilago tiroid dan atau invasi
jaringan diatas laring seperti trakea, jaringan lunak leher
seperti muskulus ekstinsik/ dalam lidah (m. Genioglosus,
hioglosis, palatoglosus, dan stiloglosus), otot strap, tiroid,
dan esofagus.
T4b Tumor mrnginvasi celah prevertebra, struktur mediastinal
atau hingga arteri karotis.
Glotis
T1 Tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan
pita suara masih baik, atau tumor sudah terdapat pada
komisura anterior atau posterior.
T1a Tumor terbatas pada satu pita suara asli
T1b Tumor mengenai kedua pita suara
T2 Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita
suara masih dapat bergerak atau sudah terfiksir (impaired
mobility).
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara dan
atau invasi celah paraglotis dan atau dengan erosi kartilago
tiroid minor.
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid dan atau invasi jaringan
lunak diatas laring seperti trakea, jaringan lunak leher
seperti otot dalam/ekstrinsik lidah, tiroid, dan esofagus.
T4b Tumor menginvasi celah prevertebral, struktur mediastinum,
dan arteri karotis.
Subglotis
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor terbatas pada daerah subglotis
T2 Tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat
bergerak atau sudah terfiksir.
T3 Tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksir.
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid dan atau invasi jaringan
lunak diatsa laring seperti trakea, jaringan lunak leher
mencakup otot dalam/ ekstrinsik lidah, tiroid, otot strap, dan
esofagus.
T4b Tumor menginvasi celah prevertebral, struktur mediastinum
dan arteri karotis.
Penjalaran Kelenjar Getah Bening (N)
20
Nx Kelenjar limfa tidak teraba
N0 Secara klinis kelenjar tidak teraba
N1 Secara klinis teraba satu kelenjar limfa dengan ukuran
diameter 3 cm homolateral
N2 Teraba kelenjar limfa tunggal, ipsilateral, ukuran diameter
3-6 cm
N2a Satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3cm tapi
tidak lebih dari 6 cm
N2b Multipel kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari
6
N2c Metastasisbilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih
dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm.
Metastasis Jauh (M)
Mx Tidak terdapat/terdeteksi.
Tidak ada metastasis jauh.
Terdapat metastasis jauh.
21
bawah plika ventrikularis atau di batas inferior pita suara serak akan
timbul kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat
merupakan gjala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini,
gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak nyaman,
rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor hipofarig jarang
menimbulkan serak, kecuali tumornya eksentif. Fiksasi dan nyeri
menimbulkan suara bergumun (hot potato voice).
b. Dispneu dan stridor
Gejala ini merupakan gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas
dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh
gangguan jalan nafas oleh massaa tumor, penumpukkan kotoran atau
sekret,maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik atau
transglotik terdapat dua gejala tersebut. Sumbatan dapat terjaadi secara
perlahan-lahan dapat dikompensasi oleh pasien. Pada umumnya dispneu
dan stridor adalah tanda dan prognosis kurang baik.
c. Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang
tajam.
d. Disfagia
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring
dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering
pada tumior ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagi)
menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra
laring.
e. Batuk dan hemoptisis.
Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul
dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke dalam
laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan supraglotik.
f. Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk
hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke
luar jaringan atau metastase lebih jauh.
22
g. Pembesaran kelenjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai
metastasis tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut.
h. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi
supurasi tumor yang menyerang kaartilago tiroid dan perikondrium.
2.3.8 Diagnosis
• Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang
diderita sudah cukup lama, tidak bersifat hilang-timbul meskipun
sudah diobati dan bertendens makin lama menjadi berat. Penderita
kebanyakan adalah seorang perokok berat, peminum alkohol atau
seorang yang sering atau pernah terpapar sinar radioaktif, misalnya
pernah diradiasi didaerah lain. Pada anamnesis kadang–kadang
didapatkan hemoptisis, yang bisa tersamar bersamaan dengan adanya
TBC paru, sebab banyak penderita menjelang tua dan dari sosial-
ekonomi yang lemah.
• Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik sering didapatkan tidak adanya tanda yang
khas dari luar, terutama pada stadium dini / permulaan, tetapi bila
kanker sudah menjalar ke kelenjar limfe leher, terlihat perubahan
kontur leher, dan hilangnya krepitasi tulang rawan – tulang rawan
laring. Pemeriksaan untuk melihat kedalam laring dapat dilakukan
dengan cara tak langsung maupun langsung dengan menggunakan
laringoskop unutk menilai lokasi kanker, penyebaran kanker yang
terlihat ( field of cancerisation ), dan kemudian melakukan biopsi.
• Pemeriksaan Penunjang
a. Foto toraks
Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru , ada atau
tidaknya proses spesifik dan metastasis diparu. Foto jaringan
lunak ( soft tissue) leher dari lateral kadang-kadang dapat menilai
besarnya dan letak kanker.
23
b. Radiologi konvensional
Radiografi jaringan lunak leher merupakan studi survey yang
baik. Udara digunakan sebagai agen kontras alami untuk
memvisualisasikan lumen laring dan trakea. Ketebalan jaringan
retropharyngeal dapat dinilai. Epiglottis dan lipatan aryepiglottic
dapat divisualisasikan. Namun, radiografi tidak memiliki peran
dalam manajemen kanker laring saat ini.
c. Computed Tomography – CT Scan
Pencitraan dapat membantu dalam mengidentifikasi perluasan
submukosa transglotis yang tersembunyi. Kriteria pencitraan lesi
T3 adalah perluasan ke ruang pra-epiglotis (paralayngeal fat) atau
kanker yang mengerosi kebagian dalam korteks dari kartilago
tiroid. Kanker yang mengerosi ke bagian luar korteks kartilago
tiroid merupakan stadium T4a. Ada yang berpendapat bahwa
kerterlibatan korteks bagian luar saja tanpa keterlibatan sebagian
besar tendon bisa memenuhi kriteria pencitraan lesi T4. Kanker
stadium T4 (a dan b) sulit diidentifikasikan hanya dengan
pemeriksaan klinis saja, karena sebagian besar kriteria tidak dapat
diniai dengan palpasi dan endoskopi. Pencitraan secara Cross-
sectional di indikasikan untuk mengetahui komponen anatomi
yang terlibat untuk menentukan stadium kanker. Untuk
mendapatkan gambaran yang baik, ketebalan potongan tidak
boleh lebih dari 3 mm dan laring dapat dicitrakan dalam beberapa
detik, dan dengan artefak minimal akibat gerakan.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI memiliki beberapa kelebihan daripada CT yang mungkin
membantu dalam perencanaan pre-operasi. Pencitraan koronal
membantu dalam menentukan keterlibatan ventrikel laryngeal dan
penyebaran transglottic. Pencitraan Midsagittal membantu untuk
memperlihatkan hubungan antara tumor dengan komisura
anterior. MRI juga lebih unggul daripada CT untuk karakterisasi
24
jaringan spesifik. Namun, pencitraan yang lebih lama dapat
menyebabkan degradasi gambar akibat pergerakan.
2.3.9 Penatalaksanaan
Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas untuk mengobati tumor glotis dan
supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya
90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga
suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad
perhari sampai dosis total 6000 – 7000 rad.
Pembedahan
1. Laringektomi
Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk kanker laring stadium I
yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium
II.
Hemilaringektomi atau vertikal.
Bila ada kemungkinan kanker termasuk pita suara satu benar dan
satu salah. Bagian ini diangkat sepanjang kartilago aritenoid dan
setengah kartilago tiroid. Trakeostomi sementara dilakukan dan
suara pasien akan parau setelah pembedahan.
Laringektomi supraglotis atau horisontal.
Bila tumor berada pada epiglotis atau pita suara yang salah,
dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi. Suara pasien
masih utuh atau tetap normal. Karena epiglotis diangkat maka
resiko aspirasi akibat makanan peroral meningkat.
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari
batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin
trakea. Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang (
stoma ) trakeostomi yang permanen.
25
2. Diseksi Leher Radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2)
karena kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat
rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis
stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe
leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan
ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
Kemoterapi
Diberikan pada kanker stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant
ataupun paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–
120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2
Rehabilitasi Suara
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah
diketahui bahwa kanker laring yang diterapi dengan seksama
memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup “Vocal
Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation”
2.3.10 Prognosis
Karsinoma laringmerupakan tumor dengan prognosis paling baik diantara
tumor-tumor di daerah traktus aero-digestivus, bila ditatalaksana dengan
cepat, tepat, dan radikal. Adapun angka ketahanan hidup 5 tahun dari
kanker laring dapat dilihat di tabel berikut.
Tabel. Angka Kesintasan 5 Tahun Kanker Laring
Supraglotis Glotis Subglotis Hipofaring
Stadium I 59% 90% 65% 53%
Stadium II 59% 74% 56% 39%
Stadium III 53% 56% 47% 36%
Stadium IV 34% 44% 32% 24%
26
27
BAB III
KESIMPULAN
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi
akibat kedua-duanya.Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan
progresif atau dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.3
Keadaan ini menyebabkan cahaya tidak diteruskan ke retina dengan benar
sehingga membuat penglihatan menjadi keruh, terdistorsi, atau buram. Katarak
dapat terjadi akibat kelainan metabolik seperti katarak diabetik yang terjadi akibat
penyakit diabetes melitus.
Pembentukan katarak diabetes adalah hasil akumulasi sorbitol yang
terbentuk dari aktivasi jalur poliol pada keadaan hiperglikemia yang mana lebih
lanjut akumulasi sorbitol dalam lensa akan menarik air kedalam lensa sehingga
terjadi hidrasi lensa.Peningkatan kadar glukosa dalam humor akuous dapat
menyebabkan glikasi protein lensa, dimana adanya AGE akan menganggu
struktur sitoskeletal yang dengan sendirinya akan berakibat pada turunnya
kejernihan lensa.
Diagnosis katarak diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis yang ditemukan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(ophtalmoskop, kaca pembesar, funduskopi,slitlamp). Saat ini penatalaksanaan
katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur pembedahan. Terkadang terdapat
beberapa penyulit pasca dilakukan pembedahan seperti katarak sekunder,
glaukoma, uveitis, dll. Secara umum, terjadi perbaikan tajam penglihatan setelah
dilakukan tindakan pembedahan katarak pada pasien diabetes.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Shah J, Patel SG, Singh B. Larynx and Trachea. In: Shah J, Patel SG, Singh B,
editors. Head and Neck Surgery and Oncology. Philadelphia: Elsevier Mosby.
2012. p. 811-992.
4. Iqbal N. Laryngeal Carcinoma Imaging. Updated 2011 May 27; Cited 2013 Jan
20. Available from: http:// emedicine.medscape.com/article/383230.
5. Sheahan P, Ganly I, Evans PHR, Patel SG. Tumors of the larynx. In:
Montgomery PQ, Evans PHR, Gullane PJ, editors. Principles and practice of head
and neck surgery and oncology. Florida: Informa health care;. 2009. p. 257-90.
6. Sheahan P, Ganly I, Evans PHR, Patel SG. Tumors of the larynx. In:
Montgomery PQ, Evans PHR, Gullane PJ, editors. Principles and practice of head
and neck surgery and oncology. Florida: Informa health care;. 2009. p. 257-90.
7. Mendenhall WM, Amdur RJ, Morris CG, Hinerman RW. T1-T2N0 Squamous
Cell Carcinoma of the Glottis Larynx Treated with Radiation Therapy.
JclinOncol. 2001; 19(20):4029-36.
29
1. American Academy of Oftamology. 2013. Diabetes and Cataracts. [online]
Tersedia di: https://www.aao.org/eye-health/tips-prevention/diabetes-
cataracts[Diakses pada 7 April 2017].
2. American academy of ophthalmology. 2016. What are cataracts?. [online]
Tersedia di: https://www.aao.org/eye-health/diseases/what-are-cataracts
[Diakses pada 7 April 2017].
3. Ilyas, Sidharta. 2010. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. Hal 210-220.
4. International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas Edisi 7 2015.
5. Javadi, MA., Ghanavati, SZ. 2008. Cataracts in Diabetic Patients: A Review
Article. Journal of Ophthalmic and Vision Research; 3(1): 52-65.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Republik Indonesia
7. Khurana AK. Ocular Injury. Comprehensive Ophthalmology. 4thEd. New
Delhi: New Age International (P). 2007. p. 401-15.
8. Lang, Gerhard K. Ophthalmology A Short Textbook. In: Lens. New York:
thieme Stuttgart. 2000. p. 169-203.
9. Murrill, C., A., David L. Stanfield, Michael D. VanBrocklin, Ian L. Bailey,
BrianP. DenBeste, Ralph C. DiIorio et al 2004. USA Optometric
ClinicalPractice Guideline Care of the Adult Patient with Cataract.
USA:American Optometric Association Consensus Panel. [online] Tersedia
di: http://www.aoa.org/documents/CPG-8.pdf [Diakses pada 6 April 2018].
10. Ocampo, VVD. 2017. Senile Cataract (Age-Related Cataract). [online]
Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview#a8
[Diakses pada 6 April 2018].
11. Perkumpulan Endokrin Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015.
12. Pollreisz, A. and Ursula Schimidt-Erfurth 2010. Diabetic Cataract
Pathogenesis,Epidemiology and Treatment. Austria : Hindawi Publishing
30
Corporation.Panel. [online] Tersedia di: http:// www. hindawi. com/
journals/ jop/2010/608751 [Diakses pada 6 April 2018].
13. Purnamasari, D. 2014. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, dan Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing, hal. 2323-2326.
14. Vaugan G. D, Asbury T, Eva R.P. (2000). Oftalmologi umum. Bab.20 lensa
hal 401-406. Edisi 14. Widya medika : Jakarta.
15. Kyselova, Z., M. Stefek, V. Bauer 2004. Pharmacological prevention of
diabetic cataract. Slovakia: Journal of Diabetes and Its Complications.
[online] Tersedia di: http://www.uef.sav.sk/Kyselova_files/JDC-
cataract%20review.pdf [Diakses pada 6 April 2018].
16. 2010. Hubungan antara jenias kelamin dengan kejadian katarak [online]
Tersedia di: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/159/jtptunimus-gdl-
supartinin-7911-3-babii.pdf [Diakses pada 6 April 2018].
17. Bron, A., Sparrow, J., Brown, N., Harding, J., & Blakytny, R. (1993). The
lens in diabetes. Eye (Lond). , 7 (Pt 2), 260-275.
18. Encyclopedia of Surgery. 2000. Cataract Surgery. [online] Tersedia di:
http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-Fi/Extracapsular-Cataract-
Extraction.html [Diakses pada 7 April 2018].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3589218/pdf/JOVR-3-52.pdfCataracts in
Diabetic Patients: A Review Article
https://www.hindawi.com/journals/joph/2010/608751/Diabetic Cataract—Pathogenesis,
Epidemiology and Treatment
31