Anda di halaman 1dari 29

MODUL 1

KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI I


SISTEM RENAL
(Modul 1 D)

Di Susun Oleh :
Wiji Asmoro
PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi

Pengampu
Dr. Purwoko, Sp. An
Dr. Eko Setijanto, M. Si, M. Med, Sp. An

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


RSUD Dr. MOEWARDI/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
SURAKARTA
2008

0
SISTEM RENAL

Secara anatomi, ginjal berjumlah sepasang dengan berat masing – masing 115 –
160 gram, terletak retroperitoneal di bawah diafragma. Masing – masing ginjal terdiri
dari korteks (bagian luar) dan medulla (bagian dalam), dimana bagian tengah dari
masing – masing ginjal setinggi L2. Ginjal menerima sekitar 20 – 25% dari cardiac
output. Fungsi utama ginjal adalah untuk mengatur volume dan komposisi dari cairan
ekstrasel yang terlihat dari konsentrasi ion H+ dan elektrolit. Produk akhir dari
metabolisme protein seperti urea akan diekskresi, sedangkan nutrisi – nutrisi tubuh
esensial seperti asam amino dan glukosa akan disimpan. Ginjal juga berperan dalam
mensekresi hormon regulator tekanan darah sistemik (angiotensin II, prostaglandin,
kinin) dan produksi eritropoietin (Stoelting, 2006). Ginjal berperan penting dalam
produksi renin, eritropoietin dan bentuk aktif dari vitamin D. Proses pembedahan dan
anestesi dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Overload cairan, hipovolemia,
dan gagal ginjal post operatif merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
post operatif (Morgan, 2006).

ANATOMI GINJAL
NEFRON
Tiap ginjal dibentuk dari 1 – 1,2 juta unit fungsional yang disebut nefron, dan jumlah
ini tidak berubah setelah kelahiran (Stoelting, 2006). Secara anatomi, nefron terdiri
dari saluran berlekuk dengan 6 bagian khusus. Pada ujung proksimal disebut
glomerulus, ultrafiltrasi darah dijalankan, volume dan komposisi cairan yang melewati
nefron dimodifikasi melalui proses reabsorpsi dan sekresi substansi terlarut. Cairan
yang difiltrasi melalui kapiler glomerulus diubah menjadi urin sepanjang perjalanan
menuju pelvis ginjal. Sebagai produk akhir akan di eliminasi sebagai urin (Morgan,
2006).

Enam pembagian fungsi dan anatomi utama dari nefron meliputi kapiler glomerulus,
tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal, tubulus kolektivus, dan apparatus
jukstaglomerular (Gambar – 1) (Morgan, 2006).

1. Kapiler Glomerulus
Glomerulus hanya ditemukan di korteks ginjal dan dibentuk oleh kapiler yang
masuk ke ujung proksimal dari tubulus ginjal (kapsul Bowman’s). Kapiler yang
membentuk glomerulus memiliki anatomi unik yang merupakan gabungan dari 2

1
arteriol untuk menyediakan area permukaan yang luas untuk fitrasi darah. Darah
masuk ke kapiler glomerulus melalui arteriol aferen dan keluar melalui arteriol
eferen. Tekanan pada kapiler glomerulus dapat diubah dengan mengubah
aktivitas vaskuler dari arteriol aferen maupun eferen. Tekanan pada kapiler
glomerulus menyebabkan air dan substansi dengan berat molekul rendah yang
difiltrasi oleh kapsul Bowman’s diteruskan ke tubulus proksimal ginjal (Stoelting,
2006).

Gambar – 1. Pembagian Anatomi Utama Nefron

Sel endotel glomerulus terpisah dari sel epitel kapsul Bowman’s oleh membran
basalis. Sel endotel memiliki lubang, fenestrae, sebesar (70 – 100 nm), tetapi sel
epitel interdigitatae berikatan erat satu dengan yang lain, sehingga hanya
terbentuk celah untuk filtrasi sebesar 25 nm. Dua tipe sel dengan membran
basalis menciptakan sawar filtrasi yang efektif untuk sel dan substansi dengan
berat molekul besar. Sawar ini memiliki bagian anionik multipel yang
menyebabkan kandungan bersih negatif, yang menimbulkan filtrasi dari kation
mendahului anion. Tipe sel ketiga, sel mesangial, terletak diantara membran
basalis dan sel epitel didekat perbatasan kapiler. Sel mesangial diduga memiliki
peran penting dalam filtrasi glomerulus. Sel mesangial mengandung protein
kontraktil yang merespon substansi vasoaktif, mensekresi berbagai substansi,
dan mengambil komplek imun. Ketika sel mesangial berkontraksi, hal ini akan

2
mengurangi filtrasi glomerulus, sebagai respon terhadap angiotensin II,
vasopressin, norepinefrin, histamin, endotelin, tromboksan A2, leukotrien (C4 dan
D4), prostaglandin F2, dan platelet activating factor (PAF). Relaksasi dari sel
mesangial, meningkatkan filtrasi glomerulus, sebagai respon terhadap atrial
natriuretic peptide (ANP), prostaglandin E2, dan dopamin (Morgan, 2006).

Tekanan filtrasi glomerulus (60 mmHg), normal 60% MAP, dilawan dengan
tekanan onkotik plasma (25 mmHg) dan tekanan interstisial ginjal (10 mmHg).
Tonus arteriol aferen dan eferen sangat penting untuk menentukan tekanan
filtrasi. Tekanan filtrasi sebanding dengan tonus arteriol eferen dan berbanding
terbalik dengan tonus arteriol aferen. Sekitar 20% plasma normal akan difiltrasi
sebagai darah melalui glomerulus (Morgan, 2006).

2. Tubulus Ginjal
Komponen dari tubulus ginjal adalah tubulus proksimal, ansa Henle, dan tubulus
distal. Dari tubulus proksimal, filtrat glomerulus berjalan menuju ansa Henle.
Ansa Henle yang memanjang sampai ke medulla ginjal disebut nefron
jukstamedullar; ansa Henle yang terletak dekat dengan permukaan ginjal disebut
nefron korteks. Dari ansa Henle, cairan mengalir kembali ke korteks ginjal melalui
tubulus distal. Akhirnya filtrat glomerulus masuk ke duktus kolektivus, yang akan
membawa cairan dari beberapa nefron menuju pelvis ginjal (Stoelting, 2006).

a) Tubulus Proksimal
Hasil ultrafiltrasi kapsul Bowman’s 65 – 75% direabsorpsi secara isotonik
(jumlah air dan sodium seimbang) di tubulus proksimal (Gambar – 2). Untuk
direabsorpsi, substansi harus bergerak ke sisi tubular (apeks) dari membran
sel kemudian melintasi membran sel basolateral menuju ke interstisial ginjal
sebelum memasuki kapiler peritubular. Fungsi utama dari tubulus proksimal
adalah reabsorpsi Na+. sodium keluar dari sel tubulus proksimal secara
transpor aktif pada sisi kapiler melalui ikatan Na – K – ATPase membran.
Hasilnya adalah konsentrasi Na+ intrasel rendah yang menyebabkan
pergerakan pasif Na+ turun sepanjang gradien dari cairan tubular ke dalam
sel epitel. Angiotensin II dan norepinefrin meningkatkan reabsorpsi Na+ di
tubulus proksimal awal. Sedangkan dopamin dan fenoldopam menurunkan
reabsorpsi proksimal Na+ melalui aktivasi reseptor D1 (Morgan, 2006).

3
Gambar – 2. Reabsorpsi Sodium di Nefron

Reabsorpsi sodium berpasangan dengan reabsorpsi substansi terlarut lain


dan sekresi ion H+ (Gambar – 3). Protein pembawa spesifik memanfaatkan
konsentrasi Na+ intrasel rendah untuk transpor fosfat, glukosa, dan asam
amino. Kehilangan bersih dari kandungan positif intrasel, hasil dari aktivitas
Na – K – ATPase (pertukaran 3 Na+ untuk 2 K+) menyebabkan absorpsi dari
kation lain (K+, Ca2+, Mg2+). Na – K – ATPase pada sisi basolateral dari sel
ginjal menyediakan energi untuk reabsorpsi sebagian besar substansi
terlarut. Reabsorpsi sodium pada membran luminal disertai transpor balik
(sekresi) dari H+. Mekanisme terakhir bertanggung jawab untuk reabsorpsi
90% ion bikarbonat. Tidak seperti substansi terlarut lain, klorida dapat
berpindah melalui ikatan erat antar sel epitel tubulus yang berdekatan.
Akibatnya, reabsorpsi klorida secara umum terjadi secara pasif dan mengikuti
gradien konsentrasi. Reabsorpsi aktif klorida dapat disebabkan karena
kotranspor K+ – Cl- yang mengeluarkan kedua ion tersebut pada sisi
membran sel. Air bergerak secara pasif keluar dari tubulus proksimal
sepanjang gradien osmotik. Saluran air spesifik, yang tersusun dari sebuah
protein membran disebut aquaporin – 1, di apeks membran sel epitel
memfasilitasi pergerakan air (Morgan, 2006).

Tubulus proksimal dapat mensekresi kation dan anion organik. Kation organik
seperti kreatinin, simetidin, dan quinidin. Anion organik seperti urat, ketoasid,
penisilin, sefalosporin, diuretik, salisilat dan bahan kontras. Protein dengan
berat molekul rendah di filtrasi oleh glomerulus, normalnya direabsorpsi oleh
sel tubulus proksimal. Tetapi dimetabolisme intrasel (Morgan, 2006).

4
Gambar – 3. Reabsorpsi substansi terlarut di tubulus proksimal

b) Ansa Henle
Ansa Henle terdiri dari bagian descenden dan ascenden. Segmen descenden
tipis merupakan kelanjutan dari tubulus proksimal yang berjalan menurun dari
korteks menuju medulla ginjal. Pada medulla, bagian descenden secara
cepat membelok dan naik menuju korteks menjadi bagian ascenden. Bagian
ascenden terdiri dari bagian ascenden tipis, bagian ascenden tebal medulla,
bagian ascenden tebal korteks. Nefron korteks memiliki sedikit bagian
ascenden tipis. Jumlah nefron korteks lebih banyak dibanding dengan nefron
jukstamedullar, dengan perbandingan sekitar 7 : 1. Ansa Henle bertanggung
jawab dalam mempertahankan interstisial medullar hipertonik dan secara
tidak langsung membantu tubulus kolektivus untuk memekatkan urin
(Morgan, 2006).

Hanya 25 – 35% hasil ultrafiltrasi di kapsul Bowman’s mencapai ansa Henle.


Bagian nefron ini mereabsorpsi 15 – 20% sodium yang masuk dari tubulus
proksimal. Kecuali pada segmen tebal ascenden, Reabsorpsi sodium dan air
terjadi secara pasif dan mengikuti gradien osmotik dan konsentrasi. Di
segmen tebal ascenden, Na+ dan Cl- direabsorpsi dari air yang berlebih, lebih
lanjut, reabsorpsi Na+ ini disertai reabsorpsi K+ dan Cl-. Reabsorpsi aktif dari
Na+ merupakan hasil dari aktivitas NA – K – ATPase pada sisi kapiler sel
epitel (Morgan, 2006).

5
Tidak seperti bagian descenden dan bagian ascenden yang tipis, bagian tebal
ascenden impermeabel terhadap air. Akibatnya, cairan tubular yang mengalir
keluar dari ansa Henle menjadi hipotonis (100 – 200 mOsm/ L), dan
interstisial sekitar ansa Henle hipertonis. Mekanisme arus balik multipel
terjadi sehingga cairan tubular dan interstisial medulla menjadi hipertonis
dengan meningkatnya kedalaman medulla (Gambar – 4). Urea mencapai
konsentrasi tinggi di medulla dan memberikan kontribusi untuk hipertonis.
Mekanisme arus balik meliputi ansa Henle, tubulus kolektivus medulla dan
korteks, dan masing – masing kapiler (vasa recta) (Morgan, 2006).

Bagian ascenden tebal dari ansa Henle penting dalam reabsorpsi Ca 2+ dan
Mg2+. Hormon paratiroid juga menambah reabsorpsi Ca 2+ pada bagian ini
(Morgan, 2006).

Gambar – 4. mekanisme Arus Balik Multipel

c) Tubulus Distal
Tubulus distal menerima cairan hipotonis dari ansa Henle. Berlawanan
dengan bagian yang lebih proksimal, nefron distal memiliki ikatan yang
sangat erat antar sel tubulus dan relatif impermeabel terhadap air dan
sodium. Reabsorpsi sodium hanya sekitar 5% dari muatan sodium. Seperti
pada bagian nefron yang lain, energi berasal dari aktivitas Na + – K+ – ATPase
pada sisi kapiler, namun pada sisi lumen Na+ direabsorpsi oleh pembawa Na+
– Cl-. Reabsorpsi Na+ pada segmen ini sesuai dengan penghantaran Na+.

6
Tubulus distal merupakan tempat utama hormon paratiroid dan vitamin D
memediasi reabsorpsi Ca2+ (Morgan, 2006).

Bagian dari tubulus distal selanjutnya berperan sebagai segmen


penghubung, tetapi juga berperan dalam reabsorpsi Na+ yang dimediasi
aldosteron (Morgan, 2006).

d) Tubulus Kolektivus
Tubulus ini dibagi menjadi bagian korteks dan medulla. Keduanya berperan
dalam reabsorpsi sodium sebesar 5 – 7% dari muatan sodium (Morgan,
2006).

Tubulus Kolektivus Korteks


Bagian nefron ini terdiri dari 2 macam sel, yaitu (1) sel prinsipal (sel P),
menyeleksi potasium dan berperan dalam reabsorpsi Na+ yang dimediasi
aldosteron, dan (2) sel interkalatus (sel I) yang bertanggung jawab dalam
regulasi asam basa. Karena sel P mereabsorpsi Na + melalui pompa
elektrogenik maka Cl- harus direabsorpsi atau K+ harus di sekresi untuk
mempertahankan elektronetral. Peningkatan konsentrasi K+ intrasel
menghendaki sekresi K+. aldosteron meningkatkan aktivitas Na+ – K+ –
ATPase dengan meningkatkan jumlah saluran Na+ dan K+ yang terbuka pada
membran luminal. Aldosteron juga meningkatkan H+ – secreting ATPase pada
batas luminal sel I (Gambar – 5). Sel I memiliki pompa K+ – H+ – ATPase,
yang mereabsorpsi K+ dan mensekresi H+. beberapa sel I mampu mensekresi
ion bikarbonat sebagai respon terhadap muatan alkali yang besar (Morgan,
2006).

Tubulus Kolektivus Medulla


Tubulus kolektivus medulla berjalan turun dari korteks melalui medulla
hipertonis sebelum bergabung dengan tubulus kolektivus dari nefron lain
untuk membentuk ureter tunggal pada masing – masing ginjal. Bagian
tubulus kolektivus ini merupakan tempat utama dari aksi ADH (Antidiuretik
Hormone), yang disebut juga AVP (arginine Vasopressin), hormon ini
mengaktivasi adenilat siklase via reseptor V2. (Reseptor V1 meningkatkan
resistensi vaskuler). ADH menstimulasi ekspresi dari protein saluran air,
aquaporin – 2, di membran sel. Permeabilitas membran luminal terhadap air
sepenuhnya tergantung dari terdapatnya ADH. Dehidrasi meningkatkan

7
sekresi ADH, menjadikan membran luminal permeabel terhadap air.
Akibatnya, secara osmotik air mengalir keluar dari cairan tubular yang melalui
medulla, dan memekatkan urin (> 1400 mOsm/ L). Sebaliknya, hidrasi
adekuat menekan sekresi ADH, cairan di tubulus kolektivus mengalir melalui
medulla tanpa di ubah dan tetap hipotonis (100 – 200 mOsm/ L). Tubulus
kolektivus medulla juga memiliki sel P dan I, tapi predominan. Lebih lanjut,
bagian nefron ini bertanggung jawab untuk mengasamkan urin; ion hidrogen
sekresi diekskresikan dalam bentuk asam titrasi (fosfat) dan ion ammonium
(Morgan, 2006).

Gambar – 5. Sekresi ion hidrogen dan reabsorpsi bikarbonat dan potassium di tubulus
kolektivus korteks

Peran Tubulus Kolektivus dalam Mempertahankan Medulla Hipertonis


Permeabilitas pembanding untuk urea antara tubulus kolektivus medulla dan korteks
memiliki peran lebih dari separuh hipertonisitas dari medulla ginjal. Tubulus
kolektivus korteks permeabel terhadap urea, sedangkan tubulus kolektivus medulla
normalnya impermeabel. Adanya ADH menyebabkan bagian paling dalam dari
tubulus kolektivus medulla menjadi lebih permeabel terhadap urea. Ketika ADH di
sekresi, air mengalir keluar dari tubulus kolektivus dan urea menjadi sangat
konsentrat. Urea kemudian berdifusi keluar jauh ke dalam interstisial medulla,
meningkatkan tonisitas (Morgan, 2006).

8
Sepanjang perjalanan di tubulus ginjal, filtrat glomerulus, sebagian besar air dan
sejumlah substansi terlarut mengalami reabsorpsi mulai dari lumen tubulus ginjal
sampai kapiler peritubular (Tabel – 1). Selain itu, sejumlah kecil substansi terlarut
disekresi oleh sel epitel tubulus ginjal ke lumen tubulus. Produk sisa metabolisme
yang tidak diinginkan disaring melalui kapiler glomerulus, tapi tidak seperti air dan
elektrolit, produk sisa metabolisme tidak direabsorpsi sebagai filtrat glomerulus lebih
lanjut melalui tubulus ginjal. Akhirnya, urin yang terbentuk berisi sejumlah besar
substansi yang dapat melewati filter kapiler glomerulus, ditambah sejumlah kecil
substansi yang disekresi sel epitel tubulus ginjal ke lumen tubulus (Stoelting, 2006).

Tabel – 1
Besar dan Bagian dari Reabsorpsi dan Sekresi Substansi Terlarut pada Tubulus Ginjal
Filtrasi Reabsorpsi Sekresi Ekskresi Persen
Lokasi
(24 jam) (24 jam) (24 jam) (24 jam) Reabsorpsi
Air (L) 180 179 1 99,4 P, L, D, C
Sodium (mEq) 26000 25850 150 99,4 P, L, D, C
Potasium (mEq) 600 560 50 90 93,3 P, L, D, C
Klorida (mEq) 18000 17850 150 99,2 P, L, D, C
Bikarbonat (mEq) 4900 4900 0 10 P, D
Urea (mM) 870 460 410 53 P, L, D, C
Asam Urat (mM) 50 49 4 5 98 P
Glukosa (mM) 800 800 0 100 P
C, convoluted tubule; D, distal tubule; L, loop of Henle; P, proximal tubule

3. Apparatus Jukstaglomerular
Secara anatomi, apparatus jukstaglomerular merupakan bagian dimana tubulus
distal lewat pada sudut antara arteriol aferen dan eferen. Sel epitel dari tubulus
distal yang berhubungan dengan arteriol – arteriol ini membentuk sel makula
densa, sel penghubung di arteriol disebut sel jukstaglomerular. Sel
jukstaglomerular ini melepas renin ke dalam sirkulasi dengan respon
menurunkan RBF yang mungkin disertai hipovolemia, hipotensi sistemik, iskemia
ginjal, atau stimulasi sistem saraf simpatis (Gambar – 6). Hal ini merupakan
usaha dari ginjal untuk mempertahankan RBF dan GFR normal. Sebagai contoh,
pembentukan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dari arteriol eferen
ginjal, yang akan meningkatkan tekanan kapiler glomerulus untuk meningkatkan
GFR ke normal (Stoelting, 2006).

Pelepasan renin tergantung dari stimulasi simpatis β1 – adrenergik, perubahan


pada tekanan dinding arteriol aferen, dan perubahan pada aliran klorida yang
melewati makula densa. Renin yang terlepas ke sirkulasi darah bereaksi pada

9
angiotensinogen, protein yang disintesis oleh hati, untuk membentuk
angiotensin I. Dekapeptida inert ini secara cepat diubah terutama di paru, oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) untuk membentuk oktapeptida angiotensin
I. Angiotensin II berperan penting dalam regulasi tekanan darah, dan sekresi
aldosteron. Sel tubulus proksimal mempunyai enzim pengubah sebaik
angiotensin II. Lebih lanjut, pembentukan angiotensin II intra renal meningkatkan
reabsorpsi sodium di tubulus proksimal. Sejumlah produksi renin ekstra renal dan
angiotensin II juga mengambil tempat di endotel vaskuler, kelenjar adrenal, dan
otak (Morgan, 2006).

Gambar – 6. Apparatus Jukstaglomerular

SIRKULASI GINJAL
Fungsi ginjal berhubungan erat dengan aliran darah ginjal. Ginjal merupakan satu –
satunya organ dimana konsumsi O2 ditentukan oleh aliran darah. Aliran darah yang
melalui kedua ginjal normal sebesar 20 – 25% dari cardiac output total. Sekitar 80%
RBF mengalir ke korteks dan hanya 10 – 15% menuju nefron jukstamedullar. Korteks
ginjal relatif berisi sedikit O 2, menghasilkan tekanan O2 sekitar 50 mmHg, karena
aliran darah yang relatif tinggi dengan sebagian besar fungsi adalah filtrasi.
Sebaliknya, medulla ginjal mempertahankan aktivitas metabolik tinggi karena
reabsorpsi substansi terlarut dan membutuhkan aliran darah yang rendah untuk
mempertahankan gradien osmotik tinggi. Medulla memiliki tekanan O2 sebesar 15
mmHg sehingga mudah terjadi iskemia (Morgan, 2006).

Redistribusi RBF menjauh dari nefron korteks dengan ansa Henle pendek ke nefron
jukstamedullar lebih besar dengan ansa Henle panjang terjadi pada kondisi tertentu.
Stimulasi simpatis, peningkatan kadar angiotensin II dan katekolamin, dan gagal

10
jantung dapat menyebabkan redistribusi RBF ke medulla. Hal ini secara klinis
berhubungan dengan retensi sodium (Morgan, 2006).

Ginjal disuplai oleh arteri renalis tunggal yang berasal dari aorta. Arteri renalis
kemudian bercabang di pelvis ginjal menjadi arteri interlobaris, yang kemudian
menjadi arteri arcuata pada daerah pertemuan antara korteks dan medulla. Arteri
arcuata selanjutnya bercabang menjadi cabang – cabang interlobularis yang
mensuplai tiap nefron melalui arteriol aferen tunggal. Darah dari glomerulus dialirkan
melalui arteriol eferen tunggal dan kemudian berjalan sepanjang tubulus ginjal
terdekat didalam sistem kapiler kedua (peritubular). Berlawanan dengan kapiler
glomerulus yang menyediakan filtrasi, kapiler peritubular utamanya adalah
reabsorptif. Aliran venula plexus kapiler kedua akhirnya membalikkan darah ke vena
cava inferior melalui vena renalis tunggal pada tiap bagian (Morgan, 2006).

Gambar – 7. Sirkulasi Ginjal

Kapiler Glomerulus
Darah memasuki arteri renalis, yang kemudian akan bercabang dan terbagi menjadi
arteriol aferen glomerulus. Arteriol aferen ini dipisahkan dari arteriol eferen oleh
kapiler glomerulus. Arteriol eferen menimbulkan resistensi signifikan pada aliran
darah, yang menyebabkan kapiler glomerulus menjadi sistem tekanan tinggi.
Tekanan yang tinggi di kapiler glomerulus menyebabkan fungsi yang sama seperti
pada ujung arteri dari jaringan kapiler, dengan cairan bergerak kontinyu keluar dari
kapiler glomerulus menuju kapsul Bowman’s (Stoelting, 2006).

11
Kapiler Peritubular (Aliran Darah Korteks Ginjal)
Pada korteks ginjal, darah mengalir dari arteriol eferen menuju jaringan kapiler kedua
yang disebut kapiler peritubular. Arteriol – arteriol eferen ini dengan sifat baik dari
hubungan 2 kapiler (kapiler glomerulus menuju kapiler peritubular) tampak sebagai
pintu masuk arteriol. Berlawanan dengan kapiler glomerulus yang bertekanan tinggi,
kapiler peritubular merupakan sistem dengan tekanan rendah, yang menyebabkan
kapiler ini berfungsi sebagian besar sama seperti akhir vena dari kapiler jaringan.
Akhirnya, cairan dari tubulus ginjal direabsorpsi secara kontinyu ke dalam kapiler
peritubular bertekanan rendah. Dari 180 liter cairan yang difiltrasi setiap hari melalui
kapiler glomerulus, sekitar 1,5 liter direabsorpsi dari tubulus ginjal kembali ke kapiler
peritubular, menuju vena cava inferior (Stoelting, 2006).

Vasa Recta (Aliran Darah Medulla Ginjal)


Fungsi dari medulla ginjal adalah untuk mempertahankan osmolaritas tinggi
(dihasilkan oleh transpor substansi terlarut keluar bagian ascenden dari ansa Henle)
yang menyebabkan cairan tubular dipekatkan oleh absorpsi osmotik air dari duktus
kolektivus. Fungsi ini tergantung dari suplai darah yang unik yang tergambar oleh
pengaturan countercurrent dari bagian khusus kapiler peritubular yang disebut vasa
recta. Pengaturan vaskuler khusus ini meminimalkan pengeluaran substansi terlarut
dari interstisial medulla, yang merupakan bagian penting untuk pembentukan urin
yang dipekatkan (Stoelting, 2006).

Kapiler dari vasa recta turun bersama bagian tipis dari ansa Henle menuju medulla
sebelum ke korteks ginjal untuk pengosongan ke vena. Hanya 1 – 2% dari RBF
melintasi vasa recta. Pengukuran aliran darah yang melalui medulla ginjal lebih kecil
dibandingkan dengan aliran darah yang terjadi di korteks ginjal. Agar pertukaran
countercurrent vasa recta dapat berfungsi secara baik, sangat penting bahwa
hematokrit darah yang masuk adalah rendah (± 10%). Jika hal ini tidak terjadi, maka
pemindahan osmotik air dari vasa recta descenden akan meningkatkan viskositas
darah secara perlahan (Stoelting, 2006).

12
ALIRAN DARAH GINJAL (RENAL BLOOD FLOW/ RBF)
RBF sekitar 400 ml/ 100 gram/ menit, sedangkan untuk jantung dan hati 70 ml/ 100
gram/ menit. Konsumsi O2 ginjal sangat tinggi, akan tetapi karena tingginya RBF,
perbedaan arteriovenous ginjal kecil. Meskipun penghantaran O2 tinggi melalui RBF,
iskemia ginjal dan gagal ginjal akut (Acute Renal Failure/ ARF) merupakan problem
klinis utama, terutama pada pasien dengan cedera berat dan pasien tua yang
menjalani bedah vaskuler besar (Morgan, 2006).

Terdapat perbedaan yang jelas antara aliran darah ke korteks dengan ke medulla
ginjal. Normalnya, sekitar 90 – 95% RBF dihantarkan ke korteks dan sisanya ke
medulla. PO2 pada korteks ginjal sekitar 50 mmHg dan pada medulla sekitar 10
mmHg. Berlebihnya RBF ke korteks diatur untuk memaksimalkan fungsi dari filtrasi
glomerulus dan reabsorpsi tubulus yang tergantung besarnya aliran (flow dependent
functions). Pada medulla ginjal, aliran darah dan konsumsi O2 dibatasi oleh anatomi
pembuluh darah tubulus ginjal yang secara khusus didesain untuk pemekatan urin
(countercurrent circulation) (Morgan, 2006).

Pembersihan (Clearance)
Konsep pembersihan (clearance) sering digunakan dalam penilaian RBF dan GFR.
Clearance ginjal dari sebuah substansi didefinisikan sebagai volume darah yang
dibersihkan secara sempurna dari substansi tersebut per unit waktu (Morgan, 2006).

Aliran Darah Ginjal (Renal Blood Flow/ RBF)


Renal Plasma Flow (RPF) biasanya diukur dengan pembersihan p – aminohipurat
(PAH). PAH pada konsentrasi plasma rendah dapat diasumsikan dibersihkan secara
sempurna dari plasma melalui filtrasi dan sekresi dalam satu aliran melalui ginjal
(Morgan, 2006).

RPF = clearance of PAH = [PAH] u x Aliran urin


[PAH] p

[PAH] u = konsentrasi PAH urin


[PAH] p = konsentrasi PAH plasma

RBF = RPF
(1 – Hematokrit)

RPF dan RBF normal masing – masing sekitar 660 dan 1.200 mL/ menit.

13
Laju Filtrasi Glomerulus/ Glomerular Filtration Rate (GFR)
GFR merupakan sejumlah filtrat glomerulus yang dihasilkan setiap menit oleh semua
nefron. Pada individu normal, GFR rata – rata 125 ml/ menit, atau sekitar 180 L/ hari.
Reabsorpsi terjadi sebesar hampir 99% dari 180 L filtrat glomerulus selama filtrat ini
melewati tubulus ginjal, menghasilkan output urin harian sebanyak 1 – 2 L. Ekskresi
ion sodium urin melewati GFR, sekitar 1% dari sodium yang difiltrasi, diekskresikan
ke dalam urin (Tabel 54 – 1) (Stoelting, 2006).

GFR normal sekitar 20% RPF. Pembersihan inulin, sebuah fruktosa polisakarida
yang difiltrasi secara sempurna tapi tidak disekresi maupun reabsorpsi, merupakan
pengukuran yang baik untuk GFR. Harga normal untuk GFR sekitar 120 ± 25 mL/
menit pada pria dan 95 ± 20 mL/ menit pada wanita. Meskipun kurang akurat
dibanding pengukuran pembersihan inulin, pengukuran pembersihan kreatinin lebih
praktis untuk menilai GFR. Pembersihan kreatinin cenderung menilai GFR lebih
tinggi karena kreatinin di sekresi secara normal oleh tubulus ginjal. Kreatinin
merupakan produk dari penghancuran fosfokreatin di otot (Morgan, 2006).

Creatinine clearance = [Creatinine] u x kecepatan aliran urin


[Creatinine] p

[Creatinine] u = konsentrasi kreatinin urin


[Creatinine] p = konsentrasi kreatinin plasma

Rasio dari GFR dan RPF disebut Fraksi Filtrasi (Filtration Fraction/ FF) dan normal
sekitar 20% GFR tergantung dari tonus relatif kedua arteriol aferen dan eferen.
Dilatasi arteriol aferen atau vasokonstriksi arteriol eferen meningkatkan FF dan
mempertahankan GFR, meskipun RPF menurun. Tonus arteriol aferen bertanggung
jawab mempertahankan GFR tetap konstan pada kisaran luas dari tekanan darah
(Morgan, 2006).

Mekanisme Filtrasi Glomerulus


Filtrasi glomerulus terjadi melalui mekanisme yang sama dengan filtrasi cairan keluar
dari kapiler jaringan. Secara spesifik, tekanan didalam kapiler glomerulus
menyebabkan filtrasi dari cairan melewati membran kapiler menuju tubulus ginjal.
Tekanan filtrasi normal sekitar 10 mmHg, yang dihitung dari tekanan kapiler
glomerulus (60 mmHg) dikurang tekanan osmotik koloid (32 mmHg) dan tekanan di

14
dalam kapsul Bowman’s (18 mmHg). GFR normal adalah 12,5 L/ menit/ mmHg dari
tekanan filtrasi, menghasilkan GFR sebesar 125 L/ menit ketuka tekanan filtrasi
bersih sebesar 10 mmHg.

Tekanan filtrasi yang bertanggung jawab untuk GFR dipengaruhi oleh MAP, cardiac
output, dan aktivitas sistem saraf simpatis. Induksi anestesi mengubah faktor – faktor
tersebut yang dapat mengakibatkan efek yang lebih dalam pada GFR dan output
urin. Semua obat anestesi dan teknik anestesi berhubungan dengan penurunan
GFR dan output urin.

Tekanan Arteri Rata – rata (Mean Arterial Pressure/ MAP)


Efek dari MAP pada GFR berkurang oleh autoregulasi. Respon balik
tubuloglomerular yang kemungkinan terjadi di apparatus jukstaglomerular,
bertanggung jawab untuk autoregulasi GFR. Secara spesifik, sinyal dari sel makula
densa di tubulus distal menyebabkan arteriol aferen atau eferen untuk vasodilatasi
atau vasokonstriksi, dan hal tersebut menambah tekanan kapiler pada glomerulus
untuk mempertahankan GFR hampir konstan, bagaimanapun juga pada perubahan
MAP antara 60 sampai 160 mmHg. Meskipun demikian, 5 % perubahan pada GFR
bisa menyebabkan peningkatan atau penurunan penting pada output urin.

Cardiac Output
Karena GFR sejajar dengan RBF, sangat jelas bahwa perubahan pada cardiac
output, termasuk yang diakibatkan oleh anestetik, memiliki efek penting pada GFR.

Sistem Saraf Simpatis


Persarafan utama ginjal diperoleh dari T4 – 12. Stimulasi sistem saraf simpatis dapat
terjadi pada periode perioperatif atau dengan pemberian katekolamin eksogen yang
menghasilkan konstriksi khusus dari arteriol aferen, penurunan tekanan kapiler
glomerulus, dan penurunan GFR. Stimulasi sistem saraf simpatis yang berlebihan
dapat menurunkan aliran darah glomerulus sehingga output urin turun mendekati nol.

Autoregulasi RBF
Perubahan pada Mean Arterial Pressure (MAP) antara 60 – 160 mmHg secara
simultan mengaktifkan autoregulasi RBF dan GFR.

Autoregulasi dari RBF tidak terganggu selama pemberian obat anestesi. Sebaliknya,
autoregulasi terganggu pada sepsis berat, ARF, dan selama cardiopulmonary

15
bypass. Autoregulasi RBF tidak diperpanjang pada perubahan persisten MAP
(sekitar 10 menit) yang berlawanan dengan efek tunda dari autoregulasi pada GFR.
Hal ini menyebabkan GFR berada di sekitar nilai normal walaupun terdapat
penurunan yang jelas dari RBF, yang dapat diredistribusikan ke organ vital lain
selama periode hipotensi yang memanjang (Stoelting, 2006).

Mekanisme Kontrol
1. Regulasi Intrinsik
Autoregulasi RBF normal terjadi pada MAP antara 80 – 180 mmHg. Aliran darah
berkurang saat MAP kurang dari 70 mmHg. Mekanisme pasti belum diketahui,
tetapi diduga respon miogenik intrinsik dari arteriol aferen mengubah tekanan
darah. Dengan batas ini, RBF (dan GFR) dapat dipertahankan relatif konstan
oleh vasokonstriksi atau vasodilatasi arteriol aferen. Diluar batas autoregulasi,
RBF menjadi tergantung tekanan. Filtrasi glomerulus pada umumnya berhenti
ketika tekanan arteri sistemik kurang dari 40 – 50 mmHg (Morgan, 2006).

2. Keseimbangan Tubuloglomerular dan Respon Balik


Perubahan di dalam kecepatan aliran tubulus ginjal mempengaruhi GFR;
peningkatan pada aliran tubular cenderung mengurangi GFR. Respon balik
tubuloglomerular memiliki peran penting dalam mempertahankan GFR tetap
konstan pada kisaran yang luas dari tekanan perfusi. Mekanisme pasti masih
sulit dipahami, makula densa bertanggung jawab terhadap respon balik
tubuloglomerular dengan mempengaruhi perubahan reflek pada tonus arteriol
aferen dan mungkin permeabilitas kapiler glomerulus. Angiotensin II memiliki
peran dalam mekanisme ini. Pelepasan adenosin lokal (yang terjadi sebagai
respon terhadap peningkatan volume) menghambat pelepasan renin dan dilatasi
arteriol aferen. Fenomena natriuresis tekanan, atau penurunan reabsorpsi
sodium sebagai respon untuk meningkatkan tekanan darah, menggambarkan
respon balik tubuloglomerular (Morgan, 2006).

3. Regulasi Hormonal
Peningkatan tekanan arteriol aferen menstimulasi pelepasan renin dan
pembentukan angiotensin II. Angiotensin II secara umum menyebabkan
vasokonstriksi dan sekunder menurunkan RBF. Kedua arteriol aferen dan eferen
vasokonstriksi, tetapi karena arteriol eferen lebih kecil, resistensinya menjadi
lebih besar dibanding arteriol aferen; GFR cenderung relatif dipertahankan.
Kadar angiotensin II yang sangat tinggi mengkonstriksikan kedua arteriol dan

16
dengan jelas menurunkan GFR. Katekolamin adrenal (epinefrin dan norepinefrin)
secara langsung meningkatkan tonus arteriol aferen, tetapi penurunan yang jelas
dari GFR diminimumkan secara tidak langsung melalui aktivasi pelepasan renin
dan pembentukan angiotensin II. Pemeliharaan relatif dari GFR selama
meningkatnya sekresi aldosteron atau katekolamin secara parsial dimediasi oleh
sintesis prostaglandin yang dipengaruhi angiotensin dan dihambat oleh
penghambat sintesis prostaglandin (NSAID). Sintesis prostaglandin vasodilator
ginjal (PGD2, PGE2, dan PGI2) merupakan mekanisme protektif penting selama
periode hipotensi sistemik dan iskemia ginjal (Morgan, 2006).

ANP dilepaskan dari miosit atrial sebagai respon terhadap distensi. ANP
merupakan dilator langsung otot polos dan antagonis aksi vasokonstriksi
norepinefrin dan angiotensin II. Hal ini menyebabkan dilatasi arteriol aferen,
konstriksi arteriol aferen, dan relaksasi sel mesangial, secara efektif
meningkatkan GFR. ANP juga menghambat pelepasan renin dan sekresi
aldosteron yang dipengaruhi angiotensin, dan antagonis aksi aldosteron pada
tubulus distal dan tubulus kolektivus (Morgan, 2006).

4. Regulasi Neuronal
Simpatis keluar dari medulla spinalis pada T4 – L1 mencapai ginjal melalui
pleksus coeliacus dan renal. Saraf simpatis mempersarafi apparatus
jukstaglomerular (β1) sama baiknya dengan persarafan pembuluh darah ginjal
(α1). Persarafan ini bertanggung jawab terhadap reduksi yang dipengaruhi stres
pada RBF. Reseptor α1 – adrenergik meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus
proksimal, dimana reseptor α1 menurunkan reabsorpsi dan menaikkan ekskresi
air. Dopamin dan fenoldopam mendilatasi arteriol aferen dan eferen melalui
aktivasi reseptor D1. Fenoldopam dan dosis rendah infus dopamin paling tidak
dapat mengubah vasokonstriksi ginjal karena norepinefrin (Morgan, 2006).

Aktivasi reseptor D2 pada neuron simpatis post ganglion presinaps dapat juga
membuat arteriol vasodilatasi melalui penghambatan sekresi norepinefrin (respon
balik negatif). Dopamin, yang dibentuk di tubulus proksimal sama baiknya seperti
yang dilepaskan dari ujung saraf, mengurangi reabsorpsi proksimal dari Na+.
beberapa serabut vagal kolinergik juga ditemukan, tetapi peran mereka belum
dipahami (Morgan, 2006).
EFEK DARI ANESTESI DAN PEMBEDAHAN TERHADAP FUNGSI GINJAL

17
Variabel yang berpengaruh meliputi jenis prosedur pembedahan, pemberian cairan,
dan fungsi jantung dan ginjal sebelumnya. Kesimpulan dapat dinyatakan :
1) Penurunan reversibel pada RBF, GFR, aliran urin, dan ekskresi sodium
terjadi selama anestesi regional dan anestesi umum.
2) Perubahan tidak begitu jelas selama anestesi regional.
3) Sebagian besar perubahan terjadi secara tidak langsung, dan dimediasi oleh
pengaruh hormonal dan otonom.
4) Efek ini dapat diatasi dengan mempertahankan volume intravaskuler adekuat
dan tekanan darah normal.
5) Hanya beberapa anestetik (metoksifluran, enfluran dan sevofluran) dengan
dosis tinggi dapat menyebabkan toksisitas ginjal spesifik (Morgan, 2006).

EFEK TIDAK LANGSUNG ANESTESI


1) Efek Kardiovaskuler
Sebagian besar anestetik inhalasi dan intravena menyebabkan depresi jantung
atau vasodilatasi, dan dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah arteri.
Blokade simpatis karena anestesi regional (spinal atau epidural) dapat
menyebabkan hipotensi akibat peningkatan kapasitas vena dan vasodilatasi
arteri. Penurunan tekanan darah di bawah batas autoregulasi dapat
menyebabkan berkurangnya RBF, GFR, aliran urin, dan ekskresi sodium.
Pemberian cairan intravena sering melawan hipotensi dan mengurangi efeknya
terhadap fungsi ginjal (Morgan, 2006).

2) Efek Saraf
Aktivasi simpatis pada umumnya terjadi pada periode perioperatif akibat dari
anestesi dangkal, stimulasi pembedahan yang intensif, trauma jaringan, atau
depresi sirkulasi karena anestetik. Aktivitas berlebih dari simpatis meningkatkan
resistensi vaskuler ginjal dan mengaktivasi beberapa sistem hormon. Kedua efek
tersebut cenderung mengurangi RBF, GFR, dan output cairan (Morgan, 2006).

3) Efek Endokrin
Perubahan endokrin selama anestesi secara umum menggambarkan respon
terhadap stress yang mungkin disebabkan oleh stimulasi pembedahan, depresi
sirkulasi, hipoksia, atau asidosis. Peningkatan katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin), renin, angiotensin II, aldosteron, ADH, hormon adrenokortikotropik,
dan kortisol biasa terjadi. Katekolamin, ADH, dan angiotensin II mengurangi RBF
dengan menyebabkan konstriksi arteri ginjal. Aldosteron meningkatkan

18
reabsorpsi sodium di tubulus distal dan tubulus kolektivus, menyebabkan retensi
sodium dan pengembangan kompartemen cairan ekstrasel. Pelepasan non
osmotik ADH juga menyebabkan retensi air dan menyebabkan hiponatremia.
Respon endokrin terhadap pembedahan dan anestesi bertanggung jawab untuk
retensi cairan sementara pasca bedah (Morgan, 2006).

EFEK LANGSUNG ANESTESI


1. Agen Volatil
Halotan, enfluran, dan isofluran menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Halotan
menyebabkan penekanan reabsorpsi sodium. Metoksifluran dihubungkan dengan
sindrom poliuria gagal ginjal. Nefrotoksisitasnya berhubungan dengan dosis dan
merupakan hasil dari pelepasan ion fluorida dari degradasi metaboliknya.
Konsentrasi fluorida plasma lebih dari 50 μmol/ L dihubungkan dengan toksisitas
ginjal yang ditandai oleh defek pada kemampuan pemekatan urin. Dosis
metoksifluran lebih dari 1 MAC selama 2 jam menyebabkan kerusakan ginjal.
Produksi fluorida dapat dicegah selama anestesi dengan halotan, desfluran, dan
isofluran, tetapi dapat menjadi signifikan pada pemberian yang memanjang dari
enfluran dan sevofluran. Ekskresi fluorida tergantung GFR, sehingga pasien
dengan kerusakan ginjal yang telah ada sebelumnya lebih mudah terkena
sindrom ini. Konsentrasi fluorida plasma yang tinggi karena pemberian anestesi
dengan enfluran yang lama dapat terjadi pada pasien dengan obesitas dan
menerima terapi isoniazid, tetapi peningkatan insiden disfungsi ginjal tidak
pernah dilaporkan (Morgan, 2006).

Compound A, hasil pemecahan sevofluran yang terbentuk dengan aliran rendah


dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada binatang percobaan. Studi klinik pada
pasien tidak menunjukkan cedera ginjal yang signifikan selama pemberian
sevofluran (Morgan, 2006).

2. Agen Intravena
Studi pada opioid dan barbiturat secara umum menunjukkan efek minor jika
digunakan sendiri. Jika digunakan bersama N2O, agen – agen ini menimbulkan
efek yang sama jika digunakan bersama agen volatil. Ketamin dilaporkan
berpengaruh kecil terhadap fungsi ginjal dan menjaga fungsi ginjal selama
hipovolemia hemorhagik. Agen – agen dengan aktivitas penghambat α –
adrenergik, seperti droperidol, dapat mencegah redistribusi RBF karena
katekolamin. Obat – obat dengan aktivitas antidopaminergik seperti

19
metoklopramid, fenotiazin, dan droperidol, dapat mengganggu respon ginjal
terhadap dopamin. Hambatan sintesis prostaglandin oleh analgetik seperti
ketorolak mencegah produksi prostaglandin vasodilator ginjal pada pasien
dengan kadar angiotensin II dan norepinefrin yang tinggi; respon protektif ini
menurunkan GFR dan menyebabkan disfungsi ginjal pada beberapa pasien.
ACE – inhibitor juga dapat memperkuat efek yang merugikan dari agen anestetik
pada perfusi ginjal; obat – obat ini memblokade efek protektif angiotensin II, dan
membantu terjadinya penurunan GFR selama anestesi (Morgan, 2006).

3. Obat – obat Lain


Banyak obat dan bahan kontras yang digunakan pada periode perioperatif dapat
mempengaruhi fungsi ginjal, terutama jika sudah terdapat disfungsi ginjal
sebelumnya. Obat – obat ini termasuk antibiotik (aminoglikosid dan amfoterisin –
B), agen imunosupresif (siklosporin dan takrolimus), dan bahan kontras
radiologik. Liposomal amfoterisin – B memiliki toksisitas ginjal yang kecil
dibanding amfoterisin – B. mekanisme cedera meliputi vasospasme arterial ginjal,
sitotoksik langsung, dan obstruksi tubular atau mikrovaskular ginjal (Morgan,
2006).

EFEK LANGSUNG PEMBEDAHAN


Prosedur bedah tertentu dapat merubah fisiologi ginjal. Pneumoperitoneum yang
dihasilkan selama laparoskopi menghasilkan tekanan intra abdomen. Peningkatan
tekanan intra abdomen ini meyebabkan oliguria (atau anuria) yang umumnya sesuai
dengan tekanan insuflasi. Mekanisme meliputi kompresi vena sentral (vena renalis
dan vena cava); kompresi ginjal, penurunan cardiac output; dan peningkatan kadar
renin plasma, aldosteron, dan ADH. Prosedur bedah lain yang secara signifikan
berpengaruh terhadap fungsi ginjal termasuk cardiopulmonary bypass, cross –
clamping aorta, dan diseksi dekat arteri renalis (Morgan, 2006).

DIURETIK
Diuretik meningkatkan output urin dengan menurunkan reabsorpsi Na+ dan air.
Diuretik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme aksinya, meskipun sistem
klasifikasi ini tidak sempurna dikarenakan sejumlah diuretik memiliki lebih dari satu
mekanisme aksi. Kebanyakan diuretik beraksi di membran sel luminal dari tubulus
ginjal. Hampir semua diuretik merupakan ikatan protein tinggi, sehingga relatif sedikit
obat bebas memasuki tubulus dengan filtrasi. Sebagian besar diuretik disekresikan
oleh tubulus proksimal (melalui pompa anion organik) untuk aksinya. Penghantaran

20
terganggu ke tubulus ginjal menyebabkan resistensi terhadap diuretik pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (Morgan, 2006).

1) OSMOTIK DIURETIK (MANITOL)


Diuretik aktif secara osmotik difiltrasi pada glomerulus dan melalui reabsorpsi
terbatas atau tidak sama sekali di tubulus proksimal. Ditemukannya osmotik
diuretik di tubulus proksimal membatasi reabsorpsi pasif air yang secara normal
diikuti reabsorpsi aktif sodium. Meskipun efek utamanya adalah untuk
meningkatkan ekskresi air, pada dosis besar, diuretik aktif secara osmotik juga
meningkatkan ekskresi elektrolit (sodium dan potasium). Mekanisme yang sama
juga mengganggu reabsorpsi substansi terlarut dan air di ansa Henle (Morgan,
2006).

Manitol umum digunakan. Manitol merupakan gula dengan enam rantai karbon
yang normalnya di reabsorpsi sedikit atau tidak sama sekali. Selain itu, efek
manitol juga meningkatkan RBF. Selanjutnya dapat membuang keluar
hipotonisitas medulla dan mempengaruhi kemampuan pemekatan urin ginjal.
Manitol mengaktifkan sintesis prostaglandin vasodilator ginjal (Morgan, 2006).

Penggunaan
 Profilaksis ARF pada pasien dengan resiko tinggi
Pasien dengan resiko tinggi termasuk pasien dengan trauma berat, reaksi
hemolitik mayor, rhabdomiolisis, dan jaundice berat seperti pasien yang
menjalani operasi jantung atau aorta. Mekanisme profilaksis mungkin
berhubungan dengan pengenceran dari substansi nefrotoksik di tubulus
ginjal, mencegah obstruksi di tubulus, mempertahankan RBF,dan reduksi dari
pembengkakan sel (Morgan, 2006).
 Evaluasi Oliguria Akut
Manitol pada hipovolemia akan menambah output urin. Manitol akan berefek
sedikit jika cedera tubular atau glomerulus yang berat terjadi (Morgan, 2006).
 Mengubah Gagal Ginjal Oliguria menjadi Non Oliguria
 Menurunkan Tekanan Intra Kranial dan Oedem Cerebri
 Menurunkan Tekanan Intra Okuler pada Periode Perioperatif

21
Dosis Intravena
0,25 – 1 g/ Kg

Efek Samping
Larutan manitol hipertonik dan secara cepat meningkatkan osmolalitas akstrasel
dan plasma. Pergeseran cepat intrasel ke ekstrasel dari air dapat bersifat
sementara meningkatkan volume intravaskuler dan mempresipitasi
dekompensasi jantung dan oedem pulmo pada pasien dengan fungsi jantung
terbatas. Hiponatremia sementara dan pengurangan pada konsentrasi
hemoglobin umum terjadi dan mewakili hemodilusi akut yang diakibatkan
pergerakan air yang cepat ke luar sel; dan meningkatkan sementara konsentrasi
potassium plasma. Inisial hiponatremia tidak mewakili hipoosmolalitas tetapi lebih
menggambarkan efek manitol. Jika kehilangan cairan dan elektrolit tidak diganti,
manitol akan menyebabkan hipovolemia, hipokalemia, dan hipernatremia.
Hipernatremia terjadi karena hilangnya air ke dalam sodium yang berlebih
(Morgan, 2006).

2) LOOP DIURETIK
Loop diuretik termasuk furosemid, bumetanid, asam etakrinat, dan torsemid.
Semua loop diuretik menghambat reabsorpsi Na+ dan Cl- di bagian ascenden
tebal. Reabsorpsi sodium pada sisi ini membutuhkan empat sisi pada Na+ - K+ -
2Cl- - protein pembawa luminal. Loop diuretik berkompetisi dengan Cl - untuk
berikatan dengan protein pembawa. Dengan efek maksimal, loop diuretik dapat
menghasilkan ekskresi 15 – 20% dari muatan sodium terfiltrasi. Kapasitas dilusi
dan konsentrasi terganggu. Sejumlah besar Na+ dan Cl+ dibawa ke nefron distal.
Urin yang dihasilkan tetap hipotonis. Peningkatan diuresis yang jelas terjadi saat
loop diuretik dikombinasikan bersama tiazid seperti metolazon (Morgan, 2006).
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa furosemid meningkatkan RBF dan
dapat membalikkan redistribusi aliran darah dari korteks ke medulla (Morgan,
2006).

Loop diuretik meningkatkan ekskresi kalsium dan magnesium urin. Asam


etakrinat merupakan satu – satunya diuretik yang bukan derivat sulfonamide,
karena itu menjadi pilihan bagi pasien yang alergi terhadap obat – obat
sulfonamide. Torsemid mempunyai aksi antihipertensif yang tidak tergantung dari
efek diuretiknya (Morgan, 2006).

22
Penggunaan
 Keadaan Oedematous (Kelebihan Sodium)
Kelainan ini meliputi gagal jantung, sirosis, sindrom nefrotik, dan insufisiensi
ginjal. Saat diberikan intravena, obat ini dengan cepat melawan manifestasi
cardiac dan pulmonal (Morgan, 2006).
 Hipertensi
Loop diuretik diberikan sebagai tambahan untuk obat hipotensif lain; terutama
jika tiazid tidak efektif (Morgan, 2006).
 Evaluasi Oliguria Akut
Respon dosis kecil furosemid (10 – 20 mg) berguna untuk membedakan
oliguria yang disebabkan hipovolemia dengan oliguria yang disebabkan
karena redistribusi RBF ke nefron jukstamedullar. Respon kecil atau tidak
sama sekali ditemukan pada hipovolemia, sedangkan hasil output urin normal
ditemukan pada penyebab kedua (Morgan, 2006).
 Perubahan Gagal Ginjal Oliguria menjadi Gagal Ginjal Non Oliguria
Penggunaannya masih kontroversial. Lebih lanjut, manitol lebih efektif.
 Terapi Hiperkalsemia
 Koreksi Cepat Hiponatremia

Dosis Intravena
Furosemid 20 – 100 mg;
Bumetanid 0,5 – 1 mg;
Asam etakrinat 50 – 100 mg;
Torsemid 10 – 100 mg

Efek Samping
Meningkatnya penghantaran Na+ ke tubulus distal dan tubulus kolektivus
meningkatkan sekresi K+ dan H+ pada bagian tersebut dan dapat mengakibatkan
hipokalemia dan alkalosis metabolik. Kehilangan Na+ yang jelas akan
menimbulkan hipovolemiadan azotemia prerenal; hiperaldosteronisme sekunder
menyertai hipokalemia dan alkalosis metabolik. Hiperkalsiuria menyebabkan
pembentukan batu dan hipokalsemia. Hipomagnesemia ditemukan pada pasien
dengan terapi lama. Hiperurisemia disebabkan karena meningkatnya reabsorpsi
urat dan hambatan kompetitif sekresi urat di tubulus proksimal. Kehilangan
pendengaran reversibel ditemukan pada pemberian furosemid dan asam
etakrinat, tetapi lebih umum pada asam etakrinat (Morgan, 2006).

23
3) DIURETIK TIAZID
Yang termasuk kelompok tiazid meliputi tiazid, klortalidon, quinetazon,
metolazon, dan indapamid. Diuretik tiazid bereaksi di tubulus distal, termasuk di
segmen penghubung. Penghambatan reabsorpsi sodium pada bagian ini
mengganggu kemampuan dilusi tetapi tidak kemampuan konsentrasi urin.
Diuretik tiazid berkompetisi untuk Cl- site pada protein pembawa Na+ - Cl- luminal.
Saat diberikan sendiri, diuretik tiazid meningkatkan ekskresi Na+ 3 – 5% dari
muatan terfiltrasi karena peningkatan reabsorpsi Na + kompensasi di tubulus
kolektivus. Diuretik tiazid juga memiliki aktivitas penghambat karbonik anhidrase
di tubulus proksimal. Berlawanan dengan efek ekskresi sodium, diuretik tiazid
meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di tubulus distal. Indapamid memiliki efek
vasodilator dan merupakan satu – satunya diuretik tiazid dengan ekskresi hepatik
yang signifikan (Morgan, 2006).

Penggunaan
 Hipertensi
 Keadaan Oedematous (Kelebihan Sodium)
 Hiperkalsiuria
 Diabetes Insipidus Nefrogenik

Dosis Intravena
Kelompok obat ini hanya diberikan per oral.

Efek Samping
Meskipun diuretik tiazid menghantar sedikit sodium ke tubulus kolektivus
dibanding loop diuretik, peningkatan ekskresi sodium cukup untuk meningkatkan
sekresi K+ dan mengakibatkan hipokalemia. Peningkatan sekresi H+ dapat terjadi,
cukup untuk menyebabkan alkalosis metabolik. Gangguan pada kemampuan
dilusi ginjal menghasilkan hiponatremia. Hiperurisemia, hiperglikemia,
hiperkalsemia, dan hiperlipidemia juga dijumpai (Morgan, 2006).

4) DIURETIK HEMAT KALIUM


Obat dengan efek lemah ditandai dengan tidak meningkatnya ekskresi potasium.
Diuretik hemat kalium menghambat reabsorpsi Na+ di tubulus kolektivus dan oleh
karena itu maksimal hanya bisa mengekskresi 1 – 2% dari muatan Na + terfiltrasi.

24
Biasanya digunakan bersama dengan diuretik protein lain untuk efek hemat
kalium nya (Morgan, 2006).

a) Antagonis Aldosteron
Spironolakton merupakan antagonis reseptor aldosteron langsung di tubulus
kolektivus. Aksinya untuk mengahambat reabsorpsi Na+ karena aldosteron
dan sekresi K+. Akibatnya, spironolakton efektif hanya pada pasien dengan
hiperaldosteronisme. Obat ini juga mempunyai efek anti androgen (Morgan,
2006).

Penggunaan
 Hiperaldosteronisme Primer dan Sekunder
 Hirsutisme

Dosis Intravena
Spironolakton hanya diberikan per oral (Morgan, 2006).

Efek Samping
Spironolakton menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan intake
potassium tinggi atau insufisiensi ginjal dan dalam terapi β – blocker atau
ACE – inhibitor. Asidosis metabolik dapat dijumpai. Efek samping lain seperti
diare, letargi, ataksia, ginekomastia, dan disfungsi seksual (Morgan, 2006).

b) Diuretik Hemat Kalium Non Kompetitif


Triamteren dan amilorid tidak tergantung aktivitas aldosteron di tubulus
kolektivus. Diuretik Hemat Kalium Non Kompetitif menghambat reabsorpsi
Na+ dan sekresi K+ dengan penurunan jumlah saluran sodium yang terbuka di
membran luminal dari tubulus kolektivus. Amilorid juga menghambat aktivitas
Na+ - K+ - ATPase di tubulus kolektivus (Morgan, 2006).

Penggunaan
 Hipertensi
Obat ini dikombinasikan dengan tiazid untuk mencegah hipokalemia
(Morgan, 2006).

25
 Congestive Heart Failure (CHF)
Sering ditambahkan untuk diuretik yang lebih poten pada pasien dengan
pengeluaran potasium yang jelas (Morgan, 2006)..

Dosis Intravena
Obat – obat ini hanya diberikan per oral (Morgan, 2006).

Efek Samping
Amilorid dan triamteren menyebabkan hiperkalemia dan asidosis metabolik
sama seperti spironolakton. Keduanya juga menyebabkan nausea, vomiting,
dan diare. Amilorid umumnya berhubungan dengan parestesi, depresi,
kelemahan otot, dan cramp. Triamteren menyebabkan batu ginjal dan
nefrotoksik, terutama jika dikombinasikan dengan NSAID (Morgan, 2006).

5) CARBONIC ANHYDRASE INHIBITORS


Carbonic anhydrase inhibitors seperti asetazolamid berpengaruh pada reabsorpsi
Na+ dan sekresi H+ di tubulus proksimal. Merupakan diuretik lemah karena efek
awal dibatasi oleh kemampuan reabsorpsi dan segmen distal nefron. Obat ini
mengganggu reabsorpsi karbonat di tubulus proksimal (Morgan, 2006).

Penggunaan
 Koreksi Alkalosis Metabolik pada Pasien Oedematous
 Alkalinisasi Urin
 Penurunan Tekanan Intra Okuler
Hambatan dari carbonic anhydrase inhibitors pada prosessus ciliaris
mengurangi pembentukan humor aqueous dan selanjutnya, tekanan intra
okuler (Morgan, 2006).

Dosis Intravena
Asetazolamid = 250 – 500 mg

Efek Samping
Carbonic anhydrase inhibitors menyebabkan asidosis metabolik, hiperkloremia
ringan karena efek terbatas pada nefron distal. Dosis besar asetazolamid dapat
menyebabkan kantuk, parestesi, dan bingung. Alkalinisasi urin dapat dipengaruhi
oleh ekskresi dari obat amin, seperti quinidin (Morgan, 2006).

26
6) DIURETIK LAIN
Obat ini dapat meningkatkan GFR dengan menaikkan cardiac output atau
tekanan darah arteri. Obat ini antara lain metilxantin (teofilin), glikosida jantung
(digitalis), fenoldopam, inotropik (dopamin), dan infus salin. Metilxantin juga
mengurangi reabsorpsi sodium di tubulus distal dan tubulus proksimal (Morgan,
2006).

27
DAFTAR PUSTAKA

Stoelting, R. K., Hillier, S. C. 2006. Kidneys. Pharmacology and Physiology in


Anesthetic Practice 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Renal Physiology and Anesthesia.
Clinical Anesthesiology 4th Edition. Lange Medical Books/ McGraw – Hill.

28

Anda mungkin juga menyukai