Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 3

MODUL RESPIRASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3
1. Marisa (I1011131034)
2. Ullya Aisyafitri (I1011151007)
3. Alfian Abdul Aziz Dja’afara (I1011151014)
4. Heru Chris Sunariyanto (I1011151020)
5. Lala Utami (I1011151032)
6. Afifah Kartikasari (I1011151043)
7. Nadya Siti Syara (I1011151051)
8. Ade Cahyo Islami (I1011151060)
9. Irmaningsih (I1011151063)
10. Ade Elsa Sumitro Putri (I1011151065)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang mahasiswa kedokteran berusia 22 tahun datang ke klinik
dengan keluhan suara serak. Sejak 5 hari yang lalu laki-laki tersebut
mengalami demam, sakit menelan, batuk, pilek dan bersin-bersin. Terdengar
grok-grok saat batuk namun dahak sulit dikeluarkan. Pasien mengatakan
saat pasien membuka mulut terlihat kedua tonsil palatina berwarna
kemerahan dan membesar mendekati uvula. Pasien hanya minum obat
penurun panas dan obat batuk pilek yang dibeli sendiri di apotik. Setelah
minum obat panas turun sebentar tetapi setelah itu panas kembali naik.
Data Tambahan:
1. Tekanan Darah: 120/80 mmHg
2. Nadi: 100 kali/menit
3. Respiratory rate: 28 kali/menit
4. Suhu: 38,2oC
5. Pemeriksaan Oropharing:
a. Faring Hipremis
b. Tonsil T3-T3 Hiperemis
6. Pemeriksaan Darah:
a. Hb: 13 g/dl
b. Ht: 39%
c. Leukosit: 18.000
d. Trombosit: 300.000
e. Hitung jenis leukosit: shif to left
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah dua massa jaringan limfoid yang terletak
pada dinding orofaring di dalam fossa tonsilaris.

1
2. Uvula
Uvula adalah massa seperti daging yang menggantung dari
palatum mole di atas pangkal lidah.
1.3 Kata Kunci
1. Laki-laki, 22 tahun
2. Tonsil palatina merah, besar
3. Suara serak
4. Demam
5. Sakit menelan
6. Batuk
7. Pilek
8. Bersin
9. Dahak sulit dikeluarkan
10. Batuk grok-grok
11. Riwayat obat simtomatik
12. Tidak sembuh
1.4 Rumusan Masalah
Mengapa laki-laki 22 tahun mengeluh suara serak dengan tonsil
palatina merah dan besar mendekati uvula disertai gejala yang tidak sembuh
setelah pengobatan simtomatik, sakit menelan, batuk, pilek, dan bersin?

2
1.5 Analisis Masalah
Laki-laki, 22 tahun

Keluhan Utama: Gejala lain


Suara serak

Tonsil merah Sejak 5 hari:


dan besar  Demam
mendekati
 Batuk
uvula
 Sakit menelan
 Bersin

Inflamasi
Pengobatan simtomatik
(antipiretik & obat
batuk)
Virus Bakteri

 Tonsilitis
Demam tidak
 Faringitis ISPA non-pneumonia sembuh
 Laringitis
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis

Tatalaksana

1.6 Hipotesis
Laki-laki 22 tahun mengalami ISPA non-pneumonia yang disebabkan
oleh infeksi bakteri.

3
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Tonsil, faring, dan laring.
a. Anatomi
b. Embriologi
c. Sistem imun
2. ISPA
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Klasifikasi
d. Etiologi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
g. Faktor risiko
h. Pencegahan
i. Diagnosis
j. Tatalaksana
k. Komplikasi
l. Prognosis
3. Tonsilitis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
4. Faringitis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Manifestasi klinis
e. Diagnosis

4
5. Laringitis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Manifestasi klinis
e. Diagnosis
6. Mengapa dahak susah dikeluarkan?
7. Mengapa demam tidak sembuh setelah pengobatan simtomatik?
8. Mengapa terdapat bunyi grok-grok saat batuk?

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tonsil, faring, dan laring


a. Anatomi
Tonsil
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil terletak pada kerongkongan di belakang kedua ujung
lipatan belakang mulut. Ia juga bagian dari struktur yang disebut Ring
of Waldeyer (cincin waldeyer). Kedua tonsil terdiri juga atas jaringan
limfe, letaknya di antara lengkung langit-langit dan mendapat
persediaan limfosit yang melimpah di dalam cairan yang ada pada
permukaan dalam sel-sel tonsil.

Gambar 1. Anatomi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang
membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari:
• Tonsil faringeal (adenoid)
• Tonsil palatina (tonsil faucial)
• Tonsil lingual (tosil pangkal lidah)

6
• Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring / Gerlach’s
tonsil).
Faring
Faring terdiri atas:2
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di
bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga
hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan
erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan
v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen
laserum dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya
adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke
depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas
epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah
esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur
pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini

7
merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets)
sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil
akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis.
Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis
ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.

Gambar 2. Anatomi faring

8
Gambar 3. Anatomi Faring
Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian
atasdan terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada
anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring
menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih
terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas
laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago krikoid.2

9
Gambar 4. Anatomi laring.3
b. Embriologi
Tonsil
Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga
sampai dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio
manusia memiliki lima pasang kantong faring. Masing-masing
kantong akan membentuk organ penting lainnya.4

Gambar 5. Embriologi Tonsil.4


Lapisan epitel kedua dari kantong faring berproliferasi dan
membentuk tunas yang akan menembus ke jaringan mesenkim di
sekitarnya. Selanjutnya tunas-tunas tersebut akan dilapisi oleh

10
jaringan mesodermal sehingga membentuk primordial dari tonsila
palatina. Selama bulan ketiga dan kelima, tonsil akan dikelilingi oleh
jaringan limfatik. Bagian kantong yang tertinggal akan ditemukan
pada saat dewasa sebagai fosa tonsilaris.
Faring
Lengkung faring muncul pada minggu ke-4 pada masa embrio.
Lengkung faring ini berupa kumpulan jaringan mesenkim yang
dipisahkan oleh celah-celah yang kita kenal dengan celah faring. Di
saat perkembangan keduanya, di dinding lateral bagian dalam
lengkung faring itu muncul lagi yang namanya kantong faring.4
Laring
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif
dan terletak diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada
perkembangan pertama berbentuk celah vertikal yang kemudian
menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang
tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi
epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan
pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan
membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago
kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan
oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga
organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami
obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang
berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika
vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.4
c. Sistem Imun
Adanya tonsil di dalam rongga mulut menjadi salah satu solusi
terhadap serangan mikroorganisme patogen yang bisa kapan saja
menyerang tubuh melalui rongga mulut. Tonsil palatina terletak di
bagian kanan dan kiri pangkal tenggorokan. Karena letaknya tersebut,

11
banyak benda asing yang melaluinya dan bisa menimbulkan infeksi.
Tonsil berperan sebagai sistem pertahanan karena mengandung sel
limfosit yang menahan setiap serangan mikroorganisme patogen yang
masuk melalui rongga mulut.5 Karena itu tonsil akan membesar
sebagai reaksi pertahanan bila ada infeksi.
Tonsil dapat menjadi sistem imun dikarenakan adanya sel
imunoreaktif, yang dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikuler, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal
pada folikel limfoid.5 Selain itu terdapat pula limfosit. Limfosit
terbanyak yang ditemukan pada tonsil adalah limfosit B.
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
mendistribusikan sel terstimulus menuju mukosa dan kelenjar
sekretori di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan
permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa, antigen
presenting cells dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel T di sentrum
germinativum. Kemudian, sel T ini akan melepaskan mediator yang
akan merangsang sel B. Sel B membentuk IgM pentamer, IgG, dan
IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. IgG dan IgA akan berdifusi
ke lumen secara pasif. Apabila rangsanga antigen rendah, akan
dihancurkan oleh makrofag. Namun, apabila konsentrasi antigen
tinggi, akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum
germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan
terjadinya hyperplasia struktur seluler.5
2.2 ISPA
a. Definisi
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)

12
termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura.6
b. Epidemiologi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur
Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang
dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan
bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151
juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak
terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari
semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita
di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin
WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan
pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).7
c. Klasifikasi
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA
sebagai berikut:8
 Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan
dinding dada kedalam (chest indrawing).
 Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
 Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa
disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa
napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong
bukan pneumonia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi
penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur
dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.

13
Untuk golongan umur kurang 2 bulan, terdapat 2 klasifikasi
penyakit yaitu:
 Pneumonia berat: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat
dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat
untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit
atau lebih.
 Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda
tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi
penyakit yaitu:
 Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik
napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang
tldak menangis atau meronta).
 Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah
untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan
untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
 Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan
tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah:9
 ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan
gejala batuk, pilek dan sesak.
 ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh
lebih dari 39O C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti
mengorok.
 ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak
teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru
(sianosis) dan gelisah.

14
d. Etiologi
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke saluran
nafas. Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, seperti halnya
pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan
hunian rumah. Pencemaran udara dalam rumah yang sangat
berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah asap pembakaran yang
digunakan untuk memasak. Dalam hal ini misalnya bahan bakar kayu.
Selain itu, asap rokok yang ditimbulkan dari salah satu atau lebih
anggota yang mempunyai kebiasaan merokok juga menimbulkan
resiko terhadap terjadinya ISPA.9
e. Patofisiologi
Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di
saluran nafas. Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat
merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul mekanisme pertahanan
pada jalan nafas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga hidung,
refleksi batuk, refleksi epiglotis, pembersihan mukosilier dan
fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita
maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem
pertahanan tersebut akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah
saluran pernafasan atas maupun bawah.7
f. Manifestasi klinis
Secara umum, penyakit saluran pernapasan ini diawali dengan
gejala-gejala sederhana dan biasanya ringan. Namun, dalam
perjalanannya bisa menjadi lebih berat dan bahkan memicu kepada
kegagalan nafas dan kemungkinan terjadinya kematian.
Untuk mencegah hal tersebut, perlu kita perhatikan tanda-tanda
bahaya yang dapat kita lihat pada tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris sebagai berikut Tanda-tanda klinis:7
 Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur
(apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis,

15
suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan
wheezing.
 Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam,
hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.
 Pada sistem cerebral adalah: gelisah, mudah terangsang, sakit
kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma.
 Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris:7
 Hypoxemia
 Hypercapnia
 acydosis (metabolik dan atau respiratorik)
g. Faktor risiko
1) Faktor resiko menurut demografi.10
 Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan
perempuan, laki-lakilah yang banyak terserang penyakit
ISPA karena mayoritas,orang laki-laki merupakan perokok
dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena
polusi udara.
 Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak
terserang penyakit ISPA. Hal ini disebabkan karena
banyaknmya ibu rumah tangga yang memasak sambil
menggendong anaknya.
 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh dalam kesehatan, karena lemahnya
manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan
upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA
yang datang kesarana pelayanan kesehatan sudah dalam

16
keadaan berat karena kurang mengerti bagaimana cara
serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit
ISPA.
2) Faktor resiko menurut biologis.10
 Status gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga
mencegah atau terhindar dari penyakit terutama penyakit
ISPA. Misal dengan mengkonsumsi makanan 4 sehat 5
sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga
yang teratur serta istirahat yang cukup.
Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan
tubuh akan semakin menigkat, sehingga dapat mencegah
virus (bakteri) yang akan masuk ke dalam tubuh.
 Faktor rumah
 Faktor polusi
Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2
aspek yaitu cerobong asap dan kebiasaan merokok.
h. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan:11
o Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
o Immunisasi.
o Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
o Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Pemberantasan yang dilakukan adalah :
 Penyuluhan kesehatan yang terutama di tuj ukan pada para
ibu.
 Pengelolaan kasus yang disempurnakan
 Imunisasi

17
i. Diagnosis
1) Biakan virus
Bahan berasal dari sekret hidung atau hapusan dinding
belakang faring kemudian dikirim dalam media galatine,
lactalbumine dan ekstrak yeast (GLY) dalam suhu 4oC
untuk enterovirus dan adenovirus selain bahan diambil dari
dua tempat tersebut dapat juga diambil dari tinja dan
hapusan rektum. Untuk pembiakan mikoplasma pneumonia
digunakan media trypticase, soya boillon dan bovine albumine
(TSB).
2) Reaksi serologi
Reaksi serologis yang digunakan antara lain,
pengikatan komplemen, reaksi hambatan hemadsorpsi, reaksi
hambatan hemaglutinasi, reaksi netralisasi, RIA serta ELISA.
3) Diagnostik virus secara langsung
Dengan cara khusus yaitu imunofluoresensi RIA,
ELISA dapat diidentifikasi virus influenza dan mikoplasma
pneumonia. Mikroskop elektron juga dipergunakan pada
pemeriksaan virus corona.
Selain dari ketiga cara di atas, dapat juga dilakukan cara
yang lebih sederhana walaupun tidak khas yaitu pemeriksaan darah
tepi, jumlah elukosit, dan hitung jenis.7 Jarang sekali terjadi
leukositosis yang paling sering jumlah leukosit normal atau
rendah. Bila terjadi leukopenia, berarti ada gambaran klinik yang
berat. Pada hitung jenis dapat dijumpai eosinofilia, limfopenia
dan netrofilia. Beberapa infeksi dengan bakteria dapat pula
memberikan leukopenia seperti infeksi karena tifus
abdomilitis. Leukositosis dengan peningkatan sel
Polimorfonuklear di dalam darah maupun sputum mendandakan
ada infeksi sekunder oleh karena bakteri.

18
j. Tatalaksana
Penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan akut meliputi
langkah-langkah pencegahan dan pengobatan. Upaya pencegahan
yang dapat dilakukan guna menurunkan angka kejadian ISPA antara
lain:12
1) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik sehingga tubuh memiliki
daya tahan yang optimal untuk melawan segala macam agen
infeksi yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit.
2) Imunisasi. Vaksinasi juga dapat dilakukan dalam upaya
pencegahan infeksi beberapa jenis virus seperti influenza dan
pneumonia. Namun, saat ini masih kontroversial mengenai
efektivitas pemberian vaksinasi pada usia lanjut yang
berhubungan dengan penurunan fungsi limfosit B pada
kelompok geriatri.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan akan
mengurangi risiko terjadinyapenyebaran agen infeksi dari luar.
4) Menghindari berhubungan dengan penderita ISPA untuk
mencegah penularan infeksi dari individu satu ke individu
lainnya. Jika pasien datang dengan gejala ISPA seperti demam,
nyeri badan, batuk, nyeri tenggorokan dan pilek maka perlu
dipertimbangkan penyebab infeksinya. Apakah infeksi tersebut
disebabkan oleh virus atau bakteri. Perlu ditanyakan bagaimana
riwayat penyakitnya meliputi onset, penggunaan obat yang telah
dilakukan sendiri oleh pasien, faktor risiko dan faktor
komorbidnya. Dan jika terdapat indikasi ISPA maka perlu
dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi tanda klinis
yang relevan.Pasien dengan infeksi virus tidak perlu pemberian
antibiotik. Terapi yang digunakan pada pasien adalah untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan membantu pasien
mengurangi gejala yang muncul sementara tubuh berusaha
untuk mengeliminasi virus.

19
k. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin akan terjadi adalah sinusitis,
faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga
bronkhitis dan pneumonia (radang paru).6 Secara umum gejala ISPA
meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza
(pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas).
l. Prognosis
Baik bila cepat ditangani.
2.3 Tonsilitis
a. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatine yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh
mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur.13 Cincin Waldeyer
terdiri atas susunan saraf limfa yang terdapat dalam rongga mulut
yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba
Eustachius.
b. Etiologi
Kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphylococcus
aureus, Streptococcus beta hemolyticus grup A, E.coli dan Klebsiela
sp.14 Namun etiologi tersering terjadinya tonsilitis oleh Streptococcus
beta hemolitycus grup A, Hemofilus influenza, Staphylococcus aureus
dan Streptokokus pneumonia.14
c. Klasifikasi
Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:15
1) Tonsilitis akut, terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah
satu bakteri atau virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri.
2) Subakut tonsillitis, terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh
Actinomyces bakteri, organisme anaerob yang
bertanggungjawab untuk keadaan suppuratif pada tahap infeksi.
Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu dan tiga bulan.

20
3) Tonsilitis kronis, terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi
bakteri yang dapat bertahan jika tidak diobati.
d. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Amandel atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme
yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk
membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.16
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan
menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai
dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien
hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti
makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas,
bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub
mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih
membuat pasien mengeluh sukarmenelan, belakang tenggorokan akan
terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya
berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk
membransemu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik
terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan,
jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi

21
oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.16
Proses keradangan dimulai pada satu atau kebih kripte tonsil.
Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga
kripte akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh
detritus (epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses
ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak, proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar submandibula.16
e. Manifestasi klinis
Pada tonsillitis penderita mengeluh sakit tenggorokan dan
beberapa derajat disfagia dan, pada kasus yang berat, penderita dapat
menolak untuk minum atau makan melalui mulut. Penderita tampak
sakit akut dan pasti mengalami malaise. Suhu biasanya tinggi, kadang-
kadang mencapai 104oF. Napasnya bau. Mungkin terdapat otalgia
dalam bentuk nyeri alih. Kadang-kadang otitis media merupakan
komplikasi peradangan pada tenggorokan. Seringkali terdapat
adenopati servikalis disertai nyeri tekan.17
Tonsila membesar dan meradang. Tonsila biasanya berbercak-
bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin
keabu-abuan atau kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul dan
membentuk membran, dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis
jaringan lokal.17

22
f. Diagnosis
1) Anamnesis
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting,
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa. Penderita sering
datang dengan keluhan rasa sakit padatenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit
pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.18
2) Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat
(purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada
beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti
keju/dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis
yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya
membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan”
dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen
yang tipis terlihat pada kripta.18
3) Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari
sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa
macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti
Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus,
Pneumokokus.18
2.4 Faringitis
a. Definisi
Faringitis adalah peradangan akut membran mukosa faring dan
struktur lain di sekitarnya.19 Jarang terjadi infeksi lokal pada faring
atau tonsil saja. Pengertian secara luas mencakup tonsillitis,
nasofaringitis dan tonsilofaringitis.

23
b. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus
(40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering. Kebanyakan
faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan
faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus,
Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein
Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus
(HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.20
c. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus
dapat secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan
menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi
lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid
superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak
bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior
atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi meradang dan
membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi
nasal.17
d. Manifestasi klinis
Pada awitan penyakit, penderita mengeluh rasa kering atau gatal
pada tenggorokan. Malaise dan sakit kepala adalah keluhan biasa.
Biasanya terdapat suhu yang sedikit meningkat. Eksudat pada faring

24
menebal. Eksudat ini sulit untuk dikeluarkan, dengan suara parau,
usaha mengeluarkan dahak dari kerongkongan dan batuk. Keparauan
terjadi jika proses peradangan mengenai laring. Pada beberapa kasus,
mungkin terutama terdapat disfagia sebagai akibat dari nyeri, nyeri
alih ke telinga, adenopati servikal, dan nyeri tekan. Dinding faring
kemerahan dan menjadi kering, gambaran seperti kaca dan dilapisi
oleh sekresi mukus. Jaringan limfoid biasanya tampak merah dan
membengkak.17
e. Diagnosis
Diagnosis sulit untuk ditegakkan (terutama pada faringitis
bakterial) dengan cara kultur dari apusan tenggorok sebagai evaluasi
rutin atau untukkonfirmasi bila Rapid Streptococcal Antigen Test
(RAT) negatif. Kultur iniberguna untuk investigasi outbreak, monitor
resistensi antibiotik ataupenyebab patogen lainnya.21
Menurut sumber lainnya, kultur tenggorok merupakan gold
standarduntuk diagnosis faringitis dengan Rapid Streptococcal
Antigen Test (RAT) untuk menentukan bakteri grup A streptococci
dengan sensitivitas 95%.Adapun jika dilihat dari gejala maka dapat
dilihat adanya sakit tenggorokanyang parah, demam, faring
kemerahan dengan pembengkakan tonsil, serta jika tidak ada batuk
maka semakin menguatkan kemungkinan faringitis streptokokus grup
A baik untuk pasien dewasa maupun anak.21
2.5 Laringitis
a. Definisi
Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara
(laring) yang dapat menyebabkan suara parau.22 Pada peradangan ini
seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, kadang-kadang pada
pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa. Laringitis ialah
pembengkakan dari membran mukosa laring. Pembengkakan ini
melibatkan pita suara yang memicu terjadinya suara parau hingga
hilangnya suara.

25
b. Etiologi
1) Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran
nafas seperti influenza atau common cold. infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus
dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.22
2) Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
3) Pemakaian suara yang berlebihan
4) Trauma
5) Bahan kimia
6) Merokok dan minum-minum alkohol
7) Alergi
c. Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi
bakteri mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau
nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan
terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan
tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan
mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan
tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini
biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas
lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas
dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara
berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan
merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi
pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut.
Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator
kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu
tubuh.17

26
d. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari laringitis yaitu:23
1) Afonia, yaitu suara serak atau hilang suara
2) Nyeri tenggorokan
3) Batuk karena teriritasi
4) Stridor, biasanya ditemukan pada anak-anak
5) Iritasi pada tenggorokan yang menggelitik sehingga memicu
keinginan untuk batuk, demam, dan nyeri tenggorokan
6) Rhinorrhea
7) Kongesti nasal
8) Pada pemeriksaan dengan laringoskopi, ditemukan tanda
laringitis yaitu eritem laring difus, edema, dan pembengkakan
vaskular pada pita suara
9) Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul dan ulkus pada
mukosa
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.22 Gejala klinis laringitis dapat
berupa:
1) Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien
sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara
dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa/ normal dimana
terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara
menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali
(afoni).
2) Sesak nafas dan stridor.
3) Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4) Gejala radang umum seperti demam, malaise.
5) Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.

27
6) Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok
hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri
kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak
mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7) Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga
sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala,
batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38
derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai
dengan nyeri diseluruh tubuh.
Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang
hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara
dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal
atau paru. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem
subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi
pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin
bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi
suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan
darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.
Pemeriksaan penunjang dapat berupa:
1) Foto rontgen leher AP: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2) Pemeriksaan laboratorium: gambaran darah dapat normal. Jika
disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.
3) Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa
laring yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta
tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan
ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.
2.6 Mengapa dahak susah dikeluarkan?
Pada kondisi tertentu di mana terjadi peradangan atau infeksi pada
saluran nafas maka produksi dahak dapat meningkat. Kondisi ini umumnya
terjadi pada ISPA/infeksi saluran pernafasan akut, yaitu peradangan pada

28
hidung (flu), sinus (sinusitis), tenggorokan (radang tenggorokan, radang
amandel), saluran nafas utama (bronkitis), ataupun paru-paru (pneumonia).
Batuk merupakan respon normal tubuh untuk mengeluarkan benda
asing (termasuk lendir atau mukus atau sekret) dari dalam tenggorokan.
Jenis batuk berdasarkan produksi sputumnya terdiri dari dua jenis yaitu
batuk berdahak dan batuk kering. Pada batuk berdahak, dahak sebaiknya
dikeluarkan. Namun masalahnya sering kali dahak sangat kental dan sulit
untuk dikeluarkan sehingga butuh bantuan obat-obatan untuk mengencerkan
dahak dan merangsang pengeluarannya.
Berikut beberapa jenis obat batuk yang bisa digunakan adalah
golongan ekspektoran, merupakan obat batuk berdahak yang membantu
untuk mengeluarkan dahak dari paru-paru dengan cara merangsang reflek
batuk. Contohnya gliseil guaiacolate, guaifenesin, dan amonium klorida.
Mukolitik atau disebut juga obat pengencer dahak, contohnya adalah
bromhexine. Pemberian obat ini bertujuan untuk membantu mengencerkan
dahak yang kental dan lengket sehingga menjadi lebih encer dan lebih
mudah dikeluarkan saat batuk. Mukokinetik contohnya adalah ambroxol.
Obat ini berfungsi merangsang atau mempercepat gerakan sputum yang
menyangkut di saluran pernapasan pasien sehingga dahak lebih cepat
dikeluarkan.
2.7 Mengapa demam tidak sembuh setelah pengobatan simtomatik?
Demam terjadi ketika toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme
penyebab ISPA, merangsang monosit, makrofag, dan sel-sel kupffer
mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1,
TNF alfa, IL-6, dan interferon) yang bekerja pada membran sel hipotalamus
untuk menghasilkan asam arakhidonat. Asam arakhidonat dalam tubuh akan
dimetabolisme melalui jalur lipooksigenase dan siklooksigenase, jalur
lipooksigenase akan menghasilkan zat seperti leukotrien dan zat lainnya
sementara jalur siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin sebagai
produk akhirnya. Prostaglandin ini selanjutnya akan bekerja pada pusat
termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan ambang batas termostat.24

29
Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan
bukan di suhu tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen
meningkatkan titik patokan menjadi 38,9oC, hipotalamus merasa bahwa
suhu normal prademam sebesar 37oC terlalu dingin, dan organ ini memicu
mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu menjadi
38,9oC.
Obat-obat penurun suhu tubuh (antipiretik) seperti paracetamol,
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Oleh karena itu, secara farmakologi
pemberian antipiretik tidak akan berguna selama mikroorganisme penghasil
toksin tersebut masih terdapat dalam tubuh dan terus menghasilkan toksin
yang akan terus menginduksi terjadinya demam.
2.8 Mengapa terdapat bunyi grok-grok saat batuk?
Suara nafas grok-grok, merupakan suara nafas tambahan akibat
adanya penyempitan akibat obstruksi. Udara yang melewati cairan pada
saluran pernafasan dan kolapsnya saluran udara bagian distal alveoli. Hal ini
bisa disebabkan oleh karena obstruksi yang diakibatkan bakteri atau virus
yaitu dengan pengeluaran mukus, sehingga terjadi suara saat masuk dan
keluarnya udara. Suara yang terjadi bergantung kepada lokasi obstruksi
anatomi.2

30
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Laki-laki 22 tahun mengalami laringitis et causa tonsilofaringitis.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Snow, James B. dan John Jacob Ballenger. Ballenger’s Otorhinolaryngology


Head and Neck Surgery 16th Edition. Chicago: Williams & Wilkins; 2003.
2. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok.
Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi
ke-6: 212- 215; 217-218.
3. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376.
4. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004.
5. Campisi, P., Tewfik, T. L. Tonsillitis and its Complications. The Canadian
Journal of Diagnosis, 2014.
6. World Health Organization. Pedoman Interim WHO: Pencegahan dan
pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung
menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta:
World Health Organization; 2007.
7. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
8. Smeltzer, S & Bare, G. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8
Volume 3. Jakarta: EGC, 2002.
9. Depkes RI. Pedoman pemberantasan penyalit saluran pernafasan akut.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2002.
10. Dharmage. Risk factor of acute lower tract infection in children under five
years of age. Medical Public Health, 2009.
11. Rasmaliah. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) dan Penanggulangannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara. Medan; 2004.
12. Rahayu RA dan Bahar A. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut
SecaraMenyeluruh. In: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata
M. dan Setiati S.(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV .

32
Jakarta: Pusat PenerbitanDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 p:1407-92.
13. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid.
Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2011.
14. Al Roosan M, Al khtoum N, Al said H. Correlation between surface swab
culture and tonsillar core culture in patients with recurrent tonsillitis.
Khartoum medical journal, 2008.
15. Eunice, M. Efficacy of the Homoeopathic Complex Tonzolyt on the
Symptoms of Acute Tonsillitis in Black Children Attending a Primary
School in Gauteng, University Johannesburg; 2014.
16. Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin. Medikal Bedah
Salemba Medika. –Ed. 1. 2001.
17. Adams, G. L. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Buku
Ajar Penyakit THT Boies. –Ed. 6. Jakarta: EGC, 2012.
18. Georgalas CC, Tolley NS, Narula PA. Tonsilitis. Clin Evid; 2014.
19. Alan L, Bisno MD. Acute Pharyngitis: Primary Care. The New England
Journal of Medicine. 2011: 34(4);205-11.
20. Jill Gore, 2013. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy of
Physician Assistants: February 2013- Volume 26-Issue 2- p 57-58.
Available
From:http://journals.lww.com/jaapa/Fulltext/2013/02000/Acute_Pharyngitis
. 12.aspx [Accessed: 9 July Jun 2017].
21. Tanto C, Frans L, Sonia H, Eka AP. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
22. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. –Ed. 6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
23. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia:
McGraw-Hill; 2008.

33
24. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin
Pediatr. Jun 2003 (42); 383.

34

Anda mungkin juga menyukai